analisa pelanggaran HAM pada kasus Devya

PENDAHULUAN
Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak kodrati yang secara inheren
melekat dalam setiap diri manusia sejak lahir. Pengertian ini mengandung arti bahwa HAM merupakan
karunia Allah SWT kepada hambanya. Mengingat HAM itu adalah karunia Allah, maka tidak ada badan
apapun yang dapat mencabut hak itu dari tangan pemiliknya. Demikian pula tidak ada seorangpun
diperkenankan untuk merampasnya, serta tidak ada kekuasaan apapun yang boleh membelenggunya. Gagasan
HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang paling hakiki dalam kehidupan manusia.
Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memerlukan legitimasi yuridis untuk
pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum nasional maupun internasional. Sekalipun tidak ada perlindungan
dan jaminan konstitusional terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia. Namun karena
sebagian besar tata kehidupan manusia bersifat sekuler dan positivistik, maka eksistensi HAM memerlukan
landasan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia.
Seperti diketahui, bahwa HAM itu adalah bersifat universal. Namun demikian pelaksanaan
HAM tidak mungkin disamaratakan antara satu negara dengan negara yang lain. Masing-masing negara tentu
mempunyai perbedaan konteks sosial, kultural maupun hukumnya. Di samping itu pengalaman sejarah dan
perkembangan masyarakat sangat mempengaruhi HAM itu dilaksanakan.
Sejak awal munculnya Negara-negara di dunia, sejak itu pula berkembang prinsip-prinsip
hubungan internasional, hokum internasional dan diplomasi. Dalam hubungannya, Negara-negara mengirim
utusannya untuk memperjuangkan dan mengamankan kepentingan masing-masing. Disamping mengupayakan
kepentingan bersama. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa utusan diplomatic suatu Negara memiliki
hak-hak istimewa di Negara tujuan. Hak tersebut diantaranya adalah hak imunitas [kekebalan hukum].

Paper ini akan membahas tentang indikasi pelanggaran HAM pada kasus penangkapan seorang
diplomat India di Amerika Serikat atas suatu tindakan pemalsuan data. Penangkapan tersebut mengakibatkan
memanasnya hubungan antara New Delhi dan New York karena ditengarai bahwa pihak berwajib melakukan
pelanggaran HAM kepada diplomat yang dimaksud.
LATAR BELAKANG
Pertengahan Desember 2013 ketegangan mewarnai hubungan diplomatic antara Negara
adidaya Amerika Serikat dengan India. Menyusul penangkapan, Devyani Khobragade, Deputi Konsulat
Jenderal India untuk urusan politik, ekonomi, perdagangan dan urusan wanita New York.
Khobragade ditahan atas tuduhan pemalsuan laporan pada penggajuan aplikasi visa bagi
pembantu rumah tangganya, Sangeeta. Menurut jaksa, Khobragade mengaku dalam permohonan visanya
bahwa dia menggaji pembantu US$ 4.500 per bulan atau US$ +10 perjam, namun ditengarai dia cuma
membayar kurang dari US$ 3 per jam.
Khobragade yang memiliki status diplomat ditangkap dan diborgol ditempat umum saat
mengantar anaknya ke sekolah. Walaupun beberapa hari kemudian bebas atas jaminan $250,000 –Khobragade

mengaku selama penangkapan dan penahanan hak-haknya dirampas dan dia diperlakukan secara tidak layak
serta mengalami pelecehan.
Dalam sebuah email yang dikirimkan Khobragade kepada temannya, ia menuliskan dia
mendapat belasan kali penggeledahan dan dilakukan seperti criminal meskipun dia memiliki kekebalan
diplomatik. Selain itu ia mengaku bahwa pihak berwajib Amerika Serikat bukan hanya menelanjangi dia

