RESILIENSI PADA PENDERITA STROKE SKRIPSI.

(1)

RESILIENSI PADA PENDERITA STROKE SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Rahmat Arif B07211059

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

(3)

(4)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana Resiliensi Pada Penderita Stroke. Subjek penelitian ini adalah penderita stroke yang sudah 12 tahun, usia subjek 51 tahun berjenis kelamin laki-laki. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif metode study kasus. Penelitian menemukan aspek resiliensi pada subjek H yaitu di tandai adanya a) regulasi emosi ; memiliki kemampuan tetap tenang walau kondisi menenkan, b) pengendalian impuls ; mempunyai kemampuan untuk mengendalikan tekanan dalam hidup, keterampilan komunikasi serta jarang mengeluh, c) optimisme ; bahwa suatu saat nanti akan ada waktu yang bisa membuat dirinya bahagia, d) efikasi diri ; meyakini bahwa memiliki cara untuk memecahkan masalah, e) causal analysis ; memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, f) empati ; berempati dengan orang lain serta ingin membantu orang lain walau kondisi yang terbatas, dan g) reaching out ; tidak hanya mengatasi kemalangan tetapi dapat meraih aspek positif meskipun hal itu sangat sederhana. Hal ini dipengaruhi oleh prinsip H yang sederhana sehingga H dapat mencapai resiliensi yang disebabkan oleh faktor I Have (aku punya), I Am (aku ini), dan I Can (aku dapat). Kata kunci : Resiliensi, Stroke, aspke resiliensi


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Halaman Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Gambar ... ix

Daftar Lampiran ... x

Intisari ... xi

Abstrak ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG PENELITIAN ... 1

B.FOKUS PENELITIAN ... 8

C.TUJUAN PENELITIAN ... 8

D.MANFAAT PENELITIAN ... 8

E.KEASLIAN PENELITIAN ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KONSEPTUALISASI TOPIK YANG DITELITI ... 13

a. Pengertian Resiliensi ... 13

b. Faktor-Faktor Resiliensi ... 22

c. Pengertian Stroke ... 35

B. RESILIENSI PADA PENDERITA STROKE ... 43

C. KERANGKA TEORITIK ... 47

BAB III METODE PENELITIAN A.JENIS PENELITIAN ... 48

B.LOKASI PENELITIAN ... 49

C.SUMBER DATA ... 49

D.CARA PENGUMPULAN DATA ... 52

E.PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 55

F. KEABSAHAN DATA ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.DESKRIPSI SUBJEK ... 57

B.DESKRIPSI TEMUAN PENELITIAN ... 60

C.ANALISIS TEMUAN PENELITIAN ... 84

D. PEMBAHASAN ... 88

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 100


(6)

DAFTAR PUSTAKA ... 103 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 107


(7)

DAFTAR GAMBAR


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

A. PanduanWawancara Subjek ... 107

B. Panduan Wawancara Informan (tetangga dan istri) ... 109

C. Transkrip Wawancara ... 111

D. Transkrip Observasi ... 167

Lembar Pernyataan Persetujuan Subjek Kartu Konsultasi Skripsi

Berita Acara Ujian Skripsi Data Rekam Medis


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Zaman sudah beralih menjadi serba modern, Semua fasilitas seakan mudah didapati. Semakin canggihnya teknologi juga semakin membuat semua aktifitas manusia menjadi lebih mudah. Hal ini juga sangat berpengaruh pada gaya hidup. Gaya hidup manusia kini tentu sudah sangat berbeda jauh dengan masa orang tua kita dulu, dimana semua serba sehat dan alami sedangkan yang ada saat ini adalah semua menuntut segalanya menjadi mudah, cepat dan praktis. Hal tersebut selain dampak positif, juga tak terlepas dari dampak negatif.

Termasuk diantaranya yang kini menjadi masalah dalam gaya hidup sehat tersebut adalah kurang kontrol terhadap makanan dan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh manusia, berbagai macam penyakit mulai bermunculan. Mulai dengan penyakit yang bisa sembuh hanya dengan vitamin dan istrirahat, penyakit yang memerlukan perawatan khusus, penyakit yang melumpuhkan anggota badan, sampai pada penyakit yang menyebabkan kematian. Beberapa contoh penyakit mematikan yang saat ini sering terdengar contohnya HIV AIDS, kanker, stroke, dan berbagai penyakit lainnya

Bila dahulu penyakit-penyakit tersebut hanya menyerang orang-orang tertentu, mungkin terkait dengan pergaulan atau usia lanjut, sekarang tak dapat dipungkiri bahwa penyakit tersebut juga telah menjangkiti individu pada usia


(10)

2

produktif dimana seharusnya pada usia tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan kreatifitas. Salah satu contohnya adalah penyakit stroke, stroke dapat membunuh atau menyebabkan kecacatan, tetapi salah satu aspek yang paling menakutkan adalah serangan yang tiba-tiba.

Kebanyakan stroke terjadi didahului oleh hanya sedikit atau tanpa tanda-tanda sama sekali karena para penderita dan keluarganya seringkali mengalami kepanikan (Henderson, 2002). Stroke terkadang bisa terjadi pada penderita dengan kondsisi yang parah. Ini umumnya terjadi pada penderita yang kurang dapat mengontrol kesehatannnya dengan baik, cepat puas menjadi salah satu contoh faktor pada penderita stroke, merasa sudah sehat dan tidak perlu lagi memeriksakan diri dan pada akhirnya jika stroke berulang berarti pendarahan di otak jadi lebih luas.

Banyak gejala stroke, tergantung dimana lokasi pecahnya pembuluh darah pada otak. Antara lain gangguan gerak yang ringan misalkan tidak bisa mengambil gelas, menggosok gigi, dan memakai baju dengan baik. stroke yang berat disebut juga lumpuh total, yang bisa menimpa tiap organ gerak termasuk bibir, wajah, dan mata. Rasa pada sebelah anggota badan yang akan dibarengi lumpuh akan dirasakan pada sisi ini. tingkat rasa dari yang ringan sepeti semutan sampai yang berat kalaupun bisa berdiri namun jika menginjak lantai terkadang seperti berada di awang-awang.

Terkadang pihak keluarga cepat mengvonis penderita akan segera meninggal sehingga mereka kurang semangat lagi merawat atau mengatasinya (Astrid, 2010). Jika sudah manula sampai mereka seperti putus asa meskipun


(11)

3

tidak diucapkan dengan terus terang secara verbal baik karena organ bicara yang rusak maupun daya ingat yang turun, beberapa contohnya dalam bentuk tidak bisa mengeluarkan kata dan menatap arti benar-benar akan menimbulkan depresi bagi penderita dengan latar belakang karir seperti guru, hakim dan hakim singkatnya yang mengandalkan mulut sebagai sarana karir.

Di indonesia stroke menyerang 35,8% pasien usia lanjut dan 12,0% pada usia yang lebih muda jumlah total penderita stroke di indonesia diperkirakan 500.000 setiap tahun dari jumlah itu sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat (newspaper.pikiran-rakyat.com). penderita stroke sekarang tidak hanya di alami oleh usia 50 atau lebih bahkan ada juga yang penderita stroke berusia di bawah umur 50 tahun ini mengartikan bahwa dampak stroke menimpa usia produktif lebih berat efek psikologisnya baik untuk penderita maupun orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan bahwa sebagian besar dari mereka adalah pencari nafkah untuk keluarga dan berakibat terhadap menurunnya tingkat produktifitas dan terganggunya soisal ekonomi keluarga (Astrid, 2010).

Menurut Agus (dalam Lydia, 2011) stroke merupakan kegawatan neurologi yang serius, menduduki peringkat tinggi sebagai penyebab kematian. Tahun 2002 di amerika serikat, stroke menduduki peringkat ke 3 sebagai penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker (Adam Rd, dalam Agus 2011). Sumber terbaru tahun 2006 menyatakan penderita stroke mencapai lebih dari 700.000 orang per tahun dengan 550.000 diantaranya adalah kasus stroke baru (Janice LH, dalam Agus, 2011). Beberapa sumber lain


(12)

4

memperkirakan terdapat 750.000 kasus stroke setiap tahun, dengan angka kematian mencapai 150.000 orang pertahun (Agus, 2011).

