BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Posmodernisme Dalam Novel Generation X: Tales For Accelerated Culture Dan Bilangan Fu

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Novel merupakan salah satu jenis kesusasteraan yang paling populer dalam masyarakat pada akhir-akhir ini. Secara morfologis, kata kesusasteraan berasal dari dari dua kata yakni su dan sastra lalu mendapat imbuhan ke- dan –an. Kata su berarti bagus atau baik sedangkan sastra berarti tulisan. Oleh karena itu, secara harfiah, kesusasteraan dapat diartikan sebagai tulisan yang baik atau bagus secara keseluruhan, baik dari segi bahasa, bentuk ataupun isi. Wellek dan Austin (1995: 3) juga membuat definisi mengenai sastra yakni sastra adalah suatu kegiatan kreatif. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kesastraan merupakan wujud dari kreativitas manusia dalam ragam bentuk tulisan yang mengandung keindahan.

  Secara konvensional novel selalu didudukkan sebagai karya fiksi. Fiksi selalu dipertentangkan dengan fakta. Akibatnya novel diklaim sebagai karya yang jauh dari kebenaran, lebih-lebih bila dikaitkan dengan persoalan pemikiran, karena novel dianggap hanya merupakan rekaan semata. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sastra bersifat imajinatif. Namun imajinasi bukanlah fantasi, sebab imajinasi bermula dari kenyataan dan menghasilkan sesuatu yang menjadi kemungkinan. Hal ini ditegaskan oleh Tedjoworo (2001: 22) yang menyatakan bahwa fantasi lebih berkaitan dengan daya untuk membayangkan sesuatu, khususnya hal yang tidak real atau hal yang tidak mungkin terjadi. Sedangkan rangkaian peristiwa ataupun hal-hal yang diceritakan pada sebuah novel merupakan representasi dari realita sehingga dekat hubungannya dengan keseharian manusia. Sejalan dengan Sahal (1998:3) menyatakan bahwa garis demarkasi antara fakta dan fiksi, antara ilmu/ filsafat/ laporan jurnalistik dan sastra yang tadinya ditarik secara tegas dan distingtif sekarang pun melumer. Sehingga dapat disarikan bahwa cap fiksi atau sisi imajinatif dalam novel sendiri dapat ditinjau dari sudut pandang sejauh bagaimana seseorang memandang pengertian fiksi tersebut dan sekaligus bagaimana pemahaman pembaca terhadap pengertian fakta.

  Maka dari itu, novel sebagai karya sastra memang ”menyajikan kehidupan” dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra terkadang juga ”meniru” alam dan dunia subjektif manusia itu sendiri. Hal yang paling nyata dari pernyataan tersebut adalah karya sastra yang merupakan cerminan suatu masyarakat yang menggambarkan kehidupan manusia/masyarakat dimana karya tersebut lahir atau muncul. Proses penciptaan karya tersebut tentunya dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat ketika karya sastra tersebut lahir. Dengan kata lain melalui medium bahasa sebagai media, kesusasteraan menyajikan kehidupan manusia sebagai individu yang merupakan bagian dari suatu masyarakat yang mempunyai norma dan nilai-nilai pula (Wellek dan Warren, 1996: 109).

  Sejatinya manusia adalah mahluk yang berkembang secara terus-menerus. Perkembangan tersebut berkembang akibat kodrat manusia itu sendiri yang berpikir, sosialisasi serta bergenerasi. Maka secara bertahap, manusia bergerak secara menyeluruh yang memicu perkembangan pergeseran paradigma pemikiran dan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu baik secara individu maupun secara luas dalam masayarakat. Perkembangan ini tidak saja terlihat secara jelas pada perilaku dan perubahan lain yang ada di masyarakat tersebut namun juga tentunya terekam dan tergambarkan lewat sebuah karya sastra sejak dulu sampai dengan masa sekarang.

  Pada era globalisasi masa sekarang ini, paradigma dan kesadaran pemikiran manusia telah berkembang pesat dan memasuki Pasca Modern atau yang secara umum dikenal dengan istilah posmodernisme. Istilah ini sangat populer dan digunakan dalam berbagai bidang seperti arsitektur, musik, seni rupa, fotografi, fiksi dan lain-lain. Jika ditinjau secara epistemologi, kata posmodernisme berasal dari bahasa inggris dengan kata modern yang mendapat imbuhan post- dan –isme yang sangat menentukan dalam definisi dari kata tersebut. Awalan Post- yang ada pada istilah tersebut merujuk pada beberapa sudut pandang yang berbeda. Hal ini dijelaskan oleh Sugiharto (1996: 24):

  ”Awalan ”post” pada istilah itu pun menimbulkan banyak perdebatan. Apakah ”post ” itu berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan (Lyotard, Gellner): Atau sekadar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan (David Griffin)? Apakah segala hal yang modern itu sedemikian ideologis dan maksiat? Jangan-jangan posmodernisme itu justru bentuk radikal dari kemodernan itu sendiri, yaitu kemodernan yang akhirnya bunuh diri (Baudrillard. Derrida, Foucoult)? Atau justru wajah arif kemodernan yang telah sadar diri (Giddens)? Atau sekadar satu tahap dari proyek modernisme yang belum selesai(Habermas)?”

