Pengaruh Kegiatan Ujicoba REDD pada Ling

PENGARUH KEGIATAN UJICOBA REDD+ PADA LINGKUNGAN DAN SOSIALEKONOMI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
Studi di Lokasi Kegiatan Ujicoba REDD+ di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan
Tengah
(The Impact of Socio-Economic’s REDD+ Demonstration Activities to Forest Community
Area: Study on REDD+ Demonstration Actibities in Kuala Kapuas District, Central
Kalimantan)
Dadang Setiawan*) dan Mahawan Karuniasa*)
Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia
Kampus UI Salemba - Gedung C (FKG) Lt. 5 dan 6, Jl. Salemba Raya No. 4 - Jakarta Pusat.
Telp/Fax: (021) 31930251
Email: [email protected]
*)

ABSTRACT
Implementation of the Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD+) program requires the effectiveness, efficiency and equity (equitable) as approach of
mitigation on climate change to examine the options proposed and outcomes or evaluate the their
actual results. This research aims to identify and analyze the impact of REDD + pilot activities
on the environment and socio-economics of forest communities, as well as assessing the
perception of local residents on their benefits of REDD + pilot activities and
communites’perception on its program relationship with climate change. Research population is

seven villages on the region of REDD + pilot activities Regency Kuala Kapuas, Central
Kalimantan, with the sample villages are Mantangai Hulu Village, Katunjung and Petak Puti.
Numbers of samples were 66 respondents with the unit of analysis is the family. The research
results show that the demonstration activities of REDD+ have been delivered influence mainly
on environment (forest vegetation) and their income, limited influence on education aspect,
health and living conditions. The trainings availability, activities and socialization by REDD+
project proponent have been obtained co-benefits for locals on their capacity building, forest and
land use governance, their knowledge and understanding on REDD+ benefits and their
perception on REDD+ and climate change relationship concept.
Keywords: REDD+, carbon, environment, socio-economic, climate change, PES
ABSTRAK
Pelaksanaan program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau Reducing
Emissions from Deforestasi and forest Degradation plus (REDD+) mensyaratkan adanya
efektivitas, efisiensi dan kesetaran (equitable) sebagai perdekatan mitigasi perubahan iklim
untuk menguji opsi-opsi usulan dan hasil-hasil atau mengevaluasi hasil aktual. Riset ini
bertujuan memahami dan menganalisis pengaruh kegiatan ujicoba REDD+ pada pada lingkungan
dan sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, serta mengkaji persepsi warga masyarakat
setempat atas manfaatnya dari kegiatan ujicoba REDD+ danpenilaian masyarakat dalam melihat
keterkaitan antaraprogram tersebut dengan perubahan iklim. Populasi riset berada di tujuh desa
di wilayah kerja kegiatan ujicoba REDD+ Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, dengan

lokasi sampel berada di Desa Mantangai Hulu, Desa Katunjung dan Desa Petak Puti. Jumlah
sampel 66 orang dengan unit analisis adalah keluarga. Hasil riset ini menunjukkan bahwa dari
1

kegiatan ujicoba REDD+ di lokasi sampel telah memberi pengaruh terutama terhadap kondisi
lingkungan (lahan hutan) dan tingkat pendapatan, serta pengaruh terbatas terhadap aspek
pendidikan, kesehatan dan kondisi tempat tinggal. Berbagai pelatihan, kegiatan dan sosialisasi
tentang REDD+ telah meningkatkan manfaat tambahan berupa kapasitas personal, tata kelola
lahan, pemahaman danpersepsi masyarakat atas manfaat ujicoba REDD+, dan melihat hubungan
kegiatan ujicoba REDD+ dengan perubahan iklim.
Keywords: REDD+, karbon, lingkungan, sosial ekonomi, perubahan iklim, pembayaran jasa
lingkungan (PES)
Pendahuluan
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau dikenal dengan Reducing
Emissions from Deforestasi and forest Degradation (REDD) mulai diperkenalkan pada
pertemuan puncak kerangka konvensi perubahan iklim Pada (United Nations Framework for
Climate Change Convention–UNFCCC) ke-13yang berlangsung di Bali pada 2007. Sebelumnya
isu ini telah diperkenalkan pada pertemuan serupa ke-12, namun masih belum diterima menjadi
kesepakatan mengikat. Indonesia bersama negara berkembang lain kembali mengusulkan
kembali untuk memasukan isu deforestasi ke dalam kerangka konvensi, sehingga lahir

kesepakatan Bali Action Plan dan Bali Road Map (UNFCCC, 2007). Pada CoP tersebut peserta
seluruh negara setuju untuk menerima mekanisme REDD sebagai sebuah komponen potensial
dari rezim perubahan iklim paska-2012 (Parker et al., 2009).
Tujuan spesifik dari riset ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi antara lain: (1)
Mengetahui manfaat sosial-ekonomi dari program kegiatan ujicoba REDD+ pada masyarakat
sekitar hutan; (2) Memahami pengaruh kegiatan ujicoba REDD+ terhadap lingkungan
(khususnya kondisi hutan); (3) Menganalisis pengaruh kegiatan ujicoba REDD+ terhadap sosial
ekonomi (pendidikan, kesehatan, pendapatan, kondisi tempat tinggal) warga masyarakat
setempat; (4) Menganalisis pengaruh program kegiatan ujicoba REDD+ terhadap persepsi warga
masyarakat setempat atas manfaanya dan kaitannya dengan perubahan iklim dan memberikan
masukan kepada para pihak terkait.

