BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Reduplikasi Dalam Bahasa Angkola Mandailing

  Bahasa Angkola Mandailing adalah salah satu bahasa daerah yang ada di Sumatera Utara, yang pemakaiannya tersebar di beberapa wilayah kabupaten dan kota, yakni Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padanglawas, Kabupaten Mandailing Natal, dan Kota Padangsidimpuan. Masyarakat penutur bahasa Angkola Mandailing ini dikenal dengan sebutan suku Angkola Mandailing. Jumlah penutur bahasa Angkola Mandailing adalah 1.240.034 jiwa (Sumut dalam Angka, 2008), tidak termasuk penutur bahasa Angkola Mandailing yang berada di daerah lain.

  Selain sebagai alat komunikasi sehari-hari, bahasa Angkola Mandailing berfungsi sebagai identitas atau jati diri bagi masyarakat penuturnya. Di samping itu, bahasa Angkola Mandailing merupakan bahasa pendukung budaya bagi masyarakat Angkola Mandailing yang dipergunakan pada upacara-upacara adat dan berbagai peristiwa penting lainnya.

  Penelitian tentang bahasa Angkola Mandailing memang sudah banyak dilakukan. Namun, masih ada berbagai aspek bahasa Angkola Mandailing yang belum pernah diteliti. Beberapa penelitian mengenai bahasa Angkola Mandailing yang pernah dilakukan, yaitu: ”Semantik dalam Bahasa Angkola Mandailing” oleh Asni Lubis (1987), ”Semantik Bahasa Mandailing” oleh Bahren Umar Siregar (1988), ”Analisis Semantik Bahasa Mandailing” oleh Syarifah Masniari Nasution (2001), ”Kalimat Tanya dalam Bahasa Mandiling: Analisis Sintaksis” oleh Masdiana Lubis

  (2002), ”Tindak Bahasa Permohonan dalam Bahasa Angkola” oleh Mascahaya (2004), ”Proses Afiksasi Bahasa Angkola Mandailing” oleh Irwan (2007), ”Medan Makna Aktivitas Tangan dalam Bahasa Mandailing” oleh Anharuddin Hutasuhut (2008), ”Kata Majemuk Bahasa Batak Angkola Mandailing” oleh Irwan (2009), ”Pola Kalimat Perintah dalam Bahasa Angkola Mandailing” oleh Irwan (2009), dan ”Pemajemukan dalam Bahasa Mandailing” oleh Khairina Nasution (2010).

  Dari studi pustaka yang peneliti lakukan ternyata penelitian mengenai reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing belum pernah dilaksanakan, baik oleh kelompok peneliti maupun peneliti perorangan. Oleh karena itu, penelitian khusus yang menyangkut reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing perlu dilaksanakan untuk lebih melengkapi informasi dan data tentang bahasa tersebut.

  Ada fenomena kebahasaan yang menarik dalam bahasa Angkola Mandailing sehubungan dengan penelitian ini. Salah satunya ialah pembentukan kata ulang melalui bentuk dasar yang diulang melekat makna baru, baik bebas konteks maupun terikat konteks. Bahasa Angkola Mandailing memiliki sistem reduplikasi yang membentuk makna baru atau kemungkinan juga membentuk makna yang lain di samping sistem afiksasi dan pemajemukan. Contoh: kata danak membentuk reduplikasi penuh, danak ‘anak kecil’ → danak-danak ‘anak-anak’, (-dewasa,+ banyak/tidak tunggal) artinya anak yang belum dewasa dan menunjukkan jumlahnya banyak.

  Untuk lebih jelas, perhatikan penggunaan bentuk ulang danak-danak ‘anak- anak’ pada kalimat berikut.

  (1) danak-danak ku marmayam-mayam di alaman bagas.

   anak-anak saya bermain-main di halaman rumah

  ‘anak-anak saya bermain-main di halaman rumah.’ (2) danak-danak ku madung kawin sudena.

   anak-anak saya sudah kawin semuanya.’

