Pengaruh subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh: Rachmawati

(1110070000102)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ii Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh: Rachmawati

(1110070000102)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

(5)

(6)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Bukan karena bahagia kita lalu bersyukur,

tetapi karena selalu bersyukur kita akan selalu

bahagia “

Skripsi ini dipersembahkan untuk orang tua,

keluarga dan orang-orang yang telahmembantu


(7)

(C) Rachmawati

(D) Pengaruh Subjective Well-Being, Social Influence, Self-Esteem, dan Faktor Demografis terhadap Impulse Buying.

(E) xiv + 86 halaman + lampiran

(F)Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh dari subjective well-being, social influence, self-esteem, dan faktor demografis terhadap

Impulse Buying. Pada penelitian ini peneliti menggunakan dimensi

subjective well-being, social influence, self-estee dan faktor demografis sebagai IV. Peneliti berhipotesis bahwa ada pengaruh subjective well-being, social influence, self-estee dan faktor demografis terhadap impulse buying.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 210 orang pembeli ritel Alfamidi, Alfamart dan Indomart di Jl. Otista Raya Sasak Tinggi Ciputat. Mengunakan teknik pengambilan sampel probability sampling dan peneliti mengadaptasi skala dari Verplanken & Herabadi (2001), Diener et al,. (1985), Clark, Watson & Tellegen (1988), Bearden et al,. (1989), Tafarodi and Swann (2001). Hasil penelitian menunjukkan pengaruh signifikan dari subjective well-being (cognitif dan affect), social influence (component normative dan

component informational), self-esteem (self-liking dan self-competence)

terhadap impulse buying. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan hanya ada tiga dimensi yang signifikan dari social influence (component normative dan component informational) dan factor demografis (jenis kelamin).

Peneliti berharap implikasi penelitian ini dapat dikaji ulang dan dapat

ditingkatkan untuk penelitian masa depan. Misalnya, dengan

menambahkan variabel lain yang relevan impulse buying


(8)

vi

(C)Rachmawati

(D)Effect subjective well-being, social influence, self-esteem and faktor demografis toward impulse buying.

(E) xiv + 86 pages + appendix

(F)This study is to examine effect of subjective well-being, social influence, self-esteem and faktor demografis toward impulse buying. On this study researcher use dimensions of subjective well-being, social influence, self-esteem and faktor demografis (IV). Researcher hypothesis that there subjective well-being, social influence, self-esteem and faktor demografis toward impulse buying.

This study use quantitative approach with multiple regression analysis. Participants were 210 consumens ritels Alfamidi, Alfamart dan Indomart on Jl. Otista Raya Sasak Tinggi Ciputat. The sampling technique is non probability sampling. In this study, researcher addapt instruments of Verplanken & Herabadi (2001), Diener et al,. (1985), Clark, Watson & Tellegen (1988), Bearden et al,. (1989), Tafarodi and Swann (2001). The results showed a significant influence of subjective well-being (cognitive and Affect), social influence (component of normative and informational component), self-esteem (self-liking and self-competence) against impulse buying. Minor hypothesis test results showed there were only three significant dimensions of social influence (component of normative and informational component) and demographic factors (gender)..

Researcher hope the implication of this study can be reexamined and can be improved for future research. For example, by adding other relevant variable with impulse buying


(9)

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul baik “pengaruh subjektif wellbeing, sosial influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan bagi umat manusia, yang membawa manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1.Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Si Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif HIdayatullah Jakarta, beserta seluruh jajaran wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas arahan dan bimbingannya kepada seluruh mahasiswa demi terciptanya kemajuan ilmu pengetahuan yang disertai perilaku yang mencerminkan akhlak mulia.

2.Drs. Sofiandy Zakaria, M.Psi, selaku dosen Pembimbing Skripsi atas kesabaran dan keikhlasannya meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan, arahan serta koreksi kepada penulis agar mampu menghasilkan skripsi yang bermutu dan berkualitas. Juga atas dorongan dan dukungan yang tiada henti agar penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 3.Bapak Miftahuddin, M.Si, Dosen pembimbing Akademik atas Motivasinya

selama penulis mengerjakan skripsi dan selama penulis menjalani pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4.Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah


(10)

viii pembelajaran dikampus ini.

5.Seluruh responden pengunjung Alfamart, Alfamidi dan Indomart di Jl.Otista Raya, terimakasih banyak atas kesempatan dan izin yang diberikan kepada penulis untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian.

6.Kedua orang tua penulis Bapak Matum dan Ibu Ernawati untuk doa, kasih saying, dukungan, semangat dan kepercayaan yang selalu diberikan selama ini. Terima kasih karena tidak pernah bosan untuk mengingatkan, menasehati, membimbing, mendoakan karena berkat mereka penulis selalu termotivasi untuk menyelesaikan satu tanggung jawab ini dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan kebahagiaan yang berlimpah untuk Ibu dan Ayah. Kakak Penulis Arif Rahman serta Adik penulis Maulia Mukhtaromah dan Siti Ghonia yang selalu memberikan dukungan dan

mendoakan penulis sehigga penulis semakin bersemangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7.Sahabat-sahabat penulis GG (Lisa, Mayang, Vina dan Nadiya) yang selalu membagi suka maupun duka bersama. Selalu menemani penulis dalam

mengerjakan skripsi, menyebar kuesioner dan terimakasih atas

kebersamaannya sehingga dapat memotivasi penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat terdekat penulis andil, anggi, pacil, dan siska yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga membuat penulis semakin termotivasi untuk menyelesaikan skripsi.

9.Syahid Izharudin S.Psi dan Muhammad Dwi Rifqi S.Psi yang telah

memberikan bantuan yang sebesar-besarnya dalam mengolah data dan segala hal dalam bidang statistik yang penulis tidak mengerti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(11)

kita mpikan selama ini. Semoga Allah SWT senantiasa bersama kalian

11.Seseorang yang penulis sayang, Dwi Mohammad Luthfi Yahya. Terima kasih

atas perhatian, kasih sayangnya yang tak pernah lelah untuk memotivasi penulis. Serta tempat berbagi suka maupun duka, bimbingannya untuk menjadikan penulis lebih dewasa dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Semua pihak yang belum bisa disebutkan satu persatu, Karena dukungan moral, doa dan pengertian mereka, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya kata terima kasih yang sebesar-besarnya penulis dapat ucapkan, semoga mereka mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang mereka berikan. Hanya asa dan doa yang dapat penulis panjatkan. Semoga semua pihak yang membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini mendapatkan ridho dan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, sangat besar harapan penulis agar skripsi ini memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca dan berkeinginan untuk mengeksplorasi lebih lanjut.

Tangerang, 8 januari 2015


(12)

x

LEMBAR PERNYATAAN... . iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v

ABSTRAK... . vi

KATA PENGANTAR ... …….. vii

DAFTAR ISI ... …….. x

DAFTAR TABEL... . xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Batasan dan Perumusan Masalah ... 8

1.2.1 Batasan masalah ... 8

1.2.2 Perumusan masalah ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan penelitian ... 9

1.3.2 Manfaat penelitian ... 10

1.3.2.1 Manfaat teoritis…...…. 10

1.3.2.2 Manfaat praktis………... 10

1.4 SistematikaPenilitian ... ... 11

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 12

2.1 Impulse Buying ... 12

2.1.1Pengertian impulse buying ... 13

2.1.2 Jenis-jenis impulse buying ... 14

2.1.3 Karakteristik impulse buying ... 15

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi impulse buying ... 16

2.1.5 Perbedaan perilaku impulsif dan non impulsive ... 20

2.1.6 Pengukuran impulse buying ... 21

2.2 Subjective Well-being ... 22

2.2.1 Pengertian subjective well-being ... 22

2.2.2 Aspek subjective well-being ... 24

2.2.3 Karakteristik subjective well-being……… ... 25

2.2.4 Pengukuran subjective well-being……… 26

2.3 Social Influence ... 27

2.3.1 Pengertian social influence ... 27

2.3.2 Aspek social influnce ... 28

2.3.3 Macam-macam social influence ... 30

2.3.4 Pengukuran social influence………. 30

2.4 Self-Esteem……… 31


(13)

2.5.2 Jenis kelamin……… 38

2.6 Kerangka Berfikir... 39

2.7 Hipotesis Penelitian... 41

BAB 3 METODE PENELITIAN... 43

3.1 Populasi, Sampel danTeknik Pengambilan Sampel... 43

3.1.1 Populasi dan sampel... 43

3.1.2 Teknik pengambilan sampel... 43

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 44

3.2.1 Variabel penelitian... 44

3.2.2 Definisi operasional variabel………... 44

3.3Instrumen Penelitian……….... ... 45

3.3.1 Teknik pengumpulan data ………... 45

3.3.2 Alat ukur penelitian ………... 47

3.4 Uji Validitas Konstruk……….... 50

3.4.1 Uji validitas konstruk impulse buying……... 52

3.4.2 Uji validitas konstruk subjective well-being... 53

3.4.3 Uji validitas konstruk social influence..…… …………... 56

3.4.4 Uji validitas konstruk self-esteem... 58

3.5 Teknik Analisis Data……….... .. 60

3.6 Prosedur Pengumpulan Data...…….. ... 64

BAB 4 HASIL PENELITIAN……….……… ... 65

4.1 Analisis Deskriptif……….………... . 65

4.1.1. Gambaran umum subjek penelitian….……….…... 65

4.2 Hasil Analisis Deskriptif……….………. . 66

4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian……….…………... . 68

4.4 Uji Hipotesis Penelitian……….………... 69

4.5 Proporsi Varian……….………... 74

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN………... . 78

5.1 Kesimpulan……….………... . 78

5.2 Diskusi……….……….... . 79

5.3 Saran……….……….. ... 84

5.3.1 Saran teoritis……….………... 85

5.3.2 Saran praktis……….……….... .... 86 DAFTAR PUSTAKA


(14)

xii

Tabel 3.1 Tabel pilihan jawaban ... 46

Tabel 3.2 Blue print skala impulse buying ... 47

Tabel 3.3 Blue print skala subjective well-being ... 48

Tabel 3.4 Blue print skala social influence ... 49

Tabel 3.5 Blue print skala self-esteem ... 50

Tabel 3.6 Muatan faktor item impulse buying ... 53

Tabel 3.7 Muatan faktor item kognitif ... 54

Tabel 3.8 Muatan faktor item affect ... 55

Tabel 3.9 Muatan faktor item component informational ... 56

Tabel 3.10 Muatan faktor item component normative ... 57

Tabel 3.11 Muatan faktor item self-liking ... 59

Tabel 3.12 Muatan faktor item self-competence ... 60

Tabel 4.1 Gambaran umum subjek penelitian ... 65

Tabel 4.2 Statistik deskriptif ... 67

Tabel 4.3 Pedoman interpretasi skor ... 68

Tabel 4.4 Kategorisasi skor variabel ... 68

Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi ... 70

Tabel 4.6 Tabel ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV ... 71

Tabel 4.7 Koefisien Regresi ... 72

Tabel 4.8 Proporsi Varians Untuk Masing-masing Independent Variable (IV) ... 75


(15)

