BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Citra - Implementasi Deteksi Tepi Citra Manuskrip Kuno Dengan Metode Kombinasi Gradien Prewit Dan Sobel

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Citra
Suatu citra adalah fungsi intensitas dua dimensi f(x,y), dimana x dan y adalah
koordinat spasial dan f pada titik (x,y) merupakan tingkat kecerahan (brightness) suatu
citra pada suatu titik. Suatu citra diperoleh dari penangkapan kekuatan sinar yang
dipantulkan oleh objek. Citra digital tersusun atas sejumlah elemen-elemen, masingmasing memiliki lokasi dan nilai/intensitas tertentu. Elemen-elemen ini disebut
elemen gambar, elemen citra, dan juga piksel yang dinyatakan dalam bilangan bulat.
Tingkat ketajaman atau resolusi warna pada citra digital tergantung pada jumlah ”bit”
yang digunakan oleh komputer untuk merepresentasikan setiap piksel tersebut. Tipe
yang sering digunakan untuk merepresentasikan citra adalah ”8-bit citra” (256 colors
(0 untuk hitam - 255 untuk putih)), tetapi dengan kemajuan teknologi perangkat keras
grafik, kemampuan tampilan citra di komputer hingga 32 bit (232 warna) (Putra,
2010).
Piksel (0,0) terletak pada sudut kiri atas pada citra, indeks x begerak ke kanan
dan indeks y bergerak ke bawah. Konvensi ini dipakai merujuk pada cara penulisan
larik yang digunakan dalam pemrograman komputer. Letak titik

origin pada


koordinat grafik citra dan koordinat pada grafik matematika terdapat perbedaan. Hal
yang berlawanan untuk arah vertikal berlaku pada kenyataan dan juga pada sistem
grafik dalam matematika yang sudah lebih dulu dikenal (Putra, D. 2010).

2.1.1 Citra Analog
Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor televisi,
foto sinar-X, foto yang tercetak dikertas foto, lukisan, pemandangan, hasil CT scan,
gambar-gambar yang terekam pada pita kaset dan lain-lain sebagainya. Citra analog
adalah citra

Universitas Sumatera Utara

yang terdiri dari sinyal-sinyal frekuensi elektromagnetis yang belum dibedakan
sehingga pada umumnya tidak dapat ditentukan ukurannya. Citra analog tidak dapat
direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak dapat diproses pada

komputer

secara langsung. Oleh sebab itu, agar citra ini dapat diproses pada komputer, proses
konversi analog ke digital harus dilakukan terlebih dahulu (Sutojo. 2009).

Citra analog dihasilkan dari alat-alat analog, video kamera analog, kamera foto
analog, Web Cam, CT scan, sensor ultrasound pada system USG dan lain-lain .
Hampir semua kejadian alam boleh diwakili sebagai perwakilan analog seperti bunyi,
cahaya, air, elektrik, angin dan sebagainya (Munir, 2004).

2.1.2 Citra Digital
Citra digital adalah citra yang terdiri dari sinyal–sinyal frekuensi elektromagnetis yang
sudah di-sampling sehingga dapat ditentukan ukuran titik gambar tersebut yang pada
umumnya disebut piksel. Untuk menyatakan citra (image) secara matematis, dapat
didefinisikan fungsi f (x,y) di mana x dan y menyatakan suatu posisi dalam koordinat
dua dimensi dan nilai f pada titik (x,y) adalah nilai yang menunjukkan warna citra
pada titik tersebut. Contoh indeks baris dan kolom (x,y) dari sebuah piksel dinyatakan
dalam bilangan bulat. Piksel (0,0) terletak pada sudut kiri atas pada citra, indeks x
bergerak ke kanan dan indeks y bergerak ke bawah (Munir, 2004).
Sebuah citra digital dapat mewakili oleh sebuah matriks yang terdiri dari M
kolom N baris, dimana perpotongan antara kolom dan baris disebut piksel (piksel =
picture element), yaitu elemen terkecil dari sebuah citra. Piksel mempunyai dua
parameter, yaitu koordinat dan intensitas atau warna. Nilai yang terdapat pada
koordinat (x,y) adalah f(x,y), yaitu besar intensitas atau warna dari piksel di titik itu.
Oleh sebab itu, sebuah citra digital dapat ditulis dalam bentuk matriks berikut :

𝑓𝑓(0,0)
𝑓𝑓(0,1)

𝑓𝑓(1,0)


f(x,y)=�



𝑓𝑓(𝑁𝑁 − 1,0) 𝑓𝑓(𝑁𝑁 − 1,1) ⋯

𝑓𝑓(0, 𝑀𝑀 − 1)
𝑓𝑓(1, 𝑀𝑀 − 1)
�(2.10)

𝑓𝑓(𝑁𝑁 − 1, 𝑀𝑀 − 1)

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan gambaran tersebut, secara matematis citra digital dapat dituliskan
sebagai fungsi f (x,y), dimana harga x (baris) dan y (kolom) merupakan koordinat
posisi dan f (x,y) adalah nilai fungsi pada setiap titik (x,y) yang menyatakan besar
intensitas citra atau tingkat keabuan atau warna dari piksel di titik tersebut (Sutoyo, et
al. 2009).
Berikut ini pada Gambar 2.1 nilai piksel dari citra objek manusia.

