Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari Perspektif Konseling Lintas Budaya T1 752014016 BAB II

BAB II
STUDI PUSTAKA
1. Realitas konflik dan penyebabnya
1.1. Konflik Pada umumnya
Dean Pruitt dan Jeffrey Rubin menyatakan bahwa konflik1 adalah sebuah situasi di
mana masing-masing pihak menginginkan sesuatu yang tidak ingin diberikan oleh pihak yang
lain.2 Konflik dalam pemahaman ini menempatkan pihak-pihak yang berkonflik dalam suatu
persimpangan yaitu persimpangan pertama menuju pada suatu situasi positif yang
menghasilkan adanya suatu kreatifitas untuk menciptakan keadaan yang nyaman. Dan di
persimpangan lain adanya situasi negatif yang akan menciptakan keadaan yang tidak nyaman
karena terjadinya tindak kekerasan. Persimpangan ini terjadi karena konflik tersebut tidak
dikelolah dengan baik.
Konflik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dan tidak
pernah diselesaikan sepanjang sejarah umat manusia. Konflik mengambil posisi dan peran
penting dalam perkembangan emosi, kepribadian dan perilaku dalam kehidupan manusia.
Konflik dapat dikategorikan sebagai konflik interpersonal, antarpersonal, antarkelompok,
antaretnik3 dan seterusnya. Pada umumnya konflik diakibatkan oleh adanya perbedaan
pendapat, pemikiran, ucapan sampai pada perbuatan. Sikap dasar yang memicu munculnya
konflik adalah tidak ingin menerima dan menghargai adanya perbedaan.
1


Konflik adalah (1) percekcokan; perselisihan; pertentangan; (2) ketegangan atau pertentangan di dalam cerita
rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara
dua tokoh, dan sebagainya).
2
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial-Seri Psikologi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2004), p. 4
3
Konflik interpersonal artinya konflik dalam diri sendiri; konflik antarpersonal artinya konflik antara dua
individu atau seorang individu dengan satu atau lebih individu lain; konflik antarkelompok artinya konflik
yang terjadi antara satu kelompok dengan satu atau lebih kelompok lain; konflik etnik artinya konflik antara
satu etnik dengan etnik yang lain.

10

1.2.

Konflik Budaya Suami-Istri
Sikap dasar manusia yang memicu lahirnya konflik adalah karena tidak menerima dan

menghargai adanya perbedaan diantara manusia. Artinya hubungan antar manusia

memerlukan adanya pertemuan dan komunikasi antara orang-orang dengan latar belakang
budaya yang berbeda supaya mereka saling mengenal dan memahami keperluan dan
kebutuhannya masing-masing secara obyektif. Untuk itu orang-orang dari budaya yang
berbeda-beda itu harus berkomunikasi seorang dengan yang lain secara kontinyu. Menurut
Paul R. Kimmel, dengan berkomunikasi perbedaan budaya dasar orang-orang yang berbeda
budaya akan memahami perbedaan budaya dasar mereka dan menciptakan komunitas yang
akan memfasilitasi komunikasi dan pemecahan masalah.4
Konflik budaya suami istri dapat saja terjadi karena faktor miskomunikasi dan
penerimaan kebiasaan dalam sikap dan tingkah laku hidup dari kedua pihak sebagai suami
istri. Karena hal saling menghargai dan mempertahankan cinta mereka, maka dapat saja
terjadi bahwa hal-hal kecil yang dilakukan keliru baik oleh suami maupun istri dianggap
sebagai kebisaan riil yang terjadi tiap-tiap hari. Tidak perlu ditanggapi dan dibiarkan saja.
Misalnya dalam hal makan-minum atau sapaan waktu pergi dan pulang kantor baik oleh
suami maupun istri. Jika hal-hal kecil ini tidak dikomunikasikan maka akan berkembang
menjadi hal besar dan bahkan menjadi pemicu lahirnya konflik.
Sarwono mengatakan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari budaya. Manusia
tidak lahir dengan membawa budayanya, melainkan budaya tersebut diwariskan dan
dikomunikasikan dari generasi ke generasi.5 Kimmel menyebutkan hal ini dengan
mengatakan bahwa individu dilahirkan tanpa budaya. Mereka mempelajari budaya mereka


4

Paul R. Kimmel, Budaya dan Konflik, Dalam : Morton Deutsch (dkk), Handbook Resolusi Konflik. (Bandung :
Nusa Media, 2016), p. 709
5
Sarlito W. Sarwono. Psikologi Lintas Budaya, p. 23

