Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB II

BAB II
PENGAMPUNAN DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS

Bagian ini membahas mengenai pendekatan atau teori-teori yang dibutuhkan
untuk kepentingan penelitian. Namun, sebelum membahas mengenai pengampunan
dari perspektif konseling feminis, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa
pemahaman para ahli tentang defenisi pernikahan, perselingkuhan dan pengampunan.
Hal ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang hubungan yang terjalin dalam
sebuah komitmen pernikahan.

2.1.

Defenisi Pernikahan
Dari perspektif Kristiani, Simanjuntak memaknai pernikahan sebagai

komitmen total dari dua orang di hadapan Tuhan dan sesama dan didasarkan pada
kemitraan yang mutual yang bertujuan untuk pertumbuhan dan menciptakan
masyarakat baru yang dapat membagi berkat dan kesejahteraan kepada sesamanya.1
Sementara Carl Whitaker dalam Augsburger menggambarkan pernikahan sebagai
fokus sentral untuk pencerahan dan proses terapetik alami di dalam budaya.
Pernikahan juga merupakan persoalan terbesar di dalam kehidupan.2 Lebih lanjut,

David Augsburger menegaskan bahwa sebagaimana orang-orang di dalam sebuah
pernikahan itu berubah, maka pernikahan juga dapat berubah. Selama pernikahan

Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor ….. , 379-380.
David Augsburger, Sustaining Love; Healing and Growth in the Passage of Marriage (California:
Regal Books, 1988), 17.

1
2

dapat dinegosiasikan kembali maka dengan demikian juga orang-orang yang berada
di dalamnya dapat bertumbuh.3 Waite dan Gallagher dalam Amato menyatakan
bahwa pernikahan merupakan sebuah sumber penting bagi kebersamaan, keintiman,
dan dukungan sosial.4 Sementara itu, Amato sendiri mengatakan bahwa pasangan
mendapatkan banyak keuntungan yang sah melalui pernikahan karena pernikahan itu
diakui dan dilembagakan. Pernikahan juga menghubungkan pasangan dengan
jaringan sosial lainnya dan melibatkan norma sosial dan harapan yang
mengklarifikasi hak dan tanggungjawab pasangan terhadap satu dan yang lainnya.5
Sedangkan, Antwood dan Seifer dalam Zola mengklaim bahwa pernikahan dipahami
sebagai penyembuh bagi persoalan kehidupan, bahkan sebenarnya pernikahan

merupakan sebuah media yang melaluinya semua masalah dapat diekspresikan.6 Dari
sudut pandang feminis, Humm mendefenisikan bahwa pernikahan merupakan sebuah
institusi yang secara tradisional menyediakan identitas sosial bagi perempuan.7
Sejalan dengan Humm, Sigiro menulis pada jurnal perempuan bahwa pernikahan
digunakan oleh perempuan untuk memperoleh jaminan sosial informal, baik secara
ekonomi maupun kultural yang menganggap perempuan tidak menikah sebagai
produk yang gagal.8

Augsburger, Sustaining Love; Healing and Growth ……., 14.
Amato, Paul R, “Marriage, cohabitation and mental health,” Family Matters no. 96: 2015, 5.
5
Amato, “Marriage, cohabitation…..” , 5.
6
Zola, Marc F, “Beyond Infidelity-Related Impasse: An Integrated, Systemic Approach To Couples
Therapy,” Journal Of Systemic Therapies 26, no. 2: 2007, 28.
7
Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme (Dictionaty of Feminist Theories) (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru), 266.
8
Sigiro, Atnike Nova, Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga di Indonesia, Jurnal Perempuan:

Perkawinan dan Keluarga, Vol. 73, 2012, 12.

3

4

Berangkat dari beberapa pengertian ini dapat dipahami bahwa pernikahan
adalah sebuah unit lembaga terkecil yang melaluinya banyak keuntungan dapat
diperoleh dan banyak persoalan dapat diselesaikan, namun kehidupan pernikahan itu
tidak pernah terlepas dari kehidupan sosial yang melibatkan norma sosial dan budaya
yang telah dibangun di dalam suatu masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa
setiap proses pengambilan keputusan untuk pertumbuhan dan perkembangan di
dalam pernikahan dan keluarga akan sangat dipengaruhi oleh konsep-konsep sosial
dan budaya yang mengikatnya. Sehingga, pada akhirnya dapat dipahami bahwa
pernikahan di dalam dunia patriarkal merupakan sebuah sekuritas bagi angota
keluarganya.

2.2.

Defenisi Perselingkuhan

Stephen T. Fife dkk. menjelaskan bahwa perselingkuhan merupakan

pelanggaran terhadap komitmen hubungan dimana keintiman seksual dan emosional,
atau keduanya, diarahkan jauh dari hubungan primer tanpa persetujuan dari salah satu
pasangan.9 Miller mendeskripsikan perselingkuhan sebagai ketidaksetiaan terhadap
pasangan. Kata “selingkuh” memiliki nada erotis yang seakan-akan hal ini dimasuki
oleh sejenis energy seksual yang merupakan sebuah kiasan untuk sebuah fantasi
seksual yang memiliki gema dan menimbulkan sesuatu pada diri kita.
Konsekuensinya, ketika kita mendengar bahwa seseorang berselingkuh, sebuah
kompleks psikologis yang sangat kuat bangkit dari dalam diri kita.10 Sementara itu,

9

Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 344.
Miller, Barry, “On the Analysis of Cheating,” Journal of Analytical Psychology 58, 2013, 530.

