Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Koping Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga T1 462012070 BAB IV

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Setting Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Menara Kasih (PSMK) Salatiga. PSMK berada di Jl. Langen Rejo 326 Rt. 07 /Rw. 02 Gendongan, Salatiga. PSMK merupakan panti yang merupakan tempat perawatan lansia dengan hambatan mobilitas fisik, kelumpuhan dan tirah baring yang diakibatkan oleh kemunduran fisiologis tubuh, riwayat jatuh ataupun gejala sisa penyakit-penyakit degeneratif seperti stroke. Panti Sosial Menara Kasih merupakan yayasan sosial yang telah berdiri sejak tahun 2012.

4.1.2 Proses Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 13 – 26 April 2016. Pada awal studi pendahuluan 17 – 28 November 2015. Dalam penelitian ini peneliti hanya mengambil partisipan yang memiliki riwayat penyakit stroke (lansia pasca stroke). Peneliti pertama kali bertemu partisipan di Panti Sosial Menara Kasih pada saat melakukan studi pendahuluan dan melakukan perkenalan secara singkat. Pada bulan Februari 2016 peneliti datang kembali ke PSMK untuk bertemu riset partisipan sebagai bentuk bina hubungan saling percaya sebelum


(2)

peneliti memohon kesediaan partisipan untuk mejadi subjek penelitian. Kemudian, pada tanggal 13 April 2016 peneliti kembali datang untuk mengantar surat izin penelitian dan meminta kesediaan subjek penelitian untuk menjadi riset partisipan. Peneliti terlebih dahulu menjelaskan kepada setiap lansi yang akan menjadi Riset Partisipan mengenai maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan dan memohon pada RP untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi partisipan.

Setelah memperoleh ijin dari pihak yayasan PSMK pada tanggal 13 April 2016, peneliti kemudian melakukan diskusi dengan para pengasuh lansia di PSMK, untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Disamping itu, peneliti melakukan pertemuan langsung dengan para pengurus lansia di PSMK untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 17 – 28 November 2015, subjek penelitian yang dipilih menjadi partisipan awalnya adalah 7 orang lansia dengan yang mengalami stroke (pasca stroke), namun sebelum penelitian berlangsung, 2 partisipan telah meninggal dunia, 1 partisipan telah pindah dari PSMK, dan 1 partisipan mengalami hambatan komunikasi verbal, sehingga total


(3)

subjek penelitian yang memenuhi kriteria penelitian adalah 3 orang lansia pasca stroke.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Gambaran Umum Partisipan

Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah lansia pasca stroke yang tinggal PSMK Salatiga. Jumlah subjek penelitian yang ditentukan menjadi riset partisipan berdasarkan kriteria penelitian adalah 3 lansia pasca stroke. 1. Riset Partisipan I

Nama : Ny A Umur : 62 tahun

Tanggal lahir : 2 Februari 1954 Jenis Kelamin : Perempuan Status Pernikahan : Menikah

Riset Partisipan I (RP I) adalah seorang perempuan yang berasal dari Salatiga. RP I pertama kali mengalami serangan stroke pada tahun 2012, sehingga gejala sisa yang masih dapat diamati adalah kelumpuhan pada bagian tubuh sebelah kiri. Berdasarkan riwayat pernikahan RP I telah menikah sebanyak 2 kali. Suami pertama dan kedua telah meninggal dunia. RP I mempunyai 2 orang anak, anak laki-laki dari suami pertama yang tinggal di Surabaya dan seorang anak perempuan yang merupakan anak dari


(4)

pernikahan kedua partisipan. Sebelum masuk ke panti RP I tinggal bersama anak perempuannya di Salatiga. Saat dirumah keseharian RP I hanya mandi, makan, nonton tv dan begitu seterusnya. RP I mulai tinggal di PSMK Salatiga sejak 16 Oktober 2013. Pekerjaan RP I sebelum mengalami stroke adalah wiraswasta yang berjualan bersama suami, namun setelah suami meninggal dunia RP I hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dan dinafkahi oleh anak perempuannya. Dalam melakukan aktivitas sehari-harinya RP I menggunakan alat bantu berjalan yaitu kruk. Alasan RP I masuk PSMK adalah tidak ada yang menjaga dan merawatnya karena anak dan menantunya sibuk bekerja serta sering keluar kota.

Dalam keseheharian di PSMK RP I lebih banyak kesibukan mandi, nonton tv, tidur, bercerita dengan pengasuh panti, ibadah, terkadang membantu memijat dengan tangan kanannya. Dalam melakukan aktivitas sehari-harinya mampu dilakukan secara mandiri. Dalam penelitian, peneliti melakukan wawancara selama 20 – 30 menit dengan 4 kali wawancara. Respon RP II dan berkomunikasi dengan suara jelas dan dapat menjawab pertanyaan dengan baik.


(5)

2. Riset partisipan II Nama : Tn. A Umur : 61 tahun Tanggal lahir : 21 Mei 1955 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Pernikahan : Belum menikah

RP II adalah seorang lansia berjenis kelamin laki-laki berumur 62 tahun yang berasal dari Jakarta. RP II belum pernah menikah. RP II mengalami serangan stroke sejak tahun 2014, sebagai akibat dari serangan stroke yang dialami RP II mengalami kelumpuhan pada kaki kiri. RP II mampu berjalan sendiri menggunakan walker (alat bantu berjalan). RP II masuk ke panti pada tanggal 8 Maret 2014, alasan RP II masuk panti dikarenakan pada tempat tinggal RP II yang berada di Jakarta, RP II tidak memiliki pengasuh, sehingga keluarga menyarankan RP II ke PSMK Salatiga karena keluarga sibuk bekerja.

Kegiatan sehari-hari RP II adalah mandi, makan, nonton tv dan istirahat. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, makan, berpakaian, BAB/BAK, RP II dapat melakukan semua kegiatan tersebut secara mandiri. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara selama 20 – 30 menit dengan 4 kali wawancara. Respon RP II dan


(6)

berkomunikasi dengan suara jelas dan dapat menjawab pertanyaan dengan baik.

3. Riset partisipan III Nama : Tn. H Umur : 60 tahun Tanggal lahir : 12 Juli 1956 Jenis Kelamin : Laki-laki

RP III berasal dari Salatiga, serta belum menikah. RP III berjenis kelamin laki-laki dan usia 60 tahun. RP III mengalami polio pada kaki sebelah kanan sejak usia 4 tahun sampai sekarang, kaki yang mengalami polio tidak dapat di gerakkan. Pekerjaan RP III sebelum stroke adalah seorang supir truk dengan menggunakan kaki sebelah kiri yang aktif untuk bekerja. RP III mengalami stroke sejak tahun 2013 yang mengakibatkan kelumpuhan pada kaki kiri, tangan kanan dan hambatan komunikasi verbal sehingga saat berbicara suara sedikit kurang jelas. Kelumpuhan yang dialami mengharuskan RP III menggunakan kursi roda untuk bergerak dan berpindah tempat.

Alasan RP III masuk ke panti adalah tidak ada yang menjaga serta merawat RP III karena keluarga sibuk bekerja. RP III masuk panti pada 13 September 2015. Dalam kesehariannya di panti RP III hanya istirahat, mandi,


(7)

makan, dan untuk melakukan aktivitas sehari-hari RP III sangat bergantung pada pengasuhnya kecuali untuk makan dan minum RP III dapat melakukannya sendiri. Saat melakukan wawancara RP III komunikatif meskipun suara kurang begitu jelas, namun dapat di mengerti. Wawancara dilakukan 20 – 30 menit, untuk melengkapi kekurangan peneliti melakukan 5 kali wawancara.

4.2.2 Analisis Data

Dari hasil wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini telah dibuat dalam bentuk verbatim. Setelah melakukan verbatim peneliti melakukan pengkodean dengan memberikan kode dalam kelipatan lima (5, 10, 15, 20, 25, dst…) untuk menunjukan pernyataan partisipan pada transkrip wawancara. Semua data yang telah diberikan kode, peneliti melakukan reduksi data dari pernyataan riset partisipan yang disesuaikan dengan kategori, sub tema dan tema besaryang diperoleh dengan mencari meaning unit dalam verbatim yang sudah di berikan kode. Berdasarkan hasil reduksi data yang dilakukan peneliti berdasarkan hasil wawancara diperoleh 4 tema besar yaitu penyebab stroke yang diderita, stressor psikososial pasca stroke, respon emosional penderita pasca stroke, mekanisme coping pasca stroke.


