Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Komunitas Hardcore Friends Stand United (FSU) dalam Film Boston Beatdown Vol. II T1 362006024 BAB I
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Genre musik hardcore adalah sebuah bentuk budaya tandingan
terhadap budaya mainstream yang tersedia di masyarakat, yang berada
dalam sebuah kancah alternatif dan menarik pengikutnya dengan hal-hal
yang dianggap memberontak. Mereka mendapat sebuah wadah yang
sama dimana keberadaan mereka dapat diterima.
Hardcore berkembang sebagai sebuah budaya tandingan atas
budaya dominan yang sedang berlangsung di Amerika pada pertengahan
dekade 80-an. Sebuah jawaban atas kematian musik punk di dalam
kancah musik alternatif, yang mengalami kemunduran karena dominasi
gelombang pop-elektronik saat itu. Lebih daripada warna musik yang
terkandung di dalamnya, genre ini muncul sangat bertepatan dengan
kebijakan-kebijakan politik luar negeri presiden Amerika Serikat saat itu,
yakni Ronald Reagan, terhadap permasalahan perang dingin dan perang
Irak yang pertama.
Genre musik metal, punk, maupun hardcore secara tegas mengakui
adalah sebuah bentuk counter-culture terhadap budaya mainstream yang
tersedia di masyarakat. Berada dalam sebuah kancah alternatif membuat
para pengikutnya tertarik dengan hal-hal yang dianggap “memberontak”.
Para pengikut kancah tersebut tidak merasa asing, dikarenakan perilaku
memberontak mereka mendapat sebuah wadah yang sama, dimana mereka
tidak merasa asing di dalamnya. Sejalan dengan apa yang dipaparkan,
punk,
metal,
maupun
hardcore
memiliki
sebuah
ideologi
“pemberontakan” yang identik dengan nafas genre masing-masing
(Robbyansyah, 2011 : 341).
Di Indonesia sendiri musik hardcore sudah mulai masuk sekitar
medio 1990-an, namun tidak terlalu terlihat karena berada dalam bayangan
musik metal yang lebih menjadi favorit saat itu. Sepuluh tahun kemudian
1
pada medio 2000-an, genre ini berkembang sangat luas di Jakarta,
Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, dan bahkan sampai ke Salatiga.
Di kota kecil seperti Salatiga pun, scene hardcore mulai terbentuk satupersatu hingga akhirnya menjadi hal yang sangat familiar terutama di
kalangan pelajar. Band-band dengan genre hardcore mulai mendominasi
panggung underground dan indie di Salatiga. Kaos band, jaket, dan topi
ber-atributkan hardcore, menjadi barang yang paling dicari oleh pelajar
SMP dan SMA.
Dengan cepat film Boston Beatdown Vol. II See The World
Through Our Eyes menjadi refrensi wajib untuk anak-anak di dalam
scene-scene hardcore lokal, yang bahkan sebagian besar berumur dibawah
18 tahun. Distorsi ada dalam bentuk tidak tersedianya terjemahan atau
subtitle dengan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, maka fokus film
ini akan jatuh pada citra kekerasan yang ditampilkan. Sedikit banyak film
Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes ini
mempengaruhi pemikiran dan tindakan dari anak-anak dalam scene
hardcore.
Pada tahun 2004, beberapa anggota Friend Stand United (FSU)
membuat film dokumenter berjudul Boston Beatdown Vol. II “See The
World Through Our Eyes” yang mendokumentasikan perilaku agresif,
gaya hidup dan wawancara langsung dengan beberapa anggota FSU
selama periode 1990-an. Dalam film tersebut diperlihatkan secara eksplisit
bagaimana cara mereka bersenang – senang dan mengekspresikan diri
dalam gigs (adalah istilah acara kolektif dalam musik underground), salah
satunya dengan moshing dan slamdancing. Adapun beberapa video yang
memperlihatkan seringnya mereka terlibat dalam perkelahian, secara
individu maupun berkelompok. Sebuah ideologi yang tertanam dibalik
gaya hidup dan perilaku agresif para anggota FSU yang tidak akan pernah
dimengerti oleh orang awam. Karena pada awalnya scene FSU ini adalah
komunitas heterogen yang bergerak melawan paham fasis yang saat itu
masih banyak terselip dalam beberapa genre musik seperti neo-nazi punk
2
dan white power. Menurut Theodor Adorno dalam homogenisasi musik
yang berorientasi sebatas komoditas dan hiburan, selalu masih ada
beberapa pihak yang menggunakan musik sebagai sesuatu yang lebih.
