LANDASAN TEORI Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

(1)

8

A. Stres

1. Pengertian Stres

Ada beberapa istilah psikologis populer yang sering dikaburkan sebagai “stres”. Pada hakikatnya, tentunya kata ini merujuk pada sebuah kondisi seseorang yang mengalami tuntutan emosi berlebihan dan atau waktu yang membuatnya sulit memfungsikan secara efektif semua wilayah kehidupan. Keadaan ini dapat mengakibatkan munculnya cukup banyak gejala, seperti depresi, kelelahan kronis, mudah marah, gelisah, impotensi, dan kualitas kerja yang rendah (Richards, 2010).

Hawari (dalam Yusuf, 2004) berpendapat bahwa istilah stres tidak dapat dipisahkan dari distress dan depresi, karena satu sama lainnya saling terkait. Stres merupakan reaksi fisik terhadap permasalahan kehidupan yang dialaminya dan apabila fungsi organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi merupakan reaksi kejiwaan terhadap stressor yang dialaminya. Dalam banyak hal manusia akan cukup cepat untuk pulih kembali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stres. Manusia mempunyai suplai yang baik dan energi penyesuaian diri untuk dipakai dan diisi kembali bilamana perlu.

Sarafino (1994) mendefinisikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak


(2)

antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Stres adalah tekanan internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan (an internal and eksternal pressure and other troublesome condition in life). Ardani (2007) mendefinisikan stress merupakan suatu keadaan tertekan baik itu secara fisik maupun psikologis.

Menurut Richard (2010) stres adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang memunculkan stres dapat saja positif (misalnya merencanakan perkawinan) atau negatif (contoh : kematian keluarga). Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressful event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu terhadapnya. Compas (dalam Preece, 2011) berpendapat bahwa stres adalah suatu konsep yang mengancam dan konsep tersebut terbentuk dari perspektif lingkungan dan pendekatan yang ditransaksikan. Baum (dalam Yusuf, 2004) mendefinisikan stres sebagai pengalaman emosional yang negatif yang disertai dengan perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif, dan tingkah laku yang diarahkan untuk mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasikan dampak-dampaknya.

Menurut Dilawati (dalam Syahabuddin, 2010) stres adalah suatu perasaan yang dialami apabila seseorang menerima tekanan. Tekanan atau tuntutan yang diterima mungkin datang dalam bentuk mengekalkan jalinan


(3)

perhubungan, memenuhi harapan keluarga dan untuk pencapaian akademik. Lazarus dan Folkman (dalam Evanjeli, 2012) yang menjelaskan stres sebagai kondisi individu yang dipengaruhi oleh lingkungan. Kondisi stres terjadi karena ketidakseimbangan antara tekanan yang dihadapi individu dan kemampuan untuk menghadapi tekanan tersebut. Individu membutuhkan energi yang cukup untuk menghadapi situasi stres agar tidak mengganggu kesejahteraan mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu peristiwa atau pengalaman yang negatif sebagai sesuatu yang mengancam, ataupun membahayakan dan individu yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.

2. Aspek-Aspek Stres

Pada saat seseorang mengalami stres ada dua aspek utama dari dampak yang ditimbulkan akibat stres yang terjadi, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis (Sarafino, 1998) yaitu :

a. Aspek fisik

Berdampak pada menurunnya kondisi seseorang pada saat stres sehingga orang tersebut mengalami sakit pada organ tubuhnya, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan.

b. Aspek psikologis

Terdiri dari gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku. Masing-masing gejala tersebut mempengaruhi kondisi psikologis


(4)

seseorang dan membuat kondisi psikologisnya menjadi negatif, seperti menurunnya daya ingat, merasa sedih dan menunda pekerjaan. Hal ini dipengaruhi oleh berat atau ringannya stres. Berat atau ringannya stres yang dialami seseorang dapat dilihat dari dalam dan luar diri mereka yang menjalani kegiatan akademik di kampus.

Berdasarkan teori yang diuraikan diatas maka dapat didimpulkan aspek-aspek stres terdiri dari aspek-aspek fisik dan aspek-aspek psikologis, aspek-aspek-aspek-aspek tersebut dijadikan sebagai indikator alat ukur skala sters akademik.

3. Faktor-Faktor Stres

Setiap teori yang berbeda memiliki konsepsi atau sudut pandang yang berbeda dalam melihat penyebab dari berbagai gangguan fisik yang berkaitan dengan stres. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa sudut pandang tersebut.

a. Sudut pandang psikodinamik

Sudut pandang psikodinamik mendasarkan diri mereka pada asumsi bahwa gangguan tersebut muncul sebagai akibat dari emosi yang direpres. Hal-hal yang direpres akan menentukan organ tubuh mana yang terkena penyakit. Sebagai contoh, apabila seseorang merepres kemarahan, maka berdasarkan pandangan ini kondisi tersebut dapat memunculkan essensial hypertension.


(5)

b. Sudut pandang biologis

Salah satu sudut pandang biologis adalah somatic weakness model. Model ini memiliki asumsi bahwa hubungan antara stres dan gangguan psikofisiologis terkait dengan lemahnya organ tubuh individu. Faktor biologis seperti misalnya genetik ataupun penyakit yang sebelumnya pernah diderita membuat suatu organ tertentu menjadi lebih lemah daripada organ lainnya, hingga akhirnya rentan dan mudah mengalami kerusakan ketika individu tersebut dalam kondisi tertekan dan tidak fit .

c. Sudut pandang kognitif dan perilaku

Sudut pandang kognitif menekankan pada bagaimana individu mempersepsi dan bereaksi terhadap ancaman dari luar. Seluruh persepsi individu dapat menstimulasi aktivitas sistem simpatetik dan pengeluaran hormon stres. Munculnya emosi yang negatif seperti perasaan cemas, kecewa dan sebagainya dapat membuat sistem ini tidak berjalan dengan berjalan lancar dan pada suatu titik tertentu akhirnya memunculkan penyakit. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa bagaimana seseorang mengatasi kemarahannya ternyata berhubungan dengan penyakit tekanan darah tinggi (Fausiah dan Widury, 2005),

Stres bersumber dari frustasi dan konflik yang dialami individu dapat berasal dari berbagai bidang kehidupan manusia. Dalam hal hambatan, ada beberapa macam hambatan yang biasanya dihadapi oleh individu seperti :


(6)

a. Hambatan fisik : kemiskinan, kekurangan gizi, bencana alam dan sebagainya.

b. Hambatan sosial : kondisi perekonomian yang tidak bagus, persaingan hidup yang keras, perubahan tidak pasti dalam berbagai aspek kehidupan. Hal-hal tersebut mempersempit kesempatan individu untuk meraih kehidupan yang layak sehingga menyebabkan timbulnya frustasi pada diri seseorang.

c. Hambatan pribadi : keterbatasan-keterbatasan pribadi individu dalam bentuk cacat fisik atau penampilan fisik yang kurang menarik bisa menjadi pemicu frustasi dan stres pada individu.