(8)

4.2.2.1 Penyebab stroke

Dari proses wawancara dan analisa data yang di lakukan, dapat diketahui bahwa ketiga partisipan memiliki kesamaan penyebab stroke yaitu hipertensi. Menurut pernyataan masing-masing riset partisipan penyebab stroke baru diketahui setelah mengalami serangan stroke dan dibawa ke rumah sakit. Beberapa pernyataan partisipan adalah sebagai berikut:

“…kata dokter saya terserang stroke…. terus pikiran yang berat yang bisa menimbulkan hipertensi atau tekanan darah ibu naik.” (RP I.35)

“…kata dokter yang menyebabkan stroke saya adalah hipertensi, itu aja. Stroke yang saya alami tiba-tiba aja waktu saya bangun tidur.” (RP II.35)

“Tapi waktu periksa kata dokter penyebabnya itu hipertensi...”(RP III.55)

Berdasarkan pengakuan partisipan, menurut dokter pemicu hipertensi RP I dan RP II adalah stres. Stroke yang dialami RP I disebabkan oleh hipertensi yang dipicu stres. RP I mengalami stres akibat rasa marah dan kesal terhadap karyawan anak RP I yang tinggal bersama RP I di rumah anak perempuannya. RP I merasa marah dan kesal terhadap sikap karyawan tersebut, dikarenakan karyawan yang tinggal di rumah anak RP I tersebut memiliki sikap yang tidak disukai RP I yaitu hanya


(9)

bermalas-malasan di rumah dan memperlakukan RP I seperti pembantu rumah tangga. Merasa diperlakukan seperti seorang pembantu rumah tangga oleh karyawan anaknya, RP I yang merupakan penderita hipertensi yang dalam kondisi tersebut hanya bisa memendam rasa marah dan kesal terhadap karyawan tersebut, sehingga semakin lama rasa marahnya akhirnya terserang stroke. Setelah terkena stroke, RP I mengalami kelumpuhan pada bagian tubuh sebelah kiri. Pada RP III hipertensi dipicu oleh sifatnya yang dulu cepat marah dan stres dikarenakan pekerjaannya sebagai supir yang membuat RP III tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Pada RP II, penyebab stroke yang di derita tidak diketahui secara pasti oleh RP II dirinya mengalami hipertensi sesuai informasi yang diperoleh dari dokter yang merawatnya. Namun, RP II mempunyai riwayat hipertensi, ibunya juga adalah seorang penderita hipertensi.

“Pemikiran saya waktu itu saya pikiran berat, jengkel, kesal.” (RP I.25)

“Saya jengkel dan marah sama anak buah ee anak saya.Menjengkelkanlah waktu itu di rumah Imam Bonjol (nama jalan rumah anaknya), disini (sambil memegang dada) saya cuma diem-diem akhirnya yang kalah saya sendiri terus kena stroke.” (RP I.30)


(10)

“Saya kurang tau apa yang menyebabkan saya stroke soalnya tiba-tiba aja gitu.Tau nya penyumbatan aliran darah ke otak.” RP II.30)

“Aku gak tau, lupa dokter bilang apa. api ibuku dulu hipertensi.” (RP II.40)

“…waktu periksa kata dokter penyebabnya itu hipertensi yang dipicu karena stres.” (RP III.55)

Selain riwayat hipertensi yang diderita, pada RP I dan RP II penyebab stroke yang lain adalah peningkatan kadar gula darah. Kedua partisipan (RP I, RP II) mengaku menyukai makanan yang manis-manis. Sedangkan pada RP III, faktor lain penyebab hipertensi adalah peningkatan kadar kolesterol, peningkatan kolesterol tersebut menurut partisipan yang memperoleh informasi dari dokter yang menanganinya dikarenakan oleh jenis makanan yang di konsumsi oleh RP III. RP III mengaku sering mengkonsumsi makanan yang berlemak seperti daging anjing, sapi dan kambing.

“Kata dokter selain hipertensi juga karena gulah darah yang berlebih.” (RP I. 75, RP II.90 )

“Dulu saya yang terlalu boros, makannya sembarang, apa -apa saya makan. Makan sapi, babi, anjing, semua daging saya makan. Dulu saya lebih gemuk dari ini, badan saya besar, saya kena kolesterol. Kata dokter penyebab stroke saya… dan kolesterol karena makanan yang saya konsumsi.” (RP III. 55)


(11)

4.2.2.2 Stressor Psikososial pasca stroke

Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui hal-hal yang memicu stres yaitu stressor psikososial seperti stressor fisik, stressor psikologis, stressor hubungan interpersonal, stressor finansial, dan stressor lingkungan hidup.

Dalam penelitian ini pemicu utama riset partisipan sebelum dirawat di panti dan setelah dirawat di panti (RP I, RP II, RP III) adalah stressor fisik. Stressor fisik yang dialami riset partisipan (RP I, RP II, RP III) yaitu kelumpuhan yang dialami pasca stroke yang mengakibatkan adanya perubahan pada kemampuan fungsional. Ketiga riset partisipan mengalami kelumpuhan separuh. Berbeda dengan RP I dan RP II, selain mengalami kelumpuhan sebagian yang diakibatkan stroke, RP III juga mengalami kelumpuhan pada salah satu kaki yang diakibatkan polio. Hal tersebut mengakibatkan RP III mengalami kelumpuhan hampir seluruh bagian tubuh. Selain mengalami kelumpuhan, RP III juga mengalami hambatan komunikasi verbal. Kondisi tersebut mengakibatkan RP III bergantung penuh pada pengasuh lansia untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Pada RP I kelumpuhan yang diakibatkan stroke adalah pada sisi


(12)

tubuh bagian kiri. Berdasarkan pengakuan RP I, dirinya pernah mengalami kelumpuhan karena terpleset yang menharuskan dirinya harus menggunakan kursi roda untuk berpindah tempat.

“....waktu sampai rumah tiba-tiba ibu ndak bisa jalan lagi kaki ibu lumpuh..puh, keluar mobil ibu harus di bopong anak sama menantu saya.” (RP I. 45)

“Ndak pernah kambuh ibu stroke.Tapi waktu itu pernah ibu terpleset dan lumpuh lebih parah lagi, harus pakai kursi roda 3 minggu waktu itu.” (RPI.185)

“Perubahan saya yang paling menonjol stroke saya ini bikin lumpuh bagian kiri, nggak bisa gerak sama sekali, tidak bisa bekerja lagi dan selama itu saya diam dirumah, keuangan semakin menipis.10 hari dirawat itu gak ada perubahan sama sekali, terus saya udah di perbolehkan pulang karena sudah pulih dari stroke.” (RP I. 55)

“Banyak sekali perubahan terutama saya ndak bisa jalan lagi sama sekali.Saya sudah kena polio sejak umur 3 tahun, tetapi saya masih bisa nyupir. Setelah stroke saya lumpuh total pada kedua kaki saya, gak bisa jalan….tangan kanan saya jarinya kaku, juga suara saya sekarang ndak jelas, saya juga sedikit budek soalnya terlalu banyak minum obat mungkin. Yang paling saya kecewa ini lumpuhnya saya dan juga saya susah ngomong.” (RP I.50)

Kelumpuhan yang dialami pasca stroke juga berdampak pada kondisi psikis ketiga riset partisipan. Setelah mengalami kelumpuhan pasca stroke, ketiga riset partisipan mengaku memiliki perasaan tidak berdaya dan hanya membebani keluarga. Hal tersebut dikarenakan, ketiga riset


(13)

partisipan merasa tidak dapat berbuat apa-apa untuk membantu meringankan beban keluarga yang membiayai mereka tinggal di panti, sehingga timbul pikiran, bahwa mereka hanya merepotkan keluarga. Selain merasa tidak berdaya, ketiga riset partisipan juga mengaku merasa cemas, keadaan ini karena memiliki perasaan takut jika stroke kambuh kembali, kepikiran akan kesembuhan dari lumpuh. Selain itu, harus tinggal terpisah dengan anggota keluarga menimbulkan perasaan sedih pada RP I.

“Perasaan ibu waktu kena stroke kaget, bertanya-tanya kenapa kok bisa kena stroke...Ibu jadi takut, cemas dan kepikiran nanti stroke ibu kambuh lagi.” (RP I.55)

“Ibu ndak mau jauh dari Dian... Juga lumpuh ini membuat ibu pindah dan perlu menyesuaikan dengan keadaan panti.” (RP I.110)

“Ya masalah keuangan anak saya, saya kasihan sama anak saya cuma bisa membebani saja,...(RP I.245)

“Kaget karena tiba-tiba terkena stroke. Kalo ini, apa namanya. Gimana ya orang bilangnya. Ya agak stres karena yang dulunya bisa jalan normal, sekarang nggak bisa jalan normal seperti biasa, harus pakai alat bantu kalau jalan. Perasaan saya terkadang merasa tidak berdaya karena lumpuh ini.” (RP II.60, RP II.65)

“Pernah merasa cemas. Ya Selama itu itu ya pikirannya itu kapan sembuh kapan sembuh, kok kambuhlagi.”(RPII.205) “ saya ndak tau kapan saya bisa sembuh, kepikiran terus saya.” (RP III.100)


(14)

Tinggal di lingkungan yang baru dan bertemu orang-orang baru juga mengakibatkan stres pada ketiga riset partisipan. Ketiga riset partisipan mengaku sempat memiliki kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal mereka yang baru. Saat partisipan pindah kepanti dan bertemu orang baru partisipan pernah bertengkar dengan sesama lansia di panti, hal tersebut dialami oleh RP I dan RP II. Sementara itu pada RP III, ia mengaku bahwa tidak mampu mengontrol emosinya, sehingga sering marah kepada pengasuh, misalnya karena terlambat datang saat dimintai bantuan oleh RP III, RP III juga merasa tidak dihargai, karena seringkali pengasuh memanggil nama RP III berbeda dengan apa yang diharapkan oleh RP III. Pernyataan tersebut dibuktikan pada hasil observasi RP III marah pada pengasuhnya pada pagi hari saat akan memandikannya.

