Perbandingan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Pada Premedikasi Fentanil 2µg/kgBB Intravena + Deksketoprofen 50 mg Intravena Dengan Fentanil 4µg/kgBB Intravena

(1)

PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI PADA PREMEDIKASI FENTANIL

2µg/kgBB INTRAVENA + DEKSKETOPROFEN 50 mg INTRAVENA DENGAN FENTANIL 4µg/kgBB INTRAVENA

TESIS Oleh

ADE FITRIANI SIREGAR

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI PADA PREMEDIKASI FENTANIL

2µg/kgBB INTRAVENA + DEKSKETOPROFEN 50 mg INTRAVENA DENGAN FENTANIL 4µg/kgBB INTRAVENA

TESIS Oleh

ADE FITRIANI SIREGAR

Pembimbing I : dr. HASANUL ARIFIN SpAn, KAP, KIC Pembimbing II : dr. MUHAMMAD A. R SpAn

Tesis Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Spesialis Anestesiologi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan

Reanimasi

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN


(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur hanya kepada Allah SWT karena atas ridho dan karunia– Nya saya berkesempatan mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta menyusun dan menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian dibidang Anestesiologi. Shalawat dan salam saya sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-nya yang telah membawa perubahan dari zaman kejahiliyahan ke zaman berilmu pengetahuan seperti saat ini.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidkan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi di Universitas ini. Bapak Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Direktur RS Pirngadi Medan dan Direktur RS Haji Mina Medan, Direktur RS Putri Hijau DAM I/BB yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk belajar dan bekerja di lingkungan rumah sakit ini.

Dengan penuh rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC sebagai ketua Departemen Anestesiologi dan Reanimasi FK USU/RSUP H Adam Malik Medan. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Reanimasi yang juga sebagai pembimbing penelitian ini. Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn KNA sebagai Sekretaris Departemen dan Kepala instalasi Anestesiologi dan Reanimasi. dr.


(5)

Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV sebagai Sekretaris Program Studi, dr Yutu Solihat SpAn, KAKV sebagai Kepala Instalasi Terapi Intensif.

Terima kasih saya sampaikan kepada dr. Muhammad A. R, SpAn yang juga sebagai pembimbing penelitian ini, dr. Arlinda Wahyuni, MKes sebagai pembimbing statistik yang banyak membantu dalam penelitian ini khususnya dalam hal metodologi penelitian dan analisa statistik.

Rasa hormat dan terima kasih kepada semua guru-guru kami, dr. A. Sani P. Nasution, SpAn KIC, dr. Chairul M. Mursin, SpAn, Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC, Dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC, Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn KNA, dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn,KAP, KMN, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn KAKV, dr. Yutu Solihat, SpAn KAKV, dr. Nadi Zaini, SpAn, Dr. Soejat Harto, SpAn, dr. Muhammad AR, SpAn, dr. Syamsul Bahri, SpAn, dr. Walman Sitohang, SpAn, dr. Tumbur, SpAn, dr. Veronica HY, SpAn KIC, dr Tjahaya Indra Utama, dr. Nugroho K.S, SpAn, SpAn, dr. Dadik Wahyu Wijaya, SpAn, dr. M. Ihsan, SpAn, dr. Guido M. Solihin, SpAn.

Terima kasih kepada seluruh teman-teman residen Anestesiologi dan Reanimasi FK USU dr M. Jalaluddin A. Chalil, dr Ricky Hidayat Tarigan, dr Irfan Hamdani, dr Dwi Lunarta, dr Teguh Ismanto, dr Ade Winata, dr Edlin, dr Andriamuri Primaputra dan teman-teman yang lain atas kerja sama dan bantuanya selama ini. Terima kasih kepada teman-teman residen Ilmu Bedah, Ilmu Kebidanan dan Kandungan, THT, Penyakit Mata dan bidang ilmu kedokteran lainnya yang banyak berhubungan dengan bidang Anestesiologi dan Reanimasi. Terima kasih kepada rekan-rekan kerja perawat dan penata Anestesiologi, perawat ICU dan perawat lainnya yang banyak berhubungan dengan kami. Terima kasih juga kepada seluruh pasien dan keluarganya sebagai “guru” kedua kami dalam menempuh pendidikan spesialis ini.

Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya, ayahanda H.M. Ibrahim Siregar (Alm) dan ibunda Hj. Nurlela Lubis (Alm), yang kasih sayangnya tidak berkesudahan, pengorbanannya tidak terkira, jerih payahnya tidak


(6)

terbalaskan. Terima kasih kepada Suamiku, Rudy Harahap SAg atas pengorbanannya, kesabarannya dan kesetiannya. Kepada anak-anakku Arina Husna dan Raihan Abdul Rahman yang menginspirasi dan memberi harapan untuk hari esok yang lebih baik. Demikian juga kepada kakak-kakak dan abang-abangku yang telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil selama aku mengikuti program pendidikan ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, kita berserah diri. Mudah-mudahan ilmu yang didapat, bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk masyarakat.

Medan, Desember 2010

ADE FITRIANI SIREGAR


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i 

DAFTAR ISI ... iv 

DAFTAR TABEL ... viii 

DAFTAR GRAFIK ... ix 

DAFTAR LAMPIRAN ... x 

ABSTRAK ... xi 

ABSTRACT ... xiii 

BAB 1 PENDAHULUAN... 1 

1.1  LATAR BELAKANG... 1 

1.2  RUMUSAN MASALAH ... 4 

1.3  HIPOTESA... 4 

1.4  TUJUAN PENELITIAN ... 4 

1.4.1  Tujuan Umum... 4 

1.4.2  Tujuan khusus... 4 

1.5  MANFAAT PENELITIAN ... 5 

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 6 

2.1  LARINGOSKOPI DAN INTUBASI ... 6 

2.2  PREMEDIKASI ... 8 

2.3  NYERI ... 9 

2.4  FENTANIL... 11 

2.5  ANTI INFLAMASI NON STEROID (AINS) ... 14 


(8)

2.6  KERANGKA KONSEP ... 19 

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN... 20 

3.1  DESAIN PENELITIAN ... 20 

3.2  TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 20 

3.2.1  Tempat ... 20 

3.2.2  Waktu Penelitian ... 20 

3.3  POPULASI DAN SAMPEL... 21 

3.3.1  Populasi ... 21 

3.3.2  Sampel ... 21 

3.4  SAMPEL DAN CARA PEMILIHAN (RANDOMISASI) SAMPEL 21  3.5  PERKIRAAN BESAR SAMPEL... 22 

3.6  KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ... 22 

3.6.1  Kriteria Inklusi... 22 

3.6.2  Kriteria Eksklusi ... 22 

3.6.3  Kriteria drop out ... 23 

3.7  INFORMED CONSENT... 23 

3.8  CARA KERJA... 23 

3.9  ALAT DAN BAHAN... 25 

3.9.1  Alat yang digunakan... 25 

3.9.2  Bahan yang digunakan ... 26 

3.10  IDENTIFIKASI VARIABEL... 26 

3.10.1 Variabel bebas ... 26 

3.10.2 Variabel tergantung ... 26 

3.11  DEFENISI OPERASIONAL... 26 


(9)

3.13  ANALISA DATA ... 28 

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 30 

4.1  KARAKTERISTIK SAMPEL PENELITIAN ... 31 

4.2  JENIS OPERASI, LAMA TINDAKAN ANESTESI DAN LAMA TINDAKAN OPERASI ... 32 

4.3  JENIS AGAMA, SUKU, PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN ... 32 

4.4  PERUBAHAN TEKANAN DARAH SISTOLIK ... 34 

4.5  PERUBAHAN TEKANAN DARAH DIASTOLIK... 36 

4.6  PERUBAHAN TEKANAN ARTERI RERATA ... 38 

4.7  PERUBAHAN FREKWENSI NADI... 40 

4.8  PERUBAHAN FREKWENSI NAFAS... 42 

4.9  RATE PRESSURE PRODUCT (RPP) ... 43 

BAB 5 PEMBAHASAN ... 44 

5.1  GAMBARAN UMUM ... 44 

5.2  GAMBARAN HEMODINAMIK ... 44 

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 51 

6.1  KESIMPULAN ... 51 


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1-1. Anatomi saluran pernafasan ... 7

Gambar 2.3-1. Pain pathway ... 11

Gambar 2.4-1. Rumus bangun fentanil ... 13

Gambar 2.4-2 Analgesia and the pain pathway... 14

Gambar 2.5-1 Mekanisme kerja AINS... 15


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.5-1. Klasifikasi AINS ... 16 

Tabel 4.1-1. Karakteristik sampel penelitian pada kedua kelompok... 31 

Tabel 4.2-1. Jenis operasi, lama tindakan anestesi dan lama tindakan operasi ... 32 

Tabel 4.3-1. Jenis agama, suku, pendidikan dan pekerjaan... 33 

Tabel 4.4-1. Tekanan darah sistolik kelompok A dan kelompok B ... 34 

Tabel 4.4-2. Persentase kenaikan atau penurunan tekanan darah sistolik kelompok A dan B satu menit setelah intubasi (W4) dengan waktu yang lain. 35  Tabel 4.5-1. Tekanan darah diastolik kelompok A dan B... 36 

Tabel 4.5-2. Persentase kenaikan atau penurunan tekanan darah diastolik kelompok A dan B satu menit setelah intubasi (W4) dengan waktu yang lain. 37  Tabel 4.6-1. Tekanan arteri rerata kelompok A dan B ... 38 

Tabel 4.6-2. Persentase kenaikan atau penurunan tekanan arteri rerata kelompok A dan B satu menit setelah intubasi (W4) dengan waktu yang lain .... 39 

Tabel 4.7-1. Perubahan frekwensi nadi kelompok A dan B... 40 

Tabel 4.7-2. Persentase kenaikan atau penurunan frekwensi nadi kelompok A dan B satu menit setelah intubasi (W4) dengan waktu yang lain... 41 

Tabel 4.8-1. Perubahan frekwensi nafas kelompok A dan B ... 42


(12)

DAFTAR GRAFIK

Halaman Grafik 4.4-1. Perubahan tekanan darah sistolik kelompok A dan kelompok B ... 34  Grafik 4.5-1. Perubahan tekanan darah diastolik kelompok A dan kelompok B .... 36  Grafik 4.6-1. Perubahan tekanan arteri rerata kelompok A dan kelompok B ... 38  Grafik 4.7-1. Perubahan frekwensi nadi kelompok A dan kelompok B ... 40  Grafik 4.8-1. Perubahan frekwensi nafas kelompok A dan kelompok B... 42 


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1: RIWAYAT HIDUP PENELITI ... 59 

LAMPIRAN 2: PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN ... 60 

LAMPIRAN 3: LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ... 63 

LAMPIRAN 4: LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN... 64 

LAMPIRAN 5: PERSETUJUAN KOMITE ETIK... 66 


(14)

ABSTRAK

Latar belakang dan Objektif : Respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi berhubungan dengan peningkatan aktifitas simpatis yang disebabkan oleh stimulasi jalan nafas atas . Peningkatan tekanan darah berkisar 40-50% dan peningkatan berkisar nadi 20%. Perubahan ini biasanya singkat dan dapat ditoleransi dengan baik pada pasien tanpa penyakit kardiovaskular dan tekanan intra kranial yang meningkat. Banyak obat dan tehnik yang digunakan untuk mencegah respon hemodinamik yang meningkat akibat laringoskopi dan intubasi. Pada penelitian ini digunakan premedikasi Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50 mg pada kelompok A dan Fentanil 4 µg/kgBB pada kelompok B untuk menurunkan respon hemodinamik sewaktu laringoskopi dan intubasi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan alternatif obat untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik pada laringoskopi dan intubasi.

