BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi - Analisis Daya Saing Sektor Pariwisata Kota Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

  Pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan adanya perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara/wilayah dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara/wilayah tersebut.

  Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang bersifat multidimensional yang melibatkan kepada perubahan besar baik terhadap perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2003 dalam Sirojuzilam, 2010).

  Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya

  • – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999).

  Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005). Glasson (1997) menjelaskan bahwa region dapat diklasifikasikan menjadi daerah homogeny

  (homogeneous region), daerah administrasi (administrative region) dan daerah nodal (nodal region).

  Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah. Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.

  Ada beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, diantaranya : (1) Teori Basis Ekspor (Export Base-Models); (2) Teori Pertumbuhan Jalur Cepat; (3) Teori Pusat Pertumbuhan; (4) Teori Neoklasik; (5) Model Kumulatif Kausatif; dan (6) Model Interregional.

  Tambunan (1996) dalam Sirojuzilam (2010) memberi tahapan dalam pembangunan ekonomi regional yaitu:

  1. Dengan mempelajari terlebih dahulu karakteristik daerah yang akan dibangun, misalnya jumlah jenis serta kondisi-kondisi sumber daya alam yang ada dan keadaan pasar, sosial, ekonomi makro (tingkat pendapatan) dan struktur politiknya.

  2. Menentukan komoditas atau sektor unggulan dan jenis kegiatan ekonomi lainya yang perlu dikembangkan, baik yang sudah ada sejak lama maupun yang belum ada.

  3. Menentukan sifat serta mekanisme keterkaitan antar sektor yang ada di aderah tersebut serta mempelajari kelembagaan sosial masyarakat.

2.2. Teori Pusat Pertumbuhan

  Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.

  Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah peningatan volume variabel ekonomi dari suatu sub sistem special suatu bangsa atau negara dan juga dapat diartikan sebagai peningkatan kemakmuran suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi dapat dilihat dari peningkatan produksi sejumlah komoditas yang diperoleh suatu wilayah.

  Perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat dalam era otonomi daerah. Hal ini cukup logis, karena dalam era otonomi daerah masing-masing daerah berlomba-lomba meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya, guna meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Oleh karena itu, pembahasan tentang struktur dan faktor-faktor penentu pertumbuhan daerah akan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah dalam menentukan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya (Safrizal, 2008:86)

  Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkosentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti : kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan : daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian, atau daerah pedesaan.

  Keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya agglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale) atau agglomeration (economic of localization). Economic of scale adalah keuntungan karena dalam berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien. Economic of agglomeration adalah keuntungan karena di tempat tersebut terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperlancar kegiatan perusahaan, seperti jasa perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat pelatihan keterampilan, media untuk mengiklankan produk, dan lain sebagainya (Tarigan, 2006).

  Hubungan antara kota (daerah maju) dengan daerah lain yang lebih terbelakang dapat dibedakan sebagai berikut : (1) Generatif : hubungan yang saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya; (2) Parasitif : hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya; (3) Enclave (tertutup) : dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang.

  Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya

  multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan, 2006).

2.3 Potensi Wilayah

2.3.1 Keunggulan Komparatif

  Pada awalnya istilah keunggulan komparatif (comperatif adventage) dikemukakan oleh David Ricardo (1917) dalam membahas perdagangan atara dua Negara. Apabila dua negara saling berdagang dan masing-masing berkonsentrasi untuk mengekspor barang yang mempunyai keunggulan komparatif maka negara tersebut akan beruntung. Keunggulan komparatif itu tidak hanya berlaku pada perdagangan internasional saja tetapi juga pada ekonomi regional.

  Keunggulan komparatif suatu komoditi bagi suatu daerah atau negara adalah jika komoditi itu lebih unggul secara relatif dengan komoditi lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riil. Apabila keunggulan itu adalah nilai tambah maka dikatakan keunggulan absolut. Komoditi yang memiliki keunggulan walaupun dalam bentuk perbandingan lebih menguntungkan untuk dikembangkan dibanding komoditi lain yang sama-sama diproduksi oleh kedua Negara atau daerah (Tarigan, 2005).

  Keunggulan komparatif adalah suatu kegiatan ekonomi yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi pengembangan daerah. Dalam perdagangan bebas, mekanisme pasar mendorong masing

  • – masing daerah bergerak untuk memproduksi barang yang memiliki keunggulan komparatif.

  Keunggulan kompetitif (competitive adventange) adalah kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau luar negeri bahkan global. Dalam hal ini akan melihat apakah suatu daerah dapat menjual produknya di luar negeri secara menguntungkan, tidak lagi membandingkan potensi komodidti yang sama di suatu Negara dengan Negara lainya tetapi membandingkan potensi komoditi suatu Negara terhadap komoditi semua Negara pesaingnya di pasar global.

