Hubungan Self-Compassion dengan Subjective Well-Being pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Self-Compassion
1.

Konsep Compassion
Ilmu Psikologi yang mana berasal dan berkembang dari teori Barat

memang belum (sampai saat ini) berfokus pada konsep compassion sebagai
konsep psikologis pusat (Davidson & Harrington, 2002 dalam Gilbert, 2005).
Berbeda dengan sudut pandang Barat, sudut pandang Timur melihat compassion
sebagai pusat dalam membebaskan pikiran individu dari kekuatan emosi destruktif
seperti takut, marah, iri hati, dan dendam (Goleman, 2003 dalam Gilbert, 2005).
Compassion sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu com yang berarti dengan
(with) dan pati yang berarti menderita (suffer) atau menderita dengan (suffer
with) (Germer, 2009).
Pada awalnya konsep compassion bergerak dari insight terbesar Buddha
yang didasarkan pada pengamatan dasar tentang kehidupan dan diterangi oleh
empat kebenaran mulia (four noble truths). Terdapat istilah dukkha dalam tradisi
Buddhis yang mengatakan bahwa kehidupan di dunia penuh dengan penderitaan,
sehingga semua manusia melakukan berbagai cara untuk dapat melepaskan diri

dari penderitaan tersebut. Dalam keyakinan Buddha, kebahagiaan akan tercapai
jika individu memiliki rasa kasih sayang terhadap diri sendiri dan orang lain
(Gilbert, 2005).
Konsep compassion kemudian menjadi konsep penelitian ilmiah yang
dirintis oleh Kristin Neff. Compassion (yang merupakan unsur cinta kasih)

11
Universitas Sumatera Utara

12

melibatkan perasaan terbuka terhadap penderitaan diri sendiri dan orang lain,
dalam cara yang non-defensif dan tidak menghakimi. Compassion juga
melibatkan keinginan untuk meringankan penderitaan, kognisi yang terkait untuk
memahami penyebab penderitaan, dan perilaku untuk bertindak dengan belas
kasih. Oleh karena itu, kombinasi motif, emosi, pikiran dan perilakulah yang
memunculkan compassion (Gilbert, 2005).Ketika individu menderita dan
merasakan dorongan untuk membantu dirinya sendiri, maka individu tersebut
telah mengalami yang namanya self-compassion. Menjadi seorang yang
compassionate berarti bahwa individu mengenali ketika berada dalam

penderitaan, meninggalkan ketakutan atau resistensi merekauntuk itu, dan seiring
dengan hal tersebut maka perasaan cinta yang alami dan kebaikan akan mengalir
terhadap individu yang mengalami penderitaan. Mengalami compassion adalah
bentuk pengabaian menyeluruh untuk menolak ketidaknyamanan yang terjadi
secara emosional, dimana penerimaan diterima secara sepenuhnya baik
individunya, rasa sakit yang dialaminya, dan reaksinya akan rasa sakit atau
penderitaannya itu sendiri (Germer, 2009).

2.

Definisi Self-Compassion
Self-compassion adalah kasih sayang yang diarahkan ke dalam, berkaitan

dengan diri individu itu sendiri sebagai objek perhatian dan kepedulian ketika
dihadapkan dengan penderitaan atau peristiwa negatif yang dialami (Neff, 2003a).
Self-compassionjuga merupakan bentuk dari penerimaan (acceptance), akan tetapi
acceptance biasanya mengacu pada apa yang terjadi pada individu - dengan

Universitas Sumatera Utara


13

menerima perasaan atau pikiran tersebut-, sedangkan self-compassion adalah
penerimaan individu yang mengalami peristiwa tersebut, yaitu penerimaan diri
ketika kita sedang dalam penderitaan atau peristiwa negatif (Germer, 2009).

3.

Komponen Self-Compassion
Self-compassion terdiri daritiga komponen utama, yang masing-

masingmemilikikutub

positifdannegatif

yangmewakiliperilaku

compassionatevsuncompassionate yaitu self-kindness vs self-judgement; common
humanityvsisolation,


danmindfulnessvsover-identification.

Kombinasi

dari

komponen-komponen tersebut nantinya akan mewakili bingkai pemikiran yang
self-compassionate.