2

Bahan dan Metode
Peran hutan menjadi lebih penting dalam konteks kebijakan mitigasi perubahan iklim di
Indonesia. Hutan menutupi luas 86–93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat
Indonesia. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1,18 juta hektar
hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut,
menghasilkan sekitar 60% total emisi Indonesia (REDDI, 2013). Struktur emisi seperti ini

menjadikan Indonesia memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu
cara utama dalam mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim.
REDD+ adalah singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and forest
Degradationplus atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan hutan.Istilah
REDD+ mulai dikenal terutama sejak hasil keputusan konferensi negara-negara peserta kerangka
konvensi perubahan iklim (Conference of the Parties – CoP) ke-13 di Bali, yang juga dikenal
sebagai Bali Action Plan. Melalui konferensi REDD didefinisikan: “Pendekatan kebijakan dan
insentif positif pada isu-isu yang berkaitan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan di Negara berkembang.” Pada paragraf berikutnya disebutkan “…dan peran
konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon di negara berkembang.”
Keputusan UNFCCC terkait pelaksanaan kegiatan ujicoba (demonstration activities – DA)
REDD+ dimulai pada Conference of the Parties 13 di Bali melalui hasil putusan pada paragraf
ketiga, nomor Dec 2/CP/13 dinyatakan bahwa para pihak (negara) didorong untuk
menindaklanjuti melalui kegiatan, mengidentifikasi opsi dan melakukan upaya, termasuk
kegiatan ujicoba untuk menyentuh faktor pendorong/pemicu (drivers) deforestasi sesuai dengan
keadaan nasional. Hingga Agustus 2013 kegiatan ujicoba REDD+ sebanyak 77 unit pelaksana,
dengan dukungan donor bilateral dan mitra lainnya, dan tersebar di sejumlah lokasi (KemHut,
2013).
Kegiatan ujicoba REDD+ di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah diinisiasi oleh
Kalimanten Forest and Climate Partnership (KFCP), lembaga hasil kerjasama pemerintah RI

dengan bantuan hubah dari pemerintah Australia. Kegiatan ini dilakukan pada periode 2009-2013
lokasi di tujuh desa di Kab. Kuala Kapuas.

3

Sejumlah kegiatan terkait dengan sosial ekonomi yang dilakukan pelaksana ujicoba REDD+
KFCP antara lain: (a) ujicoba pembayaran jasa lingkungan (Payment Ecosystem Services--PES)
termasuk mengembangkan pembibitan oleh masyarakat guna menghasilkan bibit hutan atau bibit
tanaman yang akan digunakan pada proyek reboisasi. Kegiatan dilakukan melalui pembayaran
sebagai upaya masyarakat berdasarkan indikator input, kinerja; (b) pembentukan tim manajemen
pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan kegiatan pemantauan (monitoring) di
setiap desa; (c) penutupan atau pemblokiran saluran tatas (kanal kecil) dan kegiatan persiapan
lainnya dengan melibatkan masyarakat setempat untuk menutup kanal besar sebagai bagian dari
upaya rehabilitasi hidrologi lahan gambut. Skema ini mengunakan insentif.; (d) dukungan
pelatihan bagi Petani Pemandu (penyuluh atau penasihat pertanian) dan sekolah lapangan bagi
petani; (e) Program dukungan mata pencaharian menyalurkan bibit karet bagi satu hektar
perkebunan per keluarga, atau setara dengan nilai agroforestri lainnya termasuk kolam ikan; (f)
pemetaan partisipatif lahan desa dan Peringkat Kekayaan Sosial (Social Wealth Ranking–SWR).
Metode


penelitian

ini

menggunakan

pendekatan

deskriptif

yakni

peneliti

berusaha

mendeskripsikan dan menginterpretasikan berbagai data yang telah dikumpulkan melalui angket,
wawancara maupun oservasi. Analisis deskriptif digunakan untuk menguraikan kondisi faktual di
desa sampel terkait dengan kondisi hutan, tingkat pendapatan, kesehatan dan pendidikan, serta
persepsi mereka atas manfaat kegiatan ujicoba REDD+ dan melihat pandangannya atas REDD+

dan perubahan iklim. Analisis deskriptif digunakan pada riset ini untuk mencari hubungan antara
program kegiatan ujicoba REDD+ terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan
pada lokasi program tersebut.
Riset ini dilakukan pada periode April-Mei 2015. Tempat riset pada lokasi kegiatan ujicoba
REDD+ di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah pada tiga desa sampel yakni Desa
Mantangai Hulu, Desa Katunjung, dan Desa Petak Puti di Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah.
Populasi dari riset ini adalah seluruh jumlah keluarga dari proyek REDD+ yang dilakukan oleh
program pada tujuh desa di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kegiatan ujicoba REDD+
oleh KFCP dilakukan di tujuh desa di dua kecamatan yaitu Kecamatan Mantangai dan Timpah,

4

Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Desa dimaksud adalah Petak Puti, Muroi, Katunjung,
Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang, dan Matangai Hulu (Gambar 1).
Riset ini menggunakan pendekatan multistage sampling. Multi-stage sampling adalah teknik
pengambilan sampel yang dilakukan secara berurutan dalam dua level tingkatan/hierarki atau
lebih. Teknik ini tidak memerlukan daftar lengkap anggota/bagian dari populasi yang akan
diteliti. Teknik ini juga dapat melibatkan lebih dari satu metode atau metode sampling gabungan,
misalnya: simple random, cluster atau stratified sampling.


