Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Bunga Tinggi dan Asas Kepatutan Dalam Perjanjian Utang Piutang.

(1)

Universitas Kristen Maranatha

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENETAPAN BUNGA

TINGGI DAN ASAS KEPATUTAN DALAM PERJANJIAN

UTANG PIUTANG

ABSTRAK

Pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditunjang oleh ketersediaan dana. Namun tidak semua manusia memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah dengan perjanjian utang piutang. Perjanjian utang piutang yang dibuat secara tertulis merupakan upaya untuk terlaksanya pemenuhan prestasi dan mencegah terjadinya wanprestasi. Perjanjian utang piutang dapat disertai penetapan bunga. Penetapan bunga tinggi memberatkan debitur yang mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman pokok berikut dengan bunganya. Sehingga dalam pelaksanaannya seringkali debitur tidak dapat memenuhi apa yang telah disepakatinya dalam perjanjian utang piutang. Kebutuhan masyarakat akan uang tunai yang mendesak, menjadikan masyarakat memilih untuk meminjam uang pada pihak yang memiliki dana lebih meskipun harus menyepakati penetapan bunga tinggi yang dilakukan oleh kreditur. Maka pelaksanaanya debitur tidak dapat memenuhi isi perjanjian yang telah disepakatinya dan menimbulkan permasalahan.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan pendekatan yuridis normatif, yang mana penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Dalam hal ini bahan pustaka merupakan data dasar penelitian yang digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder penelitian ini, mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan perjanjian dan peraturan yang mengatur mengenai penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang. Bahan hukum sekunder merupakan bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer terdiri atas penjelasan undang-undang yang terkait. Bahan hukum tertier merupakan bahan penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dengan metode yuridis normatif dapat diketahui penetapan bunga tinggi dan asas kepatutan dalam perjanjian utang piutang. Yang mana penetapan bunga tinggi bertentangan dengan asas kepatutan. Bertentangannya bunga tinggi dengan asas kepatutan dalam perjanjian utang piutang bertentangan pula dengan syarat sah perjanjian keempat yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Serta dapat diketahui pertanggungjawaban debitur atas bunga yang tidak dibayarkan kepada kreditur dalam perjanjian utang piutang.

Penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang berdasarkan asas kepatutan adalah merupakan hal yang tidak patut dan tidak layak karena bunga yang patut adalah bunga yang layak, dapat diterima banyak masyarakat dan memenuhi rasa keadilan. Penetapan bunga yang patut dan layak dapat terlihat pada bunga yang ditetapkan oleh bank terutama bank pemerintah. Akibat hukum penetapan bunga yang lebih tinggi dari bunga lembaga keuangan bank dalam perjanjian utang piutang tidak memiliki sebab yang halal, hal tersebut bertentangan dengan syarat sah perjanjian keempat yang diatur yakni, kausa yang halal. Konsekuensinya perjanjian yang telah dibuat akan menjadi batal demi hukum. Bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang adalah debitur tetap harus membayar bunga dan kreditur dapat memperoleh haknya yang berupa bunga melalui gugatan kepada pengadilan dengan mendasar kepada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.


(2)

JURIDICAL REVIEW OF HIGH INTEREST

DETERMINATION AND APPROPRIATENESS PRINCIPLE

REFERS TO DEBT CONTRACT

ABSTRACT

The fulfillment of human needs can be supported by the availability of funds. But not all people have enough money to make ends meet. One of many efforts that can be done to meet the needs of human is through agreement of debts. Written debt agreement is an attempt to reach achievements and prevent default. The agreement can be followed by the establishment of debt interest. Determination of high interest can be a burden for a debtor with the obligation to repay the principal loan along with its interest. Thus, in the implementation many debtor can not fulfill what has been agreed in the agreement of debts. The urgent need of cash money makes people choose to borrow them from the side that has more money, eventhough they have to agree to set interest rates above the prevailing rates by creditors. As a result, the debtor can not fulfill the agreement that has been agreed and cause many problems.

The writing method used by the writer is a normative juridical approach, since this research is the study of literature. In this case, the library materials is a basic data of the research or can be classified as secondary data. The secondary data of this research including primary legal materials, legal materials and tertiary legal materials. Primary legal materials include the legislation relating to treaties issues and the determination regulations of interest rates in the debt contracts. Secondary legal materials are library materials that contain information about the primary material related legislation explanations. Tertiary legal materials are supporting materials that provide guidance to the primary and secondary legal materials. Through the normative juridicial approach, the high interest rate determination in debt agreement can be clearly known and settled, that high-interest determination contrary to the appropriateness principle. The high interest determination is also contrary to the fourth legal requirement that set in Article 1320 of the Civil Code. The normative method can be used as well to determine debitors responsibility if they cannot pay the interest to the creditor in the debt agreement according to the real case.