(16)

xiv

Lampiran B Path Diagram


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian, batasan dan perumusan masalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

1.1Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan perekonomian yang terus meningkat menyebabkan keberadaan berbagai macam toko ritel besar maupun pusat perbelanjaan terus bertumbuh dan berkembang di Indonesia. Munculnya berbagai macam toko ritel di Indonesia juga memberikan pengaruh pada pengusaha karena persaingan bisnis yang semakin ketat, sehingga perusahaan ritel harus mempunyai strategi-strategi perusahan agar dapat terus bertahan dari dunia bisnis. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah mengenai perilaku konsumen yang merupakan kunci dalam merencanakan suatu strategi promosi yang baik dengan mempelajari konsumen yang berbelanja. Pernyataan ini diperkuat dengan data hasil survey yang dilakukan oleh Nielsen Media Research dan Retail Asia Magazine (dalam Rahmasari, 2010) bahwa jumlah gerai hypermarket di tahun 2008 meningkat

sekitar 25 persen dari 109 menjadi 146 unit; sementara supermarket

pertumbuhannya lebih cepat yakni sekitar 29 persen dari 85 menjadi 120. Peningkatan jumlah gerai yang paling tajam terjadi pada minimarket. Alfamart pada tahun 2005 hanya memiliki 1263 gerai. Kemudian pada tahun 2008


(18)

jumlahnya berkembang menjadi 2750 gerai. Peningkatan Indomart bahkan lebih fantastis, dari 1401 pada tahun 2005 menjadi 3093 pada tahun 2008.

Banyaknya penawaran barang oleh ritel yang berkembang pesat diduga akan menimbulkan semakin meningkatnya perilaku impulse buying. Bellenger et.al. (dalam Dincer, 2010) menunjukkan hasil penelitian mereka bahwa 38,7% dari pembelian di department store merupakan perilaku pembelian impulsif. Tingginya insiden perilaku pembelian impulsif juga dilaporkan dalam penelitian lain yang menunjukkan bahwa hampir 90% konsumen kadang-kadang melakukan pembelian impulsif, diantaranya 30% dan 50% dari semua pembelian dapat diklasifikasikan sebagai pembelian impulsif.

Sedangkan menurut Bell et.al. (dalam Soeseno, 2011) penelitian di Amerika dan Eropa menemukan kontribusi belanja impulsif ini mencapai 60 sampai 70% dari total penjualan terjadi dalam toko ritel. Nilai belanja impulsif semakin meningkat searah dengan kemajuan ekonomi dan gaya hidup masyarakat setempat. Menurut Abrahams et.al, (dalam kacen & lee, 2002) perilaku pembelian konsumen secara impulsif diakui secara luas berdasarkan fenomena di Amerika Serikat yaitu dengan menyumbang hingga 80% dari semua pembelian di kategori produk tertentu.

Sementara itu menurut Ramaun (2010) mengacu pada hasil studi yang dilakukan Nielsen melalui wawancara tatap muka dengan 1.804 responden, dengan belanja rumah tangga lebih dari Rp 1.5 juta per bulan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan, 21% konsumen mengaku tidak pernah membuat rencana belanja. Di Indonesia sendiri pada tahun 2011 untuk jumlah konsumen


(19)

dengan perilaku impulse buying meningkat dua kali lipat dari tahun 2003 yang hanya 13%. Secara tidak langsung hal ini dapat meningkatkan pendapatan produsen sendiri, termasuk pusat perbelanjaan yang memanfaatkan kebiasaan pembelian impulsif dari konsumen saat ini. (http://www.antaranews.com).

Persaingan antar pusat perbelanjaan semakin kompetitif sehingga menuntut para retailer di pusat perbelanjaan untuk mengembangkan strategi pemasaran yang lebih baik dan efektif lagi sehingga dapat meningkatkan penjualan serta meningkatkan keeksistensiannya di dalam pusat perbelanjaan. Sementara itu menurut hasil penelitian POPAI (Point Of Purchase Advertising Institute, 2007) dan GMA (Grocery Marketing Association, 2007) (dalam Soeseno, 2011) mengindikasikan 75% keputusan pembelian dilakukan di dalam toko adalah keputusan impulsif.

Fenomena tersebut mempengaruhi konsumen untuk membeli barang pada sebuah pasar atau perusahaan tanpa perencanaan sebelumnya. Hal ini dapat didorong oleh perhitungan yang hanya melihat kebutuhan jangka pendek, sehingga berhubungan dengan keputusan konsumen untuk membeli barang yang tidak direncanakan. Keadaan ini juga dapat melibatkan kurangnya perencanaan dan emosi konsumen, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat segera.

Menurut Rook (1987) impulse buying terjadi ketika seorang konsumen mengalami dorongan tiba-tiba, kuat dan dorongan yang tetap untuk membeli sesuatu dengan segera. Sedangkan menurut Dawson et al. (2009) bahwa isyarat-isyarat internal pembelian impulsif mencakup keadaan aspek afektif dan kognitif


(20)

seseorang. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Verplanken dan Herabadi (dalam Widawati, 2011) yang menjelaskan bahwa

impulse buying terdiri dari dua elemen, yaitu: kognisi, dalam hal kurangnya perencanaan dan pertimbangan serta emosi, dalam hal adanya perasaan nikmat dan senang.

Sedangkan Coley (2002) yang menyatakan, bahwa kognitif dan afektif bersama-sama mempengaruhi bagaimana dan untuk apa emosi yang besar dan atau alasan-alasan yang menimbulkan impulsif atau kontrol diri. Afektif mencerminkan sebuah dorongan yang tak tertahankan untuk membeli, emosi pembelian positif, dan pengelolaan suasana hati. Sedangkan kognitif mencerminkan pertimbangan kognitif, pembelian yang tidak direncanakan, dan mengabaikan masa depan. Selain itu komponen kognitif mengacu pada struktur mental dan proses yang terlibat dalam pemikiran. Sehingga dapat dimungkinkan konsumen yang lebih mementingkan afektifnya dari pada kognitifnya dalam melakukan pembelian, memiliki kecenderungan lebih besar dalam melakukan pembelian impulsif.

Dari beberapa fenomena mengenai impulse buying terdapat bebarapa faktor yang mempengaruhi impulse buying. Menurut Chang dan Lucas (dalam David et al., 2008) salah satunya faktor yang mempengaruhi impulse buying

adalah subjective well-being yang berhubungan positif dengan optimisme, self-esteem dan berhubungan negatif dengan depresi. Subjective well-being adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afektif terhadap hidup dan merepresentasikan kesejahteraan


(21)

psikologisnya. Menurut Argyle (dalam David et al., 2008) menyimpulkan bahwa faktor eksternal, termasuk faktor-faktor demografi seperti pendidikan dan status sosial ekonomi, secara kolektif menyumbang sekitar 15% terhadap subjektif well-being.

Meskipun subjective well-being telah dipelajari secara luas dalam psikolog, ada relatif sedikit riset pemasaran terhadap subjective well-being. Menurut Oropesa (dalam David et al., 2008) penelitian dalam pemasaran memfokuskan pada bagaimana perolehan barang material berhubungan dengan kepuasan kehidupan, dimana impulse buying berfungsi terutama sebagai cara untuk menghindari keadaan psikologis yang negatif pada seseorang.

Selain subjective well-being, impulse buying juga dipengaruhi oleh faktor

social influence. Menurut Bearden (1992) sosial influence telah diperiksa dalam konteks CSII (consumer susceptibility to interpersonal influence) dimana CSII adalah suatu kondisi dimana pilihan konsumen akan suatu barang dipengaruhi oleh orang lain. Menurut Bearden et al. (dalam Kropp et al., 2005) juga menguji hubungan antara CSII dan sensitivitas atributional dan menemukan bahwa konsumen cenderung rentan terhadap pengaruh orang lain untuk membeli produk yang mereka anggap akan menyebabkan orang lain membuat atribusi yang menguntungkan tentang mereka.

Menurut David et.al (2008) Social influence mengandung dua dimensi yaitu komponen informasi dan komponen normatif. Komponen informasi mengukur kecenderungan individu untuk memperoleh informasi tentang produk atau layanan dengan mengamati atau mencari informasi langsung dari orang lain.


(22)

Komponen normatif mengukur kebutuhan individu dengan menggunakan pembelian untuk mengidentifikasi atau meningkatkan gambarannya di mata orang lain yang signifikan dan kemauan agar sesuai dengan harapan orang lain dalam membuat keputusan pembelian.