Gambar 1: Gambar dan peta lokasi kegiatan ujicoba REDD+ di Kab. Kuala Kapuas.
Riset ini menggunakan pendekatan multistage sampling. Multi-stage sampling adalah teknik
pengambilan sampel yang dilakukan secara berurutan dalam dua level tingkatan/hierarki atau
lebih. Teknik ini tidak memerlukan daftar lengkap anggota/bagian dari populasi yang akan
diteliti. Teknik ini juga dapat melibatkan lebih dari satu metode atau metode sampling gabungan,
misalnya: simple random, cluster atau stratified sampling.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui (i) Wawancara guna memperoleh data primer dari
responden dilakukan wawancara terstruktur dengan menggunakan questioner. Sedangkan untuk
memperoleh informasi sebagai data sekunder dari informan dilakukan wawancara dengan
menggunakan pedoman wawancara; (ii) Observasi atau pengamatan langsung dilakukan dengan
5

menggunakan pedoman observasi berupa check list untuk mengamati kondisi keluarga yang
mengikuti kegiatan ujicoba REDD+ dan yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Sedangkan
datasekunder melalui studi literatur guna memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari
dokumen, laporan proyek dan hasil survey monitoring yang berkaitan dengan kegiatan ujicoba
REDD+, dan data statistik sosial-ekonomi di lokasi riset. Data untuk mengetahui kondisi sosial
ekonomi saat sebelum program ujicoba REDD+ di lokasi tersebut, diperoleh dari data-data
baseline dari Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) sebagai pelaksana ujicoba REDD+

di Kabupaten Kapuas.
Data-data primer yang telah dihimpun dari responden berupa data tingkat pendapatan, tingkat
kesehatan, dan tingkat pendidikan yakni ketiga komponen tersebut menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat. Selain itu data primer mengenai persepsi masyarakat terhadap
REDD+ berserta manfaatnya, dan persepsi responden atas kaitan REDD+ dengan perubahan
iklim juga menggunakan skala likert untuk mendapatkan perbandingan persepsi masyarakat pada
tas sebelum dan sesudah adanya kegiatan ujicoba REDD+.
Angket yang terkumpul dari lapangan selanjutnya dilakukan pengkodean untuk dimasukan
sebagai bahan pemrosesan data menggunaan aplikasi excel. Adapun strata ukuran Skala Likert
menggunakan digunakan sebagai berikut: 1. Sangat tidak setuju; 2. Tidak setuju; 3. Netral; 4.
Setuju; 5. Sangat setuju. Demikian pula untuk skala preferensi menggunakan Skala Likert yakni:
1. Sangat baik; 2. Baik; 3. Cukup baik; 4. Tidak baik; 5. Sangat tidak baik. Selain itu diajukan
pula pertanyaan yang meminta informasi tentang pengetahuan responden atas sesuatu hal dengan
menyediakan jawaban “ya” dan “tidak.” Selanjutnya, setiap respon jawaban responden diberi
skor dan dikelompokkan. Skor terbesar adalah lima (5), skor terendah adalah 1 (satu) untuk
pengukuran sikap (Skala Likert) serta penilaian atas pengetahuan, dan atribusi lainnya (luas
lahan, aset, pendapatan) mencapai skor tertinggi 6 (enam), seperti tabel di bawah ini.Setelah data
terkumpul dan diolah dan ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi, serta dilakukan analisis
deskriptif.


6

Hasil dan Pembahasan
Kondisi lahan hutan dari kegiatan ujicoba REDD+ telah diuraikan seperti pada bagian
sebelumnya dari tingkat deforestasi dan degradasi lahan. Adapun penilaian dari warga
masyarakat sendiri atas kondisi lahan hutan di sekitar desanya dapat digambarkan sebagaimana
tertera pada Tabel 1 di bawah.
Berdasarkan tersebut tampak bahwa penilaian responden pada saat sebelum kegiatan ujicoba
REDD+ kondisi hutan dinilai responden pada umumnya relatif seimbang antara yang menilai
kurang baik (43,9%) dan baik (39,4%), dan sisanya Cukup baik atau mendekati sama dengan
sebelumnya (15,1%). Setelah ujicoba REDD+ pada umumnya menilai sangat baik (48,5%), baik
(45,9%). Jika kedua jawaban ini digabungkan maka lebih dari 90% responden menyatakan
bahwa kondisi hutannya lebih baik.
Tabel 1: Penilaian Responden Terhadap Kondisi Lahan Hutan, Sebelum dan Setelah
Kegiatan Ujicoba REDD+
Sebelum Ujicoba
REDD+
Orang
%
Tidak baik

Kurang baik
29
43,9
Cukup baik
10
15,1
Baik
26
39,4
Sangat baik
1
1,5
Jumlah
66
100
(Sumber: Data primer)
Penilaian

Setelah Ujicoba
REDD+
Orang
%
2
3,0
2
3,0
30
45,5
32
48,5
66
100

Perubahan
(%)
- 40,9
- 12,1
+ 6,1
+ 46,7

Pola vegetasi hutan pada 2010 menunjukkan tutupan lahan hutan di Bloak E (Petak Puti,
Lapetan, Tumbang Muroi, Tumbang Mangkutup) jauh lebih besar dibandingkan Blok A
(Katunjung, Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang, Mantaangai Hulu dan Tengah).