Konflik antara dua atau lebih kebutuhan atau keinginan yang ingin dicapai, yang ingin dicapai, yang terjadi secara berbenturan juga bisa menjadi penyebab timbulnya stres. Seringkali individu mengalami dilema saat diharuskan memilih diantara alternatif yang ada apalagi bila hal tersebut menyangkut kehidupan di masa depan. Konflik bisa menjadi pemicu timbulnya stress atau setidaknya membuat individu mengalami ketegangan yang berkepanjangan yang akan mengalami kesulitan untuk mengatasinya.

Yusuf (2004) faktor pemicu stres itu dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berikut :

a. Stressor fisik-biologik, seperti : penyakit yang sulit disembuhkan, cacat fisik atau kurang berfungsinya salah satu anggota tubuh, wajah


(7)

yang tidak cantik atau ganteng, dan postur tubuh yang dipersepsi tidak ideal (seperti : terlalu kecil, kurus, pendek, atau gemuk).

b. Stressor psikologik, seperti : negative thinking atau berburuk sangka, frustrasi (kekecewaan karena gagal memperoleh sesuatu yang diinginkan), hasud (iri hati atau dendam), sikap permusuhan, perasaan cemburu, konflik pribadi, dan keinginan yang di luar kemampuan. c. Stressor Sosial, seperti iklim kehidupan keluarga : hubungan antar

anggota keluarga yang tidak harmonis (broken home), perceraian, suami atau istri selingkuh, suami atau istri meninggal, anak yang nakal (suka melawan kepada orang tua, sering membolos dari sekolah, mengkonsumsi minuman keras, dan menyalahgunakan obat-obatan terlarang) sikap dan perlakuan orang tua yang keras, salah seorang anggota mengidap gangguan jiwa dan tingkat ekonomi keluarga yang rendah, lalu ada faktor pekerjaan : kesulitan mencari pekerjaan, pengangguran, kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), perselisihan dengan atasan, jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan dan penghasilan tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehari-hari, kemudian yang terakhir ada iklim lingkungan : maraknya kriminalitas (pencurian, perampokan dan pembunuhan), tawuran antar kelompok (pelajar, mahasiswa, atau warga masyarakat), harga kebutuhan pokok yang mahal, kurang tersedia fasilitas air bersih yang memadai, kemarau panjang, udara yang sangat panas atau dingin, suara bising, polusi udara, lingkungan yang kotor (bau sampah


(8)

dimana-mana), atau kondisi perumahan yang buruk, kemacetan lalu lintas bertempat tinggal di daerah banjir atau rentan longsor, dan kehidupan politik dan ekonomi yang tidak stabil.

Ada dua macam stres yang dihadapi oleh individu yaitu :

a. Stres yang ego-envolved : stres yang tidak sampai mengancam kebutuhan dasar atau dengan kata lain disebut dengan stres kecil-kecilan.

b. Stres yang ego-involved : stres yang mengancam kebutuhan dasar serta integritas kepribadian seseorang. Stres semacam ego involved membutuhkan penanganan yang benar dan tepat dengan melakukan reaksi penyesuaian agar tidak hancur karenanya.

Kemampuan individu dalam bertahan terhadap stres sehingga tidak membuat kepribadiannya “berantakan” disebut dengan tingkat toleransi terhadap stres. Setiap individu memiliki tingkat toleransi yang berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Individu dengan kepribadian yang lemah bila dihadapkan pada stres yang kecil-kecil sekalipun akan menimbulkan perilaku abnormal. Berbeda dengan individu yang berkepribadian kuat, meskipun dihadapkan pada stres yang ego envolved kemungkinan besar akan mampu mengatasi kondisinya (Ardani, 2013).

Menurut Greenwood III dan Greenwood Jr (dalam Yusuf, 2004) faktor-faktor yang mengganggu kestabilan (stres) organisme berasal dari dalam maupun luar. Faktor yang berasal dari dalam diri organisme adalah :


(9)

a. Faktor Biologis, stressor biologis meliputi faktor-faktor genetik, pengalaman hidup, ritme biologis, tidur, makanan, postur tubuh, kelelahan, penyakit.

b. Faktor Psikologis, stressor psikologis meliputi faktor persepsi, perasaan dan emosi, situasi, pengalaman hidup, keputusan hidup, perilaku dan melarikan diri.

c. Faktor Lingkungan (luar individu), stressor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, biotik dan sosial.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stres seseorang dilihat dari tiga sudut pandang yaitu sudut pandang psikodinamik, sudut pandang biologis dan sudut pandang kognitif dan perilaku, kemudian ada faktor tambahan berupa hambatan-hambatan yang dialami individu seperti hambatan fisik, sosial dan pribadi.

Menurut Lumongga (dalam Sukoco, 2014) jenis stres tersebut dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : distress dan eustress. Distress merupakan jenis stres negatif yang sifatnya mengganggu individu yang mengalaminya, sedangkan eustress adalah jenis stres yang sifatnya positif atau membangun. Individu yang mengalami stres memiliki beberapa gejala atau gambaran yang dapat diamati secara subjektif maupun objektif. Hardjana ( dalam Sukoco, 2014) menjelaskan bahwa individu yang mengalami stres memiliki gejala sebagai berikut :

1. Gejala Fisikal, gejala stres yang berkaitan dengan kondisi dan fungsi fisik atau tubuh dari seseorang.


(10)

2. Gejala Emosional, gejala stres yang berkaitan dengan keadaan psikis dan mental seseorang.

3. Gejala Intelektual, gejala stres yang berkaitan dengan pola pikir seseorang. 4. Gejala Interpersonal, gejala stres yang mempengaruhi hubungan dengan

orang lain, baik di dalam maupun di luar rumah.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan gejala-gejala individu yang mengalami stres memiliki gejala fisikal, gejala emosional, gejala intelektual dan gejala interpersonal yang dapat mempengaruhi seseorang. Stres tersebut bisa di lihat dari dua sudut, yang pertama dari sudut biologis berupa gejala fisik yang menyangkut organ tubuh manusia dengan proses stres itu sendiri. Stres yang terjadi dipengaruhi oleh stressor kemudian di terima oleh reseptor yang mengirim pesan ke otak. Stressor tersebut kemudian di terima oleh otak khususnya otak bagian depan yang mengakibatkan bekerjanya kelenjar di dalam organ tubuh dan otak. Organ tubuh dan otak saling bekerja sama untuk menerjemahkan proses stres yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem fungsi kerja tubuh bisa berupa sakit kepala, tidur tidak teratur, nafsu makan menurun, mudah lelah atau kehilangan daya energi, otot dan urat tegang pada leher dan bahu, sakit perut, telapak tangan berkeringat dan jantung berdebar. Kemudian sudut yang kedua berupa gejala psikis yang menyangkut keadaan mental, emosi dan pola pikir seseorang yang ditunjukkan dengan susah berkonsentrasi, daya ingat menurun atau mudah lupa, produktivitas atau prestasi kerja menurun, sering merasa jenuh, gelisah, cemas, frustrasi, mudah marah dan mudah tersinggung. Jika kedua sudut tersebut digabungkan maka