Nilai Intesitas Piksel
Gambar 2.1 Nilai piksel dari citra objek manusia (Robin, 2015)

2.2 Format File Citra
Sebuah format citra harus dapat menyatukan kualitas citra, ukuran file dan
kompatibilitas dengan berbagai aplikasi. Saat ini tersedia banyak format grafik dan
format baru tersebut yang sudah dikembangkan, diantaranya yang terkenal adalah
BMP, JPEG, dan GIF. Setiap program pengolahan citra biasanya memiliki format
citra tersendiri. Format dan metode dari suatu citra yang baik juga sangat bergantung
pada jenis citranya. Setiap format file citra memiliki kelebihan dan kekurangan masing
– masing dalam hal citra yang disimpan. Citra tertentu dapat disimpan dengan baik
(dalam arti ukuran file lebih kecil dan kualitas gambar tidak berubah) pada format file
citra tertentu, apabila disimpan pada format lain kadang kala dapat menyebabkan

ukuran file menjadi lebih besar dari aslinya dan kualitas citra dapat menurun oleh
karena itu, untuk menyimpan suatu citra harus diperhatikan citra dan format file citra
apa yang sesuai. Misalnya format citra GIF sangat tidak cocok untuk citra fotografi
karena biasanya citra fotografi kaya akan warna, sedangkan format GIF hanya
mendukung sejumlah warna sebanyak 256 (8 bit) saja. Format JPEG merupakan

Universitas Sumatera Utara

pilihan yang tepat untuk citra-citra fotografi karena JPEG sangat cocok untuk citra
dengan perubahan warna yang halus (Gonzales, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.2.1 Format Data Bitmap
Pada format bitmap, citra disimpan sebagai suatu matriks di mana masing – masing
elemennya digunakan untuk menyimpan informasi warna untuk setiap piksel. Jumlah
warna yang dapat disimpan ditentukan dengan satuan bit-per-piksel. Semakin besar
ukuran bit-per-piksel dari suatu bitmap, semakin banyak pula jumlah warna yang
dapat disimpan. Format bitmap ini cocok digunakan untuk menyimpan citra digital
yang memiliki banyak variasi dalam bentuk maupun warnanya, seperti foto, lukisan,

dan frame video. Format file yang menggunakan format bitmap ini antara lain adalah
BMP, DIB, PCX, GIF, dan JPG. Format yang menjadi standar dalam system operasi
Microsoft Windows adalah format bitmap BMP atau DIB (Gonzales, 2003).
Karakteristik lain dari bitmap yang juga penting adalah jumlah warna yang
dapat disimpan dalam bitmap tersebut. Ini ditentukan oleh banyaknya bit yang
digunakan untuk menyimpan setiap titik dari bitmap yang menggunakan satuan bpp
(bit per piksel). Dalam Windows dikenal bitmap dengan 1, 4, 8, 16, dan 24 bit per
piksel. Jumlah warna maksimum yang dapat disimpan dalam suatu bitmap adalah
n

sebanyak 2 , dimana n adalah banyaknya bit yang digunakan untuk menyimpan satu
titik dari bitmap (Hamzah, A. 2001).
Berikut ini tabel yang menunjukkan hubungan antara banyaknya bit per piksel
dengan jumlah warna maksimum yang dapat disimpan dalam bitmap, dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Hubungan antara bit per pikseldenganjumlah warna maksimum pada bitmap
No
Jumlah bit per piksel
Jumlah warna maksimum
1


1

2

2

4

16

3

8

256

4

16


65536

5

24

16777216

Adapun struktur file bitmap adalah seperti pada tabel 2.2 di belakang.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 BMP FileHeader
Offset

Size


Name

Description

0

2

BfType

ASCII”BM”

2

4

BfSize

Size of file(in bytes)


6

2

BfReservedl

Zero

8

2

BfReservedl

Zero

10

4


BfOffBits

Byte offset in file where image begins

14

4

BiSize

Size of this header (40 bytes)

