Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB II

(1)

10 BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Wacana dengan Kekuasaan

Sejarah politik Orde Baru merupakan sejarah yang juga mampu membuktikan bagaimana politik kekuasaan selalu harus ditopang dengan politik pengetahuan beserta aparatus pendidikan yang menanamkan nilai-nilai ideologi negara secara hegemonik.

Fondasi kekuasaan yang dibangun pertama-tama adalah melakukan pembangunan tiang-tiang legitimasi baik secara politik maupun secara moral. Salah satunya tentu saja membangun pengetahuan masyarakat bahwa memang rezim ini dibangun dengan kaki fondasi yang sah dan legitimit. Pengetahuan-pengetahuan seperti sejarah, ekonomi, politik, kebudayaan dan nilai-nilai sosial lainnya tentu saja dibangun atas kepentingan kekuasaan saat itu. Bagi kekuatan yang kalah, tentu saja akan bernasib buruk karena rezim orde baru sangat lihai untuk menangkis kekuatan-kekuatan lawan dengan segala peraturan dan kebijakan yang tidak memberi peluang lahirnya perubahan.

Wacana ideologi sangat efektif jika dibawa dan ditransmisikan oleh seperangkat pengetahuan yang membentuk perangkat disiplin kesadaran masyarakat. Pengetahuan ini dibentuk dan dikonstruksi oleh negara terutama oleh lembaga pendidikan. Di dalam seperangkat pengetahuan ini mengandung manifestasi kekuasaan. Bentuk kekuasaan ini tidak harus terbentuk dalam kerja mekanis ataupun linier, melainkan diproduksi dan direproduksi secara interaksional dalam wacana masyarakat. Ketika wacana atau pengetahuan tersebut diyakini, dan mengatur pola-pola hidup interaksi masyarakat, maka disana kekuasaan bekerja. Cara kerja kekuasaan ini membentuk “disiplin” masyarakat. Model kekuasaan disiplin ini tidak harus melalui kekuasaan represif fisik melainkan bentuk kontrol pengawasan yang


(2)

11 dibentuk oleh pengetahuan atau wacana. Kontrol kesadaran ini meletakkan masyarakat selalu ada dibawah kontrol yang dibentuk oleh kekuasaan.

Perangkat pengetahuan ini dapat dipakai untuk menentukan seluruh tingkah laku dan mengurangi wilayah “illegalitas” yaitu pelanggaran hukum. Hukuman menjadi efektif karena memberi gagasan kepada setiap orang bahwa dengan melakukan “kejahatan” orang akan menerima kerugian yang lebih besar daripada kalau orang menaati hukum. Hukuman yang berupa sistem tanda-tanda ini mengenai bukan lagi tubuh, melainkan menjadi tanda representasi yang mengenai pikiran. Tanda-tanda itu bisa dibentuk oleh pendidikan, penjara, agama, institusi-institusi negara atau wacana yang sengaja dikembangkan dalam masyarakat.

Berakhirnya orde baru juga membuka kesempatan bagi pers dan media massa untuk lebih bebas dalam berpendapat, berkreasi serta bersikap kritis. Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer.

Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini mengisyaratkan pentingnya keikutsertaan pers dalam melakukan kontrol atas tiga pilar kekuasaan tersebut. Media dihajatkan (lahir) sebagai penyangga demokrasi. Media menjadi penyangga penting demokrasi, sebab media menyajikan informasi hiruk-pikuk bernegara, namun di lain pihak, media modern turut serta menyumbangkan sejumlah solusi atas berbagai problemantika bangsa melalui wacana yang dibangun.(St. Tri Guntur Narwaya,2006: 67)


(3)

12 2.2. Perjalanan Etnis Tionghoa di Indonesia

“...banyak orang Indonesia kini masih menganggap orang Tionghoa secara

politis, kultural dan sosial sebagai asing sebagaimana orang asing lain yang sesungguhnya, sekalipun mereka itu mungkin mempunyai kartu

kewarganegaraan Indonesia di dalam kantong mereka”.1

Orang Tionghoa selalu merupakan minoritas kecil di Indonesia. Dalam tahun 1961, mereka diperkirakan berjumlah sekitar 2,45 juta orang, mungkin saja mereka itu tidak pernah dianggap mewakili lebih dari 2,5 persen dari seluruh jumlah penduduk pada waktu itu.

Dalam tahun-tahun pertumbuhan nasionalisme Indonesia pada bagian awal abad ini, kata bangsa (ras) digunakan untuk menunjukkan pengertian nasion. Kebanyakan kaum nasionalis Indonesia berpikir bahwa bangsa Indonesia itu meliputi anggota-anggota dari berbagai suku bangsa atau suku pribumi (asli). Dengan begitu, sama luasnya dengan suatu bagian dari penduduk Hindia yang menurut pemerintah Belanda digolongkan sebagai pribumi (inlander). Etnis Tionghoa, yang dengan sedikit perkecualian digolongkan sebagai “Timur Asing” (Vreemde Oosterlingen), dipandang oleh orang Indonesia sebagai suatu bangsa tersendiri, bangsa Tionghoa. (Wibisono,Christianto,2004:42-43)

2.2.1 Stereotip Orang Tionghoa

Orang Indonesia pribumi tidak saja menganggap orang Tionghoa itu sebagai bangsa lain, tetapi banyak dari mereka juga percaya bahwa sebagai kelompok, orang Tionghoa itu memiliki berbagai sifat negatif, sebagai berikut :

Orang Tionghoa itu suka berkelompok-kelompok, mereka menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di kawasan tersendiri. Mereka selalu berpegang teguh kepada

1


(4)

13 kebudayaan negara leluhur mereka. Kesetiaan mereka kepada Indonesia, dalam keadaan paling baik meragukan, dalam keadaan paling buruk, bersikap bermusuhan terhadap Indonesia. Orang Tionghoa yang tampaknya memihak kepada Indonesia tidak bersungguh-sungguh hati, mereka hanya berpura-pura melakukan itu demi alasan-alasan oportunistis, ketimbang perasaan yang sebenarnya untuk memihak kepada negara dan rakyat mereka. Oportunisme semacam ini adalah ciri-ciri khas dari orang yang hanya mementingkan uang, perdagangan dan bisnis. Mereka itu, tidak seperti orang Indonesia yang memiliki rasa pengabdian kepada cita-cita. Setelah diberi kedudukan yang menguntungkan oleh Belanda, orang Tionghoa mendominasi ekonomi Indonesia, melakukan penindasan terhadap massa Indonesia dan menghalangi-halangi kebangkitan golongan pengusaha nasional atau pribumi. Masih tidak puas dengan kedudukan mereka yang dominan itu, mereka pun terlibat dalam subversi ekonomi, karena mereka ahli dalam bidang penyogokan dan penyelundupan.

Mengumpulkan citra semacam ini dari sumber-sumber tertulis adalah satu hal, sebaliknya sampai di mana gabungan stereotip yang mewakili orang Tionghoa itu dalam pemikiran orang Indonesia dapat dibentuk merupakan hal lain. Tidak pernah diusahakan di sini untuk mengunakan cara-cara penelitian untuk mengetahui pandangan yang dianut orang Indonesia, atau sebagian dari mereka yang menjadi gambaran yang sebenarnya mengenai orang Tionghoa sebagai suatu kelompok. Tidak diragukan bahwa banyak yang berpendapat, paling tidak sebagian dari orang Tionghoa dikecualikan dari gambaran umum itu. Walaupun demikian, sering citra itu muncul dalam tulisan dan ucapan orang Indonesia tentang orang Tionghoa, termasuk pernyataan-pernyataan pemerintah tentang “masalah Tionghoa”, dan terutama dalam percakapan diantara orang Tionghoa sendiri mengenai cara terbaik untuk menetralkan mereka, memberi kesan bahwa mereka


(5)

14 itu bukannya tidak penting. Karena itu, rupanya diperlukan sekali untuk meneliti bagaimana citra ini sampai terbentuk dan sampai dimana mereka itu mempunyai setitik kebenaran, sebelum mencoba membatasi bagian-bagian tertentu dari masyarakat Indonesia yang dalam hal ini paling berurat akar. (Mellaz, August,2002:43-44)

2.2.2 Sifat Eksklusif dan Superioritas

Proses ini (yakni asimilasi) akan terjadi dengan sendirinya di kalangan penduduk Tionghoa di Indonesia kalau tidak ada faktor-faktor penghalang itu, yang orang Tionghoa sendiri secara sadar atau tidak sadar telah membantu menciptakannya.