10

Leone menyatakan bahwa perselingkuhan dilihat sebagai sebuah kegagalan objek diri
secara besar-besaran atau trauma relasional yang biasanya berasal dari beberapa

faktor intrapsikis dan interpersonal.11 Lebih lanjut, Amato dan Rogers dalam
Lewandowski Jr. dkk. menyatakan bahwa perselingkuhan adalah sebuah pelanggaran
hubungan yang serius yang pada kenyataannya merupakan alasan yang paling umum
yang membuat pasangan bercerai dalam berbagai budaya.12 Pitmann dalam Zola
memahami perselingkuhan sebagai pelanggaran kepercayaan yang merupakan
gambaran dari perilaku amoral.13 Dari sudut pandang sosiologi, persoalan
perselingkuhan dinilai sebagai sebuah bentuk tindakan kekerasan. Johan Galtung
dalam Anshor memahami bahwa kekerasan sekecil apapun hendaknya tidak dilihat
hanya semata-mata berupa kekerasan langsung, tetapi dibalik kekerasan langsung
tersebut perlu dicermati adanya akar kekerasan kultural dan kekerasan struktural yang
menjadi sumber dari kekerasan itu. Kekerasan kultural terjadi ketika aspek-aspek
budaya, wilayah simbolis eksitensi kita seperti agama, ideology, bahasa dan seni,
ilmu pengetahuan empiris dan formal digunakan untuk melegitimasi kekerasan
langsung mmaupun kekerasan stuktural. Sementara kekerasan stuktural terjadi ketika
terjadi proses pembiaran dari pihak berwenang terhadap kekerasan yang terjadi
maupun dampak yang dihasilkan secara langsung maupun tidak, baik yang bersifat
fisik maupun psikis.14
Leone, Carla, “Helping Couples Heal From Infidelity: A Self Psychological, Intersubjective
Approach,” International Journal Of Psychoanalytic Self Psychology 8, no. 3: 2013, 282.
12

Lewandowski Jr., Gary W. dan Robert A. Ackerman, “Something’s Missing: Need Fulfillment and
Self-Expansion as Predictors of Susceptibility to Infidelity,” The Journal of Social Psychology, 146(4),
2006, 389.
13
Zola, Marc F, “Beyond Infidelity-Related Impasse……..” , 27.
14
Anshor, Maria Ulfa, Perempuan dan Kesejahteraan …………., 28.
11

Dengan demikian, dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa
perselingkuhan dalam hal hubungan pernikahan adalah tindakan pengkhianatan dan
ketidaksetiaan terhadap komitmen yang sudah dibangun bersama pasangan yang sah
berdasarkan agama dan hukum suatu Negara. Selain itu perselingkuhan merupakan
sebuah tindakan kekerasan terhadap pasangan yang dapat disebabkan oleh berbagai
konsep kultural yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat yang kemudian dapat
menjadi kekerasan struktural jika terjadi proses pembiaran dari pihak-pihak yang
berwenang dalam kelompok masyarakat tersebut.

2.2.1. Faktor Penyebab Perselingkuhan
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya oleh Leone bahwa perselingkuhan

yang terjadi di dalam hubungan pernikahan tidak terlepas dari berbagai faktor
penyebab, baik itu intrapsikis maupun interpersonal. Selain itu, Bryant dan Conger di
dalam penelitiannya mengimplikasikan bahwa kurangnya dukungan sosial dari teman
atau keluarga untuk sebuah hubungan romantis merupakan sebuah pemicu terjadinya
perselingkuhan dan pembubaran hubungan.15 Sementara itu Lewandowski Jr. dan
Ackerman membuktikan hipotesis mereka sebelumnya dalam penemuan terbaru
tentang penyebab kerentanan dalam perselingkuhan. Penelitian itu mengindikasikan
kemungkinan bahwa ketika hubungan tidak dapat memenuhi kebutuhan seperti
keintiman, kebersamaan, seks, keamanan dan keterlibatan emosional, maka
kemungkinan besar para individu lebih menyukai untuk menggunakan hubungan

15

Zola, Marc F, “Beyond Infidelity-Related Impasse………” , 28.

yang lain. Penjelasan yang mungkin untuk kemungkinan ini adalah bahwa
pemenuhan kebutuhan terhubung dengan perasaan positif yang kemudian terhubung
pada hubungan itu sendiri. Pemenuhan hubungan tersedia sebagai sebuah wakil bagi
kepuasan hubungan. Lebih lanjut, mereka juga mengindikasi kemungkinan bahwa
ketika hubungan menyediakan jumlah yang lebih rendah untuk pengembangan diri,

penyertaan orang lain dalam diri, dan potensial untuk pengembangan diri di masa
depan, maka akan ada kerentanan yang lebih besar terhadap perselingkuhan. Prinsip
dasar model pengembangan diri ini adalah bahwa meningkatkan diri merupakan
sebuah motif mendasar yang dipuaskan dalam hubungan melalui penyertaan diri
orang lain di dalam diri.16 Dari sisi psikologis, Bagarozzi Sr. mengungkapkan bahwa
perselingkuhan dapat disebabkan oleh kelemahan ego tertentu (misalnya, toleransi
frustrasi rendah, kontrol impuls yang buruk), kekurangan superego (misalnya, kurang
terintegrasi, konkrit, atau superego yang primitif), dan anomali struktural dalam
sistem

diri.17

Sementara

dari

sudut

pandang


patriarkal,

Maggie

Humm

menggambarkan bahwa konsep paternitas (kebapakan) dan keturunan dari garis
keturunan laki-laki

menjadi dasar bagi

kaum

patriarki

sebagai

lambang

kekuasaannya.18 Konsep seperti ini yang pada akhirnya berperan dalam pemberian

hak istimewa kepada kaum laki-laki sebagai suami yang dapat berimplikasi pada
perilaku perselingkuhan jika tidak dapat memenuhi kebutuhan sesuai yang
diharapkan oleh konsep tersebut.

Lewandowski Jr, dan Ackerman, “Something’s Missing ……” , 400.
Bagarozzi, Dennis A., “Understanding and Treating Marital Infidelity: A Multidimensional Model,”
American Journal Of Family Therapy 36, no. 1: 2012, 6.
18
Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 331-332.
16

17

Berdasarkan beberapa pendapat ini, dapat dipahami bahwa kerentanan
terhadap perselingkuhan dapat meningkat jika hubungan tersebut tidak mampu
memenuhi kebutuhan dengan baik dan menyediakan pengembangan diri yang luas
kepada pasangannya. Di lain sisi, keberpihakan sistem budaya sebagai sebuah tatanan
sosial telah melegistimasi perilaku perselingkuhan untuk alasan-alasan khusus dan
kepentingan-kepentingan tertentu. Di atas segalanya, perselingkuhan dapat terjadi
jika individu memiliki kontrol diri yang rendah.


