Pelanggaran HAM Terhadap Wanita Dalam Ko

BAB I
PENDAHULUAN
By : Muhammad Irsan

A. Latar Belakang
Hubungan antara perang dan kekerasan di dalam konflik adalah bersifat
kompleks dan dinamis. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bisa disebabkan
oleh sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari sebuah konflik.1 Oleh
karenanya sangatlah kecil kemungkinan dalam sebuah konflik tidak terjadinya
pelanggaran terhadap HAM, baik terhadap wanita maupun anak-anak. Salah satu
kisah yang memilukan datang dari masa setelah perang dunia ke-dua, di mana
banyak wanita-wanita Eropa yang mengalami perkosaan selama masa perang
dunia ke-dua yang dilakukan oleh tentara Jerman, yang dikenal dengan NAZI
pada saat itu. Hal ini tidaklah seburuk atas apa yang diterima oleh wanita-wanita
Jerman terhadap perbuatan pemerkosaan sistematis dan perbudakan seksual yang
dilakukan oleh tentara Rusia pada saat Rusia menyerbu Jerman, terutama dalam
operasi penaklukan Berlin.
Perkosaan sistematis yang dilakukan oleh tentara Rusia ini adalah sebagai
pesan terhadap Jerman atas apa yang telah mereka lakukan kepada Rusia selama
perang dunia ke-dua.2 Oleh karena itu, banyak wanita-wanita Jerman yang
melarikan diri dari Berlin menuju kota Jerman lainnya, bahkan negara tetangga

agar terhindar dari perkosaan yang dilakukan oleh tentara Rusia pada saat itu.
Kenyataan pahit yang harus diterima adalah,

perempuan merupakan korban

utama dalam setiap konflik dimana terjadinya pelanggaran terhadap HAM.
Oleh karena itu, untuk mencegah segala jenis pelanggaran HAM dan
diskriminasi terhadap hak asasi manusia, di dalam hukum internasional, dikenal 8
instrumen yang mengatur persoalan mengenai hak asasi, antara lain ; 1) Universal
1

Chandra Lekha Sriram, Olga Martin Ortega, Johanda Herman, War, Conflict,
and Human Rights : Theory and Practice, New York, Routledge, 2010, Hal. 3.
2
Lihat : Video Dokumentasi, World War Two : The Apocalypse, National
Geographic.

Page | 1

Declaration of Human Rights (UHDR), 2) Convention on the Elimination of All

Forms of Racial Discrimination (CERD), 3) International Convenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), 4) International Convenant on Economic, Social, and
Cultural Rights (ICESCR), 5) Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Woman (CEDAW), 6) Covention Against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT), 7)
Convention on the Rights of the Child (CRC), 8) International Convention on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
(ICRMW).
Instrumen yang mengatur perlindungan terhadap wanita dari pelanggaran
HAM dan diskriminasi adalah Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Woman (CEDAW), ditetapkan dan dibuka untuk
ditandatangani, diratifikasi dan disetujui oleh Resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 34/180 pada 18 Desember 1979, dan mulai
berlaku pada 3 September 1981, sesuai dengan isi dalam pasal 27. 3 Perjanjian
internasional ini khusus mengatur mengenai larangan diskriminasi terhadap
perempuan dalam menciptakan konsep keadilan pada kesetaraan gender.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Hak Asasi Manusia dan apa itu pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia?

2. Bagaimana pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia?
3. Apa itu kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan perkosaan sistematis?
4. Mengapa kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan perkosaan sistematis
selalu terjadi ketika adanya konflik?
5. Mengapa wanita selalu menjadi pihak yang paling dirugikan ketika
terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia?

3

Lihat : Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Woman (CEDAW).