Metode : Setelah mendapat persetujuan dari komite etik Fakultas Kedokteran USU, 60 sampel dikumpulkan, pria dan wanita, dari umur 16-50 tahun dengan status fisik ASA 1 yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum dengan intubasi orotrakea pada Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik dan Rumah sakit jejaring di kota Medan. Sampel kemudian dibagi secara acak menjadi dua kelompok dengan masing-masing 30 subjek. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara random tersamar ganda. Kelompok A mendapat premedikasi Fentanil 2 µg/kgBB+Deksketoprofen 50 mg iv dan kelompok B mendapat premedikasi Fentanil 4µg/kgBB iv. Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nafas dan frekwensi nadi dicatat dan diukur. Semua data dianalisa menggunakan uji t independen dan chi square.

Hasil : Tekanan darah sistolik kelompok A dan kelompok B menurun masing-masing 2,6% dan 8,8%, tekanan darah distolik meningkat 7,1% pada kelompok A


(15)

dan menurun 6,8% pada kelompok B, tekanan arteri rerata meningkat 2,9% pada kelompok A dan menurun 7,3% pada kelompok B, frekwensi nadi meningkat 13% pada kelompok A dan 4,2% pada kelompok B satu menit setelah dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan waktu awal.

Kesimpulan :

1. Pemberian premedikasi Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50 mg iv dan premedikasi Fentanil 4µg/kgBB iv efektif dalam menekan respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi

2. Secara statistik Fentanil 4 µg/kgBB iv lebih efektif dalam menurunkan respon hemodinamik pada laringoskopi dan intubasi

3. Deksketoprofen 50 mg tidak menunjukkan efek untuk menekan respon hemodinamik sewaktu laringoskopi dan intubasi.

4. Premedikasi dengan Fentanil 4 µg/kgBB iv menimbulkan depresi pernafasan

Kata Kunci : Fentanil, Deksketoprofen, respone hemodinamik, laringoskopi, endotrakheal intubasi.


(16)

ABSTRACT

Background and Objective : The hemodynamic response to laryngoscopy and

intubation has been attributed to increased sympathetic activity caused by the upper respiratory tract stimulation. Blood pressure increase 40-50% and heart rate increase 20%. These changes are usually short in duration and well are tolerated by patients without of cardiovascular disease and increase intracranial pressure. Many drugs and techniques have been used to prevent the hyper dynamic response induce by laryngoscopy and intubation. In this study we used Fentanyl 2µg/kgBB plus Deksketoprofen 50 mg as premedications in group A with Fentanil 4 µg/kgBB in group B as premedications to decrease the hemodynamic responses due to laryngoscopy and intubation. The aim of this study is to elicit an alternative alternatif drugs to decrease hemodynamic responses to laryngoscopy and intubation.

Methods : After getting the approval from the ethic committee of USU medical school. 60 healty samples were enrolled, men and women, age 16 to 50 years with physical state ASA 1, who underwent elective surgery in Adam Malik General Hospital and several hospital in Medan. Sample were then divided randomly into two groups each with 30 subjects. In controlled randomised double blinded clinical trial. Group A received Fentanyl 2µg/kgBB plus Deksketoprofen 50 mg as premedications and Fentanil 4µg/kgBB in group B. Sistolik blood pressure, diastolik blood pressure, mean arterial pressure, heart rate and respiratory rate were record and measure. All data were analysed by using t- independent test and chi-square test.

Result : Sistolik blood pressure in group A and group B decrease respectively 2,6% and 8,8%, diastolik blood pressure increase 7,1% in group A and decrease 6,8% in group B, mean arterial pressure increase 2,9% in group A and decrease 7,3% in


(17)

group B, heart rate increase 13% in group A and increase 4,2% in group B one minutes after laryngoscopy and intubation.

Conclusions : Although both premedication Regiment in this study is effective in decreasing the hemodynamic response due to laryngoscopy and intubation, statistically Fentanyl 4μg/kgBW is more effective in controlling hemodynamic response during laryngoscopy and intubation. Deksketoprofen 50 mg iv showed no effect in decreasing hemodynamic response to laringoscopy and intubation. Premedication with Fentanil 4µg/kgBB iv can cause respiratory depression.

Keywords : Fentanyl, Dexketoprofen, hemodynamic response, laryngoscopy,


(18)

ABSTRAK

Latar belakang dan Objektif : Respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi berhubungan dengan peningkatan aktifitas simpatis yang disebabkan oleh stimulasi jalan nafas atas . Peningkatan tekanan darah berkisar 40-50% dan peningkatan berkisar nadi 20%. Perubahan ini biasanya singkat dan dapat ditoleransi dengan baik pada pasien tanpa penyakit kardiovaskular dan tekanan intra kranial yang meningkat. Banyak obat dan tehnik yang digunakan untuk mencegah respon hemodinamik yang meningkat akibat laringoskopi dan intubasi. Pada penelitian ini digunakan premedikasi Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50 mg pada kelompok A dan Fentanil 4 µg/kgBB pada kelompok B untuk menurunkan respon hemodinamik sewaktu laringoskopi dan intubasi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan alternatif obat untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik pada laringoskopi dan intubasi.

Metode : Setelah mendapat persetujuan dari komite etik Fakultas Kedokteran USU, 60 sampel dikumpulkan, pria dan wanita, dari umur 16-50 tahun dengan status fisik ASA 1 yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum dengan intubasi orotrakea pada Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik dan Rumah sakit jejaring di kota Medan. Sampel kemudian dibagi secara acak menjadi dua kelompok dengan masing-masing 30 subjek. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara random tersamar ganda. Kelompok A mendapat premedikasi Fentanil 2 µg/kgBB+Deksketoprofen 50 mg iv dan kelompok B mendapat premedikasi Fentanil 4µg/kgBB iv. Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nafas dan frekwensi nadi dicatat dan diukur. Semua data dianalisa menggunakan uji t independen dan chi square.

Hasil : Tekanan darah sistolik kelompok A dan kelompok B menurun masing-masing 2,6% dan 8,8%, tekanan darah distolik meningkat 7,1% pada kelompok A


(19)

dan menurun 6,8% pada kelompok B, tekanan arteri rerata meningkat 2,9% pada kelompok A dan menurun 7,3% pada kelompok B, frekwensi nadi meningkat 13% pada kelompok A dan 4,2% pada kelompok B satu menit setelah dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan waktu awal.

Kesimpulan :

1. Pemberian premedikasi Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50 mg iv dan premedikasi Fentanil 4µg/kgBB iv efektif dalam menekan respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi

2. Secara statistik Fentanil 4 µg/kgBB iv lebih efektif dalam menurunkan respon hemodinamik pada laringoskopi dan intubasi

3. Deksketoprofen 50 mg tidak menunjukkan efek untuk menekan respon hemodinamik sewaktu laringoskopi dan intubasi.

4. Premedikasi dengan Fentanil 4 µg/kgBB iv menimbulkan depresi pernafasan

Kata Kunci : Fentanil, Deksketoprofen, respone hemodinamik, laringoskopi, endotrakheal intubasi.


(20)

ABSTRACT

Background and Objective : The hemodynamic response to laryngoscopy and

intubation has been attributed to increased sympathetic activity caused by the upper respiratory tract stimulation. Blood pressure increase 40-50% and heart rate increase 20%. These changes are usually short in duration and well are tolerated by patients without of cardiovascular disease and increase intracranial pressure. Many drugs and techniques have been used to prevent the hyper dynamic response induce by laryngoscopy and intubation. In this study we used Fentanyl 2µg/kgBB plus Deksketoprofen 50 mg as premedications in group A with Fentanil 4 µg/kgBB in group B as premedications to decrease the hemodynamic responses due to laryngoscopy and intubation. The aim of this study is to elicit an alternative alternatif drugs to decrease hemodynamic responses to laryngoscopy and intubation.

Methods : After getting the approval from the ethic committee of USU medical school. 60 healty samples were enrolled, men and women, age 16 to 50 years with physical state ASA 1, who underwent elective surgery in Adam Malik General Hospital and several hospital in Medan. Sample were then divided randomly into two groups each with 30 subjects. In controlled randomised double blinded clinical trial. Group A received Fentanyl 2µg/kgBB plus Deksketoprofen 50 mg as premedications and Fentanil 4µg/kgBB in group B. Sistolik blood pressure, diastolik blood pressure, mean arterial pressure, heart rate and respiratory rate were record and measure. All data were analysed by using t- independent test and chi-square test.

Result : Sistolik blood pressure in group A and group B decrease respectively 2,6% and 8,8%, diastolik blood pressure increase 7,1% in group A and decrease 6,8% in group B, mean arterial pressure increase 2,9% in group A and decrease 7,3% in


(21)

group B, heart rate increase 13% in group A and increase 4,2% in group B one minutes after laryngoscopy and intubation.

Conclusions : Although both premedication Regiment in this study is effective in decreasing the hemodynamic response due to laryngoscopy and intubation, statistically Fentanyl 4μg/kgBW is more effective in controlling hemodynamic response during laryngoscopy and intubation. Deksketoprofen 50 mg iv showed no effect in decreasing hemodynamic response to laringoscopy and intubation. Premedication with Fentanil 4µg/kgBB iv can cause respiratory depression.

Keywords : Fentanyl, Dexketoprofen, hemodynamic response, laryngoscopy,


(22)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Salah satu tanggung jawab seorang ahli anestesi adalah memberikan pernafasan yang adekuat kepada pasien. Elemen yang utama dalam fungsi

pernafasan adalah jalan nafas. 1,2 Ahli dalam penatalaksanaan jalan nafas

merupakan keahlian seorang ahli anestesi. Salah satu tindakan dalam penatalaksanaan jalan nafas adalah tindakan laringoskopi dan intubasi, tindakan ini rutin dilakukan pada anestesi umum.3 Induksi anestesi dan intubasi trakea dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang sangat besar bagi pasien, yang mana ini diakibatkan oleh pemberian obat anestesi dan peningkatan fungsi adrenergik pasien. 4 Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung disebabkan oleh peningkatan aktifitas simpatis akibat stimulasi jalan nafas atas adalah respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi.5,6 Peningkatan tekanan

darah berkisar 40-50% dan peningkatan nadi berkisar 20%. 7 Penyebab lain

peningkatan tekanan darah dan denyut jantung adalah karena kecemasan dan premedikasi dengan atropin atau glycopyrrolate. 5 Perubahan ini biasanya singkat dan dapat ditoleransi dengan baik pada pasien tanpa penyakit kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan tekanan intrakranial yang meningkat, peningkatan tekanan darah dan denyut jantung akan menyebabkan komplikasi berupa dysrhythmia, myocardial ischaemia, rupture of cerebral aneurysms dan peningkatan tekanan intrakranial yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. 6-10

Iskemik miokard terjadi jika terdapat ketidak seimbangan oksigen yang dibutuhkan dan pasokan oksigen. Konsumsi oksigen miokard berhubungan dengan rate pressure product (heart rate x systolic blood pressure).11

Terdapat berbagai macam tehnik dan obat anestesi yang tersedia untuk mengontrol respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.5,8,12-14 Metode atau obat yang digunakan tergantung dari banyak faktor termasuk urgensi


(23)

dan lamanya operasi, pemilihan tehnik anestesi, cara pemberian dan kondisi medis

pasien.8 Beberapa obat yang sudah diteliti dapat menurunkan respon

hemodinamik yang meningkat selama tindakan laringoskopi dan intubasi diantaranya: golongan opioid, alpa dan beta adrenergik, obat-obat vasodilator seperti sodium nitroprusside, angiotensine-converting enzyme inhibitor, clonidine, penggunaan obat anestesi topikal pada orofaring, laring dan trakea, pemberian lidokain intravena dan anestesi inhalasi yang dalam. 5,13-15 Mendalamkan anestesi dengan menggunakan gas anestesi memiliki kerugian yakni gas anestesi pada umumnya mendepresi miokard, masa pemulihan semakin panjang sejalan dengan peningkatan konsentrasi gas anestesi. 16