  ‘anak-anak saya sudah menikah semuanya.’ Pada kalimat (1) kata danak-danak ‘anak-anak’ dalam kalimat pertama menunjukkan makna yang jelas bahwa anak-anak yang dimaksud belum dewasa, jumlahnya banyak dan tidak tunggal disimbolkan ( - dewasa, + banyak/ tidak tunggal), sehingga makna danak-danak ‘anak-anak’ tidak terikat pada konteks kalimat tersebut yaitu membentuk proses reduplikasi bebas konteks. Sedangkan pada kalimat (2) kata danak-danak ‘anak-anak’ artinya menunjukkan makna yang belum jelas anak yang mana ? bisa lelaki juga bisa wanita, sehingga makna danak-danak ‘anak-anak’ terikat pada konteks ‘menikah’ dengan maksud anak- anak yang sudah dewasa, jumlahnya banyak, tidak tunggal dan sudah menikah disimbolkan (+ dewasa, + banyak/tidak tunggal). Kalimat tersebut membentuk proses reduplikasi terikat konteks.

  Kemudian contoh kedua yang lebih menarik pada kalimat ini adalah kata dasar

  

bujing ‘cantik’ membentuk reduplikasi dua makna yaitu bujing-bujing ‘cantik-cantik’

  dan bujing-bujing ‘gadis-gadis’ dimana dasar reduplikasi ini mengandung unsur makna semantis yaitu suatu kelazim disebutkan yang ‘cantik’ di idiomkan ke seseorang yaitu ‘gadis.’ Sementara lain, kata dasar bujing bermakna ‘tante’ membentuk reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing menjadi bujing-bujing ‘tante-tante’ sebagaimana dalam bahasa Indonesia melainkan makna bujing-bujing adalah ‘gadis-gadis’ maka dapat disimbolkan sebagai berikut: a) bujing ‘cantik’ → bujing-bujing ‘cantik-cantik.’

  b) *bujing ‘gadis’ → bujing-bujing ‘gadis-gadis.’

  c) bujing ‘tante’ → bujing-bujing ‘tante-tante.’ Perhatikan kalimat dibawah ini :

  a) bujing-bujing ‘gadis-gadis’ atau bujing-bujing ‘cantik-cantik.’

  (3) bujing-bujing i hatiha mamutihi bunga i.

  gadis-gadis itu sedang memetiki bunga itu.’

  ‘gadis-gadis sedang memetiki bunga itu.’ (4) Hum ia doma na bujing-bujing anggi ni umak ku.

  cuma dia saja yang gadis-gadis adik part/ni ibu saya

  ‘Cuma dia gadis-gadis adik ibu saya.’ (5) Bujing-bujing ku madung ro sian Jakarta

  tante-tante saya telah datang dari Jakarta

  ‘Tante-tante saya telah datang dari Jakarta.’ (6) Anggi ni umak ku bujing-bujing sude.

  adik part/ni ibu saya cantik-cantik semua.

  ‘Adik ibu saya cantik-cantik semua. Pada kalimat (3) kata bujing-bujing ‘gadis-gadis’ dalam kalimat ketiga menunjukkan makna yang jelas bahwa bujing-bujing ‘gadis-gadis’ yang dimaksud sudah dewasa, jumlahnya banyak/tidak tunggal, belum menikah disimbolkan (+ dewasa, + banyak/tidaktunggal, - menikah), sehingga makna bujing-bujing ‘gadis- gadis’ tidak terikat pada konteks kalimat dan membentuk proses reduplikasi bebas konteks.

  Selanjutnya, pada kalimat (4) kata bujing-bujing ‘gadis-gadis’ artinya menunjukkan makna yang belum jelas, sehingga makna bujing-bujing ‘gadis-gadis’ terikat pada konteks dengan maksud bujing-bujing ‘gadis-gadis’ adalah sudah dewasa, jumlahnya tunggal, belum menikah (+ dewasa, - banyak/tunggal, - menikah) kalimat tersebut membentuk proses reduplikasi terikat konteks.

