Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB V

(1)

55

BAB V

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan analisis dan pembahasan dari penelitian. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk. Menurut Van Dijk penelitian analisis wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik kekuasaan. Pemahaman produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan mengapa teks demikian adanya. Disini Van Dijk juga melihat bagaimana tatanan sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk, dan berpengaruh terhadap teks-teks tertentu.

Dimensi teks merupakan Proses konstruksi realitas yang mengarah pada konstruksi citra yang diinginkan oleh media, yang menurut Hamad (2004) dalam proses konstruksi realitas, bahasa merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Selanjutnya penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti seluruh isi media entah media cetak ataupun media elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel).

Pada media massa, keberadaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas-realitas media yang akan muncul di benak khalayak. Oleh karena persoalan makna itulah, maka penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas, terlebih atas hasilnya (baca, makna atau citra). Setiap kata, angka, dan simbol lain dalam bahasa yang kita pakai untuk menyampaikan pesan pada orang lain tentulah mengandung makna. Begitu juga, rakitan antara satu kata dengan kata lain menghasilkan satu makna. Penampilan secara keseluruhan sebuah wacana bahkan bisa menimbulkan makna tertentu.


(2)

56

5.1 “KIBAR AKBAR TERBESAR DI LASEM DAN TIONGKOK KECIL

DI PULAU JAWA” a. Struktur Makro

Struktur makro meliputi elemen tematik atau topik. Topik menggambarkan gagasan apa yang dikedepankan atau gagasan inti dari komunikator ketika melihat atau memandang peristiwa sehingga peristiwa tersebut dimunculkan dengan judul “Kibar Akbar Terbesar di Lasem dan Tiongkok kecil di Pulau Jawa”. Gagasan Van Dijk ini didasarkan pada pandangan ketika komunikator meliput suatu peristiwa dan memandang suatu masalah didasarkan pada suatu mental/pikiran tertentu. Kognisi atau mental ini secara jelas dapat dilihat dari topik yang dimunculkan dalam berita. Karena topik disini dipahami sebagai mental atau kognisi dari komunikator, tidak mengherankan jika semua elemen dalam berita mengacu dan mendukung topik dalam berita. (Eriyanto 2001: 235)

Penggunaan kata ‘kibar’ memberikan satu asumsi pada suatu perayaan yang memiliki eksistensi yang diakui bahkan menjadi pusat, seperti pada saat bagaimana kondisi Indonesia yang dijajah dan bagaimana pahlawan dengan semangat juang berperang dan ‘mengibarkan’ bendera merah putih sebagai lambang untuk memperjuangkan adanya pengakuan atas eksistensi negara Indonesia, sehingga penggunaan kata ‘kibar’ meliputi makna ‘keberadaan’, ‘eksistensi’, ‘pengakuan’. Sedangkan kata ‘akbar’ memiliki makna ‘besar’, ‘penting’. Penggunaan kata ‘terbesar’ dimaknai bahwa perayaan besar ini ‘paling besar’, ‘paling meriah’, ‘paling megah’ yang pernah ada di kota Lasem.

Sedangkan penggunaan kata ‘Tiongkok kecil di Pulau Jawa’ mengenai kota Lasem, memberikan satu gambaran bahwa Lasem


(3)

57 memiliki budaya Tionghoa yang sangat kental dan yang menjadi ciri khas dari kota ini. Sedikit menilik sejarah dari kota Lasem, ternyata Lasem memiliki sejarah yang sangat penting karena kedatangan etnis Tionghoa di Indonesia di awali dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho yang berasal dari Tiongkok sebagai penyebar agama Islam di Indonesia, mendarat pertama kali di kota Lasem pada Tahun 1413. Salah satu anggota dari rombongan Laksamana Cheng Ho yaitu Bi Nang Un ingin tinggal di Lasem untuk menyebarkan Agama Islam diantara penduduk asli, yang kemudian disusul dengan kedatangan etnis Tionghoa lainnya.1 Sejarah ini menjadi suatu dasar mengapa masyarakat Lasem dapat hidup secara rukun dengan etnis Tionghoa tanpa adanya kesenjangan dan perbedaan agama dan etnis, hal ini dikarenakan Cheng Ho yang seorang Tionghoa merupakan tokoh penting bagi masyarakat Lasem yang mayoritas memeluk agama Islam, sehingga eksistensi dan keberadaan budaya dan agama Tionghoa dapat berkembang di tengah masyarakat Lasem dan menjadi bagian dari kota Lasem tanpa menimbulkan konflik.

Peristiwa pada kondisi masyarakat Lasem yang begitu harmonis merupakan realita pengecualian dibandingkan kelaziman, yang dijelaskan oleh Coppel (1994) bahwa hal ini dikarenakan peranan kolonial Belanda yang dengan giat menghalang-halangi penyeberangan perbatasan etnis. Tidak ada prosedur yang dilembagakan yang memungkinkan seorang penduduk Tionghoa dapat melepaskan diri dari golongan menengah Timur Asing dan menjadi warga penduduk pribumi, tapi hal ini merupakan pengecualian bagi masyarakat Lasem dikarenakan hubungan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Lasem telah terjalin dengan baik dan telah bersatu sebelum kedatangan Belanda pada Tahun 1596.

Dari sejarah mengenai kota Lasem dan makna dari topik dapat disimpulkan bahwa kebudayaan etnis Tionghoa sangat diakui keberadaannya bahkan dianggap penting bagi kota Lasem dikarenakan

1


(4)

58 etnis Tionghoa sudah dianggap menjadi bagian dari masyarakat Lasem sehingga membuktikan segala bentuk prasangka dan stereotipe yang muncul pada etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari sejarah. Sejarah yang baik akan membawa hubungan yang baik begitu juga sebaliknya sejarah yang buruk akan membawa hubungan yang buruk yang dimana hubungan yang buruk dengan munculnya stereotipe dan prasangka tidak terlepas dari sejarah wacana yang dibentuk oleh penguasa.

Beranjak dari pemahaman ini, dapat diketahui pemilihan Kota Lasem oleh Metro Xin Wen merupakan upaya pengkonstruksian wacana yang dibangun oleh Metro TV atas keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia. Topik merupakan hal penting penanda keberpihakan media terhadap kelompok tertentu. Dengan kata lain, pemilihan topik tentang masyarakat Lasem dengan sudut pandang tertentu akan menunjukkan kepentingan media atas kelompok tersebut. Metro TV melalui Metro Xin Wen tampaknya memiliki agenda dalam pemilihan topik tentang Lasem. Bukan tema tentang bagaimana konflik latent yang terbangun di masyarakat Indonesia tentang keberadaan masyarakat Tionghoa, yang bisa saja konstruksi media akan menyudutkan kelompok minoritas tersebut. Namun justru sebaliknya, dipilihlah topik mengenai kota Lasem yang dikenal dengan keharmonisan interaksi antar etnis.

Interaksi yang harmonis dibuktikan dengan adanya asimilasi pada batik Lasem dan perayaan kibar akbar, sehingga wacana yang diangkat oleh Metro Xin Wen mengenai kota Lasem bermaksud untuk memberikan kesadaran bagi seluruh khalayak bahwa permasalahan serta konflik yang berkepanjangan mengenai etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia sampai pada konteks kekinian sangat berkaitan erat dengan wacana penguasa pada masa lampau, sehingga upaya pengkonstruksian wacana ini dapat memberikan satu perenungan dan kesadaran bagi kedua pihak untuk bisa menghilangkan seluruh stereotipe


(5)

59 dan prasangka buruk hasil dari wacana masa lampau untuk bisa menciptakan kehidupan pluralisme yang harmonis untuk kemajuan bangsa dan negara.

b. Super Struktur

Alur pada teks pemberitaan mengenai “Kibar Akbar Terbesar di Lasem dan Tiongkok Kecil di Pulau Jawa” menempatkan pada 2 alur bagian; bagian pertama menayangkan berita mengenai perayaan kibar akbar, dan bagian kedua menayangkan berita mengenai profil kota Lasem yang kental dengan budaya Tionghoa. Pada setiap pergantian bagian, di awal pemberitaan akan selalu ditekankan sejarah atau latar kedatangan etnis Tionghoa ke Lasem pada abad ke 14 untuk menekankan pada wacana mengenai sejarah Tionghoa di Lasem yang tidak terkontaminasi oleh sejarah wacana politik kolonial Belanda yang datang ke Indonesia pada abad 15 dengan berusaha memisahkan etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi pada saat itu, sehingga konteks pengecualian ini lah yang membuat masyarakat Lasem dapat hidup berdampingan dan harmonis.

Penekanan pada alur sejarah oleh Metro Xin Wen untuk membawa pada pengertian bahwa pentingnya kehidupan berbangsa dengan tidak lagi terus memberlakukan wacana pada masa lampau. Seperti yang diungkapkan oleh Candy Jorian selaku produser Metro Xin Wen mengenai tujuan dan maksud diangkatnya topik mengenai masyarakat Lasem bahwa;

“Kota Lasem merupakan fenomena yang menarik yang meyakinkan kita semua bahwa perdamaian dan hubungan yang baik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia bukan suatu hal yang mustahil, ini merupakan pengetahuan yang harus dimengerti dan ditanamkan oleh seluruh masyarakat luas bahwa semuanya dapat diperbaiki dan kita bisa hidup berdampingan seperti masyarakat di Lasem.”

Alur pada pemberitaan Metro Xin Wen juga selalu menggunakan bahasa mandarin yang di terjemahkan dengan teks bahasa Indonesia, atau jika pada bagian wawancara yang dimana nara sumber dalam


(6)

60 pengucapan menggunakan bahasa Indonesia, maka akan diterjemahkan pada teks bahasa mandarin. Pengemasan dalam bahasa mandarin sebenarnya wujud kebebasan bagi etnis Tionghoa dalam melestarikan dan mengekspresikan kebudayaan Tionghoanya, atau bisa juga sebagai pengenalan bahasa sebagai wujud budaya Tionghoa kepada khalayak.

Bahasa mandarin ditempatkan sebagai bahasa yang penting oleh metro TV sebagai media melalui program berita Metro Xin Wen, bahasa mandarin dianggap bukan lagi sebagai bahasa yang tabu seperti yang selama ini diberlakukan selama masa pemerintahan orde baru dengan kebijakan hukum pembauran dengan penekanan dan pembatasan budaya Tionghoa termasuk salah satunya bahasa mandarin. Dijelaskan oleh Kasmun saparauns (2003) bahwa pada masa itu segala bentuk media yang beraksara mandarin dilarang peredarannya, selain itu juga lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa mandarin juga dilarang, sehingga budaya Tionghoa dalam hal ini bahasa mandarin yang dikemas oleh Metro TV melalu program berita Metro Xin Wen bukan lagi suatu yang dianggap tabu, bahkan menjadi bahasa yang penting karena penggunaan bahasa mandarin mulai memiliki eksistensi yang penting di dunia internasional dan masyarakat dapat lebih terbuka dan terbiasa dengan kebudayaan Tionghoa di Indonesia.

c. Struktur Mikro

Struktur Mikro menjelaskan penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandung. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus dapat menciptakan realitas. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, kalimat, metafora macam apa suatu berita


(7)

61 disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dai suatu teks (Eriyanto, 2001:15)

Presenter : Pemirsa, apa kabar? Selamat datang di kota batik, Lasem. Disini adalah kecamatan Lasem di Jawa Tengah. Sekalipun Lasem hanyalah kota kecil, namun ia memiliki warisan sejarah yang teramat kaya, khususnya warisan budaya Tionghoa, karena pada abad 14, saat orang China pertama kali mendarat di Pulau Jawa, daerah pertama yang ditapaki adalah Lasem. Jika ingin tahu lebih banyak tentang Lasem, maka mari ikuti saya.