Adorno menyebutnya “Elitisme”. Adorno menerangkan elitisme disini
sebagai sebagian kecil dari mereka yang terpilih dan tercerahkan, dengan
cara melaksanakan praktek intelektual dan kultural dalam musik mereka,
dan bisa memisahkan diri dari aktivitas massa sehingga bisa melawan
kekuatan industri budaya, atau bisa disebut musik sebagai media
resistensi.
Perkembangan media membantu film ini menyebar sampai ke
Indonesia, khususnya mereka yang berada dalam komunitas – komunitas
serupa yang ada di berbagai kota bahkan Salatiga. Kebanyakan dari
mereka mengadopsi mentah – mentah apa yang terlihat di film tersebut
tanpa mengerti maksud dan pesan sebenarnya dibalik isi kekerasan yang
secara terang – terangan didokumentasikan dalam film ini, karena
beberapa distorsi yang terjadi seperti tidak tersedianya sub-title dalam film
dan tingkatan umur penonton yang rata – rata masih berstatus pelajar
sekolah.
Film sebagai salah satu jenis media massa yang menjadi saluran
berbagai macam gagasan, konsep, serta dapat memunculkan dampak dari
penayangannya. Ketika seseorang menonton sebuah film, maka pesan
yang tersirat secara eksplisit maupun implisit oleh film tersebut secara
tidak langsung akan berperan dalam pembentukan persepsi seseorang
terhadap
maksud
pesan
dalam
film.
Seorang
pembuat
film
merepresentasikan ide-ide yang kemudian dikonversikan dalam sistem
tanda dan lambang untuk mencapai efek yang diharapkan.
Cerita pada film tidak saja berupa refleksi dari realitas kehidupan
masyarakat yang dipindahkan ke dalam seluloid semata, film juga menjadi
media representasi dari kehidupan masyarakat. Dalam hal ini film
menghadirkan dan membentuk kembali realitas berdasarkan kode – kode,
3
konvensi – konvensi dan ideologi dari kebudayaan. Film sebagai sebuah
konsep representasi memiliki beberapa definisi fungsi, yaitu menunjuk,
baik pada proses maupun produksi pemaknaan suatu tanda. Representasi
juga menjadi penghubung makna dan bahasa dengan kultur. Lebih jauh
lagi, makna dikonstruksi oleh sistem representasi dan diproduksi melalui
sistem bahasa yang fenomenanya bukan hanya melalui ungkapan –
ungkapan verbal tapi juga visual. (Hall, 1997 : 68).
Elgin Nathan James adalah salah satu aktor utama pendiri FSU,
seorang ber-ras afro-amerika yang dibesarkan di lingkungan yang penuh
dengan alkoholik dan pemadat (ganja). Namun ironisnya James teguh
membentuk mental dan sikap untuk tidak mengkonsumsi zat-zat tersebut.
James juga menolak keyakinan pasif warisan dari orang tuanya (yang telah
mengikuti Martin Luther King Jr) dan mulai mempelajari tulisan-tulisan
Malcolm X, Stokley Carmichael dan Huey P. Newton, menggabungkan
pemikiran mereka dengan cita-cita punk yang agresif (Catalano, 2003 : 1416).
Pada
awal
periode
2000-an,
James
mendokumentasikan
perkembangan FSU di Boston pada periode 1990-an dalam beberapa film
dokumenter, dan salah satunya yang sangat terkenal adalah Boston
Beatdown Volume II. Bertajuk See The World Through Our Eyes, James
menunjukan bagaimana scene ini berjuang mempertahankan ideologi
mereka dengan cara mereka sendiri meskipun sedikit ekstrim.
Dalam film Boston Beatdown ini, musik tidak hanya sekedar musik
yang didengarkan untuk sebatas hiburan. Namun lebih dari itu, musik berrevolusi menjadi salah satu media sub-kultur urban yang di dalamnya
terdapat sebuah prinsip, gaya hidup, sikap, dan ideologi yang
dikonversikan ke dalam kehidupan nyata dari sudut pandang scene FSU di
Boston. Dari sini penulis tertarik untuk meneliti tentang pesan dan makna
sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Elgin James melalui media film
Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes.