  Akhiran –isme pada istilah tersebut juga memberikan pengaruh yang cukup krusial pula pada definisi istilah posmodernisme yang merujuk pada sistem pemikiran ataupun ide-ide tertentu yang dalam hal ini tentunya bertentangan dengan ide-ide yang terdapat pada periode sebelumnya yakni modernisme. Singkatnya, istilah posmodernisme dapat didefinisikan sebagai payung terhadap segala bentuk apa pun berupa kritik terhadap modernisme. Penyajian kritik yang dilakukan tentunya dengan menyajikan modernisme dan posmodernisme secara berdampingan. Dengan kata lain, mendiskusikan posmodernisme maka tidak lepas dengan menyandingkannya dengan istilah modernisme Jean-Francois Lyotard merupakan tokoh yang paling populer yang memperkenalkan posmodernisme lewat bukunya yang berjudul The Posmodernisme Condition: A on Knowledge mengemukakan bahwa permainan bahasa (language game)

  Report

  yang tunggal dari ilmu pengetahuan, yaitu denotasi, permainan yang hanya bersifat proposisional, membuat ilmu pengetahuan itu tidak mampu melegitimasikan dirinya sendiri sehingga “terpaksa” menyandarkan dirinya pada “narasi besar” (grand

  ) yang bersifat eksternal untuk memperoleh legitimasi tersebut, yaitu narasi

  narrative

  besar mengenai Roh Spekulatif yang bersifat filosofis dan narasi besar mengenai kemanusiaan, kemerdekaan, emansipasi, keadilan yang bersifat praktis (Lyotard 2009: 31–37). Hal ini sangat menjelaskan posisi Lyotard yang menolak modernisme yang mengusung nilai-nilai universal saja. Menurutnya tidak ada yang nilai universal, segala nilai sama penting posisinya. Suatu nilai sama pentingnya dengan nilai-nilai lainnya.

  Ditegaskan pula oleh Barret (2000: 41) yakni:

  ”sedangkan Modernisme mendukung universal, posmodernisme mengidentifikasi perbedaan. Perbedaan menurut Cornel West, mempunyai kaitan dengan isu ”eksternimisme, kekuasaan, kelas, ras, gender, orientasi sosial, zaman, nasional, alam, lokal”. Menurut West, perbedaan pada budaya politik memiliki tujuan untuk ”membuat variasi dari budaya yang monolitik dan homogen menjadi multikultur dan heterogen; untuk menolak yang abstrak,universal dan umum yang sangat umum, tertentu dan spesifikk, ke historisme, konstektualitas, dan plural dengan menyodorkan ketidak tentuan, profesional, variabel, bersifat sementara, bergeser dan mengubah.”

  Novel sebagai ekspresi kreativitas manusia pun berkembang mengikuti perkembangan peradaban manusia. Periodisasi peradaban manusia pun pada hakikatnya terlihat jelas dengan perbedaan fenomena, tren ataupun peristiwa yang terjadi pada kurun waktu tersebut. Inilah yang menjadi dasar bahwa kesasteraan juga dapat dijadikan sebagai dokumentasi sejarah yang kebenarannya berpadu dengan fiksi sebagai ciri dari kesusateraan. Hal ini ditegaskan pula oleh Wellek dan Austin (1996: 135) :

  ”Memang karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Secara langsung ataupun melalui alusi-alusi dalam karyanya, kadang-kadang pengarang menyatakan bahwa ia menganut aliran filsafat tertentu, mempunyai hubungan dengan filsafat-filsafat tertentu, mempunyai hubungan dengan paham-paham dominan pada zamannya atau paling tidak mengetahu garis besar ajaran paham-paham tersebut”

  Dengan kata lain, periodesasi perkembangan pemikiran manusia pun berjalan linear dengan periodesasi kesasteraan sebagai wujud kreativitas pengarang sebagai reaksi terhadap fenomena, peristiwa, tren dan lain-lain. Hal yang paling menonjol sebagai pembeda dalam periodesasi sastra adalah estetika yang cenderung berubah- ubah tiap-tiap periodenya. Estetika sendiri mempunyai cakupan yang luas diantaranya adalah sebagai salah satu cabang filsafat dan sebagai faktor penentu sebuah karya sastra. Secara epistemologis, estetika berasal dari bahasa Yunani yakni aishteta yang berarti ditanggapi dengan indra lalu berkembang menjadi perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris menjadi esthetics yani studi mengenai keindahan.