Pembukaan pada berita ini menggambarkan seperti apa kota Lasem, ternyata Lasem merupakan kota kecil namun sangat terkenal dengan kebudayaan batik. Penempatan kalimat bahwa Lasem disebut dengan kota batik, membawa asumsi bahwa batik pada kota Lasem memiliki kekhasan dibandingkan dengan batik-batik di kota lain seperti pekalongan dan lain-lain. Selain itu kota Lasem terkenal dengan warisan sejarah dan budaya Tionghoa, hal tersebut dijelaskan bahwa semenjak abad ke-14, orang china pertama kali datang ke Indonesia menapaki daerah Lasem.

Dalam segmen awal, Metro TV merasa perlu untuk menjelaskan sejarah mengenai Lasem bukan tanpa alasan. Dalam sebuah program berita, peletakan informasi pada kalimat serta kaitan antara kalimat satu dengan kalimat lainnya dibuat dengan sebuah tujuan tertentu, termasuk untuk membangun pemahaman mendasar tentang topik yang akan dibahas. Metro Xin Wen perlu untuk menjelaskan bahwa Lasem terkenal dengan kota batik karena batik merupakan hasil warisan budaya Tionghoa yang tidak terlepas dari sejarah masuknya orang China di Lasem, sehingga memberikan satu pemahaman bahwa orang China bukanlah orang asing yang baru saja datang di Indonesia. Kalimat tersebut memberi gagasan atas wacana bahwa China adalah bagian dari Indonesia sejak abad 14 yang


(8)

62 terbukti dengan batik sebagai simbol peranan orang China yang masuk dan membaur dengan masyarakat Lasem.

Pemilihan kata ‘china’ dan bukan ‘cina’ pada pemberitaan Metro Xin Wen guna mengarahkan pada pesan yang positif mengenai etnis Tionghoa, dikarenakan realitas mengenai pemahaman yang berkembang selama ini, bahwa sebutan ‘cina’ pada umumnya dianggap sebagai sebuah ejekan yang mengucilkan dan merendahkan dari masyarakat Indonesia bagi etnis Tionghoa. Seperti yang terlihat di forum diskusi online di situs kaskus oleh beberapa kaskuser;

“... kamu2 i tul ah yg per tama menumbuhkan pr asangka dar i kami kalo kamu tet ap ga mau ber sosiali sasi , jangan sal ahkan kami melabeli kamu "cina! bukan chayna"..(beir utUser ID: 1485885, post 12-03-2012, 02:33 PM )

“Gan.. ane or ang tionghoa dar i Medan.. n speak Chinese too.. Gan kadang mi r is ane naek angkot di Bandung.. masih banyak masyar akat yang nyebut "Dasar si Cina" " w ew.. r upanya masih ada yg "benci " ya..? wkwk... “ Hendr ick.young kaskuser User ID: 1318896 lokasi Bandung,post 12-03-2012, 12:40 PM)

Fenomena yang terjadi di masyarakat dengan memberikan satu bentuk penghinaan dengan sebutan ‘cina’ tentunya merupakan hasil dari konstruksi wacana pada penguasa dahulu yang mengarahkan pada stereotipe dan prasangka buruk mengenai etnis Tionghoa. Dikarenakan hal tersebut, maka Metro Xin Wen merasa perlu untuk meluruskan dengan pemilihan kata ‘China’.

Lasem baru saja mengadakan kibar akbar pertama yang menarik peserta dari sekitar 50 kelenteng dari seluruh negri. Suksesnya acara kali ini tak lepas dari dukungan dan bantuan dari segenap warga Lasem, jelas menunjukkan solidaritas masyarakat lasem yang tinggi.

Dari segmen berita ini dijelaskan bahwa acara kibar akbar ini diikuti oleh 50 Kelenteng yang ternyata membawa satu pemahaman bahwa


(9)

63 perayaan yang memiliki eksistensi dan keberadaan yang diakui dan juga penting merupakan perayaan agama Buddha yang merupakan identitas dari etnis Tionghoa, dan perayaan ini memang merupakan perayaan yang besar karena dilihat dari jumlah kelenteng yang berpartisipasi. Dijelaskan bahwa acara yang besar pada kota yang kecil ini pastinya akan melibatkan seluruh masyarakat Lasem. Sedangkan dilihat dari realitas kehidupan beragama di Indonesia, konflik yang terjadi antara agama mayoritas dan agama minoritas kerap kali terjadi, seperti skandal penutupan gereja dikarenakan adanya rasa keberatan dari agama mayoritas ketika suatu agama minoritas mengadakan perayaan agamanya.

Hal ini memberi satu pemahaman, yang dimana ini merupakan konstruksi yang dibangun oleh Metro Xin Wen bahwa jika acara yang begitu besar dapat berlangsung dengan sukses, itu berarti acara tersebut mendapatkan dukungan dan bantuan dari masyarakat Lasem yang non Buddha. Dari pemahaman yang dikembangkan oleh Metro Xin Wen melalui penyajian bahasa pada teks, menggiring pada nilai dari peristiwa yang dimunculkan yakni nilai toleransi dalam kehidupan beragama.

VO: Ulang Tahun Dewi Mak Co jatuh pada tanggal 23 bulan 3 penanggalan China. Tahun ini, Kelenteng Tjoe An Kiong Lasem merayakan kibar akbar untuk merayakannya. Ada sekitar 50 kelenteng di seluruh negri turut serta dalam kibar ini, setiap kelenteng membawa sekitar 100 orang. Setiap rombongan membawa serta patung Dewa Tuan Rumah mereka, jumlah seluruhnya sekitar 80 patung Dewa Tuan Rumah dalam kibar ini. Kibar dibuka oleh Wakil Bupati Rembang, H. Abdul Hafidz. Beliau mengatakan, merupakan suatu kebanggaan bagi warga Lasem untuk dapat mengadakan acara ini, karena itu budaya ini harus terus dipertahankan.

Pada paragraf ini berita diarahkan secara lebih spesifik mengenai betapa besarnya perayaan yang diadakan pada kota Lasem. Dapat


(10)

64 dibayangkan betapa besarnya perayaan ini dengan setiap kelenteng yang berjumlah 50 membawa rombongannya yang berjumlah 100 beserta dengan jumlah 80 Patung Dewa Rumah. Selain itu juga dijelaskan makna dari perayaan ini bahwa untuk memperingati hari Ulang Tahun Dewi Mak Co.

Pemilihan setiap kata dan kalimat yang diproduksi oleh Metro Xin Wen dengan memberikan detil mengenai jumlah serta makna dari perayaan yang mengarahkan pada kepercayaan agama Buddha, bukanlah suatu yang tidak disengaja, namun memiliki maksud yang mengarahkan pada satu pemahaman bahwa bentuk perayaan ini bukanlah bentuk perayaan sosial yang hanya mengatasnamakan agama tertentu sehingga alasan tersebut dapat melazimkan masyarakat Lasem yang non Buddha untuk menerima dan mendukung perayaan tersebut, namun jelas bahwa bentuk perayaan tersebut sangat berkaitan dengan kepercayaan dari agama Buddha yang justru merupakan fenomena pengecualian pada kehidupan multi etnis di Indonesia. Maksud dari Metro Xin Wen dalam memproduksi bahasa-bahasa tertentu dalam penyampaian berita tersebut, bertujuan untuk membangun wacana dan pengetahuan bagi khalayak terhadap kehidupan pluralisme berbangsa yang ideal dengan mengedepankan nilai solidaritas dan toleransi antar sesama.

Perayaan yang menggambarkan kepercayaan agama Buddha justru disambut baik oleh Bupati Rembang sebagai perwakilan pemerintah. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan melihat pada bagaimana wacana yang dikembangkan pada masa orde baru yang dijelaskan oleh Greiff (1991:19) bahwa agama Buddha diakui oleh pemerintah sebagai agama yang resmi di Indonesia diatur dengan UU No.5/1969. Diakuinya agama Buddha seharusnya juga turut memberikan kebebasan bagi umat Buddha untuk menjalankan ritual keagamaan, namun hal ini tidak sejalan dengan dengan kebijaksanaan asimilasi pemerintah Orde Baru mengenai etnis Tionghoa, yang pada akhirnya juga memberikan tekanan terhadap praktek


(11)

65 keagamaan yang bersumber pada negeri leluhur sehingga praktek keagamaan hanya dilakukan di lingkungan keluarga, akibatnya arak-arakan keagamaan tidak pernah ada. Memasuki era reformasi kebebasan bagi etnis Tionghoa dibuka dan tidak dibatasi lagi termasuk perayaan agama.

Pada penyampaian berita Metro Xin Wen dijelaskan bahwa perayaan tersebut dibuka oleh pemerintah daerah yang dimana Metro Xin Wen berupaya untuk tidak hanya menunjukkan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah namun juga pemerintah memberikan sambutan, penerimaan dan dukungan, sebagai bentuk tidak ada lagi diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan agama Buddha sebagai etnis dan agama minoritas. Penekanan nilai pada berita bahwa tidak ada lagi bentuk diskriminasi dan pengasingan kepada etnis Tionghoa oleh Metro Xin Wen untuk mengarahkan khalayak terhadap penempatan etnis Tionghoa yang diakui dan diterima pada konteks saat ini.

H. Abdul hafidz (Bupati Rembang) : “Untuk masyarakat Lasem ini merupakan kebanggaan karena ini salah satu budaya yang bisa kita angkat pada level nasional bahkan internasional”

Ungkapan dari Bupati Rembang dijelaskan oleh Bourdieu dalam Rusdiarti (2003:33) sebagai bentuk ujaran performatif yang dianggap bahwa bahasa merupakan praktik sosial dari seseorang, yang dimana ujaran dari Bupati Rembang tersebut menunjukkan partisipasi pemerintah terhadap ritual perayaan tersebut. Ujaran performatif tidak terlepas dari institusi atau kapasitasnya sebagai Bupati sehingga memiliki otoritas untuk memberikan pernyataan bahwa perayaan kibar akbar ini merupakan budaya yang patut dibanggakan bagi masyarakat, sehingga komentar dari bupati Rembang dengan kapasitasnya sebagai perwakilan pemerintah seperti memberikan satu petunjuk dan arahan yang dibentuk oleh Metro Xin Wen bagi masyarakat untuk bisa menghargai dan membanggakan


(12)

66 budaya etnis Tionghoa sebagai bagian dari kekayaan budaya Bangsa Indonesia.

Dijelaskan oleh Kasmun saparaus (2003:43) bahwa penekanan dan pembatasan pada agama etnis Tionghoa yang bersumber pada negeri Leluhur oleh pemerintah orde baru membawa imbas pada bentuk pengasingan dan pendiskriminasian oleh masyarakat selama ini. Masyarakat mayoritas yang memiliki stereotipe negatif mengenai etnis Tionghoa (minoritas) merasa dibenarkan dengan pembelaan dari pemerintah, sehingga kebijakan asimilasi yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru bukannya membawa pembauran bagi etnis Tionghoa sebagai minoritas namun membuat etnis Tionghoa dikucilkan sehingga membentuk kelompok yang ‘eksklusif’ dan tidak dianggap sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh salah satu pendapat dari salah satu kaskuser pada forum diskusi online di situ kaskus:

“segala bentuk perayaan imlek, bar ongsay, cap go meh tak pantas dan tak perlu di lestarikan di Indonesia.Mer eka cuma numpang dagang di Indonesi a” (gentongpengui n User ID: 2765153akt ivis kaskus31-01-2012, 08:32 PM)

Memasuki era reformasi dengan menjunjung hak dan kebebasan agama dan suku, tidak membuat masyarakat Indonesia dengan semudah itu juga menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang telah berakar selama masa Orde Baru, sehingga ujaran performatif dari Bupati Rembang selaku wakil dari pemerintah sengaja diproduksi dan ditampilkan oleh Metro Xin Wen dalam kemasan berita mengenai perayaan Kibar Akbar untuk memberikan suatu wacana baru kepada masyarakat mengenai penghapusan diskriminasi terhadap budaya dan agama etnis Tionghoa untuk mewujudkan kesatuan dan keharmonisan berbudaya di Indonesia.

