Representasi Perempuan pada Rubrik Selingan di Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo Edisi 9 - 15 Juli 2012.

ABSTRAK

LAILA RAMDHINI. 210110080015. 2013. Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu
Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Judul penelitian: “Representasi
Perempuan Biduan Dangdut Tarling pada Rubrik Selingan di Majalah Berita
Mingguan (MBM) Tempo Edisi 9-15 Juli 2012”. Pembimbing utama Dr. H. Dede
Mulkan M.Si., dan Pembimbing pendamping Dr. Hj. Nurjah Asri S. M.Si.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi perempuan
biduan dangdut tarling, posisi subjek-objek, dan posisi penulis-pembaca mengenai
perempuan biduan dangdut tarling pada Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 915 Juli 2012. Peneliti menggunakan analisis wacana kritis model Sara Mills yang
memandang teks sebagai tempat pertemuan antara aktor (subjek-objek) dan
penulis dengan pembaca dalam teks atau level makro. Selain itu, peneliti
menggunakan konsep deskripsi sejarah untuk menganalisis level makro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesenian tarling sudah ada sejak tahun 1930an. Tarling lahir di daerah pesisir pantai utara Jawa Barat dan berkembang ke
daerah sekitarnya. Tarling mengalami berbagai perubahan bentuk sajian dan
penampilan, termasuk pelantun lagu atau sinden dan biduan. Saat ini, tarling yang
berkembang adalah yang sudah dikawinkan dengan musik dangdut atau disebut
dangdut tarling. Sementara bentuk subjeksi perempuan biduan dangdut tarling
dalam teks yang terdapat di MBM Tempo adalah sosok yang mengedepankan
bentuk fisik, melakukan hal mistik, dan menghalalkan segala cara untuk
memperoleh ketenaran di dunia tarling. Selain itu, MBM Tempo mempunyai

posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan pembaca. Hal ini terlihat dari
tidak dihadirkannya wacana pelengkap, yaitu bahasan mengenai tarling klasik.
Simpulan penelitian ini menunjukkan representasi perempuan biduan dangdut
tarling identik dengan stigma negatif terhadap perempuan yang hadir di
masyarakat. Representasi tersebut dikuatkan dengan adanya gagasan dari para
subjek yang ditampilkan dalam teks. Penelitian ini juga menunjukkan
kecenderungan MBM Tempo mendukung gagasan tersebut. Penulis menyarankan
agar dalam pemberitaannya MBM Tempo memberikan ruang yang lebih besar
untuk gagasan pelengkap, yaitu wacana mengenai tarling klasik, sehingga
pembaca mempunyai kesempatan untuk memposisikan dirinya dalam teks.

ABSTRACT

LAILA RAMDHINI. 210110080015. 2013. Journalism Studies, Faculty of
Communication Science, Padjadjaran University, Jatinangor. Thesis Title:
“Representation of Dangdut Tarling Songstress on “Selingan” rubric at Weekly
News Magazine Tempo 9-15 July 2012 Edition”. Main Supervisor Dr. H. Dede
Mulkan M.Si., and Assistant Supervisor Dr. Hj. Nuryah Asri S. M.Si.
This thesis is created in order to know how women represents in the world of
dangdut “tarling” songstress, analyze their position as a subject or object, and to

know the position of readers and writers related to this cases as appeared in
weekly news magazine Tempo 9-15 July 2012 edition. The theory that we used in
this cases is the Sara Mills model of Critical Discourse Analysis (CDA) which
looking “text” as the meeting place between the actor (subject-object) and the
writer with the reader in text or macro level. Beside it, we used the history
description concept to analyze the case on macro level.
The research shows that Tarling was born and raised in the years of 1930. Tarling
was born in the northern coastal areas of West Java then it grew to the
surrounding area. Tarling went through many kind of form and changing in the
look and also packaging, include the songstress that is more familiar with the term
“sinden” or “biduan”. This time, Tarling that grows now has been mixed with
dangdut music or we know it as “Tarling Dangdut”. The subjection of dangdut
tarling songstress that we found in Tempo is a figure who prior their phisical and
sex-minded, do mystic things, such as using “susuk” to attract people, do
everything to get popular in tarling world. Other than that, Tempo had a dominant
position if we compare it with the reader portion. It is seen from the absence of
complementary explanation , it is discussion of classical Tarling.
This research conclution shows that representation of tarling dangdut songstress is
still identic to negatif stigma for women who live in society. That representation is
reinforced by the notion from the subject shown in the text. We suggest that in

their reporting, Tempo should give more space for complementary explanation,
that is related to Tarling in the classic era, so readers can have chance to take their
position in the text.