4
Untuk memfokuskan penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi
penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan
dibahas pada kajian ini. Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas terarah,
penulis mengambil analisis wacana model Teun A. Van Dijk, yang
membagi secara teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas maka
rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II
“See The World Through Our Eyes” dilihat dari teks (struktur
makro, superstruktur, dan struktur mikro)?
2. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II
“See The World Through Our Eyes” dilihat dari sudut kognisi
sosial?
3. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II
“See The World Through Our Eyes” dilihat dari sudut konteks
sosial?
1.3 Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti bertujuan untuk :
1. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana
film dokumeneter Boston Beatdown Vol. II “See The World
Through Our Eyes” dilihat dari teks (struktur makro, superstruktur,
dan struktur mikro).
2. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana
film documenter Boston Beatdown Vol. II “See The World
Through Our Eyes” dilihat dari sudut kognisi sosial.
5
3. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana
film documenter Boston Beatdown Vol. II “See The World
Through Our Eyes” dilihat dari sudut konteks sosial.
1.4 Manfaat Penelitan
•
Manfaat Teoritis
1. Memberi gambaran bagaimana latar belakang maupun ideologi
yang mendasari gaya hidup scene FSU dalam film Boston
Beatdown Vol. II.
2. Memperkaya wawasan tentang sub-kultur urban di masyarakat.
3. Menjadi
landasan
dan
gambaran
penelitian
bagi
peneliti
selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang semiotika
film.
•
Manfaat Akademis
Peneliti diharapkan mampu mengembangkan ilmu komunikasi
berdasarkan teori komunikasi yang telah dipelajari dalam perkuliahan
sebelumnya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu
membalikan persepsi khalayak terhadap film dokumenter Boston
Beatdown Vol. II “See The World Through Our Eyes” sebagai sebuah
film yang tidak hanya mendokumentasikan tentang kekerasan.
•
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan terhadap
para khalayak yang aktif di scene hardcore lokal Salatiga dalam proses
penyaringan pesan dan makna yang diberikan oleh sebuah media.
6
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Genre musik hardcore adalah sebuah bentuk budaya tandingan
terhadap budaya mainstream yang tersedia di masyarakat, yang berada
dalam sebuah kancah alternatif dan menarik pengikutnya dengan hal-hal
yang dianggap memberontak. Mereka mendapat sebuah wadah yang
sama dimana keberadaan mereka dapat diterima.
Hardcore berkembang sebagai sebuah budaya tandingan atas
budaya dominan yang sedang berlangsung di Amerika pada pertengahan
dekade 80-an. Sebuah jawaban atas kematian musik punk di dalam
kancah musik alternatif, yang mengalami kemunduran karena dominasi
gelombang pop-elektronik saat itu. Lebih daripada warna musik yang
terkandung di dalamnya, genre ini muncul sangat bertepatan dengan
kebijakan-kebijakan politik luar negeri presiden Amerika Serikat saat itu,
yakni Ronald Reagan, terhadap permasalahan perang dingin dan perang
Irak yang pertama.
Genre musik metal, punk, maupun hardcore secara tegas mengakui
adalah sebuah bentuk counter-culture terhadap budaya mainstream yang
tersedia di masyarakat. Berada dalam sebuah kancah alternatif membuat
para pengikutnya tertarik dengan hal-hal yang dianggap “memberontak”.
Para pengikut kancah tersebut tidak merasa asing, dikarenakan perilaku
memberontak mereka mendapat sebuah wadah yang sama, dimana mereka
tidak merasa asing di dalamnya. Sejalan dengan apa yang dipaparkan,
punk,
metal,
maupun
hardcore
memiliki
sebuah
ideologi
“pemberontakan” yang identik dengan nafas genre masing-masing
(Robbyansyah, 2011 : 341).
Di Indonesia sendiri musik hardcore sudah mulai masuk sekitar
medio 1990-an, namun tidak terlalu terlihat karena berada dalam bayangan
musik metal yang lebih menjadi favorit saat itu. Sepuluh tahun kemudian
1
pada medio 2000-an, genre ini berkembang sangat luas di Jakarta,
Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, dan bahkan sampai ke Salatiga.