Pada tahun 2020 diperikarakan 7,6 juta orang akan meninggal karena stroke. Peningkatan tertinggi akan terjadi di negara berkembang, terutama di wilayah asia pasifik. Di indonesia, terjadi sekitar 800-1.000 kasus stroke setipa tahun. (Wadda, 2010). Sedangkan di belahan dunia, setiap tahun sekitar 0,2 % dari penduduk mengalami stroke, dengan sepertiganya meninggal dalam waktu 12 bulan, sepertiga lainnya mengalami cacat menetap tidak bisa melakukan aktifitas tanpa bantuan orang lain, dan sepertiganya bisa bekerja. (Wadda, 2010)

Pada umumnya penderita stroke di sertai dengan dampak negatif secara psikologis. Seperti penderita stroke yang mengalami depresi, tidak bisa menyesuaikan diri baik secara individual maupun sosial, tidak bisa menerima diri sendiri dan bergantung pada orang lain dalam berbagai pemenuhan kebutuhan fisiologis dan psikologis sebagai akibat dari lemahnya sebagaian anggota tubuh mereka. Tambah lagi penderita stroke yang tinggal di kota-kota besar yang notabenenya bergaya hidup secara individual. Kondisi masyarakat yang individualis tersebut sehingga menyebabkan para penderita stroke dengan keterbatasannya terpaksa harus hidup sendiri, mengurus diri sendiri, dengan susah payah.

Menurut Thomas (1993), penderita stroke sering mengalami depresi setelah serangan stroke. Disamping rasa rendah diri yang bias dipahami sebagai suatu reaksi emosional terhadap kemunduruan kualitas keberadaan


(13)

5

mereka (depresi reaktif), banyak penderita juga mengalami depresi fisik ataupun depresi kimiawi. Depresi merupakan akibat dari penderita tidak mampu bereaksi dengan normal terhadap setiap upaya remobilisasi. Obat-oabatn sering digunakan untuk membantu dalam menangani masalah depresi pada penderita stroke, selain depresi penderita mungkin marah-marah dan memperlihatkan sikap mengingkar. Tak jarang penderita stroke yang memperlihatkan sikap mudah tersinggung, mengingkari, dan sangat sukar didekati

Dalam psikologi di kenal dengan istilah Resiliensi yaitu suatu keadaan dimana individu dapat bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan kebanyakan lainnya gagal. Ada individu yang mampu bertahan dan pulih sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu. Resiliensi secara psikologis dapat diartikan kapasitas mental untuk bangkit kembali dari sebuah kesengsaraan dan untuk terus melanjutkan kehidupan yang fungsional dengan sejahtera (Vailant & Mills dalam Yuniardi, 2009) kemudian menurut Reivich & Shatte (2002) dan Norman (dalam Helton & Smith, 2004), Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Menurut Connor (2006) resiliensi juga disebut sebagai ketrampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau proses individu untuk tetap


(14)

6

sehat dan terus memperbaiki diri. Reivich dan Chatte (2002) menambahkan bahwa resiliensi merupakan proses merespon sesuatu dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan. Berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa resiliensi memiliki makna penting dalam hidup manusia perkembangan resliensi dalam kehidupan akan membuat individu mampu mengatasi stres, trauma dan masalah lainnya dalam proses kehidupan.

Resiliensi pada penderita stroke dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penting dalam proses pemulihan secara psikologis. Adanya keinganan untuk bangkit dari kondisi negatif psikologis dan mengatasi perasaan-perasaan yang menghambat proses penyembuhan akan sangat membantu bagi proses penyembuhan penderita stroke, bila hal tersebut disertai dengan semangat hidup yang tinggi dan optimistis dalam menjalani hidup. Assosiasi pemulihan stroke new south wales (dalam Henderson, 2002) memberikan saran-saran untuk membantu seseorang yang telah dipengaruhi oleh stroke. Salah satunya resiliensi adalah sebagai faktor I HAVE dimana keluraga memperlakukan penderita stroke layaknya sebelum subjek sakit, ini akan membuatnya tetap berhubungan dengan aktivitas keluarga dan membuat merasa penting, karena resiliensi menjadi penting bukan hanya menjadi faktor yang mempercepat pemulihan pasca stroke tapi juga mencegah kembalinya terserang stroke.

Dalam penelitian ini terdapat seorang laki-laki penderita stroke, dimana subjek tersebut mengalami kelumpuhan hampir setengah bagian tubuhnya. Sebelum subjek menderita stroke, subjek sehari-hari berprofesi sebagai pengurus keuangan di STIT surabaya. Namun saat terserang stroke subjek


(15)

7

tidak bisa beraktifitas seperti sehari-harinya sebelum sakit, subjek sudah lama menderita stroke kurang lebih sudah 12 tahun sejak tahun 2003 hingga sekarang. Saat ini meskipun tenaga badannya masih terasa sakit, subjek telah melakukan berbagai aktifitas dengan mandiri, subjek juga berusaha untuk mengatasi masalah psikologis yang dialaminya, mencoba berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, bersungguh-sungguh untuk hidup mandiri dan jarang mengeluh tentang keadaannya.

Tetapi dengan keadaan subjek seperti itu selalu ada saja permasalahan yang menerpa hidup subjek seperti istrinya semakin lama tidak mau mengurus suaminya dengan baik, pergi pagi dan pulang sangat malam, sehingga subjek melakukan sesuatu dirumah sendirian, dari mandi, makan, ganti baju, sampai berjalan kedepan rumah sendiri padahal subjek belum terlalu normal dalam berjalan ataupun melakukan hal biasa dilakukan orang normal lainnya., tidurpun sekarang tidak satu kamar bersama istrinya, subjek tidur di ruang tamu dengan tempat tidurnya di atas sofa yang ukuranya panjangnya 2,5 meter lebarnya 1 meter, sedangkan istri dikamar tidur. Istri subjek berjualan nasi pecel di PKL Mesjid Agung kemudian subjek juga memiliki anak tunggal seorang anak laki-laki tetapi allah berkehendak lain anak subjek di panggil oleh Allah swt terlebih dahulu karena sakit tumor di dalam perutnya tetapi subjek sudah punya cucu dua (laki-laki dan perempuan). Keadaan subjek juga cukup bersih dalam merawat dirinya bahkan subjek juga menanam polly back dirumahnya apapun yang bisa dilakukan subjek dilakukannya tanpa bantuan orang lain kecuali menaiki motor.


(16)

8

Maka dari itu, berdasarkan penjelasan di atas bahwa umunya resiliensi itu adalah coping individu untuk dapat bertahan dalam kondisi yang terpuruk. Ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi menurut sarafino (1994) adalah (a) memiliki temperamen yang lebih tenang, sehingga dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan lingkungannya ; (b) individu yang memiliki resiliensi juga memiliki kemammpuan untuk dapat bangkit dari tekanan, stres, dan depresi. Untuk mengatasi tekanan, stres, dan depresi dibutuhkan ketiga komponen resiliensi. Pertama ‘I have’ berkaitan dengan

sumber daya yang dimiliki, kedua ‘I am’ berkaitan dengan konsep diri dan

integritas pribadi, ketiga ‘I can’ berkaitan dengan kapabilitas, kemampuan, dan

self efficacy. Untuk itu peneliti mengkaji resiliensi pada penderita stroke dimana keadaan yang tidak menguntungkan tersebut subjek masih bisa bertahan hidup dengan baik dan mandiri.

B.Fokus penelitian

Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana resiliensi pada penderita stroke ?

C.Tujuan Penelitian

Adapun dari pemaparan diatas maka Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui resiliensi pada penderita stroke

D.Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat selain sebagai sarana mengaplikasikan berbagai teori psikologi juga sebagai sumbangan


(17)

9

ilmiah, pada psikologi klinis khusunya terkait psikologi kesehatan dalam menjelaskan faktor penyebab resiliensi pada penderita stroke

2. Praktis

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pada penderita stroke lainnya agar dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik dan lebih optimis menatap masa depan. Penelitian ini juga bermanfaat bagi keluarga penderitab stroke, agar keluarga dapat memahami aspke psikologis dari penderita stroke dan membantu para penderita stroke untuk dapat lebih optimis.

E.Keaslian Penelitian

Untuk mendukung penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kajian riset terdahulu mengenai variabel resiliensi yang dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian ini. Penelitian mengenai resiliensi pada penderita stroke memang belum banyak dilakukan.

Penelitian tentang resiliensi misalnya yang telah di teliti, di antaranya : Penelitian yang dilakukan Clarissa Rizky Rosyani (2012) tentang hubungan antara resiliensi coping pada pasien kanker dewasa menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara resiliensi dan coping pada pasien kanker dewasa, jadi semakin tinggi resiliensi maka semakin tinggi pula copingnya.

Penelitian yang di lakukan Fransisca I.R. Dewi, Vonny Djoenaina, Melisa (2004) tentang hubungan antara resiliensi dengan depresi pada perempuan pasca pengangkatan payudara, dari hasil analisis menunjukkan bahwaa ada


(18)

10

hubungan negatif yang signifikan antara resiliensi dan depresi, r = -772 (p = 0,000 < 0,01). Semakin tinggi resiliensi maka semakin rendah depresi wanita pasca mastektomi. Kesamaan yang dimiliki sebelumnya dan penelitian ini adalah sama–sama membahas tentang Resiliensi sedangkan perbedaanya adalah lokalisasi penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian kuantitatif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya berbeda

Penelitian yang dilakukan Stefani dipayanti dan Lisa Chairani tentang locus of control dan resiliensi pada remaja yang orang tuanya bercerai Juga menyatakan terdapat hubungan yang positif antara locus of control dengan resiliensi pada remaja yang orang tuanya bercerai di desa perawang kabubaten siak. Kesamaan yang dimiliki sebelumnya dan penelitian ini adalah sama – sama membahas tentang Resiliensi sedangkan perbedaanya adalah lokalisasi penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian kuantitatif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya berbeda.