7

Sumber (KFCP, 2013)

Grafik 1.: Pembagian Hutan dan Bukan Hutan di Wilayah Desa Ujicoba REDD+
Vegetasi alami dalam wilayah percontohan REDD+ KFCP telah berubah drastis dalam 15-20
tahun terakhir. Pada 2012 dilakukan monitoring vegetasi, khusus di blok A, vegetasi alami
sebagian besar telah hilang dan rusak karena konversi lahan untuk pertanian dan pemukiman,
logging, irigasi, dan karena kebakaran lahan hutan.

(Sumber: KFCP, 2013)

Gambar 2: Kondisi Vegetasi Lahan di Wilayah Percontohan REDD+ Kab. Kapuas,
Kalteng

8

Hutan Rawa Gambut yang relatif utuh terdapat di bagian utara kubah gambut (Blok E, warga
hijau gelap), meskipun telah ada penebangan kayu di beberapa daerah. Perbedaan tipe penutupan
lahan antara Blok A dan Blok E seperti terlihat pada pada Gambar 2 tersebut di atas.
Secara lebih rinci data jenis tutupan lahan pada saat kegiatan ujicoba REDD+ yang berada di
Blok A dan Blok E di kawasan eks PLG. Data pada 2010 sebagian besar ditutupi oleh padang
rumput dan alang-alang (44%) dan semak belukar (39%) khususnya di Blok A. Sedangkan di
Blok E didominasi oleh hutan lahan basah sekunder (43%) dan primer (41,4%), sebagian padang
rumput dan alang-alang (8,7%), serta sebagian kecil lahan hutan kering sekunder (3,4%) lain
lainnya.
Pengembangan Hutan Desa dilakukan melalui serangkaian kegiatan persiapan yang melibatkan
masyarakat desa (sosialisasi, pelatihan, inventarisasi/identifikasi areal hutan desa, dan
lokakarya). Hutan Desa di Katimpun dan Petak Puti telah ditetapkan melalui SK Menteri
Kehutanan (saat itu) yakni Katimpun luas lahan+ 3.230 ha (SK MenhutNo. 212/MenhutII/2014); Petak Puti luas lahan + 7.855 ha (SK MenhutNo. 213/Menhut-II/2014).

(Sumber: KFCP, 2013)

Gambar 3: Rencana Hutan Dikelolah oleh Desa (Hutan Desa)

9

Selain di dua desa tersebut, proses penetapan areal Hutan Desa Katunjung masih dilakukan di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.Gambar 3 di atas (tanda silang warna kuning)
adalah kawasan yang diusulkan dan diproses (dua desa telah ditetapkan) menjadi pengelolaan
Hutan Desa. Berdasarkan penilaian respoden atas pendidikan pada saat sebelum dan setelah
kegiatan ujicoba REDD+ sebagaimana tampak pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2: Penilaian Responden Terhadap Pendidikan, Sebelum dan Setelah Kegiatan
Ujicoba REDD+
Penilaian
Tidak baik
Kurang baik
Cukup baik
Baik
Sangat baik
Jumlah

Sebelum Ujicoba
REDD+
Orang
%
19
28,8
31
47,0
15
22,7
1
1,5
66
100

Setelah Ujicoba
REDD+
Orang
%
2
3,0
18
27,3
32
48,5
14
21,2
66
100

Perubahan
(%)
- 28,8
- 43,9
+ 4,5
+ 47,0
- 21,2

(Sumber: Data primer)

Penilaian responden terhadap pendidikan sebelum kegiatan ujicoba REDD+ pada umumnya
menilai kurang baik (47%), sebagian lainnya menganggap tidak baik (38,8%), dan sisanya 22,7%
cukup baik atau mendekati sama dengan sebelumnya. Setelah adanya kegiatan ujicoba REDD+
responden menilai pendidikan di desanya lebih baik (48,5%), sangat baik (21,2%) dan sisanya
cukup baik atau hampir tetap (27,3%) serta kurang baik (3%).
Secara aspek kualitatif para responden umumnya menyatakan adanya keterbatasan dalam
membiayai dan melanjutkan sekolah lanjutan khususnya untuk SMA atau SMK, hal ini
dikarenakan biaya yang dibutuhkan relatif lebih besar karena di desa mereka tidak tersedia
sekolah tersebut. Sekolah tinggkat lanjutan atas hanya tersedia di Kecamatan Mantangai, yang
diakses dari Katunjung sekitar satu jam yang hanya dapat menggunakan transportasi perahu
motor. Biaya relatif besar umumnya untuk biaya kost dan kebutuhan sehar-hari siswa. Hal yang
sama di Desa Petak Puti hal mana siswa harus indekos di ibukota Kecamatan Timpah yang
berjarak 80 km dengan transportasi darat 1,5 jam. Beratnya biaya juga disampaikan para
orangtua di desa survey untuk jenjang perguruan tinggi, yang harus mengirim anaknya ke
Ibukota Kab. Kapuas atau ke Palangkaraya, Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Karena di dua

10

tempat tersebut tempat terdekat adanya perguruan tinggi. Penilaian responden atas aspek
kesehatan terkait ujicoba REDD+ seperti tercantum pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3: Penilaian Responden Terhadap Kesehatan, Sebelum dan Setelah Kegiatan Ujicoba
REDD+
Penilaian
Tidak baik
Kurang baik
Cukup baik
Baik
Sangat baik
Jumlah
(Sumber: Data primer)