  Ratna (2006: 58) mengungkapkan bahwa periodesasi estetika sastra dibagi menjadi lima tahap, sebagai berikut:

  1. Periode klasik, dogmatik atau objektivisme, abad ke 5 SM-abad 18, dengan pelopor Socrates, Plato dan Aristotles.

  2. Periode kritik, relativisme atau subjektivisme, abad ke-18, dengan pelopor Alexander Gottlieb Baumgartent, Immanuel Kant, Gorge Wilhem Friedrich Hegel, Arthur Scjopenhauer, Bernard Bosanquet, Johan Gottlieb Ficthe, Ferdinand Canning ScottSchiller dan Friedrich Wilhem Joseph von Schelling 3. Periode posivitivisme atau ilmiah, abad ke-19, dengan pelopor Gustav

  Theordr Fechner, Friedrich Nietsche, George Santayana, Paul Souriau, Leo Tolstoy dan Herbert Spencer.

  4. Periode modernisme, awal abad ke-20, dengan pelopor Beneditto Crose, Ernest Cassirer, Susanne K. Langer dan Robert Collingwood.

  5. Periode posmodernisme, akhir abad ke-20, dengan pelopor Charles Sanders Peirce, Roman Osipocich Kacobson, Jan Mukarovski, Hans Robert Jauss, Jurij Mikhailovich Lotman, Roland Barthes, Umbertho Eco,

  Jean-Francois Lyotard, Michael Foucoult, Gilles Deleuze dan Felix Guttari, Julia Kristeva dan Jaques Derrida.

  Estetika periode posmodernisme memang berbeda dari periode-periode sebelumnya bahkan sangat mencolok jika dibandingkan dengan estetika modernisme.

  Estetika modernisme lebih mengutamakan pentingnya penggunaan akal sebagai sarana berpikir dalam menjelaskan masalah keindahan dan mengandung narasi-narasi besar atau bersifat universal. Sedangkan estetika posmodernisme menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Bila pengarang- pengarang modernisme mengutamakan universalitas maka pengarang posmodernime lebih kepada identifikasi perbedaan yang ada pada masyarakat dalam karya mereka.

  Selain sebagai estetika, posmodernisme sebagai filsafat juga dikembangkan oleh banyak ahli-ahli tidak hanya Lyotard. Jean Baudrillard merupakan salah seorang ahli filsafat Perancis yang masyhur dalam mengulas posmodernisme dengan kritik- kritiknya mengenai teknologi dan media modern. Ia menolak untuk membedakan antara yang tampak dan pelbagai realitas yang terbaring di belakangnya. Baginya, perbedaan antara penanda dan petanda pada akhirnya telah mengalami kegoncangan.

  Tanda tidak lagi menunjuk pada petanda-petanda dalam pelbagai pengertian yang sebenarnya. Dunia tersusun dari “penanda-penanda mengapung”. Gagasan ini ia jelaskan dalam karyanya Simulacra et Simulation (1981) yang menyajikan konsep posmodernisme kepada dua wujud yakni Hiperrealitas dan Simulakra. Simulakra adalah ruang yang menjadi wadah terjadinya berbagai simulasi yang memicu hiperrealitas dalam masyarakat yakni ketidakmampuan masyarakat untuk membedakan yang mana realitas kenyataan yang terjadi disekeliling mereka dan yang mana yang merupakan simulasi belaka.

  Dalam penelitian ini, karya sastra yang menjadi objek penelitian adalah dua buah novel yang berasal dari dua negara yang terletak pada dunia yang berbeda pula yakni Amerika Serikat dan Indonesia. Tentunya kedua novel ini mengusung kebudayaan yang berbeda pula dalam penyajiannya sebagai latar, penokohan dan lain-lain. Novel yang pertama yakni Generation X: Tales of Accelerated Culture (1991) karangan Douglas Coupland yang merupakan sebuah novel posmodernisme yang sangat populer tidak hanya di Amerika Serikat melainkan secara menyeluruh di Eropa dan novel kedua Bilangan Fu (2008) karya Ayu Utami yang dianggap sebagai novel posmodernisme yang tidak kalah populer di Indonesia.

