BAB 1 PENDAHULUAN - Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan resiko dan komplikasi pada pasien. Oleh karena itu, dalam melakukan tindakan tersebut dibutuhkan persiapan dan keterampilan yang baik dari seorang ahli anastesi. Sehingga segala resiko dan komplikasi tersebut
1 dapat dihindari.
Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan stimulasi noksius yang dapat menyebabkan perangsangan aktifitas simpatis dan pelepasan katekolamin sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan hemodinamik berupa
1,2,3,4
hipertensi dan takikardi (disebut dengan respon pressor) . Peningkatan rata- rata tekanan darah akibat tindakan laringoskopi dan intubasi bisa mencapai 40-
5
50% , dan peningkatan denyut jantung hingga 26-66% bila tidak ada usaha
6 tertentu yang dilakukan untuk mencegah respon peningkatan hemodinamik.
Peningkatan hemodinamik yang terjadi tersebut hanya bersifat sementara dan tidak akan mempunyai dampak yang begitu berarti serta dapat ditoleransi oleh
2,3,7
pasien yang sehat . Namun hal tersebut dapatlah merugikan dan membahayakan bagi pasien yang mempunyai faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskular, miokard infark dan
2,8
tirotoksikosis . Peningkatan tekanan darah yang menetap setelah tindakan intubasi merupakan bentuk respon yang berlebihan yang sering terlihat pada pasien dengan resiko tinggi yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes,
9 penyakit ginjal, dan penyakit kardiovaskular .
Beberapa komplikasi yang dijumpai akibat tindakan intubasi seperti hipertensi
9 sebanyak 19%, takikardi 29%, disritmia 6.5% dan henti jantung 0.5-1.9% .
Miokard infark merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas paska operasi pada pasien-pasien normotensi. Miokard infark tersebut terjadi karena iskemi yang disebabkan oleh hipertensi dan takikardi akibat tindakan
10,11
laringoskopi dan intubasi . Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, walaupun pencegahan terhadap respon hemodinamik telah dilakukan, masih didapati kejadian iskemik miokard sebanyak 10% saat dilakukan tindakan
12
laringoskopi dan intubasi . Pada pasien-pasien dengan hipertensi, didapati hingga 25% pasien penderita hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah tindakan
13
intubasi trakhea . Oleh kerena itu pencegahan terhadap peningkatan hemodinamik akibat dari laringoskopi dan intubasi sangatlah penting untuk
2,7 dilakukan .
Rate pressure product (RPP), merupakan hasil perkalian antara tekanan darah
sistolik dan denyut jantung. Nilai RPP merupakan indikator untuk menggambarkan kebutuhan oksigen jantung yang telah luas penggunaannya secara klinis. Nilai normalnya kurang dari 12000. Pada pasien-pasien dengan
14
penyakit arteri koroner, RPP haruslah dijaga di bawah 12000. RPP yang meningkat hingga diatas 20000 selalu berkaitan dengan iskemi miokard dan
2,15
angina. Jantung yang berdenyut cepat tidak hanya akan meningkatkan konsumsi oksigen miokard, namun juga memperpendek waktu diastolik dari ventrikel kiri dan akan mengurangi penghantaran oksigen (oxygen delivery) pada
16 miokard.
Telah banyak usaha yang dilakukan untuk mencegah peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut, antara lain
17 1,5,13,17 2,3,7,13
pemberian hipnotik , mendalamkan anastesi inhalasi , opioid , β-
2,3,7,8 2,3,8,17
adrenergic blocker , anastesi lokal intra vena , calcium channel
2,3,7 5,7,17,18 , dan vasodilator (hidralazin, nitrogliserin, sodium nitroprusside) . blocker
Opioid merupakan obat yang sering diberikan sebelum tindakan induksi anastesi. Pemberian opioid ini, selain bertujuan untuk mencegah respon peningkatan tekanan darah (TD) dan peningkatan denyut jantung (DJ) saat
19 tindakan laringoskopi dan intubasi, juga berfungsi sebagai analgesia preemptif.
Fentanyl merupakan opioid sintetis, dengan kemampuan analgetik yang kuat dan sering digunakan untuk menekan respon simpatis dan mencegah peningkatan hemodinamik saat tindakan laringoskopi dan intubasi dengan dosis 2-5
3,17,20
µg/kgBB . Namun, seiring dengan peningkatan dosis, maka efek samping
20
akan semakin besar . Fentanyl dosis besar akan mencegah peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung akibat laringoskopi, namun dapat menyebabkan kekhawatiran terhadap terjadinya depresi pernafasan (terutama
21,22 tindakan operasi yang kurang dari 1 jam), bradikardi, hipotensi dan rigiditas.
Fentanyl dosis 5 µg/kgBB efektif dalam mencegah respon simpatis akibat laringoskopi, namun dengan resiko peningkatan efek samping. Dosis yang lebih kecil 2.5 – 3 µg/kgBB dapat menurunkan efek samping dengan kemampuan
20
menurunkan setengah dari respon simpatis. Kauto dkk mengatakan fentanil 2 µg/kgBB secara signifikan mengurangi peningkatan hemodinamik dan fentanil 6 µg/kgBB secara sempurna mencegah peningkatan hemodinamik jika diberikan satu setengah dan tiga menit sebelum intubasi, tetapi dosis ini dapat menimbulkan efek samping berupa bradikardi, hipotensi, rigiditas otot dan terlambat pulih. Katoh dkk mengatakan fentanil 4 µg/kgBB lebih efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi
23 dibandingkan fentanyl 1 µg/kgBB dan 2 µg/kgBB.