11

dengan tumbuh dan terisolasikan di dalamnya. Melalui penggunaan bahasa dan komunikasi
nonverbal, manusia berpartisipasi dalam dan membentuk budaya bersama mereka. 6
Demikanlah kehidupan suami istri bukan saja yang beda budaya, yang sama budaya pun
berlaku hal tersebut. Suami istri yang beda budaya telah terbentuk budayanya dan mereka
masing-masing terisolasi dalam budaya kolektifnya dan membentuk kebenaran-bekenaran
yang akan terus dipertahankan dalam kehidupan berkeluarga.
Dalam kehidupan keluarga yang baru, suami istri telah membentuk budaya baru,
setelah meninggalkan komunitas kehidupan mereka yang lama dalam kehidupan bersama
orang tua masing-masing. Inilah masa transisi kehidupan suami istri yang mestinya dibangun
melalui


komunikasi-komunikasi

timbal-balik

antara

suami

istri

untuk

terus

mengkomunikasikan budaya mereka masing-masing dimasa lalu. Komunikasi ini perlu dan
penting dilakukan untuk menemukan makna baru dalam kehidupan keluarga mereka. Jika
komunikasi tersebut tidak dibangun bahkan tidak mendapat tempat dalam kehidupan bersama
suami istri, maka lambat laun akan terjadi miskomunikasi sehingga memicu lahirnya konflik
budaya suami istri dalam bentuk emosi, kepribadian dan perilaku.


2. Budaya Sebagai Penyebab Konflik
Budaya yang menjadi pokok bahasan dalam tesis ini terkait dengan manusia secara
menyeluruh, yaitu manusia dalam hubungan dengan emosi dan kepribadiannya maupun
tindakan-tindakan sebagai perilakunya dalam kelompok atau masyarakatnya serta faktorfaktor yang mempengaruhi proses kehidupan antarmanusia. Atas dasar itu penulis akan
menyajikan secara garis besar bagaimana manusia terbentuk emosi, kepribadian dan
perilakunya dalam konteks kelompok dan masyarakatnya dari perspektif antropologi, soiologi
6

Paul R. Kimmel, Budaya dan Konflik, Dalam : Morton Deutsch (dkk), 711

12

maupun psikologi. Yang dimaksud dengan perspektif antropologi yaitu memahami budaya,
sebagai cara bagaimana manusia sebagai individu mempertahankan budayanya pada saat
mengintegrasikan dirinya ke dalam konteks kehidupan bersama masyarakat dengan individu
lainnya.7 Sementara perspektif sosiologi hendak memahami budaya sebagai akibat dari proses
pembentukan dan perkembangan sistim hubungan antarmanusia dalam konteks kelompok dan
masyarakatnya.8 Sedangkan perspektif psikologi, khususnya psikologi lintas budaya
memahami tingkah laku manusia sebagai budaya, karena budaya tidak terjadi secara lahiriah
tetapi diturun-alihkan dari generasi ke generasi.9 Artinya secara psikologis budaya

membentuk dan dibentuk oleh tingkah laku individu dalam kelompok dan masyarakatnya.

2.1.

Pemaknaan Budaya
2.1.1. Perspektif Antropologi
Pederson mengartikan budaya adalah bagian yang tidak dapat disingkirkan dari

kehidupan manusia, karena itu budaya mengendalikan kehidupan kita dan mendefinisikan
kenyataan untuk diri kita, dengan atau tanpa ijin, serta dalam situasi dan keadaan sadar atau
pun tidak.10 Melalui definisi ini Pederson hendak menyampaikan tiga hal yaitu : (1) Budaya
merupakan subjek dalam diri seorang manusia yang kemudian mengendalikan perilakunya;
(2) Budaya memberi makna kepada seorang manusia untuk menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan hidupnya; (3) Budaya melahirkan pengetahuan berdasarkan pengalaman hidup
dan pengetahuan untuk memahami apa yang terjadi dan mengapa sesuatu terjadi sebagai yang
berlaku dalam kenyataan.
7

Hendar Putranto, Budaya dan Integrasi Sosial. Menelusuri jejak karya Talcott Parsons, dalam: Mudji Sutrisno
& Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan. (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p.51-61.

8
Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. (Jakarta: Binacipta, 1995), p.2-4.
9
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, p.1-9.
10
Paul B. Pederson. Ethics, Competence, and Professional Issues in Cross-Cultural Counseling. p. 5

13

Dari pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwa supaya manusia dapat bertahan
hidup dalam suatu budaya, maka ia membutuhkan pengetahuan tertentu mengenai tata kerja
hal-ihwal dunia sekelilingnya. Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengalaman yang tidak
membutuhkan penjelasan dan pengetahuan teori untuk menjelaskan fenomena dalam
kehidupan.11 Di sini kebudayaan bukan hanya merupakan kebiasaan tetapi telah menjadi
sesuatu yang dilakukan dalam menghadapi dan menjalani kenyataan hidup, seperti yang
dikatakan Pederson “budaya mengendalikan perilaku seseorang dengan atau tanpa izin
kita”.12
Van Baal menyebutkan bahwa setiap individu dalam arti yang sangat harafiah adalah
wakil dari kebudayaannya, 13 yang berarti bahwa setiap manusia mempunyai sikap yang
berbeda karena keadaannya, pengalamannya dan kepribadiannya yang selalu unik. 14 Karena

itu budaya selalu dinyatakan sebagai suatu proses individual dalam kelompok dan
masyarakatnya, sehingga tidak ada seorang pun yang mempunyai kebudayaan yang sama
dengan kebudayaan individu

lainnya.15

Masyarakat pada umumnya mengenal budaya

sebagai akibat dari interaksi antar individu yang dipengaruhi oleh interaksi dalam keluarga,
pendidikan dan masyarakat. Budaya juga dikenal pada tataran subkultur yang meliputi ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan yang
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi budaya pun lahir dari kebiasaan