“Ya kalau kesabaran habis, sama oma T dan Oma M kalau di tegur marah ya kami bertengkar jadinya.” (RP I, 430)

“Baik-baik aja sekarang. Tapi pernah bertengkar sama orangtua yang dikamar pojok sana tu, dulu itu aku pernah dipukul sama orang tua di panti ini juga, tapi aku nggak bisa ngelawan dengan keadaan beginikan. Aku marah sama orang panti kok orang begitu (gangguan jiwa) masih diterima disini.” (RP II.185)

“Dipanti kadang saya emosi kalau sama pengasuh orang ngomong ndak dengar, kalau manggil itu heh..heh,


(15)

sayakan punya nama, mereka ndak sopan saya ndak bisa ngapa-ngapain tapi saya ingin dihargai, kalau diperlakukan begitu ya saya marah. Saya bosan disini gak ada yang bisa saya buat. Saya lumpuh total gak bisa jalan lagi.” (RP III.185)

Sebelum mengalami kelumpuhan pasca stroke riset partisipan (RP I, RP II, RP III) merupakan lansia yang dulu aktif mencari uang. Kelumpuhan pasca stroke mengakibatkan muncul stressor baru yaitu stressor finansial RP I adalah seorang ibu rumah tangga yang dulunya aktif bekerja yaitu berjualan, setelah suaminya meninggal RP I tinggal di rumah anaknya, kegiatan yang dillakukan adalah kegiatan seperti ibu rumah tangga pada umumnya yaitu membersihkan rumah dan masak meskipun dibantu oleh pembantunya. Sedangkan, RP II dan RP III merupakan lansia belum berkeluarga yang terbiasa melakukan pekerjaan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga pada saat mengalami kelumpuhan akibat stroke untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-harinya bergantung pada keluarganya.

“Perubahan saya yang paling menonjol stroke saya ini bikin lumpuh bagian kiri, nggak bisa gerak sama sekali, tidak bisa bekerja lagi dan selama itu saya diam dirumah, keuangan semakin menipis, saya merasa tidak berdaya.” (RP II.55)

“Setelah stroke saya lumpuh total pada kedua kaki saya, gak bisa jalan. Setelah kena stroke banyak yang berubah,


(16)

pertama sudah tidak ada pekerjaan, hidup harus bergantung pada keluarga, saya dari dulu terbiasa bekerja tetapi sekarang saya ndak bisa apa-apa, semuanya cuma minta aja, ndak punya uang,…” (RP III.50)

Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa merasa kesepian saat di panti dengan kelumpuhan yang mereka alami. Selain itu, kurangnya aktivitas atau kegiatan yang ada di panti.

“Jujur sebenarnya saya merasa sepi karena ndak kegiatan-kegiatan dipanti ini, kesehariannya paling cuma nonton aja.” (RP I.120)

“Tetapi lumpuh ini membuat ibu harus pindah kepanti dan harus menyesuaikan lagi dengan keadaan di panti.” (RPI. 105)

“Perasaan kesepian juga ada ya gak ada kegiatan apa -apa.Cuma mau gimana lagi, kalau mau kemana-mana gak bisa, lagian disini juga ada yang jaga ya, jadikan lebih enak.” (RP II.105)

“saya dipindah kepanti karena dipanti ada yang mengawasi dan merawat saya” (RP III.120)

4.2.2.3 Respon Emosional Penderita Pasca Stroke

Berdasarkan hasil analisa data, saat pertama kali di diagnosis stroke serta mengalami kelumpuhan, ketiga riset partisipan merasa kaget dan tidak percaya dengan kondisi yang dialami karena hal tersbut terjadi secara tiba-tiba dan tidak diduga. Selain perasaan kaget ketiga riset partispan juga mengalami perasaan takut, cemas, sedih dan kecewa. Perasaan tersebut dipicu karena riset partisipan merasa dirinya tidak berdaya dengan kelumpuhan yang di alami.


(17)

“Perasaan ibu waktu kena stroke kaget ndak percaya, bertanya-tanya kenapa kok bisa kena stroke. Ibu waktu itu pertama kali kena stroke, dokter bilang kalau stroke ibu bisa kambuh lagi kalau pola makan sama pikiran yang berat bisa memicu kekambuhan ibu. Ibu jadi takut, cemas dan kepikiran nanti stroke ibu kambuh lagi.” (RP I. 55) “Ya ibu sangat sedih to, sempat kecewa soalekan ibu dulu bisa jalan bebas, sekarang lumpuh kaki sebelah kiri saya harus pakai kruk.” (RP I.60)

“Kaget karena tiba-tiba terkena stroke. Kalo ini, apa namanya. Gimana ya orang bilangnya. Ya agak stres karena yang dulunya bisa jalan normal, sekarang nggak bisa jalan normal seperti biasa, harus pakai alat bantu kalau jalan. Perasaan saya terkadang merasa tidak berdaya karena lumpuh ini.” (RP II.60)

“saya ndak percaya bisa kena stroke, sedih saya dengan keadaan saya yang begini.”(RP III. 60)

Salah satu riset partisipan yaitu RP III mengatakan bahwa dirinya merasa bersalah atas apa yang dialaminya. RP III mengungkapkan bahwa stroke yang diderita dikarenakan semasa muda, ia tidak menjaga pola makannya dengan baik. Selain itu, RP III mengatakan bahwa ia kecewa, merasa putus asa dan pernah berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya.

“Minum obat aja dan gak tau lagi mau buat apa, saya bisanya begini aja sampai mati di tempat tidur. Mau berobat ke dokter ndak ada uang, kasian keluarga saya dan makan apa adanya, ndak boleh makan-makan daging lagi, nek ayam ndak apa-apa asal ndak sering-sering. Ini karena saya dulu memang yang ndak bisa jaga pola makannya.” (RP III.65)

“Pertama saya tau lemas, kecewa, pasrah pada Tuhan karena ndak bisa apa-apa, mau mati saja, marah dan


(18)

putus asa. Rasanya setengah mati menjalaninya, susah sekali kalau hidup harus bergantung sama orang lain.” (RP III.70, 75)

Ketiga riset partisipan yang merupakan lansia pasca stroke dengan kelumpuhan yang dialami terpaksa harus pindah dan tinggal di panti dengan harapan keluarga agar mereka lebih aman dan ada dalam pengawasan pengasuh panti. Tinggal di panti mengharuskan ketiga partisipan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Tidak memiliki kegiatan, jauh dari keluarga, mengalami konflik dengan sesama lansia di maupun pengasuh panti sering memunculkan perasaan seperti merasa sepi, sedih, marah, cemas, kecewa, dan merasa tidak berarti. Namun, ada juga perasaan senang karena dengan tinggal di panti dapat meringankan keluarganya karena di panti ada pengasuh yang merawat mereka.

“Jujur sebenarnya saya merasa sepi karena ndak kegiatan-kegiatan dipanti ini, kesehariannya paling cuma nonton aja.” (RP I.120)

“Pertama saya dipanti perasaannya sedih, takut jauh dari anak saya.” (RP I.145, 195)

“Marahnya itu karena sering ngatain matamu-matamu kalau saya nasehatin itu kalau oma M, kalau oma T saya bilang “kamu itu sudah tua, kasih pelajaran yang baik-baik untuk yang lebih muda, saya gituken” ya tapi tetap aja ndak bisa diam manggil-manggil pengasuh terus.” (RPI.425, RPI.430)


(19)

“Perasaan kesepian juga ada ya gak ada kegiatan apa -apa. Cuma mau gimana lagi, kalau mau kemana-mana gak bisa,…” (RP II.105, RP III. 105)

“Tapi, kadang aku merasa gak ada arti karena nggak bisa kemana-mana, kerjaannya itu-itu aja.” (RP II. 150)

“Tapi pernah bertengkar sama orangtua yang dikamar pojok sana tu, dulu itu aku pernah dipukul sama orang tua di panti ini juga, tapi aku nggak bisa ngelawan dengan keadaan beginikan.Aku marah sama orang panti kok orang begitu (gangguan jiwa) masih diterima disini.” (RP II.185)

“Pernah merasa cemas. Ya Selama itu itu ya pikirannya itu kapan sembuh kapan sembuh, kok kambuh lagi,…” (RP II.205, RP III.130)

“Tapi saya kasian sama mereka, saya cuma membebani mereka soalnya saya bergantung sama mereka, apa-apa minta tolong, saya kecewa ndak punya uang, rasanya pengen mati saja. (dengan muka seperti pandangan kearah lain sambil menggeleng-gelengkan kepala).” (RP III.80, RP III.140)