2.2.2. Dampak Perselingkuhan
Agnew dkk. dan Glass

menggambarkan bahwa perselingkuhan dapat

menyebabkan ketidakstabilan yang parah, hilangnya kepercayaan dan meningkatkan
konflik, serta merusak rasa kebersamaan pasangan dan identitas mereka.19 Fife et all.
menambahkan bahwa selain berdampak pada hubungan, perselingkuhan juga
memiliki konsekuensi yang serius terhadap individu. Pasangan yang dikhianati
mungkin mengalami depresi, kemarahan, perasaan ditinggalkan, rasa penolakan,
penurunan harga diri, kehilangan kepercayaan diri dan gejala gangguan stress paska
trauma. Sementara pasangan yang tidak setia juga mungkin akan mengalami
perjuangan emosional yang terkait dengan peristiwa yang telah terjadi, seperti rasa
bersalah, marah, malu dan depersi. Oleh sebab itu, tidak sedikit yang mengarahkan
persoalan perselingkuhan ini kepada proses perceraian seperti yang telah
diungkapkan oleh Amato dan Rogers dalam Lewandowski Jr dkk. sebelumnya bahwa

19

Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating………” , 344.

perselingkuhan adalah salah satu alasan yang paling umum untuk kasus perceraian di
Amerika Serikat dan juga di seluruh budaya dan masyarakat yang ada di dunia.20
Berdasarkan beberapa penemuan yang dipaparkan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa perselingkuhan membawa pengaruh atau dampak yang serius dalam
hubungan pernikahan, dan individu yang terkait dalam hubungan pernikahan dan
keluarga tersebut. Selain membawa dampak terhadap kerusakan hubungan,
perselingkuhan membawa dampak trauma mendalam pada pasangan yang terluka dan
terhadap keluarga secara keseluruhan.

2.3.

Defenisi Pengampunan
Berbicara tentang pengampunan tentunya tidak terlepas dari aspek religius.

Dalam kitab suci agama Kristen, perihal pengampunan sering ditemukan dalam kitab
PL dan PB. Selain itu pengampunan merupakan aspek yang fundamental bagi umat
Kristen.21 Nedumaruthumchalil menjelaskan bahwa pengampunan adalah sebuah ide
konsisten dalam pengajaran agama-agama sama seperti yang dilakukan oleh
penelitian dan praktek dalam bidang kesehatan mental. Dalam penelitiannya, ada 3
aspek pengampunan dalam proses penyebuhan intrapersonal dan interpersonal, yakni:
melepaskan emosi negatif, membangun kembali hubungan, penyesuaian kembali
dengan hubungan tersebut.22 Sementara itu, Baskin dan Enright memahami
pengampunan sebagai sebuah keputusan yang ditandai dengan pelepasan sukarela
Lewandowski Jr, dan Ackerman, “Something’s Missing……..” , 389.
Covert, Mary Beth, dan Judith L. Johnson, "A Narrative Exploration of Motivation to Forgive and
the Related Correlate of Religious Commitment." Journal Of Psychology & Christianity 28, no. 1:
2009, 62.
22
Nedumaruthumchalil, “The Role of Religion and Sprituality in Marriage …...” , 24-25.

20
21

atas perilaku-perilaku dan perasaan-perasaan negatif terhadap pelaku dan
mendemonstrasikan kebaikan kepada pelaku.23 Charles Stanley menambahkan bahwa
pengampunan adalah tindakan memerdekakan seseorang dari kewajiban akibat dari
kesalahan yang diperbuat terhadap orang yang dirugikan.24 Seorang filsuf P. F.
Strawson memaknai pengampunan berarti menerima penolakan dan bersumpah untuk
tidak mendendam. Selanjutnya, Augsburger menegaskan bahwa pengampunan yang
positif membuka kembali masa depan untuk mutualitas dan hubungan timbal-balik
(saling) secara terus-menerus.25 Pada kenyataannya, pengampunan semakin dikenal
sebagai sebuah konsepsi psikologis dan sebuah pilihan terapetik untuk persoalan
relasional dan konflik pernikahan.26 Ditegaskan kembali oleh Fife et all. bahwa dalam
kasus perselingkuhan, penyembuhan hubungan dan rekonsiliasi tidak akan terjadi
tanpa pengampunan.27 Selanjutnya Birnbaum dkk. menulis bahwa pengampunan
berarti melepaskan kemarahan dan dendam, terkadang ditemani rasa empati yang
besar untuk pandangan terhadap orang yang telah menyakiti kita. Ini merupakan
sebuah pilihan untuk tidak membiarkan kesedihan masa lalu berkompromi dengan
masa depan dengan menyumbat pemikiran dan perasaan kita.28 Sementara itu,
Fincham dan Beach memahami bahwa pengampunan, dalam kaitannya dengan

Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……..” , 346.
Charles Stanley, Hadiah Pengampunan (The Gift of Forgiveness) (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil
Immanuel, 1995), 10.
25
David W. Augsburger, Helping People Forgive (Kentucky; Westminster John Knox Press, 1996),
19.
26
Orathinkal, Jose, and Alfons Vansteenwegen, “The Effect of Forgiveness on Marital Satisfaction in
Relation to Marital Stability,” Contemporary Family Therapy: An International Journal 28, no. 2:
2006, 251-252.
27
Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……..” , 345.
28
Birnbaum, Shana dkk. Menulis pada Harvard Women’s Health Watch, “Five Reson to Forgive,”
Harvard Medical School, Vol. 12, No 5, 2005, 1.
23

24

hubungan pernikahan, adalah sebuah konsepsi yang dapat menolong kita memahami
peristiwa dari serangan psikologis dan pola-pola umum komunikasi dalam
pernikahan.29 Berbeda dari pendapat sebelumnya, para feminist menyoroti persoalan
pengampunan dalam pernikahan dari kaca mata dunia patriarkal sebagai sebuah
pengorbanan diri atas nama cinta. Mereka mengganggap bahwa emosi cinta
dikonstruksi secara sosial dan bukan dari alamiah semata.30
Berdasarkan beberapa pengertian ini dapat dipahami bahwa pengampunan itu
merupakan sebuah proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan untuk
bekerja bersama dalam perbaikan hubungan sehingga dapat meningkatkan
kemungkinan rekonsiliasi untuk hubungan mereka. Selain itu dengan mengampuni
dapat membebaskan orang yang dikhianati atau dilukai dari rasa sakit yang dapat
mengganggu ketenangan batin dan bahkan kesehatan fisik. Namun sayangnya, perihal
pengampunan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari konteks sosial dan budaya
masyarakatnya. Sehingga, pada akhirnya perempuan sebagai pemberi pengampunan
selalu mempertimbangkan setiap persoalan dan mengambil keputusan berdasarkan
konsep atau stereotipe yang telah diberikan untuknya.