Opioid secara luas digunakan untuk mengontrol respon neurovegetatif pada intubasi dan terdapat hubungan linier antara peningkatan dosis dengan penurunan respon hemodinamik, dimana opioid yang digunakan selama anestesi umum akan

menambah efek anestesi umum. 4,8 Opioid lebih baik dari lidokain dalam

menumpulkan respon hemodinamik jika digunakan pada dosis yang tepat. 17

Fentanil adalah opioid sintesis yang efektif dalam menumpulkan respon simpatis pada laringoskopi dan intubasi serta stimulus pembedahan. 17,18 Kauto dan kawan-kawan (tahun 1982) mengatakan fentanil 2µg/kgBB/intravena (IV) secara signifikan menekan respon hemodinamik dan fentanil 6µg/kgBB/IV secara sempurna menumpulkan respon hemodinamik jika diberikan satu setengah dan tiga menit sebelum intubasi, tetapi dosis ini dapat menimbulkan efek samping berupa bradikardi, hipotensi, rigiditas otot dan terlambat pulih.19 Katoh dan kawan-kawan (tahun 1999) mengatakan fentanil 4µg/kgBB/IV menyebabkan perubahan denyut jantung dan tekanan darah lebih efektif dibandingkan fentanil 1µg/kgBB/IV dan 2µg/kgBB/IV dimana tidak ada perbedaan pada pemakaian fentanil 2µg/kgBB/IV dan fentanil 4µg/kgBB/IV dalam menurunkan konsentrasi sevoflurane yang dibutuhkan untuk intubasi. 20

Obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS) efektif mengurangi nyeri paska pembedahan dan mengurangi kebutuhan opioid dan efek samping lebih minimal


(24)

dibandingkan opioid . 21-23 Obat AINS disisi lain juga menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan seperti pada gastrointestinal dapat menimbulkan ulkus peptikum dan perdarahan, inhibisi fungsi platelet, disfungsi hati dan ginjal, dan

reaksi alergi. 24,25 Pemakaian intravenous tenoksikam dan ketorolak secara

signifikan menurunkan respon hemodinamik pada anestesi umum untuk seksio sesarea. 26,27

Deksketoprofen trometamol adalah salah satu AINS yang memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan AINS yang lain diantaranya cepat diserap oleh mukosa usus, memasuki blood brain barier sehingga menghasilkan efek analgesik yang kuat dan efek samping gastrointestinal sangat minimal dan dapat mengurangi penggunaan opioid yang selama ini banyak digunakan sebagai obat standar untuk penanganan nyeri paska bedah. 28

Berdasarkan penelitian Indragiri, FK-UI (tahun 2007) menunjukkan bahwa penambahan deksketoprofen 50 mg intra vena pada premedikasi fentanil 2µg/kgBB/IV lebih efektif dalam mencegah peningkatan respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan premedikasi fentanil 2µg/kgBB/IV tanpa deksketoprofen. 29 Berdasarkan penelitian Laura Dame, dkk, FK- UNPAD (tahun 2007) menunjukkan bahwa Deksketoprofen trometamol 1,5 mg/kgBB sebagai analgetik intraoperasi sama efektifnya dibandingkan petidin 1

mg/kgBB pada pasien bedah rawat jalan.30 Kombinasi beberapa AINS seperti

aspirin atau ketorolak dengan opioid misalnya morfin akan menyebabkan analgesia yang lebih baik dibandingkan jika obat diberikan sendiri. Mekanisme interaksi ini adalah inhibisi transmisi sinaps yang dimediasi GABA oleh opioid pada area periaquaductus grey, yang selanjutnya dimodulasi oleh siklooksigenase.

31

Dengan melihat latar belakang diatas, peneliti berkeinginan untuk mengkombinasi deksketoprofen trometamol dengan fentanil untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik pada saat laringoskopi dan intubasi.


(25)

Diharapkan dengan kombinasi ini efek samping opioid yang tidak diinginkan dapat dihindari.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, peneliti merumuskan masalah :

Apakah ada perbedaan respon hemodinamik pada tindakan intubasi dan laringoskopi pada premedikasi fentanil 2µg/kgBB/iv + deksketoprofen 50mg intravena dibandingkan dengan fentanil 4µg/kgBB/IV tanpa deksketoprofen?

1.3 HIPOTESA

Tidak ada perbedaan respon hemodinamik pada tindakan intubasi dan laringoskopi pada premedikasi fentanil 2µg/kgBB intravena + deksketoprofen 50mg intravena dibandingkan dengan fentanil 4µg/kgBB intravena tanpa deksketoprofen.

1.4 TUJUAN PENELITIAN 1.4.1 Tujuan Umum

Mendapatkan alternatif obat untuk mencegah peningkatan respon hemodinamik pada laringoskopi dan intubasi.

1.4.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui perubahan tekanan darah, tekanan arteri rerata , frekwensi nadi dan frekwensi nafas pada laringoskopi dan intubasi dengan menggunakan premedikasi fentanil 2µg/kgBB/IV ditambah dengan deksketoprofen 50 mg intravena.


(26)

b. Mengetahui perubahan tekanan darah, tekanan arteri rerata, frekwensi nadi dan frekwensi nafas pada laringoskopi dan intubasi dengan menggunakan premedikasi fentanil 4µg/kgBB/IV.

c. Mengetahui perbandingan respon hemodinamik (tekanan darah, tekanan

arteri rerata, dan frekwensi nafas ) pada laringoskopi dan intubasi antara pemberian fentanil 2 µg/kgBB/IV ditambah dengan deksketoprofen 50 mg intravena dengan pemberian fentanil 4 µg/kgBB/IV.

d. Mengetahui side effek dari pemberian fentanil pada masing masing dosis.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

a. Jika penelitian ini memberikan hasil optimal maka deksketoprofen 50 mg

intravena dan fentanil 2µg/kgBB/IV dapat merupakan perbandingan dosis yang tepat dalam menekan respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi. Diharapkan dengan pengurangan dosis opioid efek samping yang terjadi dapat diminimalkan.

b. Dosis minimal fentanil dikombinasi dengan deksketoprofen pada penelitian ini diharapkan akan mengurangi konsumsi fentanil dimana terdapat keterbatasan penggunaan opioid, seperti pada rumah sakit di daerah yang kadangkala ketersedian opioid terbatas.


(27)

2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LARINGOSKOPI DAN INTUBASI

Salah satu tanggung jawab seorang ahli anestesi adalah memberikan pernafasan yang adekuat kepada pasien. Upaya yang sering dilakukan adalah dengan melakukan laringoskopi dan intubasi. Laringoskopi merupakan tindakan memvisualisasi laring dengan menggunakan laringoskop. Intubasi endotrakea adalah suatu tindakan memasukkan pipa kkhusus kedalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.1 Indikasi endotrakeal intubasi antara lain: menjaga patensi jalan nafas dan memproteksi jalan nafas, pada pasien dengan kegagalan ventilasi dan oksigenasi. 9

Ada dua saluran nafas manusia: hidung yang bermuara ke nasofaring (pars nasal) dan mulut yang bermuara ke orofaring (pars oral), kedua bagian ini dianterior dipisahkan oleh langit-langit dan diposterior dipisahkan oleh faring. Faring adalah suatu struktur fibromuskular berbentuk U yang memanjang dari dasar tengkorak ke tulang rawan krikoid dilubang masuk osefagus. Faring terbuka masing-masing ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring. Di dasar lidah, epiglotis secara fungsional memisahkan orofaring dan laringofaring. 3


(28)

Gambar 2.1-1. Anatomi saluran pernafasan

Jalan nafas mendapat suplai saraf sensoris dari nervus kranialis. Nervus lingual mempersarafi 2/3 bagian depan lidah, nervus glossofaringeus mempersarafi 1/3 bagian belakang lidah dan bagian atas faring, tonsil serta permukaan bawah palatum molle. Nervus vagus mempersarafi jalan nafas di bawah epiglotis dan bercabang menjadi dua yaitu: nervus laringeus superior, laringeus rekuren dan laringeus interna. Nervus laringeus superior bercabang menjadi dua bagian yaitu cabang eksterna (motorik) mempersarafi otot-otot krikoid dan cabang interna mempersarafi epiglotis dan pita suara. 3

Traktus respiratorius kaya akan reseptor, dengan distribusi terbanyak pada laring dan pada bagian proksimal trakeobronkial. Terdapat empat tipe reseptor sensorik pada saluran nafas: (1) reseptor regang yang terdapat pada dinding jalan nafas, lambat beradaptasi memiliki saraf berdiameter besar dan bermielin; (2) ujung saraf yang terdapat pada dan di bawah epitelium yang berespon terhadap stimulus kemikal dan mekanikal, cepat beradaptasi dan memiliki saraf dengan diameter kecil dan bermielin; (3) reseptor dengan saraf tanpa mielin, polimodal, distimulasi oleh kerusakan jaringan dan edema, berfungsi sebagai nosiseptor; (4) reseptor yang khusus untuk rasa dan menelan. Rangsang mekanik akan menstimulasi mekanoreseptor dan nosiseptor untuk dilanjutkan melalui jaras aferen.32 Jaras


(29)

aferen somatik maupun viseral terintegrasi penuh dengan sistem simfatis di medulla spinalis, batang otak dan pusat yang lebih tinggi.33,34

Laringoskopi dan intubasi merupakan noksius stimuli yang melalui jalur nyeri (pain pathway) akan menghasilkan respon neuroendokrine. 35 Jaras aferen dibawa oleh nervus glossofaringeus dari pohon trakeo bronkhial melalui nervus vagus yang akan mengaktifasi sistem simpatis. Aktifasi sistem simpatis akan melepaskan katekolamin dari medula adrenal. 34

Stimulasi jalan nafas atas karena tindakan laringoskopi dan intubasi akan menyebabkan peningkatan aktifitas simpatis sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. 5 Peningkatan tekanan darah berkisar 40-50% dan peningkatan nadi berkisar 20%. Peningkatan tekanan arteri rerata saat intubasi berkorelasi dengan peningkatan katekolamin plasma terutama noradrenalin. 7,36

2.2 PREMEDIKASI

Pemberian obat sebelum anestesi untuk menghilangkan kecemasan,

menghasilkan sedasi dan memfasilitasi pemberian anestesi terhadap pasien disebut premedikasi. 36 Tujuan premedikasi pada dasarnya terdiri dari dua yaitu : 38,39 a. Mempengaruhi pasien dalam hal ini terdiri dari

- Memberikan sedasi

- Menghilangkan nyeri (memberikan analgesia) - Membuat amnesia

b. Membantu ahli anestesi :

- Mempermudah atau memperlancar induksi - Mengurangi jumlah obat-obat anestesi

- Untuk mencegah efek samping dari obat anestesi umum. - Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas (antisialagogue)


(30)

- Mencegah muntah dan aspirasi.