dalam penggeledahan, namun juga melakukan cavity search atau pemeriksaan anus dan pengambilan sampel
DNA yang merupakan prosedur untuk penjahat berbahaya dan pengedar narkoba.
sebagaimana dirilis Daily Mail : "Saya benar-benar menderita saat mereka memborgol,
menelanjangi, dan menggeledah tubuh saya. Saya seperti pelaku kriminal murahan meski mempunyai
kekebalan diplomatik," ujarnya.
PEMALSUAN LAPORAN UNTUK VISA
undang-undang AS bab 18 nomor 1546 tentang pemalsuan dan penyalahgunaan Visa, izin
tinggal dan dokumen lain pada pasal (b) menyebutkan:
“Whoever uses—
(1) An identification document, knowing (or having reason to know) that the document was not
issued lawfully for the use of the possessor,
(2) An identification document knowing (or having reason to know) that the document is false,
or
(3) A false attestation,
For the purpose of satisfying a requirement of section 274A(b) of the Immigration and
Nationality Act, shall be fined under this title, imprisoned not more than 5 years, or both.”
Atas dasar inilah pemerintah AS melakukan penahanan atas Devyani Khobragade. Dan
walaupun menuntut perrtanggungjawaban AS atas perlakuan tidak menyenangkan yang dia terima,
khobragade tidak menyanggah bahwa dia membayar pembantunya dibawah upah minimum yang berlaku di
AS.

KEKEBALAN DIPLOMATIK
Terdapat 3 teori yang mendasari pemberian hak-hak istimewa dan imunitas bagi para pejabat
dan perwakilan diplomatic di luar negeri. Pertama, teori Eksteriorialitas. Menurut teori ini para diplomat
dianggap tidak meninggalkan negaranya sehingga ketentuan Negara dimana dia berada tidak berlaku padanya.
Teori yang kedua adalah teori Representatif dimana pejabat diplomatic mewakili Negara
pengirimnya dan kepala Negaranya sehingga dengan sendirinya ia berhak atas keistimewaan-keistimewaan
tertentu di Negara penerima.
Teori ketiga adalah teori kebutuhan fungsional. Para pejabat dan perwakilan Negara –menurut
teori ini, diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan agar dapat menjalankan tugas dengan baik dan lancer.
Pasal 29 Konvensi Vienna menegaskan:

“Pejabat diplomatic tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka
harus diperlakukan dengan penuh hormat dan Negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak
untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan dan martabatnya.”
Kekebalan dari kekuasaan hokum ini memiliki ketentuan bahwa kekebalan hokum pejabat
diplomatic di Negara penerima tidak membebaskannya dari kekuasaan hukuum negaranya sendiri. Jika terjadi
pelanggaran-pelanggaran terjadi, maka diplomat tersebut dapat dipanggil pulang atau dinyatakan sebagai
persona non grata.
REAKSI INDIA
Menteri Luar Negeri India Salman Khursid menyerukan keras bakal mengembalikan harga diri

Khobragade. "Kami akan memulangkannya dan mengembalikan harga dirinya. Saya akan melakukan dengan
cara apa pun," ujar Khursid.
Rakyat India pun bereaksi keras atas ulah pihak berwenang Amerika. Mereka langsung
meminta pemerintah mengusir semua pejabat Negara Adidaya itu dan menolak permohonan mereka hendak
berkunjung ke New Delhi.
Hingga 29 Desember 3013 New Delhi terus mendesak Washington untuk mencabut kasus
hukum diplomat perempuan yang dituduh memalsukan dokumen visa tersebut. Lantaran pemerintahan
Presiden Barack Obama ngotot untuk melanjutkan proses hukum terhadap Khobragade. Belakangan, mereka
mencabut imunitas politik para istri atau suami serta anak-anak diplomat AS yang bertugas di negara mereka.
Pelucutan imunitas itu merupakan salah satu bentuk kekesalan India.
Bagi masyarakat India, menelanjangi seorang perempuan terpelajar dari keluarga terpandang
seperti Khobragade merupakan pelecehan. Aksi semacam itu, menurut kacamata warga India, hanya bisa
terjadi dalam kasus kriminal.
’’Para pasangan dan anak-anak diplomat AS tidak lagi kebal hukum. Jadi, jika mereka
melanggar apa pun, petugas kami berhak menindak atau menahan mereka,’’ jelas salah seorang pejabat
pemerintah di Kota Bangalore. Peristiwa itu menjadi peringatan bagi istri atau suami serta anak-anak diplomat
AS yang selama ini bisa bebas melakukan pelanggaran ringan, khususnya melanggar lalu lintas.
Selain melucuti imunitas politik para istri atau suami serta anakanak diplomat AS, India
melakukan serangkaian aksi balas dendam lainnya. Termasuk meneliti ketertiban para diplomat AS dalam
membayar pajak. Jika ada pasangan diplomat atau anak-anaknya yang mengemplang pajak, New Delhi tidak