Selain itu faktor lain yang juga mempengaruhi impulse buying adalah self-esteem. Self-esteem adalahpenilaian individu terhadap dirinya sendiri. Bagaimana seseorang dapat menilai dirinya secara umum maupun secara keseluruhan dirinya. Penelitian yang dilakukan O'Guinn dan Faber (1989) menemukan bahwa seseorang yang melakukan compulsive buying memiliki self-esteem yang rendah. Terlepas dari kenyataan bahwa ada perbedaan penting antara compulsive buying

dan impulsive buying (Rook dalam David et al., 2008). Dimana compulsive buying

yaitu pembelian kronis yang berulang yang menjadi respon utama terhadap kejadian atau perasaan negatif, sedangkan impulse buying yaitu pembelian yang terjadi ketika seseorang membeli barang dan tiba-tiba ingin membeli barang tersebut. Menurut O'Guinn dan Faber (1989) hasil ini konsisten dengan proposisi bahwa impulse buying bisa berfungsi sebagai pelarian dari keadaan psikologis seperti keadaan self-esteem seseorang yang rendah. Selain itu, Verplanken et al. (dalam David et al., 2008) menyatakan bahwa self-esteem yang rendah cenderung menjadi sumber yang sangat kuat dari keadaan psikologis negatif yang terkait dengan impulse buying.

Selain faktor-faktor diatas yang mempengaruhi impulse buying, ternyata faktor demografis seperti usia dan jenis kelamin juga berpengaruh terhadap


(23)

bergerak di bidang pembelian impuls untuk alasan emosional dengan demikian mungkin remaja perempuan lebih cenderung tertarik ke sebuah obyek dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan dengan segera.

Rook dan Hoch (1985) menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam impulsif konsumen sebagian bisa mencerminkan fakta bahwa pria dan wanita biasanya berbelanja untuk berbagai jenis produk. Pada umumnya di dalam toko ritel konsumen dapat menemukan produk laki-laki, produk perempuan, dan produk anak-anak, baik kebutuhan pribadi konsumen maupun pakaian dan mainan yang telah disegmentasi oleh pembagian pada lantai belanja di toko ritel. Perbedaan usia dan jenis kelamin membuat pengaruh berbeda terhadap belanja impulsif.

Bellenger et al. (dalam Kaceen & lee, 2002) menemukan pembeli di bawah usia 35 lebih rentan terhadap impulse buying dibandingkan dengan mereka yang memiliki usia lebih dari 35 tahun. Sedangkan menurut Eysenck et al. (dalam Kaceen & lee, 2002) individu-individu yang lebih muda memiliki skor yang lebih tinggi pada tindakan impulsif dibandingkan dengan orang yang lebih tua dan menunjukkan kurang kontrol diri dari pada orang dewasa.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, penting untuk mengkaji lebih lanjut pengaruh subjective well-being, social influence, self-esteem

danfaktor demografis terhadap impulse buying. Judul skripsi ini adalah pengaruh

subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying


(24)

1.2Batasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Batasan masalah

Dalam batasan dan perumusan masalah penelitian ini hanya dibatasi mengenai pengaruh subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying. Selain itu subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsumen yang belanja pada pusat perbelanjaan seperti ritel dan peniliti memfokuskannya pada Alfamidi, Alfamart dan Indomart di Jl. Otista Raya Sasak Tinggi Ciputat. Adapun mengenai konsep-konsep variabel yang menjadi fokus penelitian dibatasi sebagai berikut:

1. Impulse buying dalam penelitian ini adalah sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh konflik fikiran dan dorongan emosional (Verplanken & Herabadi, 2001).

2. Subjektif well-being dalam penelitian ini adalah evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya, evaluasi ini mencakup reaksi emosional terhadap peristiwa serta pertimbangan kognitif mengenai kepuasan dan pemenuhan kehidupan (Diener et al., 2005)

3. Social influence dalam penelitian ini adalah kecenderungan seseorang untuk belajar tentang produk dan jasa dengan mengamati, mencari informasi agar sesuai dengan harapan orang lain (Bearden et al., 1992). 4. Self-Esteem dalam penelitian ini adalah mengukur sikap negatif dan positif


(25)

5. Adapun variabel demografis dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).

a. Aspek demografis usia diukur dari data identitas sampel yang diperoleh.

b. Aspek demografis jenis kelamin dari data identitas sampel yang diperoleh

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas mengenai Pengaruh subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis terhadap impulse buying, maka penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh subjective well-being terhadap impulse buying? 2. Apakah ada pengaruh social influence terhadap impulse buying? 3. Apakah ada pengaruh self-esteem terhadap impulse buying?

4. Apakah ada pengaruh faktor demografis (usia dan jenis kelamin) terhadap impulse buying?

1.3Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh subjektif well-being, sosial influence, self-esteem dan faktor demografis (jenis kelamin dan usia) terhadap impulse buying.


(26)

2. Untuk mengukur kontribusi pengaruh setiap Independent Variable (IV) terhadap Dependent Variabel (DV).

3. Untuk mengetahui kategori setiap Independent Variable (IV).

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan berbagai pihak baik konsumen yang melakukan pembelian maupun pihak lain yang terkait dalam penelitian ini yaitu:

1.3.2.1Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang faktor- faktor yang secara potensial dapat menyebabkan konsumen melakukan

impulse buying. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan dan memberikan manfaat berupa kerangka teoritis tentang perilaku

impulse buying yang dilakukan konsumen serta faktor-faktor penyebabnya dan nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

melakukan penelitian lebih lanjut variabel-variabel lain yang

mempengaruhi impulse buying. 1.3.2.2 Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan yang bermanfaat bagi para praktisi produk yang rentan terhadap impulse buying. Sehingga temuan dari penelitian ini dapat dijadikan masukan dan bahan pertimbangan bagi manager dalam menyusun strategi pemasaran yang tepat. Bagi konsumen agar dapat lebih cermat dalam memenuhi kebutuhan


(27)

dan keinginannya berbelanja sesuai dengan kemampuan ekonomi yang dimilikinya dan pertimbangan rasional lainnya.

1.4 Sistematika Penelitian

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB 1 : Pendahuluan

Bab ini menguraikan secara singkat isi dari penelitian yang meliputi Latar Belakang Penelitian, Pembatasan dan Perumusan masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Peneltian dan Sistematika Penelitian.

BAB 2 : Landasan Teori

Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan impulse buying, subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis, kerangka berfikir, dan pengajuan hipotesis.

BAB 3 : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, variabel penelitian dan definisi operasional variabel, instrumen pengumpulan data, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

BAB 4 : Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi dua bagian yaitu, analisis deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian.

BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran


(28)

12 BAB 2

LANDASAN TEORI

Bab ini mencakup tujuh subbab, yaitu pembahasan teoritis mengenai impulse buying sebagai Dependent Vaiabel (DV). Selanjutnya pembahasan teoritis mengenai subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis sebagai Independent Variabel (IV). Dan akan dibahas juga mengenai instrument serta analisis data yang digunakan untuk menemukan jawaban atas hipotesis penelitian

2.1 Impulse Buying

2.1.1 Pengertian impulse buying

Impulse buying merupakan pembelian yang tidak direncanakan, dimana karekteristiknya adalah pengambilan keputusan yang dilakukan dalam waktu relatif cepat, pada saat melihat barang dan mengingat barang yang persediannya hampir habis, karena adanya kebutuhan dan penawaran yang menarik.

Menurut Rook (1987) impulse buying adalah pembelian yang terjadi ketika seorang konsumen mengalami dorongan tiba-tiba, kuat dan dorongan yang tetap untuk membeli sesuatu dengan segera. Selain itu menurut Rook

(1987) impulse buying cenderung mengganggu perilaku konsumen, sedangkan

pembelian kontemplatif lebih mungkin untuk menjadi bagian dari rutinitas

seseorang, karena seseorang yang melakukan impulse buying lebih


(29)

sebagai sesuatu yang "buruk" dari pada yang "baik" sehingga konsumen lebih cenderung merasa lepas kendali saat pembelian impulsif dari pada ketika melakukan pembelian kontemplatif.

Sedangkan Piron (dalam Madhavaram & laverie, 2004) berbeda

pendapat dengan definisi Rook (1987), ia menyiratkan bahwa reaksi

emosional dan kognitif harus menyertai pembelian, karena reaksi pengalaman emosional dan kognitif konsumen tergantung pada faktor-faktor ekonomi, kepribadian, dan budaya atas nama konsumen sedangkan karakteristik dan harga atas nama produk.

Selain itu Beatty dan Ferrel (1998) memperluas definisi dari Rook (1987), ia menyatakan bahwa impulse buying adalah pembelian tiba-tiba dan langsung tanpa niat sebelum berbelanja baik untuk membeli kategori produk tertentu atau untuk memenuhi tugas membeli tertentu. Perilaku tersebut terjadi setelah mengalami dorongan untuk membeli dan cenderung spontan tanpa banyak refleksi dan tidak termasuk pembelian item sederhana, yang merupakan item yang hanya persediaan barang di rumah telah habis. Sedangkan Verplanken dan Herabadi (2001) sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh konflik fikiran dan dorongan emosional.

Menurut Dincer (2010) impulse buying dapat didefinisikan sebagai sejauh mana seorang individu mungkin membeli sesuatu yang tidak diinginkan, segera, dan unreflective. Konsumen dengan kecenderungan


(30)

impulse buying yang tinggi memiliki kecenderungan dorongan secara umum untuk membeli barang-barang dari semua kategori produk.

Berdasarkan penjelasan dari beberapa pendapat ahli di atas dapat

disimpulkan bahwa impulse buying adalah pembelian yang tidak di

rencanakan, disertai dorongan emosional yang kuat serta reaksi kognitif harus menyertai pembelian, pengambilan keputusan yang cepat dan berlangsung secara tiba-tiba serta, mengabaikan konsekuensi berbahaya yang berujung kepada penyesalan. Adapun teori yang digunakan untuk variabel impulse buying yang menjadi landasan penilitian yaitu teori yang digunakan oleh Verplanken dan Herabadi (2001) .

2.1.2 Jenis-jenis impulse buying

Beberapa ilmuwan menyatakan tentang beberapa jenis impulse buying, salah satunya menurut Loudon dan Bitta (1993) terdapat beberapa jenis impulse buying yaitu :

1. Pure impulse buying yaitu dorongan untuk membeli produk baru, mencari variasi baru, atau pembelian terhadap produk diluar kebiasaan pembelinya. 2. Reminder impulse buying yaitu dorongan saat melihat barang pada rak toko, display, atau mengingat iklan dan informasi lain tentang sebuah produk.