18

4

BiWidth

Image width in pixels

22

4

BiHeight

Image height in pixels

26

2

BiPlanes

Number of image planes, must be 1

28

2

BiBitCount

Bits per pixel: 1,4,8 or 24

30

4

biCompression

Compression type

Keterangan:
Offset didefinisikan byte ke (yang dimulai dari angka 0), sedangkan size
merupakan ukuran dari panjang byte. Dimana dengan byte ke – 0 ukuran panjang 2
byte dispesifikasikan dengan nama tipe file yang diindikasikan berupa kode ASCII
“BM”. Pada byte ke- 2 dengan ukuran panjang 4 byte, nama spesifikasinya bitmap
filesize yang berupa ukuran dari file dalam bentuk bytes.Untuk byte ke – 6 dan 8 yang
ukurannya 2 byte berupa field cadangan di set 0. Pada byte ke – 10 ukurannya 4 byte
yang merupakan spesifikasi dari struktur bitmap fileheader ke bit bitmap, dimana file
gambar dimulai pada tahap ini. Byte ke – 14, panjangnya 4 byte dengan spesifikasi
nama bitmap size yang mempunyai ukuran header 40 bytes. Byte ke – 18 dengan
panjang 4 bytes merupakan lebar gambar dalam satuan pixel, serta byte ke 22 dengan
panjang 4 bytes merupakan tinggi gambar dalam satuan pixel. Untuk byte ke – 26
dengan panjang 2 bytes merupakan bitmap planes dengan sejumlah planes (umumnya
1). Pada byte ke – 28 dengan panjang 2 byte merupakan jumlah bit per pixel : 1, 4, 8,
atau 24. Dan untuk byte ke – 30 dengan panjang 4 byte yang merupakan tipe
kompresi.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Struktur File BMP
Pada 1 – 14 bytes pertama disebut File header yang merupakan tempat penyimpanan
informasi umum tentang file gambar bitmap. Untuk 15 – 54 bytes berikutnya disebut
info header, dimana pada blok ini berisi tentang informasi secara detail tentang
gmabar bitmapnya. Dan pada 55 byte seterusnya berupa data / pixel dan padding yang
merupakan isi dari gambar bitmap layar (Munir, 2004).

2.3 Mode Warna
Menampilkan sebuah citra pada layar monitor diperlukan lebih dari sekedar informasi
tentang letak dari piksel-piksel pembentuk citra. Untuk memperoleh gambar yang
tepat dibutuhkan juga informasi tentang warna yang dipakai untuk menggambarkan
sebuah citra digital. Beberapa mode warna yang sering digunakan adalah:
1. Bitmap mode memerlukan 1 bit data untuk menampilkan warna dan warna yang
dapat ditampilkan hanya warna hitam dan putih (monokrom)
2. Indexed Color Mode, mengurutkan warna dalam jangkauan 0-255 (8 bit)
3. Grayscale Mode, menampilkan citra dalam 256 tingkat keabuan.
4. RGB Mode, menampilkan citra dalam kombinasi 3 warna dasar (Red, Green, Blue)
tiap warna dasar memiliki intensitas warna 0-255 (8 bit)

Universitas Sumatera Utara

5. CMYK Mode, menampilkan citra dalam kombinasi 4 warna dasar (cyan, magenta,
yellow, black) tiap warna dasar memiliki intensitas warna 0-255 (8 bit).
Mode warna RGB menghasilkan warna menggunakan kombinasi dari tiga
warna primer merah, hijau, biru. RGB adalah model warna penambahan, yang berarti
bahwa warna primer dikombinasikan pada jumlah tertentu untuk menghasilkan warna
yang diinginkan. RGB dimulai dengan warna hitam (ketiadaan semua warna) dan
menambahkan merah, hijau, biru terang untuk membuat putih. Kuning diproduksi
dengan mencampurkan merah, hijau; warna cyan dengan mencampurkan hijau dan
biru; warna magenta dari kombinasi merah dan biru. Monitor komputer dan televisi
memakai RGB. Sorotan electron menghasilkan sinyal merah, hijau, biru yang
dikombinasikan untuk menghasilkan berbagai warna yang dilihat pada layar (Munir,
2004). Kombinasi warna RGB dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Kombinasi Warna RGB (Munir, 2004)
Warna campuran (selain dari putih) dihasilkan dengan menambahkan warna
komponen RGB individual dengan berbagai tingkat saturasi, dengan tingkatan mulai
dari 0.0 hingga 1.0 (0 berarti tidak menggunakan warna tersebut; 1 berarti
menggunakan warna tersebut pada saturasi penuh) (Munir, 2004).
Warna didefenisikan dengan memasukkan intensitas untuk setiap komponen
dalam matriks. Tiap komponen memiliki matriksnya sendiri-sendiri dan matriks
tersebut bisa dijumlahkan. Sebagai contoh, untuk menghasilkan merah saturasi
sempurna, masukan (1,0,0) : 100% merah 0% hijau dan 0% biru. Pada saat ketiga