The high interest determination in debt agreement based on the appropriateness principle is inappropriate and improper. It is because the proper interest rate should be feasible and acceptable to a lot of people in a sense of fairness. As an example, the proper interest determination can be seen on the rate set by the banks, especially state banks. The agreement of high interest determination has no legal reason due to the higher interest arrangement than a interest that set by financial institutions. It is contrary to the legal requirement of the fourth agreements under Article 1320 ie, the legal movement. As a consequence, the agreements that have been made will be null and void. Form of debitors responsibility of non-payment high interest debts specified in the agreement, stated that a debtor must pay interest. Otherwise a creditor can obtain his rights in the form of interest through the court based on agreement that has been made before.


(3)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……… i

Halaman Pernyataan Keaslian………... ii

Halaman Persetujuan Skripsi………. iii

Halaman Pengesahan Pembimbing………. iv

Halaman Persetujuan PanitiaSidang………. v

Abstrak………... vi

Abstract……….. vii

Kata Pengantar………... viii

Daftar Isi……… x

BAB I PENDAHULUAN……….… 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Dan Identifikasi Masalah... 5

C. Tujuan Dan Sasaran…………... 6

D. Kegunaan Penelitian..………..…..……...………. 6

E. Kerangka Pemikiran………. 7

F. Metode Penelitian……… 13

G. Sistematika Penulisan……….. 16

BAB II PERJANJIAN DAN UNDANG-UNDANG SEBAGAI SUMBER PERIKATAN PARA PIHAK………. 19


(4)

1. Pengertian Perikatan……… 19

2. Subjek Perikatan……….. 21

3. Objek Perikatan………... 22

B. Sumber-Sumber Perikatan………. 24

1. Perikatan yang Terjadi Karena Persetujuan Atau Perjanjian………. 26

a. Pengertian Perjanjian………. 26

b. Subjek Perjanjian………... 27

c. Objek Perjanjian……… 29

d. Syarat Perjanjian……… 30

e. Asas Perjanjian……….. 36

f. Jenis-Jenis Perjanjian………. 40

g. Akibat-Akibat Perjanjian………... 43

h. Wanprestasi………... 45

2. Perikatan yang Terjadi Karena Undang-Undang………. 46

a. Zaakwaarneming……….. 48

b. Pembayaran yang Tidak Terhutang………... 50

c. Perikatan Alam……….. 51

d. Perbuatan Melawan hukum………... 53

C. Jenis Perikatan……….. 56

D. Hapusnya Perikatan………... 59

BAB III PENETAPAN BUNGA DALAM PERJANJIAN UTANG PIUTANG……… 64


(5)

Universitas Kristen Maranatha

A. Pengaturan Bunga Dalam Hukum Positif Indonesia……… 64

1. Pengertian Bunga Pada Umumnya……… 64

2. Bunga Dalam Perjanjian Utang Piutang Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata………... 67

a. Bunga Moratoir……… 67

b. Bunga Konvensional……… 72

c. Bunga Kompensatoir……… 73

d. Bunga Berbunga………... 74

B. Pengaturan Bunga Dalam Aktivitas Perbankan Berdasarkan Regulasi Bank Indonesia………. 75

C. Penetapan Bunga Dalam Perjanjian Utang Piutang Diatas Suku Bunga Yang Berlaku………... 79

BAB IV PENETAPAN BUNGA TINGGI DALAM PERJANJIAN UTANG PIUTANG DAN ASAS KEPATUTAN……….. 87

A. Perjanjian Utang Piutang Yang Menetapkan Bunga Tinggi Berdasarkan Asas Kepatutan……….. 87

B. Akibat Hukum Terhadap Penetapan Bunga Tinggi Bagi Perjanjian Utang Piutang……… 91

1. Syarat Sahnya Perjanjian Utang Piutang……….. 92

2. Akibat Hukum Atas Perjanjian Utang Piutang Karena Penetapan Bunga Tinggi………... 96 C. Pertanggungjawaban Debitur Terhadap Kreditur Atas Tidak


(6)

Piutang……… 105

1. Konsep Dan Perkembangan Pertanggungjawaban Perdata Dalam Sistem Hukum Indonesia……….…. 105

2. Pertanggungjawaban Debitur Kepada Kreditur Dalam Perjanjian Utang Piutang Atas Tidak Dibayarkannya Bunga Diatas Suku Bunga Yang Berlaku………. 110 BAB V PENUTUP……… 115

A. Simpulan………. 115

B. Saran……… 117

DAFTAR PUSTAKA……… 119


(7)

Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki naluri self preservasi yaitu naluri untuk mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu berhadapan dengan berbagai bahaya yang mengancam eksistensi manusia. Bahaya yang mengancam eksistensi manusia meliputi bahaya yang timbul dari dalam diri manusia sendiri maupun bahaya yang berasal dari luar diri manusia.1 Dengan adanya naluri self preservasi di dalam diri manusia maka setiap manusia akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya.

Segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk dapat mempertahankan eksistensinya disebut kebutuhan. Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki 5 lima macam kebutuhan yang ingin dipenuhi, yaitu kebutuhan fisik dan biologis, kebutuhan akan keamanan dan jaminan hidup, kebutuhan sosial dan bergabung dengan kelompok, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan pemenuhan dan pencapaian diri.2

Pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditunjang oleh ketersediaan dana. Namun tidak semua manusia memiliki dana yang

1

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pembangunan, 1984, hlm. 20.

2 A. Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 17.


(8)

cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah dengan meminjam uang dari pihak yang memiliki dana lebih. Terjadinya peristiwa meminjam uang dari pihak lain dengan syarat mengembalikannya kembali dikemudian hari disebut utang piutang. Utang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia utang piutang adalah uang yang dipinjamkan dari orang lain dan yang dipinjamkan kepada orang lain.3

Bank merupakan salah satu lembaga yang memberikan jasa peminjaman uang yang biasa dikenal dengan kredit. Kredit yang diberikan oleh bank memuat persyaratan-persyaratan yang harus ditaati oleh peminjam atau nasabah. Dalam memberikan kredit bank akan menetapkan bunga sebagai keuntungan yang dapat diperolehnya dari peminjam atau nasabah. Bunga yang ditetapkan setiap bank, baik kredit maupun deposito diawasi oleh Bank Indonesia. Jadi setiap bunga yang ditetapkan setiap bank tidak terlampau jauh satu sama lain.

Selain bank, orang perorangan juga dapat memberikan pinjaman kepada setiap orang. Peminjam yang disebut debitur sedangkan pihak yang meminjamkan disebut kreditur menuangkan kesepakatan diantara mereka dalam bentuk perjanjian. Perjanjian dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Para pihak dalam perjanjian utang-piutang yang dibuat secara tertulis

3


(9)

Universitas Kristen Maranatha

dapat menentukan perjanjian tersebut dibuat secara dibawah tangan, atau dibuat dihadapan pejabat berwenang yakni, notaris.

Perjanjian yang dibuat secara tertulis akan lebih mudah untuk dipergunakan sebagai alat bukti apabila dikemudian hari ada terjadi permasalahan diantara para pihak yang membuat perjanjian. Didalam Hukum Perdata bukti tertulis merupakan bukti yang kuat, dengan dituangkannya perjanjian ke dalam bentuk tertulis maka masing-masing pihak akan mendapat kepastian hukum atas perjanjian yang dibuatnya.

Perjanjian yang dibuat secara tertulis juga merupakan upaya kepastian dalam pemenuhan prestasi diantara para pihak yang membuat perjanjian. Namun dalam kenyataannya, sering kali terjadi kegagalan dalam pelaksanaan perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak meskipun telah dibuat perjanjian secara tertulis. Misalnya dalam perjanjian utang piutang yang dibuat secara tertulis, wanprestasi perjanjian utang piutang biasanya berupa tidak dibayarkannya utang yang seharusnya dibayarkan oleh debitur.

Para pihak dalam perjanjian utang piutang dapat pula menetapkan kesepakatan mengenai bunga. Bunga yang telah disepakati wajib dibayarkan besama dengan utang pokok yang sebelumnya telah disepakati. Bunga merupakan keuntungan yang dapat diperoleh dari utang piutang. Sama halnya dengan bank yang menerima bunga dari pemberian kredit kepada peminjam atau nasabah. Bank yang merupakan lembaga


(10)

resmi pemberian jasa kredit telah menentukan bunga yang ditetapkan dan ini berlaku bagi masyarakat yang akan meminjam uang kepada bank. Sedangkan perjanjian utang piutang yang dibuat para pihak menentukan besarnya bunga sesuai kesepakatan para pihak.