“Dipanti kadang saya emosi kalau sama pengasuh orang ngomong ndak dengar, kalau manggil itu heh..heh, sayakan punya nama, mereka ndak sopan saya ndak bisa ngapa-ngapain tapi saya ingin dihargai, kalau diperlakukan begitu ya saya marah.” (RP III.185)

“... saya merasa senang juga di panti, ini bisa meringankan beban keluarga.” (RPI.105, RPII.160, RPIII.110)

4.2.2.4 Mekanisme Koping Pasca Stroke

Kelumpuhan merupakan gejala sisa stroke yang dialami ketiga riset partisipan membuat mereka kehilangan kemandirian dalam beraktivitas, kehilangan pekerjaan, bergantung pada keluarga serta harus tinggal di lingkungan


(20)

yang baru dan bertemu orang-orang baru adalah stressor yang membuat partisipan sering merasa sedih, khawatir, marah, merasa tidak berdaya dan kecewa. Hal tersebut dapat mengakibatkan stres bahkan depresi apabila ketiga riset partisipan tidak memiliki perilaku coping yang tepat.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pada ketiga partisipan pasca stroke dapat diketahui bahwa dalam menghadapi permasalahan serta mengatasi stres setiap partisipan memiliki mekanisme coping yang berbeda. Peneliti berusaha mengungkapkan jenis mekanisme coping yang digunakan ketiga partisipan sebelum masuk panti dan saat tinggal di panti agar dapat menggambarkan bagaimana mekanisme coping pasca stroke.

Saat pertama kali mengetahui didiagnosis stroke dan mengalami kelumpuhan, ketiga partisipan merasa kaget dan tidak percaya dengan kondisi yang dialaminya. Ketiga partisipan sempat merasa sedih, cemas, putus asa dan marah serta merasa tidak berdaya dengan keadaan yang dialami.

“Perasaan ibu waktu kena stroke kaget ndak percaya, bertanya-tanya kenapa kok bisa kena stroke.” (RP I. 60) “Ibu sempat menangis sampai susah buat tidur selama semingguan lebihlah....” (RP I.70)

“Kaget karena tiba-tiba terkena stroke. Kalo ini, apa namanya. Gimana ya orang bilangnya. Ya agak stres


(21)

...Perasaan saya terkadang merasa tidak berdaya karena lumpuh ini.” (RP II.60)

“saya ndak percaya bisa kena stroke, sedih saya dengan keadaan saya yang begini dan saya marah dengan diri saya sendiri.”(RP III. 55)

Sebagai upaya untuk mengatasi perasaan kekhawatiran, cemas, stres dan perasaan tidak berdaya karena stroke, ketiga partisipan memiliki cara masing-masing untuk mengatasinya. Ketiga partisipan merasa perlu mencari dukungan sosial dari orang lain misalnya mencari teman untuk teman berbicara agar terhindar dari perasaan kesepian yang dialami. Selain berbicara dengan orang lain, RP I mengaku berupaya untuk mengatasi stres yang dialami dengan berdoa memohon ketenangan hati dan kesembuhan. RP I mengaku bahwa dengan berdoa ia merasakan kondisinya menjadi lebih baik. Adapun pernyatan ketiga riset partisipan sebagai berikut:

“ibu ngobrol sama orang lain juga senang, tetapi ibu lebih senang berdoa, karena berdoa bisa mengatasi segala-galanya.” (RP I. 235)

“Kalau saya lebih baik ngomong atau ngobrol itu bisa ngilangin stres” (RP II. 185)

“saya senang kalau banyak orang, dan ada teman ngobrol, saya biasanya telpon teman.” (RP III. 205)

Selain itu juga, sebagai upaya mengatasi stres yang dialami, partisipan ketiga riset partisipan (RP I, RP II)


(22)

melakukan beberapa cara tertentu seperti berusaha melakukan kegiatan sehari hari secara mandiri tanpa bergantung dengan orang lain. Menurut RP I, dirinya perlu untuk selalu memilki pikiran beranggapan bahwa dirinya masih mampu melalukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Selain memotivasi dirinya sendiri, RP I mengaku bahwa ia juga mendapatkan dukungan dari anaknya yang selalu memberikan motivasi untuk melakukan aktivitas secara mandiri. Menurut RP I dirinya masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan tidak perlu merepotkan orang lain. Selain itu RP I juga melakukan latihan fisik dengan harapan dapat mengurangi kelumpuhan yang dialaminya. RP II juga melakukan aktivitas seperti jalan-jalan dan berjemur dipagi hari, RP III mengatakan hal tersebut sering ia lakukan ketika dulu dirumahnya. Berbeda dengan RP III yang mengungkapkan bahwa dia tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari karena kondisinya yang mengalami keterbatasan gerak pada hampir seluruh anggota gerak tubuh.

“Ya saya harus belajar sendiri dengan kesot pun yang penting saya lakukan sendiri, nasehat anakku itu menguatkan saya, anakku kasih saya semangat“apa-apa lakukan sendiri, mandiri mah… mandiri …gitu anakku bilang, ndak boleh nyuruh-nyuruh gmn pun caranya harus usaha”. Jadi ibu harus punya semangat, nanti untuk minta bantuan ndak ada perubahan. Terus saya berusaha sendiri jalan setapak demi setapak sambil mepet tembok,


(23)

kalau capek saya tidur waktu itu.” (RP I.65, RP I.70, RP I.80, RP I.230)

“Ya setelah satu bulan saya latihan jalan pakai kruk setiap jam 5 pagi, saya bisa jalan sedikit-sedikit. Tapi ya pelan to, saya percaya pasti saya sembuh.” (RP I.95, RP I.235) “Sejak tahun 2014. Saya biasanya selain kontrol kedokter ya jalan-jalan pagi sama berjemur aja, tapi ya selang 2 hari. Ya itu lumayan buat hilangin pegel-pegel sama pusing, kalau tiduran teruskan pusing.” (RP II.80)

“Saya juga mau latihan jalan-jalan ndak bisa lumpuh total pasrah aja, diam di tempat tidur.” (RP III.75)

Selain motivasi atau upaya mengatasi kelumpuhan dari dalam diri riset partisipan (RP I, RP II, RP III) juga mengatasi kelumpuhan melalui upaya medis. Upaya medis yang dilakukan partisipan yaitu memeriksakan diri ke dokter di rumah sakit dan mengikuti terapi. Program terapi yang dijalani oleh partisipan diakui berdampak positif bagi kondisi RP I dan RP II, sedangkan RP III masih mengalami kelumpuhan hingga saat ini upaya medis yang dilakukan hanyalah meminum obat hipertensi untuk mencegah serangan stroke berulang. Menurut pengakuan RP III, ia sebenarnya ingin periksa ke dokter, namun tidak memiliki biaya yang cukup.

“Waktu saya di bawa kerumah sakit kata dokter saya terserang stroke.“ (RP I.35, RP I.45, RP I.75, RP I. 190) “Saya waktu itu di panggilkan terapi, saya diterapi selama 1 bulan, ya sedikit bisalah di gerakkan tapi masih ndak bisa jalan, masih kesot ibu selama dua bulan.” (RP I.85)


(24)

“Dengan semangat yang mereka kasih itu menguatkan saya, itu bikin saya semakin berusaha untuk pulih, biasanya saya ke dokterlah buat kesehatan saya.” (RP II.140, RP II.150)

“Minum obat aja dan gak tau lagi mau buat apa, saya bisanya begini aja sampai mati di tempat tidur. Mau berobat ke dokter ndak ada uang, kasian keluarga saya dan makan apa adanya, ndak boleh maka-makan daging lagi, nek ayam ndak apa-apa asal ndak sering-sering.” (RP III.65, RP III.155)

Ketika dokter mengatakan kepada RP I bahwa stroke kemungkinan dapat kambuh lagi apabila pola makan dan gaya hidupnya tidak dijaga, RP I mengaku berupaya mencari informasi mengenai makanan yang boleh dikonsumsi oleh orang penderita stroke, sehingga RP I selalu berusaha mengatur makanan yang di konsumsi untuk menjaga kesehatan serta dirinya tidak mengalami stroke berulang. Sama halnya yang dilakukan oleh RP III, RP III mengaku harus menjaga dan mengatur pola makanan, karena berdasarkan pengakuan RP III, makanan yang harus dihindarinya adalah makanan yang tinggi kolesterol yang dapat menjadi pemicu strokenya. Namun berbeda pada RP II, dalam mengatur pola makan RP II lebih sering mengkonsumsi makanan yang sesuai dengan seleranya tanpa mempertimbangkan kondisinya yang memiliki riwayat hipertensi dan stroke. RP II merasa hanya perlu


(25)

beranggapan dirinya tidaklah sakit dan dapat mengkonsumsi makanan sesuai seleranya. Hal ini dibuktikan saat observasi RP II sering memesan makanan seperti sate kambing, gado-gado, lotek. Makanan yang dikonsumsi RP II sangat berisiko untuk mengalami kekambuhan, RP II sudah dua kali mengalami stroke berulang. Dalam mengatasi stres yang biasanya RP II makan-makanan yang menurutnya enak, meskipun ia tahu bahwa makanan yang dikonsumsi dapat membuat kekambuhan pada strokenya. Namun RP II mengatakan makan yang enak-enak bisa lupa masalah tentang kelumpuhannya.