  Kemudian, pada kalimat (5) kata bujing-bujing ‘tante-tante’ artinya menunjukkan makna yang belum jelas, sehingga makna bujing-bujing ‘tante-tante’ terikat pada konteks dengan maksud bujing-bujing ‘tante-tante’ adalah sudah dewasa, jumlahnya tunggal, belum tentu menikah (+ dewasa, + banyak/tunggal,

  ±

  menikah) kalimat tersebut membentuk proses reduplikasi terikat konteks.

  Pada kalimat (6) kata bujing-bujing ‘cantik-cantik’ artinya menunjukkan makna yang belum jelas, sehingga makna bujing-bujing ‘cantik-cantik’ terikat pada konteks dengan maksud bujing-bujing ‘cantik-cantik’ adalah sudah atau belum

  ±

  dewasa, jumlahnya banyak/tidak tunggal, sudah atau belum menikah ( dewasa, + banyak/tunggal, ± menikah). Kalimat tersebut membentuk proses reduplikasi terikat konteks.

  b) poso-poso ‘pemuda-pemuda/anak muda.’ (7) poso-poso i kehe marbal tu huta siborang.

  pemuda-pemuda itu pergi main bola ke kampung seberang

  ‘Pemuda-pemuda itu pergi main bola ke kampung seberang’ (8) Dagakku na patoluhon madung poso-poso.

  anakku yang ketiga sudah pemuda-pemuda

  ‘Anakku yang ketiga sudah pemuda-pemuda.’ Pada kalimat (7) kata poso-poso ‘pemuda-pemuda/anak muda’ menunjukkan makna yang jelas bahwa poso-poso ‘pemuda-pemuda/anak muda’ yang dimaksud sudah dewasa, banyak/tidak tunggal, dan belum menikah ( + dewasa, + banyak/tidak tunggal, - menikah), sehingga makna poso-poso ‘pemuda-pemuda/anak muda’ tidak terikat pada konteks kalimat dan membentuk proses reduplikasi bebas konteks.

  Sedangkan pada kalimat (8) kata poso-poso ‘pemuda-pemuda/anak muda’ artinya menunjukkan makna yang belum jelas, sehingga makna poso-poso ‘pemuda- pemuda/anak muda’ terikat pada konteks dengan maksud poso-poso ‘pemuda- pemuda/anak muda’ adalah sudah dewasa, tidak banyak/tunggal, belum menikah (+dewasa, - banyak/tunggal, - menikah). Kalimat tersebut membentuk proses reduplikasi terikat konteks.

  Proses reduplikasi morfemis pada contoh di atas memperlihatkan fenomena yang berbeda pada kalimat (1) dan (2), (3), (4), (5) dan (6), (7) dan (8). Berdasarkan fakta tersebut, dalam bahasa Angkola Mandailing muncul bentuk gramatikal reduplikasi nomina yang dapat diterima. Persoalannya adalah apakah bentuk lain, seperti verba, adjektiva, dan numeralia dapat kita gunakan dengan konsep yang sama? Mengamati fakta di atas, sampai pada asumsi bahwa reduplikasi morfemis sebagai salah satu proses morfologis melahirkan makna yang baru atau mungkin membentuk makna yang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses reduplikasi berimplikasi, baik secara morfologis, sintaksis, maupun semantis.

  Berkenaan dengan hal di atas, perlu segera dilakukan penelitian tentang reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing. Reduplikasi merupakan gejala morfologi yang sangat penting dalam setiap bahasa daerah yang ada di Indonesia. Penelitian terhadap bahasa daerah yang mana pun akan terasa belum lengkap apabila tidak mencakup penelitian mengenai reduplikasi secara tuntas.