11

Lihat : David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya. (Yogya : Pustaka Pelajar. 2012), p. 15
Paul B. Pederson, Resolusi Konflik Multibudaya; dalam : Morton Deutsch (eds), Handbook Resolusi Konflik.
(Bandung : Nusa Media, 2016), p.749
13
J. Van Baal. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya-Hingga Dekade 1970- Jilid 2. (Jakarta :

Gramedia, 1988 ), p. 157
14
Bandingkan : Aart Martin Van beek, Konseling Pastoral. Sebuah buku Pegangan bagi para Penolong di
Indonesia, (Semarang: Satya Wacana, 1987), p. 123
15
Bandingkan : Aart Martin Van beek, Konseling Pastoral. Sebuah buku Pegangan bagi para Penolong di
Indonesia, (Semarang: Satya Wacana, 1987), p. 111
12

14

setiap individu yang dipengaruhi oleh kebiasaan interaksi dengan keluarga, pendidikan, dan
masyarakat.16
Dalam pemahaman tersebut di atas sebenarnya Van Baal hendak mengatakan bahwa
kebudayaan lahir sebagai suatu proses pengaruh mempengaruhi antar individu yang terjadi
dalam lingkup keluarga, pendidikan dan masyarakat tempat individu itu berada dan
berinteraksi. Alat yang dipergunakan supaya proses pengaruh mempengaruhi itu terjadi
disebutkannya dengan istilah subkultur, yaitu ilmu pengetahuan, kepercayaan dan agama,
seni, hukum adat maupun kebiasaan yang berlaku dalam keluarga dan kelompok atau
masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya pada dasarnya merupakan jati diri
yang melekat dalam diri setiap individu sebagai akibat dari suatu proses interaksi dalam
lingkungan hidupnya, supaya individu tersebut dapat memahami segala hal yang sedang
terjadi sehingga mempengaruhi proses kehidupan sosial budaya seorang individu di
lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat, sehingga ia dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan dimana ia hidup, berada dan berinteraksi.
2.1.2. Perspektif Sosiologi
Kneller mendefinisikan budaya dari sudut pandang sosiologi sebagai semua cara
hidup yang dilakukan seseorang dalam suatu masyarakat.17 Artinya budaya merupakan
keseluruhan cara hidup bersama dari sekelompok orang yang meliputi cara berpikir, berbuat
dan merasakan yang diekspresikan.18 Karena itu kebudayaan adalah suatu sistem pengetahuan

16

Abu Ahmadi. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku bangsa
di Indonesia. (Surabaya: Pelangi, 1986), p. 97
17
George.F. Kneller, Educational Anthropology : An Introduction. (New York John Wiley
And Sons, Inc. 1965), p. 88
18

Ekspresi itu seperti kepercayaan, hukum, bahasa, seni, adat istiadat, dan dalam bentuk produk-produk benda
seperti rumah, pakaian, dan alat-alat

15

yang meliputi ide atau gagasan dalam pikiran manusia.19 Wujud dari budaya adalah bendabenda yang diciptakan oleh manusia, seperti ukiran bermotif, rumah-rumah bernuansa khas,
dan perilaku yang bersifat nyata, misalnya dalam sikap, bahasa, komunikasi, cara berpikir,
peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. Semuanya itu ditujukan supaya
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. 20 Dengan demikian
budaya tidak terbatas pada ras, etnis, dan suku tetapi juga meliputi cara berpikir,
berbicara atau berkomunikasi, berbahasa, berelasi, pendidikan, kepercayaan, moral,
kebiasaan, bersikap, maupun seni.
Dalam pemahaman ini dimengerti bahwa budaya adalah cara hidup seseorang dalam
masyarakat yang muncul sebagai akibat dari proses pembentukan dan perkembangan sistim
hidup antarmanusia dalam konteks kelompok dan masyarakatnya. Cara hidup ini terbentuk
melalui proses interaksi maupun proses sosial. Proses interaksi adalah hubungan timbal-balik
antar indivudu atau manusia, sedangkan proses sosial adalah proses pengaruh mempengaruhi
antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Kedua proses ini dimungkinkan oleh
adanya komunikasi.21 Dalam kaitan dengan komunikasi ini maka Tili dan Barker
mengemukakan bahwa kebanyakan manusia pada zaman ini hidup di luar tempat
kelahirannya atau keluarga dan kota asalnya. Ini membawa akibat pada interaksi dalam
masyarakat yang berasal dari tempat yang berbeda, cara relasi antar manusia yang berbeda,
sampai dengan perkawinan beda budaya.22 Kondisi semacam ini menurut Tili dan Barker
akan membawa dampak pada wajah perkawinan yang unik, komunikasi antar budaya,

