Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB I

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Etnis Tionghoa merupakan suku yang berasal dari dataran Tiongkok yang merantau dan mengadu nasib di Indonesia. Mereka bukan seperti suku lainnya di Indonesia yang nenek moyangnya memang berasal dari tanah wilayah Indonesia. Etnis Tionghoa datang ke Indonesia dengan tetap memegang dan mempertahankan nilai serta kebudayaan leluhurnya.

Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda mengusahakan keterpisahan masyarakat Tionghoa dan penduduk Pribumi yang disebut ‘Divide and Rule’ (Suryadinata, 2004), dengan adanya perbedaan status hukum dan kedudukan ekonomi yang diberikan pemerintah Belanda kepada etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan oleh adanya kekhawatiran jikalau masyarakat Tionghoa bersatu dengan masyarakat Pribumi, sebab jika mereka bersatu mereka akan memiliki kekuatan untuk menentang penjajahan Belanda di Indonesia

Dengan demikian terjadilah proses borjuis di kalangan etnis Tionghoa yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang. Tidak dapat dipungkiri, dengan cara ini etnis Tionghoa makin memperkokoh kedudukannya sebagai salah satu struktur sosial dalam masyarakat kolonial. Struktur sosial yang dimaksud ialah status hukum sebagai “kelas menengah” yang berada diantara golongan Eropa dan pribumi. Sesungguhnya memang inilah yang menjadi tujuan dari Kolonial Belanda sebagai pihak penguasa pada saat itu untuk membangun citra melalui segala bentuk kebijakan dan hukum sebagai media untuk menetapkan etnis Tionghoa sebagai golongan borjuis dan berada di kelas yang lebih atas dengan pribumi yang menempati kelas terbawah di struktur sosial kolonial (Rustopo, 2007). Hal inilah yang menjadi penyebab adanya rasa curiga dan iri yang mendatangkan


(2)

permusuhan secara langsung maupun tidak langsung antara masyarakat pribumi dengan etnis Tionghoa sehingga tidak adanya persatuan seperti yang diinginkan oleh kolonial Belanda. Penyebab lainnya adalah etnis Tionghoa merupakan suku yang berasal dari negara Tiongkok yang kemudian tinggal dan sepertinya merebut hak masyarakat pribumi di Indonesia yang bukan tanah leluhur mereka.

Adanya rasa iri dan curiga yang ada pada masyarakat Indonesia pada umumnya inilah yang membuat posisi etnis Tionghoa rentan tidak aman setiap ada pergolakkan politik di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka dan pemerintahan dipegang oleh Soekarno, terjadi pergolakkan politik dengan tergulingnya pemerintahan Soekarno.

Masa peralihan dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto diwarnai oleh kerusuhan Anti-Tionghoa.Kampanye Anti-Tionghoa dimulai dengan mempropagandakan bahwa mantan perdana menteri Djuanda meninggal setelah meneguk Anggur Tiongkok beracun. Propaganda lainnya yang menyudutkan Etnis Tionghoa adalah dengan menyebarkan bahwa Etnis Tionghoa sebagai antek Komunis (Tiongkok) yang akan menyebarluaskan paham komunis di Indonesia dan dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintahan RRC. Media massa dalam hal ini surat kabar memegang peranan penting dalam melakukan konstruksi pencitraan pada etnis Tionghoa sebagai propaganda yang disebarluaskan dalam harian suara Islam, sehingga menyulut kemarahan rakyat khususnya umat muslim diliputi oleh kekhawatiran yang mendalam dikalangan etnis Tionghoa. Toko-toko milik etnis Tionghoa banyak yang ditutup, kejadian ini memakan jumlah korban yang tidak sedikit (Setiono ,2002; Hal. 951) .

Setelah runtuhnya orde lama dan memasuki pemerintahan orde baru, Pemerintahan orde baru merupakan pemerintahan yang otoriter. Begitu kuatnya pengaruh media massa maka segala bentuk media massa seperti surat kabar, televisi, dan film diawasi secara ketat dan bahkan justru menjadi alat propaganda bagi pemerintah orde baru untuk


(3)

mengagung-agungkan pemerintah sehingga bentuk pemberitaannya lebih menekankan pada realitas psikologis (pendapat atau pandangan orang) bukan realitas sosiologis (fakta dan lapangan). Hal ini dikarenakan pers menyadari bahwa fakta dari lapangan banyak yang harus disembunyikan bila mereka tidak mau berurusan dengan pihak penguasa (Mulyana, 2008:hal. 103).