2.3.1. Alasan-alasan Dalam Pemberian Pengampunan
Covert dan Johnson menemukan dalam penelitiannya bahwa ada tiga kategori
tema mengenai motivasi dalam pemberian pengampunan yaitu: (1) Alasan

Fincham, F.D., and S.R.H. Beach, “Forgiveness in Marriage: Implications for Psychological
Aggression and Constructive Communication,” Personal Relationships 9, no. 3: 2001, 239.
30
Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme …….., 258.
29

keagamaan. Kategori tema ini terbentuk untuk menggunakan naratif yang
menggambarkan motivasi religius atau spritual yang ada di balik aksi pengampunan
yang digambarkan. Tema ini juga menggambarkan sebuah hubungan vertikal
manusia dengan penciptanya. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa banyak orang
termotivasi untuk mengampuni orang lain karena kode moral yang mendasari
perilaku mereka. (2) Alasan relasi. Kategori ini diciptakan atas dasar tuga sub-tema;
hasrat untuk rekonsiliasi, kedekatan hubungan sebelum pelanggaran, dan cinta. Hal
ini juga menggambarkan hubungan horizontal manusia dengan sesamanya. (3) Hasrat
untuk kesejahteraan. Kategori tema ini terbentuk setelah meruntuhkan 3 sub-tema;
kesejahteraan emosional, alasan fisik atau kesehatan, dan menghidar dari kendali
pelaku. Pada kategori ini, manusia ingin memiliki hubungan yang benar dengan
dirinya sendiri. Seringkali manusia termotivasi untuk berubah dalam rangka
membawa kedamaian batin; karena tidaklah nyaman hidup dengan ketegangan atau
gejolak batin.31
Sementara itu, Birnbaum dkk. menulis pada artikel Sekolah Medis Harvard
bahwa di dalam perspektif psikologi ada lima alasan mengapa orang bersedia
memberikan pengampunan, yakni: (1) Mengurangi tekanan. Kita tidak dapat merubah
masa lalu, tetapi perubahan cara berpikir kita terhadap masa lalu yang telah menyakiti
kita dapat mengurangi dampak-dampaknya dalam diri kita dan kemungkinankemungkinan yang dapat menghasilkan penyakit yang berhubungan dengan tekanan.
(2) Perubahan bagi jantung. Kesediaan untuk mengampuni dapat mengurangi resiko
penyakit jantung. Dalam penelitian di Labor Universitas di Tennesse, mengampuni
31

Covert dan Johnson, “A Narrative Exploration of Motivation ……” , 62.

orangtua atau teman untuk sebuah pengkhianatan sangat terkait dengan tekanan darah
yang lebih rendah, denyut jantung lebih lambat dan beban kerja menjadi lebih
berkurang pada otot jantung. (3) Relasi yang lebih kuat. Mengembangkan sebuah
kapasitas untuk mengampuni dapat membantu meredam kekecewaan kecil sehingga
tidak berkembang menjadi hal yang besar. Dalam jurnal psikologi keluarga dikatakan
bahwa perempuan dapat menyelesaikan konflik-konflik pernikahan mereka dengan
lebih efektif ketika mereka dapat mengampuni dan merasakan penuh kebajikan dalam
responnya terhadap perilaku yang menyakitiya. (4) Meringankan penderitaan dan
penyakit kronis. Menghadapi penderitaan dan sakit penyakit, terkadang direspon
dengan kemarahan, frustrasi, menyalahkan diri sendiri, dan rasa bersalah atas
penyakit yang dialami oleh orang yang dicintai. Dengan kemampuan mengampuni
diri kita sendiri, dapat meningkatkan kesembuhan penderitaan atau sakit penyakit
kita. (5) Kebahagian yang lebih besar. Ketika kita dapat mengampuni orang lain, kita
membuat diri kita bertanggungjawab untuk kebahagiaan masa depan kita sendiri.32
Berdasarkan beberapa alasan di atas, penulis memahami bahwa ada begitu
banyak bentuk motivasi orang dalam mengampuni orang-orang yang pernah
menyakitinya di masa lalu. Selain sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan
batin, ternyata pengampunan diberikan sebagai bentuk refleksi atas hubungan
personal kepada Tuhan dan keinginan untuk mempererat hubungan, sehingga
kehidupan di masa depan dapat lebih sejahtera dan bahagia.

32

Birnbaum dkk. menulis pada Harvard Women’s Health Watch, “Five Reson ….” , 2-3.

2.3.2. Tahapan-Tahapan Dalam Pemberian Pengampunan
Gorgon dan Baucom telah menguji sebuah model penyembuhan dari sebuah
pengkhianatan pernikahan dan di dalamnya terdapat gambaran mengenai tahapantahapan yang harus dilakukan dalam proses pemberian pengampunan. Ketiga tahapan
ini dikembangkan berdasarkan tiga tahapan dari model trauma yang ditemukan oleh
Horowitz, Jannoff-Bulman, McCann et all., dan Resick dkk. Tiga tahapan tersebut
adalah (a) dampak, (b) pencarian makna, dan (c) penyembuhan.33
Pada tahap pertama yang disebut tahap dampak, pasangan yang terluka mulai
menyadari dampak dari pengkhianatan terhadap diri mereka sendiri dan hubungan
mereka. Tahap ini merupakan sebuah periode dari gangguan kognitif, emosional dan
tingkah laku yang signifikan. Pada tahap ini, individu mengungkapkan perasaan yang
mereka rasakan. Respon-respon yang ada mengindikasikan bahwa asumsi-asumsi
yang penting tentang pernikahan mereka telah terganggu. Asumsi-asumsi yang
melanggar ini sering melibatkan keyakinan-keyakinan bahwa pasangannya dapat
dipercaya, bahwa hubungan mereka sedang aman, bahwa seseorang dapat
memprediksi bagaimana pasangannya akan bersikap, bahwa seseorang layak untuk
berkuasa atas hubungannya sendiri, dan lain sebagainya. Sementara itu pasangan
yang berkhianat dapat mengingat asumsi-asumsi penting ini dalam pertanyaan:
pasangan yang terluka tidak lagi dapat memercayai asumsi-asumsi mereka untuk
membimbing interaksi mereka sehari-hari atau untuk memprediksi peristiwaperistiwa di masa depan. Oleh sebab itu, mereka mungkin sibuk dengan
Gordon, Kristina Coop dan Donald H. Baucom, “Forgiveness and Marriage: Preliminary Support for
a Measure Based on A Model of Recovery from A Marital Betrayal,” The American Journal of Family
Therapy, 31, 2003, 181-182.
33