Berbagai

komponenself-compassion

secara

konseptualberbeda namun saling berhubungan satu sama lain, sertabermanfaat
dalamcarayang

berbeda


yaitu

bagaimana

individumenanggapipenderitaan

dankegagalansecara emosional (dengan kebaikan atau menghakimi), bagaimana
individu

memahamikeadaan

merekasecara

kognitif(sebagai

bagian

daripengalaman manusiaatau sebagaisesuatu yang mengisolasi), dan bagaimana
individu


memperhatikanpenderitaan

atau

kegagalan

(secara

sadar/seimbangatauberlebihan) (Neff, 2015).

a. Self-kindness
Self-kindness yaitu berlaku lembut dan pengertian terhadap diri sendiri
ketika dalam menghadapi peristiwa negatif (Neff, 2011). Kebalikan dari
komponen ini yaitu self-judgement, yaitu menghakimi diri sendiri secara keras

Universitas Sumatera Utara

14

terhadap kekurangan atau peristiwa yang terjadi.


Individu yang self-

compassionate akan merespon kesulitan dan rintangan dengan cara yang hangat
dan melalui pemahaman bukan dengan kekasaran terhadap diri sendiri (Germer,
2009), serta merespon dengan penerimaan yang tanpa syarat (Neff, 2015).

b. Common humanity
Ketika individu mengalami keadaan yang kurang menguntungkan,
sebagaian individu cenderung merasa bahwa merekalah satu-satunya orang di
dunia yang menderita dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Komponen kedua
dari self-compassion ini membantu individu untuk merasa bahwa peristiwa negatif
bisa terjadi pada siapa saja dan dialami juga oleh manusia lainnya atau common
humanity. Common humanity yaitu adalah perasaan terhubung dengan orang lain
dalam pengalaman hidup dan tidak merasa terisolasi dan terasing oleh penderitaan
yang dialami (Neff, 2011).

c. Mindfulness
Komponen terakhir dari variabel psikologis self-compassion adalah
mindfulness, yaitu melihat secara jelas dan menerima apa yang terjadi sekarang

dengan menjaga pengalaman individu dalam kesadaran yang seimbang (Neff,
2011). Kebalikan dari mindfulness adalah overidentificationyangterjadi ketika
individu kehilangan diri dalam reaktivitas emosional (Germer, 2009)danterjebak
dalamalur

ceritayang

berlebihantentang

aspek-aspeknegatifdaridiri

sendiri

ataupengalaman hidup (Neff, 2015).

Universitas Sumatera Utara

15

Individu yang self-compassionate akan memandang pengalaman yang

terjadi dengan tidak mengabaikan rasa sakit yang dirasakan ataupun melebihlebihkan perasaan yang dialaminya (Neff, 2011). Mindful awareness inilah yang
nantinya akan membantu individu mengenali diri merekaketika sedang mengalami
hal yang menyakitkan (in pain), ketika mereka mengkritik diri mereka sendiri, dan
ketika mereka mengisolasi diri mereka sendiri, yang pada akhirnya nanti akan
menunjukkan jalan keluar yang compassionate (Germer, 2009).

4.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Compassion
Terdapat setidaknya empat faktor yang mempengaruhi self-compassion

pada diri individu yaitu sebagai berikut:
a. Gender
Secara umum, hasil penelitian yang dilakukan oleh Yarnell, Stafford et al.
(2015) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gender yang mempengaruhi
tingkat self-compassion, dimana laki-laki ditemukan memiliki tingkat selfcompassion yang sedikit lebih tinggi daripada perempuan. Temuan bahwa wanita
kurang self-compassionate daripada pria ini konsisten dengan temuan masa lalu
yang mana perempuan cenderung lebih kritis terhadap diri mereka sendiri dan
lebih sering menggunakan self-talk negatif dibandingkan laki-laki (Devore, 2013;.
Leadbeateretal, 1999 dalam Yamell et al. 2015). Hal lain yang menjelaskan

perbedaan gender tersebut yaitu perempuan juga lebih sering melakukan
perenungan yang berulang, mengganggu, dan merupakan cara berpikir yang tak
terkendali

atau yang disebut rumination. Rumination mengenai hal-hal yang

Universitas Sumatera Utara

16

terjadi di masa lalu dapat mengarahkan munculnya depresi, sedangkan rumination
mengenai potensi peristiwa negatif di masa depan akan menimbulkan anxiety
(Neff, 2011). Maka dari itu hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu
yang mengatakan bahwa perempuan lebih sering mengalami anxiety dan depresi
dibandingkan laki-laki.