(11)

akan membentuk suatu keterkaitan bahwa baik fisik maupun psikis saling mempengaruhi satu sama lain saat proses stres terjadi. Keterkaitan stres yang di alami mahasiswa terkait dengan akademiknya yaitu karena adanya tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa tersebut. Tuntutan itu bisa berupa tugas yang harus dikerjakan dan dikumpulkan secara bersamaan, praktikum, pencarian referensi, kuliah tambahan, pembuatan laporan yang sudah terjadwal atau deadline. Tuntutan tersebutlah yang menciptakan sebuah stressor bagi mahasiswa dalam kegiatan akademiknya.

4. Tahapan Stres

Martaniah dkk, 1991(dalam Rumiani, 2006 ) menyebutkan bahwa stres terjadi melalui tahapan :

1. Tahap 1 : stres pada tahap ini justru dapat membuat seseorang lebih bersemangat, penglihatan lebih tajam, peningkatan energi, rasa puas dan senang, muncul rasa gugup tapi mudah diatasi.

2. Tahap 2 : menunjukkan keletihan, otot tegang, gangguan pencernaan. 3. Tahap 3 : menunjukkan gejala seperti tegang, sulit tidur, badan terasa lesu

dan lemas.

4. Tahap 4 dan 5 : pada tahap ini seseorang akan tidak mampu menanggapi situasi dan konsentrasi menurun dan mengalami insomnia.

5. Tahap 6 : gejala yang muncul detak jantung meningkat, gemetar sehingga dapat pula mengakibatkan pingsan.Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan tahapan stres terbagi menjadi 6 tahapan yang tingkatan gejalanya berbeda-beda di setiap tahapan.


(12)

Bagan 1.Hubungan Antara Stressor dengan Kelenjar dan Hormon dalam Tubuh Manusia

Otak bagian depan adalah bagian otak paling anterior dan paling terlihat, terdiri dari dua belahan, satu di kiri dan satu di kanan. Setiap belahan otak telah membagi tugas untuk menerima sebagian besar informasi sensorik dari sisi tubuh yang kontralateral (berlawanan), serta mengendalikan sebagian besar otot pada sisi tubuh yang berlawanan. Semua itu dikerjakan dengan bantuan akson yang melintas ke sumsum tulang belakang dan nuklei saraf kranial.

STRESSOR

Pituitaria anterior : Merangsang kelenjar

tiroid

Sistem saraf simpatik : Jaringan saraf yang mempersiapkan organ

tubuh bagian dalam untuk aktivitas berat

Korteks adrenal : Merangsang hati untuk meningkatkan kadar gula

dalam darah, serta meningkatkan metabolisme

protein dan lemak.

Medula adrenal : Pengaruhnya serupa dengan

sistem dengan simpatetik.

Glukokortikoid : Memberikan pengaruh

terhadap metabolisme nutrisi

Norepinefrin dan epinefrin : Senyawa kimia yang berkerabat dekat dan digolongkan dalam satu

kategori yaitu cathecolamine


(13)

Lapisan luar otak bagian depan disebut korteks serebrum. Di bawah lapisan korteks serebrum terdapat struktur-struktur lain, seperti talamus yang merupakan sumber input utama untuk korteks serebrum. Di bawah lapisan korteks serebrum terdapat struktur-struktur lain, seperti talamus yang merupakan sumber input utama untuk korteks serebrum. Serangkaian struktur yang di sebut basal ganglia memiliki peran utama dalam aspek-aspek pergerakan tertentu. Terdapat sejumlah struktur lain yang saling terhubung dan membentuk pembatas yang mengelilingi batang otak, di sebut dengan sistem limbik. Struktur-struktur tersebut berperan penting, khususnya untuk pengaturan emosi, contohnya seperti makan, minum, aktivitas seksual, kegelisahan, dan berperilaku kasar.

Sistem limbik terdiri dari : struktur bulbus olfaktori, hipotalamus, hipokampus, amigdala dan girus singulat korteks serebrum. Penjelasan otak bagian depan di mulai dari area di bawah korteks serebrum.

1. Talamus

Sebagian besar informasi sensorik masuk ke dalam talamus terlebih dahulu, yang kemudian akan memproses dan meneruskannya ke korteks serebrum. Satu informasi sensorik yang tidak melalui talamus adalah informasi olfaktori, yang lintasannya di mulai dari reseptor olfaktori dan langsung dilanjutkan ke korteks serebrum, tanpa melalui talamus. Terdapat banyak nuklei pada talamus yang mendapatkan input utama dari salah satu sistem sensorik, contohnya penglihatan. Nukleus kemudian mentransmisi informasi tersebut ke satu bagian korteks serebrum. Korteks serebrum


(14)

mengembalikan aliran informasi ke talamus, memperpanjang, dan menguatkan input-input tertentu, bertujuan untuk memfokuskan perhatian pada stimulus tertentu.

2. Hipotalamus

Hipotalamus meneruskan pesan ke kelenjar pituitari sehingga mengendalikan pelepasan hormon kelenjar tersebut, sebagian dengan bantuan saraf dan sebagian lagi dengan bantuan hormon. Kerusakan pada salah satu nuklei yang terdapat dalam hipotalamus akan menyebabkan gangguan pada perilaku yang berkaitan dengan motivas, misalnya : makan, minum, pengaturan suhu tubuh, perilaku seksual, perkelahian, atau tingkat aktivitas tubuh.

3. Kelenjar Pituitari

Kelenjar pituitari merupakan kelenjar endokrin (penghasil hormon) yang melekat pada bagian bawah hipotalamus melalui batang yang terbentuk dari neuron, pembuluh darah dan jaringan ikat. Kelenjar pituitari melepaskan hormon ke dalam pembuluh darah sebagai bentuk respons informasi yang di terima dari hipotalamus, melalui pembuluh darah hormon tersebut akan menuju organ target.