Selama zaman penjajahan, orang Tionghoa dengan jelas sekali lebih unggul dibandingkan dengan rakyat jelata Indonesia, baik dalam status hukum maupun dalam kekuatan ekonomi, dan hampir dalam semua hubungan antar etnis kedudukan orang Tionghoa ternyata lebih tinggi dari orang Indonesia. Dalam hubungan inilah maka kesadaran tentang keunggulan orang Tionghoa dalam situasi yang menguntungkannya itu adalah bukti satu-satunya yang seringkali menyakitkan hati. (Coppel,Charles A.1994:57)

Sekalipun kebudayaan orang Tionghoa yang berakar sering dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai kelompok etnis Indonesia (khususnya, seperti terlihat dalam kasus Tionghoa peranakan) ini tidaklah berarti bahwa mereka itu telah terasimilasikan ke dalam masyarakat pribumi itu. Memang tidak diragukan bahwa ada sebagian yang mengalami hal demikian selama beberapa abad ini. Keadaan yang memungkinkan perkembangan itu telah dijelaskan oleh The Siauw Giap.2 Misalnya, ia menjumpai kasus-kasus tentang berubahnya keyakinan orang Tionghoa peranakan di Makasar

2


(6)

15 (Ujungpandang) dan menjadi orang Islam lalu lenyap melalui penyatuan ke dalam penduduk setempat; kasus-kasus lainnya di daerah pedesaan Jawa yang “telah meleburkan diri sepenuhnya dengan kaum pribumi”, kasus-kasus lainnya lagi yang telah berhasil memperoleh tanda jasa dalam pengabdiannya kepada para penguasa setempat pada masa-masa sebelum para penguasa itu berada di bawah pengaruh atau kekuasaan Belanda. Meskipun ada sejumlah besar orang Tionghoa yang berakulturasi secara mendalam tetapi tetap merupakan masyarakat Tionghoa yang menyendiri, asimilasi ke dalam masyarakat pribumi merupakan suatu perkecualian ketimbang kelaziman. Skinner melihat bahwa di Jawa “terdapat ribuan orang Tionghoa yang menyusut kembali leluhur mereka di Indonesia sampai sebanyak dua belas generasi”. Suatu keadaan yang sangat berbeda dengan keadaan di Thailand dimana kebanyakan orang Tionghoa telah bergabung dengan penduduk Thailand sampai empat generasi.3

Ada suatu hal yang menunjukkan kegigihan masyarakat Tionghoa yang tersendiri itu selama beberapa generasi di Indonesia, tetapi ada hal lain yang dikesankan oleh Muaja, bahwa kegagalan mereka untuk berasimilasi justru disebabkan karena adanya “faktor-faktor penghalang itu yang orang Tionghoa itu sendiri secara sadar dan tidak sadar ikut membantu menciptakannya”.4 Memang benar bahwa dalam abad ke-20 telah berkembang proses-proses tertentu di dalam masyarakat Tionghoa yang menghalangi asimilasi itu, tetapi sebenarnya perintang utama pada masa-masa awal adalah kekuasaan kolonial Belanda dan politik yang mereka pilih. Karena kekuasan Belanda semakin meluas, prestise mereka meningkat dan karena itulah prestise elite pribumi merosot, maka akibatnya orang Tionghoa yang mobil ke atas itu mungkin semakin tidak tertarik kepada pihak

3

Skinner,G. William,1960. “Change and Persistence in Chinese Cultural Overseas: A Comparison of Thailand and Java.” Dalam Coppel, Charles A. (1994)

4


(7)

16 masyarakat pribumi. Di daerah-daerah seperti di Jawa di mana akulturasi di kalangan orang Tionghoa adalah terhebat sehingga karena itu dapat dianggap bahwa asimilasi mungkin sekali terjadi antara kelas dan kelompok etnis dengan orang Tionghoa membentuk suatu kelas menengah dagang antara sebagian besar kelas penguasa Belanda dan lapisan bawah kaum pribumi. Masyarakat majemuk ini, seperti dikatakan Furnivall, pada waktunya diperkukuh oleh hukum sehingga seluruh penduduk ini terbagi ke dalam tiga golongan yang berbeda-beda, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asia, dan Golongan pribumi. Tiga golongan ini memiliki hak-hak hukum dan hak-hak istimewa yang juga berbeda-beda, dan pada umumnya, orang Tionghoa sebagai golongan Timur Asing mempunyai kedudukan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan penduduk pribumi.5 Maka dari itu, asimilasi dengan penduduk pribumi akan menurunkan status sosial mereka dan menyebabkan mereka kehilangan beberapa hak istimewa dalam hukum. Bahkan sekaligus ada keinginan untuk berasimilasi, politik pemerintah Belanda (terutama pada abad ke-19) semakin mempersulitnya. Sistem perkampungan (wijkenstelsel), yang mengharuskan orang Tionghoa bermukim di ghetto kota tertentu telah diperhebat, dan kini pun mereka diharuskan memperoleh surat jalan apabila mereka hendak melakukan perjalanan keluar. Paling tidak, dalam satu hal, orang Tionghoa yang telah berasimilasi secara menyeluruh dengan penduduk Sunda di suatu desa di Keresidenan Cirebon sehingga “satu-satunya hal yang mengingatkan bahwa mareka itu keturunan Tionghoa adalah kuncirnya saja”, telah dipaksa pindah ke suatu perkampungan Tionghoa dan membuat mereka itu mengenali dirinya kembali sebagai orang Tionghoa. Contoh ini memberi gambaran umum bagaimana pemerintah kolonial Belanda dengan giat menghalang-halangi penyeberangan perbatasan etnis itu.

5

Furnival, J.S., 1944. “Netherlands India; A Study of Plural Economy.” dalam Coppel, Charles A. (1994)


(8)

17 Orang Tionghoa diharapkan berpakaian sebagaimana biasa (termasuk mengenakan kuncir) dan merupakan pelanggaran kriminal “apabila tampil di depan umum dengan tersamar pakaian lain daripada pakaian nasional itu, terkecuali dalam arak-arakan bertopeng atau kesenangan belaka”. Lain dari pada di Thailand, di Indonesia tidak ada prosedur yang dilembagakan yang memungkinkan seorang penduduk Tionghoa dapat melepaskan diri dari golongan Tionghoa dan menjadi warga penduduk pribumi. Ini tidak berarti bahwa hal semacam itu tidak pernah terjadi, karena jelas ada kasus-kasus serupa itu yang terjadi tanpa diketahui pihak penguasa, dan rupanya terdapat satu kasus yang disetujui pula oleh pemerintah kolonial mengenai asimilasi peranakn Tionghoa di Madura ke dalam status pribumi. Namun, pada umumnya politik Belanda barangkali memainkan peranan penting sekali dalam memastikan bahwa suatu masyarakat peranakan yang mantap terbentuk dari keturunan imigran Tionghoa dan bahwa keturunan imigran ini tidak terserap oleh penduduk pribumi. (Coppel, Charles A, 1994:57-64)

2.2.3 Kebijakan dan peraturan Pemerintah terhadap Minoritas Tionghoa selepas Kemerdekaan Indonesia.

a. Pembatasan dan Penekanan Secara Budaya

Dilihat dari sudut pandang kebudayaan bangsa Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai bangsa yang mempunyai pluralisme budaya. Menurut Horton dan Hunt (1984)6, pluralisme budaya adalah suatu bentuk penyesuaian diri di mana suku bangsa-suku adat-istiadat mereka yang berbeda, sementara itu turut bekerjasama secara damai dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-kultural berdasarkan hak-hak yang secara nisbih sama. Hal ini berarti masing-masing suku bangsa tanpa

6


(9)

18 dipandang sebagai kelompok mayoritas ataupun minoritas mempunyai kedudukan sederajad dalam hal mengembangkan dimensi-dimensi kebudayaannya. Diantara suku bangsa-suku bangsa yang ada dalam batas-batas tidak mengganggu atau tidak merugikan suku bangsa lain dapat mengembangkan agama atau kepercayaannya, bahasa, adat istiadat dan pendidikannya.

Akan tetapi, perlu disadari bahwa masing-masing suku bangsa yang ada tidak mempunyai kesamaan status ekonomi dan politik, serta konsep kebudayaan. Realitas semacam ini sering menjadi kendala utama dalam bidang pengembangan interaksi sosial antara suku bangsa, terutama yang dirasakan oleh suku bangsa atau minoritas Tionghoa. Kendati belum ada bukti secara empirik mengenai perbedaan persepsi terhadap masalah ekonomi, politik dan sosial-budaya tersebut, telah melahirkan kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif, untuk membatasi atau menekan perkembangan kebudayaan suku bangsa Tionghoa.