VO: Kibar mengelilingi Kecamatan Lasem sejauh 7 km. Meski cuaca sangat panas, namun sama sekali tidak mengurangi antusiasme penonton untuk menonton, peserta kibar pun penuh semangat


(13)

67

mengikuti acara ini, lautan manusia memenuhi sepanjang jalan. Demi menjaga ketertiban selama acara, beberapa jalan utama di Lasem ditutup. Ketua panitia, Rudy Hartono mengatakan tujuan kibar ini adalah untuk mengucap syukur atas segala berkat Tuhan, menolak bala dan mempererat hubungan antar sesama.

Dalam segmen ini, Metro TV merasa perlu untuk menjelaskan keberlangsungan pada kegiatan perayaan kibar akbar ini, untuk mengarahkan pada suasana dan kondisi mengenai sambutan yang baik dari masyarakat Lasem yang non Buddha dan non Tionghoa, sehingga mengantar pada wacana yang dibangun oleh Metro Xin Wen mengenai bentuk penerimaan dan penghapusan pada anggapan bahwa etnis Tionghoa didiskriminasi dan diasingkan dari masyarakat Indonesia. Selain itu, secara tidak langsung wacana tersebut memberikan kesadaran bagi masyarakat Indonesia mengenai interaksi yang harmonis antar agama dan etnis, dititik beratkan pada pentingnya penerimaan dan penghargaan terhadap suatu budaya. Wacana yang dibangun oleh Metro TV melalui Metro Xin Wen mengenai etnis Tionghoa merupakan suatu wacana baru yang ditanamkan kepada khalayak untuk mendekonstruksi wacana penguasa sebelumnya mengenai etnis Tionghoa, yang mengakibatkan etnis Tionghoa merasa didiskriminasi sehingga mengarah pada sikap yang eksklusif.

Penyebab semakin kuatnya sikap eksklusif pada etnis Tionghoa yang merupakan wacana politik yang dibentuk oleh penguasa Belanda untuk menciptakan keterpisahan antara golongan Timur Asing dengan golongan pribumi diperkukuh pada masa Orde Baru dengan kebijakan dan hukum pembauran yang diberlakukan bagi etnis Tionghoa dengan bentuk pembatasan dan penekanan pada budaya, agama kepercayaan, adat istiadat dan bahasa. Dijelaskan oleh Kasmun Saparaus (2003) mengenai segala hal yang merupakan budaya Tionghoa termasuk adat istiadat dan perayaan agama yang beridentik Tionghoa dan bersumber dari Negeri leluhur, dilarang dan dibatasi eksistensinya di wilayah umum dan hanya dilakukan


(14)

68 di lingkungan keluarga saja. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967, sehingga wacana yang muncul adalah stereotipe bahwa budaya yang identik dengan kecinaan akan membahayakan bagi kebudayaan nasional. Stereotipe yang dikembangkan dari wacana tersebut memunculkan sikap yang mengucilkan dari masyarakat Indonesia terhadap etnis Tionghoa yang menjalankan adat istiadat Tionghoa. Seperangkat Wacana pada masa orde baru menurut St. Tri Guntur Narwaya (2006) merupakan manifestasi kekuasaan yang ditanam sedemikian rupa sehingga mengembangkan disiplin masyarakat yang mengatur interaksi sosial, sehingga berimbas dengan adanya diskriminasi oleh mayoritas terhadap minoritas.

Pada kenyataannya undang-undang yang memaksa etnis Tionghoa menghilangkan identitas mereka telah mengasingkan golongan ini, karena hal tersebut mengidentifikasikan mereka sebagai bagian yang terpisah dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga terciptanya perasaan tertindas. Selain itu dengan adanya tekanan dalam bentuk penindasan dan pengasingan yang diberlakukan oleh pemerintah, banyak generasi etnis Tionghoa yang pada akhirnya tidak memahami budaya serta bahasa etnis mereka sendiri, sekalipun kebijakan yang dibuat adalah bentuk pelarangan di depan umum, namun bentuk 'pengasingan' pemerintah terhadap budaya dan identitas Tionghoa yang terlihat menjadi ‘ilegal’ di mata masyarakat Indonesia sehingga memberikan tekanan secara sosial terhadap keturunan Tionghoa yang kehilangan identitasnya namun juga tidak merasa menjadi bangsa Indonesia karena merasa didiskriminasi dan diasingkan.

Konstruksi wacana dari teks berita yang disajikan oleh Metro Xin Wen sangat berbanding terbalik dengan wacana yang dibentuk pada masa orde baru mengenai etnis Tionghoa yang diasingkan dan anggapan bahwa budaya Tionghoa dianggap membahayakan bagi kebudayaan nasional. Bentuk diskriminasi yang ditanamkan pada orde baru rasa-rasanya tidak terlihat pada peristiwa kibar akbar masyarakat Lasem, dengan


(15)

69 menunjukkan begitu besar dan pentingnya perayaan ini sehingga jalanan di Kota Lasem ditutup sehingga jelas mengapa di awal berita dijelaskan bahwa perayaan ini tidak terlepas dari dukungan dari masyarakat Lasem, karena perayaan ini sebenarnya akan menyita tempat dan waktu bagi kegiatan rutinitas masyarakat Lasem, namun sikap antusias masyarakat dan lautan manusia memeriahkan perayaan agama Buddha ini, memberikan satu pemahaman kepada masyarakat bahwa perayaan ini disambut dan diterima oleh masyarakat Lasem yang notabene non buddha. Dijelaskan juga bahwa antusias masyarakat menyebabkan peserta acara (yang merupakan anggota kelenteng) menjadi semangat.

Rudy Hartono (Ketua Panitia) : “Kita mengucapkan banyak terimakasih atas berkat dari Dewi Mak Co dan Tuhan, sehingga perekonomian-perekonomian khususnya di Kota Lasem bisa bagus dan untuk sekop nasional supaya negara kita bisa menjadi lebih baik.”

Ujaran performatif oleh ketua panitia merupakan bentuk ucapan syukur dan harapan, yang menjelaskan mengenai identitas dirinya sebagai umat Buddha dengan ucapan syukur yang diarahkan pada kepercayaannya secara langsung dengan menyebut Dewi Mak Cho yang kemudian harapan dari kibar ini sebagai wujud doa untuk perekonomian kota Lasem dan negara Indonesia dapat lebih baik. Sehingga sangat menunjukkan identitasnya sebagai seorang yang beragama Buddha dan beretnis Tionghoa namun juga berbangsa Indonesia dengan pengharapan negara Indonesia bisa lebih baik.

Wacana pada teks tersebut untuk memperteguh pemahaman bahwa sekalipun tradisi tersebut merupakan tradisi yang beridentik Tionghoa yang bermuasal dari Negeri Tiongkok, namun pesan dari tujuan dan harapan dari tradisi tersebut tetap terarah bagi kepentingan negara Indonesia.


(16)

70 Penanaman wacana tersebut oleh Metro Xin Wen bertujuan untuk menegaskan kekeliruan dari pihak-pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat bahwa sekalipun budaya pada etnis Tionghoa diberikan kebebasan untuk dirayakan dan dipelihara, tidak membuat etnis Tionghoa merasa tidak berbangsa Indonesia seperti yang selama ini menjadi ketakutan pemerintah orde baru sehingga diberlakukan hukum pembauran yang menekan dan mendiskriminasi segala bentuk budaya etnis Tionghoa.

VO: Kibar ini tidak hanya diikuti oleh anggota kelenteng di seluruh negri. Namun juga mendapat dukungan dan bantuan dari seluruh warga Lasem, termasuk juga Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah dan Forum Silaturahmi Santri lasem Sekar Jagad. Forum Santri bahkan bertugas menjaga keamanan di area kelenteng selama kibar berlangsung, benar-benar menunjukkan semangat kekeluargaan dan toleransi antar umat beragama dan suku yang berbeda di Lasem. Abdul Rochmin (Ketua Santri Sekar jagad) : “Sebetulnya itu sudah menjadi kebiasaan dari orang-orang Lasem untuk saling menghormati diantara sesama, diantara komponen masyarakat di Lasem ini.”

Penjelasan Sunartio (2001) mengenai data agama yang dipeluk pada masyarakat Lasem di Tahun 2000 bahwa 21.244 adalah muslim, 1.203 pemeluk agama Katholik Roma, 987 pemeluk agama Kristen Protestan dan 631 adalah pemeluk agama Hindu, Budha dan Confusius.2 Sangat terlihat jelas perbandingan jumlah antara agama Islam dengan Buddha, yang dimana Islam merupakan pemeluk agama mayoritas dan agama Buddha merupakan pemeluk agama yang minoritas di kota Lasem, namun fakta tersebut membuka satu pemahaman mengenai kondisi kehidupan pluralisme pada masyarakat Lasem, dimana tokoh Santri yang

2

Sunartio, Anindhita N. (2001), Perancangan Kawasan Pusat Kota Lama Lasem, Studi Kasus: Lingkungan Sekitar Alun-Alun Lasem, Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung.


(17)

71 merupakan tokoh masyarakat mayoritas turut serta dalam suksesnya perayaan dari kepercayaan agama minoritas.

Ujaran performatif dari ketua santri dengan menegaskan bahwa saling menghormati antara agama sudah menjadi kebiasaan dan budaya dari masyarakat Lasem, menjelaskan kepada seluruh khalayak bahwa kehidupan pluralisme yang harmonis di kehidupan berbangsa dapat terwujud dengan membudidayakan sikap toleransi dan solidaritas. permasalahan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia, yang tidak memiliki sikap toleransi sebenarnya juga tidak terlepas dari sejarah yang dimana penguasa kolonial Belanda dan pemerintah orde baru turut membentuk suatu wacana yang mampu mengatur sikap ‘disiplin’ masyarakat dalam berinteraksi dan bersosialisasi, sehingga menjadi kemelut yang membentangkan jurang pemisah diantara hubungan etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia.

Wacana mengenai kota Lasem yang disajikan oleh Metro Xin Wen berupaya memberikan wawasan terhadap pluralisme budaya yang diartikan oleh Horton dan Hunt (1984) adalah suatu bentuk penyesuaian diri dimana suku dan adat istiadat mereka yang berbeda dapat bekerja sama secara damai dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-kultural berdasarkan hak-hak yang secara nisbih sama, yang berarti masing-masing suku tanpa dipandang sebagai kelompok mayoritas ataupun minoritas mempunyai kedudukan sederajad dalam mengembangkan dimensi-dimensi kebudayaannya.

Metro Xin Wen berupaya mengusung wacana mengenai kehidupan pluralisme yang harmonis melalui produksi berita dengan menyajikan ujaran performatif dari tokoh Santri yang merupakan tokoh dari kelompok mayoritas di Lasem, sehingga khalayak diarahkan untuk meneladani sikap dari tokoh santri tersebut dan membuka satu pemahaman yang baru mengenai nilai toleransi dan solidaritas dalam konteks kehidupan pluralisme berbangsa dan bernegara, dengan mengarahkan pada realitas


(18)

72 Lasem bahwa tradisi dan kepercayaan etnis Tionghoa merupakan bagian dari budaya Indonesia sehingga diterima, dihormati dan diberikan apresiasi oleh seluruh elemen masyarakat di Lasem dan pemerintah daerah pada konteks kehidupan antar etnis, budaya dan agama yang harmonis di Lasem. Penanaman wawasan pluralisme mengenai kehidupan solidaritas dan toleransi yang dikonstruksi oleh metro Xin Wen, untuk mengarahkan khalayak pada wacana baru agar tidak perlu adanya lagi sikap yang eksklusif dan mendiskriminasi pada masyarakat.