4. Basal Ganglia

Bangsal ganglia adalah sebuah kelompok struktur yang terdapat dibawah korteks serebrum dan lateral terhadap talamus. Terdapat tiga struktur pada


(15)

bangsal ganglia, yaitu : nukleus kaudat, putamen, dan globus palidus. Bangsal ganglia memiliki banyak bagian yang saling bertukar informasi dengan bagian korteks serebrum yang berbeda. Hubungan tersebut paling banyak di temukan pada bagian frontal korteks serebrum, sebuah bagian yang bertanggung jawab atas perencanaan rangkaian perilaku dan untuk beberapa aspek ekspresi memori dan emosional. Pada kondisi tertentu, seperti penyakit parkinson dan huntington, basal ganglia mengalami penurunan fungsi. Gejala yang paling terlihat adalah gangguan pergerakan, tetapi penderita juga adanya depresi, penurunan memori dan motivasi, serta gangguan perhatian.

5. Dasar Otak Bagian Depan

Terdapat beberapa struktur yang terletak di satu sisi dorsal otak bagian depan, salah satunya adalah nukleus basalis. Struktur tersebut menerima input dari hipotalamus dan bangsal ganglia, akson-akson nukleus basalis akan melepaskan asetilkolin pada daerah yang luas di korteks serebrum. Kita mungkin menganggap bahwa nukleus basalis merupakan penengah antara pembangkitan emosi oleh hipotalamus dan pemrosesan informasi oleh korteks serebrum. Nukleus basalis merupakan kunci perangsangan sistem otak, keterjagaan, dan perhatian. Penderita penyakit Huntington atau Parkinson akan mengalami gangguan perhatian dan kecerdasan yang disebabkan oleh nukleus basalis yang tidak aktif atau menurun fungsinya.


(16)

6. Hipokampus

Hipokampus adalah sebuah struktur besar yang terletak di antara talamus dan korteks serebrum, mengarah ke sisi posterior otak bagian belakang. Hipokampus berperan penting dalam penyimpanan beberapa memori tertentu, memutuskan bagaimana cara terbaik untuk mengategorikan memori yang tergantung pada hipokampus. Individu yang mengalami kerusakan hipokampus akan kesulitan untuk menyimpan memori yang baru, tetapi memori yang di simpan sebelum kerusakan terjadi tidak hilang.

Hormon adalah suatu zat kimia yang pada umumnya disekresikan oleh kelenjar dan sel-sel lain, hormon ditransportasikan oleh darah menuju organ target. Neutransmitter dapat dianalogikan seperti sinyal pada kabel telepon, di mana pesan dikirim langsung dan khusus untuk penerima. Hormon dapat dianalogikan sebagai stasiun radio yang menyampaikan pesan kepada siapapun yang menyetel gelombang stasiun radio tersebut. Hormon berguna untuk mengatur perubahan jangka panjang pada beberapa bagian tubuh. Hormon yang bersikulasi di otak akan memengaruhi aktivasi otak, begitu pula hormon yang disekresi otak akan memengaruhi sekresi hormon lain. Kelenjar pituitari yang melekat pada hipotalamus terdiri dari dua bagian kelenjar yang berbeda, yaitu kelenjar pituitari anterior dan pituitari posterior keduanya menyekresikan hormon yang berbeda. Kelenjar pituitari posterior yang terdiri atas jaringan saraf dapat dianggap sebagai perluasan hipotalamus. Neuron di dalam hipotalamus menyintesis hormon oksitosin dan vasopresin (dikenal juga dengan nama


(17)

hormonantidiuretik), kedua hormon tersebut turun melalui akson menuju kelenjar pituitari posterior kemudian dilepaskan ke dalam darah.

Hormon tersebut mempengaruhi sistem saraf simpatik. Sistem saraf simpatik adalah sebuah jaringan saraf yang mempersiapkan organ tubuh bagian dalam untuk aktivitas berat. Sistem saraf simpatik terdiri dari sepasang rantai ganglia yang memanjang pada sisi tubuh dimulai dari bagian tengah tulang belakang melalui akson. Akson simpatik memanjang dari ganglia menuju organ target dan mengaktivasi mereka untuk memberikan respons melawan atau melarikan diri, di mana napas dan detak jantung menjadi lebih cepat dan aktivitas pencernaan menurun. Semua ganglia sistem saraf simpatik terkait erat. Oleh karena itu, mereka sering kali bekerja seperti satu unit, sehingga dikatakan bahwa ganglia saling bersimpati, walaupun bagian-bagian tertentu dapat lebih aktif daripada bagian lain. Organ-organ seperti kelenjar keringat, kelenjar adrenal, otot-otot yang mengonstriksi pembuluh darah, dan otot-otot-otot-otot yang menegakkan rambut pada kulit, hanya memiliki saraf simpatik dan bukan saraf parasimpatik (Kalat, 2010).

Hans Selye (dalam Pinel, 2009) adalah yang pertama kali mendeskripsikan respons stres pada 1950-an. Selye mengatribusikan respons stres pada aktivasi sistem korteks-adrenal pituataria-anterior yang menyimpulkan bahwa stresor yang memengaruhi sirkuit-sirkuit neural menstimulasi pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) (hormon adrenokortikotropik) dari pituataria anterior, sehingga ACTH pada gilirannya akan memicu pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal, sehingga glukokortikoid menghasilkan


(18)

banyak di antara efek-efek respons stres. Stresor juga mengaktifkan sistem saraf simpatik, sehingga meningkatkan jumlah epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan dari medula adrenal. Besarnya respons stres bukan hanya bergantung pada stresor dan individunya. Fitur utama teori Selye adalah pendapatnya bahwa stresor fisik maupun psikologis menginduksi respon stres yang secara umum sama. Respons stres kompleks dan bervariasi, respons tepatnya bergantung pada stresornya, kapan waktunya, sifat orang yang mengalami stres, dan bagaimana orang yang mengalami stres bereaksi terhadap stresornya.

5. Strategi Menghadapi Stres

Menurut Ardani (2013) ada dua strategi yang bisa digunakan untuk menghadapi stres, yaitu :

a. Strategi menghadapi stres dalam perilaku. 1. Memecahkan persoalan secara tenang.

Yaitu mengevaluasi kekecewaan atau stres dengan cermat kemudian menentukan langkah yang tepat untuk diambil, setelah itu mereka mempersiapkan segala upaya dan daya serta menurunkan kemungkinan bahaya.

2. Agresi.

Stres sering berpuncak pada kemarahan atau agresi. Sebenarnya agresi jarang terjadi namun apabila hal itu hanyalah berupa respon penyesuaian diri. Contohnya adalah mencari kambing hitam, menyalahkan pihak lain dan kemudian melampiaskan agresinya kepada sasaran itu.