Munculnya, political will bangsa Indonesia, sebagaimana dinyatakan melalui resolusi No. II/Res/MPR/1966, yang menyatakan bahwa dengan kenyataan adanya dalam masyarakat warga negara keturunan asing yang mengarah kepada

exclusivisme, sehingga perlu dibuat pembinaan kesatuan bangsa.

Eksklusivitas sebagaimana yang dituduhkan sebenarnya, masih berupa steriotipe yang belum teruji. Berangkat dari kecurigaan yang belum terbukti secara empirik tersebut, elite birokrasi melakukan usaha-usaha untuk membatasi perkembangan dimensi kultural suku bangsa Tionghoa.

Pembatasan terhadap perkembangan kebudayaan minoritas Tionghoa ini tampak jelas dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, yang berkaitan dengan penetapan kebijakan pokok tentang agama, kepercayaan, adat istiadat suku


(10)

19 bangsa Tionghoa. Dalam konsideran dari instruksi Presiden tersebut disebut :

“... bahwa agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina (Tionghoa) di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental, dan moral yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi,. Perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar....”

Bertolak dari kutipan tersebut, secara eksplisit menunjukkan ada kekawatiran pemerintah dalam rangka melindungi kelompok mayoritas terhadap meluasnya kebudayaan Tionghoa. Keperpihakan, untuk melindungi kelompok mayoritas ini diambil agar kemapanan (establisment) kekuasaan yang dimiliki dapat dilanggengkan, karena didukung mayoritas. Elite membutuhkan dukungan mayoritas, sehingga cenderung untuk mengabaikan minoritas. Konsekuensinya, pemerintah terpaksa melakukan usaha-usaha untuk melarang berkembangnya kebudayaan Tionghoa, sebagai salah satu cara untuk mendapatkan simpati mayoritas.

Bentuk tekanan kebudayaan tersebut dapat mencakup pembatasan perkembangan agama dan kepercayaan, tekanan adat-istiadat, tekanan bahasa, serta kesempatan untuk memperoleh pendidikan.(Saparaus, Kasmun, 2003:48)


(11)

20 Secara umum, minoritas Tionghoa di Indonesia menganut agama atau kepercayaan yang berbeda-beda. Sebagian ada yang memeluk agama dan atau kepercayaan Khonghucu, Budha, Hindu, Islam, kristen dan Katolik. Dari keenam agama dan kepercayaan tersebut, ajaran Kong Hu Chu merupakan ajaran tertua dan kuat melekat dalam kehidupan minoritas Tionghoa di Indonesia, terutama menyangkut soal-soal kekeluargaan misalnya berbakti kepada leluhur dan orang tua. Beberapa tata cara dan kebiasaan seperti pemberian korban, penghormatan dan sembahyangan masih bertahan dan dirayakan di kalangan minoritas Tionghoa.

Ketika itu pemerintah menerapkan kebijakan pluralisme agama yang menimbulkan kecenderungan bagi minoritas Tionghoa untuk mempertahankan identitas mereka dibalik identitas agama (Suryadinata, 1999: 182). Namun demikian pada awal Orde Baru, secara kualitas dan kuantitas dari waktu ke waktu perkembangannya penganut Khonghucu cenderung mengalami kemunduran. Salah satu faktor yang ditengarai sebagai penyebabnya adalah munculnya peraturan pada pemerintah Orde Baru, yang membatasi perkembangan ritus-ritus keagamaan yang bersumber dari negeri leluhur.

Salah satu bentuk peraturan pemerintah yang membatasi kegiatan keagamaan minoritas Tionghoa yaitu, Instruksi Presiden, No. 14 Tahun 1967 yang menyatakan:

“... Pertama: Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinitas kultural yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Kedua: Perayaan-perayaan pesta agama dan


(12)

21 adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. Ketiga, penentuan kategori agama dan kepercayaan, dan adat-istiadat Cina diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM)....”

Bertolak dari isi Instruksi Presiden tersebut, secara formal ada larangan untuk mengembangkan agama atau kepercayaan yang secara natural telah dimiliki sebagai warisan leluhurnya. Misalnya, penempatan agama Khonghucu, diluar agama resmi yang ada di Indonesia, dan hanya sekedar sebuah kepercayaan. Hal ini berarti Pemerintah mengadakan usaha-usaha untuk menghambat berkembangnya agama dan atau kepercayaan, minoritas Tionghoa berasal dari tanah leluhur mereka. Pemerintah secara terencana dan sistematis juga ingin membatasi bahkan meniadakan segala macam bentuk agama, kepercayaan dan adat istiadat yang berasal dari Cina. Larangan itu dilakukan semata-mata karena alasan dapat menimbulkan pengaruh yang tidak wajar atau negatif sehingga dikhawatirkan dapat menghambat proses asimilasi secara wajar. Di samping itu, munculnya Instruksi Presiden 1967, menunjukkan bahwa ada kekhawatiran dari pihak elite birokrasi, agar agama leluhur minoritas Tionghoa ini tidak secara vulgar diajarkan di Indonesia, dengan alasan dapat mengundang kerawanan sosial dan konflik. Hal ini, mengindikasikan bahwa elite pemerintahan berpihak pada pihak mayoritas, katimbang berpihak pada perkembangan kebudayaan dan agama minoritas Tionghoa.

Di samping itu pemerintah menyarankan agar praktek-praktek keagamaan hanya dilakukan di lingkungan keluarga.


(13)

22 Akibat praktis dari instruksi itu, pertunjukan-pertunjukan barongsay, arakan-arakan toapekong, perayaan Imlek hanya dirayakan dalam lingkungan intern atau keluarga (Greif, 1991:xix) dan tempat ibadah. Dianggap tidak terlalu istimewa adanya perayaan tersebut bagi bangsa Indonesia, dalam penanggalan nasional sering tidak diklasifikasikan sebagai hari besar.

Kebijakan Pemerintah atas keberadaan kehidupan agama minoritas Tionghoa dapat diartikan bahwa pada satu sisi dapat mengurangi kesenjangan sosial budaya antara minoritas Tionghoa dengan mayoritas, dan pada pihak lain terdapat usaha-usaha untuk menekan dan membatasi kekeluasaan atau kebebasan beragama yang bersumber dari tanah leluhur bagi minoritas Tionghoa. Bahkan, kebijakkan untuk membatasi kebebasan beragama secara formal terus dilakukan. Melalui UU No.5/1969, pemerintah menyatakan dua agama minoritas, agama Budha dan Konghucu, sebagai agama yang diakui secara resmi. Hal ini berarti bahwa pemerintah tidak sekedar mengakui kedua agama itu sebagai agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia, tetapi didalamnya juga mempunyai makna untuk memberikan kebebasan melaksanakan ritual-ritual yang menjadi kewajiban agamanya.

Pengakuan agama-agama minoritas tidak sejalan dengan kebijaksanaan umum pemerintah Orde Baru (Soeharto) terhadap Tionghoa warga negara Indonesia, yaitu kebijakan asimilasi (Suryadinata, 1984:203). Dengan adanya pengakuan itu berarti pemerintah ingin untuk melebur minoritas Tionghoa ke dalam masyarakat mayoritas, dengan harapan konflik etnis tidak akan pernah terjadi. Hal ini justru menjadi ancaman bagi


(14)

23 perkembangan agama Khonghucu atau Budha, yang dianut minoritas Tionghoa.

Pendekatan yang asimilatif tersebut, justru melahirkan tekanan-tekanan secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktek keagamaan. Tampaknya pemerintah masih setengah hati menerima keberadaan agama Tionghua. Oleh karena itu, ketika Matakin atau Majelis Tertinggi Agama Khonghucu Indonesia meminta Departemen Agama mengakui Khonghucuisme sebagai agama, tetapi sidang kabinet pada tanggal, 27 Januari 1979 secara tegas menyatakan bahwa Khonghucuisme bukanlah agama (Suryadinata, 1978: 33; 1999: 182).

Disadari atau tidak, agama Khonghucu telah menjadi identitas Tionghoa di Indonesia dan sulit untuk dimusnahkan. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa tekanan dan pembatasan yang dilakukan bukan semakin melemahkan identitas, tetapi sebaliknya dapat semakin mempererat jalinan etnis, untuk secara kompak mempertahankan identitas tersebut, sekalipun secara sembunyi-sembunyi. Suryadinata, (1999: 184) menyimpulkan bahwa “identitas etnis sering digunakan untuk meningkatkan solidaritas etnis dan kepentingan ekonomi sebuah kelompok etnis”. Akibat, penekanan dan pembatasan tersebut melahirkan perasaan senasib, sehingga terjadi kebiasaan untuk tolong-menolong inter-anggota minoritas Tionghoa, terutama dalam bidang kewirausahaan.