Page | 2

C. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan kepada pembaca pengertian Hak Asasi Manusia dan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
2. Menguraikan secara singkat mengenai landasan yuridis mengenai Hak
Asasi Manusia yang terdapat di Indonesia.
3. Menjelaskan kepada pembaca pengertian kekerasan seksual, perbudakan

seksual, dan perkosaan sistematis.
4. Menguraikan secara singkat mengapa kekerasan seksual, perbudakan
seksual, dan perkosaan sistematis cinderung terjadi saat adanya konflik.
5. Menjelaskan kepada pembaca alasan mengapa wanita selalu menjadi pihak
yang dirugikan pada saat terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Page | 3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran Terhadap Hak Asasi
Manusia
Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights selanjutnya akan disebut
UDHR, menyebutkan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Pasal 2 UDHR
menyebutkan setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal

mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan
lain.
Dapat disimpulkan, bahwasannya hak asasi manusia selanjutnya disebut
HAM, adalah hak-hak dasar yang melekat dalam setiap diri manusia, hak-hak
dasar tersebut merupakan hak yang diberikan oleh Tuhan, hak tersebut merupakan
harkat dan martabat setiap diri manusia yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun,
dengan alasan apapun, dan dalam keadaan apapun.
Konsep negara rechtstaat yang dikemukakan oleh F. J Stahl dan konsep
negara rule of law yang dikemukakan oleh A. V Dicey memiliki konsep
perlindungan terhadap HAM. Oleh karenya, tidak ada satupun negara di dunia, di
mana konstitusi nya tidak menjamin perlindungan HAM untuk warganya. Hal ini
dapat dilihat di dalam konsideran UDHR yang bertuliskan, “Menimbang bahwa
bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sekali lagi telah menyatakan di
dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa kepercayaan mereka akan hak-hak
dasar manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang

Page | 4

sama dari pria maupun wanita, dan telah bertekad untuk menggalakkan kemajuan
sosial dan taraf hidup yang lebih baik di dalam kemerdekaan yang lebih luas.”4

Menurut UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM menyebutkan
pengertian pelanggaran terhadap HAM adalah, setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk juga aparat negara, yang baik disengaja maupun tidak
disengaja

atau

kelalaian

yang

secara

hukum

mengurangi,

membatasi,

menghalangi, dan mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang

yang dijamin UU dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang benar dan adil, yang didasarkan pada mekanisme
hukum yang berlaku. Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
membagi kejahatan HAM berat menjadi 2, yaitu ; 1) Kejahatan genosida, dan 2)
Kejahatan terhadap kemanusian. Kejahatan genosida dalam pasal 8 UU No. 26
Tahun 2000 menyebutkan apa-apa saja yang dikatakan sebagai kejahatan
genosida, antara lain ;
a. Membunuh anggota kelompok.
b. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok.
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok, atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 menyebutkan perbuatan apa-apa saja yang
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusian, antara lain ;
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
4

Lihat : Konsideran Universal Declaration of Human Rights.

Page | 5

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang di
dasari alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan apartheid;
Jadi, dapat dipahami bahwa pembahasan selanjutnya di dalam makalah ini

adalah mengenai kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan perkosaan sistematis
yang merupakan kejahatan HAM berat yang diklasifikasikan sebagai kejahatan
terhadap kemanusian.

B. Pengaturan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia
Hak Asasi Manusia di Indonesia dijamin keberlangsungannya oleh UUD
NRI 1945, tepatnya dari pasal 28A sampai pasal 28J. Perlidungan terhadap HAM
ini tercermin dalam pembukaan UUD yang menjiwai keseluruhan pasal yang ada
di dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan hak setiap warga
negara, baik itu di dalam hukum dan pemerintahan, hak yang sama dalam
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak dalam memeluk agama
dan kepercayaan, hak dalam memperoleh pendidikan, serta hak dalam
mengeluarkan pendapat lisan dan tulisan.
Untuk melaksanakan pembukaan dari UUD NRI 1945 tersebut, MPR
mengeluarkan suatu ketetapan yaitu TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
HAM yang isinya memberikan tugas kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan

Page | 6

aparatur negara untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan

pemahaman tentang HAM kepada seluruh masyarakat, serta meratifikasi berbagai
instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HAM selama tidak bertentangan
dengan pancasila.
Untuk mencapai tujuan yang dicita-cita di dalam dua sumber hukum
diatas, maka pemerintah merasa perlu mengeluarkan suatu undang-undang
sebagai aturan pelaksana dalam perlindungan HAM, maka pada tanggal 23
September 1999, presiden Indonesia, B. J Habibie mengeluarkan UU No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.5
Selanjutnya dalam pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, menyebutkan : “Untuk mengadili pelanggar HAM yang berat dibentuk
pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum.”6
Pasal inilah yang menjadi dasar pemerintah dalam menyusun suatu
undang-undang untuk mengatur peradilan bagi pelanggar HAM berat. Maka pada
tanggal 23 November tahun 2000, pemerintah Indonesia mengeluarkan satu
undang-undang yang mengatur masalah peradilan bagi pelanggar HAM berat,
yaitu UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