Malde A dan Sarode V, melakukan penelitian terhadap 90 pasien ASA 1, usia 18-65 tahun yang akan dilakukan pembedahan elektif dengan menggunakan anastesi umum intubasi trakhea. Mereka membandingkan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB yang diberikan 5 menit sebelum tindakan intubasi dan dibandingkan dengan pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan 5 menit sebelum tindakan intubasi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB terbukti efektif dalam mengurangi respon pressor akibat
6 tindakan laringoskopi dan intubasi.
Dari penelitian Hassani V dkk, yang melakukan penelitian terhadap perubahan hemodinamik pada pasien dengan hipertensi yang diberikan fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari penelitian tersebut didapati bahwa pemberian fentanyl tersebut efektif dalam mengurangi respon
3 peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi.
Namun terdapat juga beberapa penelitian negatif tentang penggunaan fentanyl. Helfman dkk mengatakan dengan pemberian fentanyl 200 µg tidak dapat
6
mengurangi peningkatan hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi. Bajwa
SJS dkk, dari penelitian mereka mendapati dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB yang diberikan 3 menit sebelum induksi, tidaklah cukup untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea. Dari penelitian mereka terjadi peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut
24
jantung sebesar 15-25% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi. Shin HY dkk dari penelitiannya mendapatkan hasil dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum intubasi pada pasien ASA 1 dan 2 masih terjadi peningkatan
25 denyut jantung sebesar 29.2% akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.
Lidokain (lignocaine) merupakan obat anastesi lokal dan penghambat sodium
channel yang diketahui memiliki kemampuan mengurangi respon pressor akibat
26
intubasi. Lidokain telah lama digunakan untuk mengurangi respon kardiovaskular akibat intubasi. Lidokain bekerja dengan menghambat sodium pada membran sel saraf, mengurangi sensitifitas otot jantung tehadap
channels
impuls listrik, dapat mendepresi jantung dan memiliki efek vasodilatasi. Lidokain
27
juga menekan refleks pada saluran nafas.Mohseni G dkk menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi efektif dalam mengurangi
28
peningkatan hemodinamik. Sukron dkk menyatakan pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB intravena sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dapat mengurangi
2
gejolak kardiovaskuler. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Gupta R dkk, menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan 1 menit sebelum tindakan intubasi, efektif dalam mengurangi peningkatan tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD) dan tekanan arteri rerata (TAR)
27 dibandingkan dengan basal.
Magnesium sulfat mempunyai efek menghambat pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik dan dari medula adrenal, oleh karena itu magnesium sulfat dapat menjadi salah satu pilihan dalam mengurangi respon kardiovaskular akibat
7,29
tindakan laringoskopi dan intubasi . Magnesium sulfat juga dapat menyebabkan
29
vasodilatasi sehingga dapat menurunkan tekanan darah . Dari penelitian yang telah dilakukan dengan berbagai dosis magnesium sulfat untuk mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi, terlihat
30 bahwa magnesium sulfat lebih efektif daripada lidokain .
Nooraei N dkk, melakukan penelitian terhadap 60 pasien ASA 1 dan 2, umur 20-40 tahun, yang menjalani operasi elektif. Mereka membandingkan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara pasien yang mendapatkan magnesium sulfat 60 mg/kgBB (berdasarkan Lean Body Mass) dengan lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa pemberian magnesium sulfat lebih efektif dibandingkan dengan lidokain dalam mengurangi peningkatan
29 hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.
Panda NB dkk, melakukan penelitian terhadap 80 pasien dewasa yang menderita hipertensi terkontrol yang akan menjalani operasi elektif. Pasien-pasien tersebut dibagi dalam 4 kelompok penelitian. Sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dilakukan, kelompok I mendapatkan magnesium sulfat 30 mg/kgBB, kelompok II mendapatkan magnesium sulfat 40 mg/kgBB, kelompok III mendapatkan magnesium sulfat 50 mg/kgBB, dan kelompok IV mendapatkan lidokain 1.5 mg/kgBB. Keseluruhan kelompok dinilai dan dibandingkan perubahan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa magnesium 30 mg/kgBB merupakan dosis yang optimal dalam mengurangi peningkatan tekanan darah saat tindakan intubasi pada pasien-pasien hipertensi. Dengan pemberian magnesium sulfat 30mg/kgBB, stabilitas jantung lebih baik bila dibandingkan pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB. Dosis magnesium lebih dari 30 mg/kgBB dapat menyebabkan
7 terjadinya hipotensi yang bermakna.
Dari melihat latar belakang diatas, peneliti ingin membuktikan efek dari pemberian adjuvant magnesium sulfat 30 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik dan melihat apakah magnesium sulfat lebih baik efeknya daripada pemberian adjuvant lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menggabungkan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB dan magnesium sulfat 30 mg/kgBB untuk mengurangi peningkatan respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi, dan membandingkannya dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB dan lidokain 1.5 mg/kgBB. Dan dari berbagai literatur, belum pernah ada yang membandingkan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB
- lidokain 1.5 mg/kgBB untuk mengurangi peningkatan respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Apakah ada perbedaan efek intravena fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dibandingkan dengan fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik (TDS, TDD, DJ, TAR, RPP) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi?
1.3. HIPOTESIS
Ada perbedaan efek intravena fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dibandingkan dengan fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik (TDS, TDD, DJ, TAR, RPP) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi
1.4. TUJUAN PENELITIAN
1.4.1. Tujuan umum
Untuk mendapatkan obat alternatif yang lebih efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.
1.4.2. Tujuan Khusus