  Kedua novel ini memiliki estetika posmodernisme karena mengangkat permasalahan-permasalahan sosial masyarakat dengan memberikan kritik secara kritis dan juga mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat yang menyebabkan banyak konflik sosial seperti ketimpangan kelas, kepentingan kapitalisme pada masyarakat, perbedaan pemikiran masyarakat dan lain-lain. Lebih lanjut, keduanya juga menggambarkan fenomena posmodernisme dalam konsep Baudrillard yakni Hiperrealitas dan Simulakra. Kedua konsep Baudrillard ini menjadi salah satu hal yang dikritisi oleh kedua pengarang yakni Coupland dan Ayu pada kebudayaan masyarakat yang merupakan tempat beredarnya kedua novel yakni Amerika Serikat (barat) dan juga Indonesia (timur).

  Pemilihan kedua novel ini sebagai objek penelitian dari novel-novel sejenis dikarenakan kedekatannya dengan kenyataan ataupun realitas yang linear antara masyarakat yang tergambar dalam kedua novel dan masyarakat dalam hal ini merupakan gambaran masyarakat kontemporer pada kedua negara yang menjadi latar kedua novel ini yakni Palm Springs, California serta masyarakat kota dan desa di Indonesia. Kedekatan kedua novel ini pada kenyataan sebenarnya disebabkan karena kedua penulis tersebut memerlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan penelitian sebelum akhirnya menghasilkan karya yang berbentuk novel ini.

  Awalnya Douglas Coupland hanya menulis artikel untuk Vancouver Magazine (sebuah majalah di Kanada) di tahun 1987 mengenai keperhatinannya pada kurangnya kesadaran sesama generasinya terhadap permasalahan sosial masyarakat.

  Lalu di tahun 1988, penerbit Kanada yakni St. Martin Press memberikan dana sebesar $22.500 agar Coupland dapat melakukan penelitian lebih lanjut terhadap permasalahan sosial tersebut yang akan dipublikasikan nanatinya dalam bentuk buku.

  Coupland pun memulai penelitiannya dan pindah ke Amerika. Penelitian tersebut dilakukan di beberapa tempat di California yakni di Mojave desert dan Setelah melakukan penelitian selama beberapa saat, Coupland memutuskan untuk merubah bentuk penelitiannya tersebut dengan menjadikannya sebagai novel dan selang tiga tahun kemudian yakni pada tahun 1991, novel tersebut perdana diterbitkan oleh St. Martin Press di Amerika Serikat dan Kanda lalu lambat laun tersebar menuju Eropa.

  Walaupun berbentuk fiksi, namun karya Coupland ini sangat dekat sekali dengan realitas seperti latar tempat yang digunakan dalam novel ini adalah tempat- tempat yang memang ada di California (Amerika Serikat) yakni Palm Springs, Van Couver (Kanada) dan juga Tokyo (Jepang) lalu penggambaran fenomena sosial di tempat yang menjadi latar tempat utama (Palm Springs) yang kebayakan penduduknya merupakan kaum muda yang pemberontak dengan kehidupan bebasnya yang terbukti dengan adanya persentase sebanyak 33% dari penduduk Palm Springs diidentifikasi sebagai kaum homo seksual dan penyuka sesama jenis serta menjadi salah satu kota di Amerika Serikat dengan penyebaran virus HIV AIDS terbanyak karena kebebasan orientasi seksual Hal ini merupakan penggambaran masyarakat Amerika Serikat yang posmodernisme yang menolak pemikiran modern.

  Selain itu, terdapat pula banyak istilah-istilah yang dirangkum oleh Coupland dan didefinisikannya dalam novel ini. Istilah-istilah ini merupakan istilah yang sudah beredar di kalangan masyarakat dan ketika Coupland melakukan penelitian pada masyarakat yang dalam hal ini masyarakat Palm Springs, California, ia pun merangkum kembali dan merumuskan kembali istilah-istilah ini dengan memasukkannya dalam novel ini. Karena itulah, semenjak novel ini diterbitkan, istilah-istilah tersebut semakin dikenal secara merata di seluruh Kanada dan Amerika Serikat bahkan sekarang merata di seluruh Eropa. Istilah-istilah tersebut diantaranya, adalah sebagai berikut:

  1.“Mcjob: a low pay, low prestige, low dignity, low benefit, no future job in the

  service sector. Frequently considered as a satisfying career choice by people who never have one.” (hal. 5)

  “Mcjob yang berarti pekerjaan dengan gaji murah, bermartabat rendah, keuntungan yang minim, pekerjaan yang dianggap tidak memiliki masa depan dalam sektor Pelayanan. Lebih sering dianggap sebagai sebuah pilihan karir yang memuaskan bagi orang-orang yang belum pernah bekerja sebelumnya.” (Hal. 5) 2. “Brazillification: The widening gulf between the rich and the poor and the

  ” (hal. 11)

  accompanying dissapearence of the middle classes

  “Brazilifikasi: Melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dan diikuti dengan menghilangknya keberadaan kelas menegah” (hal. 11)

  3.