C. Kekerasan Seksual, Perbudakan Seksual, dan Perkosaan Sistematis
Sebuah kisah dari wanita muda berumur tujuh belas tahun bernama
Mirsada, seorang wanita berkulit putih pucat, berambut cokelat, setengah Kroasia,

dan seorang Muslim menceritakan pengalaman pahit semasa konflik di
Yugoslavia (Sekarang sudah terpecah menjadi Serbia, Kroasia, dan Bosnia).
Bersama ibunya dan dua orang wanita di lantai dasar balai kota di kota asalnya,
Teslic, di bagian utara-tengah Bosnia. Orang yang menahannya, pasukan BosniaSerbia (bukan militer), memperkosanya dan wanita lainnya dan memaksa mereka
untuk melakukan seks dengan pasukan Bosnia-Serbia (bukan militer) yang berada
5

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia, Dan Penegakan
Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2001, Hal. 137.
6
Ibid, Hal. 138.

Page | 7

di sekitar area. Dia dan ibunya masing-masing melihat salah satunya diperkosa
oleh banyak orang sebanyak tiga kali sehari, setiap hari, selama empat bulan.
Mirsada dilepaskan hanya ketika dia terlihat mengandung, dan pemerkosanya
berkata, “Pergi besarkan anak-anak Serbia kita”.7
Perkosaan sebagai barang rampasan dalam pertempuran bisa ditemukan
disepanjang sejarah. Dewasa ini perkosaan dan jenis kejahatan seksual lainnya
telah menjadi sebuah strategi atas perang dan teror. Selama berabad-abad, praktek
merebut perempuan sebagai rampasan perang, hampir tidak berbeda dari ternak
dan jagung, mungkin telah digantikan oleh munculnya tradisi Judeo-Kristian dan
perkembangan hukum dalam perang di Barat, tetapi hukum-hukum tersebut
memiliki dampak yang kurang pada penerimaan masyarakat terhadap konsepsi
bahwasannya perkosaan adalah sesuatu yang alami, dan terjadi pada saat ketika
pria mengambil senjata untuk pertempuran. Dunia tidak mau tahu, pada dasarnya
mengatakan bahwa pemerkosaan adalah bagian tak terhindarkan dari medan
perang, yang menyebabkan cerita-cerita dari Bosnia akan dipandang sebagai hal
yang biasa-biasa saja oleh masyarakat Barat (yang telah dikelirukan oleh perang
itu sendiri) dan dihentikan oleh politisi di Barat.
Perkosaan telah dipandang sebagai sebuah kejahatan perang selama
berabad-abad, dan pelakunya dapat dihukum. Pada tahun 1474, Sir Peter von
Hagenbach dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer internasional atas tuntutan
perkosaan selama okupasi militer. Dia ditunjuk oleh Duke Charles untuk
memerintah kota Austria, Breisach, and alat-alat brutalnya untuk menaklukkan
sebuah kota termasuk menjarah, membunuh, dan memperkosa.8
Kisah perbudakan seksual juga tidak kalah memilukan, dimana sejarah
kelam ini menimpa seorang wanita muslim Bosnia, di kota Foca selama tahun
1992 sampai 1993. Pada Juli 1992, bersama sekitar 72 wanita muslim, dia ditahan
di Sekolah Menengah Atas di Foca. Untuk beberapa waktu, dia diperkosa setiap
7

Thom Shanker di dalam buku Crimes Of War : What The Public Should Know
Revised And Updated Edition (Edited by Roy Gutman, David Rief And Anthony
Dworkin), New York, WW Norton, Hal. 369.
8
Ibid.