Stasiun televisi pada saat itu hanyalah TVRI yang merupakan stasiun televisi pemerintah. TVRI sebagai televisi ideologis pemerintah dijadikan alat propaganda dengan menayangkan Film G30S / PKI yang selalu ditayangkan wajib setiap tanggal 30 September bagi penduduk Indonesia. Film berdurasi 220 menit ini menceritakan kembali kejadian sejarah yakni tanggal 30 September hingga 5 Oktober 1965, film ini diarahkan untuk membenarkan langkah Jenderal Soeharto menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaannya serta menghancurkan PKI. Pemutaran film ini yang terus mengkonstruksikan betapa tepat dan benarnya tindakan yang dilakukan Soeharto memberantas PKI, mengukuhkan terus betapa etnis Tionghoa merupakan golongan yang membahayakan dan bersekongkol sebagai antek-antek PKI. Sementara itu berita televisi dan surat kabar penuh dengan istilah dan julukkan yang mengukuhkan rezim orde baru.

Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan asimilasi atau pembauran lengkap terhadap keturunan Tionghoa dengan adanya kebijakan perubahan nama, pelarangan mengamalkan perayaan imlek, ritual agama dan adat istiadat didepan umum, pelarangan untuk mendirikan dan memperluas dan memperbarui klenteng, serta pelarangan penerbitan , pemasangan tulisan atau iklan yang beraksara dan yang menggunakan bahasa mandarin serta pembelajaran bahasa mandarin (Setiawan,Yohanes,2011).

Adapun undang-undang tersebut merupakan upaya pemerintah agar suku Tionghoa di Indonesia dapat membaur dengan masyarakat Indonesia yang disebarkan melalui surat edaran yang masuk kedalam wilayah kependudukan RT/RW dan sekolah-sekolah untuk menyebarkan dan memberlakukan kebijakan tersebut. Pada kenyataannya undang-undang


(4)

yang memaksa etnis Tionghoa menghilangkan kebudayaan mereka telah mengasingkan golongan ini, karena hal tersebut mengidentifikasikan mereka sebagai bagian yang terpisah dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga terciptanya perasaan tertindas. Selain itu dengan adanya tekanan dalam bentuk penindasan dan pengasingan yang diberlakukan oleh pemerintah, banyak generasi etnis Tionghoa yang pada akhirnya tidak memahami budaya serta bahasa etnis mereka sendiri, sekalipun kebijakan yang dibuat adalah bentuk pelarangan di depan umum, namun bentuk 'pengasingan' pemerintah yang terlihat ilegal di mata masyarakat Indonesia memberikan tekanan terhadap keturunan Tionghoa dalam membudidayakan budaya dan bahasa suku mereka terhadap generasi selanjutnya.

Dari pengalaman sejarah yang ada, dapat dilihat pencitraan yang dibangun oleh pemerintah melalui surat kabar, televisi serta kebijakan dan undang yang diedarkan melalui surat kepada instansi kependudukan maupun pendidikan sebagai media bagi pemerintah untuk mendiskriminasi dan menekan etnis Tionghoa, bahkan media dapat dijadikan alat propaganda politik pemerintah untuk mengkambinghitamkan etnis Tionghoa untuk dijadikan sasaran amukan massa.

Menjelang jatuhnya rezim orde baru, terjadi pergolakkan politik di Indonesia, ada satu bentuk kekecewaan dari masyarakat terhadap orde baru yang dinilai seamakin menyengsarakan masyarakat, terutama pada kelambanan pemerintah menangani krisis moneter. Terjadi banyak demonstrasi yang diprakarsai oleh mahasiswa dari segala penjuru kota dan daerah. kondisi yang semakin panas seperti itu ada bentuk provokasi sehingga masyarakat (massa) bertindak semakin liar dengan mulai menjarah, melakukan kejahatan, yang lagi-lagi etnis Tionghoa lah yang menjadi sasaran empuk amukan massa.

