Analisis Daya Saing Sektor Pariwisata Kota Medan

(1)

SKRIPSI

ANALISIS DAYA SAING SEKTOR PARIWISATA KOTA MEDAN

OLEH:

TRILOLORIN SITORUS 100523007

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis potensi serta daya saing sektor pariwisata kota Medan yang merupakan sektor penting sebagai pemberi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), penyerapan tenaga kerja, dan pengembangan daerah.

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa runtun waktu (times series) PDRB Kota Medan dan PDRB Provinsi Sumatera Utara tahun 2006-2010. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis Location Quotient (LQ) untuk menentukan potensi sektor pariwisata dan analisis Shift Share untuk mengetahui daya saing sektor pariwisata kota Medan.

Hasil dari kedua alat analisis, Location Quotient (LQ) dengan nilai perhitungan (1.43) menunjukkan bahwa nilai koefisien LQ>1, ini mengindikasikan bahwa sektor pariwisata kota Medan merupakan sektor unggulan dengan kriteria tergolong ke dalam sektor yang maju atau berpotensi dan tumbuh dengan pesat, dan merupakan sektor basis. Berdasarkan hasil analisis

Shift Share, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB kota Medan sebesar (2312691.36) yakni menunjukkan nilai positif, yang berarti sektor pariwisata kota Medan memiliki daya saing yang kuat.

Kata Kunci: Daya Saing, Potensi Wilayah, Pariwisata, Location Quotient (LQ), Shift-Share.


(3)

ABSTRACT

The purpose of this study was to analyze the potential and compotitiveness of the tourism sector in Medan, which is an important sector as provider contribution to revenue (PAD), employment and regional development.

This study uses secondary data time series to the GDP of Medan, Norht Sumatera 2006-2010. The analysis method used is the method of analysis Location Quotient (LQ) to determine the potential of the toruism sector and Shift Share analysis to determine the competitiveness of the tourism sector in Medan.

The result of both analysis tools, Location Quotient (LQ) with values calculated (1.43) shows that the value of the coefficient LQ>1, this indicates that the tourism sector is the dominant sector in Medan with the criteria belong to the sector of advanced or potential and are growing rapidly, and a sector basis. Based on the Shift Share analysis, the contribution of the tourism sector to the GDP of the city of Medan (2312691.36), which indicates a positve value, which means tha the tourism sector in Medan has a strong competitive adege.

Keywords: Competitiveness, Potential Areas, Tourism, Location Quotient (LQ), Shift Share.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul " Analisis Daya Saing Sektor Pariwisata Kota Medan ". Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda J.Sitorus dan Ibunda

U.Purba yang selalu memberi do’a dan segala dukungan serta kasih sayangnya. Berbagai pihak telah memberikan kontribusi secara langsung maupun tidak langsung bagi penyelesaian dan penyusunan skripsi ini. Dengan hati yang tulus ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D selaku Ketua Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dra. Raina Linda Sari, M.Si selaku dosen pembimbing yang selama ini telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku dosen pembaca penilai, atas kesediaannya untuk membaca dan menilai skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Departemen Ekonomi Pembangunan dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.


(5)

8. Seluruh Pegawai/staff Administrasi Departemen Ekonomi Pembangunan dan Pegawai/staff Administrasi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 9. Keluarga tercinta, Abang dan Kakak, Andi M. Sitorus, S.Pd.I, Fitri, S.Pd.I,

Yusnidawati Sitorus, AMK, adik-adik-ku, Dion Sitorus, ST, Suyanti Sitorus dan Sofian Sitorus (Ajir).

10.Sahabat-sahabat penulis di Departemen Ekonomi Pembangunan: Jekta, Adli, Mamik, Wina, Onik, Ika, Otik, Alex, Mike, Irma, Artis dan semua teman-teman yang tidak dituliskan satu persatu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman yang dimiliki. Akhirnya dengan berserah diri kepada Allah SWT, semoga skripsi ini dengan segala kelemahan dan kekurangannya dapat bermanfaat bagi semua kalangan.

Medan, Maret 2013

Penulis

Trilolorin Sitorus

NIM: 100523007


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTRA LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Perumusan Masalah ... 5

1.2 Tujuan Penelitian ... 6

1.3 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 7

2.2 Teori Pusat Pertumbuhan ... 9

2.3 Potensi Wilayah ... 11

2.3.1 Keunggulan Komparatif ... 11

2.3.2 Location Quotion (LQ) ... 13

2.3.3 Shift Share Analisys ... 15

2.4 Pariwisata ... 17

2.4.1 Kepariwisataan ... 19

2.4.2 Wisatawan ... 20

2.4.3 Dampak Pengembangan Pariwisata ... 21

2.4.4 Objek dan Daya Tarik Wisata ... 24

2.5 Teori Daya Saing ... 26

2.5.1 Konsep Daya Saing ... 27

2.5.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing ... 28

2.6 Penelitian Terdahulu ... 32

2.7 Kerangka Konseptual ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 37

3.2 Lokasi Penelitian ... 37

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 37

3.4 Metode Analisis ... 38

3.4.1 Location Quotion (LQ) ... 38


(7)

3.4.2 Shift Share Analisys ... 39

3.5 Definisi Operasional ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1 Gambaran Umum Kota Medan ... 43

4.1.1 Kota Medan Secara Geografis ... 43

4.1.2 Kota Medan Secara Demografis ... 46

4.1.3 Kota Medan Secara Dimensi Sejarah ... 48

4.1.4 Kota Medan Secara Kultural ... 48

4.1.5 Kota Medan Secara Sosial ... 49

4.1.6 Kota Medan Secara Ekonomi ... 50

4.1.7 Potensi Pariwisata ... 53

4.2 Hasil dan Pembahasan ... 55

4.2.1 Analisis Daya Saing Sektor Pariwisata Kota Medan Berdasarkan Metode Location Quotion (LQ) ... 55

4.2.2 Analisis Daya Saing Sektor Pariwisata Kota Medan Berdasarkan Metode Shift Share ... 58

4.2.3 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Sektor Pariwisata Kota Medan ... 61

4.2.4 Analisis Sektor Pariwisata Kota Medan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68

LAMPIRAN ... 70


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 Struktur Perekonomian Kota Medan ... 3

4.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Medan . 47 4.2 Objek Wisata Kota Medan ... 53

4.3 Jumlah Hotel di Kota Medan Menurut Kelas Hotel ... 54

4.4 Tempat Hiburan Menurut Jenisnya ... 55

4.5 Hasil Perhitungan Indeks Location Quotion (LQ) ... 57

4.6 Hasil Perhitungan Shift Share Kota Medan ... 59

4.7 Analisis Sift Share Sektor Pariwisata Kota Medan Berdasarkan Pertumbuhan Nasional/Regional (Ps) ... 61

4.8 Analisis Shift Share Sektor Pariwisata Kota Medan Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional ... 62

4.9 Analisis Sift Share Sektor Pariwisata Kota Medan Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah .... 63

4.10 Analisis Sektor Pariwisata Kota Medan ... 64


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka Konsep ... 36


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1. Strukur Perekonomian Kota Medan ... 71

2. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk ... 71

3. Objek Wisata di Kota Medan ... 72

4 Jumlah Hotel Menurut Kelas Hotel ... 73

5 Tempat Hiburan Menurut Jenisnya ... 73

6 Hasil Perhitungan Indeks Location Quotient (LQ) ... 74

7 Hasil Analisis Shift Share Kota Medan ... 75


(11)

(12)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis potensi serta daya saing sektor pariwisata kota Medan yang merupakan sektor penting sebagai pemberi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), penyerapan tenaga kerja, dan pengembangan daerah.

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa runtun waktu (times series) PDRB Kota Medan dan PDRB Provinsi Sumatera Utara tahun 2006-2010. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis Location Quotient (LQ) untuk menentukan potensi sektor pariwisata dan analisis Shift Share untuk mengetahui daya saing sektor pariwisata kota Medan.

