Gambaran Risiko Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Padang Bulan, Medan

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh selsel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya
sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
DM adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan
hiperglikemia kronis serta kelainan metabolism karbohidrat, lemak dan protein
diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.
Diagnosis penyakit diabetes Melitus selain berdasarkan aspek klinis yang meliputi
anamnesis dan pemeriksaan fisik, sangatlah diperlukan pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang paling
sederhana adalah pemeriksaan gula darah. Tahapan preanalitik dan interpretasi
hasil pemeriksaan gula darah sangatlah perlu diperhatikan agar didapatkan hasil
yang bermakna sehingga diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan dan sebagai

monitoring hasil pengobatan (Hawai Medical Association, 2010).
Diabetes merupakan suatu sindrom atau penyakit akibat dari kekurangan
atau hilangnya keberkesanan hormon insulin. Insulin membolehkan glukosa
memasuki sel-sel dalam badan. Sel-sel ini kemudiannya menggunakan glukosa
sebagai sumber tenaga. Tanpa insulin, paras glukosa darah akan meningkat.
Dalam masyarakat Melayu ianya dikenali (secara tidak tepat) sebagai kencing
manis (Sue, 2005).

Universitas Sumatera Utara

7

2.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus
Menurut WHO tahun 2000 sekitar 171 orang di seluruh dunia menderita
Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi, insidennya terus
meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini menjadi 366 juta
jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM terdapat diseluruh dunia, 90%
adalah jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di negara berkembang, peningkatan
prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika , ini akibat tren urbanisasi dan
perubahan gaya hidup seperti pola makan yang tidak sehat, di Indonesia sendiri,

berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24417 responden berusia > 15 tahun ,
10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu (kadar glukosa:140-200 mgdl
setelah puasa selama 4 jam diberikan beban glukosa sebanyak 75 gram). DM lebih
banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan
tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah, daerah dengan angka penderita
DM yang tertinggi adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1%
sedangkan kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%,
beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor risiko DM adalah obesitas,
hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buahbuahan (Riskesdas, 2007).
Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1993 di Jakarta
daerah urban membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari 1.7% pada
tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001 di Depok dan didaerah Jakarta
Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung Pandang daerah urban meningkat
dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun 1998, kemudian pada akhir
2005 menjadi 12.5%, di daerah rural yang dilakukan oleh Arifin di Jawa Barat
1,1% didaerah terpencil, di tanah Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0,8%
dapat dijelaskan perbedaan prevalensi daerah urban dan rural (Soegondo dkk,
2009).
Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada
penduduk usia >15 tahun diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buahbuahan dan sayur-sayuran sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik

pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2% disebutkan pula bahwa prevalensi
merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% (Depkes, 2008).

Universitas Sumatera Utara

8

2.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus (WHO 2009)
DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar
glukosa darah. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2,
DM dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain.(WHO,2009)
DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi
autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan
insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan
sel β pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan
sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar
penderita DM tipe 1 terjadi oleh karena proses autoimun dan sebagian kecil non
autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya juga disebut sebagai type
1 idiopathic, pada mereka ini ditemukan insulinopenia tanpa adanya petanda imun

dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. DM tipe 1 sebagian besar (75% kasus)
terjadi sebelum usia 30 tahun dan DM Tipe ini diperkirakan menjadi sekitar 5-10
% dari seluruh kasus DM yang ada.(WHO,2009)
DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non
insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai
yang dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi
insulin. Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di
jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel β. Akibatnya, pankreas tidak
mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin
resistance.

Kedua

hal

ini

menyebabkan

terjadinya


defisiensi

insulin

relatif.(WHO,2009)
Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2 umumnya
terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan glukosa
oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga
penderita tidak tergantung pada pemberian insulin. Walaupun demikian pada
kelompok Diabetes Melitus Tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler
dan makrovaskular.(WHO,2009)

Universitas Sumatera Utara

9

DM dalam kehamilan,Gestational Diabetes Mellitus(GDM) adalah
kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal
mempertahankan euglycemia). Pada umumnya ditemukan pada kehamilan

trimester kedua atau ketiga. Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM,
kegemukan dan glikosuria.(WHO,2009)
GDM meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus,
polisitemia dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi
insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia.
Kasus GDM kira-kira 3-5% dari ibu hamil dan para ibu tersebut
meningkat risikonya untuk menjadi DM di kehamilan berikutnya. Subkelas DM
lainnya yakni individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan spesifik
(kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit Cushing’s,
akromegali), penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta (dilantin),
penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-adrenergik) dan infeksi atau
sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s).(WHO,2009)

2.4

Etiologi dan Patofisiologi Diabetes Mellitus

2.4.1 Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.