Pada saat itu media massa tidak ada yang berani memberitakan secara gamblang unsur rasis yang terjadi pada kerusuhan tersebut, media massa hanya memberitakan tindakan anarkis massa dalam menjarah dan membakar


(5)

setiap rumah, toko, dan perkantoran. Namun setelah tergulingnya pemerintahan Soeharto dan memasuki era reformasi, banyak buku-buku yang mengangkat topik politik kerusuhan Mei’98 serta bentuk penganiayaan kekerasan serta seksual yang dialami oleh etnis Tionghoa. Hal ini juga terbukti dari data yang diperoleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada tanggal 23 Juli 1998. Tim Gabungan ini bekerja dalam rangka menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei. 1998. TGPF terdiri dari unsur-unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya.1

Di lain sisi, dengan berakhirnya rezim orde baru, Indonesia memasuki orde reformasi. Kebebasan berpendapat serta hak-hak warga negara dijunjung. Seiring dengan itu, maka kebijakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa dicabut. Kendati demikian permasalahan yang dahulu dengan adanya rasa diasingkan dan didiskriminasi tidak semudah itu dapat dihilangkan, begitu juga dengan kemelut adanya jurang pemisah yang merujuk pada sikap permusuhan secara langsung maupun tidak langsung diantara etnis Tionghoa dengan Pribumi.

Seiring dengan itu, berakhirnya orde baru juga membuka kesempatan bagi pers dan media massa untuk lebih bebas dalam berpendapat, berkreasi serta bersikap kritis. Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer.

Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi seperti yang dikatakan oleh Fred S Siebert (1963) yang menyatakan pers sebagai pilar keempat demokrasi,

1


(6)

selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini mengisyaratkan pentingnya keikutsertaan pers dalam melakukan kontrol atas tiga pilar kekuasaan tersebut.2 Dikukuhkan lagi dengan pernyataan Agner Fog bahwa media dihajatkan (lahir) sebagai penyangga demokrasi. Media menjadi penyangga penting demokrasi, sebab media menyajikan informasi hiruk-pikuk bernegara. Namun di lain pihak, media modern turut serta menyumbangkan sejumlah solusi atas berbagai problemantika bangsa itu.3

Melihat perjalanan sejarah bagaimana pihak penguasa mengkonstruksikan posisi etnis Tionghoa dari masa kolonial Belanda sampai pada masa pemerintahan Negara Indonesia, yang mengakibatkan adanya permasalahan yang terus melekat sampai sekarang, dimana etnis Tionghoa merasa didiskriminasi, diasingkan, tidak aman dan permasalahan adanya rasa permusuhan dan saling curiga antara masyarakat Indonesia dengan etnis Tionghoa. Permasalahan-permasalahan inilah yang merupakan hasil dari konstruksi yang dibangun oleh pihak penguasa.

Masuknya era demokrasi modern ini media yang merupakan pilar ke empat pada suatu negara memiliki kekuasaan dalam mengkonstruksi dan memberikan solusi pada permasalahan negara yang ada. Strategi pengenalan, penerimaan dan perdamaian haruslah diusung agar tidak adanya lagi kejadian kerusuhan rasis yang meminggirkan serta menghegemoni etnis Tionghoa. Deddy Mulyana (2008) mengkritisi dan mengungkapkan potensi TV publik mampu menjadi jembatan bagi kesadaran masyarakat untuk dapat bersolidaritas dan menghargai suku minoritas. TV publik dapat mempromosikan pengetahuan, kesadaran dan empati antarbudaya, menyoroti keragaman budaya Indonesia dan pentingnya saling pengertian antarbudaya. TV publik dapat menayangkan acara-acara yang melukiskan gaya hidup berbagai kelompok suku atau ras.

2

Siebert, Fred S. , 1963; Four Theories of the Press dalam (Narwaya,2006) 3

Agner Fog, 2004; artikel “The supposed and the real role of mass media in modern democracy” dalam (Narwaya,2006)


(7)

Salah satu stasiun televisi nasional yakni Metro TV yang berdiri pada tanggal 25 November 2000 menyajikan satu program berita dalam bahasa mandarin yang mengangkat sisi kehidupan etnis Tionghoa secara eksklusif. Metro xin wen pertama kali disiarkan pada tanggal 2 Desember 2000, dan sekarang ini metro xin wen pada hari Senin sampai dengan Jumat hadir dalam rangkaian metro wide shot yang berdurasi 4 jam dari pukul 13.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB, yang dibawakan oleh tiga presenter yang salah satunya merupakan presenter metro xin wen. Metro wide shot menampilkan berbagai berita dari VOA, talk show dalam berbagai topik berita dalam negeri dengan menghadirkan narasumber, laporan arus lalu lintas, olahraga termasuk prgram berita mandarin xin wen, kemudian hari Sabtu dan hari Minggu metro xin wen hadir dalam program metro xin wen weekend.