b. Periode Kehidupan (Fase Perkembangan)
Terdapat asumsi bahwa sangat memungkinkan masa remaja adalah
periode kehidupan di mana level self-compassion berada pada level yang terendah
dibandingkan dengan periode kehidupan yang lain (Neff, 2003). Hal ini didasari

bahwa

peningkatan

kemampuan

kognitif

remaja

seperti

meningkatnya

kemampuan introspeksi, metakognisi, refleksi diri, dan kemampuan berpikir dari
perspektif sosial (Keating, 1990 dalam Neff, 2003) juga membawa beberapa
kewajiban baru dan tugas perkembangan yang berbeda. Kemampuan baru pada
remaja ini membuat remaja terus mengevaluasi diri mereka sendiri dan
membandingkan dirinya dengan orang lain karena mereka berusaha untuk
membangun identitas mereka dan tempat dalam hirarki sosial (Brown & Lohr,
1987; Harter, 1990 dalam Neff, 2003). Selain itu, tekanan intens yang dihadapi
oleh sebagian besar remaja adalah stres di bidang akademis, adanya kebutuhan
untuk menjadi populer dan '' fit '' dengan teman sebayanya, masalah citra tubuh
(diperkuat karena pubertas), masalah kencan, seks, dan lain sebagainya seringnya
membawa dampak evaluasi yang justru merugikan mereka (Harter, 1993;
Simmons, Rosenberg, & Rosenberg, 1973; Steinberg, 1999 dalam Neff, 2003).

Universitas Sumatera Utara

17

Meskipun kemampuan kognitif remaja sudah berkembang, tetap saja
masih ada ketidakmatangan kognitif yang menyelimuti mereka. Misalnya seperti
imaginary audience dan personal fable (Elkind 1967 dalam Neff, 2003).
Imaginary audience yaitu remaja membayangkan bahwa penampilan dan perilaku
mereka adalah fokus dari perhatian orang lain, sedangkan personal fable yaitu
remaja percaya bahwa pengalaman mereka bersifat unik dan orang lain tidak
mungkin memahami apa yang mereka alami. Menurut Elkind (dalam Papalia,
2007) bentuk-bentuk ketidakmatangan dari remaja ini mendasari banyaknya
perilaku beresiko dan self-destructive yang dilakukan remaja, dan tidak diragukan
lagi memberikan kontribusi peningkatan self-criticism, perasaan terisolasi, dan
overidentification

dengan emosi yang dirasakan. Hal ini berarti bahwa self-

compassion cenderung menjadi sangat diperlukan terlebih karena kurangnya
kemampuan ini selama periode kehidupan remaja.

c. Lingkungan Keluarga
Pengasuhan yang individu terima pada masa awal perkembangannya
sangat mempengaruhi tumbuh-kembangnya self-compassion di dalam diri mereka.
Individu yang mengalami kehangatan di dalam keluarga, memiliki hubungan yang
saling mendukung antara anak dan orang tua, dan anak merasa bahwa orang tua
mereka sangat memahami dan penuh kasih sayang terhadap mereka akan
cenderung memiliki self-compassion yang lebih tinggi. Sebaliknya, individu
dengan orang tua yang dingin atau sangat kritis (atau mengalami abuse baik
secara psikologis, seksual, maupun fisik ketika mereka masih anak-anak), maka

Universitas Sumatera Utara

18

individu tersebut akan cenderung memiliki level self-compassion yang lebih
rendah (Brown, 1999 dalam Neff, 2003).