Penelitian yang di lakukan Ana Steyiwati, Sri Hartati, Dian Ratna Sawitri (2010) tentang hubungan antara kecerdasan emosional dengan resiliensi pada siswa penghui rumah damai menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan resiliensi pada siswa penghuni rumah damai, sehingga semakin tinggi kecerdasan maka semakin tinggi resiliensi, begitu pula sebaliknya. Kesamaan yang dimiliki sebelumnya dan penelitian ini


(19)

11

adalah adalah sama-sama membahas tentang Resiliensi sedangkan

perbedaannya adalah lokalisasi penelitian penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian kuantitaif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya tidak sama.

Penelitian yang dilakukan cangging karina tentang resiliensi remaja yang memiliki orang tua bercerai menyatakan bahwa pada remaja yang berada pada kondisi orang tuanya bercerai, memiliki tingkat resiliensi yang cenderung rendah sebanyak (30,56%) dari jumlah total subjek sebanyak 72 orang. Tingkat resiliensi seorang remaja adalah bersifat fluktuatif, artinya tingkat resiliensi seseorang dapat di kategorikan tinggi maupun di kategorikan rendah tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yakni anatar lain faktor protektif dan faktor resiko. Kesamaan yang dimiliki sebelumnya dan penelitian ini adalah adalah sama-sama membahas tentang Resiliensi sedangkan perbedaannya adalah lokalisasi penelitian penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian kuantitaif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya berbeda.

Penelitian Erlina Listyanti Widuri (2012) tentang regulasi emosi dan resiliensi pada mahasiswa tahun pertama menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara regulasi emosi dan resiliensi dengan subjek dalam penelitian berjumlah 75 mahasiswa dan menggunakan analisis korelasi product moment dari Pearson. Semakin tinggi regulasi emosi semakin


(20)

12

tinggi resiliensi, demikian sebaliknya, semakin rendah regulasi emosi semakin rendah juga resiliensinya. Kesamaan yang dimiliki penelitian ini adalah adalah sama-sama membahas tentang Resiliensi sedangkan perbedaannya adalah lokalisasi penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian kuantitaif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya berbeda.

Kemudian penelitian Rachmat Taufiq dkk (2014) tentang gambaran resiliensi anak pasca bencana banjir di desa dayeuhkolot, kabupaten bandung jawa barat menyatakan kemampuan resiliensi yang dimiliki oleh anak-anak pasca bencana banjir didesa dayeuhkolot, kabupaten bandung jawa barat menunjukkan kemampuan yang baik atau tinggi dalam impulse control, optimism, dan causla analysis, sedangkan kemampuan yang tergolong rendah adalah regulasi emosi, empati, self efficacy dan reaching out. Kesamaan yang dimiliki sebelumnya adalah adalah sama-sama membahas tentang Resiliensi sedangkan perbedaannya adalah lokalisasi penelitian penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian kuantitaif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya berbeda.


(21)

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KONSEPTUALISASI TOPIK YANG DITELITI a. Pengertian Resiliensi

Menurut Janas (dalam Fransisca, 2004). Mendefinisikan resiliensi sebagai suatu kemampua untuk mengatasi rasa frustasi dan permasalahan yang dialami oleh individu. Individu yang resilien akan berusaha untuk mengatasi permasalahan dalam hidup, sehingga dapat terbebas dari masalah dan mampu beradaptasi terhadap permasalahan tersebut. Kemudian menurut conner (dalam Fransisca, 2004) juga menyatakan bahwa resiliensi merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk segera membebaskan diri dari kondisi yang kurang menyenangkan.

Resiliensi adalah kemapuan untuk bangkit kembali dan

keberhasilan beradaptasi dari hal yang tidak menyenangkan, suatu badan penelitian bidang psikologi, psikiater, dan sosial menunjukkan bahwa hampir semua individu dapat bangkit kembali dari sesuatu yang berisiko, stress, krisis, dan trauma dengan kata lain resiliensi adalah

“bangkit kembali dari masalah dan hala-hal lain dengan lebih kuat dan lebih pandai” (dalam Hidayat, 2006).

Resiliensi juga berarti kemampuan untuk sembuh dengan tepat dari ketidakberuntungan, kemapuan untuk kembali pada keadaan semula


(22)

14

setelah menyerah, tertekan atau penegangan bentuk, kemampuan manusia untuk sembuh dengan cepat dari perubahan yang merusak, sakit, atau ketidakberuntungan tanpa meliputi bertingkah disfungsional (Siebert, 1996, dalam Hidayat, 2006).

Menurut Reivich & Shatte (dalam Desmita, 2012) Resiliensi

adalah “The ability to persevere and adapt when thing go awry” artinya bahwa individu mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam kehidupan dan beradaptasi, saat individu tersebut mengalami hal-hal yang dilakukannya serba salah individu tersebut tetap mampu bertahan dalam kondisi apapun. Kenyataannya setiap individu pasti akan mengalami kesulitan dan tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan dalam kehidupannya. Sebab Kesulitan terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan.

Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif, dan positif. Reivich dan shatte memandang bahwa resiliensi bukan menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan reivich dan shatte tersebut secara tersirat mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari.


(23)

15

Benard (dalam Hidayat, 2006) mendefinisikan resiliensi sebagai penguraian perilaku seseorang yang mampu melewati suatu dengan sukses dan resiko kegagalan yang dihadapi kekeuatan yang dimiliki dapat membantu seseorang untuk melepaskan diri dan resiko-resiko tersebut sehingga terlepas dari kesan-kesan negatif seperti menjadi jahat, masalah psikologis, patalogis, komplikasi fisik dan kesulitan akademik, atau adaptasi naik yang tidak bisa untuk stress berat atau kronis atau kemampuan untuk memantulkan kembali ke level pre-stres (Andrews et al, 2002, dalam Hidayat, 2006).

Wagnild dan Young (1990, 1993) sebelumnya juga menemukan bahwa resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi kondisi sulit dan kemalangan yang menimpa. Di tambahkan Wagnild (2010) hampir semua manusia mengalami kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki ketahanan untuk bangkit dan terus melanjutkan hidup. Dalam penelitian Wagnild (2010) menemukan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya dan berbagai emsoi negatif lainnya sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul. Selanjutnya, individu yang resilien disebut sebagai individu yang beriorentasi pada tujuan, dimana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu bangkit dan terus maju ketika menghadapi kesulitan.


(24)

16

Menurut (Connor & Davidson, 2003) Resiliensi mewujudkan kualitas pribadi yang memungkinkan satu untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan. Penelitian selama 20 tahun terakhir telah menunjukkan bahwa resiliensi adalah karakteristik multidimensi yang bervariasi dengan konteks, waktu, usia, jenis kelamin, dan asal budaya, serta dalam individu mengalami situasi kehidupan yang berbeda. Satu teori untuk variabilitas ini dikembangkan oleh Richardson dan rekan, yang mengusulkan resiliensi berikut Model (dalam Richardson 2002). Dimulai pada titik keseimbangan biopsychospiritual (''Homeostasis''), satu menyesuaikan tubuh, pikiran, dan semangat untuk keadaan hidup saat ini. Internal dan eksternal stres yang selalu hadir dan kemampuan seseorang untuk mengatasi dengan peristiwa ini dipengaruhi oleh sukses dan adaptasi yang gagal untuk gangguan sebelumnya. Dibeberapa situasi, adaptasi tersebut, atau pelindung

Resiliensi memiliki beberapa bentuk kata dasar, antara lain

“resilient”, “resilience”, dan “resiliency” sendiri. Resilient berarti kemampuan untuk mengembalikan ke bentuk semula setelah mengalami benturan, peregangan, atau penekanan, elastis (Erianthe, dalam Nida, 2010). Resilience berarti kemampuan untuk merekah kembali, mengambil kembali, beradaptasi terhadap perubahan dengan sukses, serta mengembangkan kompetensi sosial untuk menghadapi berbagai tekanan (Erianthe, dalam Nida, 2010). Sedangkan resiliency


(25)

17

memperbaharui, serta menciptakan kembali suatu diri dalam menghadapi perubahan, tantangan, peluang dan atau kondisi yang tidak menguntungkan tetap dapat bekerja, bermain, berbagi kasih sayang dan berekspresi dengan baik. Dyer dan McGuinness (dalam Lokitasari, 2001, dalam Erianthe, 2007) menjelaskan resiliensi sebagai sebuah proses dimana orang bangkit kembali dari kesengsaraan dan melanjutkan hidup Mastern, Best, dan Garmezy (Erienthe, dalam Nida, 2010) mendefinisikan resiliensi sebagai proses, kapasitisas atau keberhasilan adaptasi terhadap situasi yang penuh tantangan atau mengancam. (Erianthe, dalam Nida, 2010) mengatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas umum yang dapat membuat seseorang, kelompok atau masyarakat dari suatu kemalangan yang terjadi pada dirinya.