19

Wahyu, Ramdani. Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), p. 97
Ibid
21
Bandingkan : Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, p.15-23.
22
Tiffani R. Tili & Gina. Barker, Communication in Intercultural Marriages : Managing Cultural Differences and
Conflict. Dalam : Southern Communication Journal Vol. 80, Juli-Agustus 2015, p.189-190.
20

16

komunikasi keluarga dan konflik komunikasi karena hal-hal itu merupakan area
komunikasi.23
Jika ada proses interaksi dan sosial antarmanusia maka akan terjadi rangsangan
(stimulus) diantara pihak-pihak yang melaksanakan komunikasi tersebut. Kemudian
muncullah tanggapan dari satu pihak terhadap pihak lain berbentuk jawaban dalam arti
tertentu. Proses sosial inipun mulai terjadi dan mempengaruhi cara berpikir, berperilaku,
hingga cara mengalami dan merasakan suatu situasi tertentu. Proses ini selanjutnya
diwujudkan dalam bentuk keberadaan dan tindakan baik perilaku maupun dalam wujud
benda-benda.
2.1.3. Perspektif Psikologi
Bakker menjelaskan tentang budaya dari perspektif psikologi sebagai suatu bentuk
penyesuaian diri (adjustment) manusia kepada alam sekelilingnya maupun kepada syaratsyarat hidup. 24 Artinya bahwa manusia berusaha untuk mengetahui apa yang dialaminya dan
mengartikannya untuk menemukan makna dari kehidupan yang sesungguhnya sebagai suatu
penyesuaian diri.
Sarwono menjelaskan tentang penyesuaian diri manusia kepada alam lingkungannya
ditunjang oleh perkembangan kognitif (pengertian) berdasarkan pengalaman hidup yang
dialaminya dan diwariskan secara turun-temurun. Perkembangan kognitif tersebut sangat
terkait erat dengan representasi mental terhadap alam lingkungannya. 25 Maksudnya bahwa
manusia dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan hidupnya ia akan

23

Tiffani R. Tili & Gina. Barker, Communication in Intercultural Marriages : Managing Cultural Differences and
Conflict. Dalam : Southern Communication Journal Vol. 80, Juli-Agustus 2015,p.189-190.
24
J. W.M. Bakker. Filsafat kebudayaan-Sebuah pengantar. (Yogya : kanisius BPK GM, 1984), p. 28
25
Sarlito W. Sarwono. Psikologi Lintas Budaya, p. 23; Bandingkan : Eric B. Shiraev dan David A. Levy, Psikologi
Lintas Kurtural. Pemikiran Kritis dan Terapan Modern. Edisi keempat. (Jakarta : Kencana, 2012), p.4, kultur
sebagai seperangkap sikap, perilaku dan simbol yang dianut oleh satu kelompok orang dan biasanya
dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

17

merepresentasikan pengalaman dan konteks tersebut untuk memberi makna bagi
kehidupannya dalam bentuk sikap dan perilaku. Maka budaya berarti cara dan tindakan
seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya baik dalam lingkup
keluarga, kelompok komunitas maupun masyarakat. Proses penyesuaian ini didukung oleh
pengertian individu yang diwariskan secara turun temurun dalam keluarga, kelompok
komunitas maupun masyarakat dimana ia hidup dan berada. Itu berarti bahwa jika seseorang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya, maka ia dapat hidup secara bebas dan
utuh di dalamnya. Hal ini dapat terjadi melalui suatu proses mengetahui tentang apa yang
sedang dialaminya, kemudian mengartikan pengalaman itu berdasarkan pengertian (kognitif)
yang diwariskan, sehingga ia dapat menemukan makna dari konteks hidup alam sekitarnya
untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan ini.

2.2.

Kepekaan Budaya
Salah satu bentuk konflik yang berpengaruh besar dalam kehidupan berumat dan

bermasyarakat adalah konflik suami-istri khususnya pada pasangan yang berbeda budaya,
karena itu diperlukan cara atau gaya penyelesaian konflik.26 Para konselor yang berkeinginan
untuk menolong pasangan yang demikian perlu memiliki kepekaan budaya.