Universitas Sumatera Utara

komponen warna tersebut dikombinasikan dalam 100% saturasi (1,1,1) hasilnya
adalah putih (seperti diperlihatkan berikut):
Hijau (0,1,0) + Biru (0,0,1) = Cyan (0,1,1)
Cyan (0,1,1) + Merah (1,0,0) = Putih (1,1,1)
Warna yang berlawanan satu sama lain dengan model warna RGB disebut
warna pelengkap. Jika dicampurkan, warna pelengkap selalu menghasilkan putih.
Contoh warna pelengkap adalah Cyan dan Merah, Hijau dan Biru, Magenta dan Hijau.
CMYK mengacu ke sistem warna yang terbuat dari cyan, magenta, kuning dan hitam.
Cyan, magenta dan kuning adalah tiga warna primer pada model warna ini dan merah,
hijau, biru adalah model tiga warna sekunder. CMYK memainkan peranan penting
pada grafik komputer umum, terutama pada desktop publishing. Hasil percetakan atau
gambar lainnya pada kertas menggunakan CMYK yang merupakan model warna
pengurangan yaitu pigmen warna menyerap atau menyaring warna putih dan cahaya
yang dipantulkan menentukan warna dari gambar (Munir, 2004) . Kombinasi warna
CMYK dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Kombinasi Warna CMYK (Munir, 2004)
Pencampuran tinta cyan, magenta dan kuning secara seimbang pada kertas
akan menghasilkan warna coklat gelap. Oleh karena itu hitam ditimpahkan kearea
yang gelap untuk memberikan penampilan yang lebih baik (hitam adalah K pada
CMYK). Konversi ini menggunakan hitam untuk mengompensasi mendapatkan
kelakuan nyata dari warna, membuatnya menjadi sangat rumit.
Formula sederhana berikut menterjemahkan model RGB ke model CMY:

Universitas Sumatera Utara

C=1–R
M=1–G
Y=1–B
Formula tersebut hanya merupakan titik awal. Bagaimanapun pada prakteknya
kalibrasi intensif dari piranti dibutuhkan karena pigmen warna khas umumnya tidak
bekerja seperti yang diperkirakan dari perhitungan (Munir, 2004).

2.4 Menghitung Nilai RGB Citra Asli
Menghitung nilai RGB citra asli adalah sama dengan citra penyisip, dimana setiap
pikselnya mengandung 24-bit kandungan warna atau 8-bit untuk masing-masing
warna dasar (R, G, dan B), dengan kisaran nilai kandungan antara 0 (00000000)
sampai 255 (11111111) untuk tiap warna yang dapat ditulis sebagai berikut (Gonzales,
2003).
: RGB (255, 0, 0)

……….………….…………..……………....… (2.1)

Green : RGB (0, 255, 0)

.…………………..………………….....……… (2.2)

: RGB (0, 0, 255)

…..……………….…………………....………. (2.3)

Red

Blue

Dari nilai triplet RGB persamaan (2.1) sampai (2.3) di atas dapat dikonversikan ke
dalam nilai desimal seperti dibawah ini:
Red

: 255*2560 + 0*2561 + 0*2562 = 255 + 0 + 0 = 255 ……………....… (2.4)

Green : 0*2560 + 255*2561 + 0*2562 = 0 + 65,280 + 0 = 65,280 ……….….. (2.5)
Blue

: 0*2560 + 0*2561 + 255*2562 = 0 + 0 + 16,711,680 = 16,711,680.... (2.6)

Rumus dasar mencari nilai RGB citra adalah:
R = COLOR And RGB(255, 0, 0)

….………………………………….….. (2.7)

G = (COLORAnd RGB(0, 255, 0)) / 256

...……..……………………...… (2.8)

B = ((COLORAnd RGB(0, 0, 255)) / 256) / 256 ….……………………..…. (2.9)
Dari persamaan (2.4) sampai (2.6) diatas, rumus RGB pada persamaan (2.7) sampai
(2.9) menjadi:
Nilai R = c and255

………………………………….................................. (2.10)

Nilai G = (c and65,280)/256 ..………………...………………………..….... (2.11)

Universitas Sumatera Utara

Nilai B = ((c and16,711,680)/256)/256 …………………...……………....... (2.12)

2.5 Karakteristik File Citra
Karakteristik file citra ditentukan oleh resolusi (resolution) dan kedalaman bit (bit
depth). Karakteristik-karakteristik ini akan menentukan tawar-menawar antara kualitas
file citra dan jumlah bit yang dibutuhkan untuk menyimpan atau mentransmisikannya .