Premedikasi dapat diberikan dengan menggunakan satu obat atau kombinasi dari kedua obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergatung tujuan dari premedikasi itu sendiri misalnya untuk memberikan sedasi dapat diberikan golongan benzodiazepin, untuk memberikan analgesia dapat diberikan golongan opioid, sebagai antisialagogue dapat diberikan antikolinergik, mencegah muntah dan aspirasi dapat diberikan metoklorpropamide dan ondansentron. 39

Opioid adalah obat yang paling baik digunakan sebagai premedikasi untuk menghilangkan nyeri, dimana opioid bukanlah merupakan obat yang ideal untuk menghilangkan kecemasan, menghasilkan sedasi dan memberikan amnesia. Pemberian fentanil sebagai premedikasi adalah tindakan yang umum dilakukan untuk menumpulkan respon hemodinamik selama induksi pada waktu intubasi. Premedikasi dengan opioid menyebabkan beberapa efek samping diantaranya : hipotensi, pelepasan histamin, mual dan muntah. 39

Waktu adalah yang penting dalam pemberian premedikasi dimana waktu tepat dalam pemberian premedikasi akan menghasilkan manfaat yang besar. Secara umum waktu pemberian secara oral adalah 60-90 menit sebelum pembedahan, bila diberikan intramuskular dapat diberikan 30-60 menit sebelum pembedahan dan jika diberikan secara intravena dapat diberikan 1-5 menit sebelum pembedahan. 39

2.3 NYERI

Nyeri dapat didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang jelas, cenderung rusak, atau sesuatu yang tergambarkan seperti yang dialami (International Association for the Study of Pain).34 Sensasi nyeri adalah suatu fenomena neuro-biokemikal, ketika terjadi kerusakan jaringan, neurokemikal akan mengaktifasi nosiseptor pada tempat yang rusak. Nosiseptor adalah reseptor nyeri


(31)

yang ada diseluruh tubuh, letaknya terutama pada permukaan kulit, kapsula sendi, di dalam periosteum, serta disekitar dinding pembuluh darah. 40

Antara stimuli nyeri sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologis yang secara kolektif disebut sebagai nosiseptif. Ada empat proses yang terjadi pada suatu nosiseptif yaitu: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi merupakan peroses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia ataupu panas. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi tadi melalui saraf sensorik. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama (dari perifer menuju kornu dorsalis medulla spinalis). Pada kornu dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut neuron kedua. Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona radiata menuju girus postsentralis korteks serebri. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi dapat berupa augmentasi (peningkatan), ataupun inhibisi (penghambatan). Persepsi adalah proses terahir, saat stimulasi tersebut mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindak lanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. 41


(32)

Gambar 2.3-1. Pain pathway

2.4 FENTANIL

Opioid sudah diberikan ratusan tahun untuk menghilangkan kecemasan dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan pembedahan. Opioid adalah istilah yang digunakan untuk obat yang berasal dari opium. Ada beberapa klasifikasi yang tersedia untuk opioid. Opioid dapat diklasifikasikan menjadi opioid alamiah, semi sintetis, dan sintetis. Morfin, kodein, dan papaverin adalah opioid alamiah yang signifikan diklinik yang berasal dari getah tanaman papaver somniferum. Opioid alamiah dapat dibagi menjadi dua kelas secara kimia. Yang mempunyai cincin fenantren (morfn, kodein dan tebain), dan senyawa yang mempunyai cincin benzilisoquinolin yang tidak mempunyai aktifitas opioid (papaverin dan noskapin). Dari semua opioid alamiah hanya morfin yang secara klinis penting untuk anestesi.42,43


(33)

Opioid semisintetis berasal dari morfin yang mana dilakukan satu dari beberapa perubahan. Misalnya esterfikasi dari satu gugus hidroksil (kodein). Esterfikasi dari kedua gugus hidroksil (heroin). Oksidasi gugus hidroksil alkohol menjadi keton atau penurunan dua ikatan cincin benzen (hidromorfon). 42,43

Senyawa sintetis opioid terbagi menjadi empat grup: turunan morfin (levorphanol), turunan difenil atau metadon (methadone d-propoxyphene), turunan benzomorfan (fenazosin, pentazosin), dan turunan fenilpiperidin (meperidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan ramifentanil). Meskipun banyak dari opioid sintetis sudah digunakan secara IV untuk analgesi dan anestesi secara eksperimen, turunan fenilpiperidin sekarang ini yang paling dominan digunakan dalam anestesia sebagai tambahan pada anestesi umum dan sebagai obat utama pada anestesi jantung dengan dosis yang sangat besar. 42,43

Klasifikasikan yang paling tepat adalah: sebagai agonis (morfin, meperidin, alfentanil, fentanil, sufentanil, ramifentanil, kodein, hidromorfone, oksimorfone, oksikodone, hidrokodone, propoksifene, metadone, tramadol, heroin), agonis-antagonis (Pentazosine, butorfanol, nalbufin, buprenorfin, nalorfin, bremazosin, dezosin, meptazinol) , dan antagonis (nalokson, naltrekson, nalmefen). 42,43

Opioid agonis menghasilkan analgesi melalui ikatannya dengan reseptor spesifik yang terdapat diotak dan medulla spinalis. Reseptor opioid mu (µ) , delta

(δ) dan kappa (k). Reseptor opioid termasuk kedalam superfamili reseptor G

protein- coupled . Diperkirakan secara farmakologi fungsi analgesia terdapat pada reseptor µ (µ1) dan depresi pernafasan pada reseptor µ (µ2), reseptor µ3 berhubungan dengan proses immune oleh karena terdistribusi secara signifikan pada astrosit, sel endotelial dan makrofag. 42,43

Fentanil merupakan opioid sintetik derivat fenilpiperidin, agonis reseptor µ, 100 kali lebih poten dari morfin sebagai analgetik dan diperkenalkan pertama kali diklinik pada awal tahun 1960 oleh Dr. Paul Jansen. Penggunaan fentanil cukup populer karena waktu untuk mencapai efek analgetik relatif singkat, dengan durasi pendek dan tidak banyak mengganggu kestabilan hemodinamik. Durasi yang


(34)

singkat pada penggunaan dosis tunggal menggambarkan cepatnya redistribusi ke jaringan inaktif. Kelarutan fentanil yang besar terhadap lemak menyebabkan kekuatan lebih besar dan onset of action yang cepat dibandingkan morfin, yang mana akan memfasilitasi fentanil berjalan melewati blood brain barrier. 42,43

Gambar 2.4-1. Rumus bangun fentanil

Fentanil di metabolisme oleh enzim sitokrome P-450 dihati menjadi cara N-Demetilasi, menghasilkan Norfentanil, hidroksiproprionil-fentanil dan hidroksiproprionil-norfentanil. Metabolit ini diekskresi melalui ginjal dan dapat dijumpai diurin 72 jam setelah pemberian dosis tunggal fentanil. Kurang dari 10% fentanil diekskresi tidak berubah diurin. 42,43

Efek farmakologis fentanil tidak berbeda dengan opioid agonis lainnya, antara lain analgesia, sedasi, mual, muntah dan rigiditas otot, yang terahir ini adalah efek yang paling sering didapatkan pada pemberian fentanil dibandingkan dengan opioid agonis lainnya. Fentanil umumnya diberikan secara intravena, pemberian lain adalah melalui epidural, intratekal dan transdermal. 42,43

Respon hemodinamik diatur oleh batang otak di daerah nukleus solitarius, nukleus dorsal vagal, nukleus ambigus dan nukleus parabrakhial. Reseptor opioid banyak yang terdapat di daerah nukleus solitarius dan parabrakhial, terutama reseptor µ, sehingga bila diberikan agonis akan menyebabkan hipotensi dan


(35)

bradikardi. Selain itu juga terdapat mekanisme analgesia yang dimiliki oleh daerah ventrolateral periaquaductal gray. Reseptor yang terdapat pada jalur hipotalamus-pituitari-adrenal yang dimodulasi oleh opioid juga berperan pada stres respon. 42,43

Penurunan tekanan darah dan merupakan pengaruh fentanil terhadap sistem kardiovaskular meskipun tidak terlalu besar. Pemberian fentanil memberikan efek

yang minimal bahkan tidak menurunkan preload dan afterload. Fentanil tidak

menyebabkan pelepasan histamin dan tidak memiliki efek depresi miokard, karena itu banyak digunakan sebagai obat primer dalam anestesi bedah jantung atau anestesi pada pasien dengan fungsi kardiak yang buruk. Bradikardi yang terjadi akibat pemberian fentanil merupakan hasil dari stimulasi nukleus vagal sentral. Selain itu fentanil memperlambat konduksi nodus atrioventrikular dan memperpanjang RR interval, periode refrakter nodus atrioventrikular dan durasi aksi potensial saraf purkinje. 42,43

Gambar 2.3-2. Analgesia and the pain pathway

2.5 ANTI INFLAMASI NON STEROID (AINS)

AINS adalah suatu istilah untuk semua obat yang menunjukkan bermacam-macam efek kelompok obat mulai dari obat yang menghasilkan analgesi, antiinflamasi, dan antipiretik. Obat ini dapat dikategorikan secara konvensional


(36)

dalam dua bentuk isoform COX (ibuprofen, naproksen, aspirin, asetaminofen, ketorolak) dan COX-2 inhibitor selektif (celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib). Semua AINS dan COX-2 inhibitor memiliki ceiling effects dimana penambahan dosis hanya akan meningkatkan resiko efek toksis obat ini. 24,44

AINS adalah obat yang secara luas digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai nyeri berat dan efek samping yang lebih kecil dibandingkan opioid. AINS menghasilkan analgesia dan mengurangi inflamasi adalah dengan inhibisi

siklooksigenase (COX) pada jaringan perifer. 22 Inhibisi COX-1 berhubungan

dengan berbagai macam efek samping termasuk dispepsia, ulkus peptikum, kerusakan ginjal, kerusakan hati, eksaserbasi asma, reaksi alergi, tinitus dan urtikaria. 23,45

AINS bekerja tidak selektif terhadap enzime siklooksigenase, dimana AINS akan menghambat kedua isoenzime yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). COX mengkatalisis pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakhidonat yang berasal dari fospolipid. 24


(37)

2.5.1 Klasifikasi AINS

Tabel 2.5-1. Klasifikasi AINS

Asam Enolik Asam asetik Asam propionat Asam Fenamik Selektif COX-2 Inhibitor

Piroksikam Indometasine Ibuprofen Asam

mefenamat

Celecoxib

Meloksikam Sulindak Naproksen Asam

meklofenamik

Rofecoxib

Tenoksikam Etodolak Ketoprofen Asam

flufenamik

Valdecoxib

Droksikam Diklofenak Flurbiprofen Asam

tolfenamik

Parecoxib

Lornoksikam Nabumeton Oksaprazosin Lumiracoxib

Isoksikam Etoricoxib

2.5.1.1 Deksketoprofen

Deksketoprofen trometamol pertama kali digunakan tahun 1966. Deksketoprofen dikembangkan dari molekul ketoprofen. Ketoprofen adalah AINS dari golongan propionic acid yang memiliki stereo isomer yaitu senyawa yang memiliki dua molekul isomer yang saling berbeda putaran optiknya, yaitu S(+) enantiomer (dekstro) dan R(-) enantiomer (levo). Kedua isomer ini terdapat dalam jumlah campuran 1:1 dalam molekul induk ketoprofen. Terbukti bahwa efektifitas yang timbul dari ketoprofen dihasilkan dari S(+) enantiomer (dekstro) sedangkan R(-) enantiomer (levo) tidak memiliki efek klinis. Dari penelitian ini maka disintesis suatu molekul baru deksketoprofen yang merupakan isomer S(+) enantiomer (dekstro) dengan membuang komponen R(-) enantiomer (levo). 25,46


(38)

ada akumulasi setelah pengulangan dosis. Volume distribusi 0,1-0,2 L/kg, dengan 99% deksketoprofen terikat dengan protein terutama albumin. Metabolisme dengan cara konjugasi dengan asam glukoronat yang menghasilkan derivat acyl- glucoronide dari obat dan ekskresi melalui urine 28

Deksketoprofen trometamol adalah garam trometamine, disenyawakan dengan garam trometamol adalah untuk meningkatkan farmakokinetik deksketoprofen. Keuntungan dari bentuk garam trometamol ini adalah: 25

1. Kelarutan dan absorpsi dalam saluran cerna jauh lebih cepat, maka waktu

untuk mencapai kadar maksimal (Tmax) jauh lebih cepat yaitu sekitar 30

menit.

2. Efek samping lebih minimal, dengan absorpi yang cepat, maka waktu

kontak dengan mukosa saluran pencernaan juga lebih cepat sehingga mengurangi iritasi mukosa saluran cerna.