Sebelum Ujicoba
REDD+
Orang
%
9
13,6
35
53,0
20
30,3
2
3,0
66
100

Setelah Ujicoba
REDD+
Orang
%
1
1,5
3
4,5
20
30,3
37
56,1
5
7,6
66
100

Perubahan
(%)
- 12,1
- 48,5
0
+ 53,0
+ 7,6

Penilaian responden terhadap kondisi tempat tinggal menyatakan 45,5% kurang baik, bahkan
27,3% tidak baik, sisanya cukup baik atau relatif sama (19,7%), dan baik (6,6%). Dengan adanya
kegiatan ujicoba REDD+ sebagian besar warga menilai kondisi tempat tinggalnya relatif lebih
baik (33,13), bahkan sangat baik (21,2%), meski sebagian di antaranya menilai kurang baik
(28,8%), dan netral (18,0%). Gambaran penilaian responden seperti tampak pada Tabel 4 di
bawah ini.
Tabel 4: Penilaian Responden Terhadap Kondisi Tempat Tinggal, Sebelum dan Setelah
Kegiatan Ujicoba REDD+
Penilaian
Tidak baik
Kurang baik
Cukup baik
Baik
Sangat baik
Jumlah
(Sumber: Data primer)

Sebelum Ujicoba
REDD+
Orang
%
18
27,3
30
45,5
13
19,7
5
7,6
66
100

Setelah Ujicoba
REDD+
Orang
%
19
28,8
11
16,7
22
33,3
14
21,2
66
100

Perubahan
(%)
- 27,3
- 16,7
- 3,0
+ 25,8
+ 21,2

Kegiatan percontohan REDD+ banyak melibatkan unsur terkait dengan peningkatan pendapatan,
dari kegiatan pembibitan, penanaman, penutupan kanal, pengembangan mata pencaharian
(livelihoods), sekolah lapang untuk mengelola karet, dan sejenisnya. Dari jawaban responden

11

dalam penilaiannya atas sebelum dan setelah adanya kegiatan ujicoba REDD+ antara lain seperti
tercantum pada Tabel 5. berikut.
Tabel 5: Penilaian Responden TerhadapTingkat Pendapatan, Sebelum dan Setelah
Kegiatan Ujicoba REDD+

Penilaian
Tidak baik
Kurang baik
Cukup baik
Baik
Sangat baik
Jumlah
(Sumber: Data primer)

Sebelum Ujicoba
REDD+
Orang
%
18
29,5
43
68,9
2
1,6
2
1
66
100

Setelah Ujicoba
REDD+
Orang
%
2
3,0
6
9,1
29
43,9
29
43,9
66
100

Perubahan
(%)
- 27,3
- 62,1
- 6,1
+ 40,9
+ 42,4

Sebagian besar responden mengakui bahwa sebelum adanya kegiatan ujicoba REDD+
menganggap bahwa pendapatan mereka kurang baik (68,9%), bahkan tidak baik (29,5%), dan
sebagian kecil lainnya netral (1,6%). Sedangkan setelah adanya kegiatan ujicoba REDD+
pendapatan mereka sebagian besar mengaku menjadi sangat baik (47,5%), demikian pula banyak
yang mengakui lebih baik (44,3%), dan sisanya netral (4,9%) dan kurang baik baik 3,3%.
Berdasarkan hasil survey terhadap responden, pendapatan dari kegiatan ujicoba bervariasi antara
Rp 500.000 hingga mencapai di atas Rp 2.500.000. Hal ini dimungkinkan mengingat warga
selain ikut berbagai paket kegiatan di desanya, juga pelaksana ujicoba REDD+ menyediakan
dana pengganti bagi mereka yang bersedia menutup kanal/tabatnya dengan nilai lebar dan
panjangnya kanal. Berikut adalah tabel tingkat pendapatan warga terkait kegiatan percontohan
REDD+.
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan ujicoba REDD+, sebagian besar responden, atau 53%
menjawab bahwa mereka setuju dengan adanya kegiatan ujicoba REDD+, bahkan sangat setuju
(42,4%), hanya sebagian kecil (1,5%) yang menjawab kurang setuju.

12

Tabel 6.: Tingkat Pendapatan Warga di Lokasi Sampel Kegiatan Percontohan REDD+
Sebelum Ujicoba
REDD+
Orang
%
8
29,5
24
68,9
11
1,6
8
1
14
100

Pendapatan (Rp)
0 – 500.000
501.000 – 1.000.000
1.001.000 – 1.500.000
1.5001.000 - 2.000.000
2.001.000 – 2.500.000
> 2.501.000

Setelah Ujicoba
REDD+
Orang
%
12
17
3,0
14
9,1
12
43,9
2
43,9
9
100

Perubahan (%)
- 27,3
- 62,1
- 6,1
+ 40,9
+ 42,4

(Sumber: Data primer)

Gambaran pandangan responden seperti tampak pada Grafik berikut.