2.5.1 Image Resolution
Image resolution adalah jumlah piksel per inci (kepadatan piksel per inci) yang
dinyatakan dengan piksel-piksel. Semakin tinggi resolusi citra, maka semakin baik
kualitas citra tersebut, dalam arti bahwa dalam ukuran fisik yang sama, citra dengan
resolusi tinggi akan lebih detil serta jika citra diperbesar maka detil citra masih jelas.
Namun, resolusi yang tinggi akan mengakibatkan jumlah bit yang diperlukan untuk
menyimpan atau mentransmisikannya meningkat (Putra, 2010).
2.5.2 Bit Depth
Bit depth merupakan jumlah bit yang digunakan untuk merepresentasikan tiap piksel.
Bit depth adalah jumlah bit untuk tiap piksel. Semakin banyak jumlah bit yang
digunakan untuk merepresentasikan sebuah piksel, yang berarti semakin tinggi
kedalaman piksel-nya, maka semakin tinggi pula kualitasnya, dengan resiko jumlah
bit yang diperlukan menjadi lebih tinggi (Basuki, 2005).
Dengan 1 byte (8 bit) untuk tiap piksel, diperoleh 28 atau 256 levelintensitas.
Dengan level intensitas sebanyak itu, umumnya mata manusia sudah dapat dipuaskan.
Kedalaman piksel paling rendah terdapat pada binary-value image yang hanya
menggunakan 1 bit untuk tiap piksel, sehingga hanya ada dua kemungkinan bagi tiap
piksel, yaitu 0 (hitam) atau 1 (putih) (Basuki, 2005).
Color resolution merupakan jumlah warna yang dapat ditampilkan pada sebuah
citra. Sedangkan color depth adalah jumlah maksimum warna pada citra berdasarkan

Universitas Sumatera Utara

bit depth dari citra dan layar monitor komputer. Tabel 2.3 berikut menunjukkan
hubungan antara bit depth dan color resolution (Munir, 2014).
Tabel 2.3 Hubungan Antara Kedalaman Warna Dan Resolusi Warna
Kedalaman Warna

Resolusi Warna

Kalkulasi

1 bit
2 bit
3 bit
4 bit
5 bit
6 bit
7 bit
8 bit
16 bit
24 bit
32 bit

2 warna
4 warna
8 warna
16 warna
32 warna
64 warna
128 warna
256 warna
65.536 warna
16.777.216 warna
4.294.967.296 warna

21 (2)
22 (2x2)
23 (2x2x2)
24 (2x2x2x2)
25 (2x2x2x2x2)
26 (2x2x2x2x2x2)
27 (2x2x2x2x2x2x2)
28 (2x2x2x2x2x2x2x2)
216
224
232

2.6 Deteksi Tepi
Tepi citra (edge) adalah perubahan nilai intensitas derajat keabuan yang cepat/tiba-tiba
(besar) dalam jarak yang singkat. Sedangkan deteksi tepi (Edge Detection) pada suatu
citra adalah suatu proses yang menghasilkan tepi-tepi dari obyek-obyek citra.Deteksi
tepi (Edge detection) adalah operasi yang dijalankan untuk mendeteksi garistepi
(edges) yang membatasi dua wilayah citra homogen yang memiliki tingkatkecerahan
yang berbeda (Sutoyo,2009). Deteksi tepi pada suatu citra adalah suatu prosesyang
menghasilkan tepi-tepi dari obyek-obyek citra, tujuannya adalah:
1. Untuk menandai bagian yang menjadi detail citra.
2. Untuk memperbaiki detail dari citra yang kabur, yang terjadi karena error
atauadanya efek dari proses akuisisi citra.
3. Serta untuk mengubah citra 2D menjadi bentuk kurva.

Universitas Sumatera Utara

Suatu titik (x,y) dikatakan sebagai tepi (edge) dari suatu citra bila titik tersebut
mempunyai perbedaan yang tinggi dengan tetangganya. Gambar 2.5 berikut ini
menggambarkan bagaimana tepi suatu citra diperoleh(Sutoyo,2009).