(19)

3. Regresi

Yaitu kondisi ketika seseorang yang menghadapi stres kembali lagi kepada perilaku yang mundur atau kembali ke masa yang lebih muda (memberikan respons seperti orang dengan usia yang lebih muda).

4. Menarik diri.

Merupakan respon yang paling umum dalam mengambil sikap. Bila seseorang menarik diri maka dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Respon ini biasanya disertai dengan depresi dan sikap apatis.

5. Mengelak.

Seorang yang mengalami stres terlalu lama, kuat dan terus menerus maka ia akan cenderung mengelak. Contoh mengelak adalah mereka melakukan perilaku tertentu secara berulang-ulang. Hal ini sebagai pengelakkan diri dari masalah demi mengalahkan perhatian. Dalam usaha mengelakkan diri, orang Amerika biasanya menggunakan alkohol, obat penenang, heroin dan obat-obatan dari bahan kimia lainnya.

b. Strategi menghadapi stres secara kognitif 1. Represi

Adalah upaya untuk menyingkirkan frustasi, stres dan semua yang menimbulkan kecemasan.


(20)

2. Menyangkal kenyataan

Menyangkal kenyataan mengandung unsur penipuan diri. Bila seseorang menyangkal kenyataan maka ia menganggap tidak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri.

3. Fantasi

Dengan berfantasi orang sering merasa dirinya mencapai tujuan dan dapat menghindarkan dari frustasi dan stres. Orang yang sering melamun kadang-kadang menemukan bahwa kreasi lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Bila fantasi dilakukan secara sedang-sedang dan dalam pengendalian kesadaran yang baik, maka frustasi menjadi cara yang sehat untuk mengatasi stres.

4. Rasionalisasi

Rasionalisasi ini dimaksudkan segala usaha seseorang untuk mencari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi juga bisa muncul ketika seseorang menipu dirinya sendiri dengan pura-pura menganggapnya buruk adalah baik atau sebaliknya.

5. Intelektualisasi

Seseorang yang menggunakan taktik ini maka yang menjadi masalah akan dipelajari atau mencari tahu tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan secara emosional. Dengan intelektualisasi seseorang setidaknya dapat


(21)

sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau permasalahan secara subjektif.

6. Pembentukan reaksi

Seseorang dikatakan berhasil menggunakan metode ini bila dia berusaha menyembunyikan motif dan perasaan sesungguhnya baik represi atau supresi dan menampilkan wajah yang berlawanan dengan kenyataan yang dihadapi.

7. Proyeksi

Seseorang yang menggunakan teknik ini biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi orang lain yang tidak ia sukai dengan sesuatu yang dia perhatikan itu akan diperbesar-perbesarnya lagi. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menghadapi kenyataan akan keburukan dirinya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan ada dua strategi menghadapi stres, yaitu strategi menghadapi stres dalam perilaku yang terdiri dari memecahkan persoalan secara tenang, agresi, regresi, menarik diri dan mengelak. Sedangkan strategi yang kedua adalah strategi menghadapi stres secara kognitifyang terdiri dari represi, menyangkal kenyataan, fantasi, rasionalisasi, intelektualisasi, pembentukan reaksi dan proyeksi.


(22)

B. Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Ahli yang pertama-tama mengemukakan konsep kecerdasan emosi adalah Goleman. Menurut Goleman (1995) kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali dan merasakan emosi yang dialami (kesadaran emosi), mengelola emosi, bisa melakukan empati (membaca emosi), membina hubungan dengan orang lain dan memanfaatkan emosi secara produktif sebagai penunjang performa seseorang. Mayer dan Salovey (dalam Wahyono, 2001) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi emosi baik diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya, menggunakan emosi untuk memfasilitasi proses pikir, memahami emosi (transisi dari satu tahap ke tahap lain), mengelola emosi baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Baron (dalam Wahyono, 2001) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan prediktor yang lebih baik bagi suksesnya seseorang daripada intelegensi kognitif.

Bar On (dalam Megawati, 2010) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Menurut Goleman, kecerdasan emosional bukan lawan dari kecerdasan kognitif; orang-orang tertentu unggul pada keduanya, sementara yang lain hanya pada salah satunya. Kecerdasan emosi mengingatkan kita pada kecerdasan intrapersonal dan interpersonal yang diusulkan oleh Gardner. EI juga tampak serupa dengan pemikiran pascaformal dalam hal hubungannya antara


(23)

emosi dan kognisi. Walaupun penelitian mendukung peran emosi dalam tingkah laku cerdas, namun konsep EI tetap kontroversial (Papalia, 2009).

Patton (dalam Ifham, 2002) memberi definisi mengenai kecerdasan emosi adalah menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif, dan meraih keberhasilan.Dengan kata lain seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi akan mampu mengenali emosi yang ada didalam dirinya, kemudian mengelolanya secara baik emosi yang ada didalam dirinya tersebut agar menjadi sumber energi emosi positif yang dapat dimanfaatkan untuk menangani perasannya atau melawan perasaan yang tidak menyenangkan, serta mampu mengenali emosi orang lain dan mampu membina hubungan, sehingga dengan kemampuan-kemampuan tersebut akan membimbing pikiran dan tindakan seseorang untuk menyesuaikan diri maupun mengatasi tuntutan atau tekanan lingkungan dimana ia berada (Megawati, 2010).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan merasakan kepekaan emosi yang dirasakan serta mampu untuk memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dan membimbing pikiran untuk membuat keputusan yang dianggap individu sebagai yang terbaik.

2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Goleman (2001) mengadaptasi lima hal yang tercakup dalam kecerdasan emosional yaitu sebagai berikut :


(24)

Kesadaran diri adalah kemampuan merasakan emosi tepat pada waktunya dan kemampuan dalam memahami kecenderungan dalam situasi tersebut. Kesadaran diri menyatakan kemampuan seseorang menguasai reaksi pada berbagai peristiwa, tantangan, bahkan orang-orang tertentu.

b. Pengaturan emosi (mengelola emosi)

Mengelola emosi berarti memahaminya, lalu menggunakan pemahaman tersebut untuk menghadapi situasi secara produktif, bukannya menekan emosi dan menghilangkan informasi berharga yang disampaikan oleh emosi kepada diri sendiri. Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila: mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu.

c. Motivasi (motivasi diri sendiri)

Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian dan keterampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Motivasi dapat bersumber dari dalam diri seseorang (motivasi internal atau motivasi intrinsik), akan tetapi dapat pula bersumber dari luar diri orang yang bersangkutan (motivasi eksternal atau motivasi ekstrinsik).