Ego resiliensi merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di mana sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan. Menurut Richardson (2002), resiliensi adalah proses koping terhadap stresor, kesulitan, perubahan, maupun tantangan yang di pengaruhi oleh faktor protektif. Resiliensi psikologis ini akan mencerminkan bagaimana kekuatan sisi kepribadian dalam ego untuk tangguh yang ada dalam diri seseorang.

Issacson (dalam Cantika, 2012) menyatakan beberapa karakteristik individu yang resilien yang dapat mempengaruhi adalah kemampuan


(26)

18

untuk bangkit kembali, good-natural personality,tanggung jawab, kesabaran, optimisme, kemampuan memecahkan masalah, tujuan di hidup, kreativitas, moral, rasa ingin tahu, coping skill, empati dan religiusitas.

Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Menurut (George, 2005) resiliensi terkadang dicapai dengan cara yang tidak sepenuhnya adaptif dalam keadan normal karena seseorang sering kali bias diri dalam kewajiban sosial tetapi hasil ulet ketika dihadapkan dengan kesulitan. Dua peneliti tersebut menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk mengambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan.

Wolf (dalam Banaag, 2002) memandang resiliensi sebagai trait.

Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai integensi yang baik, mudah berdaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang menarik pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada penghargaan diri sendiri, kompetensi, dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien.


(27)

19

Grobtherg (1995), di sisi lain menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah. Meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan. Sedangkan Beka (2014) menyatakan bahwa resiliensi tidak hanya datang dari orang tetapi juga mengacu pada biologi (temperamen) dan psikologis (internal locus of control) karakteristik orang

Resiliensi disebut juga kapasitas untuk mempertahankan

kemampuan, untuk berfungsi secara kompeten dalam menghadapi berbagai stresor kehidupan (Kaplan dkk, dalam Wiwin 2012). Secara umum, resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik yaitu adanya kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami. (Masten dan Coatsworth, dalam Wiwin, 2012 )

Wagnild (dalam, Heidi dkk, 2013) menyatakan bahwa resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk pulih dari keterpurukan. dan sebagai kepribadian positif karakteristik yang adaptif individu dan moderat efek negatif dari stres, orang resiliensi cenderung untuk mewujudkan perilaku adaptif, terutama di bidang fungsi sosial, moral, dan kesehatan somatik (Wagnild & Young, dalam Heidi dkk, 2013). Lazarus (dalam Tugade & Fredrikson, 2004), menganalogikan


(28)

20

banyak mengandung karbon sangat keras tetapi getas atau mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikir karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan (resilien). Perumpaan tersebut bisa diterapkan untuk membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif.

Banaag (dalam Winda, 2013), menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan “melunakkan” kesulitas hidup individu.

Mastern & Coastswerth (dalam Winda, 2013) mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam competent manner).

Resiliensi dungkapkan sebagai sebuah kemampuan adaptasi oleh beberapa ahli joseph (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang


(29)

21

muncul dalam kehidupan. Rhoders dan Brown (dalam Isaacson, 2002) juga menyatakan bahwa anak-anak yang resilien adalah mereka yang mampu memanipulasi dan membentuk lingkungannya, menghadapi tekanan hidup dengan baik, cepat beradaptasi pada situasi baru, mempersepsikan apa yang sedang terjadi dengan jelas, fleksibel dalam berperilaku, lebih toleran dalam menghadapi frustasi dan kecemasan, serta meminta bantuan saat mereka membutuhkannya. Sementara itu, Werner dan Smith (dalam Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan mereka maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga). Demikian pula Hetherington dan Blechman (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa orang yang resilien menunjukkan kemampuan adaptasi yang lebih dari cukup ketika menghadapi kesulitan.

Resiliensi juga dikenal sebagai kemampuan bangkit kembali dari tekanan masalah. Duggal dan Coles (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas seseorang untuk melambung kemblai atau pulih dari kekecewaan, hambatan, atau tantangan. Rutter (dalam Isaacson, 2002) melihat individu yang resilien sebagai mereka yang berhasil menghadapi kesulitan, mengatasi stres atau tekanan, dan bangkit dari kekurangan. Resilensi didefinisikan oleh Wolin dan Wolin (dalam anggun,2014) sebagai ketrampilan coping saat individu dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu


(30)

22

untuk tetap sehat (wellnes) dan terus memperbaiki diri (self repair). proses tetap berjuang saat berhadapan dengan kesulitan, masalah, atau penderitaan. Menurut Gallagher dan Ramey (dalam Isaacson, 2002), resiliensi adalah kemampuan untuk pulih secara spontan dari hambatan dan mengkopensasi kekurangan atau kelemahan yang ada pada dirinya. Resiliensi terlihat dalam suatu keadaan dimana pada hakekatnya

seseorang memiliki resiko besar unutk gagal, namun ternyata ia tidak gagal. Zimmerman dan Arunkumar (dalam Morisson dan Cosden, 1997) menjelaskan resiliensi sebagai faktor dan proses yang mengubah hubungan antara adanya resiko dengan masalah perilaku atau psikopatologi hasil yang adaptif.

Dari pengertian para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk bangkit kembali, sembuh dengan cepat dari perubahan yang kurang menguntungkan, sakit, atau merusak dan keberhasilan beradaptasi dari hal tidak menyenangkan seperti seseuatu yang berisiko, stres, krisis, trauma, dan hal lain dengan lebih kuat dan pandai.

b. Faktor-Faktor Resiliensi

Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasi faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan ekternal dan sumber-sumber yang ada pada diri seseorang (msalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang berkembang


(31)

23

alam diri seseorang (seperti self-esteem, a capasity for self monitoring, spiritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).

Grotberg (1995) mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk

kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah “I Am”, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah “I Have”, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah “I Can”.

Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor resiliensi yang dapat menggambarkan resilliensi pada individu I Am, I Have, I Can

merupakan karakteristik untuk meningkatkan resiliensi dari the principal investigator of the Internasioanl Resilience Projekt (Grotberg, 1995).

a. Faktor I AM

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain ; bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan

altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertangggung jawab. Berikut ini aka dijelaskan satu persatu mengenai bagian-bagian dari faktor I Am.


(32)

24

a1. Bangga pada diri sendiri ; individu tahu bahwa mereka adalah seseorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.

a2. Perasaan dicintai dan sikap menarik ; individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dpat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi.

a3. Mencintai, empati, altruistic ; yaitu ketika seseorang mencintai oranglain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu


(33)

25

merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan atau memberikan kenyamanan.

a4. Mandiri dan bertanggung jawab ; Individu dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.

b. Faktor I HAVE

Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah memberi semangat agar mandiri, dimana individu baik yang independen maupun masih tergantung dengan keluarga, secara konsisten bisa mendapatkan pelayanan seperti rumah sakit, dokter, atau pelayanan lain yang sejenis.

b1. Struktur dan atuiran rumah : setiap keluarga mempunyai aturan-aturan yang harus diikuti, jika ada anggota keluarga yang tidak mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan penjelasan atau hukuman. Sebaliknya jika anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan pujian.

b2. Role Models : juga merupakan sumber dari faktor I Have yaitu orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang individu harus lakukan seperti informasi terhadap seseuatu dan memberi semangat agar individu mengikutinya.


(34)

26

b3. Mempunyai hubungan : Orang-orang terdekat dari individu seperti istri, anak, Orang tua merupakan orang yang mencintai dan menerima individu tersebut. Tetapi individu juga membutuhkan cinta dan dukungan dari orang lain yang kadangkal dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka.

c. Faktor I CAN

Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan rangsangan dimana individu dapat mengenali perasaan mereka, mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannnya dalam kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hal orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat

mengatur rangsangan untuk memukul, „kabur‟, merusak barang, atau

melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.

c1. Mencari hubungan yang dapat dipercayai ; dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.

c2. Keterampilan berkomunikasi ; dimana individu mampu

mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaa kepada kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain.


(35)

27

c3. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain ; dimana individu memahami temperamne mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhato-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. hal ini menolong individu untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.

d. Sifat-sifat otonomi seperti bebas (independent), jati diri dan kemampuan diri.

e. Sense of purpose (berwawasan, cekatan, dan memiliki motivasi terhadap tujuan).

Menurut Santrock (dalam Erinthe, 2007) sumber resiliensi berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan sumber resiliensi yang berasal dari individu itu sendiri. Adapun karakteristik dari faktor internal, yaiut

1. Mempunyai intelektual yang baik, namun intelektual tinggi bukan berarti memiliki resiliensi.

2. Sociable kemampuan untuk bersosialisasi dengan baik menunjukkan bahwa individu tersebut mempunyai resiliensi yang baik.