  Menurut Tarigan (2005) suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif karena salah satu faktor atau gabungan dari beberapa faktor . Adapun faktor- faktor yang dapat membuat suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif dapat dikelompokkan sebagai berikut :

  1. Pemberian alam, yaitu karena kondisi alam akhirnya wilayah itu memiliki keunggulan untuk menghasilkan suatu produk tertentu.

  2. Masyarakatnya menguasai teknologi mutakhir (menemukan hal-hal baru) untuk jenis produk tertentu.

  3. Masyarakatnya menguasai keterampilan khusus.

  4. Wilayah itu dekat dengan pasar.

  5. Wilayah dengan aksesibilitas yang tinggi.

  6. Daerah konsentrasi/sentra dari suatu kegiatan sejenis.

  7. Daerah aglomerasi dari berbagai kegiatan.

  8. Upah buruh yang rendah dan tersedia dalam jumlah yang cukup serta didukung oleh ketrampilan yang memadai dan mentalitas yang mendukung.

  9. Mentalitas masyarakat yang sesuai dengan untuk pembangunan: jujur, terbuka, mau bekerja keras, dan disiplin sehingga lingkungan kehidupan aman, tertib, dan teratur.

10. Kebijakan pemerintah.

2.3.2 Location Quotient (LQ)

  Kuosien lokasi ( Location Quotient) disingkat dengan LQ adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor/ komoditi di suatu daerah (kabupaten/kota) terhadap peraran sektor/ komoditi di daerah yang lebih tinggi (provinsi / nasional). Dengan kata lain LQ menghitung share output sektor I di kabupaten dengan share output sektor i di provinsi.

  Dengan rumus:

  Si Si Ni S

  LQ i = 

  S Ni N N

  Keterangan: LQi = Nilai LQ pada sektor i Si = Besaran dari suatu kegiatan tertentu sektor/komoditi yang akan di ukur di kawasan perencanaan Ni = Besaran total dari suatu kegiatan tertentu sektor/komoditi yang akan di ukur di daerah yang lebih luas

  S = Besaran total dari seluruh kegiatan sektor/komoditi yang akan di ukur di kawasan perencanaan N = Besaran total dari seluruh kegiatan sektor/komoditi yang akan diukur di daerah yang lebih luas Apabila nilai LQ > 1 artinya peranan sektor/komoditi tersebut di daerah itu lebih menonjol dibanding peranan sektor/komoditi secara nasional atau lebih luas.

  Sebaliknya, apabila LQ < 1 maka peranan sektor/komoditi tersebut lebih kecil dari pada peranan sektor/komoditi tersebut secara nasional.

  Ada beberapa keunggulan metode LQ antara lain: 1.

  Metode LQ memperhitungkan ekspor langsung dan ekspor tidak langsung.

  2. Metode LQ sederhana serta dapat digunakan untuk data historis untuk mengetahui trend Disamping keunggulan metode LQ terdapat pula kelemahanya yaitu: 1.

  Berasumsi bahwa pola permintaan di suatu bangsa identik dengan pola permintaan di suatu daerah dan bahwa produktivitas tenaga kerja di setiap sektor regional sama dengan produktivitas di sektor industri pada tingkat nasional.

2. Berasumsi bahwa tingkat ekspor bergantung pada tingkat agregasi

  Analisis LQ sesuai dengan rumusnya memang sederhana dan apabila digunakan dalam one shot analisys manfaatnya juga tidak terlalu besar hanya melihat LQ berada di atas 1 atau tidak. Akan tetapi analisis dapat di buat menarik apabila dilakukan dalam bentuk time series/trend, artinya di analisis dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini perkembangan LQ dapat dilihat untuk suatu sektor tertentu pada kurun waktu yang berbeda, apakah terjadi penurunan atau kenaikan.

  Hal ini dapat memancing analisis lebih lanjut, misalnya apabila naik dapat dilihat faktor-faktor apa saja yang membuat daerah tersebut tumbuh lebih cepat dari nasional, demikian juga sebaliknya. Hal ini dapat membantu kita melihat kekuatan/kelemahan wilayah kita dibangingkan secara relatif dengan wilayah yang lebih luas. Potensi yang positif digunakan dalam strategi pengembangan wilayah. Adapun faktor-faktor yang membuat potensi sektor di suatu wilayah lemah perlu dipikikirkan apakah perlu ditanggulangi atau dianggap tidak prioritas (Tambunan, 2005).