Seperti kasus yang ditangani oleh kantor hukum X berikut ini. Kreditur meminjamkan uang kepada debitur sebesar Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan bunga 2% setiap bulan. Mereka membuat akta perjanjian pengakuan utang di hadapan seorang notaris. Kedua belah pihak telah menyepakati isi perjanjian tersebut termasuk kewajiban debitur membayar bunga sebesar 2% setiap bulannya. Merekapun sepakat untuk menggunakan hak tanggungan sebagai jaminan atas utang debitur. Ternyata karena suatu alasan tertentu debitur tidak dapat membayar utangnya secara lunas berikut dengan bunganya. Debitur menitipkan sejumlah nilai hak tanggungan kepada pengadilan sebelum lelang eksekusi terhadap objek hak tanggungan dilangsungkan. Kreditur yang merasa dirugikan atas bunga yang tidak dibayarkan oleh debitur mengajukan gugatan ke pengadilan.

Penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang biasa diatas suku bunga yang biasa berlaku dalam kredit bank merupakan hal yang memberatkan debitur yang mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman pokok berikut dengan bunganya. Sehingga dalam pelaksanaannya seringkali debitur tidak dapat memenuhi apa yang telah disepakatinya dalam perjanjian utang piutang tersebut.


(11)

Universitas Kristen Maranatha

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa wanprestasi terhadap perjanjian yang dibuat secara tertulis masih dapat terjadi, disamping itu pula penetapan bunga diatas suku bunga yang biasa berlaku dalam kredit bank masih tetap ada dalam masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan uang tunai yang mendesak, menjadikan masyarakat memilih untuk meminjam uang pada pihak yang memiliki dana lebih meskipun harus menyepakati penetapan bunga tinggi yang dilakukan oleh kreditur, sehingga dalam pelaksanaanya debitur tidak dapat memenuhi isi perjanjian yang telah disepakatinya. Untuk itu penulis tertarik meneliti permasalahan ini dalam skripsi yang berjudul

TINJAUAN

YURIDIS TERHADAP PENETAPAN BUNGA TINGGI

DAN

ASAS

KEPATUTAN

DALAM

PERJANJIAN

UTANG PIUTANG

B. Rumusan dan Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian Latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

“Bagaimana penetapan bunga tinggi dan akibat hukumnya bagi perjanjian utang piutang, serta bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi dikaitkan dengan asas kepatutan?”


(12)

Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Apakah perjanjian utang piutang yang menetapkan bunga tinggi bertentangan dengan asas kepatutan?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap penetapan bunga tinggi bagi perjanjian utang piutang?

3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban debitur terhadap kreditur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang?

C. Tujuan dan Sasaran

1. Menggambarkan dan menganalisis perjanjian utang piutang yang menetapkan bunga tinggi berdasarkan asas kepatutan.

2. Menggambarkan dan menganalisis akibat hukum terhadap penetapan bunga tinggi bagi perjanjian utang piutang.

3. Menggambarkan dan menganalisis bentuk pertanggungjawaban debitur terhadap kreditur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis:

a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum perjanjian.


(13)

Universitas Kristen Maranatha

b. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai hukum perjanjian khususnya perjanjian utang piutang yang menetapkan bunga tinggi dalam rangka mewujudkan keadilan.

2. Kegunaan Praktis:

a. Memberikan masukan kepada para praktisi hukum sebagai pelaksana penegakan hukum dalam menyelesaikan masalah utang piutang berkaitan dengan penetapan bunga suatu utang.

b. Memberikan masukan kepada kalangan akademisi, peneliti, dan masyarakat mengenai penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk membentuk peraturan-perundang-undang yang dapat memberikan perlindungan hak kepada para pihak dalam perjanjian utang piutang berkaitan dengan penetapan bunga.

E. Kerangka Pemikiran

Manusia dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan manusia lainnya karena manusia adalah makhluk sosial sebagaimana yang dinyatakan oleh Aristoteles yaitu bahwa manusia adalah zoon politicon. Manusia sebagai makhluk sosial dimana manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu mereka selalu berinteraksi


(14)

satu sama lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya interaksi antara manusia interaksi manusia diwujudkan melalui kesepakatan. Kesepakatan yang dilakukan dapat berupa kesepakatan lisan maupun tulisan. Tidak sedikit manusia melakukan kesepakatan lisan tetapi banyak pula yang melakukan kesepakatan dalam bentuk tertulis. Kesepakatan dalam bentuk tertulis dikenal dengan nama perjanjian. Perjanjian ini merupakan salah satu sumber perikatan. Perjanjian dalam rangka meminjam uang disebut perjanjian utang piutang. pihak yang berpiutang disebut kreditur sedangkan pihak yang berutang disebut debitur.