“Terus ibu sekarang jaga-jaga supaya ndak kambuh lagi, terus ibu tanya dokter dan cari info tentang makanan apa saja yang boleh di makan penderita stroke supaya ndak kambuh lagi, dari tv di dokter oz itu, acaranya bagus, tanya-tanya sama temen juga.” (RP I.75, 80)

“saya kalau makan sampai sekarang pengennya yang enak -enak, sampai-sampai saya kena lagi stroke ni, ya saya menganggap gak ada penyakit aja, jadi kumakan aja sate kambing atau sapi di sate suruh itu, rendang sapi juga.” (RP II. 155)

“... dan saya berusaha buat sembuh dengan makan apa adanya, ndak boleh maka-makan daging lagi seperti daging sapi dan lain-lain, nek ayam ndak apa-apa asal ndak sering-sering.” (RP III.65)

Selama tinggal di panti ketiga partisipan sering merasa kesepian. Upaya lain yang dilakukan untuk megatasi stres


(26)

dan kesepian yang dialami biasanya adalah dengan memanfaatkan fasilitas yang ada dipanti yaitu menonton televisi, dan menelepon keluarga atau kenalan lainnya.

“Ibu ya nonton tv, ngobrol-ngobrol sama pengasuh, dulu waktu ibu hartini belum pindah ya cerita-cerita dikamar. Sekarang sudah sendiri ya paling sering nonton.” (RP I.125, RP I.255, RP I.295)

“Mengurangi rasa kangen, seneng sekali karena mereka masih menyempatkan telpon saya, dengar suaranya saja saya udah senang.” (RP I.160, RP I.165)

“Ya aku nikmati aja ya, dengan senang-senang aja, nonton tv, berusaha buang pikiran-pikiran yang ganggu kesehatan aku seperti bertanya terus kenapa aku gak sembuh-sembuh. Terus aku juga lihat pak Room udah 7 kali serangan tapi sekarang udah bisa jalan lagi, ya aku percaya aja aku bisa sembuh.” (RP II. 155, RP II.290, RP II.215)

“Tapi biasanya duduk-duduk aja, saya bawa santai aja, saya bawa senang aja dan ngobrol sama orang lain seperti ada kamu, agnes dan erik. Saya kalau ada stress atau masalah jarang cerita ke orang, tapi kalau untuk ngilangin stresnya ngobrol-ngobrol aja seperti mengalihkan atau mengurangi stress.” (RP II.110, RP II.230, RP II.265)

“Nonton tv aja.kalau ndak telpon teman, cerita-cerita aja.” (RP III.105, RP III.110)

Dalam mengahadapi permasalahan serta perasaan stres RP I memilih untuk selalu berdoa dan beribadah. Berbeda dengan RP II yang mengaku tidak terbiasa berdoa, sejak sebelum RP II terkena stroke hingga sekarang, namun RP II mengku tetap mengikuti ibadah yang diadakan di panti.


(27)

“Ibu berdoa, sambil ibu ludah setiap pagi terus ibu usapkan di kaki yang lumpuh sembuhkan dengan bilur-bilurmu Tuhan Yesus, itu dibarengi dengan latihan sambil angkat kaki dan digerakan. Ibu sambil latihan berdiri kaya dulu dirumah, pegangan sama tralis sambil doa Bapa Kami, puji Tuhan ibu sembuh.” (RP I.200, RP I.205, RP I.255, RP I.260, RP I.270, RP I.290, RP I.295, RP I.330, RP I.340)

“Kalau saya jujur dari dulu saya jarang buat berdoa ya, ada masalah sakit atau nggak sakit saya nggak pernah berdoa. Kalau berbicara dengan orang lain itu lebih baik buat saya. Tapi kalau ada ibadah saya ikut aja.” (RP II.225)

“…, berdoa seperlunya supaya bisa menenangkan pikiran saya, palingan saya telpon teman, tapi ndak mungkin sering saya telpon.” (RP III.135)

“Saya berdoa kadang-kadang, kalau ibadah saya ikut terus.” (RP III.165, RP III.285)

Banyaknya masalah yang muncul akibat stroke juga berdampak pada RP II dan RP III yang harus kehilangan pekerjaan serta tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka merasa sedih dan membebani keluarganya. Namun, mereka bersyukur keluarga masih mau membiayai mereka tinggal dipanti, sehingga mereka mengatakan bahwa keluarga sangat mereka butuhkan.

“Ya itu saya cuma pasrah aja, merenung, berdoa juga, masih ada keluarga yang peduli itu saya bersyukur karena keluarga sangat saya butuhkan sekali.” (RP III.350)

“Iya itu yang membuat saya juga beban ya, aku gak bisa apa-apa. Tapi, saya syukuri aja masih ada keluarga yang peduli sama saya. Dengan keluarga biayai saya disini itu juga salah satu dukungan yang mereka kasih buat saya.” (RP.130)


(28)

Saat tinggal di panti ketiga riset partisipan mengaku pernah mengalami konflik dengan sesama lansia maupun pengasuh di Panti. RP I dan RP II mengalami konflik dengan sesama lansia di panti, sedangkan RP III dengan pengasuh di panti. Konflik atau pertengkaran tersebut membuat riset partisipan seringkali membuat riset partisipan marah dan merasa tidak nyaman. Upaya yang dilakukan RP I dalam menangani masalah tersebut adalah berdoa, pergi ke kamar untuk menghindari berlanjutnya pertengkaran Berbeda dengan RP III yang mengaku sering marah pada pengasuhnya, bagi RP III cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah berusaha mengontrol rasa marah dan berusaha memiliki pandangan positif terhadap pengasuh panti, RP III mengungkapkan bahwa ia harus mengerti bahwa pengasuh dipanti tersebut tidak hanya merawatnya, sehingga RP III harus bisa menjaga hubungan baik dengan pengasuh.

“Ya kalau baik, kalau ndak ya mendingan tiduran gitu untuk pikiran panas biar bisa dingin gitu, kalau ndak bisa tidur ya pasrah sama Tuhan dengan berdoa.” (RP I.330) “Baik-baik aja sekarang. Tapi pernah bertengkar sama orangtua yang dikamar pojok sana tu, dulu itu aku pernah dipukul sama orang tua di panti ini juga, tapi aku nggak bisa ngelawan dengan keadaan beginikan. Aku marah sama orang panti kok orang begitu (gangguan jiwa) masih diterima disini.” (RP II.185)


(29)

“(terdiam) dengan cara ndak bikin beban orang lain, berusaha supaya ndak marah lagi dengan pengasuh dipanti dengan cara diam aja. saya bawa dalam doa, biar sedikit menenangkan hati saya.” (RP III.195, RP III.215) “Kalau marah saya diam aja dan merenung disini ndak cuma saya yang dirawat banyak orang tua lainnya, ya saya mencoba ngerti saj pengasuh saya sibuk.saya bisa menerima karena saya punya keluarga yang peduli sama saya sampai sekarag membiayai saya tinggal dipanti.” (RP III.225)

Dalam upaya mengatasi stres yang dihadapi, ketiga riset partisipan berusaha memiliki pandangan positif terhadap kondisi mereka. Ketiga riset partisipan mengaku masih memiliki motivasi untuk tetap sembuh karena merasa masih mendapatkan dukungan keluarga dan mereka berusaha mengambil hikmah atas kondisi yang dialaminya. Terkadang RP III memiliki pandangan negatif terhadap apa yang ia hadapi sampai sekarang. RP III menyatakan hidupnya tidak berarti, karena semuanya harus bergantung dengan orang lain, sehingga baginya keadaan sekarng mempersulit dan menjadi beban bagi keluarganya. Namun, meskipun sering memiliki perasaan negatif RP III menyatakan keadaan sekarang ini menjadi pelajaran buat RP III supaya bisa lebih mawas diri, tapi kalau bisa mati ia mengatakan berkeinganan untuk mati saja.