mengumpulkan detail yang berhubungan dengan hal-hal negatif atau pengkhianatan
dengan tujuan untuk menjelaskan, atau untuk mengembangkan penyebab dari apa
yang telah terjadi. Selanjutnya, asumsi-asumsi yang melanggar ini sering
menempatkan korban dalam perasaan tak berkuasa, tak berdaya, tidak lagi mampu
memprediksi perilaku masa depan dari pasangannya. Akibatnya, mereka mungkin
menyerang dengan sikap menghukum terhadap pasangannya. Selain itu mereka
mungkin juga menarik diri secara signifikan dari pasangan dan hubungan mereka
untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Fenomena ini adalah rekasi natural
terhadap peristiwa traumatis yang sangat menyakitkan dari para korban tekanan
traumatis.
Tahap ke dua dari model pengampunan ini adalah tahap “pencarian makna”.
Ini terfokus untuk menemukan apakah penghianatan terjadi untuk membuat tingkah
laku pasangan lebih dapat dimengerti atau diprediksi. Dengan pemahaman yang
meningkat ini juga mendatangkan kemungkinan sebuah pemahaman yang meningkat
tentang penguasaan terhadap kehidupan seseorang, ditemani dengan pemahaman
yang meningkat tentang kenyamanan dan keamanan, dan sebuah perasaan
ketidakberdayaan yang berkurang. Pemahaman yang meningkat ini juga menolong
individu dalam merekonstruksi asumsi-asumsi mereka yang melanggar dan
menciptakan keyakinan-keyakinan dan harapan-harapan baru untuk masa depan
hubungan mereka.
Sama halnya dengan korban traumatis pada umumnya, tahap ketiga, disebut
tahap penyembuhan atau “bangkit”. Pada tahap ini orang yang terluka harus bergerak
melewati peristiwa yang ada dan berhenti mengijinkan peristiwa itu mengontrol

kehidupannya. Pada keadaan yang optimal, pasangan yang terluka mengembangkan
sebuah pandangan yang tidak menyimpang terhadap pasangannya dan hubungan
mereka. Selain itu, individu yang terluka sering mengalami perasaan negative yang
semakin berkurang terhadap pasangannya, baik itu dari pemahaman yang meningkat
yang telah dicapai, atau dari kesadaran bahwa melekat pada kemarahan tingkat tinggi
memiliki dampak yang mengacaukan pada orang yang mengalami emosi itu.
Sejalan

dengan

Gordon

dan

Baucom,

Olmstead

dkk.

juga

telah

mengembangkan model penyembuhan terhadap perselingkuhan dari perspektif
terapis. Mereka membaginya ke dalam dua kategori.34 Kategori pertama membahas
tentang komponen-komponen penyembuhan yang dilakukan terapis dalam menyikapi
perselingkuhan. Hal ini meliputi keluarga asal, sejarah hubungan, penerimaan yang
menguntungkan dari tanggungjawab. Sementara itu pada ketegori ke dua berurusan
dengan komponen pengampunan terhadap perselingkuhan. Hal ini meliputi
pemahaman pengampunan, psiko-edukasi, kemurnian, dan waktu.

2.4.

Stereotipe Gender dan Nilai-Nilai Budaya yang Mempengaruhi Proses
Pengampunan Di dalam Masyarakat Patriarkal
Asiyanbola di dalam papernya menegaskan bahwa pembentukan dan praktek

dominasi laki-laki terhadap perempuan dan anak-anak adalah sebuah proses historis
yang dibentuk oleh laki-laki dan perempuan di dalam sebuah keluarga patriarkal yang
merupakan sebuah unit dasar organisasi dalam masyarakat. Selain itu, penelitian di
Nigeria telah menemukan bahwa maskulinitas dan kejantanan dikonstruksi melalui
34

Olmstead, Spencer B., Ryan W. Blick, and Lilbourne I. Mills III, “Helping …” p. 55-60

sebuah proses yang bertahap, pada waktu yang tepat dan tertib dan ditentukan secara
sosial dan terpusat pada keluarga serta peran-peran dan tanggungjawab terhubung
dengan komunitas. Tingkat peranan yang terfokus kepada laki-laki pun sebagian
besar dijalankan oleh perempuan di tingkat rumah tangga, di mana sosialisasi primer
itu berlangsung; seperti dalam hal mengurus dan mendidik anak lai-laki dan
perempuan sesuai dengan stereotipe yang sudah diberikan.