VO: Selama ini warga Tionghoa Lasem hanya mengadakan kibar kecil-kecilan pada perayaan Cap Go Meh setiap tahun. Kini, dalam rangka memperkenalkan Lasem kepada khalayak luas, kibar diadakan skala nasional.

Penuturan pada berita ini menjelaskan pada pilihan kata ‘terbesar’ dari topik judul berita ‘kibar akbar terbesar di Lasem’ yang ternyata kibar akbar ini merupakan perayaan yang paling besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dijelaskan tujuan dari perayaan yang diadakan besar-besaran dalam rangka untuk memperkenalkan kota Lasem kepada khalayak, yang dari kalimat berita tersebut mengarahkan khalayak pada pemahaman bahwa perayaan tersebut merupakan perayaan yang penting dan menjadi identitas bagi kota tersebut. Sehingga Metro Xin Wen dalam penyampaian maksud berita berusaha untuk menggiring pada realitas bahwa budaya minoritas dari etnis Tionghoa dan agama Buddha justru merupakan budaya yang membanggakan dan menjadi identitas bagi kota tersebut. Realitas ini merujuk pada pemikiran Candy Jorian sebagai produser Metro Xin Wen yang menyatakan bahwa;

“sikap ‘eksklusifitas’ dan 'diskriminasi' tidak akan pernah terwujud ketika ada rasa berbagi dan rasa menolong antara sesama etnis dan agama, dikarenakan setiap rangkaian tradisi dan ibadah sama-sama dimaknai bahwa itu merupakan kekayaan Bangsa Indonesia dan kekayaan


(19)

73 itu milik bersama,sekalipun itu bukan budaya dan tradisi mereka”(Candy Natazia Jorian, Produser Metro Xin Wen)

Pemikiran Candy sebagai produser Metro Xin Wen tergambarkan pada pemberitaan mengenai “Kibar Akbar terbesar di Lasem” yang dimana wacana mengenai perayaan agama Buddha yang merupakan agama minoritas haruslah dimaknai oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk kekayaan budaya Bangsa Indonesia sebagai milik bersama dan patut dibanggakan dan didukung. Seperti menurut Horton dan hunt (1984) bahwa keindahan pluralisme budaya Indonesia akan terlihat ketika setiap budaya dapat ditonjolkan beriringan dengan sikap toleransi dan kerukunan yang tercipta pada masyarakat Indonesia tanpa adanya stereotipe dan diskriminasi.

Batik merupakan industri penting di Lasem. Setiap orang yang datang ke Lasem, tidak akan lupa membeli batik. Orang Tionghoa telah tiba di Pulau Jawa pada abad 14, mereka tiba pertama kali di Lasem, serta hasil asimilasi 2 budaya Jawa-Tionghoa juga sangat terlihat. Mari kita lihat bersama profil Kota Lasem.

Pada rangkaian kalimat ini dijelaskan bahwa batik yang merupakan hasil asimilasi dari 2 budaya yakni budaya Tionghoa dan Jawa menjadi industri yang sangat penting dan menguntungkan bagi kota ini, asimilasi yang menguntungkan bagi kota Lasem ini karena kedatangan Tionghoa pada abad 14. Kedatangan orang Tionghoa dan asimilasi yang mewujudkan batik Lasem menjadikan simbol dari identitas bersama yakni identitas masyarakat Lasem. Wujud asimilasi ini membuktikan bahwa etnis Tionghoa tidak eksklusif seperti yang sudah tertanam di benak masyarakat Indonesia. Batik sebagai wujud asimilasi dua budaya dan etnis ini menunjukkan interaksi yang harmonis antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa, karena tidak ada sikap eksklusif yang mampu mewujudkan asimilasi dengan pembentukan budaya baru.


(20)

74 Wacana yang dibentuk oleh penguasa Belanda mengenai etnis Tionghoa yang eksklusif bertujuan untuk adanya keterpisahan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Stereotipe yang merupakan hasil wacana dari penguasa Belanda mengenai Tionghoa yang eksklusif didekonstruksikan oleh Metro Xin Wen bahwa ‘etnis Tionghoa sebenarnya tidak eksklusif’ melalui pemberitaan mengenai kedatangan etnis Tionghoa ke Lasem pada abad ke 14 dan menghasilkan batik Lasem sebagai wujud asimilasi. Sehingga pemahaman yang dikonstruksi oleh Metro Xin Wen bahwa etnis Tionghoa sebenarnya tidak eksklusif, dan kemudian menggiring pada pemikiran bahwa keeksklusifan yang terus berlanjut sampai pada konteks kekinian pada etnis Tionghoa juga tidak terlepas dari faktor bahwa masyarakat Indonesia sebagai masyarakat mayoritas itu sendiri melakukan diskriminasi dan pengasingan bagi etnis mereka yang minoritas.

Hal ini menjadi sebab akibat yang saling terkait sehingga wacana yang ditekankan oleh Metro Xin Wen mengenai kehidupan interaksi pluralisme pada masyarakat Lasem yang mencapai asmilasi, memberikan refleksi bagi masing-masing pihak untuk bercermin agar tidak secara terus menerus dipermainkan oleh sejarah lampau sampai pada konteks kekinian karena konteks mengenai masyarakat Lasem merupakan suatu rujukan yang mengarahkan pada satu pemikiran bahwa stereotipe akan terus melekat ketika stereotipe tersebut masih terus diyakini oleh diri sendiri dan akhirnya menjadi bumerang bagi kehidupan pluralisme dalam berbangsa di Negara Indonesia.

VO: Lasem merupakan sebuah kecamatan kecil di pesisir pantai Laut Jawa Utara. Memiliki sejarah yang panjang dan nuansa oriental yang sangat kental, karena itulah ia dikenal sebagai “Tiongkok kecil”. Perjalanan dengan mobil dari Semarang menuju Lasem sekitar 2-3 jam. Menurut catatan yang ada Lasem merupakan wilayah pertama di Pulau Jawa yang ditapaki oleh Laksamana Cheng Ho pada abad


(21)

75

14, mengawali masuknya budaya Tionghoa ke tanah air kemudian banyak mempengaruhi budaya lokal.

menjelaskan Kota Lasem yang terkenal dengan nuansa oriental dan julukan “Tiongkok kecil”, memberikan gambaran bahwa hal yang menarik dan menonjol dari Kota kecil ini adalah budaya dan nuansa Tionghoa. Kata dari ‘Tiongkok kecil’ tidak menjadi suatu permasalahan pada masyarakat Lasem, dilihat dari hubungan interaksi antar masyarakat, bahkan dijadikan suatu cirikhas dari kota tersebut.

Dijelaskan oleh Metro Xin Wen dalam kalimat yang memberikan keterangan sejarah kedatangan etnis Tionghoa pada abad ke 14, yang kedatangannya lebih dahulu daripada kedatangan Kolonial Belanda di abad ke 15, dan juga kedatangan orang Tionghoa mempengaruhi banyak budaya lokal, berusaha mengarahkan pada pemahaman bahwa etnis Tionghoa pada masa itu tidak menarik diri terhadap masyarakat pribumi dan masyarakat pribumi pun tidak membatasi diri. Pengaruh pertautan budaya terjadi tanpa hambatan. Kondisi yang berusaha dijelaskan oleh Metro Xin Wen, menggiring pada pemikiran bahwa hal tersebut dapat terjadi karena tidak ada pihak luar yang berkuasa dan memonopoli wilayah Indonesia dan juga tidak ada politik pemisahan golongan dan wilayah, yang membuat etnis Tionghoa pada saat itu yang hijrah ke Indonesia untuk harus memilih kepada siapa harus berpihak ataupun dipaksa untuk mengikuti politik tersebut, namun etnis Tionghoa yang menapaki tanah Jawa pada masa itu langsung berinteraksi dan melebur dengan masyarakat pribumi.

Sigit Witjaksono (Tokoh Tionghoa) : “Orang Tionghoa sudah berbaur dengan orang Indonesia sejak Cheng Ho datang, mereka datang dari Tiongkok kesini hanya orang laki-laki saja, disini kawin dengan wanita-wanita dari Jepara, wanita dari Lasem sehingga melahirkan keturunan orang seperti saya ini yang dikatakan Hua Kiao yaitu orang Tionghoa peranturan.”


(22)

76 Ujaran performatif dari seorang tokoh Tionghoa menjelaskan mengenai sejarah pertautan etnis Tionghoa dengan masyarakat lokal di Lasem, yang dimana cikal bakal dari hubungan Tionghoa dengan masyarakat lokal diawal dengan kedatangan Cheng Ho yang ingin menyebarkan agama Islam yang sekarang menjadi agama mayoritas di kota Lasem, kedatangan Cheng Ho pada Tahun 1413 jauh lebih awal sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia, sehingga pertautan tersebut telah terjalin sebelum masuknya politik hukum dan wacana untuk adanya keterpisahan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia yang dimana wacana tersebut masih terus berakar dan menjadi konflik yang berkepanjangan pada kehidupan pluralisme di Indonesia.

Ujaran performatif dari tokoh Tionghoa di Lasem mengenai etnis Tionghoa sudah berbaur yang disajikan oleh Metro Xin Wen, berbanding terbalik dengan anggapan masyarakat Indonesia mengenai etnis Tionghoa yang eksklusif. Dijelaskan oleh August Mellaz (2002) bahwa etnis Tionghoa cenderung suka berkelompok-kelompok, dengan menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di kawasan tersendiri.

Stereotipe mengenai Tionghoa yang eksklusif dan cenderung berkelompok dan tinggal di kawasan sendiri, sebenarnya merupakan stereotipe dari hasil wacana yang dikembangkan oleh politik Belanda. Wacana politik tersebut dijelaskan oleh Furnivall (1944) dalam Coppel (1993), bahwa pada masa kekuasaan Belanda, dijalankannya politik dengan kebijakan keterpisahan golongan dan wilayah. Diperkukuh oleh hukum sehingga seluruh penduduk ini terbagi ke dalam tiga golongan yang berbeda-beda, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asia, dan golongan pribumi. Tiga golongan ini memiliki hak-hak hukum dan hak-hak istimewa yang juga berbeda-beda, dan pada umumnya, orang Tionghoa sebagai golongan Timur Asing mempunyai kedudukan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan penduduk pribumi. Maka dari itu, asimilasi dengan penduduk pribumi akan menurunkan status sosial mereka dan menyebabkan mereka kehilangan beberapa hak istimewa dalam


(23)

77 hukum. Bahkan sekaligus ada keinginan untuk berasimilasi, politik pemerintah Belanda semakin mempersulitnya. Sistem perkampungan

(wijkenstelsel), yang mengharuskan orang Tionghoa bermukim di kota dan

wilayah tertentu telah diperhebat, dan mereka diharuskan memperoleh surat jalan apabila mereka hendak melakukan perjalanan keluar. Politik Belanda memainkan peranan penting sekali dalam memastikan bahwa suatu masyarakat golongan Timur Asing tidak terserap oleh penduduk pribumi.