segan-segan menindak mereka secara hukum. Beberapa waktu lalu, India juga membersihkan halaman
Kedutaan Besar AS di New Delhi dari barikade pengamanan. Selama ini selain dijaga ketat, Kedutaan Besar

AS di ibu kota India itu dilapisi barikade pengaman untuk menghindari serangan langsung ke kantor
perwakilan Negeri Paman Sam tersebut. Tetapi, pascainsiden Khobragade, barikade pengaman itu dibersihkan.
Terjadi schadenfreude diseputar penahanan Khobragade – warga India selama ini frustasi
melihat banyak orang kaya dan berkuasa di India terlihat kebal hokum, sehingga ada kelegaan saat salah satu
dari mereka menghadapi konsekuensi tindakan mereka – dalam hal ini Khobragade.
Beberapa twitterati menyebutkan bahwa kasus sebenarnya, yakni mistreatment yang dialami
Sangeeta – tidak boleh hilang dari pandangan saat semua orang memprotes pelanggaran protokoler konsuler
atas Khobragade.
BANTAHAN PIHAK AS
Wakil juru bicara Departemen Luar Negeri AS Marie Harf mengakui bahwa penangkapan
Devyani Khobragade "isu sensitif" tetapi menyatakan ini "insiden terpisah dan tersendiri" yang hendaknya
jangan

"dicampurbaurkan"

dan


dibiarkan

mengganggu

hubungan

erat

AS-India.

"Sejauh ini semua indikasi menunjukkan bahwa prosedur sudah diikuti. Tapi meskipun demikian...kami
memahami ini isu yang sangat sensistif, dan kami terus memeriksa apa yang terjadi," kata Harf kepada
wartawan.
Pihak berwenang yang menahan Khobragade mengatakan mereka juga melakukan itu pada
tahanan lain dan kekebalan diplomatic yang dimiliki Devyani Khobragade hanya berlaku saat menjalankan
tugas resmi.
Statemen dikeluarkan oleh Depdagri AS dan kantor kejaksaan Distrik Selatan kota New York,
dasar penangkapan Khobragade adalah Konvensi Vienna pasal. 43(1), yang menyatakan :
“consular officers and consular employees shall not be amenable to the jurisdiction of the
judicial or administrative authorities of the receiving State in respect of acts performed in the exercise of

consular functions.”
Ini berarti bahwa AS tidak menganggap bahwa pengangkatan atau penunjukan pegawai
personal oleh pejabat konsulat adalah sesuatu yang penting bagi kelancaran tugas-tugas konsuler sehingga
hak-hak imunitas tidak diberlakukan saat terjadi pelanggaran.
ADAKAH INDIKASI PELANGGARAN HAM?
Fakta yang terjadi di lapangan –mengesampingkan pemalsuan data yang sengaja dilakukan oleh Khobragade
untuk memperoleh visa bagi kemudahan izin tinggal Sanggeta di AS – pemerintah AS telah melanggar hokum
internasional setidaknya pada 2 peraturan Konvensi Vienna, yakni bab 41 ayat 1 dan 2
Pada bab 41 ayat (1): “consular officers shall not be liable to arrest or detention pending trial,
except in the case of a grave crime and pursuant to a decision by the competent judicial authority.”

Pada ayat kedua bab yang sama ditegaskan: “consular officers shall not be committed to prison
or be liable to any other form of restriction on their personal freedom save in execution of a judicial decision
of

final

effect.”

