Uji Disolusi Tablet Parasetamol Yang Diproduksi Oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk Plant Medan

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tablet

Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempacetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua pemukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah atau zat lain yang cocok (Ditjen POM, 1979).

Menurut Anief (1987), untuk membuat tablet diperlukan bahan tambahan berupa:

a. Bahan pengisi (diluent)

Bahan ini dimaksudkan untuk memperbesar volume tablet. Zat-zat yang digunakan seperti: sakarum laktis, amilum.

b. Bahan pengikat (binder)

Bahan ini dimaksudkan agar tablet tidak pecah dan dapat merekat. Zat-zat yang digunakan seperti: mucilago gummi arabici 10-20%, mucilago amyli 10%, larutan gelatin 10-20% (panas), larutan methylcellulose 5%.

c. Bahan penghancur (disintegrator)

Bahan ini dimaksudkan agar tablet dapat hancur dalam perut. Zat-zat yang digunakan seperti: amilum kering, gelatin, agar-agar, natrium alginat.


(2)

Bahan ini dimaksudkan agar tablet tidak lekat pada cetakan (matrys). Zat-zat yang digunakan seperti: talkum, magnesii stearas.

2.1.1 Cara Penggunaan Tablet

Menurut Ansel (1989), cara penggunaan tablet dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Tablet Oral

a) Tablet biasa yaitu tablet yang dicetak, tidak disalut diabsorpsi disaluran cerna dan pelepasan obatnya cepat untuk segera memberikan efek terapi.

Contoh: tablet parasetamol.

b) Tablet kunyah, dikunyah dulu baru ditelan.

Contoh: antasida.

2. Tablet penggunaanya melalui rongga mulut

a) Tablet bukal, disisipkan diantara gusi dan pipi.

Contoh: tablet progesteron.

b) Tablet sublingual, diletakkan dibawah lidah. Tablet ini cepat melarut dan bahan obatnya cepat diabsorpsi.


(3)

c) Tablet hisap = troches = lozengs. Tablet dihisap dan obatnya terlarut sedikit demi sedikit dan diserap di rongga mulut.

Contoh: antiseptika dan lokal anestesi.

3. Tablet penggunaannya di bawah kulit

a) Tablet implantasi, ditanamkan didalam jaringan di bawah kulit.

Tujuannya untuk pemakaian tempo lama.

Contoh: tablet hormon KB.

b) Tablet hipodermik, tablet ini sebelum digunakan dilarutkan dahulu

dalam pelarutnya.

Contah: atropin sulfat.

4. Tablet everfessen, tablet ini dilarutkan dulu dalam air kemudian diminum. Contoh: Tablet Ca sandoz.

5. Tablet vagina, pemakaiannya melalui vagina. Bentuknya pipih oval ujungnya lebih kecil. Tablet ini mengandung antibiotika dan antibakteri. 2.1.2 Keuntungan Tablet

Karena popularitasnya yang besar dan penggunaannya yang sangat luas sebagai sediaan obat, tablet terbukti menunjukkan suatu bentuk yang efisien, sangat praktis dan ideal untuk pemberian zat aktif tetapi secara oral (Siregar, 2008).


(4)

Menurut Siregar (2008), keuntungan tablet adalah sebagai berikut:

1. Rasa obat yang pahit atau memuakkan atau tidak menyenangkan dibuat agar dapat diterima dan bahkan enak dengan menutup keseluruhan tablet atau granul tablet dengan suatu salut pelindung yang cocok.

2. Keuntungan tablet yang paling nyata adalah kemudahan pemberian dosis yang akurat. Dosis dapat didistribusikan secara seragam dalam keseluruhan tablet untuk memberi kemudahan dalam pemerian dosis yang akurat apabila tablet dipotong menjadi dua bagian atau lebih untuk pemerian pada anak-anak.

3. Tablet tidak mengandung alkohol. Alkohol sering diperlukan untuk meningkatkan kelarutan atau stabilitas bentuk sediaan lain.