  “101- ism: the tendency to pick apart, often in minute detail, all aspects of (hal. 85)

  life using half-understood pop psychology as a tool”

  “101-isme: kecenderungan untuk memilih, bahkan dalam 1 menit secara detil, mengenai perihal kehidupan dengan menggunakan pemahaman- tanggung psikologi pop sebagai medianya

  Ketiga istilah di atas hanyalah sekelumit dari banyaknya istilah-istilah yang terdapat dalam masyarakat Palm Springs, California dan dirangkum oleh Coupland di dalam novelnya ini. Selain istilah-istilah, novel Generation X: Tales for Accelerated

  

Culture (selanjutnya disingkat GX:TOAC) juga menggambarkan permasalahan dan

  fenomena masyarakat yang kental dan tersaji apik. Fenomena masyarakat yang hidup dengan kebebasan dan lepas dari tanggung jawab seperti inilah yang dituangkan Coupland dalam novelnya lewat kehidupan tiga anak muda yang menjadi tokoh utama novel ini yakni Andy, Dag dan Claire. Pemberontakan ketiganya pada kondisi permasalahan sosial yang ada di tempat mereka besar dan dilahirkan, tekanan terhadap pekerjaan, persaingan yang sangat sulit, ekspektasi orang tua dan lain-lain, membuat ketiganya melarikan diri dan berkumpul di Palm Springs lalu menetap serta memulai persahabatan mereka. Ketiga tokoh ini digambarkan oleh Coupland sebagai perwakilan dari penggambaran Generation X (Generasi X) yang ada pada masyarakat Amerika Serikat dan Eropa. Semenjak beredarnya novel ini, Coupland dinobatkan sebagai juru bicara dari Generasi X yang kerap kali membahas mengenai hal ini secara aktif di berbagai media baik cetak maupun elektronik.

  Salah satu artikel di media elektronik yakni media Online yang membahas mengenai GX:TOAC ini ditulis oleh Jennifer Jochim berjudul Reality shreds myths (Realita menyisakan mitos mengenai generasi X) yang mewawancarai

  about Gen X

  reaksi beragam orang mengenai istilah generation X yang diperkenalkan oleh novel ini. Diantaranya terdapat tanggapan:

  

"I might fit into Generation X because I sometimes wear grungy

clothing and make the most out of my leisure time but I work just as

hard as many of the Baby Boomers who classify me as a slacker," said

Tara Ray, 24, an office clerk in Carson City.”

   “Saya mungkin sesuai pada generasi X karena saya terkadang mengenakan pakaian yang buruk dan banyak bersenang-senang pada waktu luang tetapi saya bekerja keras seperti generasi baby boomers yang mengelompokkan saya sebagai slacker (pemalas)” Ini merupakan salah satu pernyataan nyata dari pembaca novel tersebut yang dapat diinterpretasikan sebagai pengakuan realitas atas wacana-wacana yang terdapat pada novel GX:TOAC sebagai realitas yang terjadi pada masyarakat Amerika Serikat dan Eropa pada era globalisasi yang mana seperti yang diungkapkan di atas yakni kesenjangan antar generasi (dalam hal ini baby boomers dan Generasi X) dan permasalahan kelas kerja.

  Selain novel GX:TOAC, novel karya penulis Indonesia yakni Ayu Utami yang bertajuk Bilangan Fu juga dipilih menjadi objek penelitian. Hal ini disebabkan dengan alasan yang sama yakni kedekatan dari novel Ayu ini dengan realitas yang ada di masyarakat Indonesia yakni kebudayaan masyarakat kontemporer kota dengan kebudayaan masyarakat desa yang tradisional. Ayu juga melakukan penelitian dan membutuhkan waktu selama empat tahun dalam proses penelitian dan juga pembuatan novel ini. Selain itu, di dalam novel ini juga terdapat beberapa artikel koran nasional yang juga dijadikan Ayu sebagai bagian dari novel ini secara berkesinambungan. Hal ini menunjukkan dekatnya karya ini dengan realitas yang terjadi pada masyarakat karena seperti yang diketahui bahwa artikel-artikel koran tersebut merupakan dokumentasi peristiwa aktual yang terjadi pada masyarakat dalam kurun waktu tertentu.