Politik Belanda tersebut memproduksi wacana mengenai etnis Tionghoa yang eksklusif dan berkelompok, yang dimana wacana tersebut mengatur dan membentuk kondisi yang sedemikian rupa untuk mencapai tujuan politik Belanda, yakni agar tidak adanya persatuan antara etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia. Wacana yang dibentuk oleh Belanda tersebut dirasakan masih mengatur interaksi hubungan antara etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia, dibuktikan oleh banyak pendapat dari forum diskusi online terbesar di Indonesia yakni situs kaskus, dengan beberapa pendapat dari kaskusers;

“t p ti dak bisa di pungkir i juga, kadang tionghoa akan lebih "nyaman" jika ber kelompok dengan suku mereka sendiri. jadi ya ane menghimbau juga, gak cuma di medan, si ngkawang, bangka, at aupun daerah lain yg banyak suku tionghoanya.. ber baur l ah dengan suku l ai n. btw.. bini ane juga ketur unan tionghoa, sedang ane jawa” (kur ni aw an.mgl,kaskuser User ID: 3594676 .lokasi jogj akar ta. Post 12-03-2012, 10:51 AM)

“setuju gan, umumnya warga tionghoa biasanya eksklusif.bahkan di kampung pun kadang2 gak mau baur sama war ga pr ibumi. tapi kadang kar ena w ar ga pr ibuminya juga, coz kadang2 suka member i kan cap dan stempel bur uk ke war ga ti onghoa. int inya mah kedewasaan kedua belah pihak memang sangat per lu.” Ser vexHONDA kaskuser , UserI D: 1314366,


(24)

78 Hal ini memberikan satu petunjuk yang jelas bahwa stereotipe buruk yang melekat pada etnis Tionghoa sangat erat kaitannya pada konteks politik kolonial Belanda yang sengaja diciptakan agar tidak adanya persatuan untuk melawan kolonial Belanda, sehingga stereotipe mengenai etnis Tionghoa sangat berdasar pada sejarah dan konteks di masa lalu.

Metro Xin Wen melalui pemberitaan mengenai kota Lasem berupaya memaparkan dan menawarkan satu konteks pada kehidupan masyarakat Lasem yang berbanding terbalik pada konteks penguasa masa lampau yang secara kuat mempengaruhi hubungan etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia sampai masa sekarang, sehingga upaya metro Xin Wen tersebut dapat mengarahkan khalayak pada pemikiran bahwa stereotipe dan hubungan buruk yang tercipta merupakan hasil wacana masa lampau.

VO: Asimilasi 2 budaya ini pun melahirkan budaya baru, budaya peranakan. Batik Lasem yang termashyur memancarkan keindahan budaya peranakan. Motif burung Hong yang elegan diselingi motif tradisional Jawa diatas kain batik merah. Menceritakan pertautan 2 budaya, layaknya interaksi harmonis diantara suku Tionghoa dan Jawa selama ini yang rukun dan bersatu.

Pada segmen ini, dijelaskan secara detil keindahan batik dan pertautan budaya dari kedua etnis dengan mengarahkan bahwa pertautan unsur-unsur budaya tersebut merupakan simbol dan bukti mengenai interaksi harmonis diantara etnis Tionghoa dan Jawa.

Peristiwa pada masyarakat Lasem yang bisa dikatakan pengecualian dibandingkan dengan kelaziman yang ternyata sangat berdasar pada konteks kedatangan etnis Tionghoa yang lebih awal menetap dan melebur sebelum kedatangan Belanda membuktikan bahwa terjalin hubungan yang sangat harmonis yang dititik beratkan pada


(25)

79 pencapaian asimilasi yakni pembentukan budaya baru sebagai identitas bersama.

dijelaskan oleh Coppel (1994) Sekalipun kebudayaan orang Tionghoa yang berakar sering dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai kelompok etnis Indonesia (khususnya, seperti terlihat dalam kasus Tionghoa peranakan) seperti pada upaya asimilasi dengan seperangkat kebijakan pembauran yang dilakukan pada masa orde baru untuk pencapaian asimilasi juga dikatakan tidak berhasil, Penelitian pada masyarakat Tionghoa di Malang oleh Erin Kite (2004) ditarik kesimpulan bahwa hukum-hukum dari Orde Baru mencapai keberhasilan yang terbatas, yaitu kemampuan berbahasa Tionghoa antara kelompok usia 15 sampai 19 tahun amat berkurang, dan banyak orang Tionghoa sudah berpindah agama menjadi penganut Kristen atau Katolik. Akan tetapi, walau ketidakmampuan dan perubahan sesugguhnya tercipta oleh adanya hukum-hukum tersebut, tidak mengurangi kekuatan identitas Tionghoa pada masyarakat keturunan Tionghoa di Malang. Ini bisa dilihat dari hasil angket yang memperlihatkan bahwa kebanyakan koresponden masih merasa lebih seperti seorang Tionghoa daripada seorang Indonesia, sehingga menjelaskan bahwa sekalipun ada pengaruh budaya etnis-etnis di Indonesia pada budaya etnis Tionghoa ini, tidaklah berarti bahwa mereka itu telah terasimilasikan ke dalam masyarakat pribumi.

Metro Xin Wen memberikan penjelasan bahwa asimilasi bukanlah suatu hal yang dipaksakan apalagi dengan menekan dan menghilangkan budaya dan tradisi etnis Tionghoa sehingga etnis Tionghoa menjadi kehilangan jati diri dan merasa didiskriminasi, namun asimilasi merupakan perwujudan yang alami dari seiringnya hubungan yang harmonis pada kehidupan multietnis. Hal ini terlihat pada penjelasan secara detil yang diarahkan pada segmen Metro Xin Wen mengenai unsur-unsur dua budaya yang bertaut dan memancarkan keindahan pada batik Lasem, jika asimilasi yang diartikan diwujudkan dengan penekanan dan penghilangan budaya


(26)

80 dan jati diri dari suatu etnis, tidak mungkin ada batik Lasem yang memiliki pertautan 2 unsur budaya termasuk salah satunya unsur budaya Tionghoa. Hal ini memberikan satu arahan berpikir yang ditawarkan oleh Metro Xin Wen bahwa untuk adanya asimilasi letaknya bukan pada pembunuhan budaya dan karakter suatu kelompok namun bagaimana menumbuhkan hubungan yang baik.

hal ini juga menjelaskan pada kondisi yang dipaparkan oleh coppel (1994) bahwa Sekalipun kebudayaan orang Tionghoa yang berakar sering dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai kelompok etnis Indonesia, namun tidak sampai tahap asimilasi. Hal ini diyakini bahwa kondisi tersebut belum sampai pada hubungan yang harmonis , sehingga jelas bahwa asimilasi akan benar-benar tercapai hanya jika adanya hubungan yang benar-benar harmonis seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat Lasem dengan tidak adanya stereotipe dan prasangka yang memunculkan sikap diskriminasi dan eksklusifitas pada kehidupan multi etnis.

Menurut sejarah, suku Tionghoa Lasem dahulu berperang bersama dengan suku Jawa melawan penjajah Belanda

Penjelasan sejarah bahwa etnis Tionghoa ikut berpartisipasi melawan penjajah membuktikan bahwa pertautan etnis ini memang sudah terjalin lama sebelum kedatangan Belanda sehingga politik wacana dan golongan tidak bisa diberlakukan bagi etnis Tionghoa di Lasem yang sudah terlebih dahulu memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan, berbeda dengan etnis Tionghoa di daerah lain dan menapaki tanah Indonesia setelah kedatangan Belanda.

Muaja dalam Coppel (1994) menyatakan bahwa hubungan yang tidak baik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari politik yang mereka pilih pada awalnya kedatangan mereka dengan melihat kondisi Indonesia yang dipegang oleh Belanda dan pretise elit pribumi merosot sehingga membuat mereka tidak tertarik pada


(27)

81 masyarakat pribumi, sehingga menurut Furnivall pada akhirnya diperkukuh dengan politik penggolongan dan hak istimewa yang dibedakan yang semakin diupayakan oleh Belanda untuk benar-benar adanya keterpisahan, pada dua hal yakni keterpisahan hak dan keterpisahan wilayah yang ternyata politik keterpisahan pada dua hal tersebutlah yang melahirkan stereotipe negatif mengenai etnis Tionghoa.

Dari pemaparan tersebutlah memunculkan satu benak pada penulis bahwa mungkin saja kenyataan bahwa etnis Tionghoa pendatang, bisa jadi tidak menjadi permasalahan substansial dari permasalahan hubungan yang buruk antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia sampai saat ini, jika saja pendatang yang datang ke tanah Indonesia (etnis Tionghoa) memilih kepada pribumi sebagai penduduk asli dari negeri yang mereka datangi dibandingkan memihak kepada penguasa sementara. Seperti yang terlihat dari konstruksi yang ditawarkan oleh Metro Xin Wen pada konteks masyarakat Lasem yang dimana hubungan etnis Tionghoa dengan masyarakat lokal terjalin harmonis tanpa ada kontaminasi kekuasaan Belanda dan politik golongan dan keterpisahan, yang ternyata politik tersebut membawa dampak yang panjang bagi hubungan etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia sampai pada konteks kekinian.

Upaya Metro Xin Wen dalam mengangkat konteks mengenai hubungan yang harmonis pada masyarakat Lasem berupaya menyadarkan khalayak bahwa hubungan yang buruk tidak terlepas dari adanya kekuasaan lain dan sejarah politik wacana yang dibentuk oleh penguasa tersebut. Berangkat dari pemahaman ini, diharapkan bisa membawa suatu perenungan bagi masyarakat bahwa wacana mengenai sejarah kota Lasem menjadi sebuah bukti bahwa jika saja penjajahan tidak masuk dan politik keterpisahan tidak diberlakukan maka bukan suatu yang mustahil bahwa hubungan masyarakat Indonesia dalam konteks luas dengan etnis Tionghoa yang leluhurnya notabene sebagai pendatang akan harmonis dan berdampingan seperti masyarakat Lasem, sehingga dari perenungan ini


(28)

82 diharapkan khalayak mampu menentukan sikap untuk masuk ke dalam konteks baru pada hubungan etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia yang harmonis seperti pada masyarakat Lasem.

Industri yang berkembang di Lasem antara lain industri batik, pembuatan terasi, dan perikanan. Pemerintah daerah setempat sedang berusaha mengembangkan ekonomi kreatif dan pariwisata Lasem. Karena itu, kini banyak bank yang mulai membuka cabang di Lasem untuk membantu perkembangan ekonomi masyarakat setempat. Ismanto (Camat Lasem) : “masyarakat Lasem terkenal dengan masyarakat yang kreatif. Hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi, kami mengaplikasikannya pada kegiatan ekonomi yang digerakkan oleh Kabupaten yang dinamakan Program Gerbang Elok (Gerakan Pembangunan Ekonomi Lokal). Kami meningkatkan, kami aplikasikan di tengah-tengah masyarakat.” VO:Terdapat banyak bangunan tua Tionghoa di Lasem, termasuk diantaranya bangunan kelenteng dan perumahan. Bangunan-bangunan ini pun telah dimasukkan menjadi calon Bangunan-bangunan Cagar Budaya sejak tahun lalu.

Penjelasan pada segmen ini memberikan gambaran mengenai perekonomian di Kota Lasem dan perindustrian yang memegang peranan besar untuk perekonomian di Lasem adalah industri batik, sehingga menekankan bahwa asimilasi budaya sebagai wujud keharmonisan pluralisme dalam berbangsa justru akan membawa keindahan dan menguntungkan dibandingkan dengan permusuhan yang menimbulkan konflik dan kerugian.

Selain fokus perekonomian, budaya dan peninggalan sejarah dan bangunan tua Tionghoa juga dijadikan sesuatu yang bermanfaat dengan menjadi cagar budaya yang menguntungkan bagi pariwisata kota dan penduduk Lasem.