Hal ini

disebabkan karena konselor memiliki budaya yang berbeda dengan pasangan suami istri.
Keperbedaan budaya ini harus disadari dan diperhatikan.
Bryan Strong menyatakan bahwa pernikahan dan keluarga tersusun atas perbedaan
kepribadian, ide, nilai, rasa, dan tujuan.27 Oleh sebab itu setiap individu tidak selalu cocok
dengan individu lain dalam keluarga karena setiap individu memiliki perbedaan-perbedaan,
dan memicu timbulnya konflik. Apabila konselor tidak memperhatikan perbedaan perbedaan

26
27

Pra penelitian, Desember 2015.
Bryan Strong, et all. The Marriage and Family Experience, (Canada: Wadsworth Cengange Learning, 2011), p.
41

18

budaya, yaitu tidak peka terhadap adanya keperbedaan itu, maka konflik dapat saja tidak
teratasi sehingga memicu lahirnya konflik. Setiap orang memerlukan penyesuaian dengan
maksud untuk mendatangkan perubahan dalam proses pengelolahan perbedaan budaya
tersebut.
Thompskin menyebut kondisi tersebut sebagai kepekaan budaya, yaitu suatu
kemampuan seseorang untuk melihat keluar dari dirinya sendiri dan menyadari akan nilainilai budaya individu lain.28 Kepekaan budaya tersebut merupakan suatu proses menjadi
sadar akan nilai yang dimiliki, bias dan keterbatasan mengikuti eksplorasi diri pada budaya
sehingga seseorang belajar bahwa perspektifnya terbatas, memihak, dan relatif pada latar
belakang diri sendiri.29 Konflik budaya suami-istri karena perbedaan budaya perlu dipahami
sebagai suatu proses kemampuan seseorang untuk memahami, menyadari, dan mengakui
adanya nilai-nilai budaya dan perilaku manusia diluar diri sendiri sehingga ia (suami-istri
yang berkonflik) belajar mengenal dirinya dan memahami bahwa perspektifnya terbatas,
memihak dan relatif pada latar belakang diri sendiri.

30

Dalam realitas konflik suami istri dan

dalam proses konseling, sadar ataupun tidak, sang konselor maupun konseli (suami istri)
selalu membawa serta karakteristisk-karakteristik psikologisnya seperti kecerdasan, bakat,
sikap, motivasi, kehendak dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Tetapi kurang memberi
perhatian kepada latar belakang budaya dari masing-masing pihak yang telah membentuk
karakteristik psikologisnya itu.31

Willia Wu de le. 006. Th ough the Le s of Cultu al a a e ess: a Primer for US Armed Forces Deploying
to a a a d Middle Easte Cou t is . Combat studies Institute Press, USA.
29
Rose a y Tho pso . 00 . Cou seli g te h i ues: i p o i g elatio ship ith othe s, ou sel es, ou
fa ilies, a d ou e o o e t . Taylor & Francis group, New york.
30
Rose a y Tho pso . 00 . Cou seli g te h i ues: i p o i g elatio ship ith othe s, ou sel es, ou
fa ilies, a d ou e o o e t . Taylor & Francis group, New york.
31
A.A.N. Adhiputra, Konseling Lintas Budaya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013), p.5
28

19

2.3.

Bias Budaya
Komunikasi memainkan peranan penting dalam pemahaman setiap individu terhadap

budaya dan pengaruh budaya dalam perilaku individu sehari-hari.32 Komunikasi yang
dilakukan antar individu dalam kehidupan manusia tersebut biasanya melalui simbol-simbol,
sebab manusia

adalah makhluk yang memahami

simbol-simbol

dan bagaimana

menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Sarwono menyebutkan adanya tiga macam
simbol pada manusia, yaitu : Pertama , simbol yang konservatif terdapat pada mitologi dan
agama. Misalnya dalam mitologi Jawa dipercaya bahwa Dewi Sri adalah simbol kesuburan,
atau dalam agama dipercaya bahwa Tuhan adalah zat yang maha kuasa. Kedua , simbol yang
relatif terdapat dalam bahasa, karena melalui bahasa manusia mendeskripsi dan merumuskan
berbagai kenyataan hidup yang dialaminya. Misalnya apakah itu ? apakah ini baik atau tidak
baik ? Ketiga , simbol yang progresif terdapat dalam seni dan ilmu pengetahuan. Misalnya
lahirnya teknologi informasi dan komunikasi.33

Komunikasi melalui simbol-simbol tersebut selalu menggunakan bahasa untuk
mendeskripsikan sesuatu kenyataan dan kemudian merumuskannya dalam bentuk kata atau
kalimat yang dapat dimengerti oleh individu-individu yang terlibat dalam proses komunikasi
tersebut. Bahasa dalam konteks ini merupakan media komunikasi dalam kehidupan manusia,
sekaligus bahasa menciptakan budaya sehingga budaya mempengaruhi bahasa. Jika proses
mendeskripsi dan merumuskan kenyataan melalui bahasa dapat dimengerti oleh pihak lain
yang sedang berkomunikasi maka komunikasipun berhasil. Di pihak lain, jika proses
komunikasi tersebut kemudian dimengerti dengan cara bertentangan karena perbedaan
budaya maka di sinilah terjadi bias budaya.

32
33

Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, p.59.
Ibid, p.59.

20

Shiraev dan Levy menyebutkan tentang empat bias budaya yang mempengaruhi
pemikiran seseorang dalam komunikasi, yaitu :34

1)

Bias Bahasa. Dalam berbahasa seseorang mendeskripsi dan merumuskan
kenyataan yang dialaminya berdasarkan pengalaman budaya di tempat
tertentu, misalnya orang Papua kulitnya hitam berambut keriting, tetapi
kenyataannya ada orang Papua yang kulitnya sawo matang (terang/cerah)
berambut gelombang bahkan lurus. Inilah yang disebut bias bahasa satu ukuran
untuk semua.