(25)

Sedangkan Goleman (2001) menyatakan bahwa motivasi adalah kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peralihan sasaran. Penataan emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk member perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi.

d. Empati (Mengenali emosi orang lain)

Goleman (1999) berpendapat bahwa empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan doro dengan emosinya sendiridapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

e. Ketrampilan sosial (membina hubungan)

Ketrampilan sosial merupakan aspek penting dalam Emotional Intelligence. Ketarampilan sosial bisa diperoleh dengan banyak berlatih. Salah satu kunci ketrampilan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri. Oleh sebab itu, untuk dapat menguasai ketrampilan untuk berhubungan dengan orang lain (ketrampilan sosial) dibutuhkan kematangan dua ketrampilan emosioanl yang lain, yaitu pengendalian diri dan empati (Yuniani, 2010).

Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini menggunakan aspek-aspek dalam kecerdasan emosi dari Goleman yang meliputi : mengenali emosi diri,


(26)

mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan.

3. Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (1999), ada 2 faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, faktor tersebut terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini penjelasan masing-masing factor :

a. Faktor internal. Faktor internal merupakan factor yang timbul dari individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosinal seseorang, otak emosional dipengaruhi oleh keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prefrontal dan hal-hal lain yang berada pada otak emosional.

b. Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi individu untuk atau mengubah sikap. Pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perseorangan, secara kelompok, antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit (Ifham, 2002).

Secara fisik, bagian yang paling menentukan dan berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau dengan kata lain yaitu otaknya. Bagian yang digunakan untuk berpikir yaitu : korteks sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang menguruss emosi yaitu sistem limbik .


(27)

Tetapi sesungguhnya hubungan antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. Shapiro (1997) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi, yaitu :

a. Fisik, secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau dengan kata lain bagian otaknya. Bagian-bagian otak yang digunakan untuk berpikir yaitu korteks (kadang-kadang disebut neokorteks) sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurusi emosi yaitu sistem limbik, tetapi sesungguhnya hubungan antara keduanya inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang.

b. Psikis, kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir.

Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat dilakukan melalui proses pembelajaran. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi sesorang menurut Goleman (2000), yaitu :

a. Lingkungan keluarga, kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi, yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan emosi


(28)

ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan contoh-contoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari, sebagai contoh : melatih kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan anak menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi permasalahan, sehingga anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak memiliki banyak masalah tingkah laku seperti tangkah laku kasar dan negatif.

b. Lingkungan non keluarga. Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak seperti bermain peran. Anak berperan sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan orang lain. Pengembangan kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi bentuk pelatihan yang lainnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang antara lain lingkungan keluarga dan non keluarga, faktor fisik dan psikis.

4. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi Tinggi


(29)

a. Optimal dan selalu positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidupnya, seperti saat menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani tekanan masalah-masalah pribadi yang dihadapi.

b. Terampil dalam membina emosinya, di mana orang tersebut terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi, juga kesadaran emosi terhadap orang lain.

c. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, dimana hal ini meliputi kecakapan intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif.

d. Optimal pada nilai-nilai belas kasihan atau empati, intuisi, radius kepercayaan, daya pribadi, dan integritas.

e. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship quotient dan kinerja optimal.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan ciri-ciri subjek yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi yaitu optimal dan selalu positif, terampil dalam membina emosinya, optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, optimal pada nilai-nilai empati dan optimal pada kesehatan secara umum.

Roger Sperry ( dalam Pasiak, 2007) menemukan bahwa ternyata dalam satu kepala manusia ada dua otak (otak kanan dan otak kiri). Otak kiri berkaitan dengan kegiatan-kegiatan rasional, analitis, bahasa dan matematis. Sedang otak kanan berkaitan dengan berpikir intuitif, sintesis, dan estetis. IQ meliputi kemampuan untuk berpikir rasional, kemampuan untuk memecahkan masalah yang tercermin dari ketetapan, kecepatan, dan kedalaman memberi tanggapan.


(30)

Lalu EQ individu meliputi kemampuan memahami, mengendalikan, mengarahkan emosi diri sendiri serta orang lain. Dalam artian tertentu, kita mempunyai dua otak, dua pikiran dan dua jenis kecerdasan yang berlainan : kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Keberhasilan kita dalam kehidupan ditentukan oleh keduanya, tidak hanya oleh IQ, tetapi kecerdasan emosional-lah yang memegang peranan. Sungguh, intelektualitas tak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan emosional. Biasanya sifat saling melengkapi antara sistem limbik dengan neokorteks, amigdala dengan lobus-lobus prefrontal, berarti masing-masing adalah pasangan penuh dalam kehidupan mental. Apabila pasangan-pasangan ini berinteraksi dengan baik, kecerdasan emosional akan bertambah demikian juga kemampuan intelektual (Goleman, 2000).

Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire (dalam Shapiro, 1997) untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas ini antara lain adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.

Beberapa manfaat bila individu mampu mengelola perasaan antara lain adalah memiliki toleransi terhadap frustasi, mampu mengungkapkan kemarahan tanpa harus bertengkar, tidak menjadi agresif, memiliki perasaan positif tentang diri sendiri, meningkatkan kemampuan relasi dengan orang lain. Maka makin disadari


(31)

pentingnya kemampuan EQ dalam pencapaian sukses seseorang selain IQ, maka kalangan pendidik kemudian berusaha untuk meningkatkan EQ siswa atau mahasiswa selain tetap meningkatkan tingkat IQ anak didiknya (Fidiana dan Setyawardani, 2009). Kecerdasan emosi ini erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengolah emosi diri sendiri maupun orang lain. Sebagai makhluk yang mempunyai emosi, manusia akan sangat terpengaruh oleh suasana perasaannya dalam mendukung keberhasilan seseorang (Rizky, 2014).

C. Mahasiswa

1. Definisi Mahasiswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Sarlito Wirawan (dalam Mayudia, 2011) menjelaskan mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya dalam ikatannya dengan perguruan tinggi. Tidak ada seorangpun yang dinamakan mahasiswa kalau tidak terikat pada salah satu perguruan tinggi. Dapat juga dikatakan bahwa mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia antara 18-25 tahun.Sebagian mahasiswa masuk ke dalam kategori remaja akhir yaitu 18 tahun, dan sebagian yang lain masuk dalam kategori dewasa awal periode pertama yaitu 21-24 tahun (Monks, 1989).