3. Sugestion impulse buying yaitu dorongan yang didasarkan pada toko dan ditunjang dengan pemberian saran, baik dari sales promotion, pramuniaga, maupun teman.


(31)

4. Planned impulse buying yaitu pembelian yang terjadi ketika kondisi penjualan tertentu diberikan. Dorongan berupa intensi membeli berdasarkan harga khusus, kupon, diskon lain sebagainya tanpa merencanakan produk yang akan dibeliya.

Dalam penelitian ini peneliti tidak membatasi jenis impulse buying yang dilakukan oleh partisipan karena tidak adanya wawancara langsung terhadap partisipan.

2.1.3 Karakteristik impulse buying

Rook (dalam Eangle et al., 1995) menggolongkan seseorang yang melakukan impulse buying dapat memiliki satu atau lebih karakteristik, ia menggolongkan kedalam empat karakteristik yaitu spontanitas, kekuatan, paksaan, dan intensitas, kegembiraan dan stimulasi serta mengabaikan konsekuensi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Spontanitas. Artinya bahwa pembelian dilakukan secara tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli saat itu juga, sering dalam menanggapi rangsangan visual langsung.

2. Kekuasaan, paksaan dan intensitas. Hal ini dapat menjadi motivasi untuk

menempatkan dan mengenyampingkan segalanya dan segera bertindak.

3. Kegembiraan dan stimulasi. Artinya dorongan seseorang yang mendadak

untuk membeli seringkali disertai oleh emosi yang ditandai sebagai hal yang "menggembirakan," "sangat gembira" atau "liar."


(32)

4. Mengabaikan konsekuensi. Artinya dorongan seseorang untuk membeli barang bisa begitu tak tertahankan dengan konsekuensi yang berpotensi negatif yang diabaikan.

2.1.4 Faktor yang mempengaruhi impulse buying

Menurut Dawson dan Kim (2009) faktor yang mempengaruhi impulse buying

dibagi ke dalam dua faktor yaitu faktor eksternal dan internal berikut penjelasannya:

1. Faktor eksternal

Menurut Youn dan Faber (dalam Dawson & Kim, 2009) faktor eksternal

impulse buying mengacu pada isyarat pemasaran atau rangsangan yang ditempatkan dan dikendalikan oleh pemasar dalam upaya untuk memikat konsumen dalam perilaku pembelian.

2. Faktor internal

Menurut Kacen dan lee (dalam Dawson & Kim, 2009) Faktor internal

impulse buying fokus langsung pada individu, faktor internal dan karakteristik individu yang membuat mereka terlibat dalam perilaku pembelian impuls. Faktor-faktor eksternal tersebut melibatkan ciri kepribadian konsumen yang menentukan tingkat impulse buying mereka, seperti kondisi emosional, componentnormative, dan faktor demografi. Stimulus internal diproses oleh konsumen melalui afektif atau kognitif yang menghasilkan perilaku impulsif atau non impulsif. Menurut Coley dan Burgess (dalam Dawson & Kim, 2009) Perasaan mungkin


(33)

mencakup dorongan tak tertahankan untuk membeli, emosi membeli yang positif, dan manajemen mood.

Sedangkan component normative menurut Rook dan Fisher (dalam

Dawson & Kim, 2009) sebagai penilaian konsumen tentang kesesuaian yang membuat pembelian impulsif dalam situasi pembelian tertentu. Konsumen terlibat dalam impulse buying hanya ketika mereka merasa sesuai dengan orang lain. Kecenderungan impuls konsumen digagalkan ketika mereka percaya impulse buying secara sosial tidak pantas.

Selain itu Stern (1986) menyebutkan bahwa terdapat sembilan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan impulse buying. Faktor-faktor tersebut yaitu low price, Marginal Need for Hem, Mass Distribution, Mass Distribution, Self-Service, Mass Advertising, Prominent Store Display, Short Product Life, Small Size or Light Weight, Ease of Storage.

Penjelasannya adalah sebagai berikut yaitu: 1. Low Price.

Dari beberapa faktor yang paling banyak mempengaruhi impulse buying

adalah harga, harga mungkin faktor yang paling langsung dapat dirasakan oleh pembeli. Harga juga mempengaruhi pembelian impulsif barang kenyamanan misalnya, jika pembeli berencana untuk membeli dua batang sabun dengan harga sekitar Rp. 3000 masing-masing tetapi menemukan sabun pada penjualan khusus tiga buah sabun Rp. 7500, mungkin pembeli


(34)

akan membeli 3 buah sabun dengan harga khusus tersebut, sehingga hal ini

memungkinkan pembeli untuk melakukan impulse buying.

2. Marginal Need for Item

Beberapa barang yang dapat membuat nyaman atau dapat menyenangkan konsumen. Banyak barang kenyamanan dalam kategori bukan kebutuhan, karena barang-barang ini bukan tujuan utama dari perjalanan belanja, dan kebutuhan mereka tidak mendesak, mereka cenderung menjadi pembelian yang tidak direncanakan dan lebih cenderung menjadi barang impuls. 3. Mass Distribution

Semakin banyak outlet di mana suatu barang dapat tersedia, semakin banyak peluang konsumen harus mencari dan membelinya. Karena ia tidak belanja khusus untuk suatu barang, tetapi harus dibuat tersedia baginya di banyak tempat di mana dia mungkin berbelanja.

4. Self-Service

Tentu saja pelayanan diri sendiri memungkinkan pembeli untuk membeli lebih cepat dan dengan kebebasan yang lebih besar dari pada pelayanan petugas. Karena lebih banyak barang yang tersedia untuk pembeli untuk melayani dirinya sendiri, terjadi peningkatan kesempatan untuk membeli impuls.

5. Mass Advertising

Sebagian besar impulse buying didasarkan pada pengetahuan konsumen tentang suatu barang. Pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman sebelumnya dengan barang atau melalui iklan.


(35)

6. Prominent Store Display

Display yang menonjol dari barang-barang tersebut diperlukan untuk meningkatkan kesempatan bagi konsumen melakukan impulse buying. Tampilan disini termasuk posisi peletakan rak, promosi dan kemasan yang menarik.

7. Short Product Life

Fakta bahwa pembeli cenderung membeli barang yang memiliki jangka waktu kadarluarsa lebih lama dibandingkan kadaluarsa yang lebih singkat sehingga pembeli sering mengurangi kebutuhannya untuk merencanakan hal tersebut.

8. Small Size or Light Weight

Berat atau ukuran adalah masalah yang berhubungan dengan barang yang mewajibkan pembeli untuk melakukan beberapa perencanaan khusus dan dengan demikian mengurangi impulse buying. Di sisi lain, kecil, ringan, barang yang mudah diangkut menjadi tidak masalah dan lebih memungkinkan pembeli untuk menjadi impulse buying.

9. Ease of Storage

Masalah di mana pembelanja harus menempatkan barangnya di dalam

rumah juga mempengaruhi impulse buying. Misalnya, pembelanja

terdorong untuk membeli banyak es krim tetapi, dia tidak memiliki ruang untuk menyimpan dalam freezer. Sebaliknya, barang-barang yang tidak ada masalah penyimpanan lebih mungkin menjadi barang impuls.


(36)

Jadi faktor yang mempengaruhi dalam penelitian ini adalah menurut Dawson

dan Kim (2009) dimana component normative dan faktor demografis

digunakan sebagai independent variabel (IV) dalam penelitian ini.

2.1.5 Perbedaan perilaku impulsif dan nonimpulsif

Perilaku impulse buying memiliki beberapa perbedaan dengan perilaku nonimpulsif. Menurut Rook dan Hock (1985), terdapat lima elemen penting yang membedakan perilaku konsumen impulsif dengan non impulsif yaitu:

1. Perilaku impulsif melibatkan keinginan tiba-tiba dan spontan untuk bertindak, mewakili perilaku sebelumnya yang sedang berlangsung, gagasan perubahan yang cepat dalam keadaan psikologis sesuai dengan representasi neurofisiologis, dimana dorongan digambarkan sesuai dengan gelombang perubahan aktif disepanjang serat saraf (Wolman dalam Rook, 1985). Dengan cara yang sama bahwa impuls saraf memicu beberapa respon biologi, impuls psikologis dapat dilihat sebagai agen stimulasi didorong oleh proses mental sadar dan bawah sadar.

2. Dorongan tiba-tiba untuk melakukan suatu kegiatan belanja yang

menempatkan konsumen dalam keadaan di sekuilibrium secara psikologis, dimana impulse buying dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan kendali untu sementara waktu.

3. Elemen yang ketiga dari impulse buying yaitu konflik psikologis dan perjuangan yang mungkin terjadi (Thaler & Sherin, dalam Rook, 1985). Freud (dalam Rook, 1985) melihat impuls seperti pertarungan antara dua


(37)

kekuatan yang bersaing, kesenangan dan prinsip realitas (id dan superego). Konsumen ditarik didalam dua arah, dan harus mempertimbangkan manfaat dari kepuasan untuk segera melawan apapun konsekuensi jangka panjang yang mungkin diakibatkan.

4. Elemen yang keempat aspek-aspek yang membedakan pembelian impulsif adalah evaluasi kognitif mereka dari atribut produk. Sebagian besar perilaku yang dimunculkan ketika impulse buying ialah otomatis, aktifasi efektif tinggi, dan kontrol yang rendah saat keputusan membeli.

5. Akhirnya seseorang sering mengkonsumsi secara impulsif tanpa

mempertimbangkan konsekuensinya. Indivdu hanya sedikit memikirkan konsekuensi dari perilakunya saat ini.