2)

Bias asimilasi yaitu memandang dunia melalui skema diri sendiri. Artinya
memodifikasi data dari kenyataan supaya sesuai dengan skema diri individu,
dimana individu menggabungkan informasi baru dengan keyakinan dirinya
sendiri. Disini terjadi proses penggabungan antara apa yang kelihatan ke dalam
skema konseptual, yaitu usaha mencocokan satu dengan yang lainnya. Bias
asimilasi ini selalu menjadi hambatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan
masalah secara efektif.

3)

Bias keterwakilan adalah cara memberikan penilaian terhadap realitas dan
fenomena yang terjadi dalam kehidupan secara cepat karena keperluan tertentu
yang

diwakili oleh individu tertentu. Akibatnya sesorang menggunakan

keterwakilannya untuk mengidentifikasi kenyataan maupun fenomena di
dalam suatu lingkungan dengan cara membandingkan kenyataan dan fenomena
(menyangkut orang, obyek, peristiwa atau ideologi) dengan representasi

34

Eric B, Shiraev, David A. Levi, Psikologi Lintas Kultural, p. 75-97.

21

dirinya.

Di sini terjadi upaya pencocokan kenyataan maupun fenomena

tersebut dengan skema diri.

4)

Bias ketersediaan adalah cara memberikan penilaian terhadap realitas dan
fenomena yang terjadi dalam kehidupan berdasarkan apa yang tersedia yang
dapat dilihat, dipikirkan dan dideskripsi secara cepat. Akibatnya sesorang
menggunakan apa yang tersedia dalam kenyataan atau pemikiran sesaatnya
(cara pintas) untuk mengidentifikasi kenyataan maupun fenomena di dalam
suatu lingkungan dengan cara meremehkan, mengecilkan atau mengabaikan
informasi kenyataan dan fenomena (menyangkut orang, obyek, peristiwa atau
ideologi). Di sini terjadi pengalihan kenyataan maupun fenomena kepada apa
atau siapa yang disukai, tertarik, menonjol, terkenal ataupun mencolok.

Bias budaya ini paling sering terjadi dalam pelaksanaan konseling, misalnya dalam
hal mengerti setiap kata atau kalimat baik oleh konselor maupun konseli. Jika konselor
kurang memberi perhatian kepada pembicaraan konseli bahkan kurang mengerti setiap
kalimat yang diucapkan konseli, begitu juga sebaliknya maka akan terjadi salah pengertian
terhadap masalah yang dihadapi konseli, ataupun sebaliknya konseli kurang memahami
maksud konselor. Demikian juga kadang terjadi bahwa konselor akan menggunakan skema
dirinya untuk mengerti apa yang sedang dialami konseli, maka terjadilah asimilasi skema diri
ke dalam masalah konseli. Konselor dalam hal ini akan mencontohkan dirinya supaya diikuti
oleh konseli.

22

3.

Konseling Lintas budaya

3.1. Makna Konseling Lintas Budaya
Istilah konseling dari bahasa Inggris to counsel yang secara hurufiah berarti memberi
arahan, nasehat. Orang yang melakukan konseling adalah konselor. Dalam bahasa Inggris
konselor mempunyai arti penasehat dalam hubungan dengan tugas ahli-ahli hukum.35 Van
Beek mengatakan bahwa konseling diartikan sebagai seorang yang berusaha menolong
seorang konseli lewat pendekatan psikologis.36
Pdt. J.D. Engel mengatakan bahwa konseling adalah proses pertolongan antara
seorang penolong (konselor) dan yang ditolong (konseli) dengan maksud untuk meringankan
penderitaan konseli. Keberhasilan seorang konselor diukur bukan dari banyaknya orang yang
datang kepadanya, tetapi banyaknya orang yang merasakan sentuhan pelayanannya. 37 Dengan
demikian konseling berarti usaha dan proses pendampingan38 yang dilakukan oleh konselor
untuk menolong dan menasehati konseli dalam rangka menata kehidupannya secara baru dan
benar. Adhiputra memberikan pengertiannya tentang konseling lintas budaya untuk
menegaskan bahwa adanya saling hubungan antar-budaya yang beragam. Demikian ia
menulis :39
“Konseling lintas budaya (cross-cultural counseling acros cultures,
multicultural counseling ) adalah konseling yang melibatkan konselor dan klien
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses
konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya (cultural biases) pada
pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif (Draguns,
35

J.D. Engel, Konseling. Suatu Fungsi Pastoral. (Salatiga : Tisara Grafika, 2007), p.1.
Aart M. Van Beek, Konseling Pastoral. Sebuh Buku Pegangan bagi para penolong di Indonesia. (Semarang :
Satya Wacana, 1987), p. 4
37
J.D. Engel, Konseling. Suatu Fungsi Pastoral, p.1.
38
Totok S. Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, (Salatiga : AKPI, 2013). p, 64-70, menyebutkan
pendampingan sebagai konteks konseling pastoral dalam rangka merawat, mengasuh, memelihara dan
mengurus sesuatu atau seseorang dengan penuh perhatian dan kepedulian.
39
A. A. Ng. Adhiputra, Konseling Lintas Budaya, p. 2 ; Bandingkan pendapat Sarlito W. Sarwono. Psikologi Lintas
Budaya, p. 2.