Page | 8

malam oleh seorang prajurit atau lebih. Penyerangan berlanjut setelah dia
dipindahkan dari Sekolah Menengah Atas Foca ke Aula Olahraga Partizan.
Setelah itu, dia dibawa ke sebuah rumah dimana dia melayani mereka sebagai
pelacur militer Serbia, dia juga menjadi budak sama seperti budak seks, dia
mencuci, dan membersihkan baju untuk prajurit-prajurit yang memperkosanya.
Berdasarkan dakwaan, penahannya bahkan menjualnya untuk 500 deutsche
kepada dua prajurit dari Montenegro.9
Perkosaan sistematis juga tidak dapat dihindari selama terjadinya suatu
konflik, perkosaan sistematis erat kaitannya dengan kekerasan seksual dan
perbudakan seksual. Meskipun frasa “perkosaan sistematis” secara luas dan benar
digunakan untuk mendeskripsikan beberapa bagian dari kekerasan seksual yang
dilakukan terhadap wanita selama perang di Bosnia-Herzegovina, tidak ada
kejahatan spesifik dari perkosaan sistematis di dalam hukum internasional. Akan
tetapi membuktikan bahwa perkosaan itu dilakukan secara sistematis adalah
penting untuk menetapkan bahwasannya itu merupakan kejahatan terhadap
kemanusian.10
Menurut Alexandra Stiglmayer, untuk dinyatakan bersalah atas perkosaan
sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusian, tidaklah perlu membuktikan
bahwa perkosaan itu dilakukan secara sistematis, akan tetapi melihat dari
penyerangan yang sistematis, dan perkosaan termasuk sebagai salah satu aksi dari
penyerangan itu.
Oleh karena itu, kekerasan seksual yang terjadi semasa konflik merupakan
hal yang tidak dapat dihindari lagi. Di dalam hal ini, posisi wanita selalu
dirugikan atas konflik yang tidak diinginkan terjadi oleh banyak pihak. Kekerasan
seksual yang dilakukan kepada wanita merupakan suatu strategi dalam
menjatuhkan mental lawan, dan memberikan dampak moral yang sangat berat
9

George Rodrigue, di dalam buku Crimes Of War : What The Public Should
Know Revised And Updated Edition (Edited by Roy Gutman, David Rief And
Anthony Dworkin), New York, WW Norton, Hal. 373.
10
Alexandra Stiglmayer, di dalam buku Crimes Of War : What The Public
Should Know Revised And Updated Edition (Edited by Roy Gutman, David Rief
And Anthony Dworkin), New York, WW Norton, Hal. 376.

Page | 9

bagi korban. Disisi lain, kekerasan seksual yang dilakukan digunakan sebagai alat
untuk meningkatkan moral pasukan. Mirisnya, hal ini sesuai atas apa yang
menimpa wanita-wanita Jerman semasa perang dunia ke-dua. Dimana pasukan
Rusia memperkosa dalam perjalanannya menyebrangi Prussia dan sampai masuk
ke Berlin pada hari-hari akhir perang dunia ke-dua.
Pasal 27 Konvensi Jenewa 1949 Tentang Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Perang Yang Terluka Dan Sakit Di Medan Pertempuran menyebutkan
bahwasannya “Wanita haruslah dilindungi dari segala penyerangan terhadap
kehormatannya, secara khusus terhadap perkosaan, prostitusi secara paksa, atau
dari segala jenis penyerangan yang tidak senonoh.” Perkosaan dikategorikan
sebagai kejahatan terhadap kehormatan, marabat, bukanlah kejahatan atas
kekerasan. Maraknya kekerasan seksual yang terjadi semasa konflik terhadap
perempuan karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, dan lebih
mirisnya, beberapa dari mereka menganggap wanita merupakan rampasan perang
yang bisa dikuasai.
Pasal 27 Konvensi Jenewa 1949 berlaku terhadap konflik-konflik
internasional yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, masih sangat banyak
pertanyaan-pertanyaan dan perdebatan yang belum terjawab mengenai kekerasankekerasan seksual yang terjadi setelah pasal 27 Konvensi Jenewa 1949 berlaku.
Kehadiran pengadilan yang menangani permasalahan HAM internasional disini
akan menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan menyeret setiap pelaku kejahatan
HAM berat untuk diadili, pengadilan internasional yang menangani pelanggaran
HAM berat antara lain seperti, International Criminal Tribunal of Rwanda
(ICTR), International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), dan
International Military Tribual at Nuremberg.
Meskipun begitu, dewasa ini tidak ada satupun negara yang dimana
konstitusinya tidak menjamin hak-hak asasi setiap warganya. Ini dikarenakan, di
dalam piagam PBB, sangatlah menjunjung tinggi persamaan hak-hak asasi
manusia, yang dimana setiap anggotanya wajib memberlakukan penghargaan

Page | 10

terhadap hak-hak asasi warganya karena pengaturan HAM merupakan hal yang
terpenting, bahkan merupakan sebagai syarat konsep negara hukum.