Metro tv sebagai media yang memiliki kekuasaan sebagai pilar ke empat suatu negara membangun pencitraan kepada khalayak luas baik itu kepada etnis Tionghoa itu sendiri maupun kepada masyarakat Indonesia secara luas melalui program berita metro xin wen bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia.

Hal ini merupakan suatu fenomena yang menarik bagi penulis untuk diteliti, bagaimana suatu media yakni metro TV yang merupakan salah satu pilar ke empat di negara Indonesia dan memiliki kekuasaan untuk melakukan konstruksi terhadap masyarakat, berusaha untuk memberikan solusi permasalahan yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia dari masa ke masa melalui program Metro xin wen melalui isi pemberitaannya, kemasan, serta teks yang tersurat maupun tersirat merujuk dalam upaya mengangkat jati diri dan eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia serta menjadi jembatan bagi etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan untuk menjadi kesatuan bangsa Indonesia.


(8)

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana wacana pada pemberitaan Metro Xin Wen mengenai citra etnis Tionghoa merupakan bagian dari Bangsa Indonesia didiskusikan pada konteks masyarakat Indonesia dengan menggunakan analisis wacana kritis?

1.3. Tujuan

Menjelaskan diskusi wacana pada pemberitaan Metro Xin Wen mengenai citra etnis Tionghoa merupakan bagian dari Bangsa Indonesia pada konteks masyarakat Indonesia dengan menggunakan analisis wacana kritis.

1.4. Manfaat

1.4.1. Manfaat Teoritis

Dari hasil yang diperoleh dapat menjelaskan bagaimana suatu media memiliki kekuasaaan dalam melakukan konstruksi dalam suatu pemberitaan, serta untuk menambah literatur bagi perpustakaan dan dapat memberikan informasi tambahan bagi mahasiswa yang sedang menempuh studi di Universitas Kristen Satya Wacana.

1.4.2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini dapat diketahui sejauh mana suatu media dalam mengkonstruksi bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia dan mengupayakan untuk dapat menjadi jembatan persatuan, sehingga diharapkan pembaca yang ada dapat lebih bersikap kritis dalam kehidupan sehari-harinya dalam menyikapi permasalahan rasis di masyarakat.


(9)

1.5. Kerangka Pikir

Gambar 1.5 Ker angka Pikir PENGUASA/ BELANDA

CHANNEL/ M EDIA

RAKYAT

CITRA-> Et nis Tionghoa kelas menengah dan pribumi kelas

yang t er hegemoni PESAN

NEGARA

M EDIA

RAKYAT

CITRA-> Et nis Tionghoa kelas sosial yang t erhegemoni,dan

t er diskriminasi PESAN

M ETRO TV/ M EDIA

XIN WEN

KHALAYAK

CITRA-> Et nis Tionghoa merupakan bagian dari

Bangsa Indonesia PESAN


(1)

yang memaksa etnis Tionghoa menghilangkan kebudayaan mereka telah mengasingkan golongan ini, karena hal tersebut mengidentifikasikan mereka sebagai bagian yang terpisah dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga terciptanya perasaan tertindas. Selain itu dengan adanya tekanan dalam bentuk penindasan dan pengasingan yang diberlakukan oleh pemerintah, banyak generasi etnis Tionghoa yang pada akhirnya tidak memahami budaya serta bahasa etnis mereka sendiri, sekalipun kebijakan yang dibuat adalah bentuk pelarangan di depan umum, namun bentuk 'pengasingan' pemerintah yang terlihat ilegal di mata masyarakat Indonesia memberikan tekanan terhadap keturunan Tionghoa dalam membudidayakan budaya dan bahasa suku mereka terhadap generasi selanjutnya.

Dari pengalaman sejarah yang ada, dapat dilihat pencitraan yang dibangun oleh pemerintah melalui surat kabar, televisi serta kebijakan dan undang yang diedarkan melalui surat kepada instansi kependudukan maupun pendidikan sebagai media bagi pemerintah untuk mendiskriminasi dan menekan etnis Tionghoa, bahkan media dapat dijadikan alat propaganda politik pemerintah untuk mengkambinghitamkan etnis Tionghoa untuk dijadikan sasaran amukan massa.