4. Kandungan tablet dapat segera disesuaikan dalam berbagai dosis zat aktif. 5. Sifat tablet yang sangat mendasar adalah mudah dibawa, bentuk kompak,

stabilitas yang memadai, ekonomis dibandingkan dengan bentuk sediaan lain, segera tersedia, mudah diberikan, memastikan kesan psikologis yang baik bagi penerimaan hampir semua pasien.

2.2 Analgetik-Antipiretik

Analgetik adalah obat yang dapat mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Sedangkan Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Suhu tubuh normal adalah 36–370

C. Kebanyakan analgetik juga memberi efek antipiretik. Tetapi sebaliknya antipiretik juga dapat mengurangi rasa sakit yang diderita. Masing-masing obat tergantung


(5)

yang mana efeknya paling dominan. Contoh: acetominofen (parasetamol), asetosal (aspirin). Obat-obat tersebut efek antipiretiknya lebih besar daripada analgetiknya. Sedangkan methampyronum (novalgin) mempunyai daya analgetik lebih besar daripada daya antipiretik (Anief, 1997).

2.3 Uraian Umum Parasetamol

Pemerian : Kristal putih tidak berbau atau serbuk kristalin dengan rasa pahit jarak lebur 1690 sampai 1720 C

Rumus Bangun Parasetamol

OH

NHCOCH3

Rumus Struktur : C8H9NO2

Berat Molekul : 151,16

Kelarutan : 1 gram dapat larut dalam kira-kira 70 ml air pada suhu 250 C, 1 gram larut dalam 20 ml air mendidih, dalam 7 ml alkohol, dalam 13 ml aseton, dalam 50 ml kloroform, dalam 40 ml gliserin, dan dalam 9 ml propilen glikol. Tidak larut


(6)

dalam benzene dan eter, dan larut dalam larutan alkali hidroksida (Connors, 1992).

Nama Kimia : 4’- Hidroksiasetanilida (Farmakope Indonesia Ed.IV).

2.3.1 Farmakokinetik

Asetaminofen/parasetamol diserap cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam, masa paruh dalam plasma antara 1-3 jam. Obat ini tarsebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma sebagian parasetamol terikat oleh protein plasma, 25%.

Obat ini mengalami metabolisme oleh enzim-enzim mikrosom dalam hati. 80% asetaminofen dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil dengan asam sulfat dalam hati. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis ertrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai asetaminofen (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Setiabudy, 2007).

2.3.2 Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol


(7)

merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Setiabudy, 2007).

2.3.3 Efek Samping

Tak jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada pengguna kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 g mengakibatkan necrose hati yang tidak reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutathione (suatu tripeptida dengan -SH). Pada dosis di atas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversibel. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal.

Overdosis bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay, 2002).

2.3.4 Indikasi

Digunakan untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri dan menurunkan suhu badan yang tinggi. Misalnya pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid, keseleo, demam imunisasi, demam flu dan lain sebagainya. Obat-obat golongan ini yang beredar sebagai obat bebas adalah untuk sakit yang bersifat ringan,


(8)

sedangkan untuk sakit yang berat (misal: sakit karena batu ginjal dan batu empedu, kanker) perlu menggunakan jenis obat keras, dan untuk demam yang berlarut-larut membutuhkan pemeriksaan dokter.

2.3.5 Sediaan dan Dosis

Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimum 4 g/hari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 g/hari. Anak-anak: 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari.

Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g (Tjay, 2002).

2.4 Disolusi

Disolusi adalah proses suatu zat solid memasuki pelarut untuk menghasilkan suatu larutan. Disolusi secara singkat didefenisikan sebagai proses suatu solid melarut.

Pentingnya laju disolusi zat aktif dari sediaannya pada manfaat klinis dan system penghantaran zat aktif telah lama diakui. Sifat bentuk sediaan yang sangat penting adalah konstribusinya pada laju dan besarnya ketersediaan zat aktif (obat) dalam tubuh (Siregar, 2008).