(Sumber: Data primer)

Grafik 2: Persepsi Responden atas Pelaksanaan Kegiatan Ujicoba REDD+
Persepsi Responden Terhadap Manfaat Kegiatan Ujicoba REDD+. Secara umum penilaian atas
manfaat dari kegiatan ujicoba REDD+ telah dirasakan warga masyarakat yang menjadi
responden, meski demikian pertanyaan juga disampaikan khususnya tentang manfaat kegiatan
ujicoba REDD+, sebagian besar responden menjawab bermanfaat (43,9%), diikuti dengan
jawaban sangat bemanfaat (40,9%) dan sisanya menjawab netral (12,1%). Sebaran penilaian
responden seperti tercantum pada grafik 3. Persepsi responden melihat keterkaitan kegiatan
ujicoba REDDdengan perubahan iklim, memandang bahwa adanya berbagai pelatihan,
pendidikan informal dan sosialisasi yang dilaksanakan pelaksana kegiatan ujicoba REDD+ oleh
KFCP dilakukan secara reguler dan keterkaitan satu sama lain.
Dari berbagai pelatihan dan sosialisasi tersebut warga peserta kegiatan ujicoba REDD+
menyerap informasi dari fasilitator maupun pelatih atau instruktur. Termasuk dalam agenda

13

pelatihan dan sosialisasi tersebut adalah pengenalan isu tentang REDD+ sebagai upaya untuk
mengurangi laju perubahan iklim.

(Sumber: Data primer)

Grafik 3: Persepsi Responden Terhadap Manfaat Kegiatan Ujicoba REDD+
Ketika ditanyakan kepada warga tentang hubungan antara kegiatan ujicoba REDD+ dengan
perubahan iklim, responden sebagian besar menjawab sangat berkaitan (57,6%), sebagian
menjawab berkaitan (37,9%) dan sisanya menjawab netral (3%). Gambaran jawaban responden
seperti tercantum dalam grafik 4 di bawah.
Manfaat sosial tambahan lainnya (Co-Benefits). Berbagai kegiatan percontohan REDD+ yang
dilaksanakan KFCP antara lain menyediakan berbagai pelatihan bagi berbagai kegiatan dan
berbagai tingkatan keahlian (dasar, menengah, lanjutan), dilakukan di desa masing-masing
ataupun di Ibukota Kabupaten Kuala Kapuas dan bahkan di Ibukota Provinsi Palangkaraya.

(Sumber: Data primer)

Grafik 4: Persepsi Responden dalam Melihat Hubungan Ujicoba REDD+ dengan
Perubahan Iklim
14

Hal ini memberikan dampak sosial positif yang belum dapat terukur secara pasti namun dapat
dirasakan, khususnya bagi peneliti saat mewawancarai warga yang pernah mengikuti kegiatan
percontohan REDD+ KFCP. Adanya insentif penerimaan dana dari kepesertaan kegiatan tersebut
menyebabkan warga secara pasti dapat mengalokasikan dananya untuk berbagai keperluan,
termasuk biaya kesehatan dan pendidikan. Demikian pula adanya jaminan asuransi menyabkan
peserta antusiasi mengikuti kegiatan tanpa kekhawatiran untuk menemui risiko kecelakaan yang
berarti.
Berdasarkan hasil wawancara secara kualitatif diperoleh gambaran bahwa terdapat sejumlah
manfaat yang dirasakan warga dengan adanya kegiatan percontohan REDD+. Hal ini seperti
yang dinyatakan kepada peneliti antara lain: 1) Terbentuknya kohesi dan modal sosial baru; 2)
Adanya peningkatan kapasitas dan keterampilanwarga khususnya petani pemandu, tim pengelola
kegiatan (TPK) dan tim pengawas (TP) serta aparat desa dari kegiatan ujicoba REDD+; 3)
Terlatihnya aparat desa dan terbentuk jejaring (networking); 4) Partisipasi dan keterampilan
perempuan dalam kegiatan terkait publik bertambah; 5) Kemampuan berbicara di depan publik
dan bersosialisasi; 6) Warga lebih peduli terhadap lingkungan hutan dan terutama pencegahan
kebakaran lahan; 7) Pemahaman terhadap REDD+ dan perubahan iklim relatif sangat baik.; 7)
Timbulnya indikasi perubahan perilaku.
Meski demikian di tengah catatan baik tersebut, terdapat sejumlah poin sebagai dampak negatif
atau potensi faktor risiko atas program. Dari hasil temuan lapangan, terdapat beberapa yang perlu
menjadi perhatian terutama bagi pelaksana REDD+ mendatang. Hal ini antara lain: 1) REDD+
sama dengan pembagian uang; 2) Warga kini lebih memperhatikan kompensasi uang kehadiran
bila diundang pada pertemuan umum desa atau oleh kegiatan pembangunan dan program
pemberdayaan lain; 3) Benih individualistik dan ketimpangan; 4) Kajian dari segi manfaat
capaian proyek relatif berhasil namun dari segi capaian tujuan-tujuan REDD+ perlu dilakukan
kajian lebih mendalam.
Berdasarkan temuan lapangan tersebut menunjukkan adanya kesesuaian dari kerangka teori yang
dikemukakan Sunderlin et al. (2013) bahwa satu prasyarat penting agar masyarakat dapat
berpartisipasi secara berarti dalam REDD+ ialah pengetahuan lokal mengenai perubahan iklim
dan proyek REDD+. Warga masyarakat, seperti disampaikan Sunderlin, perlu sekali memahami
15