  Karya-karya Ayu Utami memang cenderung kontroversi karena kelugasan penyampaian penuturan seputar hal sensual yang tidak jarang menggunakan kata-kata yang tergolong agak kasar dan bahkan menggunakan alat kelamin. Hal ini tentunya sangat bertentangan karakteristik sastra ala timur yang santun dengan tata bahasa estetis secara universal. Namun jika ditinjau dari kedekatannya dengan realitas yang ada maka novel ini mempunyai estetika-nya tersendiri yang mana pembaca tidak harus berusaha memahami bahasa ”tinggi” yang digunakan tetapi dapat memahami secara gampang penggunaan bahasa pengarang yang tidak ”berbunga-bunga”. Hal ini mengingatkan bahwa dalam kesusasteraan Indonesia sendiri sempat terjadi penolakan terhadap karya yang mengandung unsur-unsur sensual seperti karya Armijn Pane yang berjudul Belenggu yang bertemakan perselingkuhan yang ditolak beredar oleh Balai Pustaka. Sesuai dengan perkembangan kesusasteraan Indonesia, kecenderungan eksplorasi terhadap sensualitas ”murahan” lalu menjadi marak dengan banyaknya beredarnya ”roman picisan” di kalangan masyarakat pada tahun 1930-an.

  Dengan kata lain, tema mengenai seksualitas bukanlah hal yang baru dalam kesasteraan Indonesia namun tetap saja penggunaan kata vagina, penis¸ air mani dan lain-lain merupakan hal yang terbilang kasar dan vulgar jika ditinjau dari kebudayaan timur Indonesia yang santun. Walaupun kata-kata merupakan istilah dalam dunia kedokteran, namun tetap saja menyebutkan kata-kata tersebut adalah hal yang tabu dan berat diucapkan oleh masyarakat Indonesia yang santun. Apalagi kata- kata tersebut ditemukan dalam karya sastra yakni novel yang biasanya memiliki kesantunan sebagai salah satu nilai tolok ukur estetikanya. Karena itulah, estetika dari karya-karya semacam ini dapat dikatakan estetika terkini dalam khasanah kesusasteraan Indonesia. Karakteristik dari karya-karya semacam ini bukan saja dimiliki oleh Ayu Utami namun juga penulis-penulis lain seperti Djenar Maesa Ayu, Sekar Ayu Asmara, Naning Pranoto dan lain-lain.

  Selain estetika yang digunakan yakni estetika posmodernisme dalam tiap-tiap karya Ayu, novel Bilangan Fu dikelompokkan sebagai novel posmodernisme dikarenakan dalam novel tersebut terdapat identifikasi perbedaan-perbedaan yang ada pada masyarakat Indonesia seperti perbedaan budaya masyarakat kontemporer kota dan desa, upaya penggalian kembali nilai-nilai tradisional, kepentingan kapitalis dalam masyarakat dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan tersebut menimbulkan problematik sendiri dalam masyarakat yang semakin memperluas jurang perbedaan antar masyarakat dalam pengkotak-kotakan kelas.

  Selain hal-hal di atas, kedekatan novel ini pada realitas sebenarnya juga terlihat dari tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam novel ini yang banyak dipengaruhi oleh kisah nyata dari patner mendaki gunung pengarang yang bernama Erick Prasetya yang dikatakan “mengenang kekasih dan sahabatnya”. Sebagaimana dalam cerita Bilangan Fu, sahabat Erick meninggal dunia dari “kecelakaan ganjil” di bukit kapur Citatah. Keterangan ini terdapat pada ucapan terima kasih-nya pada halaman terakhir dari novel Bilangan Fu. Tidak dijelaskan siapa sahabat Erick dan bagaimana detil kejadian “kecelakaan ganjil” oleh Ayu, namun hal ini jelas sangat dekat yang mana Erick Prasetya, sahabat Erick dan kekasihnya merupakan tiga orang yang sesuai dengan jumlah tokoh utama yang ada di novel Bilangan Fu ini yakni Sandhi Yuda, Parang Jati dan Marja. Penggunaan ungkapan “kecelakaan ganjil” merupakan wujud akibat misteri menghilangnya sahabat Erick yang dinyatakan meninggal karena kecelakaan yang terkesan “ganjil” sebagaimana karakter Parang Jati yang menghilang secara misterius setelah dibawa oleh dua perwira TNI teman Yuda dalam novel Bilangan Fu ini.

  Reaksi pembaca novel Bilangan Fu pun sangat beragam sebagai wujud dari kontroversi novel ini. Reaksi terhadap novel ini pun tidak kalah “ramai” di Indonesia.