Gambar 2.5.Proses Deteksi Tepi Citra (Sutoyo et al, 2009).
Kemudian pada Gambar 2.6, menjelaskan ada tiga macam tepi yang terdapat di
dalam citra digital

Gambar 2. 6.Model Tepi Satu Citra (Putra, 2010).
Dari gambar 2.6 , dijelaskan ketiganya adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

1. Tepi curam, tepi dengan perubahan intensitas yang tajam. Arah tepi berkisar
90°.
2. Tepi landai, disebut juga tepi lebar, yaitu tepi dengan sudut arah yang kecil.
Tepi landaidapat dianggap terdiri dari sejumlah tepi-tepi lokal yang lokasinya
berdekatan.
3. Tepi yang mengandung derau (noise).
Umumnya tepi yang terdapat pada aplikasi computer vision mengandungderau.
Operasi peningkatan kualitas citra (image enhancement) dapat dilakukanterlebih
dahulu sebelum pendeteksian tepi seperti pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Jenis-jenis Tepi Citra (Putra, 2010).

2.7 Operator Sobel
Proses yang digunakan oleh operator Sobel merupakan proses dari sebuah
konvolusiyang telah di tetapkan terhadap citra yang terdeteksi. Dalam operator Sobel
digunakanmatrik konvolusi 3 X 3 dan susunan piksel-pikselnya di sekitar pixel (x,
y)(Sutoyo et al, 2009).
Matriks konvolusi 3x3 piksel dapat dilihat seperti pada Gambar 2.8.
p1
p8
p7

p2
(x,y)
p6

p3
p4
p5

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.8. MatriksKonvolusi 3 X 3 Sobel (Sutoyo et al, 2009).
P (1,2,3,4,5,6,7,8)= nilai piksel citra
Operator

Sobel

merupakan

pengembangan

operator

Robert

dengan

menggunakan High Pass Filter (HPF) yang diberi satu angka nol penyangga. Operator
ini mengambil prinsip dari fungsi Laplacian dan Gaussian yang dikenal sebagai fungsi
untuk membangkitkan HPF.Kelebihan dari operator Sobel ini adalah kemampuan
untuk mengurangi noise sebelummelakukan perhitungan deteksi tepi.Sehingga besar
Gradien Prewit(G) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Sutoyo,
2009).
Sx = ( p3 + cp4 + p5 ) − ( p1 + cp8 + p7 ) .......................................................... (2.1)
Sy = ( p1 + cp2 + p3 ) - ( p7 + cp6 + p5 ) ............................................................. (2.2)
| G | = √GX2 + GY2 ................................................................................................ (2.3)
Dengan nilai c konstanta bernilai dua, sehingga terbentuk matriks operator Sobel
dapatdigambarkan seperti pada Gambar 2.9.

Sx

-1

0

1

-2

0

2

-1

0

1

Sy

-1

-2

-1

0

0

2

1

2

1

Gambar 2.9. Matriks Operator Sobel (Sutoyo, 2009).
Biasanya operator Sobel menempatkan penekanan atau pembobotan pada
piksel-pikselyang lebih dekat dengan titik pusat jendela, sehingga pengaruh pikselpiksel tetanggaakan berbeda sesuai dengan letaknya terhadap titik dimana Gradien
Prewit dihitung. Darisusunan nilai-nilai pembobotan pada jendela juga terlihat bahwa
perhitungan terhadapGradien Prewit juga merupakan gabungan dari posisi mendatar
dan posisi vertikal.

Universitas Sumatera Utara

Pada Gambar 2.10 terlihat bahwa hasil deteksi tepi berupa tepi-tepi dari suatu
gambar. Bila diperhatikan bahwa tepi suatu gambar terletak pada titik-titik yang
memiliki perbedaan tinggi.

Gambar 2.10 Hasil Deteksi Tepi(Sutoyo, 2009)
Proses deteksi tepi (edge detection) sendiri masing dapat dikelompokkan
berdasarkan operator atau metode yang digunakan dalam proses pendeteksian tepi
suatu citra untuk memperoleh citra hasil.
2.8 Operator Deteksi tepi dengan Gradien Prewit pertama
Mutu kontras gambar yang kurang baik bisamempunyai efek yang bersifat proses
pemerataan atauintegrasi, karena itu dalam proses penajaman ataupeningkatan
kontrasnya digunakan upaya yang bersifatproses diferensiasi. Proses diferensiasi ini
merupakanbentuk turunan yang biasanya diterapkan dalam bentukoperator Gradien
Prewit. (Pujiyono et al, 2009). Untuk citra yang kontinu bentukGradien Prewit-nya
adalah:

Vf= �

𝑑𝑑𝑓𝑓 2
𝑑𝑑𝑑𝑑

+

𝑑𝑑𝑓𝑓 2
𝑑𝑑𝑑𝑑

………………………………………………………………… (2.4)