2.1.4Pengukuran impulse buying

Seseorang memiliki tingkat impulse buying yang berbeda-beda, untuk mengetahui tingkat impulse buying pada seseorang dapat menggunakan skala

impulse buying yang digunakan oleh skala Asugman dan Cote (1993). Sebelumnya Asugman dan Cote mengadaptasi skala afektif dari Larsen dan Diener yaitu Affect Intensity Measure Questionaire (AIMQ) (1993), skala kognisi dari Cacioppo, Petty dan Kao masing-masing dengan jumlah 18 item. Dari dua skala tersebut didapat 17 item yang sesuai untuk diklasifikasikan kedalam karakteristik dekriptif reactive buying (9 item) dan reminder buying

(8 item). Asugman dan Cote merevisi semua skala tersebut setelah mengujinya dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Dari hasil uji CFA


(38)

terdapat delapan item yang valid, lima item mengukur reactive buying dan tiga item mengukur reminder buying.

Selain itu Verplanken dan Herabadi (2001) mengukur impulse buying

dengan menggunakan impulse buying tendency scale (IBTS). IBTS terdiri dari 20 item yang mengukur dua apsek kognitif dan afektif. Aspek kognitif melihat mengenai kurangnya perencanaan dan kehati-hatian, sedangkan pada aspek afektifnya mengukur perasaan menyenangkan, kegairahan, tekanan, kontrol yang rendah dan rasa penyesalan.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan oleh Verplanken dan Herabadi (2001), karena peneliti tidak membatasi jenis

impulse buying yang dilakukan partisipan dan hanya melihat secara kognitif dan afektifnya saja.

2.2Subjective Well-Being

2.2.1 Pengertian subjective well-being

Dalam hidup ini, kebahagiaan merupakan tujuan dari kehidupan. Kebahagiaan dapat merujuk ke banyak arti seperti rasa senang (pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna, atau bisa juga merasakan kebermaknaan (contentment). Beberapa peneliti menulis kebahagiaan sebagai sinonim dari

subjective well-being .

Menurut Diener et.al. (2005) subjective well-being adalah evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya, yang mana evaluasi ini termasuk reaksi emosional terhadap peristiwa serta penilaian kognitif terhadap


(39)

kepuasan dan pemenuhan kehidupan. Dengan demikian, subjective well-being

merupakan suatu konsep umum yang mencakup mengalami emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat suasana hati negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi. Pengalaman positif yang terkandung dalam kesejahteraan subjektif yang tinggi adalah konsep inti dari psikologi positif karena mereka membuat hidup mereka berharga.

Meskipun subjectif well-being telah banyak dipelajari dalam psikologi, terdapat riset pemasaran yang relatif kecil pada subjectif well-being. Menurut Oropesa (dalam David et.al., 2008) penelitian yang berfokus pada bagaimana perolehan barang material berhubungan dengan kepuasan kehidupan. Selain itu Penelitian sebelumnya yang dilakukan Deneve dan Cooper (dalam David et.al., 2008) menunjukkan bahwa kepuasan hidup secara langsung berkaitan dengan pengaruh positif dan berbanding terbalik dengan pengaruh negatif. Pengaruh negatif terkait dengan neurotisisme dan pengaruh positif terkait

dengan extraversion, keramahan, kesadaran dan keterbukaan terhadap

pengalaman.

Adapun teori yang digunakan untuk variabel subjectif well-being yang menjadi landasan penilitian yaitu teori yang digunakan oleh Diener et.al., (2005) menyatakan bahwa subjectif well-being adalah evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya, yang mana evaluasi ini termasuk reaksi emosional terhadap peristiwa serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kehidupan.


(40)

2.2.2 Aspek subjective well-being

Subjective well-being mencangkup beberapa aspek. Beberapa ilmuwan menyatakan tentang aspek-aspek subjective well-being. Menurut Diener aspek tersebut dibagi menjadi dua yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif mencangkup evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global dan evaluasi terhadap kepuasan domain tertentu. Sedangkan aspek afektif mencangkup evaluasi terhadap keberadaan afek positif dan evaluasi terhadap keberadaan afek negatif. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Aspek kognitif dari subjective well-being adalah evaluasi terhadap kepuasan hidup individu. Evaluasi tersebut dapat dikategorikan menjadi evaluasi umum (global) dan evaluasi khusus (domain tertentu). Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai kedua penilaian tersebut.

a. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global, yaitu evaluasi individu terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Penilaian umum ini merupakan penilaian individu yang bersifat reflektif terhadap kepuasan hidupnya (Diener et.al., 2005).

b. Evaluasi terhadap kepuasan domain tertentu, yaitu penilaian yang dibuat individu dalam mengevaluasi domain atau aspek tertentu dalam kehidupannya, seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial, kehidupan dengan pasangan dan kehidupan dengan keluarga (Diener et.al., 2005).

2. Aspek afektif dari subjective well-being merefleksikan pengalaman dasar yang terjadi dalam hidup seseorang. Dimana aspek tersebut dikategorikan


(41)

menjadi evaluasi terhadap keberadaan afek-afek positif dan evaluasi terhadap afek-afek negatif.

a. Evaluasi terhadap keberadaan afek positif. Afek-afek positif dianggap

bagian dari subjective well-being karena afek-afek tersebut

merefleksikan reaksi individu terhadap sejumlah peristiwa dalam hidup yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan Diener et.al. (2005).

b. Evaluasi terhadap keberadaan afek negatif. Afek negatif

merepresentasikan mood dan emosi yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami individu sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang mereka alami (Diener et.al., 2005).

2.2.3 Karakteristik subjective well-being

Subjective well-being memiliki beberapa karakteristik. Menurut Diener (dalam Diener, Suh & Oishi, 1997) terdapat tiga karakteristik dasar subjective well-being. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Subjective well-being mencangkup faktor-faktor yang membedakan seseorang yang cukup bahagia dan sangat bahagia, kepuasan hidup dan kepuasan spesifik. Selain itu subjective well-being juga mencakup keadaan yang tidak diinginkan seperti depresi atau anxiety. Individu yang memiliki

subjective well-being yang tinggi dalam satu faktor, dapat memiliki


(42)

mengukur keseluruhan subjective well-being perlu dilakukan pengkuran mental lainnya.

2. Subjective well-being merupakan pengalaman pribadi individu, bukan sudut pandang para ahli dan peneliti.

3. Subjective well-being merupakan fokus jangka panjang dan bukan merupakan emosi sesaat.

2.2.4 Pengukuran subjective well-being

Salah satu alat ukur untuk mengukur subjective well-being adalah

Satisfaction with life scale (SWLS) yang dikembangkan oleh Diener et.al (1985). Skala SWLS ini berisi lima item dengan mengukur penilaian kognitif seseorang terhadap kepuasan kehidupannya. Selain itu untuk mengukur

subjective well-being dapat juga menggunakan Flourishing Scale (FS). Skala tersebut dikembangkan oleh Diener et.al (dalam Diener et al., 2010) yang terdiri dari delapan item yang dirancang untuk mengukur social-psychological prosperity, untuk melengkapi keberadaan pada pegukuran subjective well-being.

Untuk mengukur komponen afektif seseorang terdapat beberapa jenis skala yang dapat digunakan, salah satunya yaitu Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) dari Watson, Clark dan Tellegen (1988). PANAS scale mengukur tingkat afek positif dan afek negatif individu yang terdiri dari 20 item. Selain itu terdapat Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) untuk mengukur perasaan positif dan negatif terlepas dari asal mereka, tingkat


(43)

gairah, atau sifat dalam budaya barat di mana sebagian skala telah diciptakan yang terdiri dari 12 item (Diener et al., 2010).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala SWLS dari Diener et.al (1985) dan PANAS dari Watson, Clark dan Tellegen (1988). Alasan peneliti menggunakan skala tersebut karena ingin melihat kepuasan hidup seseorang secara kognitif dan afektif seseorang.

2.3Social Influence

2.3.1Pengertian social influence

Social influence adalah perubahan sikap, keyakinan, dan opini individu setelah berinteraksi dengan individu atau kelompok lain. Menurut Coleman et.al. (dalam Zagenczyk, 2006) social influence adalah seseorang yang menjaga hubungan satu sama lain akan memiliki kesamaan interpersonal yang lebih besar mengenai persepsi atau sikap. Selain itu menurut Bearden (dalam Bearden et.al., 1992) social influence adalah kecenderungan seseorang untuk belajar tentang produk dan jasa dengan mengamati, mencari informasi agar sesuai dengan harapan orang lain.

Menurut McGuire (Hoffman & Broekhuizen) social influence adalah sifat umum yang bervariasi pada seseorang dan pengaruh kemampuan relatif seseorang dalam satu situasi cenderung memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kemampuan mempengaruhi seseorang dalam berbagai situasi sosial lainnya. Adapun teori yang digunakan untuk variabel social influence yang menjadi landasan penilitian yaitu teori yang digunakan oleh Bearden et.al. (1992).


(44)

2.3.2Aspek social influence

Beberapa ilmuwan menyatakan tentang beberapa aspek social influence. Menurut Bearden et.al. (1992) terdapat dua aspek social influence yaitu

component normative dan component informational penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Component normative

Menurut Bearden et.al (dalam Bearden et.al., 1992) component normative dianggap sebagai nilai ekspresif atau utilitarian. Nilai ekspresi mencerminkan keinginan untuk meningkatkan citra seseorang di mata orang lain yang relevan dan beroperasi melalui proses identifikasi. Pengaruh utilitarian menurut Burnkrant et.al (dalam Bearden et.al., 1992) adalah mencerminkan upaya individu untuk memenuhi harapan referen untuk mencapai rewads atau menghindari sanksi dari rujukan tersebut dan beroperasi melalui prosess kepatuhan. Dengan demikian, individu-individu yang tinggi component normativenya cenderung untuk membeli produk dimana mereka merasa orang lain akan menyetujui atau melihat positif.

Sedangkan menurut Kropp et.al. (2005) component normative adalah seorang individu perlu menggunakan produk atau merek untuk mengidentifikasi citra mereka di mata orang lain (nilai ekspresif) dan kemauan individu untuk menyesuaikan diri dengan harapan orang lain dalam membuat keputusan pembelian (utilitarian).

Sedangkan menurut Cialdini dan Goldstein (dalam Hoffman & Broekhuizen) component normative adalah kerentanan terhadap pengaruh


(45)

yang didorong oleh keinginan untuk mencapai rasa memiliki, untuk mengidentifikasi dengan orang lain atau untuk mendapatkan persetujuan sosial.