3. Self confidence kepercayan diri yang baim mengindektifikasikan resiliensi yang baik pada diri individu.

4. High self esteem individu yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi mengembangkan gambaran positif yang menyeluruh tentang dirinya.


(36)

28

5. Memiliki talent (bakat) kemampuan untuk mempelajari suatu

ketrampilan tertentu atau hal-hal yang dapat dicapainya sesudah diberi pelatihan.

6. Tangguh : inidvidu yang yang tangguh akan memiliki resiliensi yang labih baik daripada remaja yang tidak tangguh.

Sedangkan faktor eksternal adalah sumber yang berasal dari luar individu dan merupakan sistem pendukung yang berada di lingkungan individu tersebut. Faktor eksternal oleh Santrock (dalam Erianthe, 2007) dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Keluarga, dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Hubungan dekat orang tua yang memiliki kepedulian dan perhatian untuk membangun hubungan yang dekat dengan anak.

2. Pola asuh yang hangat, teratur, dan kondusif bagi perkembangan seorang individu.

3. Sosial ekonomi yang berkecukupan.

4. Memiliki hubungan harmonis dengan keluarga-keluarga lain. b. Masyarakat di sekitarnya :

1. Mendapat perhatian dari lingkungan sekolah (teman, guru). 2. Aktif dalam kegiatan.

3. Aktif dalam organisasi kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal.

Tidak samua faktor diatas harus muncul dalam diri seseorang, beberapa faktor saja sudah dapat membuat seseorang menjadi resilien. Individu


(37)

29

dapat mengembangkan resiliensinya dengan baik apabila dalam diri individu tersebut terdapat karakteristik-karakteristik positif. Individu dengan kualitas karakteristik resiliensi yang baik bisa jadi mudah untuk menumbuh-kembangkan resiliensi yang baik pula. Sedangkan untuk faktor-faktor eksternal pembentuk resiliensi dari sumber eksternal mempengaruhi sebagian kecil dari proses tersebut.

Dalam resiliency Attitudes Scale (RAS) yang disusun oleh Client Race di Amerika (1993, dalam Erianthe, 2007) resiliensi diukur berdasarkan aspek-aspek berikut :

1. Insight : proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui, dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang lebih tepat atau lebih lazim.

a. Sensing : kesadaran individu, kemampuan menerima hal-hal yang dihadapinya.

b. Knowing : bagaimana individu menunjukkan kesadaran baik, pengetahuan pribadi yang baik, menunjukkan penguasaan individu mengenai informasi dan pengetahuan.

c. Understanding : kemampuan individu untuk memahami hal-hal disekitarnya, termasuk didalamnya kecerdasan individu, simpati, memahami perilaku-perilaku yang sesuai dalam berbagai situasi.

2. Independence : kemampuan untuk terlepas dari perilaku-perilaku sebelumnya dengan menjauhkan diri sendiri dari lingkungan dan situasi yang mengganggu


(38)

30

a. Separating : Memisahkan diri dari lingkungan dan situasi yang mengganggu.

b. Distancing : Menjauhkan diri dari lingkungan mengganggu yang menyebabkan perilaku-perilaku yang tidak tepat.

3. Relationships : individu mampu mengembangkan identitas yang sah atau logis, dan terkait dengan orang-orang lain (keluarga, teman) yang memberikan lingkungan atau suasana yang stabil dan memelihara. a. Recruiting : kemampuan individu untuk memperoleh orang-orang

baru yang akan masuk dalam lingkungannya, yang memiliki kontribusi baik atau positif bagi dirinya.

b. Attaching : bagaimana individu meletakkan dirinya dengan orang lain yang memberikan dukungan positif bagi perkembangannya. 4. Initiative : determinasi untuk menegaskan atau menyetakan diri sendiri

dan menguasai lingkungan melalui pembangunan kompetensi dan pengembangan locus of control internal yang kuat.

a. Problem solving : kemampuan untuk mencetuskan solusi yang tepat bagi masalah yang dihadapi, memilih atau mencetuskan cara terbaik untuk menyelesaikan

b. Generating : kekuatan individu untuk menghasilkan suatu penyelesaian masalah melalui pemikiran yang matang.

5. Creativity : kekuatan untuk membalikkan kenyataan pahit yang dihadapi dengan mengembangkan kemampuan untuk menyalurkan rasa


(39)

31

sakit yang dirasakan akibta perilaku-perilaku yang digunakan sebelumnya melalui kreatifitas atau sense of humor.

a. Creative thinking : kemampuan untuk menemukansisi positif dari masalah yang ada, melihat masalah yang muncul dengan sudut pandang yang berbeda (pandangan positif)

b. Creating to express fellings :bagaimana individu mengekspresikan atau menyampaikan perasaan dan maksudnya denga tepat pada orang lain, yaitu dengan perilaku yang sesuai

c. Humor : kemampuan individu untuk merasakan humor atau asa lucu dan menyenangkan dari berbagai hal yang ditemuinya, menanggapi masalah yang muncul dengan humor.

6. Morality : pengembangan dari hati nurani, yang mengilhami sebuah imej diri akan kegunaan serta sebuah imej sebagai anggota masyarakat yang memberikan kontribusi.

a. Valuing : kemampuan untuk menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain.

b. Helping others : bagaimana individu berperan dalam masyarakat atau lingkungannya, memberikan bantuan dan menyumbangkan kontribusinya.

7. General resiliency

a. Persistence : ketekunan pada suatu pekerjaan, kestabilan dalam melakukan suatu hal.


(40)

32

b. Flexibility : bertindak sesuai dengan situasi, berperilaku secara tepat dalam sebuah situasi,bagaimana remaja menanggapi atau reaksi secara tepat terhadap berbagai situasi yang dialaminya.

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan kemampuan yang membentuk resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out. Hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik.

a. Regulasi emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah (Reivich & Shatte, 2002).

b. Pengendalian impuls

Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam


(41)

33

diri (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain.

c. Optimis

Individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich & Shatte, 2002). Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan dan ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang dialami individu. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. d. Self-efficacy

Efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-Efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). Sementara Bandura (dalam Atwater & Duffy, 1999) mendefinisikan Self-Efficacy sebagai kemampuan individu untuk


(42)

34

mengatur dan melaksanakan suatu tindakan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

e. Causal Analysis

Causal Analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan Causal Analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

f. Empati

Secara sederhana empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain (Greef, 2005) Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2005). Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki


(43)

35

kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif tetapi ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002).

g. Reaching out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002)

c. Pengertian Stroke

Stroke adalah bencana atau gangguan darah di otak. Dalam bahasa inggris dinamai juga sebagai cerebto-bascular accident. Gangguan peredaraan darah ini dapat berupa :

a. Iskemia : yaitu gangguan yang terjadi karena aliran darah berkurang atau terhenti pada sebagaian daerah di otak.

b. Perdarahan : biasanya peradarahan teradi karena dinding pembuluh darah robek.

Gangguan darah ini mengakibatkan fungsi otak terganggu, dan bila berat dapat mengakibatkan kematian sebagaian sel-sel otak (Lumbantobing, 1998:1)

Penyakit stroke bisa digolongkan dalam penyakit kronis karena terjadinya melalui proses panjang, meskipun proses perjalanan penyakit


(44)

36

hingga terjadinya serangan stroke mungkin sudah terjadi beberap tahun, bisa jadi sudah puluhan tahun sebelumnya, bahkan sejak bayi, sebelum strokenya sendiri muncul. Stroke merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkain reaksi biokimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak. kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi organ yang dikendalikan oleh jaringan itu (junaidi, dalam meylani, 2008).

Jenis Stroke Stroke secara umum di bagi dalam 2 jenis, yaitu stroke istemik dan stroke berdarah. Pada stroke inkemik yang di sebabkan oleh melambatnya atau terhentinya aliran darah ke sebagian otak penderitanya biasanya tetap dalam keadaan sadar. Sedangkan pada stroke berdarah, penderitanya mengalami pendarahan di otak. banyak dari penderita stroke berdarah menurun kesadarannya ketika serangan terjadi.

Bentuk-bentuk stroke beragam, ada yang ringan, sedang sampai. Stroke ada yang berdarah (hemoragik) dan ada pula yang iskemik (non-hemoragik). Pada stroke ringan, ada yang pulih sempurna gejalanya dalam 24 jam. Stroke ini sering disebut TIA, singkatan dari Transident Ischemic Attack, yang berarti serangan iskemik sepintas.

Adapula stroke ringan yang sembuh sempurna gejalanya dalam waktu lebih dari 24 jam dan di sebut RIND, singkatan dari Rservisible Ischemic Neurologi Deficit, yang berarti saraf oleh iskemik yang pulih.