Untuk sebagian besar mahasiswa, mereka berada pada masa peralihan dari remaja ke dewasa. Sebagai masa peralihan, mereka sudah tidak pantas dan tidak mau dianggap remaja yang kekanak-kanakan, terutama dari segi fisikya, tetapi


(32)

dari segi kepribadian, baik dalam emosi,cara berpikir, dan bertindak, mereka sering menampakkan diri ketidakdewasaan, seperti mereka masih sering terombang-ambing, terpengaruh dan tergantung kepada orang lain. Masa yang tanggung tersebut perlu dipedulikan oleh lingkungan agar mereka dapat melewati peralihan mencapai kedewasaan dengan sempurna. Dalam perspektif ini, ciri kedewasaan seseorang tampak dari emosi, tindakan, dan pikirannya yang mandiri, yang berorientasi pada kemampuan diri sendiri (self oriented) daripada kepada orang lain (Nurhayati, 2011).

Berdasarkan uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah peserta didik yang duduk dibangku perguruan tinggi dan rata-rata usia mahasiswa adalah 18 sampai 24 tahun yang masuk dalam kategori dewasa awal.

D. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Stres yang dialami mahasiswa dipengaruhi oleh sistem kerja saraf melalui stressor baik yang berasal dari dalam maupun luar. Stressor tersebut kemudian mengaktifkan hormon dan kelenjar dalam tubuh terutama di bagian otak. Hormon dan kelenjar tersebut kemudian bekerja secara bersama-sama mengaktifkan sistem saraf simpatik dengan meningkatkan detak jantung menjadi lebih cepat, menurunkan nafsu makan, mengendalikan kelenjar keringat dan membuat otot bekerja lebih ekstra. Fitur utama teori Selye (dalam Pinel, 2009) adalah pendapatnya bahwa stresor fisik maupun psikologis menginduksi respon stres yang secara umum sama. Respons stres kompleks dan bervariasi, respons tepatnya bergantung pada stresornya, kapan waktunya, sifat orang yang mengalami stres,


(33)

dan bagaimana orang yang mengalami stres bereaksi terhadap stressor. Stressor tersebut bisa dikelola baik dari segi positif maupun segi negatif dan bisa dilihat dari kecerdasan emosi yang dimiliki oleh mahasiswa.

Cerdas emosi sendiri terletak pada otak bagian depan yang terdiri dari talamus, hipotalamus, kelenjar pituitari, basal ganglia, dasar otak bagian depan dan hipokampus yang saling berkoordinasi dalam mengelola perhatian, menyerap memori, motivasi dan memilah peristiwa-peristiwa yang di alami individu yang kemudian bekerjasama dengan hormon dalam tubuh. Cerdas emosi dibutuhkan mahasiswa untuk mengerjakan tuntutan akademik yang berupa tugas kuliah, penulisan laporan, melakukan praktikum, pencarian referensi, dan jadwal kuliah yang padat. Cerdas emosi yang tinggi ditunjukkan dengan perilaku untuk tetap tenang, sabar menghadapi persoalan, tidak terbawa emosi, mencari jalan keluar permasalahan. Sebaliknya bila cerdas emosi yang dimiliki mahasiswa rendah perilaku yang ditunjukkan berupa mudah putus asa, merasa pesimis, takut, kesedihan yang berlarut-larut dan rasa malu, dan merasa tidak mampu menyelesaikan masalah.

Apabila kecerdasan emosi yang dimiliki mahasiswa tinggi maka stres yang dimiliki akan cenderung rendah dan apabila kecerdasan emosi yang dimiliki mahasiswa rendah maka stres yang dialami akan cenderung tinggi. Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali dan merasakan emosi yang dialami (kesadaran emosi), mengelola emosi, bisa melakukan empati (membaca emosi), membina hubungan dengan orang lain dan memanfaatkan emosi secara produktif sebagai penunjang performa


(34)

seseorang.Dengan kata lain seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi akan mampu mengenali emosi yang ada didalam dirinya, kemudian mengelolanya secara baik emosi yang ada didalam dirinya tersebut agar menjadi sumber energi emosi positif yang dapat dimanfaatkanuntuk menangani perasannya atau melawan perasaan yang tidak menyenangkan, serta mampu mengenali emosi orang lain dan mampu membina hubungan, sehingga dengan kemampuan-kemampuan tersebut akan membimbing pikiran dan tindakan seseorang untuk menyesuaikan diri maupun mengatasi tuntutan atau tekanan lingkungan dimana ia berada (Megawati, 2010).


(35)

Bagan 2. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik

Kecerdasan Emosi

Aspek-Aspek :

kecerdasan diri (mengenali emosi diri), pengaturan emosi (mengelola emosi), motivasi (motivasi diri sendiri), Empati (mengenali emosi orang lain), keterampilan sosial (membina hubungan)

Kecerdasan emosi rendah

Kecerdasan emosi tinggi

Menimbulkan perilaku negatif : berkeringat dingin, cemas, tidur tidak

nyenyak, marah, malas mengerjakan tugas, tidak semangat kuliah

Menimbulkan perilaku positif : berusaha mencari referensi diluar seperti perpustakaan online maupun

internet, mengerjakan sedikit demi sedikit tugas secara tekun, membuat manajemen waktu, menyusun jadwal belajar, melakukan refreshing seperti

jalan-jalan atau menontondrama Mudah putus asa, merasa

pesimis, takut, kesedihan yang berlarut-larut dan rasa malu,

merasa tidak mampu menyelesaikan masalah

Stres akademik

tinggi Stres akademik

rendah

Berusaha untuk tetap tenang, sabar menghadapi persoalan, tidak terbawa emosi, mencari jalan keluar permasalahan

Stressor Hormon Saraf


(36)

E. Hipotesis

Ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres akademik mahasiswa-mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah stres akademik yang dialami. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin tinggi stres akademik.


(1)

pentingnya kemampuan EQ dalam pencapaian sukses seseorang selain IQ, maka kalangan pendidik kemudian berusaha untuk meningkatkan EQ siswa atau mahasiswa selain tetap meningkatkan tingkat IQ anak didiknya (Fidiana dan Setyawardani, 2009). Kecerdasan emosi ini erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengolah emosi diri sendiri maupun orang lain. Sebagai makhluk yang mempunyai emosi, manusia akan sangat terpengaruh oleh suasana perasaannya dalam mendukung keberhasilan seseorang (Rizky, 2014).

C. Mahasiswa

1. Definisi Mahasiswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Sarlito Wirawan (dalam Mayudia, 2011) menjelaskan mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya dalam ikatannya dengan perguruan tinggi. Tidak ada seorangpun yang dinamakan mahasiswa kalau tidak terikat pada salah satu perguruan tinggi. Dapat juga dikatakan bahwa mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia antara 18-25 tahun.Sebagian mahasiswa masuk ke dalam kategori remaja akhir yaitu 18 tahun, dan sebagian yang lain masuk dalam kategori dewasa awal periode pertama yaitu 21-24 tahun (Monks, 1989).