Hasil dari kedua alat analisis, Location Quotient (LQ) dengan nilai perhitungan (1.43) menunjukkan bahwa nilai koefisien LQ>1, ini mengindikasikan bahwa sektor pariwisata kota Medan merupakan sektor unggulan dengan kriteria tergolong ke dalam sektor yang maju atau berpotensi dan tumbuh dengan pesat, dan merupakan sektor basis. Berdasarkan hasil analisis

Shift Share, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB kota Medan sebesar (2312691.36) yakni menunjukkan nilai positif, yang berarti sektor pariwisata kota Medan memiliki daya saing yang kuat.

Kata Kunci: Daya Saing, Potensi Wilayah, Pariwisata, Location Quotient (LQ), Shift-Share.


(13)

ABSTRACT

The purpose of this study was to analyze the potential and compotitiveness of the tourism sector in Medan, which is an important sector as provider contribution to revenue (PAD), employment and regional development.

This study uses secondary data time series to the GDP of Medan, Norht Sumatera 2006-2010. The analysis method used is the method of analysis Location Quotient (LQ) to determine the potential of the toruism sector and Shift Share analysis to determine the competitiveness of the tourism sector in Medan.

The result of both analysis tools, Location Quotient (LQ) with values calculated (1.43) shows that the value of the coefficient LQ>1, this indicates that the tourism sector is the dominant sector in Medan with the criteria belong to the sector of advanced or potential and are growing rapidly, and a sector basis. Based on the Shift Share analysis, the contribution of the tourism sector to the GDP of the city of Medan (2312691.36), which indicates a positve value, which means tha the tourism sector in Medan has a strong competitive adege.

Keywords: Competitiveness, Potential Areas, Tourism, Location Quotient (LQ), Shift Share.


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menerangkan atau mengukur prestasi pembangunan suatu daerah dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi suatu daerah menjadi indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.

Sirojuzilam dan Mahali (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijakan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Pertumbuhan ekonomi yang terjadi terus-menerus akan menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur perekonomian wilayah. Transformasi struktur berarti suatu proses perubahan struktur perekonomian dari sektor primer ke sektor sekunder atau sektor tersier, dimana tiap-tiap sektor akan mengalami proses transformasi yang berbeda-beda.

Apabaila proses transformasi ekonomi terjadi, maka dapat dinyatakan telah terjadi pembangunan ekonomi. Hal ini perlu dilakukan pengembangan lebih lanjut, namun apabila tidak terjadi suatu proses transformasi maka pemerintah daerah perlu mengadakan perbaikan dalam penyusunan perencanaan wilayahnya,


(15)

sehingga kebijakan pembangunan yang disusun menjadi lebih terarah sehingga tujuan pembangunan dapat dicapai.

Peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai sektor akan memberikan dampak, baik langsung maupun tidak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja serta memberikan kontribusi bermakna pada peningkatan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang berujung terhadap pembangunan daerah maupun nasional.

Dewasa ini sektor pariwisata merupakan sektor penting sebagai pemberi kontribusi terhadap pembangunan nasional maupun regional. Hal ini terbukti pada tahun 1990, pariwisata menempati urutan ketiga dalam hal penerimaan devisa setelah komoditi minyak, gas bumi serta minyak kelapa sawit. Oleh karena itu, sektor pariwisata merupakan sektor yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.

Kegiatan sektor pariwisata semakin memberikan kontribusi penting dalam penyerapan tenaga kerja, mendorong kesempatan berusaha pada sub-sub sektor pariwisata seperti hotel, biro perjalanan (travel), restoran, rumah makan, jasa pramuwisata, transportasi, MICE, industri-industri kerajinan di kawasan kunjungan wisata. Perkembangan pariwisata juga mendorong, mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan permintaan, baik konsumsi maupun investasi yang pada gilirannya akan menimbulkan kegiatan produksi barang dan jasa.

Bagi kota Medan, proses pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan terjadinya transformasi struktural, yaitu proses pergeseran pertumbuhan sektor


(16)

produksi dari yang semula mengandalkan sektor primer menuju sektor sekunder dan sektor tersier. Sektor pariwisata merupakan sektor yang penting untuk dikembangkan. Peningkatan potensi kepariwisataan di Kota Medan telah mendukung pencapaian hasil dan kemajuan yang ditunjukkan dengan meningkatkan kontribusi sektor terkait dengan kepariwisataan dalam PDRB Kota Medan sebagaimana tersaji dalam tabel dibawah ini:

Tabel 1.1 Struktur Perekonomian Kota Medan Tahun 2006-2010 (Rp millyar)

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Medan

Informasi yang tersaji dalam tabel 1.1 dapat dilihat bahwa struktur PDRB Kota Medan tahun 2010 sangat mengandalkan sektor tersier dimana sektor ini memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Medan sebesar 70,87%. Adapun sub sektor tersier ini antara lain meliputi sub sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 26,92%, sub sektor ini bahkan merupakan sub sektor yang memberikan kontribusi paling besar untuk PDRB Kota Medan. Sub sektor pengangkutan dan komunikasi 18,94%, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan


(17)

sebesar 14,27%, sedangkan sub sektor jasa-jasa sebesar 10,72%. Informasi ini menegaskan bahwa sektor tersier ini merupakan mover pembangunan ekonomi Kota Medan yang harus mendapat perhatian besar dari para pemangku kepentingan yang ada.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2010, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dari 20 pintu masuk, sejumlah 7 juta jiwa (naik sekitar 10,74% dibandingkan tahun sebelumnya), dengan rata-rata selama 7-8 hari dan rata-rata pengeluaran sejumlah kurang lebih 995 US$ (tahun 2009). Data ini menunjukkan bahwa dalam presfektif pembangunan nasional, sektor pariwisata memiliki konstribusi bermakna pada peningkatan Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Data BPS menunjukkan bahwa sebelas provinsi yang paling sering dikunjungi oleh para turis adalah Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Banten dan Sumatera Barat. Sekitar 59 % turis berkunjung ke Indonesia untuk tujuan liburan, sementara 38% untuk tujuan bisnis. Singapura dan Malaysia adalah dua Negara dengan catatan jumlah wisatawan terbanyak yang datang ke Indonesia dari wilayah ASEAN.

Kota Medan sebagai ibukota provinsi menjadi pintu gerbang masuknya wisatawan ke Sumatera Utara, telah berkembang pesat menjadi kota metropolitan dan memiliki banyak sejarah, objek-objek wisata seperti objek wisata alam, budaya, kerajinan, kuliner, taman rekreasi dan hiburan. Hal ini, pengelolaan dan pengembangan sektor pariwisata Kota Medan perlu terus ditingkatkan seiring


(18)

dengan letak geografis Kota Medan yang berdekatan dengan kedua negara tersebut.

Bila melihat negara tetangga yang sudah maju seperti Malaysia dan Singapura, pengembangan akan daya tarik wisata kota menjadi menu yang sangat menarik bagi wisatawan yang berkunjung. Ini menjadi salah satu contoh yang menunjukkan bahwa wisata kota telah menjadi suatu potensi yang cukup besar serta dapat dijadikan sebagai daya saing pariwisata kota.

Dengan melihat kondisi dan faktor-faktor yang ada di Kota Medan, diharapkan pemerintah Kota Medan dapat mampu memanfaatkan potensi yang ada dan mentetapkan strategi kebijakan yang efektif dan efisien agar pariwisata kota Medan dapat terus meningkat dan mampu berdaya saing dengan kota-kota lain atau bahkan dengan provinsi-provinsi lain. Oleh karena itu perlu studi untuk

menganalisis daya saing sektor pariwisata kota Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian diatas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dari penelitain ini, yaitu :

1. Bagaimana potensi sektor pariwisata kota Medan? 2. Bagaimana daya saing sektor pariwisata kota Medan?


(19)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1. Menganalisis potensi sektor pariwisata kota Medan

2. Menganalisis daya saing sektor pariwisata kota Medan terhadap sektor pariwisata Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan, informasi dan pertimbangan bagi para pengambil keputusan di tingkat daerah kota Medan dalam peranannya untuk mengembangkan sektor pariwisata kota Medan.

2. Sebagai bahan pustaka, informasi dan referensi bagi para yang memerlukan serta sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

3. Sebagai bahan masukan, pelengkap sekaligus pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada atau bagi penelitian lain yang lebih lanjut.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan adanya perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara/wilayah dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara/wilayah tersebut.