  Oleh karena itu penelitian ini dipusatkan pada penutur asli bahasa Angkola Mandailing yang berada di daerah Kabupaten Padanglawas Utara. Pembentukan Kabupaten Padang Lawas Utara sebagai pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tanggal 10 Agustus 2007. Dari perjalanan waktu sejarah berdirinya Kabupaten Tapanuli Selatan mulai zaman penjajahan Belanda sampai dengan sekarang banyak hal yang terjadi, seperti pergantian nama, pemekaran kecamatan, maupun pemekaran kabupaten. Pada tahun 2007 wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ibukota Sipirok, Kabupaten Padang Lawas Utara dengan ibukota Gunungtua, dan Kabupaten Padanglawas dengan ibukota Sibuhuan.

  Letak geografis Kabupaten Padang Lawas Utara berada pada bagian tenggara wilayah Provinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah pusat pertanian, perkebunan, dan peternakan. Jumlah penduduk Padang Lawas Utara sebanyak 193.278 jiwa, terdiri atas 96.666 jiwa laki-laki dan 97.272 jiwa perempuan. Secara kultural penduduk di Kabupaten Padang Lawas Utara mayoritas bersuku Angkola.

  Pada zaman penjajahan Belanda wilayah Tapanuli Selatan disebut afdeeling Padangsidimpuan yang dikepalai seorang residen yang berkedudukan di Padangsidimpuan. Afdeeling Padangsidimpuan dibagi atas 3 onder afdeling, masing- masing dikepalai oleh seorang contreleur dibantu oleh seorang demang. (1) Onder

  

afdeeling Angkola dan Sipirok berkedudukan di Padangsidimpuan. Onder afdeeling

  ini dibagi atas 3 onder distrik, masing-masing dikepalai oleh seorang asisten demang, yaitu (a) distrik Angkola berkedudukan di Padangsidimpuan, (b) distrik Batangtoru berkedudukan di Batangtoru, dan (c) distrik Sipirok berkedudukan di Sipirok. (2)

  

Onder afdeeling Padanglawas berkedudukan di Sibuhuan. Onder afdeeling ini dibagi

  atas 3 onder distrik, masing-masing dikepalai oleh seorang asisten demang, yaitu (a)

  

distrik Padangbolak berkedudukan di Gunungtua, (b) distrik Barumun dan Sosa

  berkedudukan di Sibuhuan, dan (c) distrik Dolok berkedudukan di Sipiongot. (3)

  

Onder afdeeling Mandailing Natal berkedudukan di Kotanopan. Onder afdeeling ini

  dibagi atas 5 onder distrik, masing-masing dikepalai oleh seorang asisten demang, yaitu (a) distrik Panyabungan berkedudukan di Panyabungan, (b) distrik Kotanopan berkedudukan di Kotanopan, (c) distrik Muarasipongi berkedudukan di Muarasipongi, (d) distrik Natal berkedudukan di Natal, dan (e) distrik Batangnatal berkedudukan di Batangnatal.

  Setiap onder distrik dibagi kepada pemerintahan yang lebih kecil disebut luhat. Masing-masing luhat dikepalai oleh seorang raja luhat (kepala kuria). Kemudian,

  

luhat dibagi lagi kepada beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang hoofd dengan

  dibantu oleh seorang kepala ripo, bagi kampung yang memiliki penduduk dengan jumlah yang besar.

  Bahasa daerah dibagi atas dua kelompok bahasa berdasarkan wilayah: Angkola dan Mandailing. Masyarakat penutur bahasa Angkola berada pada onder afdeeling Angkola Sipirok dan Padanglawas, sedangkan penutur bahasa Mandailing berada pada

  

onder afdeeling Mandailing Natal. (Besluit Gubernur Jenderal 1842, Recidency

Tappanoeli).

  Umumnya hubungan kekeluargaan berdasarkan garis bapak (patrilineal). Upacara adat yang masih terpelihara di lingkungan suku-suku Padang Lawas Utara seperti: siriaon (kebahagiaan), siluluton (kemalangan). Seni budaya yang masih berkembang pada suku-suku yang ada adalah seni suara (rude), seni tari (tortor), seni musik (gondang), seni ukir (lukis), seni pahat (gorga), seni sastra bahasa (hapantunon), seni olahraga (uti-utian), dan seni bela diri (moncak).