2.3.3. Shift Share Analisys (SSA)

  Metode analisis ini dapat digunakan untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan sebagai alat analisis dalam riset pembangunan pedesaan (Tulus Tambunan, 1996). Analisis ini juga digunakan untuk menganalisis sumbangan (share) kecamatan ke kabupaten dan sektor yang mengalami kemajuan selama pengukuran. Hasil analisis shift share ini juga mampu menunjukkan keunggulan kompetitif suatu wilayah. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu : 1.

  Komponen share, menunjukkan kontribusi pergeseran total seluruh sektor di total wilayah agregat yang lebih luas.

  2. Komponen proportional shift, menunjukkan pergeseran total sektor tertentu di wilayah agregat yang lebih luas.

  3. Komponen differential shift, menunjukkan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu.

  Apabila komponen differential shift bernilai positif maka suatu wilayah dianggap memiliki keunggulan kompetitif karena secara fundamental masih memiliki potensi untuk terus tumbuh meskipun faktor-faktor ekternal (komponen share dan proportional shift) tidak mendukung.

  1. Komponen Pertumbuhan Nasional (National share) Komponen pertumbuhan nasional adalah perubahan produksi atau kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi atau kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah.

  2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (Proportional shift component) Komponen pertumbuhan proporsional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support ) serta perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

  3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Differential shift component) Komponen pertumbuhan pangsa wilayah timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi pada wilayah tersebut.

  Rumus shift-share adalah:

       

  

Xi

  XX ...  t 1 I t 1 t 1 Xij   t 1   Xij   t 1   

             

1 X

  IJ T  

       

  X ... t

  X X

  X X   ij T j t ij t j t

              

   Keterangan:

  X

  … = Nilai total aktifitas dalam total wilayah

  Xi = Nilai total aktifitas tertentu dalam total wilayah X ij = Nilai aktifitas tertentu dalam unit wilayah tertentu

  t1 = Titik tahun akhir t0 = Titik tahun awal

2.4 Pariwisata

  Secara Etimologi istilah pariwisata berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suaku kata yakni; “pari” dan “wisata”. Pari yang berarti: banyak, berkali-kali, berputar-putar atau berkeliling-keliling. Sedangkan Wisata berarti bepergian. Secara ga ris besarnya, maka kedua kata ini yakni “Pari-wisata” dapat diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan berkali-kali dari satu tempat ke tempat yang lain.

  Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 menyebutkan pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata, dengan demikian pariwisata meliputi :

1. Semua kegiatan yang berhubugan dengan perjalanan wisatawan, 2.

  Penguasaan objek dan daya tarik wisata seperti : kawasan wisata, taman rekreasi, kawasan peninggalan sejarah, museum, waduk, penggelaran seni budaya, tata kehidupan masyarakat atau yang bersifat alamiah : keindahan alam, gunung berapi, danau, pantai.

  3. Pengusaaan jasa dan sarana pariwisata yaitu : usaha jasa pariwisata (biro perjalanan wisata, agen perjalanan wisata, pramuwisata, konvensi, perjalanan insentif dan pameran, impresariat, konsultan pariwisata, informasi periwisata), usaha sarana pariwisata yang terdiri dari akomodasi, rumah makan, bar, angkutan wisata.

  Sementara Marpaung (2002:13) mendefinisikan bahwa pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan-pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Sedangkan pengertian pariwisata menurut Damanik dan Weber (2006:1) yakni: pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia, barang, dan jasa, yang sangat kompleks. Ia terkait denga organisasi, hubungan-hubungan kelembagaan dan individu, kebutuhan layanan, penyediaan kebutuhan layanan dan sebagainya.

  Beberapa ahli juga mengemukanan pengertian pariwisata, antara lain sebagai berikut:

  1. Hunziker dan Kraff (dalam Pendit, 1995:38) menyatakan pariwisata adalah sejumlah hubungan-hubungan dan gejala-gejala yang dihasilkan dari tingalnya orang-orang asing, asalkan tingalnya mereka tidak menyebabkan tempat tinggal serta usaha-usaha yang bersifat sementara atau permanan sebagai usaha mencari kerja penuh.

  2. Yoeti (1996:113) mengemukakan bahwa pariwisata adalah sebuah perjalanan yang dilaksanakan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan disuatu tempat ketempat lain dengan maksud bukan mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam.

  3. Spillane mengemukakan bahwa pariwisata adalah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara dilakukan secara perorangan maupun kelompok, sebagai usaha untuk mencari keseimbangan dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya juga alam dan ilmu.