2. Component informational

Menurut Deutsch et.al (dalam Bearden et.al., 1992) component informational dipandang sebagai kecenderungan untuk menerima informasi sebagai bukti realitas dengan mengamati orang lain atau aktif mencari informasi dari orang lain yang memiliki pengetahuan. Component informational tercermin dalam keinginan untuk memperoleh informasi yang obyektif tentang produk dan merek.

Selain itu menurut Kropp et.al. (2005) komponen informasi mengukur kecenderungan individu untuk mendapatkan informasi tentang produk atau jasa dengan mengamati atau langsung mencari informasi dari orang lain. Sedangkan menurut Bearden et al. (dalam Hoffmann & Broekhuizen)

component informatinal adalah kerentanan terhadap pengaruh informasi antar seseorang yang mencerminkan kecenderungan individu untuk menerima informasi dari orang lain sebagai bukti kredibel tentang realitas. Selain menurut Park dan Lessig (dalam Hoffman & Broekhuizen) pengaruh informasi dapat diperoleh dengan meminta informasi dari orang lain atau dengan mengamati orang lain

Menurut Cialdini dan Goldstein (dalam Hoffman & Broekhuizen)


(46)

jika informasi dari orang lain meningkatkan pengetahuan individu tentang beberapa aspek lingkungan. Pengaruh informasi didorong oleh keinginan untuk membentuk interpretasi yang akurat tentang realitas dalam rangka untuk membuat keputusan yang lebih dan berperilaku dengan cara yang benar.

2.3.3 Macam-macam social influence

Beberapa ilmuwan menyatakan tentang macam-macam social influence salah satunya yaitu menurut Kelman (1958) terdapat tiga proses social influence

yang dapat dibedakan yaitu:

1. Compliance yaitu induvidu menerima pengaruh karena ia berharap untuk mencapai reaksi baik dari seseorang atau kelompok lain.

2. Identification yaitu ketika seorang individu menerima pengaruh karena dia ingin membangun atau mempertahankan hubungan untuk memuaskan seseorang atau kelompok lain.

3. Internalization yaitu ketika seorang individu menerima pengaruh karena terdorong perilaku yang berisi ide-ide dan tindakan yang bermanfaat.

2.3.4 Pengukuran social influence

Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap keputusan yang diambil oleh seseorang termasuk dalam melakukan pembelian suatu barang. Oleh sebab itu faktor penting dari perilaku individu dipengaruhi oleh orang lain.

Pengukuran social influence dalam penelitian ini menggunakan skala


(47)

(1989) dimana skala ini mengukur seberapa besar seseorang akan terpengaruh terhadap lingkungan sosialnya.

Skala Consumers Susceptibility to Interpersonal Influence (CSII) terdiri dari 12 item yang mengukur dua subskala. Subskala pertama melihat pengaruh komponen informational yang mencakup tiga item untuk mengukur sejauh mana individu mencari informasi yang berkaitan dengan pembelian dari lingkungan sosialnya. Sedangkan subskala kedua melihat pengaruh komponen normatif yang mencakup sembilan item mengukur sejauh mana konsumen mendapatkan persetujuan atau penegasan dari lingkungan sosial mereka.

2.4 Self-Esteem

2.4.1 Pengertian self-esteem

Self-esteem adalah sikap, yaitu evaluasi individu dari konsep diri. Self-esteem menurut Tafarodi dan Swann (1995) harus mengukur sikap negatif dan positif secara keseluruhan terhadap dirinya. Sedangkan menurut Rosenberg (dalam Guindon,2009) self-esteem adalah sikap terhadap objek tertentu setiap karakteristik diri dievaluasi dan menghasilkan perkiraan karakteristik tersebut dan setiap elemen diri dievaluasi sesuai dengan nilai yang telah berkembang selama masa kanak-kanak dan remaja.

Selain itu menurut Minchington (1993) self-esteem adalah nilai yang kita tempatkan pada diri kita sendiri. Nilai tersebut adalah penilaian kita sebagai manusia, berdasarkan persetujuan atau ketidaksetujuan dari diri kita sendiri dan perilaku kita. Self-esteem juga bisa menggambarkan sebagai hal untuk menahan diri, atau perasaan tentang diri sendiri berdasarkan pada siapa dan apa


(48)

yang kita percaya. Meskipun kita berpikir apakah kita sebagai seseorang yang baik.

Self-esteem menurut Minchington (1993) bukanlah kualitas tunggal atau aspek dalam arti yang lebih luas, tetapi self-esteem adalah kombinasi dari sifat-sifat dan sikap yang berhubungan dan merupakan pusat dasar di mana kita membangun kehidupan kita dan karena kita tidak hidup terisolasi dengan lingkungan, cara kita merasa tentang diri kita dapat mempengaruhi bagaimana kita berhubungan dengan orang-orang di sekitar kita dan setiap aspek kehidupan lainnya. Adapun teori yang digunakan untuk variabel self-esteem

yang menjadi landasan penelitian yaitu teori yang digunakan oleh Tafarodi and Swann (1995).

2.4.2 Aspek self-esteem

Beberapa ilmuwan menyatakan tentang aspek-aspek self-esteem, salah satunya yaitu menurut Tafarodi dan Swann (1995) membagi self esteem menjadi dua aspek atau dua dimensi yaitu self-liking dan self-competence penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Self-liking adalah penilaian afektif kita tentang diri kita, persetujuan atau ketidaksetujuan dari diri kita, sejalan dengan nilai-nilai sosial diinternalisasi, keinginan diri yang tinggi ditandai dengan positif mempengaruhi, penerimaan diri, dan kenyamanan dalam pengaturan sosial Rogers (dalam Tafarodi & Swann, 1995).

2. Self-competence adalah rasa keseluruhan dalam diri yang mampu, efektif dan terkendali. Jika seseorang memiliki self-competence yang tinggi maka


(49)

ia akan memiliki afektif dan evaluatif karakteristik yang positif (Tafarodi & Swann, 1995).

Sedangkan menurut Michington (1993) self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal saja, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan perilaku kemudian ia membagi aspek self-esteem menjadi tiga aspek yaitu: 1. Perasaan mengenai diri sendiri

a. Menerima diri sendiri

Individu dapat menerima dirinya secara penuh, merasa nyaman dengan keadaan dirinya dan memandang baik tentang dirinya apapun kondisinya. Oleh karena itu, apapun yang terjadi individu mampu menilai dirinya memiliki keunikan tersendiri, menghargai setiap potensi yang dimiliki tanpa pernah mengeluh.

b. Memaafkan diri sendiri

Memaafkan diri sendiri atas ketidaksempurnaan dan kesalahan yang dibuatnya. Jika seseorang tidak menyukai dirinya sendiri, membiarkan orang lain merendahkannya, kerap mencela dirinya sendiri, serta merendahkan diri maka ia akan merasakan kepedihan dan penderitaan mental. Dua hal ini pada puncaknya akan termanifestasikan dalam harga diri yang rendah

c. Menghargai diri sendiri.

Dengan menghargai dirinya sendiri, perasaannya tentang kompetensi lebih tinggi dan tidak bergantung pada kondisi eksternal. Dimana perasaannya akan gembira saat dipuji orang lain. Seseorang dengan


(50)

self-esteem rendah berusaha membuktikan dirinya dan ingin mengesankan orang lain. Apabila melakukan kesalahan dan orang lain mencacinya, maka ia pun akan menghukum dirinya sendiri. Dengan demikian orang dengan self-esteem rendah tidak akan berani mencoba, karena tidak berani mengambil resiko.

d. Mengendalikan emosi diri

Seseorang dengan harga diri yang tinggi memegang kendali atas

emosinya sendiri. Sebaliknya, keadaan yang buruk dapat

mempengaruhi perasaan seseorang dengan self-esteem yang rendah. 2. Perasaan terhadap hidup

a. Menerima realita (kenyataan)

Perasaan terhadap realitas berarti menerima tanggung jawab atas setiap bagian hidup yang dijalaninya. Maksudnya, seseorang dengan self-esteem tinggi akan lapang dada dan tidak menyalahkan orang lain atas segala masalah yang dihadapinya. Ia sadar bahwa semuanya itu terjadi berkaitan dengan pilihan dan keputusannya sendiri, bukan karena faktor eksternal.

b. Harapan yang realitas

seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi akan membangun harapan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perasaan seseorang terhadap hidup juga menentukan apakah ia akan menganggap sebuah masalah adalah rintangan hebat atau kesempatan bagus untuk mengembangkan diri.


(51)

c. Memegang kendali atas diri sendiri

Seseorang dengan self-estem tinggi tidak akan berusaha untuk mengendalikan orang lain, sebaliknya ia akan dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.

3. Hubungan dengan orang lain

a. Menghargai orang lain

Seseorang dengan toleransi dan penghargaan yang sama terhadap semua orang berarti memiliki self-esteem yang baik. Ia percaya bahwa setiap orang termasuk dirinya, mempunyai hak yang sama dan patut dihormati.

b. Bijaksana dalam melakukan hubungan

Seseorang dengan self-esteem yang tinggi mampu memandang

hubungannya dengan orang lain secara lebih bijaksana. c. Bersikap asertif

Secara alami seseorang dengan self-esteem yang tinggi akan menjadi seseorang yang asertif. Ia menghormati kebutuhan dirinya serta mengakui kebutuhan orang lain. Ia tahu apa yang ia inginkan dan tidak takut mewujudkannya.

2.4.3 Karakteristik individu berdasarkan tingkatan self-esteem

Michington (1993) menjelaskan beberapa karakteristik individu ditinjau dari tinggi rendahnya atau positif negatifnya self-esteem. Oleh karena itu setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda-beda sebagai individu maka penjelasan lebih lanjut akan dijelaskan sebagi berikut :


(52)

1.Karakteristik individu dengan self-esteem tinggi

a. Seseorang dapat menerima dirinya tanpa syarat, seperti ia menghargai nilai dirinya sebagai manusia.

b. Seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi memliki suatu keyakinan bahwa ia memiliki rasa bertanggung jawab dan merasa mampu mengontrol setiap bagian kehidupannya.

c. Tingginya self-esteem dapat terlihat dari bagaimana cara seseorang dalam bentuk rasa penghormatan, toleransi, kerja sama dan saling memiliki antara satu dengan yang lain.