(15)

24 Ternyata bukan agama saja yang dinilai “membahayakan”,

establisment penguasa dan kelompok mayoritas. Adat istiadat

minoritas Tionghoa yang berkembang secara turun menurun juga dianggap dapat mengganggu integritas dan dianggap sebagai sumber konflik. Oleh sebab itu muncul pembatasan terhadap perkembangan adat-istiadat Tionghoa.

Regulasi yang secara tegas membatasi perkembangan adat istiadat minoritas Tionghoa, tertuang dalam Instruksi Presiden, No. 14 Tahun 1967, yang menyatakan bahwa :

“tata cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinita kultural yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Di samping itu, adat istiadat Cina harus dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga”.

Secara formal Peraturan Presiden yang dikeluarkan pada bulan Desember 1967, untuk melakukan pembatasan hidup dan berkembangnya adat istiadat Tionghoa dirasakan oleh minoritas sebagai suatu perlakuan yang kurang menghargai keberadaan suku bangsa lain. Misalnya perayaan Tahun Baru Imlek, adat perkawinan, adat pemakanan jenazah dan lain sebagainya, hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga saja.

Berpijak pada kebijakan di atas, tampak bahwa Pemerintah menggunakan model asimilasi yang mengharuskan minoritas Tionghoa meninggalkan identitas Cina mereka dan mengubahnya menjadi pribumi Indonesia. Stereotipe yang muncul adalah kecinaan dianggap membahayakan pembentukan kebudayaan nasional. Sebaliknya, minoritas Tionghoa yang tidak mematuhi adat istiadat Tionghoa, dianggap lebih “asimilatif-nasionalis”


(16)

25 daripada etnis Tionghoa lainnya. Namun demikian bukan berarti seluruh adat istiadat Tionghoa telah terserap ke dalam kebudayaan nasional. Sampai saat ini sebagian besar minoritas Tionghoa masih tetap kental karakteristik ke-Tionghoa-annya.

Kebijakan Pemerintah, untuk melakukan pembatasan, ternyata tidak dapat mematikan adat istiadat Tionghoa, tetapi sebaliknya semakin mengukuhkan identitas Tionghoa. Identitas ini dapat menjadi perekat yang kuat, sehingga secara emosional diantara mereka mennjadi komunitas yang kohesif. Kohesifitas tersebut dapat menunjang aktivitas jaringan kerjasama di bidang kewirausahaan. (Saparaus, Kasmun, 2003:56)

d. Pembatasan dan Tekanan Perkembangan Bahasa Tionghoa Kebijakan paling menonjol yang dipraktekkan selama rezim Order Baru terhadap suku bangsa Tiongha bersifat asimilatif. Akibatnya, terjadi kecenderungan untuk melakukan segala pembatasan yang dianggap kurang mendukung terwujudnya proses asimilasi. Konsep yang dijadikan payung asimilasi adalah terciptanya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam sebuah negara dan bangsa yang bersifat multietnik. Oleh karena itu, kebijakan asimilatif bertujuan untuk menyerap suku bangsa Tionghoa ke dalam kelompok mayoritas atau pribumi (Suryadinata, 1999: 84).

Usaha penyerapan atau peleburan berbagai aspek kehidupan, termasuk unsur bahasa Tionghoa merupakan salah satu bentuk asimilasi yang harus diperjuangkan.

Lenyapnya bahasa Tionghoa merupakan indikator terkikisnya identitas Tionghoa, yang sekaligus sebagai salah satu simbol keberhasilan kebijakan asimilasi total di bidang kebudayaan. Oleh karena itu, pengakuan terhadap perkembangan bahasa Tionghoa,


(17)

26 dianggap tidak sesuai dengan semangat nasionalisme Indonesia, serta merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip: “Satu Nusa, Satu bangsa dan Satu Bahasa”. Dengan kata lain, menghidupkan keberadaan bahasa Tionghoa dianggap bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan bangsa. Tentu saja stereotipe, semacam ini menunjukkan penilaian yang berlebihan dan dipolitisir. Sebab, pada kenyataannya, tidak ada larangan yang ditujukan kepada bahasa daerah dari etnis tertentu. Sebaliknya bahasa daerah dianggap salah satu asset kebudayaan nasional, sehingga perlu dikembangkan.

Masing-masing suku bangsa memiliki bahasa daerah. Pembatasan terhadap penggunaan bahasa secara bebas atas suku bangsa tertentu menunjukkan adanya perlakuan kurang demokratis dan tidak adil. Ironisnya, elite penguasa justru membuat kebijakan untuk membatasi penggunaan bahasa Tionghoa. Sejak tahun 1960, pemerintah melarang penggunaan bahasa Cina7 Esensi kebijakan pemerintah tersebut untuk melebur bahasa Tionghoa dan menghidupkan bahasa Indonesia di kalangan mereka. Penggunaan bahasa Tionghoa selain dianggap menentang kebijakan pemerintah juga dimaknai sebagai dosa besar. Mengutip pernyataan Siswono Yudohusado, yang dieleminir sebagai salah satu dosa besar adalah:

“... Diantara mereka masih ada yang menggunakan bahasa ibu (Cina) dalam percakapan sehari-hari. Demikian pula, masih ada diantara mereka yang memegang erat adat-istiadat dan tradisi nenek moyang mereka. Dalam konteks itu, sangat disayangkan bahwa sebagian dari mereka kurang atau tidak mengenal adat-istiadat Indonesia. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di

7

Pemerintah menginstruksikan kepada orang Tionghoa untuk menggunakan Bahasa Indonesia terhadap nama-nama toko, melarang semua surat kabar berbahasa Cina dan melarang untuk mengimpor semua bentuk penerbitan dalam bahasa Cina. (Taher, 1997:133)


(18)

27 antara mereka ada yang tidak mau berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik...” (Taher, 1997:133)

Penilaian semacam itu dapat dimaklumi mengingat pemerintah telah melakukan pelarangan terhadap penggunaan bahasa Tionghoa digunakan secara terbuka. Di bidang jurnalistik misalnya, pemerintah melakukan pembatasan penerbitan dengan menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Tionghoa.8 Lahirnya, kebijaksanaan semacam ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Tionghoa secara terbuka dibatasi dan ditekan. Di samping itu, tampak bahwa ada tuntutan atau keharusan bagi minoritas Tionghoa untuk menanggalkan adat-istiadat dan bahasa yang berasal dari negeri Cina. Hal ini mengindikasikan adanya bentuk-bentuk larangan untuk mengembangkan kebudayaan dari kelompok masyarakat Tionghoa. Bahkan dalam perkembangnya minoritas harus banyak mengadakan akulturasi dan asimilasi dengan kebudayaan setempat.

Adanya pembatasan dan tekanan tersebut minoritas Tionghoa mencari bentuk kebudayaan yang dirasakan cocok dan aman. Artinya, mereka lebih banyak bersikap “mengalah” dan menyembunyikan kebudayaan dan bahasa yang telah mereka miliki. Bahasa Tionghoa, hanya ditujukan diantara mereka saja. Pemanfaatan bahasa yang terbatas di lingkungan minoritas Tionghoa tersebut, justru dapat mempererat solidaritas mereka yang mempunyai dampak sangat luas dalam bidang-bidang kehidupan lain, termasuk di bidang kewirausahaan.

e. Pembatasan dan Penekanan Dibidang Pendidikan

8

Penerbitan pers dalam bahasa asing bukan huruf latin (misalnya TIonghoa) hanya dimungkinkan atu penerbitan oleh Pemerintah (Ketetapan MPRS No. XXXII/1966, Pasal 4)


(19)

28 Sejak jaman kolonial Belanda minoritas Tionghoa di Indonesia, telah mempunyai kesadaran yang tinggi mengenai pendidikan bagi generasi muda. Tercatat sejak tahun 1901, telah didirikan sekolah Tionghoa yang dikelola oleh Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), di Jakarta. Tidak lama kemudian penguasa Belanda mendirikan HCS atau Sekolah Tionghoa dengan bahasa pengantar Belanda. Sekolah-sekolah Tionghoa diberikan kebebasan secara luas9. Dalam perkembangannya seolah-sekolah untuk peranakan Tionghoa berkembang pesat. Tercatat hingga tahun 1934 telah terdapat 450 sekolah berbahasa Cina di Hindia Belanda dan 117 sekolah rakyat berbahasa Belanda untuk orang Tionghoa (Suryadinata, 1984:158).