  4. Wahab (dalam Yoeti, 1996:114) mengemukakan pariwisata adalah suatu aktifitas yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-orang dalam suatu negara itu sendiri atau diluar negeri, meliputi pendiaman orang-orang dari daerah lain untuk sementara waktu dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda-beda dengan apa yang dialaminya dimana ia memperoleh pekerjaan tetap.

  Dari pengertian pariwisata yang dikemukakan beberapa ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pariwisata adalah merupakan suatu aktivitas perjalanan yang dilakukan manusia baik individu maupun kelompok untuk sementara waktu dari dari tempat tinggalnya ke tempat lain untuk menikmati objek dan atraksi wisata.

2.4.1 Kepariwisataan

  Kepariwisataan adalah suatu sistem yang mengikutsertakan berbagai pihak dalam keterpaduan kaitan fungsional yang serasi, yang mendorong berlangsungnya dinamika fenomina mobilitas manusia tua-muda, pria-wanita, ekonomi kuat-lemah, sebagai pendukung suatu tempat untuk melaksanakan perjalanan sementara waktu secara sendiri atau berkelompok, menuju tempat lain di dalam negeri atau diluar negeri dengan menggunakan teransportasi darat, laut dan udara (Yoeti:2005).

  Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisisata, artinya semua kegiatan dan urusan yang ada kaitannya denan perencanaan, pengaturan, pengawasan pariwisata baik yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat (Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009). Humziker dank Kraff (Pendit, 1995) menyatakan kepariwisataan adalah setiap peralihan tempat yang bersifat sementara dari seseorang atau beberapa orang dengan maksud memperoleh pelayanan yang diperuntukkan bagi kepariwisataan itu oleh lembaga-lembaga yang digunakan untuk maksud tersebut.

2.4.2 Wisatawan

  Dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 2009, wisatawan didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan wisata. Jadi menurut pengertian ini, semua orang yang malakukan kegiatan wisata disebut wisatawan. Apapun tujuannya yang penting perjalanan itu bukan untuk menetap dan tidak untuk mencari nafkah ditempat yang dikunjungi. Menurut International Union of Official Travel Organization (dalam Damardjati, 2001:88) kata tourist atau wisatawan haruslah diartikan sebagai :

  1. Orang yang melakukan bepergian untuk bersenang-senang (pleasure), untuk kepentingan keluarga, kesehatan dan lain sebagainya.

  2. Orang-orang yang bepergian untuk kepentingan usaha.

  3. Orang-orang yang datang dalam rangka perjalanan wisata walaupun mereka singgah kurang dari 24 jam.

  

Pacific Area Travel Association memberikan batasan bahwa wisatawan sebagai

  orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan dalam jangka waktu 24 jam dan maksimal 3 bulan di dalam suatu negeri yang bukan negeri dimana biasanya ia tinggal, mereka meliputi (1) orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan untuk bersenang-senang, untuk keperluan pribadi, untuk keperluan kesehatan, (2) orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan untuk pertemuan, konfrensi, mausyawarah atau sebagai utusan berbagai badan/organisasi, (3) orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan dengan maksud bisnis, (4) pejabat pemerintah dan militer beserta keluarganya yang ditempatkan di negara lain tidak termasuk kategori ini. Tetapi bila mareka megnadakan perjalanan ke negeri lain, maka digolongkan wisatawan (Pendit, 1995).

2.4.3 Dampak Pengembangan Pariwisata

  Berdasarkan Undang-undang Nomor 9 tahun 1990 tentang pariwisata, tujuan dari pengembangan pariwisata adalah untuk menciptakan multipler effect, yakni: 1.

  Memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja.

  2. Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

  3. Mendorong pendayagunaan produksi nasional.

  Penyelengaraan pengembangan kepariwisataan merapakan suatu perangkat yang sangat penting dalam pengembangunan daerah khsusunya dalam otonomi daerah saat ini. Hal ini bidang pariwisata mempunyai peran yang sangat penting dan strategis bagi pengembangan suatu daerah terlebih di era otonomi saat sekarang, dimana deaerah-daerah dituntut untuk dapat menggali sumber-sumber padndapatan daerah yang dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD).

  Menurut Suwardjoko dan Indira (2007) dampak pengembangan pariwisata merambah ke berbagai sektor yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan pariwisata, dan membentuk jaringan kegiatan kepariwisataan yang sangat luas dan rumit. Bagi suatu Daerah Tujuan Wiata (DTW), kegiatan pariwisata mempunyai saham sangat penting dalam menunjang perekonomian daerah, karena kepariwisataan membuka peluang untuk :

  1. Pertukaran atau aliran valuta asing. Kunjungan para wisatawan asing juga berarti ‘kedatangan’ valuta asing di suatu DTW. Selain itu, belanja wisatawan selama berada di DTW (membayar akomodasi, makan belanja barang dan lain-lain) memperbesar kegiatan jual-beli di DTW yang bersangkutan bahkan pertukaran valuta asing akan menambah penerimaan daerah dari sektor pajak.