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang bersifat multidimensional yang melibatkan kepada perubahan besar baik terhadap perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2003 dalam Sirojuzilam, 2010).

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999).

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005). Glasson (1997) menjelaskan bahwa region dapat diklasifikasikan menjadi daerah homogeny


(21)

(homogeneous region), daerah administrasi (administrative region) dan daerah nodal (nodal region).

Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah. Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.

Ada beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, diantaranya : (1) Teori Basis Ekspor (Export Base-Models); (2) Teori Pertumbuhan Jalur Cepat; (3) Teori Pusat Pertumbuhan; (4) Teori Neoklasik; (5) Model Kumulatif Kausatif; dan (6) Model Interregional.

Tambunan (1996) dalam Sirojuzilam (2010) memberi tahapan dalam pembangunan ekonomi regional yaitu:

1. Dengan mempelajari terlebih dahulu karakteristik daerah yang akan dibangun, misalnya jumlah jenis serta kondisi-kondisi sumber daya alam yang ada dan keadaan pasar, sosial, ekonomi makro (tingkat pendapatan) dan struktur politiknya.

2. Menentukan komoditas atau sektor unggulan dan jenis kegiatan ekonomi lainya yang perlu dikembangkan, baik yang sudah ada sejak lama maupun yang belum ada.

3. Menentukan sifat serta mekanisme keterkaitan antar sektor yang ada di aderah tersebut serta mempelajari kelembagaan sosial masyarakat.


(22)

2.2. Teori Pusat Pertumbuhan

Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah peningatan volume variabel ekonomi dari suatu sub sistem special suatu bangsa atau negara dan juga dapat diartikan sebagai peningkatan kemakmuran suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi dapat dilihat dari peningkatan produksi sejumlah komoditas yang diperoleh suatu wilayah.

Perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat dalam era otonomi daerah. Hal ini cukup logis, karena dalam era otonomi daerah masing-masing daerah berlomba-lomba meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya, guna meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Oleh karena itu, pembahasan tentang struktur dan faktor-faktor penentu pertumbuhan daerah akan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah dalam menentukan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya (Safrizal, 2008:86)

Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkosentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti : kota, pusat


(23)

perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan : daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian, atau daerah pedesaan.

Keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya agglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale) atau agglomeration (economic of localization). Economic of scale adalah keuntungan karena dalam berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien. Economic of agglomeration adalah keuntungan karena di tempat tersebut terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperlancar kegiatan perusahaan, seperti jasa perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat pelatihan keterampilan, media untuk mengiklankan produk, dan lain sebagainya (Tarigan, 2006).

Hubungan antara kota (daerah maju) dengan daerah lain yang lebih terbelakang dapat dibedakan sebagai berikut : (1) Generatif : hubungan yang saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya; (2) Parasitif : hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya; (3) Enclave (tertutup) : dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang.


(24)

Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya

multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan, 2006).

2.3 Potensi Wilayah

2.3.1 Keunggulan Komparatif

Pada awalnya istilah keunggulan komparatif (comperatif adventage) dikemukakan oleh David Ricardo (1917) dalam membahas perdagangan atara dua Negara. Apabila dua negara saling berdagang dan masing-masing berkonsentrasi untuk mengekspor barang yang mempunyai keunggulan komparatif maka negara tersebut akan beruntung. Keunggulan komparatif itu tidak hanya berlaku pada perdagangan internasional saja tetapi juga pada ekonomi regional.

Keunggulan komparatif suatu komoditi bagi suatu daerah atau negara adalah jika komoditi itu lebih unggul secara relatif dengan komoditi lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riil. Apabila keunggulan itu adalah nilai tambah maka dikatakan keunggulan absolut. Komoditi yang memiliki keunggulan walaupun dalam bentuk perbandingan lebih menguntungkan untuk dikembangkan dibanding komoditi lain yang sama-sama diproduksi oleh kedua Negara atau daerah (Tarigan, 2005).

Keunggulan komparatif adalah suatu kegiatan ekonomi yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi pengembangan daerah. Dalam


(25)

perdagangan bebas, mekanisme pasar mendorong masing – masing daerah bergerak untuk memproduksi barang yang memiliki keunggulan komparatif.

Keunggulan kompetitif (competitive adventange) adalah kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau luar negeri bahkan global. Dalam hal ini akan melihat apakah suatu daerah dapat menjual produknya di luar negeri secara menguntungkan, tidak lagi membandingkan potensi komodidti yang sama di suatu Negara dengan Negara lainya tetapi membandingkan potensi komoditi suatu Negara terhadap komoditi semua Negara pesaingnya di pasar global.

Menurut Tarigan (2005) suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif karena salah satu faktor atau gabungan dari beberapa faktor . Adapun faktor-faktor yang dapat membuat suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Pemberian alam, yaitu karena kondisi alam akhirnya wilayah itu memiliki keunggulan untuk menghasilkan suatu produk tertentu.

2. Masyarakatnya menguasai teknologi mutakhir (menemukan hal-hal baru) untuk jenis produk tertentu.

3. Masyarakatnya menguasai keterampilan khusus. 4. Wilayah itu dekat dengan pasar.

5. Wilayah dengan aksesibilitas yang tinggi.

6. Daerah konsentrasi/sentra dari suatu kegiatan sejenis. 7. Daerah aglomerasi dari berbagai kegiatan.


(26)

8. Upah buruh yang rendah dan tersedia dalam jumlah yang cukup serta didukung oleh ketrampilan yang memadai dan mentalitas yang mendukung.

9. Mentalitas masyarakat yang sesuai dengan untuk pembangunan: jujur, terbuka, mau bekerja keras, dan disiplin sehingga lingkungan kehidupan aman, tertib, dan teratur.

10.Kebijakan pemerintah.

2.3.2 Location Quotient (LQ)

Kuosien lokasi ( Location Quotient) disingkat dengan LQ adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor/ komoditi di suatu daerah (kabupaten/kota) terhadap peraran sektor/ komoditi di daerah yang lebih tinggi (provinsi / nasional). Dengan kata lain LQ menghitung share output sektor I di kabupaten dengan share output sektor i di provinsi.

Dengan rumus:

LQi =

N Ni S Si N S Ni Si  Keterangan:

LQi = Nilai LQ pada sektor i

Si = Besaran dari suatu kegiatan tertentu sektor/komoditi yang akan di ukur di kawasan perencanaan

Ni = Besaran total dari suatu kegiatan tertentu sektor/komoditi yang akan di ukur di daerah yang lebih luas

S = Besaran total dari seluruh kegiatan sektor/komoditi yang akan di ukur di kawasan perencanaan

N = Besaran total dari seluruh kegiatan sektor/komoditi yang akan diukur di daerah yang lebih luas


(27)

Apabila nilai LQ > 1 artinya peranan sektor/komoditi tersebut di daerah itu lebih menonjol dibanding peranan sektor/komoditi secara nasional atau lebih luas. Sebaliknya, apabila LQ < 1 maka peranan sektor/komoditi tersebut lebih kecil dari pada peranan sektor/komoditi tersebut secara nasional.

Ada beberapa keunggulan metode LQ antara lain:

1. Metode LQ memperhitungkan ekspor langsung dan ekspor tidak langsung.

2. Metode LQ sederhana serta dapat digunakan untuk data historis untuk mengetahui trend

Disamping keunggulan metode LQ terdapat pula kelemahanya yaitu: 1. Berasumsi bahwa pola permintaan di suatu bangsa identik dengan pola

permintaan di suatu daerah dan bahwa produktivitas tenaga kerja di setiap sektor regional sama dengan produktivitas di sektor industri pada tingkat nasional.

2. Berasumsi bahwa tingkat ekspor bergantung pada tingkat agregasi Analisis LQ sesuai dengan rumusnya memang sederhana dan apabila digunakan dalam one shot analisys manfaatnya juga tidak terlalu besar hanya melihat LQ berada di atas 1 atau tidak. Akan tetapi analisis dapat di buat menarik apabila dilakukan dalam bentuk time series/trend, artinya di analisis dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini perkembangan LQ dapat dilihat untuk suatu sektor tertentu pada kurun waktu yang berbeda, apakah terjadi penurunan atau kenaikan. Hal ini dapat memancing analisis lebih lanjut, misalnya apabila naik dapat dilihat


(28)

nasional, demikian juga sebaliknya. Hal ini dapat membantu kita melihat kekuatan/kelemahan wilayah kita dibangingkan secara relatif dengan wilayah yang lebih luas. Potensi yang positif digunakan dalam strategi pengembangan wilayah. Adapun faktor-faktor yang membuat potensi sektor di suatu wilayah lemah perlu dipikikirkan apakah perlu ditanggulangi atau dianggap tidak prioritas (Tambunan, 2005).