3. Dengan dosis yang lebih kecil dan merupakan molekul murni (tidak

dimetabolisme menjadi molekul lain) menyebabkan deksketoprofen memiliki indeks terapi yang luas, mengurangi beban kerja ginjal dan hati serta pada pemakaian jangka panjang akan mengurangi efek samping.

Gambar 2.5-2. Rumus bangun deksketoprofen trometamol

Deksketoprofen 25 mg memiliki analgesi yang lebih besar dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan rasemik deksketoprofen pada pasien dengan osteoarthritis pada sendi lutut.24 Pemberian deksketoprofen perioperatif setiap 8 jam


(39)

pada operasi hip arthroplasti memperbaiki analgesia dan menurunkan kebutuhan opioid.47


(40)

2.6 KERANGKA KONSEP OPIOID (FENTANIL) NYERI

STIMULASI SIMPATIS DAN SIMPATOADRENAL

PELEPASAN KATEKOLAMIN -

Macam dan dosis obat induksi

- Obat tambahan

pada induksi - Karakteristik

blade dan ETT

- Kondisi pasien

sebelumnya - Lama intubasi

- Keterampilan

pelaku intubasi RESEPTOR DI SALURAN NAFAS

NOXIOUS STIMULI RANGSANG MEKANIKAL NOSISEPTOR PERIFER SARAF PERIFER KORNU DORSALIS TRAKTUS SPINOTALAMIKUS AINS (DEKSKETOPROFEN) OPIOID (FENTANIL) RESPON HEMODINAMIK

‐ Tekanan darah

‐ Tekanan arteri

rerata

LARINGOSKOPI INTUBASI


(41)

Kerangka teori Faktor perancu Variabel

dependen/independ

3

4

5

6

7

8

9

10

11


(42)

13 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

13.1 DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara random tersamar ganda untuk menilai penambahan deksketoprofen 50 mg intravena pada premedikasi fentanil 2µg/kgBB/IV apakah akan memberikan efek yang sama dibandingkan premedikasi fentanil 4µg/kgBB/IV tanpa penambahan deksketoprofen dalam mencegah peningkatan respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi.

13.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 13.2.1 Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada RSUP.H. Adam Malik dan Rumah sakit Haji Mina dan Rumah sakit Putri Hijau DAM 1/BB Medan.

13.2.2 Waktu Penelitian

Dilakukan dimulai 13 oktober 2010 sampai 15 november 2010

13.3 POPULASI DAN SAMPEL 13.3.1 Populasi

Seluruh pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum dengan intubasi orotrakea.

13.3.2 Sampel

Diambil dari pasien yang akan menjalani anestesi umum dengan intubasi orotrakea, yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah dihitung secara statistik, seluruh sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok:


(43)

Kelompok A mendapat deksketoprofen 50 mg intravena dan fentanil 2µg/kgBB/IV, Kelompok B mendapat fentanil 4µg/kgBB/IV intravena sebelum dilakukan laringoskopi dan intubasi.

13.4 SAMPEL DAN CARA PEMILIHAN (RANDOMISASI) SAMPEL

Diambil dari pasien yang akan menjalani operasi yang akan dilakukan tindakan General Anestesi intubasi orotrakea. Status fisik ASA 1

a. Seluruh sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok. Kelompok

A diberikan deksketoprofen 50 mg interavena dan premedikasi fentanil 2µg/KgBB/IV. Kelompok B diberikan fentanil 4µg/KgBB/IV.

b. Randomisasi blok dilakukan oleh relawan dengan memakai tabel angka

random. Dengan menjatuhkan pena ke kertas tabel random, ujung pena merupakan angka mulai urutan.

c. Kedua kelompok perlakuan dibagi menjadi kelompok A dan B yang

ditentukan oleh relawan masing-masing, dan obat dari semua kelompok dilarutkan dengan NaCl o,9% menjadi volume 10 mL dan dimasukkan ke dalam amplop sesuai kelompok yang dirandom.

13.5 PERKIRAAN BESAR SAMPEL

Perkiraan besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis terhadap rata-rata dua populasi, pada dua kelompok independen, yaitu:

2

Zα = Tingkat Kemaknaan (0,05) = 1,96 (ditetapkan) Zβ = Tingkat kekuatan (0,2) = 0,84 (ditetapkan) SD = Simpangan baku


(44)

Berdasarkan penelitian Indragiri 28, diperoleh nilai tekanan darah sistolik rata-rata 122,47 mmHg dengan SD 13,20, dengan rumus tersebut diatas:

n1 = n2 = 27 = 30

13.6 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 13.6.1 Kriteria Inklusi

a. Usia 17 - 50 tahun

b. Berat badan ideal sesuai BMI (18,5-24,9) c. Status fisik ASA 1

d. Malampati 1

13.6.2 Kriteria Eksklusi

a. Pasien menolak ikut serta dalam penelitian b. Pasien hamil

13.6.3 Kriteria drop out

Kesulitan intubasi yaitu jika tindakan intubasi lebih dari satu kali dilakukan

13.7 INFORMED CONSENT

Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik, penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan secara tertulis kesediaannya dalam lembar informed consent.


(45)

13.8 CARA KERJA

a. Setelah melakukan informed consent dan disetujui oleh komite etik semua

sampel yang akan menjalani operasi yang telah masuk dalam kriteria inklusi

b. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok dan dilakukan

randomisasi tersamar ganda oleh relawan yang sudah dilatih. Random dilakukan dengan dengan memakai cara randomisasi blok sebagai berikut: Dilakukan oleh relawan yang telah dilatih sebelumnya. Dengan memakai tabel angka random, pena dijatuhkan di atas tabel angka random, angka yang terkena merupakan urutan untuk memulai penelitian. Kelompok A mendapat deksketoprofen trometamol 50 mg IV dan kelompok B mendapat NaCl 0,9%. Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi (peneliti dan pasien tidak mengetahui komposisi obat dalam spuit). Setelah melakukan randomisasi dan menyiapkan obat oleh relawan yang melakukan randomisasi, obat tersebut diberikan kepeneliti dalam amplop putih.

c. Pada hari penelitian obat disiapkan oleh relawan yang melakukan

randomisasi dan dilakukan persiapan pasien. sesampainya pasien diruang persiapan dilakukan pengukuran tekanan darah, tekanan arteri rerata, denyut jantung dan frekwensi nafas (waktu 0), kemudian dilakukan pemasangan infus dengan jarum 18 G dan diberikan cairan Ringer laktat 10 ml/kgBB/jam pada kedua kelompok.

1. Kelompok A mendapat deksketoprofen trometamol 50 mg IV, yang

diencerkan menjadi 10 ml dengan NaCl 0,9%, 30 menit sebelum intubasi.

2. Kelompok B mendapat NaCl 0,9%10 ml, 30 menit sebelum intubasi

d. Dua puluh lima menit kemudian pasien dimasukkan ke dalam ruang operasi,

cairan RL yang telah diberikan 10ml/kgBB/jam dilanjutkan dengan cairan maintenance 2ml/kgBB/jam. Sesampainya pasien diruang operasi dilakukan


(46)

pemasangan alat-alat monitoring, kemudian dicatat data mengenai tekanan darah, tekanan arteri rerata, dan frekwensi nafas (waktu 1).

e. Diberikan premedikasi midazolam 0,1 mg/kgBB/IV pada kedua grup,

kemudian diberikan premedikasi fentanil 2µg/kgBB/IV pada kelompok A dan fentanil 4µg/kgBB/IV yang diencerkan dalam spuit 10 ml.

f. Tiga menit setelah premedikasi variabel kardiovaskular (tekanan darah

sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nadi ) dan frekwensi pernafasan dicatat (waktu 2), kemudian pasien diinduksi dengan propofol 2 mg/kgBB/IV dan dilanjutkan dengan pemberian rokuronium 1 mg/kgBB. Pasien diberikan oksigenasi dengan oksigen 6-8 L/menit dan volume tidal 8 ml/kgBB.

g. Dua menit setelah induksi variabel kardiovaskular (tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nadi) dicatat (waktu 3), kemudian pasien dilakukan laringoskopi dan intubasi. Laringoskopi dilakukan dengan menggunakan laringoskop “ macintosh” dengan blade yang sesuai. Intubasi orotrakeal dilakukan oleh peneliti sendiri. Pipa endotrakeal sesuai ukuran. Pemasangan ini tidak boleh lebih dari sekali.

h. Setelah intubasi variabel kardiovaskular (tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nadi) diukur satu menit setelah intubasi (waktu 4), setelah diyakini pipa endotrakeal berada pada posisi yang benar dilakukan pengisian cuff pipa endotrakeal. Pemeliharaan

anestesi dilakukan dengan memberikan N2O dan oksigen tanpa memberikan

gas inhalasi. Ventilasi tetap diberikan untuk mempertahankan kondisi normoventilasi.

i. Selanjutnya pada menit ke 3 (waktu 5) variabel kardiovaskular (tekanan

darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata dan frekwensi nadi) dicatat, dan selama pencatatan manipulasi bedah tidak dilakukan.


(47)

j. Setelah pengukuran variabel kardiovaskular , gas inhalasi dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan dan manipulasi pembedahan dapat dilakukan.

13.9 ALAT DAN BAHAN 13.9.1 Alat yang digunakan

a. Alat monitor tekanan darah non invasif otomatik merek Omron

b. Alat monitor EKG

c. Abbocath 18 d. Syringe 10 ml

e. Laringoskop set (macinthos)

f. Pipa endotrakea sesuai aturan g. Infus set

h. Pencatat waktu (stopwatch) i. Alat tulis dan formulir penelitian

13.9.2 Bahan yang digunakan a. Cairan ringer laktat

b. NaCl 0,9%

c. Fentanil

d. Deksketoprofen (kettese)

e. Midazolam (miloz)


(48)

g. Rocuronium (roculax)

13.10 IDENTIFIKASI VARIABEL 13.10.1 Variabel bebas

a. Fentanil 2 µg/kgBB IV ditambah Deksketoprofen trometamol 50 mg

b. Fentanil 4 µg/kgBB IV

13.10.2 Variabel tergantung a. Tekanan darah

b. Tekanan arteri rerata c. Frekwensi nadi d. Frekwensi nafas

13.11 DEFENISI OPERASIONAL

1. Fentanil adalah opioid sintetik derivat fenilpiperidin, agonis reseptor µ, 100 kali lebih poten dari morfin sebagai analgetik dan diperkenalkan pertama kali diklinik pada awal tahun 1960 oleh Dr. Paul Jansen. Durasi pendek dan tidak banyak mengganggu kestabilan hemodinamik. Deksketoprofen trometamol adalah AINS golongan propionic acid yang dikembangkan dari molekul ketoprofen dengan menghilangkan isomer R (levo).

2. Fentanil 2µg/KgBB IV adalah opioid yang diberikan sebagai premedikasi

pada tindakan laringoskopi dan intubasi dan mendapat tambahan deksketoprofen 50 mg

3. Fentanil 4µg/KgBB IV adalah opioid yang diberikan sebagai premedikasi


(49)

4. Premedikasi adalah Pemberian obat sebelum anestesi untuk menghilangkan kecemasan, menghasilkan sedasi dan memfasilitasi pemberian anestesi terhadap pasien

5. Tekanan darah adalah hasil kali cardiac output dan tahanan perifer sistemik. Nilai normalnya sistole 90-120 mmHg dan diastole 60-90 mmHg. Diukur dengan monitor standard non invasif merek Omron.

6. Tekanan arteri rerata (MAP) adalah hasil tekanan darah sistole ditambah

dua kali tekanan darah diastole dibagi tiga.

7. Frekwensi nadi adalah Jumlah pulsasi (denyut arteri) yang dirasakan pada suatu arteri permenit. Normalnya 60-90 kali permenit. Bradikardi jika < 60x/menit.

8. Frekwensi pernafasan adalah jumlah satu siklus inspirasi dan ekspirasi

dalam satu menit. Normalnya 12-20 kali permenit. Depresi nafas adalah jika frekwensi pernafasan lebih kecil dari 12 kali permenit.