  2. Peningkatan penerimaan Pajak. Perkembangan DTW akan menarik sejumlah usaha yang berkaitan dengan pariwisata berupa usaha jasa pelayanan angkutan, kerajinan, organisasi wisata/perjalanan, dan lain-lain yang mendatangkan pajak bagi daerah yang bersangkutan.

3. Perambatan Pertumbuhan pada Sektor Ekonomi Lain (trackling down

  effect ). Peningkatan industri pariwisata secara langsung meningkatkan

  pasokan bahan baku bagi industri kepariwisataan yang pada gilirannya akan merangsang perkembangan sektor ekonomi lain secara berantai.

  Pengaruh ganda ini tidak hanya bagi DTW yang bersangkutan, tetapi dapat merambah ke daerah yang lebih luas atau bahkan sampai di DTW lain.

  4. Pemicu Daya Cipta Seni. Barang-barang kerajinan (seni), baik berasal dari DTW itu sendiri maupun didatangkan dari dearah lain, adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepariwisataan. Daya cipta atau kreativitas seni akan terpicu oleh adanya beraneka ragam kegiatan kepariwisataan. Berbagai jenis dan bentuk cendra mata adalah salah satu produk daya cipta seni.

  5. Peluang Lapangan Kerja. Berbagai ragam kegiatan kepariwasataan yang berkaitan mengandung makna terbukanya kesempatan kerja di berbagai bidang yang perlu diisi oleh tenaga kerja yang terampil. Dampak positif akan dipetik di DTW yang bersangkutan bila tenaga kerja setempat yang tersedia sesuai dengan kesempatan kerja yang terbuka, namun bila tenaga kerja yang tersedia tidak terampil, tidak terididik dan tidak terlatih, maka kesempatan kerja yang ada akan diisi oleh tenaga kerja pendatang, dan tenaga kerja setempat ‘tersisihkan’.

  Yoeti (2008) menyebutkan kontribusi pariwisata terhadap perkekonomian daerah lebih lanjut adalah sebagi berikut :

  1. Peningkatan perolehan devisa negara 2.

  Memperluas dan mempercepat proses kesempatan berusaha 3. Memperluas kesempatan kerja 4. Mempercepat pemerataan pendapatan.

  5. Meningkatkan penerimaan pajak regional dan retribusi daerah.

  6. Meningkatkan pendaptan nasional 7.

  Memperkuat posisi neraca pembayaran.

8. Mendorong pertumbuhan pengembangan wilayah yang memiliki potensi alam yang terbatas.

2.4.3 Objek Dan Daya Tarik Wisata

  Objek dan atraksi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan faktor pendorong bagi wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah objek wisata.

  Menurut undang-undang No.9 tahun 1990 tentang kepariwisataan, objek dan daya tarik wisata dibagi menjadi dua jenis, diantaranya adalah :

1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna.

  2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, penginggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, agrowisata taman rekreasi dan tempat hiburan. Untuk menentukan sebuah daerah tujuan wisata, daerah itu harus memiliki kriteria yang berpotensi. Yoeti mengatakan ada tiga kriteria yang menentukan sebuah objek wisata dapat diminati oleh wisatawan, antara lain : 1.

  Something To See adalah objek wisata tersebut harus mempunyai sesuatu yang bisa dilihat atau dijadikan tontonan oleh pengunjung wisata. Dengan kata lain objek wisata tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang mampu untuk menarik minat wisatawan yang akan berkunjung ke daerah tersebut.

  2. Something To Do adalah objek wisata tersebut dapat memberikan suatu kesempatan agar wisatawan bisa malakukan sesuatu yang berguna untuk perasaan senang, relex, dan bahagia berupa fasilitas baik arena permainan atau arena makan terutama yang menyajikan makanan khas daerah tersebut sehingga terasa berbeda dari daerah wisata lainnya dan mampu membuat wisatawan lebih lama dan nyaman tinggal disana.

  3. Something To Buy adalah fasilitas yang disediakan khsus sebagai tempat belanja bagi wisatawan yang pada umumnya adalah menjual benda yang menjadi ciri khas dan merupakan ikon dari daerah tersebut, sehingga bisa dijadikan sebagai oleh-oleh.