Sekolah-sekolah bagi minoritas Tionghoa itu terus berkembang hingga Indonesia merdeka. Perkembangan itu terhenti ketika hubungan Republik Rakyat Cina dengan Indonesia mengalami ketegangan. Mulai tahun 1957, pemerintah Indonesia mulai mengadakan pengawasan secara ketat. Kondisi politik Indonsia pada waktu sedang memanas, dengan adanya pemberontakan anti integrasi di Sumatera dan Sulawesi. Dalam kondisi semacam ini pemerintah membuat pernyataan, bahwa sekolah-sekolah Tionghoa harus diawasi secara ketat demi keamanan dan kepentingan nasional (Suryadinata, 1984:159).

Guru-guru yang menggunakan bahasa pengantar Tionghoa diwajibkan meminta ijin kepada pemerintah, mereka harus menempuh tes, termasuk tes kelancaran Indonesia, serta melarang Warga Negara Indonesia untuk masuk ke sekolah Tionghoa. Di samping itu mengharuskan sekolah-sekolah Tionghoa untuk mengajarkan bahasa Indonesia. Semua buku pegangan harus mendapat persetujuan pemerintah. Kurikulum sekolah diadakan

9

Sekolah-sekolah itu benar-benar diberi kebebasan menentukan kurikulum dan buku pegangannya, dan bahkan boleh mengundang guru dari Cina (Suryadinata, 1984:154).


(20)

29 perubahan dengan lebih banyak memasukkan mata pelajaran mengenai Indonesia, yaitu; Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Ilmu Bumi Indonesia menjadi mata pelajaran wajib.

Di samping itu pemerintah juga mengeluarkan larangan supaya tidak lagi didirikan sekolah-sekolah baru bagi minoritas Tionghoa. Bahkan semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup. Merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan mengenai kebijakan pembatasan dan penutupan bagi sekolah berbahasa Tionghoa, pada tanggal 6 Juli 1966, menetapkan bahwa:

“... mereka yang menjadi murid di bekas sekolah-sekolah asing tidak akan ditampung di sekolah-sekolah nasional swasta. Mereka berhak untuk diterima di sekolah-sekolah negara jika mereka bisa memenuhi syarat-syarat masuk yang berupa seperti murid-murid lain dan mereka akan dibagi-bagi agar mereka tidak merupakan pengelompokan di salah satu sekolah ...” (Coppel, 1994:136).

Dalam praktek ternyata tidak secara serta merta suku Tionghoa untuk memasuki sekolah-sekolah negeri. Kebijakan pemerintah ini berubah setelah orde baru. Pada tahun 1968, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang terkenal dengan Peraturan Presiden No. B12/Pres./1/1968 yang memberikan ijin untuk mendirikan sekolah yang disponsori oleh golongan swasta dalam masyarakat Tionghoa. Sekolah itu, yang dinamakan Sekolah Nasional Proyek Chusus atau SNPC yang didirikan pada tahun 1969. Sekolah-sekolah itu dinyatakan terbuka untuk asing dan warga negara Indonesia, tetapi siswa asing tidak boleh melebihi 40% dari jumlah seluruh siswa yang terdaftar. (Suryadinata, 1984:163). Jadi proporsi jumlah siswa diprioritas kepada Warga Negara Indonesia. Kendati menurut peraturan jumlah warga Negara Indonesia harus melebihi jumlah


(21)

30 minoritas Tionghoa, tetapi pada kenyataannya sebagian besar siswanya adalah minoritas Tionghoa.

Hingga tahun 1971 terdapat delapan sekolah SNPC, akan tetapi makin lama jumlah makin besar karena hanya di sekolah-sekolah itulah Tionghoa dapat masuk dengan mudah. (Suryadinata, 1984:120). Perkembangan cepat dari sekolah-sekolah ini mengkawatirkan pemerintah, sehingga perlu diwaspadai. Kecurigaan pemerintah terhadap keberadaan SNPC semakin tinggi. Faktor penting yang melatar-belakangi sikap pemerintah adalah adanya anggapan bahwa pertumbuhan SNPC dapat memunculkan sikap eksklusif, yang tidak sesuai dengan harapan pemerintah, yaitu berbentuk sebuah lembaga pendidikan yang dapat mempersubur proses asimilasi antara siswa warga negara Indonesia dengan siswa asing – Tionghoa. Tidak lama kemudian pada tahun 1974 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan penghapusan SNPC. Sekolah-sekolah itu diubah menjadi sekolah-sekolah biasa atau menjadi Sekolah Nasional Swasta.

Dewasa ini, siswa-siswa sekolah Tionghoa banyak yang masuk pada sekolah swasta. Di samping itu pemerintah juga memberikan peluang bagi minoritas Tionghoa untuk meneruskan sekolah pada sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi pemerintah membatasi jumlah kira-kira hanya 10% jumlah dari seluruh siswa golongan mayoritas. Bahkan jumlah murid Tionghoa maksimum yang diijinkan belakangan dikatakan lima persen (Coppel, 1994: 136). Di samping itu, mereka harus memiliki surat ijin belajar dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan menyertakan surat kewarganegaraan.

Pengawasan ketat dan penghapusan sekolah-sekoloah khusus suku Tionghoa dapat dimengerti sebagai tindakan agar


(22)

31 tidak terjadi eklusivisme suku Tionghoa. Namun peraturan tidak tertulis yang terus berkembang hingga sekarang yang membatasi suku Tionghoa untuk dapat masuk ke sekolah negeri apalagi pada Universitas Negeri merupakan politik isolasi suku Tionghoa di bidang pendidikan.

Untuk itu produk peraturan-peraturan pemerintah di bidang pendidikan menunjukkan bentuk pembatasan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan dan kesempatan sekolah bagi minoritas Tionghoa ini. Secara sistematis, pemerintah berusaha untuk mengendalikan jumlah masyarakat Tionghoa yang sekolah di sekolah-sekolah negeri. Perlakuan diskriminatif dan mendiskreditkan suku bangsa Tionghoa, merupakan manifestasi untuk mengisolasi suku bangsa Tionghoa.

Usaha pemerintah untuk mengisolasi suku Tionghoa di bidang pendidikan tidak membuat suku tersebut terjepit, tetapi sebaliknya. Sikap diskriminatif tersebut dapat disiasati oleh minoritas Tionghoa, dengan cara masuk di sekolah swasta. Bahkan pada kenyataannya, sekolah swasta tersebut banyak yang disponsori oleh pengusaha Tionghoa sehingga berkembang pesat. Oleh karena itu sekolah-sekolah semacam itu mempunyai kualitas yang memadai. Di samping itu, banyak siswa Tionghoa yang masuk pada sekolah-sekolah dan atau universitas di luar negeri.

f. Pembatasan dan Tekanan Berupa Gerakan Rasisme

Ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya dalam segi ciri-ciri fisik-bawaan; di samping itu banyak juga ditentukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya ada gejala saling mengagungkan rasnya sehingga memunculkan anti dengan ras yang lain. Akibatnya, sering


(23)

32 muncul tindakan-tindakan bersifat destruktif yang dilakukan oleh kelompok ras dominan terhadap kelompok ras minoritas. Perlakuan semacam itu juga dapat ditemukan pada masyarakat Tionghoa di Indonesia. Gelombang anti ras Tionghoa terjadi secara laten, dan muncul konflik sepihak. Artinya, hampir tidak pernah terjadi perlawanan balik yang dilakukan oleh minoritas Tionghoa.

Segi hubungan antar kelompok suku bangsa, rasisme tersebut diwujudkan dalam sikap diskriminasi. Jadi rasisme secara lebih longgar merupakan cara memperlakukan orang berdasarkan pada klasifikasi kelompok, bukannya berdasarkan ciri-ciri individu. Hal ini berarti pula bahwa kelompok mayoritas bertindak secara sewenang-wenang terhadap hak, harga diri kelompok minoritas. Akibatnya, yang tampak adalah perlakuan-perlakuan yang diskriminatif dan kurang adil.

Bagi minoritas Tionghoa Indonesia, perlakuan semacam ini dapat dilihat dari berbagai bidang kehidupan sosial. Diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh individu-individu, tetapi secara kolektif tidak diberikan kesempatan yang sama sebagai warga negara Indonesia. Dalam kegiatan sehari-hari, lembaga-lembaga masyarakat secara sistematis mendiskriminasikan anggota kelompok-kelompok tertentu, dalam kegiatan bisnis, sekolah atau pendidikan, rumah sakit, partai politik, instansi pemerintahan.