2.3.3. Shift Share Analisys (SSA)

Metode analisis ini dapat digunakan untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan sebagai alat analisis dalam riset pembangunan pedesaan (Tulus Tambunan, 1996). Analisis ini juga digunakan untuk menganalisis sumbangan (share) kecamatan ke kabupaten dan sektor yang mengalami kemajuan selama pengukuran. Hasil analisis shift share ini juga mampu menunjukkan keunggulan kompetitif suatu wilayah. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu :

1. Komponen share, menunjukkan kontribusi pergeseran total seluruh sektor di total wilayah agregat yang lebih luas.

2. Komponen proportional shift, menunjukkan pergeseran total sektor tertentu di wilayah agregat yang lebih luas.

3. Komponen differential shift, menunjukkan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu.

Apabila komponen differential shift bernilai positif maka suatu wilayah dianggap memiliki keunggulan kompetitif karena secara fundamental masih


(29)

memiliki potensi untuk terus tumbuh meskipun faktor-faktor ekternal (komponen

share dan proportional shift) tidak mendukung.

1. Komponen Pertumbuhan Nasional (National share)

Komponen pertumbuhan nasional adalah perubahan produksi atau kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi atau kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah.

2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (Proportional shift component) Komponen pertumbuhan proporsional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan

price support) serta perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Differential shift component) Komponen pertumbuhan pangsa wilayah timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi pada wilayah tersebut.

Rumus shift-share adalah:

 

     

 

   

 0  0 1

0 0

1 0

1 1 1 1

0 ... ... T IJ t j t I t ij t j t T ij t X X X X t Xij X Xi X t Xij t X X                                  


(30)

Keterangan:

X… = Nilai total aktifitas dalam total wilayah

Xi = Nilai total aktifitas tertentu dalam total wilayah

X ij = Nilai aktifitas tertentu dalam unit wilayah tertentu t1 = Titik tahun akhir

t0 = Titik tahun awal

2.4 Pariwisata

Secara Etimologi istilah pariwisata berasal dari bahasa sansekerta yang

terdiri dari dua suaku kata yakni; “pari” dan “wisata”. Pari yang berarti: banyak,

berkali-kali, berputar-putar atau berkeliling-keliling. Sedangkan Wisata berarti bepergian. Secara garis besarnya, maka kedua kata ini yakni “Pari-wisata” dapat diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan berkali-kali dari satu tempat ke tempat yang lain.

Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 menyebutkan pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata, dengan demikian pariwisata meliputi :

1. Semua kegiatan yang berhubugan dengan perjalanan wisatawan,

2. Penguasaan objek dan daya tarik wisata seperti : kawasan wisata, taman rekreasi, kawasan peninggalan sejarah, museum, waduk, penggelaran seni budaya, tata kehidupan masyarakat atau yang bersifat alamiah : keindahan alam, gunung berapi, danau, pantai.

3. Pengusaaan jasa dan sarana pariwisata yaitu : usaha jasa pariwisata (biro perjalanan wisata, agen perjalanan wisata, pramuwisata, konvensi, perjalanan insentif dan pameran, impresariat, konsultan pariwisata,


(31)

informasi periwisata), usaha sarana pariwisata yang terdiri dari akomodasi, rumah makan, bar, angkutan wisata.

Sementara Marpaung (2002:13) mendefinisikan bahwa pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan-pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Sedangkan pengertian pariwisata menurut Damanik dan Weber (2006:1) yakni: pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia, barang, dan jasa, yang sangat kompleks. Ia terkait denga organisasi, hubungan-hubungan kelembagaan dan individu, kebutuhan layanan, penyediaan kebutuhan layanan dan sebagainya.

Beberapa ahli juga mengemukanan pengertian pariwisata, antara lain sebagai berikut:

1. Hunziker dan Kraff (dalam Pendit, 1995:38) menyatakan pariwisata adalah sejumlah hubungan-hubungan dan gejala-gejala yang dihasilkan dari tingalnya orang-orang asing, asalkan tingalnya mereka tidak menyebabkan tempat tinggal serta usaha-usaha yang bersifat sementara atau permanan sebagai usaha mencari kerja penuh.

2. Yoeti (1996:113) mengemukakan bahwa pariwisata adalah sebuah perjalanan yang dilaksanakan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan disuatu tempat ketempat lain dengan maksud bukan mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam.

3. Spillane mengemukakan bahwa pariwisata adalah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara dilakukan secara perorangan


(32)

maupun kelompok, sebagai usaha untuk mencari keseimbangan dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya juga alam dan ilmu.

4. Wahab (dalam Yoeti, 1996:114) mengemukakan pariwisata adalah suatu aktifitas yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-orang dalam suatu negara itu sendiri atau diluar negeri, meliputi pendiaman orang-orang dari daerah lain untuk sementara waktu dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda-beda dengan apa yang dialaminya dimana ia memperoleh pekerjaan tetap. Dari pengertian pariwisata yang dikemukakan beberapa ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pariwisata adalah merupakan suatu aktivitas perjalanan yang dilakukan manusia baik individu maupun kelompok untuk sementara waktu dari dari tempat tinggalnya ke tempat lain untuk menikmati objek dan atraksi wisata.

2.4.1 Kepariwisataan

Kepariwisataan adalah suatu sistem yang mengikutsertakan berbagai pihak dalam keterpaduan kaitan fungsional yang serasi, yang mendorong berlangsungnya dinamika fenomina mobilitas manusia tua-muda, pria-wanita, ekonomi kuat-lemah, sebagai pendukung suatu tempat untuk melaksanakan perjalanan sementara waktu secara sendiri atau berkelompok, menuju tempat lain di dalam negeri atau diluar negeri dengan menggunakan teransportasi darat, laut dan udara (Yoeti:2005).

Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisisata, artinya semua kegiatan dan urusan yang ada


(33)

kaitannya denan perencanaan, pengaturan, pengawasan pariwisata baik yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat (Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009). Humziker dank Kraff (Pendit, 1995) menyatakan kepariwisataan adalah setiap peralihan tempat yang bersifat sementara dari seseorang atau beberapa orang dengan maksud memperoleh pelayanan yang diperuntukkan bagi kepariwisataan itu oleh lembaga-lembaga yang digunakan untuk maksud tersebut.

2.4.2 Wisatawan

Dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 2009, wisatawan didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan wisata. Jadi menurut pengertian ini, semua orang yang malakukan kegiatan wisata disebut wisatawan. Apapun tujuannya yang penting perjalanan itu bukan untuk menetap dan tidak untuk mencari nafkah ditempat yang dikunjungi. Menurut International Union of Official Travel Organization (dalam Damardjati, 2001:88) kata tourist atau wisatawan haruslah diartikan sebagai :

1. Orang yang melakukan bepergian untuk bersenang-senang (pleasure), untuk kepentingan keluarga, kesehatan dan lain sebagainya.

2. Orang-orang yang bepergian untuk kepentingan usaha.

3. Orang-orang yang datang dalam rangka perjalanan wisata walaupun mereka singgah kurang dari 24 jam.

Pacific Area Travel Association memberikan batasan bahwa wisatawan sebagai orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan dalam jangka waktu 24 jam dan


(34)

tinggal, mereka meliputi (1) orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan untuk bersenang-senang, untuk keperluan pribadi, untuk keperluan kesehatan, (2) orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan untuk pertemuan, konfrensi, mausyawarah atau sebagai utusan berbagai badan/organisasi, (3) orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan dengan maksud bisnis, (4) pejabat pemerintah dan militer beserta keluarganya yang ditempatkan di negara lain tidak termasuk kategori ini. Tetapi bila mareka megnadakan perjalanan ke negeri lain, maka digolongkan wisatawan (Pendit, 1995).