Setiap debitur mempunyai kewajiban memenuhi prestasi kepada kreditur. Karena itu debitur mempuanyai kewajiban untuk membayar utang. Dalam istilah asing kewajiban itu disebut schuld. Disamping schuld debitur juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu haftung. Maksudnya ialah bahwa debitur itu berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak utang debitur, guna pelunasan utang tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut.4

Melalui perjanjian itu para pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dalam hal ini kita mengetahui ajaran Hugo De Groot yang mengemukakan

4 Mariam darus badrulzaman (et.a.l), Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 9.


(15)

Universitas Kristen Maranatha

bahwa Asas Hukum Alam menentukan janji itu mengikat (pacta sunt

servanda).5

Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan selain undang-undang. Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya.

Menurut R. Subekti Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang/dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.6

Menurut M. Yahya Harahap:7

“Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pihak lain untuk menunaikan prestasi.”

Perjanjian yang sah merupakan perjanjian yang memenuhi syarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal yang 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:

(1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

5 Ibid. hlm. 9.

6 Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta: Internasa,1987, hlm.1. 7


(16)

(2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu;

(4) suatu sebab yang tidak terlarang

Syarat pertama dan syarat kedua disebut syarat subjektif karena mengenai subjek perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek perikatan.8 Kedua syarat ini mempunyai akibat masing-masing. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka akibat hukumnya adalah perjanjian dapat dibatalkan tetapi sedangkan syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.

Adapun asas-asas fundamental yang melingkupi hukum perjanjian adalah:

1. Asas Konsesualisme adalah bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka.

2. Asas kekuatan mengikat perjanjian adalah bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat.

3. Asas kebebasan berkontak adalah bahwa para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjin dengan ketentuan bahwa perjanjian

8 Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan Dan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996, hlm. 98.


(17)

Universitas Kristen Maranatha

tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum maupun kesusilan.9

Kedua pihak bebas menentukan isi perjanjian sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

“ Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang namanya tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat haruslah sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata karena perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.10

Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak untuk mencapai kata sepakat dalam perjanjian yakni bahasa yang sempurna secara lisan maupun tulisan. Tujuan pembuatan secara tertulis

9 Herlin Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 95.

10


(18)

adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna dikala timbul sengketa dikemudian hari.11

Perjanjian yang tertuang dalam akta notariil isinya merupakan hasil kesepakatan yang dibuat oleh para pihak bersangkutan. Para pihak secara bebas dapat menentukan apa yang akan diatur dalam perjanjian itu. Akhirya perjanjian yang dibuat akan mengikat bagi mereka yang membuatnya. Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.12

Begitu pula perjanjian utang piutang, perjanjiannya dapat dibuat dengan kesepakatan para pihak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam perjanjian utang piutang, pihak yang mempunyai piutang biasa disebut kreditur, sedangkan pihak yang berutang disebut debitur.

Perjanjian utang piutang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian pinjam meminjam yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.

Utang piutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain dan yang dipinjamkan kepada orang lain.13 Perjanjian utang piutang mengatur hak dan kewajiban debitur dan kreditur. Hal terpenting dalam perjanjian utang

11

Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 31.

12 Pasal 1337, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 13


(19)

Universitas Kristen Maranatha

piutang adalah pencantuman jumlah uang yang dipinjam, cara pembayaran utang, tanggal pembayaran utang tersebut dan besarnya bunga bila diperjanjikan. Bunga dalam perjanjian utang piutang adalah keuntungan yang diharapkan yang tidak diperoleh kreditur.14

Prestasi debitur dalam perjanjian utang piutang adalah membayar utang pokok berikut bunganya kepada kreditur. Apabila prestasi tidak dipenuhi disebut wanprestasi. Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, undang-undang menetapkan kewajiban orang itu untuk mengganti rugi. Dengan menetapkan kewajiban memberi ganti rugi antara orang yang melakukan perbuatan melawan hukum kepada orang yang menderita kerugian karena perbuatan itu, maka timbul suatu perikatan diluar kemauan kedua orang tersebut.

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan meneliti pada data sekunder bidang hukum yang ada sebagai data kepustakaan dengan menggunakan metode berpikir deduktif. Pada penelitian hukum normatif hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupaka patokan berprilaku manusia yang

14


(20)

dianggap pantas.15 Tradisi dalam suatu penelitian normatif adalah memperbolehkan penggunaan analisis ilmiah ilmu-ilmu lain untuk menjelaskan fakta-fakta hukum yang diteliti dengan cara kerja ilmiah yang ajeg serta cara berpikir yuridis mengolah hasil berbagai disiplin ilmu terkait untuk kepentingan analisis bahan hukum, namun tidak mengubah karakter khas ilmu hukum sebagai ilmu normatif.16

1. Sifat penelitian

Sifat penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis,yaitu menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan penetepan bunga dalam perjanjian utang piutang.