(29)

83 Pada penjelasan segmen ini, Metro Xin Wen berupaya memberikan pemahaman kepada khalayak mengenai keindahan dan keuntungan dari pencapaian kehidupan pluralisme yang harmonis tanpa adanya konflik, yang dijelaskan bagaimana perkembangan kehidupan masyarakat Lasem yang harmonis sehingga memusatkan pada kemajuan di berbagai bidang seperti sumberdaya manusia yang diwadahi dengan penciptaan lapangan kerja dan pariwisata.

Wacana yang dibangun oleh Metro Xin Wen diharapkan mampu menjadi cermin bagi seluruh masyarakat untuk berkaca dan merefleksikan kehidupan pluralisme seperti apa yang ingin diwujudkan, apakah harus hidup dengan sejarah yang kelam dan merusak masa depan berbangsa ataukah ingin memberikan sejarah yang baru bagi generasi kedepan mengenai keindahan pluralisme berbangsa untuk kemajuan Negara Indonesia.

5.2 “BUKUTENTANG WANITATIONGHOA YANG INSPIRATIF”

a. Struktur Makro

Struktur makro meliputi elemen tematik atau topik. Topik menggambarkan gagasan apa yang dikedepankan atau gagasan inti dari komunikator dari keseluruhan berita, sehingga peristiwa tersebut dimunculkan dengan judul “Buku tentang wanita Tionghoa yang Inspiratif”.

Kata ‘buku’dimaksudkan pada sebuah media yang memproduksi suatu wacana dan makna sehingga mampu membangun suatu pencitraan yang berdasarkan pada kognisi dan ideologi dari penulisnya. Topik atau subjek pembahasan dari buku tersebut adalah ‘wanita Tionghoa’, sehingga jelas bahwa kandungan wacana pada buku tersebut yakni ingin memberikan interpretasi dan pencitraan mengenai etnis Tionghoa dikhususkan pada wanita Tionghoa yang berdasar pada ideologi penulis. Kata ‘yang’ pada


(30)

84 judul ingin memberikan satu penjelasan dan arahan pada interpretasi yang ingin dibentuk oleh penulis mengenai ‘wanitaTionghoa’. Penjelasan yang ingin ditekankan oleh penulis buku tersebut bahwa ‘wanita Tionghoa menginspirasi’ dari kata ‘inspiratif’ pada judul. Kata ‘inspiratif’ mengandung makna ‘memberikan inspirasi’ yang dapat dianalogikan pada suatu hal yang dilakukan atau dialami seseorang (etnis Tionghoa/wanita Tionghoa) melebihi dari yang dialami orang lain sehingga pengalaman tersebut dapat menjadi panutan orang lain yang mengetahuinya, atau bisa juga dimaknai pada sesuatu yang mengandung makna positif yang diluar konteks biasanya. Berbicara mengenai konteks berarti diartikan pada suatu masa dan kondisi yang disesuaikan pada subjek topik yaitu mengenai etnis Tionghoa, sehingga maksud dari buku yang diangkat oleh metro Xin Wen ingin membahas mengenai permasalahan etnis Tionghoa di negara Indonesia, yang dimana maksud dari media mengkonstruksi berita tersebut bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat mengenai permasalahan yang ada dan memberikan satu wacana baru yang baik dan menjawab permasalahan yang selama ini berkembang mengenai etnis Tionghoa kepada khalayak.

Berangkat dari pemahaman tersebut, Metro Xin Wen sebagai media yang mampu memproduksi wacana bagi khalayak melalui pemberitaan mengenai “buku wanita Tionghoa yang inspiratif” berupaya mengangkat permasalahan dan konflik mengenai etnis Tionghoa dan wacana yang dibangun merupakan wacana untuk menuntaskan permasalahan yang ada mengenai etnis Tionghoa dan mengarahkan pada citra yang baik dan positif mengenai etnis Tionghoa, sehingga dari topik tersebut terlihat jelas keberpihakan media dalam hal ini Metro Xin Wen terhadap etnis Tionghoa, sehingga diharapkan dengan wacana yang dibangun, khalayak memiliki pola pikir yang sama dengan media untuk berdamai dengan etnis Tionghoa dan menempatkan posisi etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia.


(31)

85

b. Super Struktur

Alur pada pemberitaan mengenai “Buku Wanita Tionghoa yang Inspiratif” diawali dengan mengisahkan perjuangan Kartini dan manfaat dari perjuangan Kartini untuk menghantarkan kepada perjuangan wanita Tionghoa yang merupakan pengamalan nilai juang Kartini pada konteks sekarang. Kemudian alur selanjutnya dibawa kepada buku yang mengisahkan perjuangan 9 wanita Tionghoa yang dengan kerja keras dan keberaniannya menebas stereotipe masyarakat serta kebanggaan mereka akan keindonesiaannya sehingga berhasil mencapai prestasi gemilang, kemudian alur dibawa pada ujaran performatif dari nara sumber yang merupakan tokoh-tokoh dari wanita Tionghoa yang secara langsung mengemukakan pendapat mereka yang sarat dengan pernyataan diri mereka sebagai seorang Indonesia dan kebanggaannya untuk semakin meneguhkan wacana dari berita yang bertujuan untuk menebas stereotipe dan kecurigaan yang selama ini tertanam pada masyarakat.

Alur yang dibuat oleh metro Xin Wen yang bertujuan untuk menghapus stereotipe mengenai etnis Tionghoa kepada khalayak, merupakan alur yang menekakan pada permasalahan sejarah wacana politik penguasa, baik pada masa kolonial Belanda ataupun masa pemerintahan orde baru yang akhirnya membentuk stereotipe negatif mengenai etnis Tionghoa.

Dijelaskan oleh August Mellaz (2002) mengenai anggapan masyarakat bahwa etnis Tionghoa bukan bangsa Indonesia, kesetiaan etnis Tionghoa terhadap Indonesia diragukan, mereka tinggal di Indonesia hanyalah demi alasan-alasan oportunistis, ketimbang perasaan yang sebenarnya untuk memihak kepada negara dan rakyat mereka. Oportunisme semacam ini adalah ciri-ciri khas dari orang Tionghoa yang hanya mementingkan uang, perdagangan dan bisnis. Mereka itu, tidak seperti orang Indonesia yang memiliki rasa pengabdian kepada cita-cita.


(32)

86 Stereotipe-stereotipe semacam ini yang berusaha untuk dihapus oleh Metro Xin Wen karena jika terus berkembang maka mengakibatkan adanya problematik kebangsaan yang berkepanjangan antara etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia dan bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa problematik tersebut dapat memanas sehingga masyarakat menjadi lebih anarkis seperti pada kerusuhan Mei 1998, hal ini yang diungkapkan oleh candy selaku produser dari Metro Xin Wen;

“jika kita mengingat waktu kerusahan mei '98, kenapa etnis Tionghoa yang menjadi sasaran? itu karena dari masyarakat ada stereotip bahwa orang cina pasti kaya semua, padahal kan belum tentu, selain itu juga karena sudah ada rasa curiga yang tertanam.”

Metro TV sebagai media yang turut menyumbang solusi bagi permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berupaya melalui pembuatan alur berita pada “Buku Wanita Tionghoa yang Inspiratif” untuk sampai pada pengahapusan stereotipe negatif mengenai etnis Tionghoa di mata masyarakat Indonesia agar kehidupan berbangsa yang harmonis dapat tercipta.

Alur pada pemberitaan Metro Xin Wen menggunakan bahasa mandarin yang diterjemahkan dengan teks bahasa Indonesia, sekalipun pada bagian dimana nara sumber yang merupan wanita tokoh Tionghoa berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia akan diterjemahkan dalam teks bahasa mandarin. Penggunaan bahasa mandarin itu sendiri untuk memberikan pemahaman bahwa bahasa yang merupakan salah satu budaya dari etnis Tionghoa merupakan bahasa yang penting dan perlu dilestarikan.

Bahasa mandarin ditempatkan sebagai bahasa yang penting oleh metro TV sebagai media melalui program berita Metro Xin Wen, bahasa mandarin dianggap bukan lagi sebagai bahasa yang tabu seperti yang selama ini diberlakukan selama masa pemerintahan orde baru dengan kebijakan hukum pembauran dengan penekanan dan pembatasan budaya Tionghoa termasuk salah satunya bahasa mandarin. Dijelaskan oleh


(33)

87 Kasmun saparaus (2003) bahwa pada masa itu segala bentuk media yang beraksara mandarin dilarang peredarannya, selain itu juga lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa mandarin juga dilarang. Sehingga budaya Tionghoa dalam hal ini bahasa mandarin bukan lagi suatu yang dianggap tabu, bahkan menjadi bahasa yang penting karena penggunaan bahasa mandarin mulai memiliki eksistensi yang penting di dunia internasional dan masyarakat dapat lebih terbuka dan terbiasa dengan kebudayaan Tionghoa di Indonesia.

c. Struktur Mikro

Selamat pagi pemirsa, selamat menonton acara Xin Wen Lifestyle. Senang sekali saya Christine Ng dapat kembali bertemu dengan anda. Hari ini merupakan hari yang penting bagi para wanita Indonesia, sebab hari ini kita memperingati hari kelahiran R.A. Kartini, seorang pahlawan wanita Indonesia. Tanpa Kartini tentunya tidak akan ada wanita Indonesia yang hebat seperti anda dan saya. Pada zaman Kartini, keluar dari rumah pun kaum wanita tidak diijinkan, apalagi muncul di depan layar seperti ini, tentu lebih tidak mungkin lagi. Untuk itu kita perlu berterimakasih pada ibu Kartini untuk kebebasan dan kecerdasan yang kini kita miliki.

Pada pemberitaan teks ini bertepatan dengan hari Kartini, maka teks pemberitaan diawali dengan pengantar mengenai jasa dan semangat juang Kartini bagi para perempuan Indonesia yang dampaknya sampai sekarang dirasakan. Melalui perjuangan Kartini, perempuan diberi hak yang sama dengan laki-laki untuk turut serta mengembangkan kemampuan demi kemajuan bangsa dan negara.

Pengantar tersebut dikonstruksi oleh Metro Xin Wen bukanlah tanpa maksud, yang dimana pengantar ingin menggiring khalayak pada isi pembahasan berita mengenai buku tersebut, bagaimana Metro Xin Wen menganalogikan wanita Tionghoa seperti Kartini yang memiliki perjuangan


(34)

88 besar. Perjuangan seperti apakah yang dimaksud dari pengantar ini akan membawa pada gagasan isi berita.

Setiap orang memiliki cara berbeda dalam memperingati hari Kartini. Aimee Dawis meluncurkan buku keduanya mengenai keturunan Tionghoa pada bulan April tahun ini. Bukunya berjudul “Potret Inspirasi Tokoh Perempuan Tionghoa Indonesia”. Yang bercerita tentang kisah sukses 9 tokoh wanita Indonesia keturunan Tionghoa.