2.4.3 Dampak Pengembangan Pariwisata

Berdasarkan Undang-undang Nomor 9 tahun 1990 tentang pariwisata, tujuan dari pengembangan pariwisata adalah untuk menciptakan multipler effect, yakni:

1. Memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja. 2. Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

3. Mendorong pendayagunaan produksi nasional.

Penyelengaraan pengembangan kepariwisataan merapakan suatu perangkat yang sangat penting dalam pengembangunan daerah khsusunya dalam otonomi daerah saat ini. Hal ini bidang pariwisata mempunyai peran yang sangat penting dan strategis bagi pengembangan suatu daerah terlebih di era otonomi saat sekarang, dimana deaerah-daerah dituntut untuk dapat menggali sumber-sumber padndapatan daerah yang dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD).


(35)

Menurut Suwardjoko dan Indira (2007) dampak pengembangan pariwisata merambah ke berbagai sektor yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan pariwisata, dan membentuk jaringan kegiatan kepariwisataan yang sangat luas dan rumit. Bagi suatu Daerah Tujuan Wiata (DTW), kegiatan pariwisata mempunyai saham sangat penting dalam menunjang perekonomian daerah, karena kepariwisataan membuka peluang untuk :

1. Pertukaran atau aliran valuta asing. Kunjungan para wisatawan asing juga

berarti ‘kedatangan’ valuta asing di suatu DTW. Selain itu, belanja

wisatawan selama berada di DTW (membayar akomodasi, makan belanja barang dan lain-lain) memperbesar kegiatan jual-beli di DTW yang bersangkutan bahkan pertukaran valuta asing akan menambah penerimaan daerah dari sektor pajak.

2. Peningkatan penerimaan Pajak. Perkembangan DTW akan menarik sejumlah usaha yang berkaitan dengan pariwisata berupa usaha jasa pelayanan angkutan, kerajinan, organisasi wisata/perjalanan, dan lain-lain yang mendatangkan pajak bagi daerah yang bersangkutan.

3. Perambatan Pertumbuhan pada Sektor Ekonomi Lain (trackling down effect). Peningkatan industri pariwisata secara langsung meningkatkan pasokan bahan baku bagi industri kepariwisataan yang pada gilirannya akan merangsang perkembangan sektor ekonomi lain secara berantai. Pengaruh ganda ini tidak hanya bagi DTW yang bersangkutan, tetapi dapat merambah ke daerah yang lebih luas atau bahkan sampai di DTW lain.


(36)

4. Pemicu Daya Cipta Seni. Barang-barang kerajinan (seni), baik berasal dari DTW itu sendiri maupun didatangkan dari dearah lain, adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepariwisataan. Daya cipta atau kreativitas seni akan terpicu oleh adanya beraneka ragam kegiatan kepariwisataan. Berbagai jenis dan bentuk cendra mata adalah salah satu produk daya cipta seni. 5. Peluang Lapangan Kerja. Berbagai ragam kegiatan kepariwasataan yang

berkaitan mengandung makna terbukanya kesempatan kerja di berbagai bidang yang perlu diisi oleh tenaga kerja yang terampil. Dampak positif akan dipetik di DTW yang bersangkutan bila tenaga kerja setempat yang tersedia sesuai dengan kesempatan kerja yang terbuka, namun bila tenaga kerja yang tersedia tidak terampil, tidak terididik dan tidak terlatih, maka kesempatan kerja yang ada akan diisi oleh tenaga kerja pendatang, dan

tenaga kerja setempat ‘tersisihkan’.

Yoeti (2008) menyebutkan kontribusi pariwisata terhadap perkekonomian daerah lebih lanjut adalah sebagi berikut :

1. Peningkatan perolehan devisa negara

2. Memperluas dan mempercepat proses kesempatan berusaha 3. Memperluas kesempatan kerja

4. Mempercepat pemerataan pendapatan.

5. Meningkatkan penerimaan pajak regional dan retribusi daerah. 6. Meningkatkan pendaptan nasional


(37)

8. Mendorong pertumbuhan pengembangan wilayah yang memiliki potensi alam yang terbatas.

2.4.3 Objek Dan Daya Tarik Wisata

Objek dan atraksi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan faktor pendorong bagi wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah objek wisata.

Menurut undang-undang No.9 tahun 1990 tentang kepariwisataan, objek dan daya tarik wisata dibagi menjadi dua jenis, diantaranya adalah :

1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna.

2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, penginggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, agrowisata taman rekreasi dan tempat hiburan.

Untuk menentukan sebuah daerah tujuan wisata, daerah itu harus memiliki kriteria yang berpotensi. Yoeti mengatakan ada tiga kriteria yang menentukan sebuah objek wisata dapat diminati oleh wisatawan, antara lain :

1. Something To See adalah objek wisata tersebut harus mempunyai sesuatu yang bisa dilihat atau dijadikan tontonan oleh pengunjung wisata. Dengan kata lain objek wisata tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang mampu untuk menarik minat wisatawan yang akan berkunjung ke daerah tersebut.


(38)

perasaan senang, relex, dan bahagia berupa fasilitas baik arena permainan atau arena makan terutama yang menyajikan makanan khas daerah tersebut sehingga terasa berbeda dari daerah wisata lainnya dan mampu membuat wisatawan lebih lama dan nyaman tinggal disana.

3. Something To Buy adalah fasilitas yang disediakan khsus sebagai tempat belanja bagi wisatawan yang pada umumnya adalah menjual benda yang menjadi ciri khas dan merupakan ikon dari daerah tersebut, sehingga bisa dijadikan sebagai oleh-oleh.

Atraksi wisata merupakan bagian dari daya tarik yang tak terlepas dari pengertian dari produk wisata. Menurut Soekadijo (1997) atraksi wisata yang baik harus dapat mendatangkan wistawan sebanyak-banyaknya, menahan mereka di tempat atraksi dalam waktu yang cukup lama dan meberi kepuasan kepada wisatawan yang datang berkunjung. Untuk mencapai hasil itu, beberapa syarat harus dipenuhi yaitu :

1. Kegiatan (act) dan obyek (artifact) yang merupakan atraksi itu sendiri harus dalam keadaan baik;

2. Karena atraksi itu harus disajikan dihadapan wisatawan, maka cara penyajiannya (presentasinya) harus tepat;

3. Atraksi wisata adalah terminal dari suatu mobilitas special, suatu perjalanan. Oleh karena itu juga harus memenuhi semua determinan mobilitas spasial, yaitu akomodasi, transportasi, dan promosi serta pemasaran;


(39)

5. Kesan yang diperoleh wisatwan waktu menyaksikan antraksi wisata harus diusahakan supaya bertahan selama mungkin.

2.5 Teori Daya Saing

Daya saing merupakan salah satu kriteria untuk menentukan keberhasilan dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara dalam peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Poter (1990), daya saing diidentifikasikan daengan masalah produktifitas, yakni dengan melihat tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktifitas ini disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal dan tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningaktan teknologi.

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing dilihat dari beberapa indikator yaitu keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif, ada juga keunggulan absolute. Menurut Tarigan (2005:76), Keunggulan komperatif adalah suatu kegitatan ekonomi yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi pegembangan daerah. Lebih lanjut menurut Tarigan (2005:75) istilah

comparative adventage (keunggulan komperatif) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo (1917) sewaktu membahas perdagangan antara dua negara.

Dalam teori tersebut, Recardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan komperatif maka kedua negara tersebut akan beruntung. Ternyata ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting


(40)

Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat diciptakan dan dikembangkan. Hal ini merupakan ukuran daya saing suatu aktivitas atas kemampuan suatu negara atau daearah untuk memasarkan produknya diluar daerah atau luar negeri. Maka dari itu, menurut Tarigan (2005:75) seorang perencana wilayah harus memiliki kemampuan untuk menganalisa potensi ekonomi wilayahnya. Dalam hal ini kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki keunggulan/kelemahan di wilayahnya menajadi semakin penting. Sektor yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.