9. ASA adalah singkatan dari American Society of Anestesiologists dimana ini adalah kriteria yang menggambarkan kondisi pasien sebelum operasi yang terdiri dari empat. ASA 1 adalah pasien yang akan menjalani dioperasi dimana tidak ada kelainan lain selain kelainan yang akan dioperasi.

10. Malampati adalah kriteria untuk menilai kesulitan intubasi. Penilaiannya dengan cara membuka mulut selebar mungkin dan menjulurkan lidah secara maksimal, yang terdiri dari empat, makin besar malampati makin sulit tindakan intubasi. Malampati satu adalah jika pasien membuka mulut akan tampak palatum lunak, uvula, pilar faring.

11. Plasebo dapat juga diartikan sebagai obat yang tidak berisi bahan apa-apa atau dikenal dengan obat kosong atau semu dimana efeknya dapat mensugesti orang untuk sembuh.


(50)

13.12 MASALAH ETIKA

a. Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta resiko dari hal yang terkait dengan penelitian. Penelitian ini aman dilaksanakan pada manusia karena kedua obat sudah lama dipakai dan terbukti aman bila tidak ada kontra indikasi pada pasien yang memakainya. Pada penelitian ini dosis obat yang digunakan adalah dosis terapeutik. Selain itu penelitian dengan jenis obat yang sama sudah sering dilakukan pada pusat-pusat pendidikan. Kemudian pasien diminta mengisi formulir kesediaan menjadi subjek penelitian (informed consent).

b. Bila timbul depresi nafas pada pasien yang mendapat premedikasi dengan

fentanil, maka diberikan bantuan nafas dengan ambu bag dengan tidal volume 8 ml/Kg BB.

13.13 ANALISA DATA

a. Setelah data yang diperlukan telah terkumpul, kemudian data tersebut

diperiksa kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah. Data ditabulasi ke dalam master tabel dengan menggunakan software Microsoft office exel 2007. Setelah data ditabulasi, kemudian diolah dengan menggunakan komputer.

b. Data numerik dari hasil pengukuran akan ditampilkan dalam nilai rata-rata + SD ( standard deviasi ) . Data demografi : Uji kenormalan data numerik digunakan uji Kolmogorof-Smirnov , Jika distribusi data normal digunakan uji t- independent .

c. Untuk membandingkan perbedaan respon hemodinamik antara kedua

kelompok perlakuan digunakan analisa uji t (t-test). Sedangkan untuk membandingkan perubahan respon hemodinamik dalam masing-masing kelompok digunakan analisa uji t berpasangan (t-pair test)


(51)

d. Interval kepercayaan 95% dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna secara signifikan.


(52)

KERANGKA KERJA Kelompok A Diberikan deksketoprofen 50 mg IV

Premedikasi midazolam 0,1mg/kg

Fentanil 2µg/kg

Parameter yang diukur

- Tekanan darah

- Tekanan arteri

rerata

- Frekwensi nadi

Waktu

Parameter yang diukur

- Tekanan darah

Premedikasi midazolam 0,1mg/kg

Fentanil 4µg/kg

Propofol 2 mg/kg Rocuronium 1 mg/kg

Waktu 3; Sesaat sebelum intubasi

Laringoskopi dan intubasi 3 menit 2 menit Waktu Populasi Randomisasi pasien Sampel Kriteria inklusi Kelompok B

NaCl 0,9% Waktu

Waktu Kriteria eksklusi


(53)

Waktu 4,5; 1 dan 3 menit setelah intubasi

Pengambilan data

14

15

16

17

18

19

20

21

22


(54)

24 BAB 4 HASIL PENELITIAN

Sebanyak 60 orang pasien ASA 1 menjalani pembedahan dengan anestesi umum intubasi orotrakhea terbagi menjadi 2 kelompok; Kelompok A mendapat premedikasi Fentanil 2µg/kgBB + Deksketoprofen 50 mg iv (n=30) dan kelompok yang mendapatkan premedikasi Fentanil 4µg/kgBB iv (n=30).

24.1 KARAKTERISTIK SAMPEL PENELITIAN

Karakteristik umum subjek penelitian dinilai dari umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nadi dan frekwensi nafas, terlihat dari tabel dibawah ini (tabel 4.1-1).

Tabel 24.1-1. Karakteristik sampel penelitian pada kedua kelompok

Variabel A (n=30) B (n=30) p

Umur 33,6 (SD 11,4) 34,2 (SD 11,9) 0,692

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan

10 ( 16,7%) 20 ( 33,3%)

13 ( 21,7%) 17 (28,3%)

0,298*

Berat badan 56,8 (SD 8,6) 56,1 (SD 9,3) 0,132

Tinggi badan 162,0 (SD 6,2) 160,6 (SD 7,2) 0,235

Indeks massa tubuh 21,5 (SD 2,3) 21,6 (SD 2,1) 0,495

Tekanan darah sistolik 121,7 (SD 5,5) 122,9 (SD 6,1) 0,318

Tekanan darah diastolik 75,2 (SD 7,9) 74,5 (SD 7,7) 0,886

Tekanan arteri rerata 90,6 (SD 6,7) 89,7 (SD 6,9) 0,936

Frekwensi nadi 75,6 (SD 8,5) 74,9 (SD 8,7) 0,729

Frekwensi nafas 18,2 (SD 1,2) 18 (SD 1,4) 0,355

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg , B: kelompok Fentanil 4µg/kgBB, p= nilai kemaknaan, p menggunakan uji t independen , * nilai p menggunakan uji chi square . Nilai ditampilkan dalam rerata, simpangan baku dan persen


(55)

Dari Tabel 4.1-1. pada kelompok A dan kelompok B tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) pada variabel umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nadi dan frekwensi nafas.

24.2 JENIS OPERASI, LAMA TINDAKAN ANESTESI DAN LAMA TINDAKAN OPERASI

Karakteristik jenis operasi yang dilaksanakan pada sampel penelitian yaitu bedah digestif, bedah ortopedi, obstetri ginekologi, bedah onkologi, bedah kepala leher, bedah saraf dan bedah plastik. Jenis operasi, lama tindakan anestesi dan lama tindakan operasi pada penelitian terlihat pada tabel dibawah ini (tabel 4.2-1).

Tabel 24.2-1. Jenis operasi, lama tindakan anestesi dan lama tindakan operasi

Variabel A (n=30) B (n=30) p

Bedah Kepala dan leher 15 ( 25,0%) 24 ( 40,0,0%) 0,060*

Bedah onkologi 7 ( 11,0%) 10 ( 16%)

Bedah plastik 3 (5,0%) 1 (1,7%)

Bedah orthopedi 2 ( 3,3%) 8 ( 13,3%)

Obstetri Ginekologi 2 ( 3,3%) 3 ( 5,0%)

Bedah digestif 1 (1,7%) 5 (8,3%)

Bedah saraf 0 4 (6,7%)

Lama tindakan anestesi 135,8 (SD 47,4) 147,0 (SD 59,7) 0,197

Lama tindakan operasi 109,5 (SD 42,0) 122,8 (SD 59,1) 0,095

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg, B: kelompok Fentanil 4µg/kgBB, p= nilai kemaknaan, p menggunakan uji t independen, * nilai p menggunakan uji chi square . Nilai ditampilkan dalam rerata, simpangan baku dan persen

Dari tabel 4.2-1 tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) pada jenis


(56)

24.3 JENIS AGAMA, SUKU, PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN

Karakteristik sosial ekonomi sampel penelitian dinilai dari agama, suku, pendidikan dan pekerjaan. Hasil penelitian terdapat pada tabel dibawah ini (tabel 4.3-1).

Tabel 24.3-1. Jenis agama, suku, pendidikan dan pekerjaan

Variabel A (n=30) B (n=30) p

Agama ‐ Islam ‐ Kristen 21 (25,1%) 9 (15,0%) 22 (36,7%) 8 (13,3%) O,500* Suku: ‐ Batak ‐ Jawa ‐ Melayu ‐ Padang ‐ Aceh 16 (26,7%) 6 (10,0%) 3 (5,0%) 3 (5,0%) 2 (3,3%) 14 (23,3%) 7 (11,7%) 1 (1,7%) 4 (6,7%) 4 (6,7%) 0,732* Pendidikan : ‐ SD ‐ SMP ‐ SMA ‐ D3 ‐ S1 2 (3,3%) 5 (8,3%) 15 (25,0%) 2 (3,3%) 6 (10,0%) 7 (11,7%) 7 (11,7%) 10 (16,7%) 1 (1,7%) 5 (8,3%) 0,338* Pekerjaan : ‐ PNS

‐ Pegawai swasta

‐ Petani ‐ Pelajar ‐ IRT 8 (13,3%) 9 (15,0%) 1 (1,7%) 7 (11,7%) 5 (8,3%) 6 (10,0%) 6 (10,0%) 9 (15,0%) 3 (5,0%) 6 (10,0%) 0,062*

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg, B: kelompok Fentanil 4µg/kgBB, p= nilai kemaknaan, * nilai p menggunakan uji chi square . Nilai ditampilkan dalam rerata dan persen.

Dari tabel 4.3-1 terlihat tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara kelompok A dan kelompok B pada jenis agama, suku, pendidikan dan pekerjaan.


(57)

Dari paparan hasil karakteristik demografi dan tanda-tanda vital tidak terdapat perbedaan bermakna diantara dua kelompok penelitian berarti kedua kelompok homogen dan layak untuk dibandingkan.

24.4 PERUBAHAN TEKANAN DARAH SISTOLIK

Perubahan dinamis tekanan darah sistolik pada kelompok A maupun kelompok B ditunjukkan pada gambar 4.4-1.

Grafik 24.4.4-1. Perubahan tekanan darah sistolik kelompok A dan B Tabel 24.4-1. Tekanan darah sistolik kelompok A dan kelompok B

Waktu A B p

W 0 130,2 (SD 12,7)♣ 130,4 (SD 13,1)♣♣ 0,953

W 1 121,8 (SD 7,7) 131,4 (SD 11,1) 0,0001*

W 2 120,3 (SD 9,2) 117,9 (SD 12,1) 0,386

W3 112,8 (SD 9,8) 107,0 (SD 14,4) 0,073

W 4 126,8 (SD 9,2)♣ 119,8 (SD 13,5)♣♣ 0,026*

W 5 120,9 (SD 8,4) 116,2 (SD 11,1) 0,068

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg, B: kelompok Fentanil 4µg/kgBB, W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, W3: setelah diinduksi dengan propofol, W4: satu menit setelah intubasi, W5: 3 menit setelah intubasi. p= nilai kemaknaan, p menggunakan uji t- independen. Nilai ditampilkan dalam reratadan simpangan baku. *berbeda bermakna. ♣ Uji t-berpasangan antara W0 dan W4,


(58)

Tabel 4.4-1. menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) pada tekanan darah sistolik awal (W0), tekanan darah sistolik setelah dipremedikasi dengan fentanil dan midazolam (W2), tekanan darah sistolik setelah dilakukan induksi dengan propofol (W3) dan tekanan darah sistolik tiga menit setelah dilakukan intubasi (W5). Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) pada tekanan darah sistolik setelah dilakukan premedikasi dengan deksketoprofen 50 mg (W1) dan tekanan darah sistolik satu menit setelah dilakukan intubasi.