  Atraksi wisata merupakan bagian dari daya tarik yang tak terlepas dari pengertian dari produk wisata. Menurut Soekadijo (1997) atraksi wisata yang baik harus dapat mendatangkan wistawan sebanyak-banyaknya, menahan mereka di tempat atraksi dalam waktu yang cukup lama dan meberi kepuasan kepada wisatawan yang datang berkunjung. Untuk mencapai hasil itu, beberapa syarat harus dipenuhi yaitu :

  1. Kegiatan (act) dan obyek (artifact) yang merupakan atraksi itu sendiri harus dalam keadaan baik;

  2. Karena atraksi itu harus disajikan dihadapan wisatawan, maka cara penyajiannya (presentasinya) harus tepat;

  3. Atraksi wisata adalah terminal dari suatu mobilitas special, suatu perjalanan. Oleh karena itu juga harus memenuhi semua determinan mobilitas spasial, yaitu akomodasi, transportasi, dan promosi serta pemasaran;

4. Keadaan di tempat atraksi harus dapat menahan wisatawan cukup lama;

5. Kesan yang diperoleh wisatwan waktu menyaksikan antraksi wisata harus diusahakan supaya bertahan selama mungkin.

2.5 Teori Daya Saing

  Daya saing merupakan salah satu kriteria untuk menentukan keberhasilan dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara dalam peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Poter (1990), daya saing diidentifikasikan daengan masalah produktifitas, yakni dengan melihat tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktifitas ini disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal dan tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningaktan teknologi.

  Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing dilihat dari beberapa indikator yaitu keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif, ada juga keunggulan absolute. Menurut Tarigan (2005:76), Keunggulan komperatif adalah suatu kegitatan ekonomi yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi pegembangan daerah. Lebih lanjut menurut Tarigan (2005:75) istilah

  comparative adventage (keunggulan komperatif) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo (1917) sewaktu membahas perdagangan antara dua negara.

  Dalam teori tersebut, Recardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan komperatif maka kedua negara tersebut akan beruntung. Ternyata ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional.

  Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat diciptakan dan dikembangkan. Hal ini merupakan ukuran daya saing suatu aktivitas atas kemampuan suatu negara atau daearah untuk memasarkan produknya diluar daerah atau luar negeri. Maka dari itu, menurut Tarigan (2005:75) seorang perencana wilayah harus memiliki kemampuan untuk menganalisa potensi ekonomi wilayahnya. Dalam hal ini kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki keunggulan/kelemahan di wilayahnya menajadi semakin penting. Sektor yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.

2.5.1 Konsep Daya Saing

  Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter (1990) dengan empat faktor utama yang menentukan daya saing yaitu: 1) kondisi faktor, 2) kondisi permintaan, 3) industri pendukung dan terkait, serta 4) kondisi strategi, struktur perusahaan dan persaingan. Selain keempat faktor tersebut, ada dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu peran pemerintah dan peran kesempatan. Secara bersama-sama, faktor-faktor tersebut membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut Porter’s Diamond Model.

  Daya saing digunakan sebagai suatu konsep umum dalam ekonomi, seperti daya saing perusahaan dalam persaingan pasar, daya saing daerah terhadap daerah-daerah lain dan daya saing negara dalam persaingan internasional. Daya saing inilah nantinnya yang digunakan sebagai modal dalam pembangunan ekonomi dan sebagai suatu konsep kunci bagi perusahaan, daerah/wilayah serta negara untuk bisa berhasil, berpartisipasi dan unggul di pasar.

  Dasa saing suatu negara tergantung pada kapasitas industrinya untuk berinovasi dan melakukan pembaharuan. Perusahaan memperoleh keunggulan terhahadap para pesaing dunia yang terbaik, karena tekanan dan tantangan. Mereka mendapatkan manfaat dari memiliki pesaing domestik yang kuat, pemasok berbasis daerah asal yang agresif, dan para pelanggan lokal demanding.

  Konsep daya saing dapat ditinjau dari tingkat perusahaan, tingkat industri, dan tingkat negara atau daerah. Masing-masing tingkat berhubungan erat yakni daya saing perusahaan-perusahaan merupakan elemen pembentukan daya saing pada tingkat industri, daya saing daerah merupakan elemen pembentukan daya saing pada tingkat negara.

2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing

  Daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk bertahan didalam pasar tersebut. Pengertian daya saing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara realtif terhadap kemampuan negara lain (Porter, 1990).

  Selanjutnya Porter menjelaskan pentingnya daya saing karena tiga hal berikut (1) mendorong produktivitas dan mingkatkan kemampuan mandiri; (2) dapat meningkatkan kapasitas ekonomi, baik dalam konteks regional ekonomi maupun entitas pelaku ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat; (3) kepercayaan bahwa mekanisme pasar lebih mencipatakan efisiensi.