Teknik deteksi tepi juga sering dilakukan denganmenggabungkan proses
Gradien Prewit digital dengan tekniknilai ambang. Rumusan Gradien Prewit yang
digunakan

dalambentuk

perumusan

Gradien

Prewit

yang

lebih

kompleks

yangkemudian dikenal sebagai detektor Sobel, yang dapatditerangkan dengan
gambaran sebagai berikut(Sutoyo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

........................................ (2.5)

Dengan a, b, c, d, f, g, h, i merupakan nilai-nilaiintensitas piksel tetangga dan
nilai e adalah nilai pikselyang akan digantikan setelah penerapan detektor Sobel.Pada
deteksi tepi dengan Gradien Prewit arah, proses deteksi ini dapat digolongkan pada
prosespenapisan tidak linear. Proses penapisan tidak lineardisini dilakukan dengan
menggunakan tapis linearyang cara operasinya tidak terhadap setiap titik
tetapiterhadap suatu sumbu tertentu, jadi mempunyai arahdalam operasinya. Cara
penapisan tidak linear jugadapat dilakukan berdasarkan estimasi suatu nilaistatistik
pada sekelompok piksel.
Pada deteksi tepi dengan cara geser dan selisih citra, cara ini akan diperoleh
hasil citra dengan tepi yanglebih jelas. Proses penampilan tepi ini dapat
dilakukanmenurut arah yang diingini, bisa hanya dari tepi arahvertikalnya saja atau
tepi arah horisontalnya saja, ataubahkan seluruh tepi dalam kedua arah tersebut.
Pada deteksi tepi dengan Gradien Prewit kedua disebut jugadetektor Laplace.
Bentuk turunan kedua untuk citrayang kontinu adalah sebagai berikut(Sutoyo, 2009).

V2f = �

𝑑𝑑2𝑓𝑓

𝑑𝑑𝑑𝑑 2

+

𝑑𝑑2𝑓𝑓

𝑑𝑑𝑑𝑑 2

……………………………………………………. (2.6)

Dengan demikian operator Laplace akanmempunyai bentuk diskret sebagai berikut:
L(I,j) =G(i-1,j)+G(i+1,j)+G(i,j-1)+G(i,j+1)+4G(i,j)

……………………….. (2.7)

Dari bentuk persamaan diskret citra Laplace di atasdilihat bahwa proses deteksi tepi
dengan operatorLaplace dapat dilakukan dengan kernel(Sutoyo, 2009).

...................................... (2.8)

Universitas Sumatera Utara

Proses penggunaan operator Gradien Prewit dengan menggunakan derivatif
pertamauntuk menemukan tepi dapat dilakukan dengan langkah-langkah :
1.

Penentuan Gradien Prewit citra untuk mengetahui intensitas variasi lokal dengan
melakukan konvolusidengan matriks konvolusi G x dan G y. Matriks konvolusi G x
dan G y diperoleh dari pendekatandiskret derivatif parsial fungsi f( x, y ).

2.

Penentuan matriks konvolusi ditunjukkan dalam hubungan-hubungandari
persamaan-persamaan berikut (Sutoyo, 2009).
𝜕𝜕𝑓𝑓

𝜕𝜕𝑑𝑑

Vf(x,y) = � 𝜕𝜕𝑓𝑓

………………………………………………………………. (2.9)

𝜕𝜕𝜕𝜕

Gradien Prewit Gx diperoleh dari pendekatan diferensial horisontal atau derivatif
parsial terhadap x padafungsi f(x,y):
𝜕𝜕𝑓𝑓 (𝑑𝑑,𝜕𝜕)

= f(x,y) – f(x-1,y) ……………………............................................. (2.10)

𝜕𝜕𝑑𝑑

sehingga diperoleh matriks konvolusiGx=[1 -1]
Gradien Prewit Gy diperoleh dari pendekatan diferensial vertikal atau derivatif parsial
terhadap y padafungsi f(x,y):
𝜕𝜕𝑓𝑓 (𝑑𝑑,𝜕𝜕)
𝜕𝜕𝑑𝑑

= f(x,y) – f(x,y-1)……………………............................................. (2.11)

sehingga diperoleh matriks konvolusi
1

Gy=� �……………………………..……………............................................. (2.12)
−1

Dengan langkah yang sama maka dapat ditentukan matriks konvolusi Gx dan Gy
dengan ukuranyang berbeda, misalnya 2 x 2, 3 x 3, 5 x 5 dan lain seterusnya.
3.