Tabel 24.4-2. Persentase kenaikan atau penurunan tekanan darah sistolik kelompok A dan B satu menit setelah intubasi (W4) dengan waktu yang lain

Waktu A % B %

W 0 130,2 (SD 12,7) 2,6 % (<) 130,4 (SD 13,1) 8,8% (<)

W 1 121,8 (SD 7,7) 3,9% % (>) 131,4 (SD 11,1) 9,8 % (<)

W 2 120,3 (SD 9,2) 5,1% % (>) 117,9 (SD 12,1) 1,5% (>)

W 3 112,8 (SD 9,8) 11,4% (>) 107,0 (SD 14,4) 10,4% (>)

W 5 120,9 (SD 8,4) 4,6% (>) 116,2 (SD 11,1) 3% (>)

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg, B: kelompok Fentanil 4µg/kgBB, W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, W3: setelah diinduksi dengan propofol, W5: 3 menit setelah intubasi. < penurunan, > peningkatan

Dari tabel 4.4-2 tekanan darah sistolik pada kelompok A pada waktu awal

(W0) menurun 2,6% dan meningkat sebesar 3,9% pada W1, 5,1% pada W2, 11,4% pada W3 dan 4,6% pada W5 dibandingkan waktu satu menit setelah dilakukan intubasi. Pada kelompok B terjadi peningkatan pada waktu awal (W0) sebesar 8,8%, pada W1 sebesar 9,8%, pada W2 sebesar 1,5%, pada W3 sebesar 10,4% dan pada W4 sebesar 3% dibandingkan satu menit setelah dilakukan intubasi.


(59)

24.5 PERUBAHAN TEKANAN DARAH DIASTOLIK

Gambar 4.5-1. menunjukkan perubahan dinamis tekanan darah diastolik pada kelompok A maupun kelompok B.

Grafik 4.5-1. Perubahan tekanan darah diastolik kelompok A dan B

Tabel 24.5-1. Tekanan darah diastolik kelompok A dan B

Waktu A B P

W 0 76,6 (SD 11,3)♣ 80,0 (SD 7,7)♣♣ 0,171

W 1 76,3 (SD 6,6) 80,0 (SD 4,4) 0,014*

W 2 68,7 (SD 9,0) 68,4 (SD 9,5) 0,923

W 3 64,2 (SD 10,3) 61,7 (SD 9,8) 0,335

W 4 82,5 (SD 9,60)♣ 74,9 (SD 13,3)♣♣ 0,015*

W 5 76,3 (SD 9,8) 72,0 (SD 12,0) 0,136

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg, B: kelompok Fentanil 4µg/kgBB, W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, W3: setelah diinduksi dengan propofol, W4: satu menit setelah intubasi, W5: 3 menit setelah intubasi. p= nilai kemaknaan, p menggunakan uji t independen. Nilai ditampilkan dalam reratadan simpangan baku, * berbeda bermakna. ♣ Uji t-berpasangan antara W0 dan W4, p=0,045.♣♣ Uji t-berpasangan antara W0 dan W4, p=0,056


(60)

Tabel 4.5-1 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) kedua kelompok pada tekanan darah diastolik awal (W0), tekanan darah diastolik setelah dipremedikasi dengan fentanil dan midazolam (W2), tekanan darah diastolik setelah dilakukan induksi dengan propofol (W3) dan tekanan darah diastolik tiga menit setelah dilakukan intubasi (W5). Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) kedua kelompok pada tekanan darah diastolik setelah dilakukan premedikasi dengan deksketoprofen 50 mg (W1) dan tekanan darah diastolik satu menit setelah dilakukan intubasi.

Tabel 24.5-2. Persentase kenaikan atau penurunan tekanan darah diastolik kelompok A dan B satu menit setelah intubasi (W4) dengan waktu yang lain

Waktu A % B %

W 0 76,6,6 (SD 11,3) 7,1% (>) 80,0 (7,7) 6,8% (<)

W 1 76,3 (SD 6,6) 7,5% (>) 80,0 (4,4) 6,8% (<)

W 2 68,7 (SD 9,0)

22,1% 17,6%

16,7% (>) 68,4 (9,5) 8,6% (>)

W 3 64,2 (10,3) (>) 61,7 (9,8) (>)

W 5 76,3 (9,8) 7,5% (>) 72,0 (12,0) 3,8% (>)

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg, B: kelompok Fentanil 4µg/kgBB, W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, W3: setelah diinduksi den n propofol, W5: 3 menit setelah intubasi.

4 sebesar 3,8% dibandingkan satu menit setelah dilakukan tubasi.

ga

Dari tabel 4.5-2 tekanan darah diastolik pada kelompok A pada waktu awal (W0) meningkat 7,1% dan meningkat sebesar 7,5% pada W1, 16,7% pada W2, 22,1% pada W3 dan 7,5% pada W5 dibandingkan waktu satu menit setelah dilakukan intubasi. Pada kelompok B terjadi penurunan pada waktu awal (W0) sebesar 6,8%, pada W1 sebesar 6,8%, pada W2 sebesar 8,6%, pada W3 sebesar 17,6% dan pada W


(61)

24.6 PERUBAHAN TEKANAN ARTERI RERATA

Perubahan dinamis tekanan arteri rerata pada kelompok A maupun kelompok B ditunjukkan pada gambar 4.6-1.

Grafik 4.6-1. Perubahan tekanan arteri rerata kelompok A dan B

Tabel 24.6-1. Tekanan arteri rerata kelompok A dan B

Waktu A B P

W 0 94,3 (SD 10,4)♣ 96,5(SD 8,6)♣♣ 0,397

W 1 91,4 (SD 6,1) 97,1 (SD 5,9) 0,001*

W 2 86,0 (SD 7,5) 84,9 (SD 9,8) 0,637

W 3 80,4 (SD 9,1) 76,9 (SD 10,8) 0,177

W 4 97,2 (SD 7,9)♣ 89,9 (SD 12,5)♣♣ 0,009*

W 5 91,1 (SD 8,2) 86,7 (SD 10,8) 0,078

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg, W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, W3: setelah diinduksi dengan propofol, W4: satu menit setelah intubasi, W5: 3 menit setelah intubasi. p= nilai kemaknaan, p menggunakan uji t independen. Nilai ditampilkan dalam reratadan simpangan baku, *berbeda bermakna. ♣ Uji t-berpasangan antara W0 dan W4, p=0,255.♣♣ Uji t-berpasangan antara W0 dan W4, p=0,020


(62)

Tabel 4.6-1. menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) kedua kelompok pada tekanan arteri rerata awal (W0), Setelah dilakukan premedikasi dengan fentanil dan midazolam (W2), Setelah dilakukan induksi anestesi (W3) dan tiga menit setelah intubasi (W5). Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) kedua kelompok pada tekanan arteri rerata setelah dilakukan premedikasi dengan deksketoprofen 50 mg (W1) dan tekanan arteri rerata satu menit setelah diintubasi.

Tabel 24.6-2. Persentase kenaikan atau penurunan tekanan arteri rerata kelompok A dan B satu menit setelah intubasi (W4) dengan waktu yang lain

Waktu A % B %

W 0 94,3 (SD 10,4) 2,9% (>) 96,5(SD 8,6) 7,3% (<)

W 1 91,4 (SD 6,1) 5,9% (>) 97,1 (SD 5,9) 8% (<)

W 2 86,0 (SD 7,5) 11,5% (>) 84,9 (SD 9,8) 5,5% (>)

W 3 80,4 (SD 9,1) 17,2% (>) 76,9 (SD 10,8) 14% (>)

W 5 91,1 (SD 8,2) 6,2% (>) 86,7 (SD 10,8) 3,5% (>)

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg, B: kelompok Fentanil 4µg/kgBB, W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, W3: setelah diinduksi dengan propofol, W5: 3 menit setelah intubasi.

Dari tabel 4.6-2 tekanan arteri rerata kelompok A pada waktu awal (W0) meningkat 2,9%, 5,9% pada W1, 11,5% pada W2, 17,2% pada W3 dan menurun 6,2% pada W5 dibandingkan waktu satu menit setelah dilakukan intubasi. Pada kelompok B terjadi penurunan pada waktu awal (W0) sebesar 7,3% dan 8% pada W1. Terjadi peningkatan sebesar 5,5% pada W2, 14%, pada W3 dan 3,5% pada W5 dibandingkan satu menit setelah dilakukan intubasi.


(63)

24.7 PERUBAHAN FREKWENSI NADI

Perubahan dinamis Frekwensi nadi pada kedua kelompok dapat dilihat pada gambar 4.7-1.

Grafik 24.7-1. Perubahan frekwensi nadi kelompok A dan B

Tabel 24.7-1. Perubahan frekwensi nadi kelompok A dan B

Waktu A B P

W 0 80,2 (SD 12,9)♣ 80,3 (SD 12,8)♣♣ 0,968

W 1 78 (SD 8,7) 85,2 (Sd 15,8) 0,033*

W 2 77,6 (SD 11,3) 75,7 (SD 12,4) 0,526

W 3 78,3 (SD 13,5) 76,8 (SD 13,4) 0,675

W 4 92,2 (SD 10,5)♣ 83,9 (SD 6,9)♣♣ 0,001*

W 5 92,5 (SD 11,6) 89,9 (SD 15,5) 0,456

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, W3: setelah diinduksi dengan propofol, W4: satu menit setelah intubasi, W5: 3 menit setelah intubasi. p= nilai kemaknaan, p menggunakan uji t independen. Nilai ditampilkan dalam reratadan simpangan baku, * berbeda bermakna.♣ Uji t-berpasangan antara W0 dan W4, p=0,0001.♣♣ Uji t-berpasangan antara W0 dan W4, p=0,0001


(64)

Tabel 4.7-1 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) frekwensi nadi kedua kelompok pada waktu awal (W0), setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil (W2), setelah induksi (W3) dan tiga menit setelah intubasi (W5). Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) frekwensi nadi pada kedua kelompok setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen 50 mg (W1) dan satu menit setelah dilakukan intubasi.

Tabel 24.7-2. Persentase kenaikan atau penurunan frekwensi nadi kelompok A dan B satu menit setelah intubasi (W4) dengan waktu yang lain

Waktu A % B %

W 0 80,2 (SD 12,9) 13% (>) 96,5(SD 8,6) 4,2% (<)

W 1 78 (SD 8,7) 15,4% (>) 97,1 (SD 5,9) 1,5% (<)

W 2 77,6 (SD 11,3) 15,8% (>) 84,9 (SD 9,8) 9,7% (<)

W 3 78,3 (SD 13,5) 15% (>) 76,9 (SD 10,8) 8,4% (>)

W 5 92,5 (SD 11,6) 0,3% (<) 86,7 (SD 10,8) 7,1% (>)

A: kelompok Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50mg, B: kelompok Fentanil 4µg/kgBB, W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, W3: setelah diinduksi dengan propofol, W5: 3 menit setelah intubasi.

Dari tabel 4.7-2 frekwensi nadi kelompok A pada waktu awal (W0) meningkat 13%, 15% pada W1, 15,8% pada W2, 15% pada W3 dan menurun 0,3% pada W5 dibandingkan waktu satu menit setelah dilakukan intubasi. Pada kelompok B terjadi peningkatan pada waktu awal (W0) sebesar 4,2% dan 9,7% pada W2 dan 8,4% pada W3 . Terjadi penurunan sebesar 1,5% pada W1 dan 7,1% pada W5 dibandingkan satu menit setelah dilakukan intubasi


(65)

24.8 PERUBAHAN FREKWENSI NAFAS

Perubahan frekwensi nafas ditunjukkan pada gambar 4.8-1.