2.5.1 Konsep Daya Saing

Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter (1990) dengan empat faktor utama yang menentukan daya saing yaitu: 1) kondisi faktor, 2) kondisi permintaan, 3) industri pendukung dan terkait, serta 4) kondisi strategi, struktur perusahaan dan persaingan. Selain keempat faktor tersebut, ada dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu peran pemerintah dan peran kesempatan. Secara bersama-sama, faktor-faktor tersebut membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang

disebut Porter’s Diamond Model.

Daya saing digunakan sebagai suatu konsep umum dalam ekonomi, seperti daya saing perusahaan dalam persaingan pasar, daya saing daerah terhadap daerah-daerah lain dan daya saing negara dalam persaingan internasional. Daya saing inilah nantinnya yang digunakan sebagai modal dalam pembangunan


(41)

ekonomi dan sebagai suatu konsep kunci bagi perusahaan, daerah/wilayah serta negara untuk bisa berhasil, berpartisipasi dan unggul di pasar.

Dasa saing suatu negara tergantung pada kapasitas industrinya untuk berinovasi dan melakukan pembaharuan. Perusahaan memperoleh keunggulan terhahadap para pesaing dunia yang terbaik, karena tekanan dan tantangan. Mereka mendapatkan manfaat dari memiliki pesaing domestik yang kuat, pemasok berbasis daerah asal yang agresif, dan para pelanggan lokal demanding.

Konsep daya saing dapat ditinjau dari tingkat perusahaan, tingkat industri, dan tingkat negara atau daerah. Masing-masing tingkat berhubungan erat yakni daya saing perusahaan-perusahaan merupakan elemen pembentukan daya saing pada tingkat industri, daya saing daerah merupakan elemen pembentukan daya saing pada tingkat negara.

2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk bertahan didalam pasar tersebut. Pengertian daya saing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara realtif terhadap kemampuan negara lain (Porter, 1990).

Selanjutnya Porter menjelaskan pentingnya daya saing karena tiga hal berikut (1) mendorong produktivitas dan mingkatkan kemampuan mandiri; (2) dapat meningkatkan kapasitas ekonomi, baik dalam konteks regional ekonomi maupun entitas pelaku ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat; (3)


(42)

Sementara daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank Indonesia (2002) harus mempertimbangkan beberapa hal :

1. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produtivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebh memilih

mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perkonomian” dari pada “kemampuan sektor swasta atau perusahan”.

2. Pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadau dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta, perusahaan dalam perekonomian.

3. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perkeonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuha ekonomi. Pertumbuhan eknomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka penigkatan standar kehidupan masyarakat.

4. Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah perean keterbukaan terhadap kompetisi dengan para competitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007 tentang standart proses, dinyatakan bahwa daya saing adalah kemampuan untuk


(43)

menunjukkan hasil yang lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna. Kemampuan yang dimaksud adalah (1) kemampuan memperkokoh pagsa pasarnya, (2) kemampuan menghunbungkan dengan lingkungannya, (3) kemampuan meningkatkan kinerja tanpa henti, (4) kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan. Dengan menggunakan kinerja atau melihat indicator tersebut sebagai acuan, maka dapat diukur tingkat keuat lemahnya daya saing.

Tingi rendahnya daya saing suatu industri/instansi tergantung kepada faktor-faktor yang memengaruhinya. Ruang lingkung daya saing pada skala makro menurut Sumihrdjo (2008) meliputi :

(1) Perekonomian daerah; (2) Keterbukaan;

(3) Sistem keuangan; (4) Infrastruktur

(5) Ilmu pengetahuan dan teknologi; (6) Sumber daya;

(7) Kelembagaan;

(8) Govermence dan kebijakan pemerintah dan (9) Menajemen dan ekonomi makro”

Muhtaron (2012) mangatakan untuk melihat kemapuan suatu negara dalam memenangkan persaingan pada kehidupan pasar global dapat diperhatikan dari indikator makro dan indikator mikro. Secara makro daya saing suatu negara dapat digambarkan oleh tiga macam indek, yaitu : (1) Indek Kemampuan teknologi, (2) Indek Kelembangaan Publik, dan (3) Indek Lingkungan Makro Ekonomi.


(44)

Sementara itu pada indikator mikronya dapat dilihat dari: (1) Urutan Strategi dan Operasional Perusahaan, dan (2) Urutan Kualitas Lingkungan Bisnis Nasional.

Muhtaron (2012) juga menjelaskan bahwa ada tiga faktor penting untuk memperbaiki daya saing yang kesemuanya berada kekuatan internal perusahaan dan berhubungan dengan produktifitas karena pada dasarnya perbaikan daya saing salah satu kuncinya adalah penurunan ongkos. Ketiga faktor dimaksud adalah :

1. Adanya inonvasi dan perbaikan teknologi yang terus menerus menuju penurunan biaya;

2. Pegembangan pemanfaatan teknologi komunikasi dan infornmasi untuk meningkatkan produktivitas dan penghematan waktu; dan

3. Pemanfaatan jaringan kerjasama untuk pengembangan pasar secara meluas.

Selain faktor-faktor di atas, beberapa faktor-faktor penentu yang membedakan tingkat daya saing suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung (Tambunan, 2011), adapun faktor-faktor tersebut adalah:

1. Infrastr uktur

Infrastruktur merupakan faktor penentu dari kelancaran proses

pembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi. Terbatasnya jumlah dan kualitas infrastruktur dapat menghambat kelancaran dan mengurangi tingkat efiseinsi dalam ditribusi faktor produksi maupun output. Akibatnya biaya produksi meningkat yang selanjutnya mengurangi tingkat daya saing, terutama daya saing terhadap harga.


(45)

2. Iklim Berusaha

Iklim berusaha suatu negara mempengaruhi daya saing negara, terutama adanya kehadiran penanam modal asing (PMA). Iklim usaha yang tidak kondusif berarti iklim berinvestasi yang tidak baik, artinya kemungkinan mendapatkan keuntungan dalam melakukan bisnis akan berkurang, dan dapat mengurangi niat PMA untuk masuk kengera tersebut.

3. Teknologi dan Inovasi

Dengan adanya teknologi dan inovasi, ada yang perlu untuk diamati yaitu submer teknologi baru dan kemampuan perusahaan atau negara dalam menyerap dan memanfaatkan teknologi yang baru secara optimal dalam menciptakan produk-produk dan proses-proses produksi yang efisien, lebih ramah lingkungan, lebih aman, dan menghasilkan output lebih banyak dengan kualitas lebih baik.

4. Sumber Daya Manusia

Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan salah satu dalam menentukan daya saing negara. SDM meruakan hal penting karena teknologi baru dan inovasi serta penemuan-penemuan baru tidak akan terjadi jika tidak ada SDM berkualitas tinggi. SDM didalam ini tidak hanya pekerja, tetapi ada pengusaha dan peneliti atau masyarakat umum.

2.6 Penelitian Terdahulu

Yulianti (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor


(46)

deskripstif dengan pendekatan porter’s diamond menunjukkan bahwa anggaran

untuk kepariwisataan kota Bogor masih kurang, sarana dan prasarana kota masih kurang lengkap, dan transportasi kota Bogor masih memerlukan penataan lebih lanjut.

Berdasarkan hasil metode Probit, faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi wisatawan berwisata ke kota Bogor yaitu intensitas berwista, pendidikan, kenyamanan kota Bogor, dan biaya yang dikeluarkan ketiwa berwisata. Variabel-variabel tersebut signifikan pada tarif nyata 10 persen. Dari

hasil analisis keduanya yakni porter’s dan metode probit, dirumuskan suatu

strategi yaitu peningkatan kenyamanan kota Bogor dengan meningkatkan anggaran dari pemerintah untuk kepariwisataan kota Bogor. Anggaran ini dialokasikan untuk melengkapi sarana dan prasarana kota Bogor.

Trinawati, dkk (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “ Analisis Daya

Saing Industri Pariwisata Untuk Meningkatkan Ekonomi Daerah (Kajian

Perbandingan Daya Saing Pariwisata antara Surakarta dengan Yogyakarta)”

dengan menggunakan alat analisis kuantitatif index composite menyatakan bahwa indeks daya saing pariwisata di Yogyakarta lebih tinggi dibanding Surakarta. Beberapa penyebab hal ini dapat dijelaskan pada setiap indikator yang membentuk indeks daya saing di sektor pariwisata.