Di kota kecil seperti Salatiga pun, scene hardcore mulai terbentuk satupersatu hingga akhirnya menjadi hal yang sangat familiar terutama di
kalangan pelajar. Band-band dengan genre hardcore mulai mendominasi
panggung underground dan indie di Salatiga. Kaos band, jaket, dan topi
ber-atributkan hardcore, menjadi barang yang paling dicari oleh pelajar
SMP dan SMA.
Dengan cepat film Boston Beatdown Vol. II See The World
Through Our Eyes menjadi refrensi wajib untuk anak-anak di dalam
scene-scene hardcore lokal, yang bahkan sebagian besar berumur dibawah
18 tahun. Distorsi ada dalam bentuk tidak tersedianya terjemahan atau
subtitle dengan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, maka fokus film
ini akan jatuh pada citra kekerasan yang ditampilkan. Sedikit banyak film
Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes ini
mempengaruhi pemikiran dan tindakan dari anak-anak dalam scene
hardcore.
Pada tahun 2004, beberapa anggota Friend Stand United (FSU)
membuat film dokumenter berjudul Boston Beatdown Vol. II “See The
World Through Our Eyes” yang mendokumentasikan perilaku agresif,
gaya hidup dan wawancara langsung dengan beberapa anggota FSU
selama periode 1990-an. Dalam film tersebut diperlihatkan secara eksplisit
bagaimana cara mereka bersenang – senang dan mengekspresikan diri
dalam gigs (adalah istilah acara kolektif dalam musik underground), salah
satunya dengan moshing dan slamdancing. Adapun beberapa video yang
memperlihatkan seringnya mereka terlibat dalam perkelahian, secara
individu maupun berkelompok. Sebuah ideologi yang tertanam dibalik
gaya hidup dan perilaku agresif para anggota FSU yang tidak akan pernah
dimengerti oleh orang awam. Karena pada awalnya scene FSU ini adalah
komunitas heterogen yang bergerak melawan paham fasis yang saat itu
masih banyak terselip dalam beberapa genre musik seperti neo-nazi punk
2
dan white power. Menurut Theodor Adorno dalam homogenisasi musik
yang berorientasi sebatas komoditas dan hiburan, selalu masih ada
beberapa pihak yang menggunakan musik sebagai sesuatu yang lebih.
Adorno menyebutnya “Elitisme”. Adorno menerangkan elitisme disini
sebagai sebagian kecil dari mereka yang terpilih dan tercerahkan, dengan
cara melaksanakan praktek intelektual dan kultural dalam musik mereka,
dan bisa memisahkan diri dari aktivitas massa sehingga bisa melawan
kekuatan industri budaya, atau bisa disebut musik sebagai media
resistensi.
Perkembangan media membantu film ini menyebar sampai ke
Indonesia, khususnya mereka yang berada dalam komunitas – komunitas
serupa yang ada di berbagai kota bahkan Salatiga. Kebanyakan dari
mereka mengadopsi mentah – mentah apa yang terlihat di film tersebut
tanpa mengerti maksud dan pesan sebenarnya dibalik isi kekerasan yang
secara terang – terangan didokumentasikan dalam film ini, karena
beberapa distorsi yang terjadi seperti tidak tersedianya sub-title dalam film
dan tingkatan umur penonton yang rata – rata masih berstatus pelajar
sekolah.
Film sebagai salah satu jenis media massa yang menjadi saluran
berbagai macam gagasan, konsep, serta dapat memunculkan dampak dari
penayangannya. Ketika seseorang menonton sebuah film, maka pesan
yang tersirat secara eksplisit maupun implisit oleh film tersebut secara
tidak langsung akan berperan dalam pembentukan persepsi seseorang
terhadap
maksud
pesan
dalam
film.
Seorang
pembuat
film
merepresentasikan ide-ide yang kemudian dikonversikan dalam sistem
tanda dan lambang untuk mencapai efek yang diharapkan.