(45)

37

1. Gambaran klinis Stroke

a. Gejala stroke

Otak merupakan organ tubuh yang ikut berpartisipasi pada semua anggota bagian tubuh. Kegiatan ini dapat berupa bergerak, merasa, berpikir, berbicara, emosi dan lain sebagainya. Pada semua kegiatan, di lakukan oleh anggota otak yang berbeda-berbeda. Ada bagian otak yang terutama berperan dalam menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki, lidah. Ada pula yang mengerakkan anggota tubuh yang lainnya. Bila bagian-bagain otak ini terganggu, maka tugasnya pun terganggu. Demikian juga halnya bila bagian-bagian lain yang terganggu dan dapat mengakibatkan penderitanya menjadi lumpuh separo badan, tidak merasa separo badan, kesulitan bicara, pelupa, dan sebagainya. Pada stroke ini gangguan muncul secara mendadak.

b. Ragam gejala stroke

Dari keterangan terdahulu, dapatlah di pahami bahwa gejala stroke dapat bermacam-macam. Diantaranya adalah :

 Lumpuh separuh badan, bisa yang kanan atau yang kiri

 Separuh badan kurang merasa, terasa semutan

 Mulut mencong atau miring

 Lidah mencong atau miring ketika di julurkan

 Kesulitan biacara


(46)

38

 Bila minum atau makan suka keselek

 Sulit berbahasa

 Berbicara tidak lancar

 Tidak dapat membaca, menulis, memahami tulisan

 Kesulitan berjalan

 Penglihatan pendengaran terganggu

 Vertigo

 Mudah menangis, tertawa, dan emosi yang sering berganti

 Kelopak mata sulit di buka

 Banyak tidur

 Gerakan tidak terkordinasi

 Pingsan / koma

Masih banyak lagi kemungkinan gejala, kombinasi gejala yang dapat terjadi sebagian tanda awal dari penderita stroke (Lumbantobing, 1998 : 4)

2. Masalah psikologis pasca stroke

Gangguan emosional pada penderita stroke, terutama

adalah gangguan anxietas atau kecemasan, frustasi dan depresi, merupakan masalah yang umum terjadi pada penderita stroke. Tidak jarang pula dijumpai masalah yang lain, tidak sabar, mudah terrsinggung, impulsif, kurang memahami masalah, tidak sensitif terhadap perasaan atau pendapat orang lain, dan persepsi sosial yang buruk. Sesekali dijumpai pikiran buruk dan bunuh diri.


(47)

39

Menurut Lumbantobing (2002) mengatakan bahwa depresi sering dijumpai pada penderita stroke, baik pada masa akut, maupun pada masa kronik. Menghadapi mundurnya mobilitas, kekuatan fisik, kesulitan kerja, hobbi, kemampuan kognitif akan mencetuskan munculnya depresi. Banyak penderita yang menilai harga dirinya dan sudut pandang kemampuan aktifitasnya. Ditaksir sekitar 26-60 % penderita stroke menunjukkan gejlasa klinis depresi Robinson dkk (dalam Lumbantobing) mendapatkan pada 103 penderita pasca stroke lamanya depresi ini akan mempengaruhi kualitas hidup. Rushkin (dalam Lumbantobing, 2002) berpendapat bahwa penderita stroke yang depresi tidak menunjukkan gejala klasik insomnia dan hilangnya nafsu. Ia tidak berespon terhadap psikoterapi biasa dan obat anti-depresan standar yang biasanya tidak memberikan perbaikan yang bermakna. Berdasarkan perbedaan gambarnya dengan reaksi biasa, Rushkin mengusulkan

kata”pseudo-depresi organik”. Pengobatan yang berhasil dapat dicapai melalui pendekatan rehabilitas menyeluruh dalam satu tim dimana didalam terdapat dokter, perawat, psikolog, dan keluarga. Ganggaun peredaran darah otak atau stroke merupakan penyebab utama kecacatan (disabilitas) jangka panjang di dunia. Sekitar 60-85% penderita stroke yang bertahan hidup yang mengalami himeparasis, (yavuzer dkk dalam Lydia 2011). Dan di antaranya gerak atas (Yavuzar dkk dalam Lydia 2011). Hnaya sekitar 30-60%


(48)

40

mendapatkan kembali sebagian fungsi tangan kanan (some dexterity) setelah 6 bulan (Wittenberg dkk dalam Lydia, 2011) hal ini menyebabkan gangguan fungsi dalam aktifitas sehari-hari. Kunjungan penderita baru pasca stroke yang datang ke poli rehabilitasasi medis RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2009 sebanyak 240 orang, di antaranya 114 orang mendapat terapi okupasi karena kelemahan anggota gerak atas (Lydia, 2011). Ada banyak gejala yang timbul bila terjadi serangan stroke, seperti lumpuh badan, separuh badan kurang merasa atau terasa kesemutan, mulut mencong, bicara pelo, sulit menelan, sulit berbahasa (apa yang ingin diucapkan tidak ketemu kata-katanya atau tidak mengenali lagi arti kata tertentu), tidak dapat membaca dan menulis, kepandaian mundur, mudah lupa, penglihatan terganggu, pendengaran mundur, mudah menangis attau tertawa, gangguan seksual, bahkan sampai ngompol atau tidak dapat buang air besar (Hartanti, 2002)

Gejala psikiatris pada kelainan otak ini tergantung pada lokasi dan luasnya kerusakan. Luasnya lesi (kerusakan) kurang memegang peran pada timbulnya depresi, tetapi lokasi lesi memegang peranan. Robinson dan price (dalam Hartanti, 2002) membuktikan bahwa penderita stroke dengan lesi di hemisfer kiri, lebih banyak dijumpai depresi dari pada lesi di hemisfer kanan. Selain kecacatan jasmaniah yang diderita, penderita stroke akan


(49)

41

merasakan atau mengeluh adanya gangguan psikologis. Dari gangguan psikologis yang timbul, keadaan depresi paling sering ditemui setelah serangan otak akut, dan sangat mengganggu penderita, keluarga, dan masyarakat.

Berdasarkan penelitian pada penderita stroke, Rose dkk (dalam Lumbantobing, 2002) mengemukakan kemungkinan perbedaan antara depresi pada gangguan di hemisfer kanan dengan himsfer kiri. Depersi yang disebabkan gangguan di hemisfer kanan

lebih banyak disertai dengan “endogenous” atau gejala biologik,

yang berespon terhadap farmakoterapi, sedangkan depresi pada ganguan di hemisfer kiri ditandai oleh pikiran dan ide yang depresi negatif, yang walaupun kurang berespon terhadap farmakoterapi, dapat berespon terhadap psikoterapi. Beberapa literatur memberikan perhatian yang luas mengenai perubahan emosioanl pada penderita stroke. Depresi pasca stroke terjadi hampir pada 30-60% dari penderita stroke (Robinson et al 1983, dalam Antonio 1992) dengan penambahan derajat keparahan seta frekuensi 6 bulan sampai dengan 2 tahun pasca stroke (Robinsonn et al 1982). Banyak dari literatur telah berusaha untuk mentukan hubungan antara luka pada vascular dan tipe emosi yang dihasilkan. Namun pencarian tersebut belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Beberapa kesimpulan umum lebih memperhatikan pengaruh dari dalam keterlibatan luar-hemispheric dalam depresi diantara para


(50)

42

penderita. Hal ini masih menjadi penelitian dan diskusi diantara para ahli neurologi (e. g, Benson & Geschwind, 1975, Gainotti, 1972: Heilman & Satz , 1983; Kinsbourne, 1988).

Pada intinya, penemuan dari hasil investigasi betul-betul memberi kesan bahwa bagian belakang hemisphere penderita menghasilkan banyak reaksi emosional pada penderita. Secara umum, bagian belakang hemisphere stroke banyak berhubungan dengan terjadinya perbedaan reaksi emosional akhir dari reaksi catastropic kemudian diserahkan yang mengakibatkan ledakan emosi dumulai dengan kecemasan dan baru setelah itu menimbulkan depresi. Adanya keterlibatan hemisphere dengan persepsi dan ekspresi emosi, dan hal ini melibatkan kurangnya respek dari kesadaran. Satu hal yang dilihat sebagai dalil yang selama ini menjadi bukti atau tanda dari depresi tidak banyak yang terlihat nyata. Hal tersebut di karenakan para penderita tidak paham dan tidak menyadari efek langsung dari baik atau buruknya efek psikologis yang dirasakannya.

Resiliensi adalah merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan pasca stroke. Penyesuaian diri secara mandiri, fungsi penuh dari potensi yang ada tidak bisa dicapai depresi pasca stroke adalah masalah yang sangat signifikan dan bisa mengakibatkan efek yang negatif terkait dengan kapasitas fungsional. Penyesuian diri terkait dengan psikososial dari keluarga atau perawat adalah


(51)

43

salah satu dari faktor penting dalam penyembuhan. Selain keluarga, adanya psikoterapi dan dilibatkannya kelompok-kelompok diskusi terarah mengenai perasaan para penderita stroke akan sangat membantu proses pemulihan depresi pada penderita stroke.