  Sementara daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank Indonesia (2002) harus mempertimbangkan beberapa hal : 1.

  Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produtivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebh memilih mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perkonomian” dari pada “kemampuan sektor swasta atau perusahan”.

  2. Pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadau dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta, perusahaan dalam perekonomian.

  3. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perkeonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuha ekonomi. Pertumbuhan eknomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka penigkatan standar kehidupan masyarakat.

4. Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah perean keterbukaan terhadap kompetisi dengan para competitor menjadi relevan.

  Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup.

  Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007 tentang standart proses, dinyatakan bahwa daya saing adalah kemampuan untuk menunjukkan hasil yang lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna. Kemampuan yang dimaksud adalah (1) kemampuan memperkokoh pagsa pasarnya, (2) kemampuan menghunbungkan dengan lingkungannya, (3) kemampuan meningkatkan kinerja tanpa henti, (4) kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan. Dengan menggunakan kinerja atau melihat indicator tersebut sebagai acuan, maka dapat diukur tingkat keuat lemahnya daya saing.

  Tingi rendahnya daya saing suatu industri/instansi tergantung kepada faktor-faktor yang memengaruhinya. Ruang lingkung daya saing pada skala makro menurut Sumihrdjo (2008) meliputi :

  (1) Perekonomian daerah;

  (2) Keterbukaan;

  (3) Sistem keuangan;

  (4) Infrastruktur

  (5) Ilmu pengetahuan dan teknologi;

  (6) Sumber daya;

  (7) Kelembagaan;

  (8) Govermence dan kebijakan pemerintah dan

  (9) Menajemen dan ekonomi makro”

  Muhtaron (2012) mangatakan untuk melihat kemapuan suatu negara dalam memenangkan persaingan pada kehidupan pasar global dapat diperhatikan dari indikator makro dan indikator mikro. Secara makro daya saing suatu negara dapat digambarkan oleh tiga macam indek, yaitu : (1) Indek Kemampuan teknologi, (2) Indek Kelembangaan Publik, dan (3) Indek Lingkungan Makro Ekonomi.

  Sementara itu pada indikator mikronya dapat dilihat dari: (1) Urutan Strategi dan Operasional Perusahaan, dan (2) Urutan Kualitas Lingkungan Bisnis Nasional.

  Muhtaron (2012) juga menjelaskan bahwa ada tiga faktor penting untuk memperbaiki daya saing yang kesemuanya berada kekuatan internal perusahaan dan berhubungan dengan produktifitas karena pada dasarnya perbaikan daya saing salah satu kuncinya adalah penurunan ongkos. Ketiga faktor dimaksud adalah :

  1. Adanya inonvasi dan perbaikan teknologi yang terus menerus menuju penurunan biaya;

  2. Pegembangan pemanfaatan teknologi komunikasi dan infornmasi untuk meningkatkan produktivitas dan penghematan waktu; dan

3. Pemanfaatan jaringan kerjasama untuk pengembangan pasar secara meluas.

  Selain faktor-faktor di atas, beberapa faktor-faktor penentu yang membedakan tingkat daya saing suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung (Tambunan, 2011), adapun faktor-faktor tersebut adalah: 1.

  Infrastr uktur Infrastruktur merupakan faktor penentu dari kelancaran proses pembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi. Terbatasnya jumlah dan kualitas infrastruktur dapat menghambat kelancaran dan mengurangi tingkat efiseinsi dalam ditribusi faktor produksi maupun output. Akibatnya biaya produksi meningkat yang selanjutnya mengurangi tingkat daya saing, terutama daya saing terhadap harga.

  2. Iklim Berusaha Iklim berusaha suatu negara mempengaruhi daya saing negara, terutama adanya kehadiran penanam modal asing (PMA). Iklim usaha yang tidak kondusif berarti iklim berinvestasi yang tidak baik, artinya kemungkinan mendapatkan keuntungan dalam melakukan bisnis akan berkurang, dan dapat mengurangi niat PMA untuk masuk kengera tersebut.

  3. Teknologi dan Inovasi Dengan adanya teknologi dan inovasi, ada yang perlu untuk diamati yaitu submer teknologi baru dan kemampuan perusahaan atau negara dalam menyerap dan memanfaatkan teknologi yang baru secara optimal dalam menciptakan produk-produk dan proses-proses produksi yang efisien, lebih ramah lingkungan, lebih aman, dan menghasilkan output lebih banyak dengan kualitas lebih baik.