36

23

1986: Pedersen,1986: dalam pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. H. Dedi
Supriadi, 2001). Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki
kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, dan memiliki
ketrampilan-ketrampilan yang responsif secara kultural. Dari segi ini maka
konseling pada dasarnya adalah sebuah “perjumpaan budaya” ( cultural
encounter ) antara konselor dan klien yang dilayaninya.”
Konseling lintas budaya di sini bukan saja terkait dengan konseli atau suami istri yang
beda budaya, tetapi terkait juga dengan konselor yang beda budaya dengan konseli tersebut.
Oleh sebab itu konseling lintas budaya dapat menggunakan teori, pendekatan dan prinsip
konseling yang berasal dari suatu konteks budaya tertentu di dalam konteks budaya lain yang
berbeda. Dalam konteks ini konseling lintas budaya memiliki tiga sisi budaya yang melekat
erat dan terjalin menjadi satu pekerjaan pelayanan, yaitu budaya konselor, budaya suami
sebagai konseli dan budaya istri sebagai konseli.
Dalam kaitan dengan proses konseling lintas budaya maka sepatutnya konselor
memperhatikan kekhasan dari setiap kebudayaan di Indonesia pada umumnya dan di Papua
pada khususnya, serta sekaligus mencari keunikan budaya pada diri konseli. Aart M. Van
Beek menemukan bahwa acap kali konselor dan konseli memandang suatu masalah dengan
perspektif budaya yang berbeda. Untuk itu ia menyarankan supaya mulai awal proses
konseling antar budaya diharapkan konselor mencari suatu titik pertemuan yang dapat
mempersatukan konseli dengan konselor dalam pandangan perspektif yang mirip. 40

3.2. Strategi dan Pola Konseling Lintas Budaya
Perkembangan masyarakat yang begitu cepat sejalan dengan lajunya proses
modernisasi dan pembangunan di segala bidang kehidupan telah melahirkan keberagaman
gaya hidup manusia yang diperlihatkan melalui sikap dan perilaku setiap orang untuk
memperlihatkan budaya dirinya. Dalam konteks masyarakat majemuk dan multibudaya inilah
40

Aart M. Van Beek, Konseling Pastoral. Sebuh Buku Pegangan bagi para penolong di Indonesia, p.111-114.

24

gereja dan jemaat kristen hidup serta mengalami interaksi seorang dengan yang lain
berdasarkan ciri budaya masing-masing. Diperlukan sikap saling menerima dan menghargai
seorang akan yang lain dalam keperbedaan sosial budaya jika gereja menghendaki adanya
kenyamanan dan kedamaian dalam hidup pribadi, keluarga maupun kelompok komunitas
dalam masyarakat.
Pelaksanaan konseling lintas budaya oleh pelayan jemaat/gereja dalam konteks
masyarakat majemuk dan multibudaya ini perlu memiliki strategi dan pola pendekatan yang
terstruktur dan konstruktif supaya dapat menolong warga jemaat menjalani kehidupannya.
Pelaksanaan konseling secara terstruktur artinya konseling dilaksanakan secara bertahap,
sedangkan konstruktif artinya konseling diatur dan direncanakan secara profesional oleh
konselor bersama konseli.
Adhiputra mengutip kerangka umum konseling lintas budaya yang disarankan oleh
Pedersen sebagai strategi pelaksanaan konseling lintas budaya (multikultural) untuk menjadi
panduan bagi para konselor sebagai berikut :41
1. Like all other persons artinya konselor sedapat-dapatnya menyadari tentang apa
yang berlaku untuk semua manusia secara universal. Maksudnya konselor perlu
mengakui adanya perbedaan dalam diri setiap orang sebagai potensi yang harus
diakui dan dihargai.
2. Like some other persosns artinya konselor sedapat-dapatnya memahami tentang
apa yang dimiliki sebagian manusia dengan budayanya yang tidak dimiliki oleh
yang lain.

41

A. A. Ng. Adhiputra, Konseling Lintas Budaya , p, 36-37

25

3. Like no other persons artinya konselor dalam pelaksanaan tugas konseling
haruslah dapat mengembangkan ciri-ciri budaya yang unik padadiri setiap
individu.
Strategi konseling lintas budaya ini dapat dilaksanakan melalui beberapa langka
sebagai bagian dari pola pelaksanaan konseling keluarga seperti yang dikemukakan oleh
Willis sebagai berikut :42
Langkah 1,

Memilih pendekatan konseling yang hendak digunakan konselor, yaitu
pendekatan kepribadian, perubahan tingkah-laku atau rational emotive.