B. RESILIENSI PADA PENDERITA STROKE

Mengenai resiliensi pada penderita stroke, dari penjelasan sebelumnya resilensi adalah kemampuan seseorang untuk tetap hidup atau bangkit dalam hal ketidakberuntungan atau kesengsaraan. Dapat dipahami bahwa resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat artinya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, keterpurukan, bahkan dengan tekanan hebat yang inheren dalam dunia sekarang sekalipun Resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek kehidupannya menjadi lebih positif (Reivich dan Shatte, 2002). sehingga individu itu tidak sekedar berhasil beradaptasi terhadap resiko atau kemalangan namun juga memiliki unutk pulih, bahagia dan berkembang menjadi indivoidu yang lebih kuat, lebih bijak dan lebih menghargai kehidupannya.


(52)

44

Grotberg (1995) mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang

diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan

individu, dalam diri pribadi digunakan istilah “I am”, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya di gunakan istilah “I have”, sedangkan kemampuan interpersonal di gunakan istilah “I can”. Dari faktor tersebut di harapkan bisa memunculkan resiliensi pada penderita stroke yang menjadikan Individu tidak hanya kembali pada keadaan normal saat mengalami kemalangan, namun juga harus mampu untuk menampilkan performance yang lebih baik dari sebelumnya.

ada beberapa aspek dalam resiliensi, Menurut Reivich dan Shatte (2002), yaitu

1. Regulasi emosi yaitu kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan.

2. Pengendalian impuls yaitu kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. 3. Optimisme yaitu individu yang optimis.

4. Efikasi diri yaitu keyakinan untuk memecahkan masalah

5. Analisis penyebab masalah (causal analysis) yaitu kemampuan individu untuk mengidentifikasi secara akurat penyebab dari masalah yang di hadapi

6. Empati yaitu kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain


(53)

45

7. Reaching out yaitu individu tidak hanya sekedar mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari meraih aspek positif dari kehidpuan setelah kemalangan yang menimpa.

Dalam aspek tersebut sangatlah penting bagi penderita stroke karena pada umunya penderita stroke Sering terjadi pada masalah psikologis yaitu dengan gangguan emosional, depresi, frustasi, persepsi sosial dan gangguan kecemasan. Dengan masalah-masalah psikologis yang terjadi pada penderita stroke. Diperlukan faktor resiliensi pada penderita stroke agar individu tersebut bisa hidup yang lebih baik dan positif dari kehidupan yang ketidakberuntungan baginya.

Banyak penelitian yang berusaha mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh resilien pada seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumber yang ada pada diri seseorang misalnya keluarga, kekuatan personal yang berkembang alam diri seseorang, dan kemampuan sosial. Sering kali Masalah gangguan kecemasan, frustasi, dan depresi. Tidak jarang hanya gangguan emosional saja tetapi ada juga masalah lain seperti pikiran kaku, tidak fleksibel, ketergantungan pada orang lain, tidak sabar, mudah tersinggung, impulsif, kurang memahami masalah, tidak sensitif terhadap masalah, dan persepsi sosial yang buruk.

Seseorang yang mengalami penderita stroke sering kali mengalami depresi. Menurut Lumbantobing (2002) mengatakan depresi sering dijumpai pada penderita stroke, baik pada masa akut, maupun pada masa kronik. Menghadapi mundurnya mobilitas, kekuatan fisik, kesulitan kerja, kemampuan


(54)

46

kognitif akan mencetuskan munculnya depresi. Dengan permasalahan tersebut diperlukan sikap resilien terhadap penderita stroke agar dirinya bisa bangkit dari keterpurukan kehidupannya yang tidak menguntungkan.

Untuk mengatasi stres, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap resilien, setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah jika tidak dipelihara maka kemampuan tersebut akan hilang. Resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi kesulitan, rasa frustasi, ataupun permasalahan yang dialami oleh individu karena perkembangan resiliensi dalam kehidupan akan membuat individu mampu mengtasi stres, trauma ataupun depresi dalam proses kehidupan. (Henderson, 2003)


(55)

47

Berikut uraian diatas maka dapat disusun kerangka teoritik penelitian sebagai berikut :

Gambar 1 Kerangka Teoritik

RESILIENSI PENDERITA

STROKE

GANGGUAN DEPRESI

ASPEK RESILIENSI 1. Regulasi Emosi 2. Pengendalian Impuls 3. Optimisme

4. Efikasi Diri 5. Causal Analysis 6. Empati

7. Reaching Out

I have (sumber daya yang dimiliki)

I can (kapabilitas, kemampuan, self efficasy)


(56)

48

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisa data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (sugiyono, 2008). Secara khusus, peneliti menggunakan jenis kualitatif dengan metode studi kasus dimana ini sebagai inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan. Tujuan dari studi kasus adalah untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan spesifikasi studi kasus.

Menurut Nazir (2005 : 57) studi kasus atau penelitian kasus (case study), adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja berupa indiidu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang menjadi subjek. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta


(57)

49

karakter yang khas dari studi kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Studi kasus lebih mengkaji variabel yang cuku banyak pada jumlah yang kecil.

Berkaitan dengan penelitian ini, pendekatan studi kasus di anggap paling lebih sesuai karena penelitian ini mengetahui bagaimana resiliensi pada seseorang yang menderita stroke.

B. Lokasi penelitian

Penelitian ini mengambil setting di tempat tinggal rumah subjek di jalan puyuh 2 rt 07/06 daerah sepanjang tani kabubaten sidoarjo kecamatan taman karena kondisi subjek yang lumpuh sebagian dari tubuhnya sehingga subjek tidak bisa kemana-mana selain dirumah dan di teras depan rumahnya. Lingkungan subjek terlihat bersih walau di depan teras rumahnya itu banyak barang-barang bekas yang disimpannya untuk dirombengkan, tidak hanya itu di teras depan rumahnya juga banyak polly back yang ditaman oleh subjek sendiri sehingga keadaan lingkungan terlihat bersih oleh banyaknya polly back tersebut dan rumah subjek berada di daerah perkampungan yang cukup ramai penduduknya.

Adapun pertimbangan yang mendasari peneliti memilih tempat penelitian yaitu kondisi subjek yang tidak bisa kemana-mana karena kelumpuhan tubuhnya, selain alasan tersebut dengan penelitian dirumahnya dapat memberikan kenyaman pada subjek dan memberikan informasi secara obyektif pada peneliti.

C. Sumber data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ini memiliki empat orang diantaranya adalah subjek, istri subjek, tentangga subjek dan sahabat subjek.


(1)

101

Sumber paling dominan adalah bangga pada diri sendiri, harapan, keyakinan,

dan kepercayaan kepada tuhan

Ketiga, ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I Can yaitu a)

berkomunikasi; b) pemecah masalah; c) mengelola berbagai perasaan dan

rangsangan; d) mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain; e) mencari

hubungan yang dapat dipercaya. Sumber yang paling dominan adalah

berkomunikasi dan mencari hubungan yang dapat dipercaya.

Dari faktor dan sumber resiliensi yang telah dijelaskan diatas, telah

membentuk aspek-aspek yang dimiliki oleh H. H memenuhi kriteria resiliensi

yang ditandai adanya regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, efikasi

diri, causal analysis, empati, dan reaching out. Meskipun hal itu sangat

sederhana, hal ini di pengaruhi oleh prinsip H yang sangat sederhana.

H mendapatkan dukungan dari lingkungan sosialnya, bukan dari

lingkungan inti yaitu sang istri, hal ini dikarenakan istri tidak terlalu

memperhatikan suaminya walau masih tinggal satu rumah. Hal ini nampak

bahwa H mencari mencari relasi sebanyak-banyaknya diluar lingkungan

keluarga inti. Selain itu H adalah orang yang sangat ramah kepada orang lain

tidak muda maupun tua hampir RT sebelah dari tempat dia tingga mengenal

dirinya, . hanya saja H adalah orang yang tak berdaya dalam tindakan karena

kelumpuhannya. Sedangkan faktor dari dalam pribadi H adalah kepercayaan,

keyakinan dan bangga bahwa keadaan sakit itu tidak boleh pesimis tetap

bersyukur alhamdulliah karena mungkin di lain waktu akan tiba waktu yang di


(2)

102

B. saran

Sebagai akhir dari laporan penelitian ini, akan disampaikan atau

direkomendasikan yang ditujukan untuk :

1. H sebagai subjek penelitian, jangan pernah menyerah dalam kondisi apapun.

Yakin lah bahwa setiap cobaan ada hikmahnya karena dengan cobaan itu Allah

akan selalu bersama kita dan mengangkat derajat kita yang mengalami cobaan.