  Novel ini banyak dijadikan objek kajian ilmiah seperti sosial, psikologis dan lain sebagainya. Di salah satu forum online populer yang membahas mengenai buku-buku berkualitas yang direkomendasi yakniovel Bilangan Fu mempunyai banyak ulasan dan komentar-komentar. Salah satunya adalah Maulida Rabiola, 23 tahun, Jakarta, yang mengatakan bahwa:

  ”Yang diperlukan untuk membaca karya Ayu Utami, selalu, adalah keterbukaan pikiran. Terlebih lagi dengan Bilangan Fu. Namun kritik-kritik Mbak Ayu terhadap Modernisme (atau modernitas), Monoteisme, dan Militerisme--sebagai 'dalang' keserakahan dan superioritas manusia modern terhadap sesama manusia dan lingkungan--sepenuhnya amat .

  thought-provoking

  Dikemas dengan gaya bahasa yang lebih padat dan filosofis dibanding Saman dan Larung, juga dengan banyak analogi dari lakon-lakon pewayangan dan Babad Tanah Jawi, Bilangan Fu menawarkan juga kajian ulang (dan terutama sudut pandang baru) terhadap apa yang selama ini dianggap takhayul. Ketidakpercayaan terhadap takhayul ternyata tak lebih dari superioritas seorang modernis-fasis. Tidak ada suatu hal pun yang dapat dilihat secara hitam ataupun putih. Saya rasa, lewat

  Bilangan Fu, Mbak Ayu sukses menawarkan

  spiritualisme-kritis sebagai cara pandang terbaik bagi seorang posmodernisme. Bagaimana kita mampu membedakan dengan .

  kritis anti

  Bukan menolak kebenaran, melainkan menunda kebenaran. Panggullah kebenaran, sebab kebenaran yang jatuh ke tanah hanya akan mewujud kekuasaan. Inspiratif dan informatif. Saya selalu tidak sabar untuk membaca—dan membaca ulang--setiap tulisan Ayu Utami.” (http:// /book/show/3492825-bilangan-fu) Selain reaksi positif, terdapat pula reaksi negatif terhadap novel ini, diantaranya Jay

  g mengatakan: “Ada beberapa buku yang ketika kita telah selesai membaca, kita merasa beberapa jam dari waktu kita yang berharga sudah dirampok. Buku ini salah satunya. Buku ini dibebani dengan usaha sia-sia penulis untuk membuat kisah yang misterius, sok filosofis, dan kerumitan-kerumitan cerita yang sebenarnya dangkal dan dibuat-buat. Saya sudah coba dengan keras untuk menyelesaikan novel ini, dan syukurlah mampu melewati setengahnya sebelum saya lemparkan ke rak buku tanpa pernah ada niat untuk melanjutkan lagi. Meski begitu, selalu ada sisi positif dari setiap hal. Dari buku ini saya belajar bahwa kita tidak harus (atau "seharusnya tidak?") percaya sepenuhnya pada kata-kata sambutan di buku yang ditulis para"ahli". bilangan-fu)

  Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa GX:TOAC dan Bilangan Fu merupakan novel-novel posmodernisme yang bukan saja bersifat fiksi namun juga sangat dekat dengan realita yang ada pada masyarakat yang memicu reaksi yang berbeda-beda pada masyarakat dimana kedua novel tersebut beredar yakni Amerika Serikat (lalu meluas ke Eropa) dan Indonesia. Dalam penelitian ini, konsep posmodernisme dipandang sebagai sebuah pemikiran yang dianalisis pada kedua novel yang merupakan representasi kehidupan manusia. Konsep posmodernisme yang tergambar kental dalam kedua novel ini terlihat dengan pertentangannya dengan kehidupan modern dan terdapat pula upaya penggalian terhadap nilai-nilai tradisional.

  Selain persamaan bahwa kedua novel ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, peneliti menemukan persamaan-persamaan yang kental pada kedua novel ini, terutama dari segi bentuk dan tema. Dari segi bentuk, kedua novel ini sama-sama memiliki daftar isi yang terdiri dari tiga bagian (part) yang mana masing- masing bagian mempunyai sub-bab yang memiliki judul yang berbeda. Tokoh utama kedua novel ini juga masing-masing tiga orang yang dua diantaranya lelaki dan satu perempuan. Dalam novel GX:TOAC, tokoh utamanya adalah Dag, Andy dan Claire sementara tokoh utama Bilangan Fu yakni Sandhi Yuda, Parang Jati dan Marja.

  Ketiga tokoh yang digambarkan dalam kedua novel ini juga berjalan dari arus berlawanan dengan masyarakat dimana mereka tinggal baik dari pola berpikir maupun nilai-nilai. Keduanya sangat kental berisi mengenai kritik yang detil dan berani mengenai kehidupan masyarakat modern dengan ragam permasalahan dimana

  

GX:TOAC sebagai representasi budaya kontemporer di dunia barat dan Bilangan Fu

di dunia timur.

  Selain persamaan tentu saja terdapat perbedaan pada kedua novel yang menjadi objek dari penelitian ini, perbedaannya terlihat dari hal yang mendasar yakni latar waktu yang cukup jauh antara kedua novel yakni novel GX:TOAC yang berada pada penggambaran masyarakat Amerika Serikat pada latar waktu akhir 1980an- dan awal 1990-an lalu novel Bilangan Fu yang menggambarkan masyarakat tradisional dan juga modern Indonesia pada tahun 2000-an.