Penentuan magnitude citra sebagai tepi:

Magnitude (Ṽf) = �(

𝜕𝜕𝑓𝑓 2
𝜕𝜕𝑑𝑑

)+(

𝜕𝜕𝑓𝑓 2
𝜕𝜕𝜕𝜕

)=�𝐺𝐺𝑑𝑑 2 + 𝐺𝐺𝜕𝜕 2 ……………………............... (2.13)

Penentuan besar sudut atau arah untuk mengetahui kecenderungan arah tepi lokal:

Arah (Ṽf) = tan-1 (G y/G x )……………………..................................................... (2.14)
𝜕𝜕𝑓𝑓
∁𝜕𝜕
𝜕𝜕𝑓𝑓
𝜕𝜕𝑑𝑑

Ɵ(x,y) = a tan � �…………………….............................................................. (2.15)

Universitas Sumatera Utara

Secara ringkas, penentuan tepi dengan operator Gradien Prewit dapat dilihat pada
Gambar 2.11. (Hidayatno et al, 2010).

Gambar 2.11. Diagram Blok Deteksi Tepi dengan Operator Gradien Prewit
Perhitungan Deteksi tepi menggunakan Gradien Prewit

Intensitas tinggi
vf
Fy
38

66

65

14

35

64

12

15

42

θ

fx

Intensitas rendah

f y= ((38-12)/2 + (66-15)/2 + (66-42)/2)/3
f y= 16
f x = ((65-38)/2 + (64-14)/2 + (42-12)/2)/3
f x = 18
θ = tan -1(16/18)
θ = 0.727 rad
θ = 42 derajat
vf = (162 + 182)1/2
vf = 24

Universitas Sumatera Utara

2.9 Mean Square Error (MSE)
Mean Square Error (MSE)adalah nilai error kuadrat rata-rata antara citra asli dengan
citra manipulasi ( octeville, 2008).
MSE dinyatakan sebagai mean square error yang didefinisikan sebagai :
2

1

𝑁𝑁
MSE = 𝑀𝑀𝑁𝑁 ∑𝑀𝑀
𝑑𝑑 = 1 ∑𝜕𝜕 = 1 �𝑆𝑆𝑑𝑑𝜕𝜕 − 𝐶𝐶𝑑𝑑𝜕𝜕 � ……………………………………….(2.16)

Dimana x dan y adalah koordinat dari gambar, M dan N adalah dimensi dari
gambar, 𝑆𝑆𝑑𝑑𝜕𝜕 menyatakan stego-image dan 𝐶𝐶𝑑𝑑𝜕𝜕 menyatakan cover-image. 𝐶𝐶 2 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑑𝑑
memiliki nilai maksimum dalam gambar, sebagai contoh :
1, 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 − 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑑𝑑𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑑𝑑𝑝𝑝
……………………............………………….(2.17)
𝐶𝐶 2 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑑𝑑 ≤ �
255, 𝑑𝑑𝑝𝑝𝑝𝑝𝑢𝑢 8 𝑑𝑑𝑝𝑝𝑢𝑢

2.10 Penelitian yang Relevan

Berikut ini beberapa penelitian yang berhubungan dengan implementasi deteksi tepi
citra dengan metode kombinasi Gradien Prewit dan Sobel:

TAHUN
2011

Tabel 2.4 Penelitian yang Relevan
JUDUL
PENELITI
HASIL PENELITIAN
Secara umum pelaksanaan
Studi Implementatif
Rinjani et al
pengujian perangkat lunak
Digitalisasi Dan
berlangsung denganlancar,
Restorasi Citra Digital
baik pada saat pengujian uji
Lontar Kuno Bali
algoritma oleh ahli algoritma
maupun saatpengujian uji
lontar oleh ahli lontar Museum
Gedong Kirtya Singaraja.

Universitas Sumatera Utara

2013

Segmentasi Area Teks Kesiman
Aksara Bali pada Citra
Lontar Kuno Bali
Berdasarkan
Peta
Nilai Lacunarity

2011

Pengembangan
Dwiandiyanta,
Aplikasi Deteksi Tepi B. Y.
Citra
Medismenggunakan
Algoritma
Gradien
Prewit

Metode mathematical
morphology dengan operasi
erotion sangat baik
digunakan pada tahap preprocessing untuk menebalkan
bagian aksara bali pada citra
digital lontar kuno bali. Nilai
lacunarity dapat digunakan
secara efektif untuk
mendeteksi area teks aksara
bali pada citra digital lontar
kuno bali.
Hasil operasi deteksi tepi
citra yang dikembangkan
akan mengalami gangguan
yang signifikanapabila
diberikan gangguan noise salt
and pepper, histogram
equalization, dan operasi
penapisan dengan tapis lolos
atas (High Pass Filtering).
Algoritma yang
dikembangkan cukup dapat
bertahanterhadap pengolahan
citra pemberian noise
Gaussian dan penapisan lolos
bawah (Low PassFiltering).

Universitas Sumatera Utara