2. Keluarga yang memiliki saudara, ayah, teman ataupun tetangga yang memiliki

latar belakang seperti yang dialami H agar selalu diberikan dukungan yang

positif, agar mereka menjadi pribadi yang mampu bangkit dari keadaan yang

terpuruk dan tidak menguntungkan. Berikan motivasi untuk dirinya dan

pemahaman bahwa tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas

kemampuan umatnya sendiri

3. Peneliti selanjutnya, penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana

resiliensi yang dimiliki oleh penderita stroke. Oleh sebab itu perlu dilakukan

penekanan pada observasi partisipan dan observasi tidak bersturktur jadi ketika

melakukan observasi untuk mengetahui lebih jelas tentang sisi resiliensi yang

dimiliki oleh subjek, agar nantinya mengetahui resilien secara jelas dan tidak

hanya diketahui melalui wawancara baik diri subjek dan tetangga-tetangga


(3)

103

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, E. & Robert J. (1992). Handbook of neurology of asessment. New

York : Plement Press

Arfianti, L. (2011). Efek penambahan terapi cermin pada rehabilitas paresis

tangan metode standart terhadap pemulihan motorik dan fungsi tangan penderita pasca stroke. Jurnal kesehatan bidang penelitian RSUD Dr. Soetomo vol. 13, No 4, Des 2011.

Aprilia, W. (2013). Resiliensi dan dukungan sosial pada orang tua tunggal. Jurnal

psikologi, volume 1, Nomor 3, 2013:268-279.

Beka, M. B., dkk (2014). Risk faktors and resilience: the case of second cycle

primary school children in wolaita zone, ethiopia. Journal of social science studies, vol. 1, No. 2. 2014.

Bonamno, G. A. (2006). Resilience in the face of potential trauma. Journal

psychological society, vol. 14, Number 3, 2006.

Connor, M. and Davidson, M. D. (2003). Development of a new resilience

scale:The Connor-Davidson resilience scale (CD-RSC). Research Article, Depression and Anxiety 18:76-82 (2003).

Desmita. (2012). Psikologi perkembangan. Penerbit : PT Remaja Rosdakarya

Bandung.

Erianthe, M. L. (2007). Resiliensi remaja yang orang tuanya bercerai. Surabaya skripsi, fakultas psikologi. Universitas Airlangga.

Fransisca I. R., & Djoenaina, D. V., Meisa. (2004). Hubungan antara resiliensi

dengan depresi pada perempuan pasca pengangkatan payudara (MASTEKTOMI). Jurnal psikologi vol 2 no. 2 desember 2004. Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara: Jakarta

Gale, M. M. and Cosden, M. A. (1997). Risk, resilience, and adjustment of

indviduals with learning disabilities. Journal psychology volume 20, No, 1, 1997.

Good, D.C. & James, RC. (1994). Handbook of neurorehabilitation. United States

of America

Grotberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening


(4)

104

Helton, L. R., & Smith, M. K. (2004). Mental helath practice with children and

youth. New york: The Hawort Social Work Practice Press.

Hartanti. (2002). Efektifitas terapi kognitif dan stimulasi humor untuk penurunan

gangguan depresi penderita pasca-stroke. Jurnal anima volume 17, nomor

3, april 2002. Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.

Hendriani, W. (2012). Dinamika resiliensi penyandang disabilitas. Laporan penelitian universitas airlangga. 9 maret Nomor 2613/h3/kr/2012.

Henderson, L. (2002). Kesehatan praktis. Stroke panduan perawatan. Jakarta : Arcam

Hidayat, D. D., Zamralita, & Ninawati. (2006). Resiliensi dan tingkat stresasa

persiapan pensiun. Jurnal Phronesis Vol 8. No. 1, 50-70. Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara.

Idris, N. Depresi pada penderita stroke. Hpstroke.wordpress.com (diakses pada 27 april 2015)

Isaacson, B. (2002). Characteristics and Enhancement of Resiliency in Young

People : A Research paper (pdf version. Diakses 18 juni 2012 from the

university of winsconsin-Stout website:

http://www.uwstout.ede/lib/thesis/2002/2002isaacsonb.pdf).

Issabela, N. & Hendriani, W. (2010). Resiliensi pada keluarga yang tinggal di

lingkungan lokalisasi dupak, bangunsari. Jurnal psikologi, vol. 12, No. 03, december 2010. Fakultas psikologi, Universitas Airlangga Surabaya.

Karina C. (2004). Resiliensi remaja yang memiliki orang tua bercerai. Jurnal

online psikologi vol.02, No. 01, Tahun 2004.

Klohnen, E. C. (1996). Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of

Ego Resiliensi. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 70 No 5, p 1067-1079.

Losoi, H., dkk (2013). Psycometric properties of the finnish version of the

resilience scale and it short version. Journal psychology, comumunity & healt, vol. 2, No.1, 2013.

Lumbantobing, S.M. (2002). Stroke bencana peredaran darah di otak. Jakarta :

Balai penerbit FKUI.

Mark W, Fraser, J. M., Ricman, and Maeda J. G. (1999). Risk, protection, and

resilience: Toward a conceptual framework for social work practice. Journal psychology volume 23, number 3, september 1999.


(5)

105

Moleong, L (2006). Metode penelitian kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda

Karya.

Nazr, moh. Ph. D. 2005. Metode penelitian Bogor. Ghalia Indonesia

newspaper.pikiran-rakyat.com (di akses 23 april 2015).

Pasudewi, C. Y. (2012). Resiliensi pada remaja binaan bapas ditinjau dari coping

stress. Journal of social and industrial psychology, vol. 1, No.2, november 2012.

Prasetyo, A. R., & Kustanti, E. R. (2014). Bertahan dengan lupus:gambaran

resiliensi pada odapus. Jurnal psikologi undip, vol.13, No.2 oktober 2014.

Puspita, M. R. dan Putro, G. (2008). Hubungan gaya hidup terhadap kejadian

stroke di rumah sakit umum daerah gambiran kediri. Jurnal penelitian

sistem kesehatan vol. 11, No. 3 juli 2008.

Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The Resillience factor: 7 essential skill for

overcoming life’s inevitable obstacles. New york:broadway books. (diakses 3 juli).

Richardson, G. E. (2002). The Metatheory of Resilience and Resiliency. Journal of

clinical psychology, 58(3), 307-321.

Rosyani, C.R. (2012). Hubungan antara resiliensi dan coping pada pasien

kanker dewasa. Jakarta skripsi, fakultas psikologi. Universitas Indonesia.

Santrock, J. W. (2003). Perkembangan remaja. Jakarta : Erlangga, 2003.

Sarafino, E.P. (1994). Healt psychology:Biopsychology interaction,(2nded.), John

Willey & sons, New york.

Septyanti, A. (2010). Resiliensi Pada Penderita Stroke. Malang : skripsi, fakultas

psikologi. Universitas Negeri Muhammadiyah.

Setyowati, A., Hartati S., Sawitri, D. R. (2010). Hubungan antara kecerdasan

emosional dengan resiliensi pada siswa penghuni rumah damai. Jurnal psikologi undip vol. 7, No. 1, April 2010. Fakultas Psikologi Universitas Dipenogoro : Semarang.

Stefani dipayanti. (2012). Locus of control dan resiliensi pada remaja yang orang

tuanya bercerai. Jurnal psikologi, volume 8 nomor 1, juni 2012. Fakultas psikologi uin sutan syarif kasim riau.

Sugiyono. 2008. Memahamai penelitian kualitatif. Bandung : Alfabeta

Septyanti, A. (2010). Resiliensi Pada Penderita stroke. Malang skripsi, Fakultas 104


(6)

106

Wadda A.U. (2010). Bebas stroke dengan bekam. Surakarta: Thibbia, 2010.

Wagnild, G. M., & Young, H. M. (1993). Development and psychometric

evaluation of resilience. Journal of Nursing Measurement, vol, 1, No. 2, 1993.

Widuri, E. L. (2012). Regulasi dan resiliensi pada mahasiswa tahun pertama.

Jurnal Humanitas, Vol. IX No. 2 agustud 2012. Fakultas psikologi

universitas Ahmad Dahlan: Yogyakarta.

Taufiq, R., dkk (2014). Gambaran resiliensi pasca bencana banjir di desa

dayeuhkolot, kabupaten bandung, jawa barat. Jurnal psikologi vol.6,

No.11, januari 2014.

Thomas, D.J. (1993). Stroke dan Pencegahan. Jakarta : Arcan.

Tugade, M.M., Fredricson, B. l., and Barrett, L.F. (2004). Pscychological

Reslience and positive emotional granurality: examining the benefits of positive emotions on coping and healt. Journal of personality, 72:26, december 2004.

Yuniardi, M.S. (2009). Analisis potensi resiliensi korban lumpur panas lapindo:

Tinjuan pada tiap tahap perkembangan. Jurnal psikologi, volume 4, nomor 2, 2009.