Page | 11

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengakuan terhadap perlindungan HAM dewasa ini merupakan hal yang
terpenting dalam sebuah negara, perlindungan HAM menjadi perhatian yang
sangat penting dewasa ini karena telah banyaknya terjadi pelanggaran HAM di
dunia ini, mulai dari semasa sebelum perang dunia ke-dua dan setelah perang
dunia ke-dua. Dimana waktu itu kita mengenal kata “Holocaust” yang dilakukan
oleh Nazi Jerman, misinya pada waktu itu diberi nama “The Final Solution”.
Sebuah operasi genosida yang dilakukan oleh Hitler terhadap masyarakat yahudi
dunia, dengan memasukkan mereka ke dalam kamp konsentrasi, maupun
dieksekusi dengan cara ditembak. Juga perlakuan tentara Rusia terhadap wanitawanita Jerman, dengan melakukan kekerasan seksual dan perkosaan sistematis
dimana perbuatan itu dibenarkan dengan dalil bahwa perbuatan itu adalah sebuah
strategi perang untuk menjatuhkan moral dan mental rakyat Jerman, dan juga
untuk mengirimkan pesan dendam atas apa yang dilakukan Jerman terhadap Rusia
pada saat itu.
Kita juga sudah bertemu dengan kenyataan pahit yang dialami wanitawanita muslim Bosnia, mereka dibunuh, disiksa, dan diperkosa. Mereka
diperlakukan layaknya rampasan perang, alat pemuas nafsu dan juga sebagai alat
untuk menaikkan moral pasukan Serbia. Ini merupakan sepenggal cerita dari
ribuan wanita yang mengalami hal yang tidak akan terlupakan ini. Pelanggar
HAM berat haruslah dihukum dengan seberat-beratnya. Pengadilan-pengadilan
yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat haruslah diisi oleh hakimhakim yang tidak cacat yuridis, hakim yang memiliki kapasitas dan kredebilitas di
bidang itu, hakim yang mampu menegakkan kebenaran walaupun dalam
menegakkan keadialan itu akan menghadapi berbagai persoalan.

Page | 12

Menceritakan kembali sejarah pelanggaran HAM, berarti membuka
kembali luka lama. Oleh karena itu harus dipastikan adanya solusi yang
ditimbulkan ketika kita kembali membukan luka lama tersebut. Pelaku pelanggar
HAM berat tidak boleh dibiarkan bebas menghirup udara tanpa mendapatkan
hukuman yang setimpal. Hukuman yang seberat-beratnya pantas dijatuhkan
kepada para komandan-komandan, pejabat negara, bahkan pemimpin negara yang
mengetahui terjadinya pelanggaran HAM berat, akan tetapi memilih untuk diam
dan tidak berbuat apa-apa.
Sekelumit cerita mengenai pelanggaran HAM tidak akan ada habisnya,
oleh karena itu mengantisipasi terjadinya pelanggaran HAM bisa dilakukan sejak
dini, generasi muda haruslah diajarkan untuk bekerja sama, menghargai pendapat
orang lain, menerima perbedaan, dan melakukan tindakan non-diskriminasi
terhadap minoritas. Dengan cara ini, potensi untuk memperoleh generasi penguasa
bangsa yang peka terhadap HAM akan sangat besar. Hal ini haruslah dilakukan
secara terus menerus agar kenyataan-kenyataan pahit yang pernah terjadi tidak
akan terulang kembali, dimana di masa depan nantinya kita akan menciptakan
negara adil yang berlandaskan hukum, yang mengakui perlindungan terhadap
HAM sehingga kita akan turut berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang
damai, seperti yang diimpikan oleh setiap individu.

Page | 13

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Chandra Lekha Sriram, dkk. 2010. War, Conflict, And Human Right : Theory And
Practice. New York. Routledge.
Romli Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia, Dan
Penegakan Hukum. Bandung, Mandar Maju.
Roy Gutman, dkk. 2007. Crimes Of War : What Public Should Know (Revised
and Updated Edition). New York. Norton & Company Ltd.

Undang-Undang :
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman
Universal Declaration of Human Right
Sumber Lain :
Video dokumenter, World War Two : The Apocalypse, National Geographic.

Page | 14