Cerita pada film tidak saja berupa refleksi dari realitas kehidupan
masyarakat yang dipindahkan ke dalam seluloid semata, film juga menjadi
media representasi dari kehidupan masyarakat. Dalam hal ini film
menghadirkan dan membentuk kembali realitas berdasarkan kode – kode,
3
konvensi – konvensi dan ideologi dari kebudayaan. Film sebagai sebuah
konsep representasi memiliki beberapa definisi fungsi, yaitu menunjuk,
baik pada proses maupun produksi pemaknaan suatu tanda. Representasi
juga menjadi penghubung makna dan bahasa dengan kultur. Lebih jauh
lagi, makna dikonstruksi oleh sistem representasi dan diproduksi melalui
sistem bahasa yang fenomenanya bukan hanya melalui ungkapan –
ungkapan verbal tapi juga visual. (Hall, 1997 : 68).
Elgin Nathan James adalah salah satu aktor utama pendiri FSU,
seorang ber-ras afro-amerika yang dibesarkan di lingkungan yang penuh
dengan alkoholik dan pemadat (ganja). Namun ironisnya James teguh
membentuk mental dan sikap untuk tidak mengkonsumsi zat-zat tersebut.
James juga menolak keyakinan pasif warisan dari orang tuanya (yang telah
mengikuti Martin Luther King Jr) dan mulai mempelajari tulisan-tulisan
Malcolm X, Stokley Carmichael dan Huey P. Newton, menggabungkan
pemikiran mereka dengan cita-cita punk yang agresif (Catalano, 2003 : 1416).
Pada
awal
periode
2000-an,
James
mendokumentasikan
perkembangan FSU di Boston pada periode 1990-an dalam beberapa film
dokumenter, dan salah satunya yang sangat terkenal adalah Boston
Beatdown Volume II. Bertajuk See The World Through Our Eyes, James
menunjukan bagaimana scene ini berjuang mempertahankan ideologi
mereka dengan cara mereka sendiri meskipun sedikit ekstrim.
Dalam film Boston Beatdown ini, musik tidak hanya sekedar musik
yang didengarkan untuk sebatas hiburan. Namun lebih dari itu, musik berrevolusi menjadi salah satu media sub-kultur urban yang di dalamnya
terdapat sebuah prinsip, gaya hidup, sikap, dan ideologi yang
dikonversikan ke dalam kehidupan nyata dari sudut pandang scene FSU di
Boston. Dari sini penulis tertarik untuk meneliti tentang pesan dan makna
sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Elgin James melalui media film
Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes.
4
Untuk memfokuskan penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi
penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan
dibahas pada kajian ini. Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas terarah,
penulis mengambil analisis wacana model Teun A. Van Dijk, yang
membagi secara teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas maka
rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II
“See The World Through Our Eyes” dilihat dari teks (struktur
makro, superstruktur, dan struktur mikro)?
2. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II
“See The World Through Our Eyes” dilihat dari sudut kognisi
sosial?
3. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II
“See The World Through Our Eyes” dilihat dari sudut konteks
sosial?
1.3 Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti bertujuan untuk :
1. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana
film dokumeneter Boston Beatdown Vol. II “See The World
Through Our Eyes” dilihat dari teks (struktur makro, superstruktur,
dan struktur mikro).
2. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana
film documenter Boston Beatdown Vol. II “See The World
Through Our Eyes” dilihat dari sudut kognisi sosial.
5
3. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana
film documenter Boston Beatdown Vol. II “See The World
Through Our Eyes” dilihat dari sudut konteks sosial.
1.4 Manfaat Penelitan
•
Manfaat Teoritis
1. Memberi gambaran bagaimana latar belakang maupun ideologi
yang mendasari gaya hidup scene FSU dalam film Boston
Beatdown Vol. II.
2. Memperkaya wawasan tentang sub-kultur urban di masyarakat.
3. Menjadi
landasan
dan
gambaran
penelitian
bagi
peneliti
selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang semiotika
film.
•
Manfaat Akademis
Peneliti diharapkan mampu mengembangkan ilmu komunikasi
berdasarkan teori komunikasi yang telah dipelajari dalam perkuliahan
sebelumnya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu
membalikan persepsi khalayak terhadap film dokumenter Boston
Beatdown Vol. II “See The World Through Our Eyes” sebagai sebuah
film yang tidak hanya mendokumentasikan tentang kekerasan.
•
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan terhadap
para khalayak yang aktif di scene hardcore lokal Salatiga dalam proses
penyaringan pesan dan makna yang diberikan oleh sebuah media.
6