(30)

“Kalau saya bilang ini sangat mempersulit saya, itu cuma bikin ibu makin sakit.jadi ibu menganggap ini bukan hal yang sulit.” (RP I.400)

“Kondisi seperti ini bukan hal yang berat buat saya karena masih bisa melakukan apa-apa sendiri dan masih ada keluarga saya yang perhatian sama saya, juga ada Tuhan yang selalu mendengarkan umatnya.” (RP I.410, RP I.450) “Saya begini supaya saya lebih dekat dengan Tuhan, supaya lebih sabar saja.Kalau saya anggap ini beban nanti malah bikin saya stress.”(RP I.405, RP I.465)

“Ya saya terima karena mungkin udah di serang penyakit ini ya kita terima aja.saya juga masih bisa jalan dan juga masih ada harapan buat sembuh.” (RP II.300, RP II.320, RP II.325)

“Saya harus berdoa kepada Tuhan. Untung saya masih hidup, maksud saya saya mau mati aja, Tuhan ndak mau. Mawas diri dan harus tau diri.” (RP III.370)

“...gak berarti hidup saya,..bergantung dengan orang lain....mempersulit sekali... jadi beban keluarga saja kalau hidup dengan keadaan begini.” (RP III. )

Ketiga partisipan juga mengungkapkan bahwa dalam setiap menghadapi masalah tidak lepas dari dukungan sosial, mereka mendapatkan dukungan dari teman, kerabat, anak ataupun keluarga. Dari semua partisipan menyatakan menerima dukungan yang diberikan oleh keluarga ataupun teman. Dukungan sosial keluarga ataupun teman berguna bagi lansia. Mereka merasa bahagia bila mendapatkan dukungan sosial. Dukungan sosial juga mempengaruhi partisipan dalam menerima keadaan sekarang yaitu keadaan karena proses penuaan bahkan kelumpuhan stroke


(31)

yang dialami. Pernyataan tersebut disertai alasan partisipan karena kelurga memberikan dukungan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dengan membiayai mereka tinggal di panti. Dukungan juga didapatkan dari teman, pengasuh serta orang sekitar yaitu motivasi dan semangat.

“...dia membiayai saya, saya hanya bisa berdoa buat anak saya. Kalau sudah menyampaikan perasaan kepada Tuhan itu lebih tenang.”(RP I.245)

“teman, keluarga selalu memberi semangat buat saya, saya merasa masih di butuhkan sama mereka”. (RP I.80)

“keluarga saya yang mebiayai saya selama ini, semangat dari keluarga sama temen-temen juga sangat mendukung untuk kesembuhan saya, saya jadinya kan semangat gitu.” (RP II. 90)

“Saya ini kalau bukan keluarga yang dukung siapa lagi, mereka yang paling mendukung untuk kesembuhan saya, teman-teman juga selalu meberikan dukungan dan semangat, saya senang sekali.” (RP III. 85)


(32)

4.3 Pembahasan

Peneliti melakukan wawancara pada 3 orang riset partisipan yang merupakan lansia pasca stroke. Partisipan dalam penelitian ini merupakan golongan lanjut usia (elderly) dengan rentang usia 60 – 74 tahun. Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa ketiga lansia tersebut telah mengalami stroke selama kurun waktu 2 sampai 4 tahun, dan gejala sisa yang dapat diobservasi langsung saat penelitian pada ketiga lansia tersebut adalah kelumpuhan separo (hemiplegie) ataupun kelumpuhan salah satu ekstremitas yang mengakibatkan lansia-lansia tersebut mengalami hambatan mobilitas fisik dan membutuhkan alat bantu mobilisasi seperti kruk, walker dan kursi roda untuk mobilisasi (bergerak dan berpindah tempat).

Pada penelitian ini ada empat tema yang dibahas oleh peneliti. Keempat tema tersebut yaitu: (1) Penyebab Stroke (2) Stressor Psikososial Pasca Stroke, (3) Respon emosional penderita pasca stroke, (4) Mekanisme koping pasca stroke.


(33)

4.3.1 Penyebab Stroke

Dari hasil wawancara pengetahuan ketiga partisipan mengenai penyebab stroke diketahui setelah periksa ke dokter. Penyebab stroke yang diderita partisipan dikarenakan hipertensi. Faktor lain yang memicu stroke adalah peningkatan gula darah, obesitas dan kolesterol. Peningkatan glukosa dalam darah serta kolesterol pada ketiga partisipan dikarenakan kebiasaan makan yang kurang baik serta hipertensi yang diderita karena faktor keturunan.

Menurut Junaidi (2004) tentang beberapa faktor resiko stroke yang dapat dikontrol antara lain adalah hipertensi dan peningkatan kadar glukosa darah serta kolesterol. Asumsi peneliti apabila lansia dalam penelitian ini tidak merubah kebiasaan makannya akan berakibat pada kondisi kesehatanya terkait faktor penyebab stroke. Menurut peneliti apabila faktor risiko tersebut tidak dikontrol akan membahayakan kondisi kesehatan lansia, sehingga dapat mengakibatkan stroke berulang. Menurut penelitian yang dilakukan Nastiti (2012) tentang faktor risiko kejadian stroke menyatakan bahwa distribusi faktor risiko stroke sebagian besar adlah hipertensi, peningkatan kadar gula darah dan kolesterol LDL yang dapat memicu stroke.


(34)

Sejalan dengan Ginsberg (2005) hipertensi dapat memicu stroke karena pada hipertensi atau tekanan darah tinggi mengakibatkan adanya gangguan aliran darah yang mana diameter pembuluh darah akan mengecil, sehinggadarah yang mengalir ke otak pun akan berkurang. Pengurangan aliran darah ke otak dapat menyebabkan kekurangan suplai glukosa dan oksigen, sehingga lama-kelamaan jaringan otak akan mati. Gula darah yang meningkat dapat memicu stroke dikarenakan pembuluh darah tidak lentur atau kaku, sedangkan jika kolesterol yang berlebihan bisa mengakibatkan penumpukan lemak di dalam darah yang dapat menyumbat pembuluh darah. Pada akhirnya, jaringan dan otak akan kekurangan pasokan darah yang dapat menimbulkan stroke.

4.3.2 Stressor Psikososial Pasca Stroke

Setelah mengalami stroke dan gejala sisa yang masih ada yaitu kelumpuhan yang merupakan stressor fisik pada ketiga partisipan serta kesulitan berbicara pada partisipan tiga menimbulkan masalah baru yang menimbulkan stres atau stressor baru salah satunya adalah stressor psikososial yang dapat mengganggu kondisi psikologis. Pada masalah psikologis ketiga partisipan merasa dirinya, menjadi beban


(35)

untuk orang lain, selain itu mereka merasa kesepian, cemas, takut dan khawatir akan keadaannya.

Akibat dari stresor fisik juga memunculkan masalah lain yaitu hubungan interpersonal atau hubungan sosial mereka baik dengan keluarga, teman dan orang-orang sekitar mereka terkadang mereka merasa marah dan jengkel terhadap sesama mereka bahkan dengan pengasuh panti. Berbeda dengan kedua partisipan yang mengalami kehilangan pekerjaan membuat mereka merasa tidak berdaya dengan keadaan mereka. Selain itu kehilangan pekerjaan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi psikologis karena kehilangan pekerjaan membuat kesulitan pada kondisi keuangan mereka.

Pernyataan Hawari (2008) bahwa masalah yang muncul akibat stressor fisik yaitu kelumpuhan akibat kecelakaan maupun penyakit kronis dapat menimbulkan stres bahkan depresi. Pernyataan tersebut sesuai dengan Keliat (1994, dalam Jaya, 2015) menyatakan bahwa sumber stressor adalah lingkungan, kondisi fisik, finansial, hubungan interpersonal yang mampu mempengaruhi kondisi psikologis


(36)

seseorang, sehingga dapat menimbulkan cemas, stres dan depresi.

4.3.3 Respon emosional penderita pasca stroke

Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa pada awal terkena serangan stroke lansia cenderung mengalami gangguan stabilitas emosi. Pada ketiga lansia pasca stroke, gangguan emosional yang cenderung muncul pasca stroke adalah perasaan kaget, kecewa, takut, cemas dan marah. Hal ini disebabkan sesuatu yang dialami tidak pernah diduga sebelumnya sepeti kehilangan kemampuan fungsional tubuh (kelumpuhan).

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Ginsberg (2005) yang menyatakan bahwa penderita pasca stroke cenderung mengalami masalah psikologis seperti kemarahan dan kelabilan emosi serta depresi sebagai akibat dari perasaan putus asa akibat kelumpuhan yang dialami. Menurut Hama, dkk., (2011) pasien pasca stroke yang mengalami kelumpuhan dapat mengalami kedukaan dan rentan terhadap stres serta depresi. Stres dan depresi yang dialami merupakan akibat dari kehilangan fungsi tubuh (kelumpuhan).


(37)

Kelumpuhan yang mengakibatkan perubahan fisik dan fungsi tubuh yang dialami sebagai akibat dari serangan stroke pada lansia memiliki pengaruh pada kondisi psikologi lansia. Menurut Padila (2013) lanjut usia cenderung mengalami perubahan stabilitas emosi seiring dengan proses penuaan yang dialami. Lansia dapat mengalami gangguan depresi sebagai akibat dari penyakit degeneratif yang diderita dan gejala depresi yang sering muncul adalah kurang percaya diri, sering merasa bersalah dan tidak berdaya, takut, pesimis, kecemasan berlebih serta mudah marah.