Gangguan produksi insulin terjadi umumnya pada penderita DM Tipe 1. Hampir
90% penderita DM Tipe 1 memiliki Islet Cell Cytoplasmic Antibodies (ICCA) di
dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%.
Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk
DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga
dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. (Winter dan
Signorino,2002)
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat
beberapa tipe sel, terjadi kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan
oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam
virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CM Virus, Herpes, dan lain

Universitas Sumatera Utara

10

sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1,
antara lain ICCA, Islet cell surface antibodies (ICSA) dan antibodi terhadap
glutamic acid decarboxylase (GAD).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan yaitu sel β, sel α dan

sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan
sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya
serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa
anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita
DM Tipe 1 justeru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi,
jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau
Langerhans. Walaupun merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA
makin lama makin menurun sejajar dengan perjalanan penyakit.(Winter dan
Signorino,2002).
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau ICSA ditemukan pada
sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin
menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2
ditemukan positif ICSA.
Otoantibodi terhadap enzim GAD ditemukan pada hampir 80% pasien
yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya
ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan
dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor
kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.
Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa
otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antaranya adalah Anti Insulin

Antibody (IAA) ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe
1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi
insulin.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas
langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1

Universitas Sumatera Utara

11

juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi
glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal,
hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM
Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan
hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi
dari keadaan ini adalah kecepatan penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis
diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi
somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan

terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang
pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi
glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1
yang sedang mendapat terapi insulin. . (Winter dan Signorino,2002)
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM
Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi
penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespon terapi insulin yang
diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini,
salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin yang menyebabkan meningkatnya
asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali
di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan
metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer misalnya di jaringan otot rangka,
dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh.
Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang
diperlukan sel-sel sasaran untuk merespon insulin secara normal, misalnya gen
glukokinase di hati dan gen glucose transporter type 4 (GLUT4) protein
transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh di
jaringan adiposa.(Winter dan Signorino,2002)


Universitas Sumatera Utara

12

2.4.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai
90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anakanak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang
belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh
lingkungan cukup besar menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antaranya adalah
obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. (Winter
dan Signorino,2002)
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama.
Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang
merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2. Berbeda dengan DM Tipe 1,
pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya
dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar
glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan
oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak
mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
“Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup
kurang gerak (sedentary), dan penuaan.(Winter dan Signorino,2002)
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun
demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab
itu, dalam penanganan umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Selsel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi
insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi

Universitas Sumatera Utara

13

sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β
menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin
gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami
kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM
Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin. (Winter dan Signorino,2002)
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi
menjadi 4 kelompok:
1. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal.
2. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga
Diabetes Kimia (Chemical Diabetes).
3. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar
glukosa plasma puasa < 140 mg/dl).
4. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa
plasma puasa > 140 mg/dl).
Secara ringkas, perbedaan DM Tipe 1 dengan DM Tipe 2 dicatatkan dalam
tabel 2.1. (Winter dan Signorino,2002)
Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2
DM Tipe 1
DM Tipe 2
Mula muncul umumnya
Umumnya masa kanak- Pada usia tua > 40
kanak dan remaja,
tahun
walaupun ada juga pada
masa dewasa < 40 tahun
Keadaan klinis saat diagnosis
Berat
Ringan
Kadar insulin darah tinggi,
Rendah, tidak ada
Cukup
normal
Berat badan normal
Biasanya kurus
Gemuk atau
normal
Pengelolaan olahraga yang
Terapi insulin, diet,
Diet, olahraga,
disarankan
olahraga
hipoglikemik oral

Universitas Sumatera Utara

14

2.4.3 Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM) adalah keadaan diabetes atau
intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya
berlangsung hanya sementara. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita
GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. (Winter dan
Signorino,2002)
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih
sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap
bayi yang dikandung. Akibat keburukan yang dapat terjadi adalah malformasi
kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko
mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan
mempunyai risiko lebih besar untuk menderita lagi diabetes di masa depan.
Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut. (Winter
dan Signorino,2002)

2.4.4 Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada
diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak
cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes
diperkirakan cukup banyak, di Amerika ada sekitar 41 juta orang yang tergolong
pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun
2000). Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan
cukup tinggi, jauh lebih tinggi daripada penderita diabetes. (Winter dan
Signorino,2002)
Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan
jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes
dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun
pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya
diabetes. Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu: Impaired Fasting Glucose
(IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125
mg/dl (kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl dan kadar