2. Pendekatan Penelitian

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian undang-undang. Dalam hal ini dilakukan telaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dikaji.17

3. Jenis data

Sumber data dari penelitian ini diperoleh dengan cara menggunakan data sekunder.

4. Teknik pengumpulan data dan Analisis data a. Teknik Pengumpulan data

15 Amirudin, H. Zainal Asikin, Penganar Metode Penlitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hlm.118.

16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2011, hlm. 269.

17


(21)

Universitas Kristen Maranatha

Data sekunder diperoleh dengan cara sebagi berikut:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat

outoritatif artinya mempunyai otorisasi.18 Bahan hukum primer ini mencakup peraturan perundangan antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan yurisprudensi Makhamah Agung.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.19 Bahan hukum sekunder ini mencangkup literature mengenai Hukum perikatan, perjanjian dan karya tulis hukum khususnya mengenai perjanjian, serta jurnal ilmu hukum khusunya yang berkaitan dengan perikatan.

3) Bahan Hukum tersier atau bahan hukum penunjang bahan-bahan primer dan sekunder anatara lain ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Black’s Law.

b. Teknik analisis data

18 Ibid.,. hlm. 142.

19


(22)

Data diperoleh dari berbagai sumber. Data yang diperoleh keseluruhannya dikumpulkan baik berupa buku, literatur, makalah ataupun jurnal. Setelah data dikumpulkan, digunakan metode deduktif untuk menganalisis data kepustakaan yang telah diperoleh. Dengan menggunakan metode deduktif ini dapat diketahui bagaimana pertanggung jawaban debitur atas tidak dibayarkan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah: BAB I PENDAHULUAN

Bab I ini akan membahas mengenai latar belakang masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan penelitian, Kerangka pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM PERIKATAN

Bab II ini akan membahas mengenai perikatan pada umumnya, pengertian perikatan, pengaturan hukum perikatan, sumber-sumber perikatan, perjanjian, syarat perjanjian, pelaksanaan perjanjian, asas-asas perjanjian, syarat-syarat perjanjian, macam-macam perikatan, wanprestasi dan akibatnya, penggantian kerugian, pembantalan perjanjian, hapusnya perikatan,


(23)

Universitas Kristen Maranatha

penggantian kerugian meliputi biaya dan bunga serta Perbuatan melawan hukum.

BAB III PENETAPAN BUNGA DALAM PERJANJIAN UTANG PIUTANG

Bab III ini akan memaparkan Perjanjian Utang Piutang Dalam Hukum Positif Indonesia, Pengaturan Bunga Dalam Perjanjian Utang Piutang Memurut Hukum Positif Indonesia, Pengaturan Bunga Dalam Aktivitas Bisnis Bank, Penetapan Bunga Dalam Perjanjian Utang Piutang

BAB IV PEMBAHASAN

Bab IV akan dijelaskan konseksuensi hukum penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan akan dijelaskan pula bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi

BAB V PENUTUP

Bab V ini akan memaparkan kesimpulan atas pembahasan telah dikasi dan memberikan saran bagi permasalahan yang terjadi dan memberikan masukan kepada para pihak yang berkompeten dalam bidang hukum khusunya dalam hukum perjanjian.


(24)

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang berdasarkan asas kepatutan adalah merupakan hal yang tidak patut dan tidak layak. Walaupun bunga yang diperjanjikan diperbolehkan melebihi bunga yang diatur oleh undang-undang dengan syarat tidak bertentangaan dengan undang-undang dan belum terdapat pengaturan lebih lanjut mengenai bunga, tetapi bunga yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang tidak boleh memberatkan debitur. Bunga yang tinggi adalah memberatkan debitur. Hal tersebut dikerenakan bunga yang patut adalah bunga yang layak, dapat diterima banyak masyarakat dan memenuhi rasa keadilan. Penetapan bunga yang patut dan layak dapat terlihat pada bunga yang ditetapkan oleh bank terutama bank pemerintah. Karena bank menetapkan bunga berdasarkan perkembangan perekonomian yang terjadi, sesuai dengan kemampuan masyarakat serta bunga yang ditetapkan bank selalu diawasi oleh Bank Indonesia, terutama bank pemerintah selain diawasi Bank Indonesia, bank pemerintah pun diawasi oleh pemerintah sendiri karena bank tersebut milik pemerintah.