Berdasarkan human tourism indicator, hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah turis baik domestic maupun mancanegara lebih banyak di Yogyakarta. Bidang kepariwisataan juga telah menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah


(47)

(PAD) yang cukup besar bagi kota Yogyakarta dibandingkan dengan kota Surakarta.

Berdasarkan Price Competitiveness Indicator (PCI) menunjukkan bahwa indeks PPP lebih tinggi di kota Yogyakarta dibandingkan dengan kota Surakarta. Berdasarkan Infrastructure Development Indicator (IDI) menunjukkan bahwa pendapatan perkapita di kedua destinasi tersebut adaalh tidak berbeda secara nyata, tetapi pertumbuhan pendapatan perkapita Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan kota Surakarta.

Berdasarkan Environtment Indicator (EI) menunjukkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di kedua destinasi tersebut tidak berbeda secara nyata. Berdasarkan Technology Advancement Indicator (TAI) menunjukkan bahwa indeks tehnologi di daerah destinasi Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan dengan destinasi Surakarta. Berdasarkan Human Resourseces Indicator (HRI) menunjukkan bahwa indeks pendidikan di destinasi Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan Surakarta.

Berdasarkan Openess Indicator (OI) daya saing pariwisata destinasi Yogyakarta juga menunjukkan angka lebih tinggi dibandingkan dengan dengan Surtakarta. Berdasarkan Social Development Indicator (SDI) menunjukkan bahwa rata-rata masa tinggal turis di Yogyakarta lebih lama dibandingkan di Surakarta.

2.7 Kerangka Konseptual

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menerangkan atau mengukur prestasi pembangunan suatu daerah/wilayah


(48)

tingkat perubahan ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi suatu daerah menjadi indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi yang terus menerus akan meyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur perekonomian wilayah. Transformasi struktur berarti suatu proses perubahan struktur perekonomian dari sektor primer ke sektor sekunder atau bahkan ke sektor tersier, dimana tiap-tiap sektor akan mengalami proses transformasi yang berbeda-beda.

Dewasa ini sektor pariwisata terbukti mampu memberikan kontribusi penting dalam penerimaan devisa negara. Hal ini merupakan sektor yang potensial dari struktur ekonomi yang ada. Sektor pariwisata terus mengalami peningkatan, ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata memiliki potensi yang besar. Untuk itu perlu dikaji secara mendalam daya saing sektor pariwisata Kota Medan dimana potensi dan pengembangan sektor ini dapat memberikan kontribusi selain penerimaan devisa negara, sektor ini juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan daerah dan pembangunan daerah.

Alur kerangka pemikiran konseptual penelitian ini dapat dilhat pada gambar di bawah ini:


(49)

Gambar 1.2 Kerangka Pikir Konseptual Keterangan:


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah merupakan analisis untuk melihat variabel dari objek penelitian atau apa yang menjadi titik suatu penelitian. Adapun variabel atau tolak ukur dalam analisis daya saing sektor pariwisata kota Medan ini yakni, data sekunder berupa PDRB kota Medan menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan dan PDRB Sumatera Utara menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan.

3.2 Lokasi Penelitan

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis daya saing sektor pariwisata kota Medan dan kawasan wilayah kota Medan yang berhubungan dan berkaitan dengan objek penelitian akan menjadi lokasi penelitain.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan mencataat teori-teori dari buku-buku literature, bacaan-bacaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data-data yang digunakan berasal dari Badan Pusat Statistik Kota Medan dan Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Dinas Pariwisata Kota Medan serta Dinas Pariwisata Propinsi Sumatera Utara. Dalam penelitian ini periode waktu yang digunakan berkisar pada tahun 2006-2010.


(51)

3.4 Metode Analisis

Pada peneltian ini, metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan digunakan alat analisis yaitu:

Location Quotient (LQ) digunakan untuk menganalisis potensi ekonomi dalam dalam hal ini menentukan potensi sektor pariwisata kota Medan.

Shift Share Analisys (SSA) digunakan untuk menegtahui daya saing sektor pariwisata kota Medan.

3.4.1 Location Quotient (LQ)

Analisis sektor basis dengan pendekatan LQ untuk mengetahui potensi spesialisasi suatu daerah terhadap aktivitas ekonomi utama atau untuk mengetahui sektor unggulanya. Dengan rumus:

LQi =

totSUMUT SUMUTi

totKM KMi

PDRB PDRB

PDRB PDRB

Keterangan:

LQi = Nilai LQ pada sektor i PDRBKMi = PDRB sektor i Kota Medan PDRB SUMUTi = PDRB sektor i Sumatera Utara

PDRB tot KM = Total PDRB dari seluruh kegiatan sektor Kota Medan PDRB tot SUMUT = Besaran total dari seluruh kegiatan sektor Sumatera

Utara

Apabila nilai LQ > 1 artinya peranan sektor tersebut di daerah itu lebih menonjol dibanding peranan sektor secara nasional atau lebih luas. Sebaliknya, apabila LQ < 1 maka peranan sektor tersebut lebih kecil dari pada peranan sektor tersebut secara nasional. Dalam analisis ini menggunakan data PDRB Kota


(52)

Medan Atas Dasar Harga Konstan mulai tahun 2006 sampai tahun 2010 dan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Sumatera Utara Tahun 2006-2010.

3.4.2 Shift Share Analisys (SSA)

Analisis ini juga digunakan untuk mengetahui perubahan dan pergeseran sektor pada perekonomian wilayah Koa Medan. Hasil analisis shift share ini juga mampu menunjukkan keunggulan kompetitif wilayah Kota Medan melalui kinerja sektor dalam PDRB dibandingkan Sumatera Utara. Kemudian dilakukan analisis terhadap penyimpangan berdasarkan perbandingan tersebut. Jika penyimpangan positif maka wilayah tersebut mempunyai keunggulan kompetitif dan berdaya saing. Data yang digunakan untuk analisi shift-share ini adalah PDRB Kota Medan dan Sumatera Utara berdasarkan lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000.

Secara matematis, Provincial Share (PS), Proportional Shift (P), dan

Differential Shift (D) dapat diformulasikan sebagai berikut (Tarigan, 2007:88; Sjafrizal, 2008:91):

1. Provincial Share (PS)

          1 1 1 SUMUTt SUMUTt KMt KM PDRB PDRB PDRBi PSit

2. Proportional Shift (P)

            1 _ 1 1 SUMUTt TOT t TOTSUMUT SUMUTt SUMUTt KMt KM PDRB PDRB PDRBi PDRBi PDRBi Pit


(53)

            1 _ 1 1 SUMUTt t SUMUT KMt KMt KMt KM PDRBi PDRBi PDRBi PDRBi PDRBi Dit Di mana:

SUMUT = Provinsi Sumatera Utara sebagai wilayah referensi yang lebih tinggi jenjangnya.

KM = Kota Medan sebagai wilayah analisis. PDRB = Nilai PDRB

I = Sektor dalam PDRB T = Tahun 2010

t-1 = Tahun awal (2006)

1. Komponen Pertumbuhan Nasional (Provincial share)

Komponen pertumbuhan nasional digunakan untuk mengetahui pergeseran dan perubahan struktur perekonomiian Kota Medan dengan melihat nilai PDRB Kota Medan sebagai daerah pengamatan dipengaruhi oleh perubahan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara.

2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (Proportional shift component) Komponen Pertumbuhan Proporsional adalah pertumbuhan nilai tambah bruto suatu sektor i pada Kota Medan dibandingkan total sektor di tingkat Provinsi Sumatera Utara.

3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Differential shift component) Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah adalah perbedaan antara pertumbuhan ekonomi Kota Medan dan nilai tambah bruto sektor yang sama di tingkat Provinsi Sumatera Utara.


(54)

Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi pada wilayah tersebut.

Kedua komponen shift, yaitu Proportional Shift (P) dan Differential Shift

(D) memisahkan unsur-unsur pertumbuhan regional yang bersifat eksternal dan

internal. Proportional Shift (P) merupakan akibat pengaruh unsur-unsur eksternal

yang bekerja secara nasional (Provinsi), sedangkan Differential Shift (D) adalahakibat dari pengaruh faktor-faktor yang bekerja di dalam daerah yang bersangkutan (Glasson, 1977).