(24)

33 Bentuk tekanan sosial psikologis yang lain adalah berupa ancaman terjadinya konflik secara terbuka, yang terjadi sebagai akibat masalah ras atau suku bangsa, yang bersumbu pada pembantaian Tionghoa. Tragedi pembantian Tionghoa pernah terjadi, pada tahun 1740, ketika Jawa dalam kekuasaan Pemerintahan Belanda, yang dikenal dengan peristiwa “Geger Cina”. Catatan sejarah Indonesia menunjukkan bahwa pembantaian orang-orang Tionghoa di Indonesia telah berlangsung lama. Penyebabnya adalah untuk menunjukkan luapan kemarahan kepada penguasa dan orang Tionghoa, dengan menciderai dan membunuhnya secara fisik (Kwik Kian Gie dan Nurcholish Madjid, 1999: 58). Usaha untuk memusnahkan minoritas Tionghoa, sudah pernah muncul pada masa Kolonialisme Belanda. Banyak orang Tionghoa yang dibunuh secara massal.

Konflik semacam ini ditandai dengan adanya pengrusakan atau penghancuran secara fisik dari suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lain yang menjadi target. Dalam hal ini terdapat usaha-usaha suatu kelompok mayoritas untuk memusnahkan kelompok minoritas. Dengan cara semacam ini mereka dapat menghilangkan atau memusnahkan yang lain, terutama suku Tionghoa. Ancaman, pembantaian Tionghoa tersebut, pada satu sisi proses asmilasi menjadi sulit dan pada sisi lain sebagian besar minoritas Tionghoa semakin lekat karakteristik ke Tionghoa-annya. Berbagai kejadian yang menjepit keberadaannya telah melahirkan penilaian negatif terhadap kelompok mayoritas. Orang Tionghoa telah mengalami krisis kepercayaan terhadap kebijakan asimilisi. Kendati demikian, atas peristiwa-peristiwa tragis yang ditujukan kepadanya telah membangkitan kembali solidaritas kebersamaan diantara mereka.


(25)

34 Pembatasan dan tekanan sosial psikologis berupa kerusuhan dan kekerasan ini lebih berkaitan dengan sikap masyarakat mayoritas dan kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan gangguan mentalitas minoritas Tionghoa, misalnya ketakutan secara mendalam atau traumatis, sebagai akibat dari berbagai aksi massal. Secara psikologis minoritas Tionghoa mendapatkan tekanan atau pembatasan berupa perusakan, pembakaran, penjarahan dan pemerkosaan.

Berbagai bentuk kekerasan ini tentu saja berakibat pada pudarnya keharmonisan interaksi sosial antar etnis. Tragedi, yang diderita minoritas Tionghoa itu, digambarkan Kwik Kian Gie dan Nurcholis Madjid (1998:14), sebagai berikut:

“... setelah peristiwa 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta dan Solo, mulai merembes cerita tentang kekejian dan kekejaman dalam bentuk pemerkosaan terhadap putri-putri nonpribumi belasan tahun di depan mata sanak keluarganya. Ada yang tidak sanggup menahan malu dan penderitaan batin, sehingga bunuh diri. Ada yang disekap dalam mobil dan dibakar bersama mobilnya, ... kerusuhan apa pun yang membuat massa mengamuk dan membuat kerusakan gedung-gedung di sepanjang jalan yang dilaluinya, masyarakat nonpri keturunan Tionghoa yang selalu menjadi korban...”

Teror mental secara brutal semacam ini mempengaruhi karakteristik dan pola kehidupan minoritas Tionghoa cenderung defensif dan semakin eksklusif. Hubungan dengan mayoritas semakin renggang. Bahkan hubungan yang dibangun hanya semata-mata demi kepentingan bisnis atau hubungan komersial. Diantara keduanya, menjaga jarak dan sulit untuk mengadakan pembauran. Keadaan semacam ini semakin parah karena disertai


(26)

35 prasangka-prasangka sosial yang bersifat negatif. Akibatnya, dalam sepanjang hidupnya minoritas Tionghoa berada dalam suasana kecemasan dan kebimbangan. Kendati demikian, perlakuan tidak adil tersebut, berhasil menumbuhkan kesadaran kesetiakawanan di antara mereka termasuk dalam bidang kewirausahaan. Hal ini dapat dimaknai bahwa perasaan senasib dapat mempengaruhi dalam bidang kehidupan yang lebih luas, termasuk dalam kewirausahaan, untuk memajukan tingkat perekonomian yang lebih baik. (Saparaus,Kasmun, 2003.)

2.3. Media Massa dan Konstruksi Realitas

Proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya "menceritakan" (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha mengkonstruksikan realitas. Laporan tentang kegiatan orang yang berkumpul di sebuah lapangan terbuka guna mendengarkan pidato politik pada musim pemilu, misalnya, adalah hasil konstruksi realitas mengenai peristiwa yang lazim disebut kampanye pemilu itu. Begitulah setiap hasil laporan adalah hasil konstruksi realitas atas kejadian yang dilaporkan.

Pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.

Proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya


(27)

36 penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti seluruh isi media entah media cetak ataupun media elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel).

Pada media massa, keberadaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas-realitas media yang akan muncul di benak khalayak. Oleh karena persoalan makna itulah, maka penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas, terlebih atas hasilnya (baca, makna atau citra). Sebabnya ialah, karena bahasa mengandung makna. Padahal, manakala kita bercerita kepada orang lain, sesungguhnya esensi yang kita ingin sampaikan adalah makna. Padahal, setiap kata, angka, dan simbol lain dalam bahasa yang kita pakai untuk menyampaikan pesan pada orang lain tentulah mengandung makna. Begitu juga, rakitan antara satu kata (angka) dengan kata (angka) lain menghasilkan satu makna. Penampilan secara keseluruhan sebuah wacana bahkan bisa menimbulkan makna tertentu.

Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus dapat menciptakan realitas.

Menurut Giles dan Wiemann (1987), bahasa (teks) mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan konteks. Dengan begitu, lewat bahasa yang dipakainya (melalui pilihan kata dan cara penyajian) seseorang bisa mempengaruhi orang lain (menunjukkan


(28)

37 kekuasaannya). Melalui teks yang dibuatnya, ia dapat memanipulasi konteks.10

Sekali lagi, elemen dasar seluruh isi media massa, entah itu hasil liputan seperti berita, laporan pandangan mata, atau hasi analisi berupa artikel opini, adalah bahasa tertulis baik berbentuk kata, angka, gambar, ataupun grafis. Media radio menggunakan ucapan dan suara. Media TV menggabungkan bahasa tulisan, ujaran, gambar, dan bunyi-bunyian (audiovisual). Dengan bahasa para pekerja media mengkonstruksikan setiap realitas yang diliputnya.

Dengan demikian bahasa adalah nyawa kehidupan media massa. Hanya melalui bahasa para pekerja media bisa menghadirkan hasil reportasenya kepada khalayak. Setiap hari, para pekerja media memanfaatkan bahsa dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa, keadaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa secara massif mereka menentukan gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat. (Hamad, 2004:98-102)

2.4. Bahasa, pertarungan simbolik dan kekuasaan

Bahasa adalah praktik sosial. Pendekatan Bourdieu ini merupakan pengembangan dari pendekatan yang dilakukan oleh J.L. Austin tentang tindakan bahasa dalam Teori Tindak Tutur. Austin memberikan penekanan pada kenyataan bahwa ujaran-ujaran tertentu tidak dipakai untuk tujuan menceritakan atau memaparkan sesuatu, tetapi juga merupakan tindakan dan partisipasi pada sebuah ritual. Ujaran-ujaran yang juga merupakan tindakan ini disebut sebagai ujaran performatif (Austin, 1975)11 . Contoh-ccontoh ujaran performatif yang diberikan Austin, misalnya ujaran “Saya bersedia” atau “Saya berjanji” pada sebuah upacara pernikahan, atau ujaran “hari ini

10

Howad Giles dan John M. Wiemann (1987), "Language social comparison and power." Dalam Hamad, Ibnu( 2004)

11

Austin (1975) dalam Suma Riella Rusdiarti (2003) “bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” Edisi khusus Pierre Bourdieu


(29)

38 saya luncurkan secara resmi kapal Queen Elizabeth” yang diucapkan sambil melemparkan satu botol champagne ke badan kapal pada acara peluncuran kapal baru.