Dalam kasus Khobragade, harus diketahui bahwa Indian Foreign Service (IFS = Kantor

Pelayanan Luar Negeri India) menyediakan post asisten rumah tangga [ baca: pembantu] untuk pejabat senior
dan misi-misi diplomatic. Meski pos ini disediakan dan dianggarkan dari uang Negara, para asisten rumah
tangga ini tidak diakui sebagai bagian dari staff diplomatic oleh banyak Negara penerima.
bab Pembukaan pada Konvensi Vienna jelas menyatakan:
Tujuan pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan tersebut bukan untuk menguntungkan
orang-perorang, tetapi untuk membantu efisiensi pelaksanaan misi-misi diplomatic sebagai wakil dari
negara”

Apapun dalih penahanannya, pemerintah AS sendiri akan sulit menolak alas an bahwa
kedatangan asisten rumah tangga pada keluarga Khobragade akan membantu pelaksanaan tugas Khobragade
sebagai orang nomor dua di Konjen India di New York secara efisien.
Dengan mengacu prembule konvensi diatas, maka pernyataan bahwa situasi khobragade tidak
masuk dalam ketentuan hak istimewa dan imunitas terbantahkan dengan sendirinya.
Diluar hokum yang tertuang dalam Konvensi Vienna, Perlakuan selama Khobragade dalam
penahanan yaitu pemborgolan, penelanjangan dan cavity searches, serta pengambilan sampel (DNA) yang
dipaksakan padanya merupakan tindakan berlebihan. Hal ini merupakan pelecehan dan pelanggaran atas Hakhak asasi wanita tersebut.
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak-hak asasi
manusia yang dilakukan oleh pejabat pemerintah AS terhadap Devyani Khobragade.
PENUTUP

Sebagaimana telah disebutkan diatas tentang teori-tori yang mendasari kekebalan diplomatic,
teori kebutuhan fungsional meninggalkan banyak lubang interpretasi terutama pada kasus Khobragade.
Kebutuhan apa yang dianggap penting bagi misi diplomatic sepertinya dilihat berbeda bagi tiap orang, bahkan
seandainya para ahli berkumpul untuk berunding tentang masalah ini, akan sulit mencapai kesepakatan.

Bagaimanapun ada tuntutan yang semakin meningkat diantara para activist dan para ahli
tentang perlunya interpretasi yang lebih menjurus tentang teori kebutuhan funsional ini karena sering
terjadinya pelanggaran HAM.
Alasan dibalik perlunya interpretasi yang lebih menjurus tentang teori kebutuhan fungsional
dalam hal imunitas ini adalah bahwa sementara seorang diplomat dilindungi hak-hak istimewa, tidak ada alas
an baginya untuk tidak menghormati hukuum Negara penerima.
Menyangkut kasus imunitas Khobragade, kesengajaannya melanggar hokum ketenagakerjaan
AS dan memalsukan laporan visa sulit untuk ditutupi.
The US would be well within its rights to declare her persona non grata. Such an action would
be in line with the State Department's history of taking a stricter view on functional immunity, but that still
leaves Washington with having to explain the violation of the personal inviolability of foreign diplomats.
As many legal scholars have pointed out, a diplomats behaviour in his host country is best
described by the Arabic proverb, ‫( يييا غييريب خليييك أديب‬ya ghareeb, khalleek adeeb) – O stranger, be thou
courteous.


Kasus itu merupakan yang paling akhir melibatkan perlakuan tak manusiawi terhadap para pembantu rumah
tangga oleh keluarga-keluarga kaya asal India. Banyak pembantu yang dibayar murah dan kelompokkelompok hak asasi manusia sering melaporkan kasus-kasus pemukulan dan penganiayaan lain, demikian
AFP. Kasus itu merupakan yang paling akhir melibatkan perlakuan tak manusiawi terhadap para pembantu
rumah tangga oleh keluarga-keluarga kaya asal India. Banyak pembantu yang dibayar murah dan kelompokkelompok hak asasi manusia sering melaporkan kasus-kasus pemukulan dan penganiayaan lain, demikian
AFP.
Pada saat ini HAM telah menjadi issue global, yang tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk
di Indonesia. Konsep dan implementasi HAM di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian
sesungguhnya sifat dan hakikat HAM itu sama. Dalam hal ini, ada tiga konsep dan model pelaksanaan HAM
di dunia yang dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat, Komunis-Sosialis dan ajaran
Islam.
Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel
dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan
pelanggaran HAM itu sendiri. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan
perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22