Langkah 2,

Mengatur proses pelaksanaan konseling bersama konseli yang berkaitan dengan
waktu dan tempat pelaksanaannya.

Langkah 3,

Proses pelaksanaan konseling secara bertahap.

Langkah 4, Proses deskripsi hasil konseling.
Langkah 5,

Pelaksanaan dialog antara teori dan hasil yang dicapai untuk mendapatkan cara
dan pola bagi pengembangan proses konseling lintas budaya untuk penanganan
konflik budaya suami istri.

3.3. Pendekatan Rational Emotive dalam Konseling Lintas Budaya
Tujuan konseling keluarga secara umum adalah membantu anggota-anggota keluarga
untuk belajar dan menghargai kehidupan keluarga seorang akan yang lain sebagai bapak, ibu,
maupun anak-anak. Menyadari bahwa jika satu anggota keluarga bermasalah maka hal itu
akan
42

mempengaruhi

interaksi

dan

komunikasi

antar

anggota

keluarga

lainnya.

H.S.S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling). Suatu upaya membantu anggota keluarga
memecahkan masalah komunikasi di dalam sistem keluarga.(Bandung : Alfabeta, 2015), p.92-146.

26

Mengembangkan segala potensi yang ada dalam kehidupan keluarga pada diri bapak, ibu
maupun anak-anak yang dapat digunakan untuk keharmonisan kehidupan keluarga. 43
Orientasi konseling berpusat pada diri konseli sebagai manusia yang utuh. Tujuannya adalah
untuk membina kepribadian konseli sebagai anggota keluarga supaya dapat berdiri sendiri
sehingga mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah dalam keluarganya
secara mandiri.44
Willis menulis tentang pelaksanaan konseling dengan pendekatan rational emotive
dimaksudkan supaya setiap anggota keluarga dibantu untuk melihat bahwa mereka
bertanggung-jawab dalam membuat gangguan bagi diri mereka sendiri melalui perilaku
anggota lainnya secara serius. Mereka didorong untuk mempertimbangkan bagaimana akibat
dari perilakunya, pikirannya dan emosinya telah membuat orang lain dalam keluarganya
menirunya. Tetapi juga rational emotive therapy mengajar anggota keluarga untuk
bertanggung-jawab terhadap perbuatannya dan berusaha merubah reaksinya terhadap situasi
keluarga.45
Pendekatan konseling rational emotive menggunakan tiga teknik konseling, yaitu :
teknik kognitif, emotif dan behavior. Teknik kognitif adalah cara konselor menggali dan
gangguan pikiran atau kognisi anggota keluarga karena interpretasinya terhadap situasi
keluarga. Dalam teknik ini yang diubah adalah cara berpikir atau rasio konseli, sebab jika
cara berpikirnya berubah maka tingkah lakunya akan ikut berubah. Teknik emotif adalah cara
konselor menunjukan kepada anggota keluarga sebagai konseli bahwa perasaan-perasaan dan
emosi mereka adalah hasil dari pemikiran mereka. Perasaan tersebut dapat melahirkan sebuah
keyakinan sebagai filosofi kehidupan. Kebiasaan seperti ini menjadi potensi konflik dalam
43

H.S.S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling). Suatu upaya membantu anggota keluarga memecahkan
masalah komunikasi di dalam sistem keluarga.(Bandung : Alfabeta, 2015), p.93
44
Ibid, p.100.
45
ibid , p.125-126

27

keluarga. Salah satu teknik yang dipakai adalah dengan menceritakan perumpamaan, ibarat
atau tamsil dari luar maupun dari Alkitab untuk menghentikan kebiasaan satu anggota
keluarga yang tidak diinginkan anggota keluarga lainnya. Teknik behavioral atau tingkah laku
adalah cara konselor bersama suami istri mengatur hal-hal yang akan digumuli dan dikerjakan
sebagai cara belajar bersama mengharmoniskan keluarga.46

46

H.S.S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling). Suatu upaya membantu anggota keluarga
memecahkan masalah komunikasi di dalam sistem keluarga.(Bandung : Alfabeta, 2015), p.126-128.

28

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Majelis Jemaat GKI Palsigunung Depok Terhadap Pemberdayaan Kelompok Bakal Jemaat T1 712005042 BAB II

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari Perspektif Konseling Feminis T1 752014014 BAB II

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari Perspektif Konseling Lintas Budaya

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari Perspektif Konseling Lintas Budaya T1 752014016 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari Perspektif Konseling Lintas Budaya T1 752014016 BAB IV

0 3 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari Perspektif Konseling Lintas Budaya T1 752014016 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB II

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga

0 0 1

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunikasi Lintas Budaya Selama “Sawasdee Project 21” di Ratchaburi, Thailand T1 BAB II

0 0 9

Konseling Lintas Budaya: Perspektif Konseling dalam Budaya Bali

0 0 22