d. Budaya
Jika membicarakan mengenai perbedaan budaya, maka budaya yang
menjadi perbandingan adalah antara budaya Timur dan Barat dengan konsep
individualistik dan kolektivistiknya. Individu dari budaya kolektivis, khususnya
Asia yang telah memiliki pemaparan ajaran Buddha mengenai self-compassion
melalui paparan budaya. Individu dari budaya kolektivis umumnya memiliki
interdependent sense of self yang lebih dibandingkan individualis, maka dari itu
diharapkan orang-orang Asia memiliki level self-compassion yang lebih tinggi
dari orang Barat. Namun, penelitian juga telah menunjukkan bahwa orang-orang
Asia cenderung lebih self-critical dibandingkan dengan orang Barat (Kitayama
&Markus, 2000;Kitayama, Markus, Matsumoto, &Norasakkunkit, 1997 dalam
Neff, 2003), yang mana hal ini justru menunjukkan sebaliknya, memiliki selfcompassion yang rendah. Sebagaimana adanya sekarang, masih tidak jelas apakah
pengembangan self-compassion dapat berkembang atau justru terhalang oleh
adanya perbedaan jenis kelamin atau norma-norma budaya tertentu. Maka dari itu
hasil penelitian yang berkaitan dengan hal ini bisa saja terus berubah seiring
dengan berjalannya waktu.

Universitas Sumatera Utara

19

B. Subjective Well-Being (SWB)
1. Definisi Subjective Well-Being
SWB adalah namailmiah yang digunakan untuk melihat bagaimana
individumengevaluasikehidupan mereka. SWB adalah penilaian individu terhadap
kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif dan afektif. Penilaian kognitif
berupa penilaian mengenai kepuasan hidup (life satisfaction) baik secara umum
maupun pada domain yang spesifik, sedangkan penilaian afektif meliputi sisi
emosional dari SWB yaitu mengenai positive affect dan low negative affect
(Diener, 2009). Kedua komponen diukur dengan alat ukur yang terpisah namun
penelitian yang menguji hubungan antara komponen kepuasan hidup dan affect
balance (perbedaan frekuensi antara afek positif dan negatif), menemukan bahwa
terdapat korelasi positif diantara keduanya (Suh et al. 1998 dalam Diener, 2009).
Individu dikatakan memiliki tingkat SWB yang tinggi adalah ketika mereka
merasa puas terhadap kehidupan mereka, sering mengalami emosi/afek
menyenangkan dan jarang merasakan emosi/afek yang tidak menyenangkan
(Lucas&Gohm dalam Diener, 2000).

2. Komponen Subjective Well-Being
Terdapat dua komponen yang saling melengakapi untuk tercapainya SWB,
yaitu:
a. Positive affect (PA) dan negative affect (NA)
Positive affect dan negative affect merupakan komponen penilaian afektif
individu yang menjelaskan mengenai emosi dan perasaan yang dimilikinya.

Universitas Sumatera Utara

20

Diener (1984 dalam Larsen&Eid, 2008) mengatakan bahwa PAdanNApada
dasarnyatidak berkorelasi, yang artinyabahwa seberapa banyaksatuafek yang
cenderung individu alami tidak punyatidak ada kaitannya denganberapa
banyakafek

lainiaalami.Temuanini

menyebabkankonseptualisasikontribusiindependenmasing-masing
untukkomponenSWBsebagai

rasioPAdanNAdalam

kehidupanseseorang

(Larsen&Eid, 2008). Individu yang bahagia umumnya memiliki tingkat emosi
positif yang lebih tinggi daripada emosi negatif yang dirasakannya selama
kehidupannya.

b. Life satisfaction
Life satisfaction atau kepuasan hidup adalah penilaian kognitif individu
mengenai kepuasannya terhadap kehidupan yang dimilikinya secara keseluruhan
(Larsen&Eid, 2008). Individu yang memiliki perasaan atau emosi positif lebih
banyak dalam kehidupannya akan lebih merasa puas akan kehidupan yang
dijalaninya.

Penilaian

bagaimana

individupuasdengankeadaan

mereka

sekarangdidasarkan padaperbandingandenganstandaryang individubuat sendiridan
bukan berasal dari luar (Diener et al., 1985).

3. Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being
Hal yang perlu diingat mengenai konsep SWB adalah bahwa SWB
bukanlah merupakan suatu kesatuan konstruk yang bersifat tunggal. SWB
merupakan sebuah konstruk yang terdiri dari beberapa komponen terpisah. Hal

Universitas Sumatera Utara

21

tersebut menjadikan masing-masing komponen umumnya memiliki korelasi
demografis dan psikologis yang berbeda.

a. Faktor Kepribadian
Pada faktor kepribadian, hubungannya terlihat lebih kuat dalam
mempengaruhi komponen afektif dari SWB. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Diener, big five personality dari Costa and McCrae, terutrama
extraversion dan neuroticism berkontribusi besar terhadap komponen afektif SWB
individu (1980 dalam Larsen&Eid, 2008). Hal ini berkaitan dengan faktor
kepribadian extraversion mempengaruhi emosi positif individu, sedangkan
neuroticism menentukan emosi negatif individu (Larsen&Buss, 2010). Penelitian
mengatakan bahwa individu dengan level yang tinggi dalam neuroticism
cenderung melihat aspek negatif dan memusatkan perhatian mereka terhadap
informasi yang negatif dari lingkungan mereka (Dalgeish, 1995; Matthews, 2000;
et al dalam Larsen&Buss, 2010).

b. Gender
Pada faktor demografis tidak terdapat hasil penelitian yang pasti mengenai
hubungannya dengan SWB, begitu juga pada kaitannya antara gender dan SWB.
Gender hanya berperan kurang dari 1 persen dalam variasinya mencapai SWB
(Haring, Stock, dan Okun, 1984 dalam Larsen&Buss, 2010). Walaupun demikian
gender juga turut mempengaruhi SWB. Berdasarkan beberapa penelitian
perbedaan gender dalam SWB umumnya berkaitan dengan perbedaan intesitas

Universitas Sumatera Utara

22

dan frekuensi emosi yang dialami, sifat empati, perbedaan pola atribusi dan
coping style, perbedaan status, peran, dan harapan sosial antara laki-laki dan
perempuan (Lucas&Gohm dalam Diener, 2000).

c. Usia
Teori efek usia dalam SWB umumnya berpendapat bahwa (1) SWB
dipengaruhi oleh kondisi objektif kehidupan kita (seperti pendapatan, kesehatan,
dukungan sosial, dsb), yang cenderung memburuk seiring dengan bertambahnya
usia (Diener dan Suh 1998; Wilson, 1967 dalam Lucas&Gohm dalam Diener,
2000); atau (2) SWB dipengaruhi oleh kemampuan kita dalam mengontrol emosi,
yang mana kemampuan ini cenderung meningkat seiring bertambahnya usia
(Carstensen 1995; Lawton 1996 dalam Lucas&Gohm dalam Diener, 2000). Hasil
penelitian belakangan ini pada budaya barat menemukan usia memiliki hubungan
yang unik pada masing-masing komponen SWB.
Usia ditemukan tidak berpengaruh kuat pada kepuasan hidup, bahkan di
negara di mana hubungan terkuat keduanya ditemukan, usia hanya menyumbang 3
persen dari variasinya dalam skor kepuasan hidup. Sedangkan pada afek positif
(menyenangkan), di sisi lain, terjadi penurunan sepanjang rentang hidup, dan pada
afek negatif (tidak menyenangkan) menunjukkan terjadinya hubungan lengkung
(curvilinear) dengan usia, dimana penurunan pada awalnya dan kemudian
meningkat pada usia kalangan lansia (Lucas&Gohm dalam Diener, 2000).

Universitas Sumatera Utara

23

d. Fase Perkembangan
Pada fase perkembangan, penelitian tidak menemukan bukti kuat yang
mengatakan bahwa individu pada fase perkembangan tertentu lebih bahagia
dibandingkan dengan individu pada fase perkembangan lainnya, hal ini
dikarenakan keadaan yang membuat individu bahagia berubah seiring dengan
berubahnya usia (Larsen&Buss, 2010).

C. Mahasiswa
1. Definisi Mahasiswa
Menurut Depdiknas (2008 dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia),
mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan menurut
Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk
mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18 sampai 30
tahun.

2. Fungsi dan Peran Mahasiswa
Terdapat bebrapa fungsi dan peran sebagai seorang mahasiswa yaitu
sebagai berikut (Kusumah, 2007):
a. Intelektual akademisi
Terkait dengan peran dan fungsinya sebagai intelektual akademisi,
mahasiswa merupakan aset bangsa yang berharga yang beraktifitas dalam sebuah
universitas yang merupakan simbol keilmuan. Kebebasan akademik yang dimiliki

Universitas Sumatera Utara

24

mahasiswa dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bentuk
pengembangan wawasan keilmuan dan peradaban.
b.