Semangat juang Kartini tersebut dapat dimaknai setiap perempuan Indonesia dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuan dan potensinya, memperingati hari Kartini dimaknai dengan cara meneruskan semangat juang Kartini, dengan terus mengembangkan diri dan kemampuan untuk menggapai cita-cita dan prestasi demi kemajuan bangsa dan Negara Indonesia. Pada teks berita dijelaskan bagaimana Aimee memaknai semangat juang Kartini dengan meluncurkan buku ciptaannya mengenai kisah sukses perempuan Tionghoa, yang isinya menceritakan mengenai perjuangan dari tokoh-tokoh perempuan Tionghoa untuk meraih sukses dalam menggapai cita-citanya. Perjuangan tersebut mengamalkan nilai juang Kartini seperti yang diungkapkan oleh candy sebagai produser Metro Xin Wen mengenai topik berita ini;

“pemberitaan mengenai peluncuran buku mengenai ‘Tokoh Perempuan Tionghoa yang Menginspirasi’ bertepatan dengan hari Kartini yang merupakan pejuang kesetaraan perempuan Indonesia, banyak perempuan-perempuan Tionghoa yang punya semangat juang seperti Kartini untuk Indonesia dalam berbagai bidang seperti olahraga, pendidikan musik,keilmuwan, bisnis, kementrian dan sebagainya yang diangkat melalui buku ciptaan Aimee Dawis, perjuangan mereka tidak hanya pada upaya pencapaian prestasi saja, namun sampai juga pada perjuangan untuk menebas stereotipe mengenai etnis mereka. Perjuangan yang mereka alami sama hal nya dengan Kartini yang merupakan perjuangan melawan arus dari konstruksi masyarakat untuk membawa pada suatu perubahan yang baik.” (Candy Natazia Jorian, Produser Metro Xin Wen)

Keberpihakan media dalam hal ini Metro Xin Wen terhadap permasalahan etnis Tionghoa sangat terlihat dari pemaparan pendapat dari produser Metro Xin Wen, jelas bahwa citra yang ingin dibangun mengenai etnis Tionghoa merupakan citra yang baik dan positif. Upaya pencitraan


(35)

89 tersebut dilakukan oleh Metro Xin Wen salah satunya dengan menganalogikan semangat juang dan kegigihan perempuan Tionghoa sama dengan Kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita pada jamannya walaupun dalam konteks dan hal yang berbeda. Perjuangan Kartini sangatlah diyakini oleh masyarakat Indonesia, sehingga pengantar mengenai semangat juang Kartini yang diyakini oleh masyarakat Indonesia dijadikan landasan pikir bagi khalayak sebagai upaya pencitraan yang dibangun oleh Metro Xin Wen mengenai etnis Tionghoa untuk membawa khalayak pada cara berpikir yang sama dengan Metro Xin Wen.

VO: Orang Tionghoa Indonesia telah merajut banyak kisah hidup menarik di negeri ini. Aimee Dawis meluncurkan buku “Indonesia Tionghoa Mencari Identitas” pada tahun 2010. Dua tahun kemudian, ia meluncurkan buku “Potret Inspirasi Tokoh Perempuan Tionghoa Indonesia”, pada bulan April 2012. Buku ini merangkum kisah sukses 9 wanita Tionghoa Indonesia, yang lewat kerja keras, keberanian mereka menebas stereotype serta kebanggaan mereka akan keindonesiaannya, sehingga mengantar mereka mencapai prestasi gemilang.

penulis dari buku “Potret Inspirasi Tokoh Perempuan Tionghoa Indonesia” bernama Aimee dawis, merupakan seorang penulis, peneliti aktif sebagai dosen paruh waktu di ilmu komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan kajian budaya di Fakultas Ilmu Budaya Unversitas Indonesia, yang memiliki minat dalam mengamati perkembangan kaum Tionghoa-Indonesia3, dibuktikan dengan 2 buku tulisannya yang dipaparkan pada teks Metro Xin Wen yakni berjudul “Indonesia Tionghoa Mencari Identitas” dan “Potret Inspirasi Tokoh Perempuan Tionghoa Indonesia”. Judul dari buku Aimee Dawis memunculkan fenomena permasalahan yang terjadi pada etnis Tionghoa.

3

http://www.fimela.com/read/2012/05/16/aimee-dawis-temukan-secret-of-happiness-dengan-membaca, posted 16 Mei 2012


(36)

90 Pada kalimat “Orang Tionghoa Indonesia telah merajut banyak kisah hidup menarik di negeri ini”, terdapat kata ‘orang Tionghoa Indonesia’ yang dalam hal ini Metro Xin Wen bertujuan untuk memberikan suatu makna dan citra bahwa orang Tionghoa merupakan bangsa Indonesia atau ‘yang telah menjadi bangsa Indonesia’, sehingga pengunaan kalimat tersebut dilakukan oleh Metro Xin Wen untuk memunculkan satu konteks bahwa dulunya Tionghoa bukanlah bangsa Indonesia tetapi suatu masyarakat dari bangsa lain yakni bangsa Tionghoa. Pilihan kata ‘banyak kisah’ memberikan satu pemahaman adanya suatu perjalanan panjang mengenai etnis Tionghoa, yang bisa diartikan bahwa dengan ‘banyak kisah’ maka terdapat ‘banyak konteks’, sehingga rangkaian kalimat tersebut ingin memunculkan adanya berbagai konteks sejarah mengenai permasalahan-permasalahan pada etnis Tionghoa di negara Indonesia.

Dijelaskan oleh August Mellaz (2002) anggapan mengenai etnis Tionghoa di mata masyarakat bahwa Tionghoa adalah bangsa lain. Anggapan ini diperjelas dengan pandangan mengenai kesetiaan etnis Tionghoa kepada Indonesia diragukan, orang Tionghoa yang tampaknya memihak kepada Indonesia tidak bersungguh hati, mereka hanya berpura-pura melakukan itu demi alasan-alasan oportunitis. Oportunitis semacam ini adalah ciri-ciri khas dari orang yang hanya mementingkan uang, perdagangan dan bisnis. Mereka itu, tidak seperti orang Indonesia yang memiliki rasa pengabdian kepada cita-cita.

Pandangan mengenai etnis Tionghoa yang dianggap sebagai bangsa lain oleh masyarakat Indonesia dianggap oleh Christian Wibisono dalam tulisannya bahwa merupakan bentukan dari wacana politik Belanda bahwa etnis-etnis dari tanah air digolongkan sebagai pribumi (inlander), sedangkan etnis Tionghoa dengan perkecualian digolongkan sebagai "Timur Asing" (Vreemde oosterlinger), sehingga dipandang oleh orang Indonesia sebagai suatu bangsa tersendiri, yaitu bangsa Tionghoa. hal ini yang sepertinya menjadi cikal bakal bahwa etnis Tionghoa terus mengalami kesulitan untuk


(37)

91 adanya pengakuan bahwa mereka sudah menjadi etnis di Negeri ini, karena sudah dari semenjak jaman Belanda pembentukan golongan dengan membagi golongan pribumi yang merupakan etnis-etnis tanah air dan penggolongan sendiri pada etnis Tionghoa sebagai golongan "Timur Asing" yang merupakan akar dari tertanamnya anggapan bahwa mereka bukan bagian dari bangsa Indonesia yang dari semenjak kekuasaan Belanda mereka sudah dibedakan dan berbeda, terlepas dari bahwa sebenarnya memang etnis Tionghoa merupakan pendatang.

Wacana politik yang dibangun oleh penguasa Belanda tidak hanya dibedakan secara golongan namun secara hak, membuat etnis Tionghoa pada masa itu mendapatkan kesempatan yang lebih dalam mengembangkan diri khusunya di bidang perdagangan, yang sampai dengan masa sekarang masih bertahan, yang dijelaskan oleh Coppel (1994) bahwa dalam hubungan inilah maka kesadaran tentang keunggulan orang Tionghoa dalam situasi yang menguntungkan pada masa itu adalah bukti yang sering kali menyakitkan hati. Dibuktikan dari beberapa pendapat dari para kaskuser pada forum diskusi online mengenai etnis Tionghoa di web kaskus;

“segala bentuk per ayaan imlek, bar ongsay, cap go meh tak pantas dan tak per lu di lestar ikan di I ndonesia.Mereka cuma numpang dagang di I ndonesia” (gentongpenguin User ID: 2765153aktivis kaskus31-01-2012, 08:32 PM)

inget, kamu2 itu pendatang dari timur jauh dgn per ahu2 kayu semua, kar na disana pun awal nya kamu mi ski n, makan aja ga sanggup. jadi.. kamu2 i tul ah yg per tama menumbuhkan pr asangka dar i kami kal o kamu tetap ga mau bersosiali sasi , jangan salahkan kami mel abeli kamu "cina! bukan chayna".. (bei r utUser ID: 1485885, post 12-03-2012, 02:33 PM )

Rasa sakit hati dan kecurigaan inilah yang sadar dan tidak sadar menjadi suatu problematik pada kehidupan multietnis dan pluralisme mengenai etnis Tionghoa dengan etnis lain di Indonesia. Dikarenakan status etnis Tionghoa yang rentan di negri ini sehingga yang sering kali terjadi dalam keadaan politik negara Indonesia yang tidak baik, etnis Tionghoa selalu menjadi sasaran, seperti pada kejadian tragedi anti Tionghoa pada


(38)

92 masa G 30/S PKI dan Mei 1998 berupa aksi kerusuhan dan kekerasan, pemusnahan dan gerakan rasisme yang pada akhirnya membawa pengalaman yang buruk bagi etnis Tionghoa untuk mampu bersosialisasi dengan masyarakat Indonesia.

“... Setelah per i stiwa 13 dan 14 Mei di Jakar ta dan Solo, mul ai mer embes cer ita tent ang kekejian dan kekejaman dal am bentuk pemer kosaan t er hadap put r i-putr i nonpr ibumi bel asan tahun di depan mata sanak keluar ganya. Ada yang ti dak sanggup menahan malu dan pender itaan batin, sehingga bunuh dir i. Ada yang di sekap dalam mobil dan dibakar ber sama mobilnya, .... ker usuhan apa pun yang membuat massa mengamuk dan membuat ker usakan gedung-gedung di sepanjang jal an yang dil al ui nya, masyar akat nonpr ibumi ketur unan Ti onghoa yang selalu menjadi kor ban...”4

Pengalaman ini mempengaruhi karakteristik dan pola kehidupan etnis Tionghoa yang kehilangan jati dirinya sebagai etnis Tionghoa namun tidak juga diakui menjadi bagian dari bangsa Indonesia oleh masyarakat.

Permasalahan yang polemik ini disadari oleh generasi etnis Tionghoa. Mereka memang tidak bisa semudah itu disamakan dengan masyarakat lain bahwa mereka benar adanya merasa berbangsa Indonesia, sehingga banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh generasi etnis Tionghoa untuk menyatakan kebanggaan dan rasa nasionalisme mereka terhadap negara Indonesia agar masyarakat dapat menerima dan menganggap mereka sama dengan yang masyarakat lainnya.

Upaya Metro Xin Wen dalam memunculkan wacana mengenai permasalahan-permasalahan etnis Tionghoa bertujuan sebagai landasan untuk bisa mendekonstruksi wacana yang sudah berkembang dan memunculkan citra yang baru yang diinginkan oleh Metro Xin Wen, dengan cara memberi ruang bagi para tokoh Etnis Tionghoa untuk mengangkat tentang eksistensi mengenai rasa nasionalisme mereka melalui prestasi di berbagai bidang, sehingga dengan cara tersebut Metro Xin Wen memberikan pengetahuan dan wacana baru kepada masyarakat luas sehingga stereotipe

4


(1)

94 kerusuhan dan penganiayaan pada etnis Tionghoa tidak perlu terjadi dan dialami lagi oleh etnis Tionghoa.

Kesembilan tokoh ini antara lain: Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka pangestu; Pengusaha sukses, Siti Hartati Murdaya; Atlet bulutangkis legendaris internasional, Susi Susanty; Pelestari busana tradisional, Josephine Kowara; Pemilik media fashion ternama, Dian Muljadi; Sastrawan peneliti dan psikolog, Myra Sidharta; Perintis pendidikan musik tanah air, Kuei Pin Yeo; Perempuan pertama keturunan Tionghoa yang menjadi profesor di Fakultas Ilmu Budaya UI, Melani Budianta; Sosiolog dan pejuang hak-hak perempuan, DR. Mely G. Tan.