Dalam pandangan Bourdieu, sebenarnya Teori Tindak Tutur yang ditawarkan Austin mampu menunjukkan bahwa efektifitas sebuah ujaran performatif tidak bisa dipisahkan dari adanya sebuah institusi yang menetukan kondisi-kondisi (seperti ruang, waktu, pelaku) yang harus ada agar sebuah ujaran dapat benar-benar efektif. Istilah institusi yang dipakai Bourdieu bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi tertentu (misalnya keluarga, perusahaan, negara), tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial yang relatif bertahan, yang memberikan berbagai bentuk kekuasaan, status, dan sumber daya hidup kepada individu-individu. Institusi inilah yang memberikan otoritas kepada penutur untuk melakukan tindakan sebagaimana ujaran yang ia ucapkan dalam ujaran performatif. Ujaran itu hanya bisa diucapkan oleh individu-individu atau pelaku sosial yang memiliki otoritas dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut.

Seorang pelaku sosial yang memiliki otoritas, ketika ia berbicara di dalam situasi dan kondisi yang sesuai dengan wewenangnya, maka ia memanifetasikan otoritasnya. Melalui ujarannya ia menggunakan satu bentuk kekuasaan atau otoritas yang merupakan bagian dari sebuah institusi sosial, dan otoritas itu tidak bisa ditemukan hanya dengan membongkar kalimat-kalimat secara linguistik. Mencoba memahami secara linguistik saja kekuatan dari pernyataan-pernyataan linguistik berarti melupakan otoritas yang terjadi di “luar”. Padahal otoritas-otoritas itulah yang direpresentasikan oleh bahasa, yang dimanifestasikan dan yang disimbolkan oleh bahasa. Otoritas-otoritas itu melekat di dalam diri penutur bahasa. Otoritas inilah yang menurut Bourdieu merupakan kapital simbolik dan kekuasaan simbolik yang dimiliki oleh pelaku sosial. Dengan demikian bahasa erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik.


(30)

39 2.4.1 Bahasa sebagai Praktik Sosial

Bahasa adalah salah satu atribut manusia yang paling penting. Bourdieu melihat bahwa bahasa tidak hanya merupakan alat komunikasi dan kapital budaya, tetapi juga merupakan praktik sosial. Bahasa didapatkan oleh individu pelaku sosial dari masyarakat dan lingkungan tempat dia tinggal dan hidup. Bahasa menjadi instrumen penting yang harus dimiliki oleh pelaku sosial untuk dapat bersosialisasi dengan pelahu sosial lainnya. Melalui sosialisasi inilah makna kata-kata terbentuk dan terserap kedalam kesaadaran individu.

Kemampuan atau kapasitas bahasa pelaku sosial ditentukan oleh habitus linguistiknya. Habitus linguistik menggambarkan kecenderungan praktik-praktik linguistik yang tertanam di dalam diri pelaku, baik yang berhubungan dengan kecenderungan perilaku fisik, maupun persepsi dan logika bahasanya. Melalui habitus linguistik inilah pelaku sosial mendapatkan dan terus memperkaya kapita budaya linguistiknya. Oleh karena itu, Bourdieu mengatakan pula istilah kapital informasional untuk bahasa sebagai kapital budaya linguistik.

Ekspresi linguistik selalu diproduksi di dalam sebuah konteks dan “pasar linguistik”. Pasar linguistik adalah sebuah arena tempat wacana-wacana termanifestasi dan terwujud. Agar transaksi wacana berhasil, maka perlu dipahami aturan main di setiap pasar, karena masing-masing pasar memiliki arena pertarungan yang berbeda, dengan aturan yang berbeda. Disinalah dapat diidentifikasi mengenai arena permainan. Setiap bahasa merupakan sebuah permainan, dalamnya memiliki aturan-aturan permainan sendiri. Aturan dari permainan satu tidak bisa dipakai untuk aturan bagi permainan yang lain. Dengan demikian, didalam bahasa tidak ada peraturan yang universal yang mencakup semua bahasa. Setiap bahasa harus


(31)

40 dipahami dengan gramatikanya masing-masing, dipahami persamaan-persamaannya.

Pasar linguistik habitus linguistik

Praktik bahasa

Gambar 2.3 bahasa sebagai pr akti k sosial

Dalam arena pasar linguistik yang menjadi komoditas utama dalam sirkulasi “perdagangan” bukan lagi bahasa , tetapi diskursus atau wacana sebagai praktik sosial, sesuai dengan bagan di atas, praktik bahasa tidak bisa berdiri sendiri. Setiap kata yang dipilih oleh pelaku sosial ditentukan oleh kepasitas linguistik yang dimilikinya, yang ditentukan oleh habitus linguistiknya. Lebih dari itu habitus linguistik menentukan pula logika berpikir. Pelaku sosial yang sejak kecil tumbuh di dalam lingkungannya yang akrab dengan buku, majalah dan sumber-sumber bacaan berkualitas akan memiliki kosa kata yang kaya, cara berpikir yang lebih teratur .

2.4.2 Pertarungan simbolik dan kekuasaan simbolik

Hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima pesan menurut Bourdieu dibangun berdasarkan penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim dan pembongkaran kode dan simbol bahasa oleh penerima. Informasi yang dikirim oleh penutur melalui proses pembongkaran dan pemahaman simbol.

Hubungan komunikasi sebagai pertukaran bahasa atau hubungan simbolik yang seperti ini, oleh Sausure direduksi menjadi sekadar hubungan komunikasi murni. Informasi di dalam pesan lebih penting daripada peristiwa komunikasi itu sendiri, sedangkan pertukaran bahasa dalam hubungan komunikasi. Menurut Bourdieu, tidak hanya


(32)

41 sampai disitu. Pasar linguistik juga menentukan berhasil tidaknya satu wacana dari pengiriman dipahami oleh penerima.

Selanjutnya, Bourdieu menyatakan bahwa wacana yang dikirimkan, bukanlah sekadar wacana yang diharapkan dapat dipahami oleh penerima. Sebuah wacana juga merupakan kumpulan tanda atau simbol yang bertujuan untuk dinilai dan diapresiasi, atau bertujuan untuk dipercaya dan dipatuhi. Dipercaya dan dipatuhi menunjukkan otoritas yang ingin dicapai oleh pelaku sosial. Otoritas ini adalah bentuk kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan simbolik. Bahasa sebagai kapital kultural (linguistik) dengan demikian erat kaitannya dengan pertarungan dan kekuasaan simbolik. (Rusdiarti, Suma Riella dalam majalah BASIS 2003:32-38)


(1)

36 penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti seluruh isi media entah media cetak ataupun media elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel).

Pada media massa, keberadaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas-realitas media yang akan muncul di benak khalayak. Oleh karena persoalan makna itulah, maka penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas, terlebih atas hasilnya (baca, makna atau citra). Sebabnya ialah, karena bahasa mengandung makna. Padahal, manakala kita bercerita kepada orang lain, sesungguhnya esensi yang kita ingin sampaikan adalah makna. Padahal, setiap kata, angka, dan simbol lain dalam bahasa yang kita pakai untuk menyampaikan pesan pada orang lain tentulah mengandung makna. Begitu juga, rakitan antara satu kata (angka) dengan kata (angka) lain menghasilkan satu makna. Penampilan secara keseluruhan sebuah wacana bahkan bisa menimbulkan makna tertentu.

Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus dapat menciptakan realitas.

Menurut Giles dan Wiemann (1987), bahasa (teks) mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan konteks. Dengan begitu, lewat bahasa yang dipakainya (melalui pilihan kata dan cara penyajian) seseorang bisa mempengaruhi orang lain (menunjukkan


(2)

37 kekuasaannya). Melalui teks yang dibuatnya, ia dapat memanipulasi konteks.10

Sekali lagi, elemen dasar seluruh isi media massa, entah itu hasil liputan seperti berita, laporan pandangan mata, atau hasi analisi berupa artikel opini, adalah bahasa tertulis baik berbentuk kata, angka, gambar, ataupun grafis. Media radio menggunakan ucapan dan suara. Media TV menggabungkan bahasa tulisan, ujaran, gambar, dan bunyi-bunyian (audiovisual). Dengan bahasa para pekerja media mengkonstruksikan setiap realitas yang diliputnya.