2.Karakteristik individu dengan self-esteem yang rendah:

a. Seseorang dengan self-esteem yang rendah meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan instrinsik yang kecil, merasa bahwa keberhasilan yang diperolehnya merupakan sebuah prestasinya.

b. Seseorang dengan self-esteem yang rendah merasa bahwa kehidupan ini sering berada diluar kontrol atau kendali dirinya.

c. Seseorang dengan self-esteem yang rendah kita kurang menghormati dasar bagi orang lain, tidak toleran terhadap orang-orang dan percaya bahwa mereka harus hidup dengan cara yang kita inginkan.

2.4.4 Pengukuran self-esteem

Beberapa ilmuan mengemukakan beberapa pengukuran mengenai self-esteem. Diantaranya yaitu Rosenberg Self-Esteem (RSE) (1965), skala ini terdiri dari sepuluh item dan skala ini cukup sensitif terhadap manipulasi eksperimenal. Selain itu self-esteem inventory yang dikembangkan oleh


(53)

Michinton (1993) terdiri dari 25 item yang mengukur perasaan terhadap diri sendiri, perasaan terhadap orang lain dan perasaan terhadap kehidupan.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala yang diperkenalkan oleh Tafarodi and Swann (2001) yaitu Self-Lliking and Competence Scale-Revised (SLCS-R). SLCS-R berisi dua sub-skala, yang masing-masing diukur dengan delapan item. Self-liking subskala merupakan senilai sosial (misalnya "saya merasa hebat tentang siapa saya"), dan self-competence merupakan subskala perasaan keberhasilan dan kontrol (misalnya "Saya hampir selalu mampu untuk mencapai apa yang saya coba" ). Tanggapan pada semua item diberikan dengan menggunakan skala likert.

2.5 Faktor Demografis 2.5.1 Usia

Usia merupakan suatu tahapan perkembangan individu, yang tumbuh dan berkembang secara potensial. Variabel demografis ini atau usia dapat membedakan variasi tingkat impulse buying pada setiap jenjang hidup manusia. Menurut Rawlings (dalam Činjarević, 2010) bahwa seseorang yang memliki usia muda memiliki impulsif yang lebih dibandingkan dengan orang tua. Selain itu, konsumen yang lebih muda lebih cenderung mengalami dorongan untuk membeli hal-hal secara spontan ketika terkena benda-benda yang relevan dan untuk bertindak berdasarkan dorongan. Sedangkan konsumen orang tua dapat menunjukkan kemampuan lebih baik untuk mengendalikan impuls pembelian mereka.


(54)

Menurut Schiffman dan Kanuk (dalam Antasari & sahrah) menunjukkan bahwa remaja putri pada usia 16-21 tahun tergolong konsumen yang konsumtif, karena dalam pembelian suatu produk hanya ditujukan untuk prestise dan harga diri, bukan berdasarkan pada kebutuhan yang sebenarnya. Selain itu menurut Antasari dan sahrah alasan seorang remaja melakukan

impulse buying biasanya tertarik dengan kemasan, warna atau banyak teman-temannya juga memiliki.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Widawati (2011) usia di atas 42 tahun, lebih banyak yang menunjukkan perilaku impluse buying yang tinggi dibanding sampel yang berusiadi bawah 42 tahun. Kondisi ini menjadi menarik, mengingat bila merujuk pada tahap perkembangan manusia, pada masa usia di atas 42 tahun, adalah masa dewasa madya. Pada masa ini, manusia memiliki kebutuhan untuk menampilkan eksistensi diri melalui kemapanan dari sisi status sosial. Dengan status sosial dan ekonomi yang mapan, memberi peluang bagi konsumen untuk dengan mudah menentukan perilaku pembelian. Kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan sisi pengakuan atau penghargaan sosial menjadi hal yang signifikan penting untuk dipenuhi, dan hal tersebut memberi peluang untuk melakukan pembelian-pembelian secara spontan.

2.5.2 Jenis Kelamin

Menurut Underhill (dalam Coley, 2002) wanita pada umumnya lebih sabar dan ingin tahu dari pada pria mengenai keputusan pembelian dan mereka bangga dengan kemampuan mereka untuk memilih item yang sempurna.


(55)

Perempuan memiliki tuntutan yang lebih tinggi dari lingkungan belanja dari pada laki-laki. Secara umum, pria bergerak lebih cepat dari pada wanita melalui lorong toko, menghabiskan lebih sedikit waktu melihat- lihat barang, biasanya tidak suka untuk bertanya mengenai suatu hal atau pertanyaan lain, dan dalam banyak pengaturan cenderung tidak melihat sesuatu yang mereka tidak bermaksud untuk membelinya.

Widawati (2011) menemukan bahwa sejalan dengan sifat wanita yang menyenangi belanja, maka dibanding konsumen laki-laki, wanita tetap memiliki kecenderungan impulse buying tinggi yang lebih banyak dibanding konsumen laki-laki. Sisi emosi yang cenderung mendominasi perasaan dan pikiran wanita menjadi sumber mengapa mereka menjadi mudah tergugah oleh stimulasi dari lingkungan yang ditawarkan, sekalipun mereka menyadari bahwa barang-barang tersebut belum tentu dibutuhkan.

2.6Kerangka Berfikir

Kehidupan konsumtif semakin menjadi gaya hidup masyarakat, hal ini tampak dari semakin banyaknya pusat perbelanjaan yang melayani penyediaan barang-barang kebutuhan konsumen dalam berbagai kebutuhan. Banyak alasan yang menyebabkan konsumen melakukan kegiatan konsumtif, semua alasan dapat digolongkan dalam keinginan untuk memenuhi kebutuhan (needs)

bahkan keinginan (wants). Aktifitas pemenuhan kebutuhan konsumtif

dilakukan dengan istilah belanja. Berbelanja yang dilakukan konsumen pada dasarnya tidak hanya dilakukan untuk pembelian yang direncanakan tetapi termasuk juga untuk pembelian barang-barang yang tidak direncanakan.


(56)

Impulse buying atau pembelian dengan dorongan tanpa perencanaan sebelumnya mungkin saja terjadi dengan adanya stimuli-stimuli yang diberikan oleh perusahaan untuk mempengaruhi emosi konsumen. Impulse buying biasanya ditandai dengan pembelian yang dilakukan secara spontan, tidak direncanakan sebelumnya, dan keinginan membeli sesegera mungkin oleh konsumen. Selain itu impulse buying juga terjadi karena adanya pengaruh dalam diri orang tersebut, seperti menurut Chang dan Lucas (dalam David et. al, 2008) salah satunya adalah subjective well-being berhubungan positif dengan optimisme dan self-esteem. Sebagian orang mungkin akan merasa kepuasan dalam hidupnya dengan melakukan impulse buying karena ia juga merasa akan terangkat harga dirinya. Selain itu seseorang melakukan impulse buying karena adanya pengaruh dari lingkungan sekitar atau pengaruh dari orang lain.

Selanjutnya dalam penelitian ini variabel demografis seperti usia dan jenis kelamin juga dilihat pengaruhnya terhadap impulse buying. Untuk demografis usia dapat berpengaruh terhadap pembelian impuls. Menurut Rawlings (dalam

Činjarević, 2010) bahwa seseorang yang memliki usia muda memiliki impulsif

yang lebih dibandingkan dengan orang tua jadi konsumen dengan usia muda dianggap sangat berpengaruh terhadap pembelian impuls. Selain usia jenis kelamin juga mempengaruhi impulse buying. Dittmar et al. (dalam Kaceen & Lee, 2002) berhipotesis bahwa pembelian impulsif lebih mungkin untuk menjadi item yang melambangkan hal yang disukai atau ideal, dengan demikian seharusnya dipengaruhi oleh kategori sosial seperti gender. Ia


(57)

berpendapat bahwa perempuan menghargai harta mereka karena alasan emosional dan berorientasi pada hubungan, sedangkan laki-laki menghargai harta mereka untuk alasan fungsional dan instrumental.

Skema Kerangka Berfikir

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian

2.7 Hipotesis Penelitian

Bserdasarkan kerangka berfikir yang sudah dijelaskan diatas, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:


(58)

Hipotesis Mayor

Terdapat pengaruh signifikan dari variabel subjective well-being, social influence, self-esteem, dan faktor demografis terhadap impulse buying?

Hipotesis Minor

H1 : Apakah ada pengaruh kognitifterhadap impulse buying? H2 : Apakah ada pengaruh affect terhadap impulse buying?

H3 : Apakah ada pengaruh informational component terhadap impulse

buying?

H4 : Apakah ada pengaruh normative component terhadap impulse

buying?

H5 : Apakah ada pengaruh self-liking terhadap impulse buying? H6 : Apakah ada pengaruh self-competence terhadap impulse buying? H7 : Apakah ada pengaruh jenis kelaminterhadap impulse buying? H8 : Apakah ada pengaruh usiaterhadap impulse buying?


(59)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian dan definisi operasional, instrumen penelitian, teknik analisa data, dan uji hipotesis.