Melihat penjabaran nama-nama tokoh perempuan Tionghoa yang sukses dan menginspirasi ini, mengingatkan pada satu konteks wacana mengenai etnis Tionghoa pada masa Orde Baru bahwa segala hal mengenai identitas etnis Tionghoa diasingkan dan ditutupi, hal ini dijelaskan oleh Kasmun Saparaus (2003:48) secara eksplisit menunjukkan adanya kekawatiran pemerintah dalam rangka melindungi kelompok mayoritas terhadap meluasnya kebudayaan Tionghoa. Keperpihakan, untuk melindungi kelompok mayoritas ini diambil agar kemapanan (establisment) kekuasaan yang dimiliki dapat dilanggengkan, karena didukung mayoritas. Elite membutuhkan dukungan mayoritas, sehingga cenderung untuk mengabaikan minoritas. Konsekuensinya, pemerintah terpaksa melakukan usaha-usaha untuk melarang berkembangnya kebudayaan Tionghoa, sebagai salah satu cara untuk mendapatkan simpati mayoritas. Bentuk tekanan kebudayaan tersebut dapat mencakup pembatasan perkembangan agama dan kepercayaan, tekanan adat-istiadat, tekanan bahasa, serta kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dengan pengukuhan pembatasan dan penekanan etnis Tionghoa secara hukum membuat etnis Tionghoa menjadi diasingkan dan didiskriminasi, sehingga semakin menguatkan stereotipe mengenai etnis Tionghoa selama ini, bahwa etnis Tionghoa merupakan bangsa lain dan bukan bagian dari bangsa Indonesia. Cara pemerintah orde baru agar tidak


(2)

95 terjadinya konflik yang meruncing mengenai etnis Tionghoa, disikapi dengan cara memihak terhadap mayoritas dan mengasingkan minoritas tanpa benar-benar mencoba untuk mencari jalan untuk adanya suatu perdamaian, bahkan suatu stereotipe yang buruk mengenai etnis Tionghoa pun tidak coba untuk diluruskan. Etnis Tionghoa dianggap kelompok yang benar-benar tidak diberikan hak untuk berpendapat mengenai identitas mereka.

Pada konteks sekarang, Metro Xin Wen mencoba untuk meluruskan stereotipe-stereotipe mengenai etnis Tionghoa, melalui penjabaran nama-nama dari tokoh perempuan Tionghoa beserta dengan prestasi bidang mereka masing-masing yang memberikan sumbangsih bagi kemajuan Negara Indonesia,sehingga diharapkan dari wacana yang dibangun oleh Metro Xin Wen ini sanggup untuk membuka mata setiap orang bahwa tokoh-tokoh tersebut benar adanya berprestasi di berbagai bidang yang tidak hanya di bidang perekonomian seperti stereotipe yang selama ini berkembang mengenai etnis Tionghoa yang oportunitis. Metro Xin Wen mengarahkan pada pemahaman bahwa kesetiaan dan kebanggaan mereka pada Indonesia diwujudkan dengan turut memajukan bidang yang mereka geluti melalui prestasi sebagai wujud rasa nasionalisme mereka.

Hal ini diperteguh oleh komentar salah seorang tokoh perempuan Tionghoa di buku ‘Potret Inspirasi Tokoh Perempuan Tionghoa Indonesia” pada berita Metro Xin Wen;

Mely G.Tan (salah satu tokoh sebagai sosiolog dan pejuang hak-hak perempuan ) : “Dimasukkan dalam bukunya Aimee, saya kira ini merupakan sesuatu yang juga untuk memperlihatkan bahwa sebenarnya perempuan Tionghoa itu cukup banyak yang berperan dalam berbagai bidang.”

Melly G. Tan yang seorang sosiolog dan sinolog (ahli masalah china) menempuh pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, jurusan Sinologi. Ujaran performatifnya pada pemberitaan Metro Xin Wen


(3)

96 memperlihatkan habitus linguistik (persepsi dan logika bahasa) yang menunjukkan institusi atau kapasitasnya sebagai seorang sinolog dalam menangkap fenomena buku karya Aimee Dawis, yang dimana ujaran performatifnya diproduksi oleh Metro Xin Wen sebagai peneguhan wacana baru untuk mendekonstruksi stereotipe mengenai etnis Tionghoa selama ini bahwa etnis Tionghoa tidak hanya berperan di bidang ekonomi dan bisnis sehingga terlihat menjadi oportunitis di pandangan masyarakat Indonesia, namun wacana pada buku ‘Potret Inspirasi Tokoh Perempuan Tionghoa Indonesia” memberikan satu pemahaman bahwa cukup banyak etnis Tionghoa yang bergerak dan berprestasi di bidang lain dan memberikan kontribusi bagi negara di bidang yang digeluti tokoh tersebut.

Sedangkan wacana mengenai etnis Tionghoa yang bangga sebagai bangsa Indonesia dan memiliki kesetiaan pada negara, diproduksi oleh Metro Xin Wen dengan meliput komentar dari seorang tokoh perempuan Tionghoa pada buku ‘Potret Inspirasi Tokoh Perempuan Tionghoa Indonesia” di bidang pemerintahan yang dituntut untuk memiliki komitmen yang tinggi dalam mengabdi pada negara yakni Mari Elka Pangestu sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Mari Elka Pangestu (salah satu tokoh buku sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) : “Saya bangga menjadi orang Indonesia karena kita kuat di dalam hal-hal seperti pluralisme, keagamaan dan kesetaraan, walaupun belum sempurna, tetapi kita lebih baik dari banyak negara lain.”

Ujaran performatif dari Mari Elka Pangestu sebagai salah satu tokoh dari buku “potret Inspirasi Tokoh Perempuan Tionghoa Indonesia” memberikan satu fakta yang dimunculkan oleh Metro Xin Wen mengenai permasalahan etnis Tionghoa, bahwa mereka tidak sama halnya dengan etnis lain dalam menyatakan kebangsaannya. Etnis Tionghoa perlu usaha lebih keras untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka memang benar merasa berbangsa Indonesia dikarenakan stereotipe masyarakat bahwa


(4)

97 etnis Tionghoa merupakan bangsa lain yang berasal dari negri Tiongkok, kemudian datang ke Indonesia untuk merampas hak masyarakat Indonesia di bidang perekonomian dan perdagangan dan bersikap eksklusif. Hal ini juga terlihat oleh salah satu kaskuser yang beretnis Tionghoa pada diskusi forum mengenai etnis Tionghoa di kaskus, bagaimana dia berusaha menepis stereotipe buruk mengenai etnisnya kepada seluruh kaskuser dalam forum dengan menyatakan rasa dan tindakan nasionalismenya dengan mengikuti salah satu organisasi semi militer Indonesia;

“saya suku Tionghoa dari Medan, bagi agan sekalian yang belum per nah t inggal di Medan past i kur ang menger ti.Si mpl enya begini, banyak (tidak semua) masyar akat suku bat ak yg juga masih sangat anti dengan suku Ti onghoa, mer eka bahkan membenci tanpa alasan, menghina walaupun cuma sekedar "Cino doi ( bahasa bat ak)" bahkan yang ngomong anak sd dan smp yang saya simpul kan mer eka dapat dar i lingkungan atau keluar ga.Yaa kar ena demi ki an secar a t idak l angsung kal angan suku Tionghoa hanya "dekat " dengan or ang suku Tionghoa saja. Saya bahkan salah satu yang sangat ber gaul dengan or ang suku batak kar ena saya besar di kampung Sumut, jd l ebi h faseh ber bahasa batak dar ipada temen saya yang or ang batak.Yaa demi ki an sedikit penget ahuan saya tent ang hubungan antar a suku t ionghoa dan suku batak. CMIIW - no sar a - saya mencintai I ndonesia, bahkan saya mengikuti salah satu organisasi semi militer I ndonesia..Ter imakasi h” ( 16bk1111er kaskuser User I D: 1108533, post 12-03-2012, 11:58 AM )

Ruang yang diberikan oleh Metro Xin Wen terhadap tokoh-tokoh etnis Tionghoa melakukan ujaran performatif untuk menebas stereotipe buruk yang selama ini berkembangan mengenai etnis mereka, diproduksi oleh Metro Xin Wen sebagai suatu wacana dan citra mengenai etnis Tionghoa kepada khalayak sebagai wujud keberpihakan Metro Xin Wen terhadap etnis Tionghoa yang sebenarnya bertujuan agar stereotipe yang selama ini berkembang agar tidak secara terus-menerus diyakini apalagi diberlakukan secara kolektif oleh masyarakat Indonesia, sehingga memunculkan satu konflik yang besar dan terus berkelanjutan yang


(5)

98 dimana konflik tersebut mengarah pada tindak anarkis pada masyarakat dalam bentuk kerusuhan, terror dan pemusnahan terhadap etnis Tionghoa. Hal ini memperlihatkan secara jelas bobroknya kehidupan pluralisme dalam berbangsa di Indonesia.

VO: Buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Buku ini menekankan pentingnya persamaan gender dan kesetaraan dalam masyarakat. Penulis berharap buku ini dapat memberikan inspirasi bagi wanita Indonesia untuk lebih giat demi mencapai impian mereka.

Pada akhir teks berita, disampaikan mengenai harapan dari penulis buku, untuk adanya persamaan gender dan kesetaraan dalam masyarakat, dan agar semangat juang dari tokoh-tokoh perempuan Tionghoa dapat dijadikan inspirasi dan panutan bagi perempuan lain untuk bisa berprestasi. Semangat juang yang menuai prestasi tersebut sebenarnya tidak hanya untuk menginspirasi tapi secara tidak langsung sebagai bukti ketidakbenaran mengenai stereotipe yang terbentuk didasarkan pada wacana di masa lalu, sehingga stereotipe itu bisa dilupakan dan dihilangkan. Batapa tidak bijaknya terus hidup dengan stereotipe yang diberlakukan secara kolektif tanpa menilai dari sisi individual seseorang. Metro Xin Wen mengangkat berita “Buku tentang Wanita Tionghoa yang inspiratif” memberikan satu wacana baru untuk tidak lagi menggunakan stereotipe di masa lalu untuk dijadikan tolak ukur dalam hidup berbangsa, dan menjadi bahan refleksi kembali bagi masing-masing pihak untuk berbenah diri agar kehidupan pluralisme berbangsa pada konteks kekinian dapat lebih baik dan memfokuskan pada apa yang dapat dilakukan oleh masing-masing individual sebagai bangsa Indonesia untuk kemajuan bangsa dan negara dibandingkan harus terus meributkan mengenai tuduhan-tuduhan yang hanya berdasarkan pada stereotipe masa lampau.

Bourdieu dalam Rudiarti (2003:38) menyatakan bahwa wacana yang dibentuk oleh Metro Xin Wen, bukanlah hanya suatu wacana yang diharapkan dapat dipahami oleh khalayak bahwa wacana tersebut


(6)

99 merupakan bentuk solusi terhadap permasalahan kehidupan pluralisme di negara Indonesia khususnya mengenai etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia, namun wacana yang merupakan kumpulan dari tanda dan simbol yang bertujuan untuk dipercaya dan dipatuhi. Dipercaya dan dipatuhi menunjukkan otoritas yang ingin dicapai Metro Xin Wen sebagai media. Otoritas ini adalah bentuk kekuasaan yang tertinggi , yaitu kekuasaan simbolik.


Dokumen yang terkait

PENGARUH DAYA TARIK BERITA METRO XIN WEN TERHADAP INTENSITAS ETNIK TIONGHOA MENONTON METRO XIN WEN Studi pada Masyarakat Etnik Tionghoa di Pecinan Malang

1 28 2

Hubungan antara Kegiatan Menonton Program Metro Xin Wen dengan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Penonton Etnis Tionghoa.

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB II

0 1 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 34

T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis Video Dokumenter Kompas TV “Sianida di Kopi Mirna” T1 BAB V

0 0 1