pentingnya hutan dalam konteks perubahan iklim, bagaimana proyek-proyek REDD+ akan diatur
dan dilakukan sebagai sarana untuk mencapai sasaran mitigasi perubahan iklim, dan bagaimana
intervensi ini akan mempengaruhi hidup mereka.
Melalui program kegiatan ujicoba REDD+ oleh KFCP, warga mengetahui informasi ini
mencakup pembagian manfaat (benefit sharing), hak dan tanggung jawab, dan juga risiko dan
biaya yang terkait dengan keterlibatan penduduk setempat dalam proyek REDD+.
Indikator dari The Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA) menyatakan bahwa
proyek (REDD+) harus menciptakan dampak positif pada kesejahteraan sosial ekonomi bagi
warga (komunitas) dan memastikan bahwa biaya dan manfaat setara di antara anggota komunitas
dan kelompok konstituen selama masa proyek. Program percontohan REDD+ yang diprakarsai
KFCP secara sosial-ekonomi telah memenuhi indikator tersebut.
Gambaran yang sama seperti diindikasikan oleh IPCC (2007) tentang implikasi dari
Pembangunan Berlanjutan dalam mitigasi perubahan iklim antara lain terbukti dari riset ini.
IPCC menyebutkan, dari sisi deforestasi dan degradasi yang menurun, Indikator dari The
Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA) menyatakan bahwa proyek (REDD+)
harus menciptakan dampak positif pada kesejahteraan sosial ekonomi bagi warga (komunitas).
Demikian pula dari kegiatan reforestasi dan aforestasi (pembibitan, penanaman), secara sosial
berpengaruh positif bagi promosi mata pencaharian, migrasi penduduk ke wilayah lain
berkurang; secara ekonomi berpengaruh positif dalam penciptaan lapangan kerja dan intensitas
pemanfaatan lahan, peningkatan pendapatan warga setempat dan jasa lainnya; secara lingkungan
berpengaruh

terhadap

keanekaragaman

pohon,

tegakan,

atau

tingkat

bentang

alam

keanekaragaman hayati, perlindungan tanah dan kepemilikan lahan.
Terkait dengan efisiensi, efektivitas dan kesetaraan (equitable) REDD+ sebagaimana dinyatakan
Angelsen (2010) yakni (i) pengurangan emiisi secara aktual (berjalan efektif); (ii) berbiaya
rendah (efisien), sementara (iii) imbal balik (trade offs) antara ekologi dan sosial yang tidak
dikehendaki berkurang (kesetaraan/equitable); dan (iv) adanya co-benefits (manfaat tambahan),

16

dari ketiga kriteria ini, yakni efektivitas, efisiensi dan kesetaran (equitable) yang lazim terbukti
dari riset ini.
Hasil riset ini juga sejalan dengan instrumen ini adalah sistem pembayaran jasa lingkungan
(Payment Environmental Services–PES), pengelolaan hutan partisipatif (PHP), dan proyekproyek konservasi dan pembangunan terpadu (ICDP). Seperti disampaikan oleh Luttrellet al.
(2012), terdapat dua jenis manfaat REDD+ yakni moneter dan peningkatan kelestarian
pengelolaan hutan termasuk manfaat jassa ekosistem melalui hasil hutan nonkayu. Berdasarkan
hasil riset ini membuktikan bahwa manfaat-manfaat yang timbul dari kegiatan REDD+ sesuai
seperti yang diprakirakan.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Kegiatan ujicoba
(demonstration activities–DA) REDD+ di Kabupaten Kuala Kapuas yang diprakarsai oleh
Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) terkait sosial ekonomi dilakukan dengan
menyediakan alternatif mata pencaharian (livelihoods) bagi warga desa melalui program berbasis
insentif kinerjaantara lain kegiatan reforestasi (pembibitan, penanaman, penyiangan), program
Sekolah Lapang (SL) bagi warga untuk pengelolaan karet, fasilitasi penanaman tanaman karet,
pengelolaan beje (kolam ikan musiman di hutan), penutupan kanal, dan kegiatan pencegahan
kebakaran hutan;
(2) Kegiatan ujicoba REDD+ memiliki pengaruh terutama pada perbaikan kondisi lingkungan,
dalam hal ini adalah kondisi hutandi desa lokasi program. Adanya kegiatan yang melibatkan
warga melalui reforestasi, pengawasan terhadap kebakaran, penutupan kanal/tatas, dan adanya
penguatan regulasi tata kelola lahan, termasuk pengelolaan melalui Hutan Desa, telah
berkontribusi memperbaiki kondisi pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Penilaian
masyarakat melalui observasi dan verifikasi lapangan diperoleh kenyataan bahwa kondisi
lingkungan hutan di sekitar desa lokasi ujicoba REDD+relatif lebih baik dibandingkan sebelum
ada kegiatan ujicoba REDD+.Upaya lain menjaga keberlanjutan hutan dilakukan melalui