Grafik 24.8-1. Perubahan frekwensi nafas kelompok A dan B

Tabel 24.8-1. Perubahan frekwensi nafas kelompok A dan B

Waktu A B P

W 0 18,5 (SD 1,7) 19,0 (SD 1,4) 0,203

W 1 16,1 (SD 1,2) 17,8 (SD 1,6) 0,759

W 2 13,6 (SD 2,3) 4,3 (SD 3,5) 0,0001*

A: kelompok fentanil+deksketoprofen, B: kelompok fentanil, W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, p= nilai kemaknaan, p menggunakan uji t independen. Nilai ditampilkan dalam reratadan simpangan baku, * berbeda bermakna

Dari tabel 4.8-1. ini jelas terlihat setelah dilakukan premedikasi dengan fentanil dan midazolam terlihat penurunan frekwensi nafas pada kedua kelompok dibandingkan frekwensi nafas awal, tetapi penurunan sangat bermakna pada kelompok B dan berbeda bermakna (p<0,05) pada waktu setelah diberikan premedikasi fentanil dan midazolam (W2)


(66)

24.9 RATE PRESSURE PRODUCT (RPP) Tabel 4.9-1. Rate pressure product (RPP)

WAKTU RPP A RPP B p

W0 10456.7 (SD 2063,7) ♣ 10452,4 (SD 1779,4) ♣♣ 0,993

W1 12036,2 (SD 2193,5) 11833,5 (SD 2553,2) 0,743

W2 11364,5 (SD 2276,3) 12037,9 (SD 2596,6) 0,290

W3 8856,4 (SD 1801,0) 8234,9 (SD 1868,7) 0,195

W4 11876,3 (SD 1743,9) ♣ 10579,5 (SD 2887,4) ♣♣ 0,040*

W5 11215,9 (SD 1741,0) 10397,2 (SD 2221,3) 0,118

A: kelompok fentanil+deksketoprofen, B: kelompok fentanil, W0: data awal, W1: setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen, W2: setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil, p= nilai kemaknaan, p menggunakan uji t independen. Nilai ditampilkan dalam reratadan simpangan baku, * berbeda bermakna ♣ Uji t-berpasangan antara W0 dan W4, p=0,004.♣♣ Uji t-berpasangan antara W0 dan W4, p=0,818

Dari tabel 4.9-1 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) rate pressure product kedua kelompok pada waktu awal (W0), setelah dipremedikasi dengan deksketoprofen 50 mg (W1), setelah dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil (W2), setelah induksi (W3) dan tiga menit setelah intubasi (W5). Terdapat

perbedaan bermakna (p<0,05) rate pressure product pada kedua kelompok dan

satu menit setelah dilakukan intubasi (W4). Jika dilakukan uji t-berpasangan terdapat perbedaan bermakna antara W0 dan W4 pada kelompok A dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara W0 dan W4 pada kelompok B.


(67)

BAB 5 PEMBAHASAN 24.10 GAMBARAN UMUM

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik randomisasi, dimana dari data umum karakteristik sampel terlihat bahwa usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nadi dan frekwensi nafas (tabel 4.1), antara kedua kelompok tidak terdapat perbedaan. Juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok pada jenis tindakan operasi, lama tindakan anestesi dan lama tindakan operasi (tabel 4.2), agama, suku, pendidikan dan pekerjaan (tabel 4.3). Dari uraian diatas secara statistik berarti sampel yang diambil relatif homogen dan layak untuk dibandingkan.

24.11 GAMBARAN HEMODINAMIK

Laringoskopi dan intubasi meningkatkan resiko peningkatan tekanan darah 40-50% dan peningkatan denyut jantung 20% dari nilai awal. pada pasien, laringoskopi merupakan stimulus invasif selama intubasi orotrakhea. Banyak cara untuk menekan respon hemodinamik yang meningkat selama laringoskopi dan intubasi diantaranya pemberian obat-obat alpa dan beta adrenergik, vasodilator, intravenous lidokaine, anestesi topikal pada orofaring,laring dan trakhea, mendalamkan anestesi inhalasi dan pemberian opioid.4 Pada penelitian ini dipakai opioid yaitu fentanil dengan dosis 4µg/kgBB intravena pada satu kelompok dan fentanil dengan dosis 2µg/kgBB + deksketoprofen 50 mg intravena, untuk menekan respon hemodinamik pada laringoskopi dan intubasi dan diharapkan respon hemodinamik pada kedua kombinasi obat tersebut tidak berbeda. Menurut Katoh fentanil dapat menghambat impuls saraf aferen yang dihasilkan dari stimulus pada faring, laring dan paru-paru pada saat intubasi. Reseptor opioid banyak didapat pada nukleus solitair dan nukleus ke-9 serta ke-10 saraf kranial, hal ini


(68)

berhubungan dengan saraf viseral dari saraf tersebut yang berasal dari faring, laring dan paru-paru.20

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap perubahan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nadi dan frekwensi nafas. Pengukuran dilakukan pada saat preoperasi, sewaktu pasien diruang persiapan (W0), setelah tiga puluh menit dilakukan premedikasi dengan deksketoprofen atau NaCl 0,9% (W1), tiga menit setelah dilakukan premedikasi dengan fentanil dan midazolam (W2), dua menit setelah dilakukan induksi (W3), satu menit setelah intubasi (W4) dan tiga menit setelah intubasi (W5).

Variabel dasar hemodinamik (tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nadi) dan frekwensi nafas dengan uji t independen tidak menunjukkan perbedaan antara kedua kelompok.

Pada waktu satu (W1) yaitu setelah dilakukan premedikasi dengan deksketoprofen 50 mg pada kelompok A terjadi penurunan tekanan darah sistolik (TDS) , tekanan darah diastolik (TDD), tekanan arteri rerata (TAR) dan frekwensi nadi dibanding dengan waktu awal (W0), sementara pada kelompok B, TDS menurun sedikit, TDD tidak berubah, TAR dan frekwensi nadi meningkat dibandingkan dengan waktu awal (W0). Penurunan TDS sebesar 6,4% pada kelompok A dan 0,7% pada kelompok B, penurunan TDD pada kelompok A sebesar 0,39%. TAR menurun 3% pada kelompok A dan meningkat 0,6% pada kelompok B. Frekwensi nadi menurun 2,8% pada kelompok A dan meningkat 6% pada kelompok B.

Setelah dilakukan premedikasi dengan fentanil dan midazolam (W2) pada kedua kelompok terdapat penurunan TDS, TDD, TAR, frekwensi nadi dan frekwensi nafas dibandingkan dengan waktu awal (W0) . Rerata penurunan TDS 7,6% setelah dilakukan premedikasi dengan fentanil 2µg/kgBB dan midazolam 0,1 mg/kgBB pada kelompok A dan 9,5% pada kelompok B. Rerata penurunan TDD 10,3% pada kelompok A dan 14,5% pada kelompok B, rerata penurunan TAR 8,8% pada kelompok A dan 12% pada kelompok B, rerata penurunan frekwensi


(1)

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Alamat :

Pekerjaan :

No.KTP/Lainnya :

Setelah memperoleh penjelasan sepenuhnya dan menyadari serta memahami tentang tujuan, manfaat, serta resiko yang mungkin timbul dalam penelitian berjudul :

“Perbandingan respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi pada premedikasi Fentanil 2µg/kgBB/ intravena + Deksketoprofen 50 mh intravena dengan Fentanil 4 µg/kgBB/ intravena”

Dan mengetahui serta memahami bahwa subjek dalam penelitian ini sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya, maka saya setuju ikut serta/ mengikutsertakan anak/adik/ayah/ibu/suami/istri saya bernama ……...………... dalam uji penelitian dan bersedia berperan serta dengan mematuhi semua ketentuan yang berlaku dan telah saya sepakati dalam penelitian tersebut di atas.

Medan,……… 2009

Mengetahui Yang menyatakan Penanggung Jawab Penelitian Peserta Uji Klinik


(2)

LAMPIRAN 4:

LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN Nama :

Jenis Kelamin : Umur/Tgl. Lahir : Pekerjaan :

Agama :

Alamat :

Pendidikan Terakhir : Suku/Bangsa : Tinggi/Berat Badan :

BMI :

No. Medical Record : Diagnosa : Tindakan :

PS ASA :

Mulai Anestesi : Selesai : Mulai Operasi : Selesai

Waktu 0 Waktu 1 Waktu 2 Waktu 3 Waktu 4 Waktu 5 Tekanan darah

sistole

Tekanan darah diastole

Tekanan arteri rerata


(3)

Keterangan:

Waktu 0: Waktu sebelum diberikan deksketoprofen trometamol (sewaktu pasien diruang persiapan).

Waktu 1: Setelah 30 menit diberikan deksketoprofen trometamol (dikamar operasi). Waktu 2: Setelah 3 menit dipremedikasi dengan midazolam dan fentanil.

Waktu 3: Setelah 2 menit setelah induksi dengan propofol. Waktu 4: Waktu 1 menit setelah intubasi.


(4)

LAMPIRAN 5


(5)

LAMPIRAN 6

RANDOMISASI BLOK SAMPEL DAN DAFTAR SAMPEL

85-89 : BBAABA 90-94 : BBABAA 95-99 : BBBAAA 80-84 : BBAAAB 75-79 : BABBAA 70-74 : BABABA 65-69 : BABAAB 60-64 : BAABBB 55-59 : BAABBB 50-54 : BAAABB 45-49 : ABBBAA 40-44 : ABBABA 30-34 : ABABBA 35-39 : ABBAAB 25-29 : ABABAB 20-24 : ABAABB 15-19 : AABBBA 10-14 : AABBAB 00-04 : AAABBB 05-09 : AABABB Nomor Sekuens :

Kelompok A untuk premedikasi Fentanil 2µg/kgBB+Deksketoprofen 50 mg


(6)

No Kelompok Nama No Kelompok Nama

1 A M. Khadafi 31 B Heri Butar-butar

2 A Bertaria Sirait 32 B Aman Siregar

3 B Dwi Cantiko 33 A Rani Sari Lubis

4 A Laila Hasanah 34 A Netti Ginting

5 B Suherni 35 B Rahna

6 B Ponimin 36 A Erlinawati

7 A Chairul Saleh 37 A Poltak Siagian

8 B Asmidah 38 A Buntora

9 A Rosmita 39 B Semta Delia

10 B Mariam 40 A Azi

11 A Harun 41 B Dasafi Gulo

12 B Asrul 42 B Nurbetty

13 B Erpiana Sembiring 43 B Basa Pakpahan

14 A Boy Sutrisman 44 A Dedi Zulhamsyah

15 B Eko Susanto 45 B Junita hutabarat

16 A Herni Misnita 46 A Herman Hsb

17 A Andriana Yulinda 47 A Naniwati

18 B Herlina Nababan 48 B Gamed Bangun

19 B Arjuna 49 B Nurul Agustina

20 A Ahmad 50 B Roida S

21 A Ade Irma Hayani 51 A Dewi Kusuma

22 B Sutarman 52 A Tista Rosita

23 A Junita 53 A Olivia Wiyanti

24 B Herdawati 54 B Tri Supardiono

25 A Nelfi Situmeang 55 B Supriyanti

26 B Handa Hasan 56 A Julianto

27 A Desli Siregar 57 A Lili Sufiana

28 B Bahtiar 58 B Suriyanti

29 B Dedi Sahputra 59 A Triono


Dokumen yang terkait

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

4 105 105

Perbandingan Premedikasi Klonidin 3 μg/KgBB Intravena Dan Diltiazem 0.2 mg/KgBB Intravena Dalam Menumpulkan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Endotrakhea

3 76 93

Perbandingan Pengaruh Pemberian Fentanil 1 µg/kgBB Dengan Lidokain 2% 1 mg/kgBB Intravena Terhadap Respon Hemodinamik Pada Tindakan Ekstubasi

3 85 94

Efektivitas Magnesium Sulfat 30 mg per kgBB Intravena dibanding dengan fentanil 2 mcg per kgBB Intravena dalam menekan respons kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi dan intubasi.

0 0 4

PERBANDINGAN EFEK DEKSMEDETOMIDIN 0,75 µg kgBB DENGAN FENTANIL 2 µg kgBB INTRAVENA TERHADAP KEBUTUHAN DOSIS INDUKSI PROPOFOL DAN RESPON HEMODINAMIK SE TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI TRAKHEA | Amri | Healthy Tadulako 8732 28684 1 PB

0 0 14

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

1 0 11

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

1 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

0 0 40

BAB 1 PENDAHULUAN - Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

0 0 6

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

0 0 13