35

Hal serupa juga

dinyatakan oleh Owens dalam tulisannya bahwa gagasan mengenai laki-laki yang
selalu mewujudkan peran maskulin dan perempuan yang selalu merangkul peran
feminin telah menjadi stereotipe umum yang telah berakar dalam konteks masyarakat
patriarki. Namun, di sisi lain, Owen juga menyatakan bahwa stereotipe tidak selalu
salah, tetapi juga tidak selalu benar; stereotipe sering tidak akurat, sehingga
penggunaan stereotipe dalam teks dapat menciptakan sebuah cerita yang tidak
realistis, karena teks akan gagal menggambarkan perbedaan yang hadir di banyak
seting.36 Sejalan dengan itu, Cuddy et all, melalui penelitiannya membuktikan bahwa
budaya membentuk konten-konten dari stereotipe gender. Konten dari stereotipe
gender menghadirkan dimensi kebebasan dan ketergantungan. Lebih lanjut, mereka
menemukan bahwa laki-laki dipandang sebagai yang mewujudkan cita-cita budaya:
Di Amerika Serikat, kebebasan itu dihargai ketika laki-laki lebih bebas dibanding
perempuan; sebaliknya di Korea Selatan, saling ketergantungan dihargai ketika laki-

Asiyanbola, Abidemi R., “Patriarchy, male dominance, the role and women empowerment in
Nigeria,” Paper submitted for presentation as poster at the International Union for the Scientific Study
of Population (IUSSP/UIESP) XXV International Population Conference Tours, France, 18-23, 2005,
3-6.
36
Owens, Alexandra, “Limited by Stereotypes: Gender Bias in Stephanie Meyer's Twilight Series,”
LOGOS: A Journal Of Undergraduate Research 4, 2011, 125.
35

laki dianggap saling tergantung dibanding perempuan. Berangkat dari hasil
penelitiannya, Cuddy et all, memahami bahwa stereotipe gender bukanlah sesuatu
yang universal, melainkan dikelola oleh budaya. Selain itu, prediksi ini tidak hanya
terbatas kepada stereotipe kebebasan dan saling ketergantungan, lebih dari itu mereka
menganggap bahwa dimana setiap sifat dihargai secara budaya, maka sifat itu akan
terkait kepada laki-laki.37
Dari beberapa temuan di atas, penulis memahami bahwa stereotipe gender
dibentuk oleh budaya. Laki-laki dan perempuan di dalam keluarga memainkan
perannya berdasarkan stereotipe yang telah diberikan oleh budaya patriarkal.
Stereotipe gender akan mempengaruhi dan membatasi setiap orang dalam
pengambilan setiap keputusan. Selain itu, penelitian di atas juga menegaskan bahwa
isi dari stereotipe tidak bisa digeneralisasi untuk semua budaya. Budaya patriarkal
pada umumnya menganggap bahwa laki-laki itu bebas dan melakukan pekerjaan yang
bersifat maskulin serta berperan di sektor publik, sementara perempuan dengan sifat
feminin dipandang pantas untuk berperan di sektor domestik. Pada kenyataannya,
penelitian telah menunjukkan bahwa ada budaya yang meyakini bahwa laki-laki itu
juga bersifat saling ketergantungan dan hal ini dianggap sebagai hak yang berharga
secara budaya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa di dalam masyarakat
partiarki tertentu, ketergantungan laki-laki di dalam keluarga juga dibentuk oleh
konteks budaya yang telah membingkainya dan hal ini tentunya dimaksudkan untuk
kebaikan dan keuntungan laki-laki tersebut.

Cuddy, Amy J. C., Susan Crotty, Jihye Chong, Michael I. Norton, “Men as Cultural Ideals: How
Culture Shapes Gender Stereotypes” Working Paper for Discussion only; 10-097, 2-5.

37

Berangkat dari pemahaman di atas, jika dikaitkan dengan kehidupan dalam
keluarga, maka dapat dipahami bahwa sterotip gender yang diberikan kepada ibu
telah menjadi identitas baru bagi perempuan dalam menjalani kehidupan bersama
keluarga, dan untuk kepentingan keluarga maka perempuan dituntut untuk
mempertimbangkan setiap hal dengan sangat hati-hati dan bijaksana. Bila
dihubungkan dengan perselingkuhan suami, maka perempuan sebagai istri dan
sekaligus ibu bagi anak-anak akan mempertimbangkan segala aspek yang ada –
rohani, spiritual, sosial, ekonomi, psikologis dan sebagainya – terlebih jika
diperhadapkan dengan isu perceraian paska perselingkuhan. Ketika perempuan
memutuskan untuk mempertahankan pernikahan untuk alasan pertimbangan tersebut,
maka dapat dianggap bahwa perempuan di dalam keluarga bersifat saling
ketergantungan. Namun, penulis memahami bahwa hal ini tidak hanya dialami oleh
perempuan saja; laki-laki di dalam keluarga juga mengalami hal yang sama. Sebagai
suami dan ayah, laki-laki juga bersifat saling ketergantungan dengan setiap hal yang
ada di dalam keluarga. Istri dalam keluarga telah memainkan peran yang sangat
menolong suami dalam menjalankan semua kebutuhan keluarga, sehingga jika
perceraian terjadi, maka kenyamanan dan keamanan yang selama ini dimiliki akan
terancam terganggu atau rusak. Sehingga untuk alasan keutuhan, kenyamanan, dan
keamanan, tidak jarang suami memohon pengampunan kepada istri; demikian
sebaliknya, untuk alasan kebaikan dan masa depan keluarga, pengampunan diberikan
kepada suami. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa stereotipe gender telah
mempengaruhi proses pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan.

Selanjutnya,

dari

perspektif

feminis

gelombang

ke

dua,

tindakan

pengampunan dapat dilihat sebagai sebuah tindakan pengorbanan yang didasarkan
pada konsep cinta. Konsep ini menjadi kunci utama nilai budaya di mana patriarki
melatih perempuan untuk berpikir secara erotisisme hanya dalam bentuk konsep
romantika heteroseksual.38 Selain itu Millet, Dworkin, dan Greer menyatakan bahwa
emosi cinta itu dikonstruksi secara sosial.39 Sejalan dengan itu, Firestone dalam
Humm menyatakan bahwa perempuan diajarkan untuk mengembangkan kebutuhan
emosional untuk laki-laki, yang disebut cinta oleh patriarki dan emosi ini dikorupsi
oleh konteks kekuasaan dari sistem kelas jenis kelamin.40 Berbeda dengan beberapa
pendapat sebelumnya, feminis Irigaray menyatakan bahwa cinta itu agung, luhur,
hasrat yang ideal, yang bergerak dari sifat-sifat badaniah menuju impian
keharmonisan, dan hal-hal yang berlainan dapat diselesaikan menjadi kesatuan.41
Berdasarkan beberapa pendapat para feminis di atas, dapat dipahami bahwa
perihal pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan suami merupakan persoalan
yang sangat kompleks. Di satu sisi, pengampunan dapat dipahami sebagai sebuah
tindakan pengorbanan dari perempuan yang telah dikonstruksi oleh sosial dan
budayanya sehingga terikat dengan peran dan tugas dalam wilayah domestik untuk
memprioritaskan kepentingan keluarga. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa
stereotipe gender yang diberikan oleh budaya patriarkal telah mempengaruhi proses
pengampunan itu. Namun, di sisi lain, terlepas dari kontrol sosial dan budaya yang

Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 258.
Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 258.
40
Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 258.
41
Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 102.