Menjelang jatuhnya rezim orde baru, terjadi pergolakkan politik di Indonesia, ada satu bentuk kekecewaan dari masyarakat terhadap orde baru yang dinilai seamakin menyengsarakan masyarakat, terutama pada kelambanan pemerintah menangani krisis moneter. Terjadi banyak demonstrasi yang diprakarsai oleh mahasiswa dari segala penjuru kota dan daerah. kondisi yang semakin panas seperti itu ada bentuk provokasi sehingga masyarakat (massa) bertindak semakin liar dengan mulai menjarah, melakukan kejahatan, yang lagi-lagi etnis Tionghoa lah yang menjadi sasaran empuk amukan massa.

Pada saat itu media massa tidak ada yang berani memberitakan secara gamblang unsur rasis yang terjadi pada kerusuhan tersebut, media massa hanya memberitakan tindakan anarkis massa dalam menjarah dan membakar


(2)

setiap rumah, toko, dan perkantoran. Namun setelah tergulingnya pemerintahan Soeharto dan memasuki era reformasi, banyak buku-buku yang mengangkat topik politik kerusuhan Mei’98 serta bentuk penganiayaan kekerasan serta seksual yang dialami oleh etnis Tionghoa. Hal ini juga terbukti dari data yang diperoleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada tanggal 23 Juli 1998. Tim Gabungan ini bekerja dalam rangka menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei. 1998. TGPF terdiri dari unsur-unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya.1

Di lain sisi, dengan berakhirnya rezim orde baru, Indonesia memasuki orde reformasi. Kebebasan berpendapat serta hak-hak warga negara dijunjung. Seiring dengan itu, maka kebijakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa dicabut. Kendati demikian permasalahan yang dahulu dengan adanya rasa diasingkan dan didiskriminasi tidak semudah itu dapat dihilangkan, begitu juga dengan kemelut adanya jurang pemisah yang merujuk pada sikap permusuhan secara langsung maupun tidak langsung diantara etnis Tionghoa dengan Pribumi.

Seiring dengan itu, berakhirnya orde baru juga membuka kesempatan bagi pers dan media massa untuk lebih bebas dalam berpendapat, berkreasi serta bersikap kritis. Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer.

Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi seperti yang dikatakan oleh Fred S Siebert (1963) yang menyatakan pers sebagai pilar keempat demokrasi,

1


(3)

selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini mengisyaratkan pentingnya keikutsertaan pers dalam melakukan kontrol atas tiga pilar kekuasaan tersebut.2 Dikukuhkan lagi dengan pernyataan Agner Fog bahwa media dihajatkan (lahir) sebagai penyangga demokrasi. Media menjadi penyangga penting demokrasi, sebab media menyajikan informasi hiruk-pikuk bernegara. Namun di lain pihak, media modern turut serta menyumbangkan sejumlah solusi atas berbagai problemantika bangsa itu.3

Melihat perjalanan sejarah bagaimana pihak penguasa mengkonstruksikan posisi etnis Tionghoa dari masa kolonial Belanda sampai pada masa pemerintahan Negara Indonesia, yang mengakibatkan adanya permasalahan yang terus melekat sampai sekarang, dimana etnis Tionghoa merasa didiskriminasi, diasingkan, tidak aman dan permasalahan adanya rasa permusuhan dan saling curiga antara masyarakat Indonesia dengan etnis Tionghoa. Permasalahan-permasalahan inilah yang merupakan hasil dari konstruksi yang dibangun oleh pihak penguasa.

Masuknya era demokrasi modern ini media yang merupakan pilar ke empat pada suatu negara memiliki kekuasaan dalam mengkonstruksi dan memberikan solusi pada permasalahan negara yang ada. Strategi pengenalan, penerimaan dan perdamaian haruslah diusung agar tidak adanya lagi kejadian kerusuhan rasis yang meminggirkan serta menghegemoni etnis Tionghoa. Deddy Mulyana (2008) mengkritisi dan mengungkapkan potensi TV publik mampu menjadi jembatan bagi kesadaran masyarakat untuk dapat bersolidaritas dan menghargai suku minoritas. TV publik dapat mempromosikan pengetahuan, kesadaran dan empati antarbudaya, menyoroti keragaman budaya Indonesia dan pentingnya saling pengertian antarbudaya. TV publik dapat menayangkan acara-acara yang melukiskan gaya hidup berbagai kelompok suku atau ras.