(25)

Universitas Kristen Maranatha

2. Akibat hukum penetapan bunga yang lebih tinggi dari bunga lembaga keuangan bank dalam perjanjian utang piutang tidak memiliki sebab yang halal. Maka bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian uatang piutang adalah memberatkan debitur dan bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum sesuai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dianyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dan penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang tidaklah sesuai dengan kepatutan dan kebiasaan. Sedangkan bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang bertentangan dengan kepatutan. Oleh karena itu, penetapan bunga tinggi dalam perjanjian utang piutang bertentangan dengan syarat sah perjanjian keempat yang diatur dalam Pasal 1320 yakni, kausa yang halal. Konsekuensinya perjanjian yang telah dibuat akan menjadi batal demi hukum dengan kata lain perjanjian tidak berkekuatan dan dianggap tidak pernah ada.

3. Bentuk pertanggungjawaban debitur atas tidak dibayarkannya bunga tinggi yang ditetapkan dalam perjanjian utang piutang adalah debitur tetap harus membayar bunga. Sebab kreditur telah memberi kenikmatan berupa sejumlah uang yang dapat dipergunakan oleh


(26)

debitur. Kreditur juga berhak atas keuntungan setelah memenuhi prestasi berupa menyerahkan uang sebagai kenikmatan bagi kreditur. Keuntungan yang seharusnya didapatkan kreditur dari utang piutang adalah melalui bunga. Bunga yang dipenuhi pun haruslah bunga yang wajar. Kreditur dapat memperoleh haknya yang berupa bunga melalui gugatan kepada pengadilan dengan mendasar kepada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Yang mana kreditur mengalami kerugian atas tidak terpenuhi haknya dalam memperoleh bunga yang seharusnya didapatkan dari perjanjian utang piutang yang sebelumnya pernah ada. Dari gugatan dan proses acaranya hakim harus menilai besarnya bunga yang ditetapkan dalam perjanjian dan besarnya bunga yang seharusnya dibayarkan debitur kepada kreditur. Seperti Yurisprudensi M.A. tanggal 30-6-1970 No. 755 K/Sip/1970 yang menyatakan bahwa menurut peraturan (Woeker ordonantie S. 1938-524), apabila pengadilan menganggap bunga atas suatu pinjaman uang terlampau besar, Pengadilan Karena Jabatan dapat meringankan bunga tersebut.

B. SARAN

1. Sebaiknya adanya pembentukan perundang-undangan mengenai penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang selalu dapat disesuaikan dengan bunga yang berlaku pada bank. Karena bank menentukan bunga berdasarkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi secara signifikan.


(27)

Universitas Kristen Maranatha

2. Sebaiknya praktisi hukum dan masyarakat lebih memperhatikan bunga yang berlaku pada saat membuat perjanjian utang piutang. Ini upaya agar perjanjian utang piutang yang dibuat tidak bertentangan kepatutan dan dengan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan syarat sah perjanjian.


(28)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU:

Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1465 BW, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Amirudin Dan H. Zainal Asikin, Penganar Metode Penlitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

A.Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika Dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diapit Media, 2002.

Gr. Van Der Burght ,Buku Tentang Perikatan, Bandung Mandar Maju, 1999.

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Hapusnya Perikata, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.

H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2010.

Herlin Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Bandung: Alumni, 1999.

J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung: Refika Aditama, 2004.


(29)

Universitas Kristen Maranatha

Johannes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) Dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit, Bandung: Utomo, 2003.

Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2011.

Komar Andasasmita, Notaris Ii, Bandung: Sumur Bandung, 1982.

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986.

M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982.

Mariam Darus Badrulzaman Dkk, Kompilasi Hukum Periatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku Iii Hukum Perikatan Dan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996.

Mariam Darus Bdrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005.

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta: 2010.. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra Abardin,

1999

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1979

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998,

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979.

R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000.


(30)

R.M. Suryodiningrat. Azas-Azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1995.

Salim, Hs, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Bandung:Mandar Maju, 2000. Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta:

Pembangunan, 1984,

Thomas Suyatno, H.A. Chalik, Made Sukada, Tinon Yunianti Ananda, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: Gramedia Putaka Utama, 1999.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan yurisprudensi Makhamah Agung.

C. KAMUS:

Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. St. Paul Minn: West Publishing Co, 1990.


(31)

Universitas Kristen Maranatha D. INTERNET:

Arti kata patut, (http://www.artikata.com/arti-344049-patut.html ), 1 Januari 2013.