38

39

telah mempengaruhi, pilihan pengampunan merupakan sebuah pilihan yang
diputuskan oleh istri. Pilihan ini melambangkan cinta kasih seorang perempuan
sebagai istri sekaligus ibu dan menjadi kekuatan yang memberdayakannya untuk
berjuang mempertahankan semua yang dimilikinya.

2.5.

Konseling Feminis
Jika dilihat dari aspek terminologinya, konseling feminis merupakan sebuah

teori yang lahir dari pemikiran psikologis dalam praktek terapetik yang berdasarkan
cita-cita feminis yang menyoroti kehidupan dengan latar belakang sosial, politik dan
ekonomi. Konseling feminis merupakan sebuah pendekatan konseling yang baru
muncul pada tahun 1970an pada sebuah kondisi sosial yang mendambakan
peningkatan kesadaran.42 Pendekatan ini awalnya hadir dalam psikoterapi untuk
menjawab kebutuhan dari pengalaman perempuan yang menderita secara psikologis.
Namun tidak seperti orientasi teoritis lainnya, tidak satupun yg dapat diidentifikasi
sebagai pendiri dari konseling feminis ini. Ada banyak bentuk terapi feminis namun
semuanya berdasar pada beberapa persoalan yang saling berhubungan seperti
individu,

gender

dan

budaya.

Konseling

feminis

selalu

berupaya

untuk

menumbuhkan kesadaran klien secara politik dan sosial.43 Selain itu, konseling
feminis juga menolong perempuan untuk menemukan cara dalam memecahkan
stereotipe dan stigma dari beberapa peran tradisional yang dimainkan perempuan
yang dapat menghalangi perkembangan dan pertumbuhan mereka. Peningkatan

42
43

Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship…….” , 427.
Evans, Kincade, Marbly, dan Seem, “Feminism and Feminis Therapy…..” 269.

kesadaran dan pemberdayaan klien adalah tujuan dari semua usaha konseling feminis
dan bersama dengan itu akan tercipta keamanan internal dan eksternal serta
penyembuhan terhadap trauma. Pemberdayaan merupakan jantung dari pendekatan
feminis di mana klien dapat membebaskan diri dari harapan-harapan peran gender
yang bersifat membatasi.44 Selanjutnya, konseling feminis juga berpusat pada
peningkatan pemahaman perempuan atas dirinya sendiri dan harga dirinya. Setiap
proses yang dihadapi dimaksudkan untuk membentuk perempuan secara emosional
dan menantang mereka secara intelektual.45 Pendampingan dalam konseling feminis
saat ini juga telah terfokus kepada pemberdayaan perempuan dan laki-laki dengan
menyoroti persoalan sosialisasi gender dan peranan gender yang dapat membantu
pertumbuhan klien dalam dunia pribadi dan professional.46
Berdasarkan beberapa pemahaman di atas, penulis memahami bahwa yang
mendasari lahirnya konseling feminis adalah persoalan perempuan yang sering sekali
menjadi korban dari banyak aspek kehidupan seperti sosial, politik, seksualitas dan
ekonomi. Namun, seiring dengan berkembangnya persoalan kehidupan, saat ini
konseling feminis telah memberi perhatian kepada persoalan kemanusian, tidak hanya
kepada perempuan tetapi juga kepada laki-laki untuk tujuan peningkatan kesadaran
dan pemberdayaan.
Berangkat dari pemahaman di atas dapat dipahami bahwa dalam menyikapi
persoalan kemanusiaan, seorang konselor harus memiliki prinsip yang menjadi dasar

Surabhi, “Feminism in the therapeutic space,” Therapy Today 25, no. 1: 2014, HTML, 31-33.
Radov, Carol G., Barbara R. Masnick, and Barbara R. Hauser, “Issues in Feminist Theory: The
Work of a Women's Study Group,” Social Work 22, no. 6: 1977, 509.
46
Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship ……..” , 427

44

45

untuk melakukan konseling feminis. Untuk itu, Gilbert secara jelas mengidentifikasi
dua prinsip dasar pembimbing dari penerapan terapi feminis, yaitu (1) setiap pribadi
itu (baik klien ataupun terapis) bersifat politis, dan (2) hubungan klien dan terapis
bersifat egaliter. Selanjutnya Gilbert menjelaskan bahwa hubungan yang egaliter
dapat dicapai dicapai ketika terapis; (a) memandang klien sebagai ahlinya sendiri, (b)
menginformasikan kepada klien tentang proses terapi, peranan dan haknya dalam
proses terapi, (c) menggunakan strategi yang mempromosikan otonomi dan
kekuasaan klien, (d) mendorong ekspresi kemarahan, dan (e) mencontohkan perilaku
yang tepat untuk klien.47
Sejalan dengan Gilbert, Suzanne E. Degges-White dkk. menegaskan bahwa
prinsip-prinsip terapetik dari teori feminis telah diterjemahkan kepada istilah
supervisi (pengawasan) dan hal ini telah mengarah pada sebuah bentuk supervisi yang
bersifat kolaboratif, pemberdayaan dan berbasis pada kekuatan-kekuatan. Intervensi
dari supervisi individual yang berbasis feminis terfokus pada kesadaran diri dan
kemampuan-kemampuan dalam mengkonsepsikan masalah dan berusaha untuk
mengenal

dan

merekonsiliasi

perbedaan-perbedaan

mengenai

gender

yang

bersinggungan dengan ras, kelas, orientasi seksual, dan konsep sosiologis lainnya di
dalam konteks konseling dengan maksud untuk memberdayakan klien dan
meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang dapat
memperkokoh kehidupan.48

Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship ……..” , 427
Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision Within a Feminis
Framework: Guidelines for Intervention,” Journal Of Humanistic Counseling Vol 52, 2013, p. 92.
47

48

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, penulis memahami bahwa tujuan
utama dari konseling feminis pada hakekatnya adalah dalam rangka penyadaran dan
pemberdayaan terhadap konseli untuk memperoleh pribadi atau kelompok yang
berdaya dalam memperjuangkan hak-hak dalam kehidupan pribadi, profesional
maupun di dalam kehidupan sosial masyarakat.