  4. Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan salah satu dalam menentukan daya saing negara. SDM meruakan hal penting karena teknologi baru dan inovasi serta penemuan-penemuan baru tidak akan terjadi jika tidak ada SDM berkualitas tinggi. SDM didalam ini tidak hanya pekerja, tetapi ada pengusaha dan peneliti atau masyarakat umum.

2.6 Penelitian Terdahulu

  Yulianti (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Penentu Daya Saing dan Preferensi Wisatawan Berwisata ke Kota Bagor” dengan menguunakan pendekatan Porter’s Diamond dan metode Probit. Hasil analisis deskripstif dengan pendekatan porter’s diamond menunjukkan bahwa anggaran untuk kepariwisataan kota Bogor masih kurang, sarana dan prasarana kota masih kurang lengkap, dan transportasi kota Bogor masih memerlukan penataan lebih lanjut.

  Berdasarkan hasil metode Probit, faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi wisatawan berwisata ke kota Bogor yaitu intensitas berwista, pendidikan, kenyamanan kota Bogor, dan biaya yang dikeluarkan ketiwa berwisata. Variabel-variabel tersebut signifikan pada tarif nyata 10 persen. Dari hasil analisis keduanya yakni porter’s dan metode probit, dirumuskan suatu strategi yaitu peningkatan kenyamanan kota Bogor dengan meningkatkan anggaran dari pemerintah untuk kepariwisataan kota Bogor. Anggaran ini dialokasikan untuk melengkapi sarana dan prasarana kota Bogor.

  Trinawati, dkk (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “ Analisis Daya Saing Industri Pariwisata Untuk Meningkatkan Ekonomi Daerah (Kajian Perbandingan Daya Saing Pariwisata antara Surakarta dengan Yogyakarta)” dengan menggunakan alat analisis kuantitatif index composite menyatakan bahwa indeks daya saing pariwisata di Yogyakarta lebih tinggi dibanding Surakarta. Beberapa penyebab hal ini dapat dijelaskan pada setiap indikator yang membentuk indeks daya saing di sektor pariwisata.

  Berdasarkan human tourism indicator, hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah turis baik domestic maupun mancanegara lebih banyak di Yogyakarta.

  Bidang kepariwisataan juga telah menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah

  (PAD) yang cukup besar bagi kota Yogyakarta dibandingkan dengan kota Surakarta.

  Berdasarkan Price Competitiveness Indicator (PCI) menunjukkan bahwa indeks PPP lebih tinggi di kota Yogyakarta dibandingkan dengan kota Surakarta.

  Berdasarkan Infrastructure Development Indicator (IDI) menunjukkan bahwa pendapatan perkapita di kedua destinasi tersebut adaalh tidak berbeda secara nyata, tetapi pertumbuhan pendapatan perkapita Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan kota Surakarta.

  Berdasarkan Environtment Indicator (EI) menunjukkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di kedua destinasi tersebut tidak berbeda secara nyata.

  Berdasarkan Technology Advancement Indicator (TAI) menunjukkan bahwa indeks tehnologi di daerah destinasi Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan dengan destinasi Surakarta. Berdasarkan Human Resourseces Indicator (HRI) menunjukkan bahwa indeks pendidikan di destinasi Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan Surakarta.

  Berdasarkan Openess Indicator (OI) daya saing pariwisata destinasi Yogyakarta juga menunjukkan angka lebih tinggi dibandingkan dengan dengan Surtakarta. Berdasarkan Social Development Indicator (SDI) menunjukkan bahwa rata-rata masa tinggal turis di Yogyakarta lebih lama dibandingkan di Surakarta.

2.7 Kerangka Konseptual

  Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menerangkan atau mengukur prestasi pembangunan suatu daerah/wilayah dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi suatu daerah menjadi indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.

  Pertumbuhan ekonomi yang terus menerus akan meyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur perekonomian wilayah. Transformasi struktur berarti suatu proses perubahan struktur perekonomian dari sektor primer ke sektor sekunder atau bahkan ke sektor tersier, dimana tiap-tiap sektor akan mengalami proses transformasi yang berbeda-beda.

  Dewasa ini sektor pariwisata terbukti mampu memberikan kontribusi penting dalam penerimaan devisa negara. Hal ini merupakan sektor yang potensial dari struktur ekonomi yang ada. Sektor pariwisata terus mengalami peningkatan, ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata memiliki potensi yang besar. Untuk itu perlu dikaji secara mendalam daya saing sektor pariwisata Kota Medan dimana potensi dan pengembangan sektor ini dapat memberikan kontribusi selain penerimaan devisa negara, sektor ini juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan daerah dan pembangunan daerah.

  Alur kerangka pemikiran konseptual penelitian ini dapat dilhat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1.2 Kerangka Pikir Konseptual

  Keterangan: = dampak