17

pencanangan Hutan Desa yang diusulkan melalui pemrakarsa kegiatan percontohan REDD+
(KFCP);
(3) Kegiatan ujicoba REDD+ memiliki andil terhadap manfaat secara sosial-ekonomi warga
masyarakat di lokasi program. Peningkatan manfaat secara sosial-ekonomi tampak utamanya
terhadap peningkatan pendapatan, disusul aspek pendidikan, kesehatan, kondisi tempat tinggal.
Manfaat sosial tambahan diperoleh warga adalah kemampuan mengelola lahannya, kohesivitas
sosial, kemampuan berbicara dan mengungkapkan pendapat di depan publik (termasuk dari
kaum perempuan), membangun jejaring (networking) kerjasama di antara warga maupun aparat
desa, serta warga pada umumnya lebih menyadari (aware) untuk mengelola lahan hutan dan
kebun mereka secara berkelanjutan (sustainable).
(4) Kegiatan ujicoba REDD+ melalui pelibatan warga dalam berbagai pelatihan, kegiatan dan
sosialisasi, telah mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman warga masyarakat setempat atas
penilaian danpandangan mereka dalam upaya REDD+ sebagai sebuah program yang menekan
laju perubahan iklim. Sebagian besar warga memandang baik dan antusias kegiatan tersebut serta
mengakui telah mendapat manfaatnya (benefit sharing) baik secara ekonomi maupun berbagai
keterampilan sosial lainnya, serta adanya pemahaman dalam kaitan antara kegiatan REDD+ dan
perubahan iklim.
Ssaran bagi para pihak terkait baik para pelaksana program REDD+ dan pemerintah, serta usulan
kepada peneliti lanjutan antara lain sebagai berikut: (1) Bagi pelaksana REDD+: program
REDD+ mendatang seyogyanya memiliki desain program terkait sosial-ekonomi secara lebih
rinci dan mendalam sejak awal program agar menyentuh permasalahan inti khususnya
masyarakat di desa lokasi, agar tujuan REDD+ dapat tercapai secara optimal dan berkelanjutan;
(2) Bagi pelaksana REDD+ termasuk pemerintah daerah: pengelolaan sumberdaya lahan hutan
dapat terjamin secara jangka panjang dan berkelanjutan (sustainable) bila program REDD+
selain menyertakantujuan sosial-ekonomi, diperlukan pula upaya pelibatan masyarakat secara
menyeluruh dan pelaksanan kegiatan dikelola secara transparan; (3) Bagi Pemerintah daerah dan
pusat: REDD+ adalah bentuk lain dari mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PES), oleh
karena itu, pengembangan model-model pembagian manfaat (benefit sharing) secara lebih adil
18

(equitable) sangat diperlukan. Penguatan regulasi dan pemahaman persepsi yang sama antara
pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan;

(4) Bagi akademisi: diperlukan penelitian

lanjutan mengenai dampak dari berbagai peningkatan kapasitas warga masyarakat melalui
pendidikan informal dan pelatihan-pelatihan tersebut, khususnya terhadap perubahan perilaku
mereka (behavioral change) secara jangka panjang.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Tri Edhi Budhi Soesilo, M. Soeparmoko, Sari
Hayati Hasibuan, Raldi Koestoer dari Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
yang telah memberikan masukan saran dan perbaikan atas penelitian ini. Kepada Bapak
Mahawan Kairunisa yang telah membarikan saran dan menyediakan waktunya untuk berdiskusi
dalam penyempuarnaan struktur kajian ini dan memberikan dada-data penting guna kelengkapan
informasi yang diperlukan.
Terima kasih sebanyak-banyaknya juga kepada para pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu demi terwujudnya peneliatyian ini, terutama kepada warga desa di Mantangai Hulu, Desa
Katunjung dan Desa Petak Puti, terimasuk para aparat desa yang dengan senang hati memberikan
informasi yang diperlukan dan menyediakan waktu dan penerimaannya.#

Daftar Pustaka
Angelsen, A., & Atmaja, S. (2010). Melangkah Maju dengan REDD: Isu, Pilihan dan Implikasi.
Bogor, Indonesia: CIFOR.
CBD. (1995). Convention on Biological Diversity. Switzerland: CBD.
CIFOR. (2010). REDD Apakah itu; Pedoman CIFOR tentang Hutan, Perubahan Iklim dan
REDD. Bogor: CIFOR.
Luttrell, C., Loft, L., Gebara, M., & Kweka, D. (2012). “Siapa yang seharusnya menerima
manfaat dan mengapa? Wacana tentang pembagian manfaat REDD+.” Dalam A.,
Angelsen. (Eds). (2012). Analysing REDD+: Tantangan dan Pilihan. Bogor: CIFOR.
Parker, C., Mitchell, A., Trivedi, M., & Mardas, N. (2009). The Little REDD Book. UK: Global
Canopy Program, Oxford.

19

Peskett, L., Huberman, D., Bowen-Jones, E., Edwards, G., & Brown, J. (2008). Making REDD
work for the poor. Overseas Development Institute, Poverty Environment Partnership.
Westminster Bridge Road, London: ODI.
Psychology Glossary. (2015) dalam alleydog.com/glossary/definition. Diakses pada 12 Agustus
2015.
REDDI. (2013). “National Strategy REDD – Indonesia: Readiness Phase 2009 – 2012 and
progress in implementation.” Jakarta: Kemhut – AusAID – GIZ – Forest Carbon
Partnership.
Sunderlin, W., Larson, A.M., Duchelle, A.E., Resosudarmo, I.A.P., Huynh, T.B., Awono, A.
Dokken, T. (2013). “How are REDD+ Proponents Addressing Tenure Problems?
Evidence from Brazil, Cameroon, Tanzania, Indonesia and Vietnam.”World Development,
Vol. xx, pp. xxx-xxx.
TNC. (2010). Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD): A Casebook of
on-theground-experience. The Nature Conservancy, Conservation Indonesia and Wildlife
Conservation Society. Arlington, Virginia: TNC.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

20

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22