Untuk sebagian besar mahasiswa, mereka berada pada masa peralihan dari remaja ke dewasa. Sebagai masa peralihan, mereka sudah tidak pantas dan tidak mau dianggap remaja yang kekanak-kanakan, terutama dari segi fisikya, tetapi


(2)

dari segi kepribadian, baik dalam emosi,cara berpikir, dan bertindak, mereka sering menampakkan diri ketidakdewasaan, seperti mereka masih sering terombang-ambing, terpengaruh dan tergantung kepada orang lain. Masa yang tanggung tersebut perlu dipedulikan oleh lingkungan agar mereka dapat melewati peralihan mencapai kedewasaan dengan sempurna. Dalam perspektif ini, ciri kedewasaan seseorang tampak dari emosi, tindakan, dan pikirannya yang mandiri, yang berorientasi pada kemampuan diri sendiri (self oriented) daripada kepada orang lain (Nurhayati, 2011).

Berdasarkan uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah peserta didik yang duduk dibangku perguruan tinggi dan rata-rata usia mahasiswa adalah 18 sampai 24 tahun yang masuk dalam kategori dewasa awal.

D. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Stres yang dialami mahasiswa dipengaruhi oleh sistem kerja saraf melalui stressor baik yang berasal dari dalam maupun luar. Stressor tersebut kemudian mengaktifkan hormon dan kelenjar dalam tubuh terutama di bagian otak. Hormon dan kelenjar tersebut kemudian bekerja secara bersama-sama mengaktifkan sistem saraf simpatik dengan meningkatkan detak jantung menjadi lebih cepat, menurunkan nafsu makan, mengendalikan kelenjar keringat dan membuat otot bekerja lebih ekstra. Fitur utama teori Selye (dalam Pinel, 2009) adalah pendapatnya bahwa stresor fisik maupun psikologis menginduksi respon stres yang secara umum sama. Respons stres kompleks dan bervariasi, respons tepatnya bergantung pada stresornya, kapan waktunya, sifat orang yang mengalami stres,


(3)

dan bagaimana orang yang mengalami stres bereaksi terhadap stressor. Stressor tersebut bisa dikelola baik dari segi positif maupun segi negatif dan bisa dilihat dari kecerdasan emosi yang dimiliki oleh mahasiswa.

Cerdas emosi sendiri terletak pada otak bagian depan yang terdiri dari talamus, hipotalamus, kelenjar pituitari, basal ganglia, dasar otak bagian depan dan hipokampus yang saling berkoordinasi dalam mengelola perhatian, menyerap memori, motivasi dan memilah peristiwa-peristiwa yang di alami individu yang kemudian bekerjasama dengan hormon dalam tubuh. Cerdas emosi dibutuhkan mahasiswa untuk mengerjakan tuntutan akademik yang berupa tugas kuliah, penulisan laporan, melakukan praktikum, pencarian referensi, dan jadwal kuliah yang padat. Cerdas emosi yang tinggi ditunjukkan dengan perilaku untuk tetap tenang, sabar menghadapi persoalan, tidak terbawa emosi, mencari jalan keluar permasalahan. Sebaliknya bila cerdas emosi yang dimiliki mahasiswa rendah perilaku yang ditunjukkan berupa mudah putus asa, merasa pesimis, takut, kesedihan yang berlarut-larut dan rasa malu, dan merasa tidak mampu menyelesaikan masalah.

Apabila kecerdasan emosi yang dimiliki mahasiswa tinggi maka stres yang dimiliki akan cenderung rendah dan apabila kecerdasan emosi yang dimiliki mahasiswa rendah maka stres yang dialami akan cenderung tinggi. Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali dan merasakan emosi yang dialami (kesadaran emosi), mengelola emosi, bisa melakukan empati (membaca emosi), membina hubungan dengan orang lain dan memanfaatkan emosi secara produktif sebagai penunjang performa


(4)

seseorang.Dengan kata lain seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi akan mampu mengenali emosi yang ada didalam dirinya, kemudian mengelolanya secara baik emosi yang ada didalam dirinya tersebut agar menjadi sumber energi emosi positif yang dapat dimanfaatkanuntuk menangani perasannya atau melawan perasaan yang tidak menyenangkan, serta mampu mengenali emosi orang lain dan mampu membina hubungan, sehingga dengan kemampuan-kemampuan tersebut akan membimbing pikiran dan tindakan seseorang untuk menyesuaikan diri maupun mengatasi tuntutan atau tekanan lingkungan dimana ia berada (Megawati, 2010).


(5)

Bagan 2. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik

Kecerdasan Emosi

Aspek-Aspek :

kecerdasan diri (mengenali emosi diri), pengaturan emosi (mengelola emosi), motivasi (motivasi diri sendiri), Empati (mengenali emosi orang lain), keterampilan sosial (membina hubungan)

Kecerdasan emosi rendah

Kecerdasan emosi tinggi

Menimbulkan perilaku negatif : berkeringat dingin, cemas, tidur tidak

nyenyak, marah, malas mengerjakan tugas, tidak semangat kuliah

Menimbulkan perilaku positif : berusaha mencari referensi diluar seperti perpustakaan online maupun

internet, mengerjakan sedikit demi sedikit tugas secara tekun, membuat manajemen waktu, menyusun jadwal belajar, melakukan refreshing seperti

jalan-jalan atau menontondrama Mudah putus asa, merasa

pesimis, takut, kesedihan yang berlarut-larut dan rasa malu,

merasa tidak mampu menyelesaikan masalah

Stres akademik

tinggi Stres akademik

rendah

Berusaha untuk tetap tenang, sabar menghadapi persoalan, tidak terbawa emosi, mencari jalan keluar permasalahan

Stressor Hormon Saraf


(6)

E. Hipotesis

Ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres akademik mahasiswa-mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah stres akademik yang dialami. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin tinggi stres akademik.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN STRES DALAM MENYUSUN SKRIPSI PADA MAHASISWA FAKULTAS Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Stres Dalam Menyusun Skripsi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 2 15

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Prososial Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 2 11

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Prososial Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 3 17

PENDAHULUAN Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Prososial Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 6 8

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

1 6 18

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 3 16

PENDAHULUAN Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 2 7

METODE PENELITIAN Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 1 8

PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 3 21

HUBUNGAN ANTARA MINAT TERHADAP FAKULTAS DENGAN PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS Hubungan Antara Minat Terhadap Fakultas Dengan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 6 15