  Berangkat dari persamaan dan perbedaan kedua karya sastra yang dalam hal ini adalah novel dari dua negara yang berbeda dan dalam rentang waktu yang berbeda pula, maka penelitian ini menggunakan pendekatan sastra bandingan secara komparatif yang dikaitkan dengan masyarakat sebagai representase dari kebudayaan kontemporer barat dan timur yang ada dalam novel tersebut. Kedua novel yang menjadi objek penelitian memang berasal dari dua negara bahkan benua dan kebudayaan yang berbeda pula yakni barat dan timur. Kajian ini dilakukan karena kesamaan tema, gaya, maupun bentuk pada dua karya sastra yang berasal dari negara yang berbeda terlepas dari kemungkinan adanya pengaruh karya sastra yang suatu karya terhadap karya yang lain. Berdasarkan kurun waktu peredaran kedua novel ini, novel GX:TOAC terlebih dahulu terbit dalam selang waktu yang cukup lama dengan yakni selama 17 tahun. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk

  Bilangan Fu

  melakukan penelitian secara mendalam mengenai posmodernisme pada kedua novel ini dengan menganalisis keduanya secara komparatif dan menggunakan ilmu lain

  (interdisipliner) yakni sosiologi sastra dengan mengaitkan analisisnya dengan masyarakat kedua novel tersebut .

  1. 2 Rumusan Masalah

  Dalam penelitian ini terdapat beberapa rumusan masalah yakni sebagai berikut: 1.

  Bagaimanakah posmodernisme dalam bentuk simulakra dalam novel

  

GX:TOAC karya Douglas Coupland dan Bilangan Fu karya Ayu Utami?

2.

  Bagaimanakah posmodernisme dalam bentuk hiperrealitas dalam novel

  

GX:TOAC karya Douglas Coupland dan Bilangan Fu karya Ayu Utami?

3.

  Bagaimanakah perbandingan posmodernisme dalam bentuk simulakra dan hiperrealitas dalam novel GX:TOAC dan Bilangan Fu?

1.3 Tujuan Penelitian

  Dalam penelitian ini yang menjadi tujuan penelitiannya adalah: 1.

  Mendekripsikan dan menganalisis posmodernisme dalam bentuk hiperrealitas dalam novel GX:TOAC karya Douglas Coupland dan Bilangan Fu karya Ayu Utami.

  2. Mendeskripsikan dan menganalisis posmodernisme dalam bentuk simulakra dalam novel GX:TOAC karya Douglas Coupland dan Bilangan Fu karya Ayu Utami.

  3. Menemukan dan menjelaskan perbedaan posmodernisme dalam bentuk simulakra dalam novel GX:TOAC karya Douglas Coupland dan Bilangan Fu karya Ayu Utami.

1.4 Batasan Masalah

  Sebuah penelitian membutuhkan sebuah batasan yang bertujuan untuk memagari penelitian agar tetap berada pada ranah yang seharusnya. Batasan permasalahan penelitian ini adalah posmodernisme yang dianalisis pada kedua novel yang menjadi objek penelitian yakni GC:TOAC dan Bilangan Fu dengan menggunakan konsep posmodernisme dari Baudrillard yakni simulakra dan hiperrealitas. Kedua konsep posmodernisme dari Bauidrillard tersebut dianalisis secara deskriptif tanpa bermaksud untuk membandingkan keduanya melainkan hanya mengkaji posmodernisme pada kedua novel lalu menganalisis kesinambungannya pada fenomena realitas posmodernisme pada masyarakat kontemporer Amerika Serikat dan juga Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

  Penelitian ini mempunyai dua manfaat yakni manfaat secara praktis dan teoritis. Manfaat teoritisnya adalah untuk memperkaya kajian wacana sastra mengenai posmodernisme dan pengkaitannya dengan fenomena realita yang ada pada masyarakat kontemporer. Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai acuan yang dapat digunakan oleh mahasiswa-mahasiswa lain yang tertarik dengan kajian posmodernisme dalam karya sastra. Kedua novel yang mengusung tema posmodernisme ini memang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut seperti pengkajian deskontruksi, hegemoni, ideologi, Feminisme, Gender, mitos dan lain-lain yang terdapat pada novel GX:TOAC karya Douglas Coupland dan Bilangan Fu oleh Ayu Utami.

  Hasil dari pengkajian kedua novel ini juga diharapkan dapat membuka wawasan pembaca mengenai pentingnya peranan sastra pada kebudayaan masyarakat.

  Sastra berperan bukan hanya sebagai hiburan semata namun dapat juga sebagai propaganda, media penyebaran ideologi, penggambaran fenomena sosial, dokumentasi sejarah dan lain-lain.