Dodik Setiawan Nur Heriyanto, Asas – Asas Kontrak Secara Umum,

(http://dodiksetiawan.wordpress.com/2011/02/04/asas-asas-kontrak-secara-umum/), 1 Januari 2013.

KBBI Online, (http://KBBI.web.id/index.php?w=utang), 4 Oktober 2012.

(http://wwwgooglecommh.blogspot.com/2010/10/bab4hukum-perikatan.html), 7 November 2012.

http://h3r1y4d1.wordpress.com/2012/04/05/peranan-perbankan-dan-perekonomian-indonesia/,


(1)

Universitas Kristen Maranatha debitur. Kreditur juga berhak atas keuntungan setelah memenuhi prestasi berupa menyerahkan uang sebagai kenikmatan bagi kreditur. Keuntungan yang seharusnya didapatkan kreditur dari utang piutang adalah melalui bunga. Bunga yang dipenuhi pun haruslah bunga yang wajar. Kreditur dapat memperoleh haknya yang berupa bunga melalui gugatan kepada pengadilan dengan mendasar kepada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Yang mana kreditur mengalami kerugian atas tidak terpenuhi haknya dalam memperoleh bunga yang seharusnya didapatkan dari perjanjian utang piutang yang sebelumnya pernah ada. Dari gugatan dan proses acaranya hakim harus menilai besarnya bunga yang ditetapkan dalam perjanjian dan besarnya bunga yang seharusnya dibayarkan debitur kepada kreditur. Seperti Yurisprudensi M.A. tanggal 30-6-1970 No. 755 K/Sip/1970 yang menyatakan bahwa menurut peraturan (Woeker ordonantie S. 1938-524), apabila pengadilan menganggap bunga atas suatu pinjaman uang terlampau besar, Pengadilan Karena Jabatan dapat meringankan bunga tersebut.

B. SARAN

1. Sebaiknya adanya pembentukan perundang-undangan mengenai penetapan bunga dalam perjanjian utang piutang selalu dapat disesuaikan dengan bunga yang berlaku pada bank. Karena bank menentukan bunga berdasarkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi secara signifikan.


(2)

Universitas Kristen Maranatha 2. Sebaiknya praktisi hukum dan masyarakat lebih memperhatikan bunga yang berlaku pada saat membuat perjanjian utang piutang. Ini upaya agar perjanjian utang piutang yang dibuat tidak bertentangan kepatutan dan dengan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan syarat sah perjanjian.


(3)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU:

Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1465 BW, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Amirudin Dan H. Zainal Asikin, Penganar Metode Penlitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

A.Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika Dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diapit Media, 2002.

Gr. Van Der Burght ,Buku Tentang Perikatan, Bandung Mandar Maju, 1999.

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Hapusnya Perikata, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.

H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2010.

Herlin Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Bandung: Alumni, 1999.

J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung: Refika Aditama, 2004.


(4)

Universitas Kristen Maranatha Johannes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) Dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit, Bandung: Utomo, 2003.

Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2011.

Komar Andasasmita, Notaris Ii, Bandung: Sumur Bandung, 1982.

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986.

M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982.

Mariam Darus Badrulzaman Dkk, Kompilasi Hukum Periatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku Iii Hukum Perikatan Dan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996.

Mariam Darus Bdrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005.

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta: 2010.. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra Abardin,

1999

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1979

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998,

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979.

R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000.


(5)

Universitas Kristen Maranatha R.M. Suryodiningrat. Azas-Azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito,

1995.

Salim, Hs, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Bandung:Mandar Maju, 2000. Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta:

Pembangunan, 1984,

Thomas Suyatno, H.A. Chalik, Made Sukada, Tinon Yunianti Ananda, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: Gramedia Putaka Utama, 1999.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dan yurisprudensi Makhamah Agung.

C. KAMUS:

Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. St. Paul Minn: West Publishing Co, 1990.


(6)

Universitas Kristen Maranatha D. INTERNET:

Arti kata patut, (http://www.artikata.com/arti-344049-patut.html ), 1 Januari 2013.

Dodik Setiawan Nur Heriyanto, Asas – Asas Kontrak Secara Umum,

(http://dodiksetiawan.wordpress.com/2011/02/04/asas-asas-kontrak-secara-umum/), 1 Januari 2013.

KBBI Online, (http://KBBI.web.id/index.php?w=utang), 4 Oktober 2012.

(http://wwwgooglecommh.blogspot.com/2010/10/bab4hukum-perikatan.html), 7 November 2012.

http://h3r1y4d1.wordpress.com/2012/04/05/peranan-perbankan-dan-perekonomian-indonesia/,