  Keadaan topografis Kabupaten Padang Lawas Utara terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit, dan bergunung. Daerah ini sebagian diiringi/ dibatasi oleh Bukit Barisan, mulai dari Kecamatan Doloksigompulon, Dolok, Padangbolak, Halongonan, Hulusihapas, dan Batangonang. Berdasarkan kemiringan lahan, Kabupaten Padang Lawas Utara secara umum dibagi dalam empat kawasan. (1) Kawasan gunung dan perbukitan sebagian besar adalah jalur pergunungan Bukit Barisan yang merupakan kawasan hutan lindung, kemiringan di atas 40 yang harus dijaga kelestariannya sebagai kawasan penyangga air bagi sungai-sungai yang melintas di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara. Kawasan gunung dan perbukitan terdapat di sebagian besar Kecamatan Dolok dan Doloksigompulon. (2) Kawasan bergelombang hingga berbukit dengan kemiringan 15 –40 , merupakan kawasan potensial untuk pariwisata, pertanian, dan perkebunan rakyat, meliputi Kecamatan Halongonan, Padang Bolak Julu, Batangonang, dan Ulusihapas. (3) Kawasan landai sampai bergelombang dengan kemiringan 2 –15 , adalah kawasan perkantoran, pariwisata, pertanian, dan perkebunan besar, meliputi Kecamatan Padangbolak. (4) Kawasan dataran dengan kemiringan 0 –2 , sebagain besar merupakan lahan perkebunan sawit, pertanian, padang rumput yang potensial sebagai kawasan penggembalaan ternak yang meliputi Kecamatan Portibi dan Simangambat.

  Selain memiliki gunung-gunung, Padang Lawas Utara juga memiliki panorama yang indah, seperti Aekgodang di Kecamatan Ulusihapas, Candi Bahal di Kecamatan Portibi, sumber air panas di Kecamatan Halongonan, panorama danau di Batangonang dan di Simangambat, juga bendungan Batang Ilung di Kecamatan Padangbolak.

  Di samping itu, di Kabupaten Padang Lawas Utara terdapat enam satuan wilayah sungai dan anak sungai yang tergolong besar yang cukup prospektif untuk dijadikan sebagai sumber lahan pertanian, perikanan air tawar, ataupun objek pariwisata. Sungai-sungai yang ada, antara lain, sungai Batang Pane, Sungai Barumun, Sungai Aekgodang, dan sungai Sihapas. Mata pencaharian masyarakat Kabupaten Padang Lawas Utara sebagian besar adalah pertanian, kemudian perkebunan dan peternakan (Sumber Tapsel dalam Angka, 2008).

  1.2 Rumusan Masalah

  Penelitian tentang reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing ini menjawab masalah yang dirumuskan sebagai berikut.

  (1) Secara morfologis bagaimanakah tipe reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing?

  (2) Berdasarkan konteksnya bagaimanakah makna tipe reduplikasi difungsikan dalam bahasa Angkola Mandailing?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Berkenaan dengan masalah di atas, penelitian reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing ini bertujuan untuk.

  (1) Mendeskripsikan tipe reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing dan, (2) Mendeskripsikan secara kontekstual makna reduplikasi difungsikan dalam bahasa Angkola Mandailing.

  1.4 Manfaat Penelitian Temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk.

  (1) Memperkaya khazanah ilmu kebahasaan, khususnya di bidang morfologi, (2) Memberikan pemahaman yang lebih baik tentang berbagai aspek reduplikasi, (3) Menjadi bahan rujukan bagi peneliti-peneliti kebahasaan yang lain yang berminat pada bidang morfologi, (4) Menjadi bahan pelajaran muatan lokal di sekolah dasar di daerah yang didiami masyarakat Angkola Mandailing,

  (5) Merupakan upaya pelestarian, pembinaan, dan pengembangan bahasa Angkola Mandailing, dan

  (6) Menjadikan dasar dan pelindungan sosial pemerintah di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kota Padangsidempuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kabupaten Padanglawas untuk menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Daerah (PERDA).