Lansia yang menjadi riset partisipan dalam penelitian ini cenderung mengungkapkan perasaaan tidak berdaya setelah mengalami stroke. Kehilangan kemampuan fungsional tubuh dan merasa membebani anggota keluarga, tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan sendiri, adanya perubahan lingkungan dan hubungan sosial adalah hal-hal yang mengakibatkan terjadinya gangguan emosional pasca stroke pada lansia di PSMK.

Selain itu, peneliti berasumsi bahwa lansia pasca stroke dapat merasa stres dalam proses penyesuaian diri pada lingkungan baru dan hubungan sosialnya. Perasaan


(38)

kurang dihargai selama proses perawatan di panti merupakan salah satu faktor penyebab lansia marah dan depresi.

4.3.4 Mekanisme coping Lansia Pasca Stroke

Dalam menghadapi masalah dan setiap stressor yang ada, seseorang mempunyai mekanisme Koping tersendiri. Untuk mengurangi dampak stres bagi lansia pasca stroke maka diperlukan mekanisme koping yang tepat supaya tidak memperburuk kondisi kesehatan penderita penyakit stroke. Hawari (2008) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami cidera ataupun penyakit kronis seperti stroke dapat membuat seseorang stres bahkan bila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan depresi. Menurut Lazarus (1991) mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri terhadap perubahan dan respons terhadap situasi yang mengancam.

Ketiga lansia pasca stroke mempunyai mekanisme koping yang berbeda, hal ini sesuai dengan hasil penelitian ditemukan bahwa ketika pertama kali mengetahui stroke, lansia menyangkal dirinya mengalami stroke, ketiga partisipan kaget dan tidap percaya, ketiga partisipan juga


(39)

merasa kecewa dan marah. Hasil penelitian yang ditemukan sesuai dengan pernyataan Gillen (2006) bahwa mekanisme koping digunakan denial karena individu menyangkal bahwa dirinya mengalami penyakit stroke dengan kelumpuhan, sehingga individu merasa tidak percaya dengan stroke yang dialaminya.

Ketiga partisipan menyangkal bahwa mereka terkena stroke dengan sedih, kecewa, pasrah dan merasa dirinya tidak berarti lagi, bahkan berkeinginan bahwa lebih baik untuk mengakhiri hidupnya saja. Gillen (2006) juga menyatakan bahwa seseorang yang mengalami stroke akan merasa sedih dimana seseorang yang mengalami kelumpuhan akan merasa dirinya tidak ada artinya lagi.

Pada penelitian ini ditemukan satu partisipan masih ada perasaan marah saat mengetahui dirinya terkena stroke dan hingga tinggal dipanti masih memiliki perasaan marah, perasaan marah diatas dapat berdampak buruk pada kondisi kesehatannya. Mekanisme yang digunakan adalah confrontative coping karena seseorang mengalihkan perasaannya atau mengubah perasaanya dengan rasa marah yang cukup tinggi kepada orang lain atau barang yang ada disekitarnya (Gillen, 2006).


(40)

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi rasa marahnya partisipan mengalihkannya dengan berdoa. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan Gillen (2006) mekanisme koping yang digunakan adalah positive reintrepretation karena dalam mengalihkan emosinya individu mencari makna positifnya dengan melibatkan diri ke hal-hal yang religious. Menurut Carver., dkk (dalam Hapsari, 2002) perilaku partisipan tersebut termasuk dalam Emotion Focused Coping dalam bentuk mengingkari (denial), yaitu mengingkari masalah yang dihadapi, ketidaketujuan dan ketidakpercayaan atau pengingkaran terhadap suatu masalah.

Menurut peneliti, mekanisme koping pada lansia pasca stroke yang paling menonjol dan sering diungkapkan lansia dalam penelitian ini adalah mendekatkan diri kepada Tuhan (berdoa dan beribadah) dan berusaha menerima kondisinya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Gillen (2006) tentang mekanisme koping yaitu possitive reinterpretation dimana individu mengartikan situasi stres dengan pandangan positif dan berusaha mencari makna positif dari permasalahan dengan melibatkan diri pada hal-hal yang bersifat religius. Lansia pasca stroke dalam penelitian ini merasa harus


(41)

menerima keadaan dirinya dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Dari ungkapan partisipan ini memiliki keterkaitan dengan peneliian Carlsson., dkk (2009) menyatakan bahwa dalam mekanisme coping penderita stroke possitive reinterpretation merupakan me jenis koping adaptif yang bersifat konstruktif dan dapat memberikan pengaruh positif pada kesehatan psikologis lansia serta merupakan emotion focused coping dalam bentuk possitive reinterpretation.

Dalam mengahadapi stres pasca stroke ketiga lansia di panti juga melakukan beberapa hal yang menurut peneliti merupakan upaya koping seperti berobat ke dokter, mencari informasi tentang jenis makanan yang boleh dikonsumsi pasca stroke, serta mengikuti terapi. Menurut Gillen (2006) hal tersebut merupakan proses Acceptance atau usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapi dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Peneliti menyimpulkan gaya mekanisme koping acceptance telah dilakukan ketiga riset dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian RP I cenderung melakukan usaha-usaha sebagai bentuk penerimaan dan tanggung jawab terhadap kondisinya


(42)

seperti melakukan latihan fisik dengan berlatih untuk berjalan dan berusaha melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dengan harapan dapat sembuh.

Pada lansia yang menjadi riset partisipan upaya-upaya yang dilakukan sebagai bentuk penerimaan dan tanggung jawab terhadap kondisinya adalah memeriksakan diri dan berobat ke dokter serta mengikuti terapi medis. Sedangkan usaha yang dilakukan riset partisipan tiga adalah mengkonsumsi obat-obat tertentu demi mendukung proses penyembuhan. hasil penelitian tersebut sejalan dengan Gillen (2006) gaya koping lain yang digunakan adalah active coping atau mencakup memulai tindakan secara langsung dalam meningkatkan usaha untuk mengatasi sumber stresnya. Pernyataan tersebut didukung penelitian yang dilakukan Wahyuni, Ridwan, & Oktaria, A. (2009) bahwa seseorang dengan stroke berupaya mengatasi stresnya dengan melakukan pengobatan dan melakukan tindakan secara langsung terhadap sumber stresnya termasuk dalam metode koping problem emotion focused dalam bentuk active coping.

Selain itu, dengan pengetahuan mengenai penyebab stroke yang mereka alami yaitu mengenai makanan yang


(43)

dapat memicu stroke berulang, mereka mulai mengatur pola makan dengan baik, dengan tidak mengkonsumsi makanan yang dulu mereka konsumsi saat belum terserang stroke. Hal ini senada dengan penelitian Rayanti, Ferry F. Karwur dan Juliana D. Karwur (2015) bahwa ada perubahan pasien pasca stroke terutama dalam kebiasaan makannya untuk mencegah stroke berulang. Upaya yang dilakukan oleh partisipan adalah active coping atau mencakup memulai tindakan secara langsung dalam meningkatkan usaha untuk mengatasi sumber stresnya (Gillen, 2006).

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, lansia cenderung melakukan tindakan secara langsung dalam meningkatkan usaha untuk mencegah stres yang timbul akibat penyakit yang dialami seperti: memeriksakan diri ke dokter dan mengikuti terapi khusus, menonton TV, serta menelpon keluarga disaat merasa kesepian. Selain itu upaya lain yang dilakukan oleh adalah mencari dukungan emosional dengan berbicara dengan orang lain, teman, dan orang sekitarnya dalam upaya mendapatkan motivasi dan semangat. Lansia mengaku merasa senang apabila mendapatkan kunjungan dari orang lain dan mendapatkan teman untuk berbagi cerita. Dari hasil penelitian di atas


(44)

didukung oleh pernyataan Setiti (2007) dalam penelitianya yang menyebutkan bahwa Lansia membutuhkan kebutuhan psikis diantaranya yaitu dukungan emosional dimana Lansia butuh lingkungan yang mengerti dan memahami mereka. Lansia membutuhkan teman untuk bicara, sering dikunjungi, dan sering disapa. Lansia juga butuh rekreasi dan silaturahmi dari kerabat.

Sementara itu, pernyataan Gillen (2006) bahwa mencari dukungan emosional (seeking emotional support) yaitu mencari dukungan moral, simpati, pengertian dengan mengungkapkan perasaannya kepada orang lain dengan mencari lawan bicara untuk mengatasi masalah, baik masalah kesepian, stres dan untuk mengatasi kesedihan.

Menurut peneliti gaya koping yang digunakan lansia pasca stroke berdasarkan hasil penelitian di area penelitian termasuk jenis koping adaptif dan bersifat konstruktif artinya dapat memberikan pengaruh positif bagi kesehatan psikologis lansia-lansia tersebut. Meskipun pada awal terkena serangan stroke muncul gaya koping maladaptif seperti marah, putus asa, merasa tidak berdaya, sulit untuk menerima perubahan pada diri


(45)

sendiri. Hal tersebut sesuai dengan Stuart (2013) dikatakan seseorang mengalami adaptasi adaptif bila orang tersebut mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mampu berinteraksi dengan orang lain.