3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 3.1.1 Populasi dan sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah individu yang belanja di sebuah ritel, khususnya pada Alfamidi, Alfamart dan Indomart di Jl.Otista Sasak Tinggi Ciputat. Peniliti mengambil sampel pada tanggal 16-18 Oktober 2014, banyaknya sampel yang diambil adalah 210 orang. Peneliti memilih orang-orang yang belanja di ritel khususnya pada Alfamidi, Alfamart dan Indomart di Jl. Otista Sasak Tinggi Ciputat sebagai sampel penelitian karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian yaitu karena banyakya barang yang ditawarkan pada sebuah ritel yang memungkinkan terjadinya impulse buying. Adapun kriteria populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Berusia >16 tahun

2. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. 3.1.2 Teknik pengambilan sample

Metode dalam penelitan ini adalah nonprobability sampling yaitu dengan menggunakan teknik accidental sampling. Peneliti mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan atau ritel didaerah Ciputat dan membagikan kuesioner pada


(1)

83

melakukan pembelian, kenyamanan tersebut tidak hanya datang dari dalam dirinya saja tetapi bisa juga kenyamanan dari lingkungan dimana orang tersebut melakukan pembelian.Suasana toko yang tidak nyaman dapatmenyebabkan seseoranguntuk lebih banyak melakukan pembelian.Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmasari (2010) bahwa element-element yang ada dalam store environtment, dapat memicu atau menggerakkan pelanggan untuk membeli lebih banyak barang di luar rencana mereka.Oleh sebab itu hal diatas merupakan keterbatasan dalam penelitian ini, ketidaknyamanan suatu tempat pembelanjaan dan kurangnya kontrol dalam berbelanja dapat memicu timbulnya impulse buying.

Kemudian faktor demografis yang tidak signifikan yaitu usia. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan olehČinjarević (2010) bahwafaktor demografijenis kelamin, usia dan status perkawinan, menghasilkanperbedaan yang signifikan dalamkecenderunganmembeli impuls.Hasil tes Bonferroni menunjukkanperbedaan yang signifikanstatistik dalamkecenderunganmembeli impulsdi antarakonsumendengan usia 18dan2, dankonsumendarisemua kelompokusia lainnya, di manakonsumen inimenunjukkankecenderungan yang lebih tinggiterhadapimpulse buyingdibandingkan dengankelompokusia lainnya. Temuan inimirip dengantemuanWood(dalam Činjarević, 2010), yang menemukan hubungan terbalik antaraperilaku pembelianimpulsifdantingkat usia.


(2)

84

Hal yang patut dicatat berdasarkan adanya keunikan dari hasil penelitian, yaitu tidak signifikannya variabel subjective well-being, self-esteem dan faktor demografis (usia). Hal ini terjadi dikarenakan adanya beberapa keterbatasan atau kelemahan dalam penelitian. Antara lain partisipan yang kurang serius saat mengisi skala sehingga respon menjadi tidak terpola, atau kondisi serta situasi pada saat partisipan mengisi skala yang tidak kondusif menyebabkan partisipan menjadi tidak konsentrasi dalam memberikan responnya, atau dapat juga dikarenakan oleh banyaknya item dan tidak semua item mencakup konsep yang bisa dimengerti secara jelas oleh partisipan.

Pada penelitian ini ternyata pengaruh keseluruhan IV (subjective well-being, social influence, self-esteem dan faktor demografis) terhadap DV (impulse buying ) hanya 11.8%. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak variabel lain di luar penelitian ini yang ikut mempengaruhi impulse buying. Hal demikian bisa terjadi karena dalam penelitian ini hanya diteliti empat IV saja, sehingga variabel lain yang mungkin ikut berpengaruh tidak ikut diteliti.

5.3 Saran

Pada bagian ini, saran dibagi menjadi dua, yaitu saran metodologis dan saran praktis.Penulis memberikan saran secara metodologis sebagai bahan pertimbangan untuk perkembangan penelitian selanjutnya.Selain itu, peneliti


(3)

85

juga menguraikan saran secara praktis sebagai bahan kesimpulan dan masukan bagi pembaca sehingga dapat mengambil manfaat dari penelitian ini.

5.3.1 Saran Metodologis

1. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan hanya konsumen ritel di Jl.Otista Raya Ciputat. Oleh karena itu pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan sampel dari cabang ritel yang lebih luas. 2. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih beragam, variabel lain

yang tidak terdapat dalam peelitian ini, seperti lingkungan fisik, atmosfir suatu toko dan factor demografis lainnyauntuk mengetahui pengaruhnya terhadap impulse buying. Hal ini karena lingkungan fisik suatu toko dapat menentuskan kesenangan konsumen untuk berbelanja.

5.3.2 Saran Praktis

1. Bagi akademisi, sebaiknya diadakan seminar mengenai impulse buying dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari, sehingga terhindar dari impulse buying.

2. Pada penelitian ini ditemukan bahwa dimensi dari social influence signifikan mempengaruhi impulse buying. Maka disarankan seseorang yang melakukan pembelian dapat mengendalikan dirinya agar tidak mudah terpengaruh oleh lingkugan sosialnya seperti iklan, promosi atau diskon.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adiprasetyo, P. (2011). Pengaruh personality needs terhadap kepuasan pelanggan. Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri: Jakarta.

Antasari & Sahrah. Hubungan antara konformitas dengan perilaku membeli impulsif pada remaja putri. Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala: Yogyakarta.

Bearden, W.O., Netemeyer, R.G., & Teel, J.E. (1989). “Measurement of consumer susceptibility to interpersonal influence”. Journal of Consumer Research. 15, 473-81.

Bearden, W.O., Netemeyer, R.G., & Teel, J.E. (1992). Consumer susceptibility to interpersonal influence and atributional sensitivity. Psychology & Marketing: ProQuest Psychology Journals. 9(2), 379.

Beatty, S.E., & Ferrel, M.E. (1998). Impulse buying: Modeling its precursors. Journal of Retailing. 72(2), 169-191.

Činjarević, M.M. (2010). Cognitive and affective aspect of impulse buying. Sarajevo Business and Economics Review. 30, 168- 184.

Coley, A.L. (2002). Affective and cognitive processes involved in impulse buying. Thesis S2, tidak diterbitkan. BSFCS: The University of Georgia.

Engel, F., Blackwell, Roger, Paul, Miniard. (1990). Consumer behavior.(6th. Ed). The Dryden Press.

David, H. S. Anne, M. L and Fredric, K. (2008) Impulse buying: The role of affect, social influence, and subjective wellbeing. Journal of Consumer Marketing. 25(1), 23–33.

Dawson. S., & Kim, M. (2009). External and internal trigger cues of impulse buying online. International Journal. 3(1), 20-34.

Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The satisfaction with life scale. Journal of Personality Assessment. 49, 71-75.

Diener, Ed, Lucas, Richard. E., & Oishi, S. (2005). Subjective well-being : The science of happiness and life satisfaction. dalam C.R. Snyder & SJ. Lopez (edtr.), Handbook of Positive Psychology (hal 63-73). New York: Oxford University Press.


(5)

Diener, Suh & Oishi. (1997). Recent findings on subjective well-being. Indian Journal of Clinical Psycholog. 24 (1), 25-41.

Dincer, C. (2010). The influence of affect and cognition on impulse buying. Social Responsibility Journal and Review of Social, Economic and Business Studies. 9(33), 153-158.

Guidon, M. (2009). Self-esteem across the lifespan issues and interventions. Taylor & Francis Group 270 Madison Avenue New York, NY 10016.

Hoffmann, A.O.I., & Broekhuizen. T.L.J. Susceptibility to interpersonal influence in an investment context. Department of Strategy and Innovation, Faculty of Economics and Business. Thesis, tidak diterbitkan University of Groningen. Kacen, J.J., & Anne, L.J. (2002). The influence of culture on consumer. Journal of

Consumer Psychology. 12(2), 163–176.

Kelman, H.C. (1958). Compliance, identification, and internalization: Three processes of attitude change. J. Conflict Resolut. 2(1), 51–60.

Kropp, L., & Silvera. (2005). Values and collective self-esteem as predictors of consumers susceptibility to interpersonal influence among university student. International Marketing Review. 22(1), 7-33.

Lin, C.H., & Lin, H.M. (2005). An exploration of taiwanese adolescents impulsive buying tendency. Academic Research Library. 40(157), 215-223.

Loudon, DL & Bitta, AJ. (1993). Consumer behavior concept and application. 4th ed. Singapore: McGraw Hill.

Madhavaram & laverie. (2004). Exploring impulse purchasing on the Internet. Advances in Consumer Research. 31(61), 59-66.

Minchington, J. (1993). Maxium self esteem : The handbook for reclaiming your sense of self worth. Kuala lumpur : Golden Books Center Sdn, Bhd.

Muruganantham, G., & Shankar, B.R. (2013). A Review of impulse buying behavior. International Journal of Marketing Studies. 5(3), 149-160.

O’Guinn, T., & Faber, R. (1989). Compulsive buying: A phenomenological exploration. Journal of Consumer Research.16(2), 147.

Rahmasari, L. (2010). Menciptakan impulse buying. Majalah Ilmiah informatika. 1(3), 56-68.


(6)

Rook, D.W. (1987). The buying impulse. Journal of Consumer Research. 14(2), 189-199.

Rook, D., & Hoch, S. (1985). Consuming impulses. Advances in Consumer Research, 7(1), 23-27.

Soeseno, B. (2011). Pengaruh in-store stimuli terhadap impulse buying behavior konsumen hypermarket dijakarta. Ultima Management. 3(1), 31-52.

Stern, H. (1962). The significance of impulse buying today. Journal of Marketing. 26(2), 59-62.

Tafarodi, R.W., & Swann, W.B. Jr. (1995). Self-liking and self-competence as dimensions of global self-esteem: initial validation of a measure. Journal of Personality Assessment. 65(2), 322-342.

Tafarodi, R.W., & Swann, W.B. Jr. (2001). Two-dimensional self-esteem: Theory and measurement. Personality and Individual Differences. 31, 653-73.

Zagenczyk, T.J. (2006). A social influence analysis of perceive organizational Support). University of Pittsburgh, ProQuest, UMI Dissertations Publishing, 3224069. 1-115

Verplanken, B., & Herabadi, A.G. (2001). Individual differences in impulse buying tendency: feeling and no thinking.” European Journal of Personality. 5(1), 571-583.

Watson, D., Clark, L.A., & Tellegen, A. (1988). Development and validation of brief measures of positive and negative affect: The PANAS scales, Journal of Personality and Social Psychology. 54(10), 63-70.

Widawati, L. (2011). Analisis perilaku “impulse buying” dan “locus of control” pada Konsumen di Carrefour Bandung. 2, 125-132.