Sektor-sektor di Kota Medan yang memiliki Differential Shift (D) positif memiliki keunggulan komparatif terhadap sektor yang sama pada Kabupaten/Kota lain dalam Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, sektor-sektor yang memiliki nilai D positif berarti bahwa sektor tersebut terkonsentrasi di Kota Medan dan mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya. Apabila nilai D negatif, maka tingkat pertumbuhan sektor tersebut relatif lamban.

3.5 Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Untuk menyamakan persepsi tentang variabel-variabel yang digunakan dan menghindari terjadinya perbedaan penafsiran, maka penulis memberi batasan definisi operasional sebagai berikut:

1. Sektor Potensial adalah sektor yang memiliki peranan (share) relatif besar dibanding sektor-sektor lainnya terhadap ekonomi wilayah (PDRB).


(55)

2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu berdasarkan harga konstan.

3. Sektor Ekonomi adalah lapangan usaha yang terdapat pada PDRB, yang mencakup 9 (sembilan) sektor utama.

4. Sektor Pariwisata yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lapangan Usaha dalanm Sembilan sektor yaitu: Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran.


(56)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kota Medan

Sebagai salah satu derah otonom berstatus kota di Propinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi dan peran Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah.

Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi).

4.1.1 Kota Medan Secara Geografis

Secara geografis Kota Medan terletak pada 30 30’-30 43’ Lintang Utara dan 980 35’-980 44’ Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 km2. Kota medan berapda pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kota Medan sebagian besar secara topografi cenderung miring ke utara dan menjadi tempat pertemuan 2 sungai penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Secara administratif Kota Medan terbagi menajdi 21 Kecamatan dan batas wilayah Kota Medan adalah sebagai berikut :


(57)

- Selatan : Kabupaten Deli Serdang, - Barat : Kabupaten Deli Serdang dan - Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang.

Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Polonia berkisar antara 22,70 C – 24,10 C dan suhu maksimum berkisar antara 31,00 C – 33,70 C serta menurut stasiun Sampali suhu minimumnya berkisar antara 23,30C – 24,40C dan suhu maksimum berkisar antara 30,90C – 33,60C.

Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.121.053 jiwa. Secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul dikeluarkannya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal


(58)

21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan.

Berdasarkan luas administrsi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Keluarahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administrative ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

Secara administratif, wilayah kota medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara,


(59)

Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

4.1.2 Kota Medan Secara Demografis

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fikir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya.

Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi


(60)

dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat.

Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun tingkat kematian sudah tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun cultural. Menurut tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang balik (cummuters) mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Tabel: 4.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kota Medan Tahun 2005-2009.

Tahun Jumlah Penduduk Luas Wilayah (KM²)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/KM²)

[1] [2] [3] [4]

2005 2.036.185 265,10 7.681

2006 2.067.288 265,10 7.798

2007 2.083.156 265,10 7.858

2008 2.102.105 265,10 7.929

2009 2.121.053 265,10 8.001


(61)

4.1.3 Kota Medan dalam Dimensi Sejarah

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutnya ditandai dengan perpindahan ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis Ke Medan, tahun 1887, sebelum akhirnya statusnya diubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915. Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisikan nya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya Kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. Sedang dijadikanya Medan sebagai ibukota Deli juga telah medorong kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, di samping merupakan salah satu daerah Kota, juga sekaligus ibukota Propinsi Sumatera Utara.

4.1.4 Kota Medan Secara Kultural

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak


(62)

sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.

Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis.

4.1.5 Kota Medan Secara Sosial

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya .

Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan salah satu masalah utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multi dimensional yang penomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan


(63)

perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara martabat.

Data SUSENAS tahun 2004, memperkirakan penduduk miskin di kota medan tahun 2004 berjumlah 7,13% atau 32.804 rumah tangga atau 143.037 jiwa. Dilihat dari persebarannya, Medan bagian Utara (Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Belawan) merupakan kantong kemiskinan terbesar (37,19%) dari keseluruhan penduduk miskin.

4.1.6 Kota Medan Secara Ekonomi

Pembangunan ekonomi daerah dalam periode jangka panjang (mengikuti pertumbuhan PDRB), membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri pengolahan dengan increasing retunrn to scale

(relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan, bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi membuat semakin cepat proses peningkatan pendapatan masyarakat per kapita, dan semakin cepat pula perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi, relatif tetap.

Perubahan struktur ekonomi umumnya disebut transformasi struktural dan didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat (produksi dan pengangguran faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung


(1)

(2)

Lampiran 1 : Struktur Perekonomian Kota Medan Tahun 2006-2010 (Rp Millyar)

Lampiran 2 : Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Medan

Tahun Jumlah Penduduk Luas Wilayah (KM²)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/KM²)

[1] [2] [3] [4]

2005 2.036.185 265,10 7.681

2006 2.067.288 265,10 7.798

2007 2.083.156 265,10 7.858

2008 2.102.105 265,10 7.929


(3)

Lampiran 3 : Objek Wisata di Kota Medan No Nama Objek Wisata Jenis Objek

Wisata

Lokasi Objek Wisata

1 Istana Maimoon Budaya/Sejarah Jl. Brigjend Katamso 2 Mesjid Raya Al-Mahsun Budaya/Sejarah Jl. Mesjid Raya 3 Klenteng Hindu Sri Mariaman Budaya/Sejarah Jl. H.Zainun Arifin 4 Gereja Katolik Budaya/Sejarah Jl. Pemuda

5 Mesjid Labuhan Budaya/Sejarah Labuhan Deli 6 Kebun Binatang Rekreasi/Fauna

7 TPI Rekreasi Medan Labuhan

8 Taman Sri Deli Rekereasi Jl. SM. Raja

9 Taman Ahmad Yani Rekreasi Jl. Jendral Sudirman 10 Taman/ Pengangkaran Buaya Rekreasi/Fauna Asam Kumbang 11 Danau Siombak Indah Alam/Bahari Medan Marelan 12 Ocean Fasifik Alam/Bahari Belawan

13 Perumahan Nelayan Indah Alam/Bahari Medan Labuhan 14 Rahmat Galery Rekreasi/Fauna Jl. S. Parman

16 Pakantan Kuliner Jl. Pandu

17 Merdeka Walk Kuliner Jl. Balai Kota 18 Taman Lili Suhery Kuliner Jl. Listrik 19 Pagaruyung Kuliner Jl. Pagaruyung 20 Balai kota Budaya/Sejarah Jl. Balai Kota 21 Menara PDAM Tirta Nadi Budaya/Sejarah Jl. SM. Raja 22 Kantor Pos Induk Budaya/Sejarah Jl. Balai Kota

23 Klenteng Budha Budaya/Sejarah Jl. Jenderal Sudirman 24 Titi Gantung Budaya/Sejarah Stasiun Kreta Api 25 Pekan Raya Sumatera Utara Budaya/Sejarah Jl.Jend.Gatot Subroto 26 Museum Negeri SU Budaya/Sejarah Jl. A.M Joni

27 Museum Bukit Barisan Budaya/Sejarah Jl. H.Zainun Arifin 28 Pusat Industri Kecil Menteng Kerajinan Jl. Medan Tenggara 29 Pabarik Bakaran Batu 1 Kerajinan Jl. Bromo

30 Perkebunan Tembakau Alam/Agrowisata Perkeb. Tembakau 31 Rumah Tjong A Fie Budaya/Sejarah Jl. Ahmad Yani 32 Vihara Maria Anne Budaya/Sejarah

33 Kesawan Town Budaya/Sejarah Jl. Ahmad Yani 34 London Sumatera Indonesia Budaya/Sejarah Jl. Ahamad Yani 35 Geraja Immanuel Budaya/Sejarah Jl. Diponegoro


(4)

Lampiran 4: Jumlah Hotel di Kota Medan Menurut Kelas Hotel Tahun 2006-2010

Lampiran 6: Tempat Hiburan Berijin di Kota Medan Dirinci Menurut Jenisnya


(5)

Lampiran 6 : Hasil Perhitungan Indeks Location Quotient (LQ) Kota Medan Tahun 2006-2010


(6)

Lampiran 7 : Hasil Analisis Shift Share Kota Medan Tahun 2006-2010