Dengan demikian bahasa adalah nyawa kehidupan media massa. Hanya melalui bahasa para pekerja media bisa menghadirkan hasil reportasenya kepada khalayak. Setiap hari, para pekerja media memanfaatkan bahsa dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa, keadaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa secara massif mereka menentukan gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat. (Hamad, 2004:98-102)

2.4. Bahasa, pertarungan simbolik dan kekuasaan

Bahasa adalah praktik sosial. Pendekatan Bourdieu ini merupakan pengembangan dari pendekatan yang dilakukan oleh J.L. Austin tentang tindakan bahasa dalam Teori Tindak Tutur. Austin memberikan penekanan pada kenyataan bahwa ujaran-ujaran tertentu tidak dipakai untuk tujuan menceritakan atau memaparkan sesuatu, tetapi juga merupakan tindakan dan partisipasi pada sebuah ritual. Ujaran-ujaran yang juga merupakan tindakan ini disebut sebagai ujaran performatif (Austin, 1975)11 . Contoh-ccontoh ujaran performatif yang diberikan Austin, misalnya ujaran “Saya bersedia” atau “Saya berjanji” pada sebuah upacara pernikahan, atau ujaran “hari ini

10

Howad Giles dan John M. Wiemann (1987), "Language social comparison and power." Dalam Hamad, Ibnu( 2004)

11

Austin (1975) dalam Suma Riella Rusdiarti (2003) “bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” Edisi khusus Pierre Bourdieu


(3)

38 saya luncurkan secara resmi kapal Queen Elizabeth” yang diucapkan sambil melemparkan satu botol champagne ke badan kapal pada acara peluncuran kapal baru.

Dalam pandangan Bourdieu, sebenarnya Teori Tindak Tutur yang ditawarkan Austin mampu menunjukkan bahwa efektifitas sebuah ujaran performatif tidak bisa dipisahkan dari adanya sebuah institusi yang menetukan kondisi-kondisi (seperti ruang, waktu, pelaku) yang harus ada agar sebuah ujaran dapat benar-benar efektif. Istilah institusi yang dipakai Bourdieu bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi tertentu (misalnya keluarga, perusahaan, negara), tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial yang relatif bertahan, yang memberikan berbagai bentuk kekuasaan, status, dan sumber daya hidup kepada individu-individu. Institusi inilah yang memberikan otoritas kepada penutur untuk melakukan tindakan sebagaimana ujaran yang ia ucapkan dalam ujaran performatif. Ujaran itu hanya bisa diucapkan oleh individu-individu atau pelaku sosial yang memiliki otoritas dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut.

Seorang pelaku sosial yang memiliki otoritas, ketika ia berbicara di dalam situasi dan kondisi yang sesuai dengan wewenangnya, maka ia memanifetasikan otoritasnya. Melalui ujarannya ia menggunakan satu bentuk kekuasaan atau otoritas yang merupakan bagian dari sebuah institusi sosial, dan otoritas itu tidak bisa ditemukan hanya dengan membongkar kalimat-kalimat secara linguistik. Mencoba memahami secara linguistik saja kekuatan dari pernyataan-pernyataan linguistik berarti melupakan otoritas yang terjadi di “luar”. Padahal otoritas-otoritas itulah yang direpresentasikan oleh bahasa, yang dimanifestasikan dan yang disimbolkan oleh bahasa. Otoritas-otoritas itu melekat di dalam diri penutur bahasa. Otoritas inilah yang menurut Bourdieu merupakan kapital simbolik dan kekuasaan simbolik yang dimiliki oleh pelaku sosial. Dengan demikian bahasa erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik.


(4)

39

2.4.1 Bahasa sebagai Praktik Sosial

Bahasa adalah salah satu atribut manusia yang paling penting. Bourdieu melihat bahwa bahasa tidak hanya merupakan alat komunikasi dan kapital budaya, tetapi juga merupakan praktik sosial. Bahasa didapatkan oleh individu pelaku sosial dari masyarakat dan lingkungan tempat dia tinggal dan hidup. Bahasa menjadi instrumen penting yang harus dimiliki oleh pelaku sosial untuk dapat bersosialisasi dengan pelahu sosial lainnya. Melalui sosialisasi inilah makna kata-kata terbentuk dan terserap kedalam kesaadaran individu.

Kemampuan atau kapasitas bahasa pelaku sosial ditentukan oleh habitus linguistiknya. Habitus linguistik menggambarkan kecenderungan praktik-praktik linguistik yang tertanam di dalam diri pelaku, baik yang berhubungan dengan kecenderungan perilaku fisik, maupun persepsi dan logika bahasanya. Melalui habitus linguistik inilah pelaku sosial mendapatkan dan terus memperkaya kapita budaya linguistiknya. Oleh karena itu, Bourdieu mengatakan pula istilah kapital informasional untuk bahasa sebagai kapital budaya linguistik.

Ekspresi linguistik selalu diproduksi di dalam sebuah konteks dan “pasar linguistik”. Pasar linguistik adalah sebuah arena tempat wacana-wacana termanifestasi dan terwujud. Agar transaksi wacana berhasil, maka perlu dipahami aturan main di setiap pasar, karena masing-masing pasar memiliki arena pertarungan yang berbeda, dengan aturan yang berbeda. Disinalah dapat diidentifikasi mengenai arena permainan. Setiap bahasa merupakan sebuah permainan, dalamnya memiliki aturan-aturan permainan sendiri. Aturan dari permainan satu tidak bisa dipakai untuk aturan bagi permainan yang lain. Dengan demikian, didalam bahasa tidak ada peraturan yang universal yang mencakup semua bahasa. Setiap bahasa harus


(5)

40 dipahami dengan gramatikanya masing-masing, dipahami persamaan-persamaannya.

Pasar linguistik habitus linguistik

Praktik bahasa

Gambar 2.3 bahasa sebagai pr akti k sosial

Dalam arena pasar linguistik yang menjadi komoditas utama dalam sirkulasi “perdagangan” bukan lagi bahasa , tetapi diskursus atau wacana sebagai praktik sosial, sesuai dengan bagan di atas, praktik bahasa tidak bisa berdiri sendiri. Setiap kata yang dipilih oleh pelaku sosial ditentukan oleh kepasitas linguistik yang dimilikinya, yang ditentukan oleh habitus linguistiknya. Lebih dari itu habitus linguistik menentukan pula logika berpikir. Pelaku sosial yang sejak kecil tumbuh di dalam lingkungannya yang akrab dengan buku, majalah dan sumber-sumber bacaan berkualitas akan memiliki kosa kata yang kaya, cara berpikir yang lebih teratur .

2.4.2 Pertarungan simbolik dan kekuasaan simbolik

Hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima pesan menurut Bourdieu dibangun berdasarkan penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim dan pembongkaran kode dan simbol bahasa oleh penerima. Informasi yang dikirim oleh penutur melalui proses pembongkaran dan pemahaman simbol.

Hubungan komunikasi sebagai pertukaran bahasa atau hubungan simbolik yang seperti ini, oleh Sausure direduksi menjadi sekadar hubungan komunikasi murni. Informasi di dalam pesan lebih penting daripada peristiwa komunikasi itu sendiri, sedangkan pertukaran bahasa dalam hubungan komunikasi. Menurut Bourdieu, tidak hanya


(6)

41 sampai disitu. Pasar linguistik juga menentukan berhasil tidaknya satu wacana dari pengiriman dipahami oleh penerima.

Selanjutnya, Bourdieu menyatakan bahwa wacana yang dikirimkan, bukanlah sekadar wacana yang diharapkan dapat dipahami oleh penerima. Sebuah wacana juga merupakan kumpulan tanda atau simbol yang bertujuan untuk dinilai dan diapresiasi, atau bertujuan untuk dipercaya dan dipatuhi. Dipercaya dan dipatuhi menunjukkan otoritas yang ingin dicapai oleh pelaku sosial. Otoritas ini adalah bentuk kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan simbolik. Bahasa sebagai kapital kultural (linguistik) dengan demikian erat kaitannya dengan pertarungan dan kekuasaan simbolik. (Rusdiarti, Suma Riella dalam majalah BASIS 2003:32-38)


Dokumen yang terkait

PENGARUH DAYA TARIK BERITA METRO XIN WEN TERHADAP INTENSITAS ETNIK TIONGHOA MENONTON METRO XIN WEN Studi pada Masyarakat Etnik Tionghoa di Pecinan Malang

1 28 2

Hubungan antara Kegiatan Menonton Program Metro Xin Wen dengan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Penonton Etnis Tionghoa.

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB V

1 1 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 34

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis Video Dokumenter Kompas TV “Sianida di Kopi Mirna” T1 BAB II

0 1 10