Dalam hal ini, seiring proses adaptasi para lansia pasca stroke lebih menggunakan gaya koping adaptif. Menurut peneliti perubahan gaya koping maladaptif ke adaptif dapat dipengaruhi lingkungan serta dukungan sosial yang diterima. Ibadah yang diadakan di area penelitian setiap 2 kali dalam seminggu serta kunjungan-kunjungan yang diterima dapat berpengaruh dalam perubahan gaya koping tersebut. Hasil sesuai dengan teori Lazarus, 1984 dalam Jaya (2015) yang menyatakan bahwa gaya koping individu dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial yang diterima, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan emosional dan informasi pada diri individu yang diberikan keluarga, saudara, teman dan lingkungan sekitar tempat tinggal. Selain itu juga dukungan sosial merupakan faktor yang berperan dalam meningkatkan penerimaan diri pada penderita pasca stroke.


(46)

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa peran orang tinggal dengan lansia di panti peran yang lebih banyak dalam proses penerimaan diri pada lansia pasca stroke karena dalam kesehariannya lansia di panti setiap harinya bersama penghuni panti. Proses penerimaan diri didukung juga dari kunjungan-kunjungan luar panti seperti pastor dan pendeta dalam pemenuhan kebutuhan spiritual mereka. Berdasarkan dari hasil pernyataan diatas bahwa dukungan orang yang ada disekitar mereka mempunyai peran yang lebih tinggi dalam proses penerimaan lansia pasca stroke.

Didukung oleh penelitian yang dilakukan Masyitnah (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dan penerimaan diri pada penderita pasca stroke. Artinya ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri, semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan pada penderita pasca stroke, maka semakin tinggi pula penerimaan diri yang dimunculkan oleh penderita dan sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial yang diberiksn maka semakin rendah pula penerimaan diri yang dimunculkan penderita pasca stroke.


(47)

4.4 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan didalamnya, referensi mengenai penelitian mekanisme koping pada lansia pasca stroke juga terbatas, sehingga peneliti hanya menggunakan beberapa referensi di dalam pembahasannya. Kemudian, 1 diantara 3 partisipan mengalami sedikit kesulitan dalam berbicara, sehingga peneliti perlu meminta kembali partisipan untuk mengulang jawaban atas pertanyaan yang diberikan.


(1)

seperti melakukan latihan fisik dengan berlatih untuk berjalan dan berusaha melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dengan harapan dapat sembuh.

Pada lansia yang menjadi riset partisipan upaya-upaya yang dilakukan sebagai bentuk penerimaan dan tanggung jawab terhadap kondisinya adalah memeriksakan diri dan berobat ke dokter serta mengikuti terapi medis. Sedangkan usaha yang dilakukan riset partisipan tiga adalah mengkonsumsi obat-obat tertentu demi mendukung proses penyembuhan. hasil penelitian tersebut sejalan dengan Gillen (2006) gaya koping lain yang digunakan adalah active coping atau mencakup memulai tindakan secara langsung dalam meningkatkan usaha untuk mengatasi sumber stresnya. Pernyataan tersebut didukung penelitian yang dilakukan Wahyuni, Ridwan, & Oktaria, A. (2009) bahwa seseorang dengan stroke berupaya mengatasi stresnya dengan melakukan pengobatan dan melakukan tindakan secara langsung terhadap sumber stresnya termasuk dalam metode koping problem emotion focused dalam bentuk active coping.

Selain itu, dengan pengetahuan mengenai penyebab stroke yang mereka alami yaitu mengenai makanan yang


(2)

dapat memicu stroke berulang, mereka mulai mengatur pola makan dengan baik, dengan tidak mengkonsumsi makanan yang dulu mereka konsumsi saat belum terserang stroke. Hal ini senada dengan penelitian Rayanti, Ferry F. Karwur dan Juliana D. Karwur (2015) bahwa ada perubahan pasien pasca stroke terutama dalam kebiasaan makannya untuk mencegah stroke berulang. Upaya yang dilakukan oleh partisipan adalah active coping atau mencakup memulai tindakan secara langsung dalam meningkatkan usaha untuk mengatasi sumber stresnya (Gillen, 2006).

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, lansia cenderung melakukan tindakan secara langsung dalam meningkatkan usaha untuk mencegah stres yang timbul akibat penyakit yang dialami seperti: memeriksakan diri ke dokter dan mengikuti terapi khusus, menonton TV, serta menelpon keluarga disaat merasa kesepian. Selain itu upaya lain yang dilakukan oleh adalah mencari dukungan emosional dengan berbicara dengan orang lain, teman, dan orang sekitarnya dalam upaya mendapatkan motivasi dan semangat. Lansia mengaku merasa senang apabila mendapatkan kunjungan dari orang lain dan mendapatkan


(3)

didukung oleh pernyataan Setiti (2007) dalam penelitianya yang menyebutkan bahwa Lansia membutuhkan kebutuhan psikis diantaranya yaitu dukungan emosional dimana Lansia butuh lingkungan yang mengerti dan memahami mereka. Lansia membutuhkan teman untuk bicara, sering dikunjungi, dan sering disapa. Lansia juga butuh rekreasi dan silaturahmi dari kerabat.

Sementara itu, pernyataan Gillen (2006) bahwa mencari dukungan emosional (seeking emotional support) yaitu mencari dukungan moral, simpati, pengertian dengan mengungkapkan perasaannya kepada orang lain dengan mencari lawan bicara untuk mengatasi masalah, baik masalah kesepian, stres dan untuk mengatasi kesedihan.

Menurut peneliti gaya koping yang digunakan lansia pasca stroke berdasarkan hasil penelitian di area penelitian termasuk jenis koping adaptif dan bersifat konstruktif artinya dapat memberikan pengaruh positif bagi kesehatan psikologis lansia-lansia tersebut. Meskipun pada awal terkena serangan stroke muncul gaya koping maladaptif seperti marah, putus asa, merasa tidak berdaya, sulit untuk menerima perubahan pada diri


(4)

sendiri. Hal tersebut sesuai dengan Stuart (2013) dikatakan seseorang mengalami adaptasi adaptif bila orang tersebut mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mampu berinteraksi dengan orang lain.

Dalam hal ini, seiring proses adaptasi para lansia pasca stroke lebih menggunakan gaya koping adaptif. Menurut peneliti perubahan gaya koping maladaptif ke adaptif dapat dipengaruhi lingkungan serta dukungan sosial yang diterima. Ibadah yang diadakan di area penelitian setiap 2 kali dalam seminggu serta kunjungan-kunjungan yang diterima dapat berpengaruh dalam perubahan gaya koping tersebut. Hasil sesuai dengan teori Lazarus, 1984 dalam Jaya (2015) yang menyatakan bahwa gaya koping individu dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial yang diterima, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan emosional dan informasi pada diri individu yang diberikan keluarga, saudara, teman dan lingkungan sekitar tempat tinggal. Selain itu juga dukungan sosial merupakan faktor yang berperan dalam meningkatkan penerimaan diri pada penderita pasca stroke.


(5)

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa peran orang tinggal dengan lansia di panti peran yang lebih banyak dalam proses penerimaan diri pada lansia pasca stroke karena dalam kesehariannya lansia di panti setiap harinya bersama penghuni panti. Proses penerimaan diri didukung juga dari kunjungan-kunjungan luar panti seperti pastor dan pendeta dalam pemenuhan kebutuhan spiritual mereka. Berdasarkan dari hasil pernyataan diatas bahwa dukungan orang yang ada disekitar mereka mempunyai peran yang lebih tinggi dalam proses penerimaan lansia pasca stroke.

Didukung oleh penelitian yang dilakukan Masyitnah (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dan penerimaan diri pada penderita pasca stroke. Artinya ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri, semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan pada penderita pasca stroke, maka semakin tinggi pula penerimaan diri yang dimunculkan oleh penderita dan sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial yang diberiksn maka semakin rendah pula penerimaan diri yang dimunculkan penderita pasca stroke.


(6)

4.4 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan didalamnya, referensi mengenai penelitian mekanisme koping pada lansia pasca stroke juga terbatas, sehingga peneliti hanya menggunakan beberapa referensi di dalam pembahasannya. Kemudian, 1 diantara 3 partisipan mengalami sedikit kesulitan dalam berbicara, sehingga peneliti perlu meminta kembali partisipan untuk mengulang jawaban atas pertanyaan yang diberikan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Koping Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga T1 462012070 BAB I

0 1 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Koping Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga T1 462012070 BAB II

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Koping Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga T1 462012070 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Koping Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga

0 0 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Koping Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kualitas Hidup Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih (PSMK) Salatiga T1 462012016 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kualitas Hidup Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih (PSMK) Salatiga T1 462012016 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kualitas Hidup Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih (PSMK) Salatiga T1 462012016 BAB IV

0 1 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kualitas Hidup Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih (PSMK) Salatiga T1 462012016 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kualitas Hidup Lansia Pasca Stroke di Panti Sosial Menara Kasih (PSMK) Salatiga

0 0 15