Cadangan masa depan (iron stock)

Terkait dengan peran dan fungsinya sebagai cadangan masa depan,
mahasiswa merupakan calon-calon pemimpin di masa yang akan datang. Baik
buruknya sebuah bangsa tergantung pada baik buruknya pemuda dan mahasiswa
saat ini.
c. Agen perubahan (agent of change)
Terkait dengan peran dan fungsinya sebagai agen perubahan,
mahasiswa dianggap sebagai pemicu dan pemacu perubahan-perubahan dalam
masyarakat, baik berupa perubahan teoritis maupun praktis.

3. Karakteristik dan Potensi Mahasiswa
Mahasiswa berada dalam puncak kekuatan manusia dalam berbagai aspek
potensinya yang menjadikan mahasiswa dan gerakan yang dibangunnya
diperhitungkan dalam keputusan-keputusan besar dalam sebuah bangsa. Potensipotensi mahasiswa adalah sebagai berikut (Kusumah, 2007):
a. Potensi spiritual
Mahasiswa sejatinya akan memberi dan berjuang secara ikhlas, tanpa
pamrih, dan sepenuh hati dan jiwa terhadap apa yang diyakininya.
b. Potensi intelektual
Daya analisis yang kuat yang didukung dengan adanya spesialisasi
keilmuan yang dipelajari menjadikan kritisan mereka berbasis

Universitas Sumatera Utara

25

intelektual dan menjadikan mahasiswa berada dalam puncak kekuatan
intelektualnya.
c. Potensi emosional
Keberanian, kemauan yang keras, serta semangat yang menggelora
dalam diri mahasiswa mampu menularkan harapan ke dalam jiwa
bangsanya. Sehingga tidak heran jika mahasiswa dapat membelokkan
arah sejarah suatu bangsa.
d. Potensi fisikal
Secara fisik, seorang mahasiswa terlepas dalam dua kelemahan
umum, yaitu kelemahan ketika bayi yang tidak berdaya dan
kelemahan pikun ketika tua.

D. Dinamika Hubungan Self-Compassion dan SWB
Kehidupan kampus merupakan bagian dari aspek kehidupan seorang
mahasiswa yang berperan penting terutama karena sebagian besar tantangantantangan yang dihadapi berkaitan dengan lingkup perkuliahan. Tantangantantangan yang selalu ada pada setiap tingkatan mahasiswa dan dalam
kehidupannya sebagai individu secara utuh mengharuskan mahasiswa untuk
memiliki kemampuan yang efektif dalam menghadapi semua tantangan tersebut.
Tantangan-tantangan tersebut dapat berbentukdari peristiwa positif maupun
peristiwa negatif. Peristiwa positif terjadi ketika tantangan berhasil dicapai dan
sesuai dengan harapan. Sebaliknya, jika individu gagal dalam mencapai yang
diinginkan, tertimpa bencana, sakit, masalah akademis, masalah keluarga, dan

Universitas Sumatera Utara

26

peristiwa tidak menyenangkan lainnya maka peristiwa tersebut dapat dikatakan
sebagai peristiwa negatif.
Peristiwa negatif tersebut dapat menjadi tekanan yang menyiksa bagi
sebagian individu yang dapat menyebabkan mereka bereaksi secara tidak efektif
seperti menyalahkan diri sendiri, marah kecewa, merasa sendirian, merasa tidak
berdaya, putus asa, dan lain sebagainya. Perasaan tersebut tidaklah sehat bagi
mental mereka karena hal tersebut menjadikan mereka sangat rentan mengalami
gangguan mental seperti anxiety, depresi, gangguan makan, dan gangguan mental
lainnya. Dampak lainnya yang mungkin muncul adalah rasa putus asa ketika
dihadapkan dengan peristiwa negatif yang akan membentuk pemikiran bagi diri
mereka bahwa mereka bukanlah pemenang dan cenderung untuk mengevaluasi
kehidupannya secara negatif dan dapat memicu perilaku bunuh diri.
Istilah yang sering digunakan untuk mengevaluasi kehidupan dan aspek
emosi dari individu disebut dengan subjective well-being (SWB). SWB
merupakan penilaian kognitif dan afektif individu terhadap kehidupan yang
dimilikinya (Diener, 2009). Penilaian kognitif berupa penilaian individu terhadap
kepuasan dalam kehidupannya dan penilaian afektif berupa afek positif dan
negatif. Mudah untuk menilai dan merasakan emosi positif pada peristiwa yang
menyenangkan, namun sebagai intelektual akademisi dan calon penerus bangsa,
para mahasiswa harus tetap mampu bereaksi terhadap peristiwa negatif dengan
cara yang lebih positif, salah satunya adalah dengan tetap menerima diri
merekawalaupun dalam peristiwa negatif tersebut.