2

Siebert, Fred S. , 1963; Four Theories of the Press dalam (Narwaya,2006) 3

Agner Fog, 2004; artikel “The supposed and the real role of mass media in modern democracy” dalam (Narwaya,2006)


(4)

Salah satu stasiun televisi nasional yakni Metro TV yang berdiri pada tanggal 25 November 2000 menyajikan satu program berita dalam bahasa mandarin yang mengangkat sisi kehidupan etnis Tionghoa secara eksklusif. Metro xin wen pertama kali disiarkan pada tanggal 2 Desember 2000, dan sekarang ini metro xin wen pada hari Senin sampai dengan Jumat hadir dalam rangkaian metro wide shot yang berdurasi 4 jam dari pukul 13.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB, yang dibawakan oleh tiga presenter yang salah satunya merupakan presenter metro xin wen. Metro wide shot menampilkan berbagai berita dari VOA, talk show dalam berbagai topik berita dalam negeri dengan menghadirkan narasumber, laporan arus lalu lintas, olahraga termasuk prgram berita mandarin xin wen, kemudian hari Sabtu dan hari Minggu metro xin wen hadir dalam program metro xin wen weekend.

Metro tv sebagai media yang memiliki kekuasaan sebagai pilar ke empat suatu negara membangun pencitraan kepada khalayak luas baik itu kepada etnis Tionghoa itu sendiri maupun kepada masyarakat Indonesia secara luas melalui program berita metro xin wen bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia.

Hal ini merupakan suatu fenomena yang menarik bagi penulis untuk diteliti, bagaimana suatu media yakni metro TV yang merupakan salah satu pilar ke empat di negara Indonesia dan memiliki kekuasaan untuk melakukan konstruksi terhadap masyarakat, berusaha untuk memberikan solusi permasalahan yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia dari masa ke masa melalui program Metro xin wen melalui isi pemberitaannya, kemasan, serta teks yang tersurat maupun tersirat merujuk dalam upaya mengangkat jati diri dan eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia serta menjadi jembatan bagi etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan untuk menjadi kesatuan bangsa Indonesia.


(5)

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana wacana pada pemberitaan Metro Xin Wen mengenai citra etnis Tionghoa merupakan bagian dari Bangsa Indonesia didiskusikan pada konteks masyarakat Indonesia dengan menggunakan analisis wacana kritis?

1.3. Tujuan

Menjelaskan diskusi wacana pada pemberitaan Metro Xin Wen mengenai citra etnis Tionghoa merupakan bagian dari Bangsa Indonesia pada konteks masyarakat Indonesia dengan menggunakan analisis wacana kritis.

1.4. Manfaat

1.4.1. Manfaat Teoritis

Dari hasil yang diperoleh dapat menjelaskan bagaimana suatu media memiliki kekuasaaan dalam melakukan konstruksi dalam suatu pemberitaan, serta untuk menambah literatur bagi perpustakaan dan dapat memberikan informasi tambahan bagi mahasiswa yang sedang menempuh studi di Universitas Kristen Satya Wacana.

1.4.2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini dapat diketahui sejauh mana suatu media dalam mengkonstruksi bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia dan mengupayakan untuk dapat menjadi jembatan persatuan, sehingga diharapkan pembaca yang ada dapat lebih bersikap kritis dalam kehidupan sehari-harinya dalam menyikapi permasalahan rasis di masyarakat.


(6)

1.5. Kerangka Pikir

Gambar 1.5 Ker angka Pikir PENGUASA/ BELANDA

CHANNEL/ M EDIA

RAKYAT

CITRA-> Et nis Tionghoa kelas menengah dan pribumi kelas

yang t er hegemoni PESAN

NEGARA

M EDIA

RAKYAT

CITRA-> Et nis Tionghoa kelas sosial yang t erhegemoni,dan

t er diskriminasi PESAN

M ETRO TV/ M EDIA

XIN WEN

KHALAYAK

CITRA-> Et nis Tionghoa merupakan bagian dari

Bangsa Indonesia PESAN


Dokumen yang terkait

PENGARUH DAYA TARIK BERITA METRO XIN WEN TERHADAP INTENSITAS ETNIK TIONGHOA MENONTON METRO XIN WEN Studi pada Masyarakat Etnik Tionghoa di Pecinan Malang

1 28 2

Hubungan antara Kegiatan Menonton Program Metro Xin Wen dengan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Penonton Etnis Tionghoa.

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB II

0 1 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB V

1 1 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 34

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis Video Dokumenter Kompas TV “Sianida di Kopi Mirna” T1 BAB I

0 0 7