Universitas Sumatera Utara

15

glukosa darah puasa normal: < 100 mg/dl), atau Impaired Glucose Tolerance
(IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar
glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi
tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT
ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang dalam masa 2 jam setelah
mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral yang berada diantara 140-199 mg/dl.
(Winter dan Signorino,2002).
2.5 Faktor Risiko Diabetes Mellitus
Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes
selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas
kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya
memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk
melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar
tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi
DM diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan kadar glukosa
darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.
Faktor risiko tersebut dapat diklasifikasikan menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang penting adalah
obesitas (terutama perut) dan kurangnya aktifitas jasmani.( Perkeni,2009)
1. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
a. Faktor genetik
Sampai sekarang gen yang berhubungan dengan risiko terjadinya DM
belum bisa diidentifikasi secara pasti. Adanya perbedaan yang nyata
kejadian DM antara grup etnik yang berbeda meskipun hidup di
lingkungan yang sama menunjukkan adanya kontribusi gen yang
bermakna dalam terjadinya DM (Alberti et al,2008)
b. Usia
Prevalensi DM meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Dalam
dekade terakhir ini, usia terjadinya DM semakin muda terutama di
negara-negara di mana telah terjadinya ketidakseimbangan antara
asupan dan luaran energi.

Universitas Sumatera Utara

16

c. Diabetes Gestasional
Pada diabetes gestasional, tolenransi glukosa biasanya kembali normal
setelah melahirkan akan tetapi wanita tersebut memiliki risiko untuk
menderita DM di kemudian hari.
2. Faktor risiko yang bisa dimodikasi
a. Obesitas
Obesitas adalah faktor risiko yang paling penting. Beberapa penelitian
longitudinal menunjukkan bahwa obesitas merupakan prediktor yang
kuat untuk timbulnya Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2). Lebih lanjut,
intervensi yang bertujuan mengurangi obesitas juga mengurangi
insidensi DMT2. Berbagai studi longitudinal juga menunjukkan bahwa
ukur lingkar pinggang atau rasio pinggang-pinggul (waist to hip ratio)
yang mencerminkan keadaan lemak viseral (abdominal), merupakan
indikator yang lebih baik dibandingkan indeks masa tubuh sebagai
faktor risiko DM. Data tersebut memastikan bahwa distribusi lemak
lebih penting dibanding dengan jumlah total lemak.
b. Aktifitas jasmani
Dalam dekade-dekade akhir ini, berkurangnya intensitas aktivitas
jasmani di berbagai populasi memberikan kontributor yang besar
terhadap peningkatan obesitas di dunia. Berbagai penelitian potong
lintang maupun longitudinal menunjukkan bahwa kurangnya aktifitas
fisik maupun prediktor bebas terjadinya DMT2 pada pria atau wanita.
c. Nutrisi
Kalori total yang tinggi, diit rendah serat , beban glikemik yang tinggi
dan rasio poly unssaturated fatty acid ( PUFA) dibanding lemak jenuh
yang rendah, merupakan faktor risiko terjadinya DM.
d. Faktor risiko lain
Meskipun faktor genetik dan gaya hidup menjadi faktor risiko yang
paling besar untuk terjadinya DM, beberapa faktor risiko yang
mungkin masih bisa diubah adalah berat badan lahir rendah, paparan
terhadap lingkungan diabetes saat di dalam rahim, dan beberapa
komponen inflamasi.

Universitas Sumatera Utara

17

2.6 Diagnosis
Diagnosis DM tidak boleh didasarkan atas ditemukannya glukosa pada
urin saja. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah dari
pembuluh darah vena. Sedangkan untuk melihat dan mnegontrol hasil terapi dapat
dilakukan dengan memeriksa kadar glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Seseorang didiagnosis menderita DM jika ia mengalami satu atau lebih kriteria di
bawah ini :
1. Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma sewaktu > 200
mg/dL
2. Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma puasa > 126
mg/dL
3. Kadar gula plasma 2 jam setelah Tes Tolenransi Glukosa Oral ( TTGO ) >
200 mg/dL
4. Pemeriksaan HbA1C > 6.5%
Keterangan :
1. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memerhatikan waktu makan terakhir pasien.
2. Puasa artinya pasien tidak mendapat kalori tambahan minimal selama 8
jam
3. TTGO adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan memberikan larutan
4. glukosa khusus untuk diminum. Sebelum meminum larutan tersebut akan
dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, lalu akan diperiksa kembali 1
jam dan 2 jam setelah meminum larutan tersebut. Pemeriksaan ini sudah
jarang dipraktekkan.
Jika kadar glukosa darah seseorang lebih tinggi dari nilai normal tetapi
tidak masuk ke dalam kriteria DM, maka dia termasuk dalam kategori prediabetes.
Yang termasuk ke dalamnya adalah :
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ) , yang ditegakkan bila hasil
pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL

Universitas Sumatera Utara

18

dan kadar glukosa plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGo
< 140 mg/dL.
2. Toleransi Glukosa Terganggu ( TGT) yang ditegakkan bila kadar glukosa
plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGO antara 140 – 199
mg/dL.
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk
umumnya ( mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karena
disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka positif belum ada.
Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama
penyakit lain ( general check up ) , adanya pemeriksaan penyaring untuk DM
dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan. Pemeriksaan penyaring
perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu factor risiko untuk DM , iatu :
1. Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2. Kegemukan { BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 ( kg/m2)}
3. Tekanan darah tinggi ( >140 /90 mmHg)
4. Riwayat keluarga DM
5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia ( HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl)
8. TGT ( Toleransi Glukosa Terganggu ) atau GDPT ( Glukosa Darah Puasa
Terganggu)
Langkah–langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Mellitus :
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, lemah dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria serta pruritus
vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu
> 200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Hasil pemeriksaan kadar gula darah puasa > 126 mg/dl juga digunakan
untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat

Universitas Sumatera Utara

19

untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut
dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal baik kadar glukosa darah puasa
> 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl pada hari yang lain, atau
dari hasil tes toleransi glukosa oral ( TTGO) yang abnormal.( Gustaviani, 2006).
Cara pelaksanaan TTGO: ( WHO,1985 )
1. Tiga hari sebelumnya makan seperti biasa.
2. Kegiatan jasmani secukupnya seperti yang biasa dilakukan.
3. Puasa semalam , selama 10-12 jam.
4. Kadar glukosa darah puasa diberikan glukosa 75 gram atau 1,75
gram/kilogram Berat badan, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum
selama/ dalam waktu 5 menit.
5. Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa; selama
pemeriksaan subjek yang diperiksa.
6. Tetap istirehat dan tidak merokok.
Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM.
Bukan
Belum pasti
Golongan Klinik
DM
DM
Kadar glukosa darah Plasma Vena
< 110
110 – 199
sewaktu (mg/dl)
Darah Kapiler
200
> 200
>126
>110

2.7 Komplikasi Diabetes Mellitus
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang
sering terjadi dan harus diwaspadai. (Rhambade, et al, 2010).

1. Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa
pusing, lemas, gementar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan
menjadi gelap), berkeringat dingin, nadi jantung meningkat, sampai hilang

Universitas Sumatera Utara

20

kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan
akhirnya menyebabkan kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50
mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala
hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa
darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak. (Rhambade et
al,2010).
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang
dapat dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan
di Inggeris diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1
disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2,
serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut
mendapat terapi insulin. Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes
umumnya terjadi apabila penderita:
a. Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam).
b. Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau
ahli gizi.
c. Berolah raga terlalu berat.
d. Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar daripada
seharusnya.
e. Mengkonsumsi minuman alkohol.
f.

Stress.

g. Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia.
Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan
apabila penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:
1. Dosis insulin yang berlebihan.
2. Saat pemberian yang tidak tepat.
3. Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik
berlebihan.

Universitas Sumatera Utara

21

4. Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap
insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis.
2. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak
secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress,
infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan
poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan
pandangan kabur. Apabila diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat
dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia dapat memperburuk gangguangangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi
jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat
berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antaranya
adalah

ketoasidosis diabetik,

Diabetic Ketoacidosis (DK)

dan

Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), yang keduanya dapat
berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat dicegah
dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.( Rhambade et al, 2010).
3. Komplikasi Makrovaskular
Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang
pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner Coronary Heart
Disease (CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh
darah perifer Peripheral Vascular Disease (PVD). Walaupun komplikasi
makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering
merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang
umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan.
Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal
dengan berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic
Syndrome,

Hyperinsulinemic

Syndrome,

atau

Insulin

Resistance

Syndrome.(Rhambade et al,2010).
Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada
penderita diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus
dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah,

Universitas Sumatera Utara

22

kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu
menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu
penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk
mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga
secara

teratur,

tidak

merokok,

mengurangi

stress

dan

lain

sebagainya.(Rhambade et al,2010).
4. Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes
tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang
terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah
menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluhpembuluh darah kecil. Hal ini yang mendorong timbulnya komplikasikomplikasi mikrovaskuler, antaranya adalah retinopati, nefropati, dan
neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini
juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu, dapat terjadi dua
orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, tetapi berbeda
risiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat
untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan
tingkat keparahan diabetes. (Rhambade et al,2010)
Satu-satunya

cara

yang

signifikan

untuk

mencegah

atau

memperlambat jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah
dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif
dengan menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa
insulin yang disertai dengan monitoring kadar gula darah mandiri dapat
menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60%.(
Rhambade et al, 2010)

Universitas Sumatera Utara