Universitas Sumatera Utara

27

Kemampuan individu untuk menerima diri mereka dalam peristiwa
negatifdisebut

denganself-compassion.

Self-compassion

yaitu

kemampuan

individu untuk tetap menyayangi diri mereka sendiriketika dihadapkan dengan
peristiwa negatif yang dialami. Komponen-komponen self-compassion terdiri dari
self-kindness, common humanity, dan mindfulness(Neff, 2003a). Komponenkomponen inilah yang nantinya bekerja sama dansaling berinteraksi untuk
membuat bingkai pemikiran agar dapat menyayangi diri sendiri untuk semua
pengalaman negatif, baik penyebabnya oleh kekurangan dan kegagalan pribadi,
ataupun dengan situasi kehidupan yang berada di luar kendali manusia(Neff, 2015
dikutip dariShambhala Sundalam lionsroar.com).
Komponen common humanity dapat berperan dalam membingkai
pemikiran bahwa individu tersebut tidaklah sendirian, dimana peristiwa negatif
juga dialami oleh banyak orang. Komponen mindfulness juga menjaga emosi
mereka agar tetap stabil dengan terbuka menerima peristiwa tersebut dengan tidak
bereaksi dengan mengabaikannya maupun bereaksi secara berlebihan. Allen et al
(2010) mengatakan bahwa individu yang self-compassionate cenderung sangat
bergantung pada restrukturisasi kognitif yang positif dan cenderung tidak
melakukan penghindaran ataupun pelarian diri ketika dihadapkan dengan masalah
bataupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

Sedangkan komponen self-

kindness dapat berkontribusi dalam bagaimana cara kita memperlakukan diri kita
ketika menghadapi peristiwa negatif.
Ketiga komponen di atas dirasa dapat berperan dalam menumbuhkan
emosi yang lebih positif sehingga mampu mengevaluasi kehidupan dengan cara

Universitas Sumatera Utara

28

yang positif pula. Rey (2009) menemukan SWB berkorelasi dengan academic
self-efficacy;general self-efficacy;controlbelief of learning; dan gratitude; yang
mana hal yang sama juga ditemukan pada self-compassion. Iskander (2009) juga
menemukan bahwa komponen-komponen self-compassion berkorelasi positif
dengan self-efficacy dan controlbeliefs of learning. SWB diperoleh jika individu
lebih sering mengalami afek positif dibandingkan afek negatif di dalam hidupnya.
Neff, Rude, & Kirkpatrick (2007) melakukan penelitian mengenai selfcompassion dalam relasinya dengan fungsi psikologis positif dan trait
kepribadian, dan menemukan hasil bahwa self-compassion berkorelasi positif
dengan optimisme, happiness, wisdom, kepribadian agreeableness, extroversion,
conscientiousness, dsb; serta berkorelasi negatif dengan kepribadian neuroticism.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat digambarkan bahwa terdapat hubungan
antara self-compassion dengan subjective well-being (SWB).

E. Skema Penelitian
Skema penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1

F. Hipotesa Penelitian
Ho : Tidak terdapat hubungan antara self-compassion dengan subjective wellbeing.
Ha : Terdapat hubungan antara self-compassion dengan subjective wellbeing.

Universitas Sumatera Utara

29

Gambar 2.1 Skema Penelitian

Tantangan Kehidupan

Peristiwa Positif

Peristiwa Negatif
Putus
asa

Marah
Selfblame

Merasa
Sendirian

SelfCompassion

MerupakanIneffective Copingyang
dapat menyebabkan:
SelfKindness

Mindfulness
Common
Humanity

-

Anxiety
Depresi
Eating Disorder
dsb

Meningkatkan
evaluasi emosi dan
dan kepuasan hidup
negatif
Meningkatkan
evaluasi emosi dan
dan kepuasan hidup
POSITIF

Universitas Sumatera Utara