2.6.

Pengampunan dari Perspektif Konseling Feminis
Pemikiran perempuan dalam memandang persoalan perselingkuhan perlu

dipertimbangkan. Persoalan perselingkuhan merupakan tindak kekerasan, namun
bukan berarti manusia berhak menghakimi dan memutuskan hubungan pernikahan
pasangan suami-istri yang sedang dalam masalah. Namun, sebagai makhluk sosial,
kita berkewajiban untuk memediasi mereka dalam menyikapi persoalan yang ada,
melihat lebih dalam duduk permasalahannya dan mempertimbangkan segala bentuk
kekuatan yang mungkin bisa diperbaiki untuk menyelamatkan pernikahan tersebut.
Dalam perspektif feminis, Luce Irigaray, potensi menjadi istri atau ibu harus dilihat
sebagai hak dalam identitas perempuan, bukan prioritas yang menjadi kewajiban.
Keunikan dalam karyanya adalah bahwa baginya yang esensial dalam perjuangan
pembebasan perempuan bukan menuntut kesetaraan, melainkan dengan membangun
budaya perempuan dan laki-laki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis
kelamin. Irigaray menjelaskan bahwa perbedaan seksual tereduksi sebagai prinsip
sentralnya. Selain itu, dia mengklaim bahwa perbedaan tersebut ditolak dalam budaya

phallo-sentris sehingga tidak terlambangkan dan tidak terwakili.49 Pemahaman ini
mendorong perempuan untuk mengembangkan potensinya sendiri dan menjadi
unggul dengan kemampuannya sebagai seorang perempuan. Hanya dengan melihat
potensi ini dapat membebaskan kaum istri untuk bebas memilih dalam menjalani
kehidupannya sebagai pribadi, sebagai istri dalam rumah tangga, dan bahkan sebagai
anggota masyarakat. Selain itu Irigaray mengungkapkan bahwa perempuan dapat
menciptakan bahasanya sendiri, baik lisan maupun tulisan, sehingga perempuan
memiliki cara untuk mengaktualisasikan dirinya, pemikirannya, perasaannya dan
pendapatnya.50
Berangkat dari pemahaman Irigaray tentang potensi sebagai ibu yang
merupakan hak dalam sebuah identitas, maka penulis membangun pemahaman bahwa
pengampunan yang diberikan kepada suami juga merupakan hak atau sebuah pilihan
yang dapat diambil dalam identitas seseorang isteri. Untuk memahami fenomena
pengampunan istri ini perlu dilihat dari perspektif konseling feminis.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai fokus dari konseling
feminis adalah untuk penyadaran dan pemberdayaan, maka jika dihubungkan dengan
persoalan pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan dapat dipahami bahwa
tindakan pengampunan merupakan sebuah pilihan yang diambil setelah melewati
proses yang melibatkan pemahaman dan kesadaran seseorang untuk dapat mengambil
keputusan sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Carol Zerbe Enns dalam

Daggers, “Luce Irigaray and The Divine Women: A resource of Postmodern Feminis Theology,
Feminis Theology,” The Journal of the Britain & Ireland School of Feminis Theology, January 1,
1997, 38.
50
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (e-book: Colorado: Westview Press), 2009, 156-157.

49

Whalen menyatakan bahwa tujuan utama konseling feminis adalah untuk membantu
individu agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan
kepentingan orang lain.51 Hal ini tampak dalam pilihan pengampunan yang dilakukan
oleh istri dalam menyikapi perselingkuhan suami. Di satu sisi, pilihan pengampunan
dimaksudkan untuk memerdekakan dirinya sendiri dari perasaan tertekan paska
peristiwa traumatic, di sisi lain dia sedang memperjuangkan kepentingan dari semua
anggota dalam keluarganya.
Keputusan untuk memberikan pengampunan memang tidak lepas dari
pertimbangan-pertimbangan yang dipikirkan secara matang dengan melewati
berbagai proses atau tahapan. Selain itu setiap tahapan yang dilewati melibatkan
komponen kognitif, afektif, dan perilaku sehingga orang yang terluka menjadi
mampu mengambil keputusan termasuk dalam memberikan pengampunan kepada
orang yang telah menyakitinya. Terkait dengan perempuan sebagai pribadi yang
memberikan pengampunan kepada suami, maka dapat dipahami bahwa perempuan
tersebut menyadari bahwa keputusan yang diambilnya merupakan keputusan yang
terbaik baginya dan keluarganya.
Bila disorot lebih jauh, persoalan perselingkuhan dalam hubungan pernikahan
merupakan ganguan yang dapat merusak psikis pasangan yang dikhianati dan
menyebabkan tekanan dan taruma terhadap hubungan tersebut, serta berpengaruh
terhadap setiap aspek kehidupan keluarga. Oleh sebab itu, pendampingan dari
perspektif konseling feminis diharapkan dapat menolong dan memberdayakan istri

Mollie Whalen, Karen P, dan Jill S. Barber, “Counseling Practice With Feminist-Multicultural
Perspectives,” 385.

51

yang terluka untuk mengenali kebutuhannya sendiri dan memutuskan yang terbaik
untuknya, termasuk pada saat istri memilih untuk mengampuni suaminya. Ada
sebagian orang yang mungkin dengan mudah dapat mengampuni orang yang
menyakitinya, namun tidak sedikit orang yang masih terus berjuang untuk dapat
mengampuni orang yang telah menyakitinya. Pada akhirnya, pribadi yang mampu
melewati semua proses atau tahapan untuk sampai pada tahap penerimaan dan
pengampunan harus dilihat sebagai seorang pribadi yang memiliki pilihan untuk
memerdekakan dirinya dari tekanan dan trauma dan juga untuk melanjutkan
kehidupan bersama keluarganya dengan segala cita-cita dan harapan yang mereka
miliki.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB I

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB II

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB IV

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB V

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis

0 0 14