(9)

Dari jenis alat, ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi:

a. Alat 1 (Tipe Keranjang)

Alat terdiri dari wadah bertutup yang terbuat dari kaca, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan wadah disolusi (keranjang) berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm−175 mm, diameter 98 mm−106 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus dan tanpa goyangan. Sebuah tablet diletakkan dalam keranjang saringan kawat kecil yang diikatkan pada bagian bawah batang logam yang digerakkan oleh motor yang kecepatannya dapat diatur. Wadah dicelupkan sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 370±0,50C selama pengujian dan menjaga agar gerakan air halus dan tetap. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk mencegah penguapan digunakan suatu penutup yang pas.

b. Alat 2 (Tipe Dayung)

Alat ini sama dengan alat tipe 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang logam sebagai pengaduk. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi spesifikasi dengan jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dasar wadah yang dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan obat dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah sebelum dayung mulai


(10)

berputar. Gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Ditjen POM, 1995).

2.4.2 Prosedur Pengujian Disolusi

Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti yang tertera dalam masing-masing monografi) kedalam wadah, pasang alat dan dibiarkan media disolusi mencapai temperature 370C. Satu tablet dicelupkan dalam keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ditjen POM, 1995).

2.4.3 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap. Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi. Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel dibawah ini.


(11)

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm (Lachman, 1994).

2.4.4 Faktor yang Memengaruhi Disolusi Zat Aktif

Menurut Siregar (2008), faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan, antara lain:

a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif Tahap

Jumlah Sediaan yang

diuji

Kriteria Penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%

S2 6

Rata – rata dari 12 unit (S1+ S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%

S3 12

Rata – rata dari 24 unit (S1+ S2+ S3 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q – 25%


(12)

Sifat-sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi: karakteristik fase solid, polimorfisa, kopresipitasi dan/atau kompleksasi, karakteristik partikel, kelarutan zat aktif.

b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan meliputi: eksipien dan zat tambahan, zat pengisi (zat pengencer), disintegran, pengikat dan zat penggranulasi, lubrikan, antilekat (antiadherent) dan glidan. Pengaruh zat tambahan lainnya yaitu pengaruh surfaktan dan pengaruh zat pewarna larut-air pada laju disolusi.

c. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan

Bermacam-macam faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan yaitu metode granulasi/prosedur pembuatan, ukuran granul, interaksi zat aktif-eksipien, pengaruh gaya kempa, pengaruh penyimpanan pada lau disolusi. d. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi

Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi yaitu eksentrisitas gerakan pengaduk, vibrasi/getaran, intensitas pengadukan, kesejajaran unsur pengadukan dan gangguan pola aliran.

e. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji disolusi

Beberapa faktor parameter uji disolusi mempengaruhi karakteristik disolusi zat aktif. Faktor-faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik media disolusi, pH, lingkungan dan suhu sekeliling telah terbukti memengaruhi daya guna disolusi suatu zat aktif.


(13)

Selain faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya, ada berbagai faktor yang tidak tercakup, tetapi secara signifikan memengaruhi karakteristik disolusi zat aktif. Beberapa diantaranya yaitu kontaminasi dari dinding wadah, adsorpsi, sorpsi dan kelembapan.

2.5 Penetapan Kadar

Setelah pengambilan sampel uji disolusi, dilanjutkan dengan proses analisis penetapan kadar zat aktif dalam sampel (Siregar, 2008).

Metode yang dipilih dalam penetapan kadar uji disolusi tablet Parasetamol yaitu spektrofotometri sinar uv. Spektrofotometri sinar uv adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan untuk molekul dan ion-ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004).


(1)

sedangkan untuk sakit yang berat (misal: sakit karena batu ginjal dan batu empedu, kanker) perlu menggunakan jenis obat keras, dan untuk demam yang berlarut-larut membutuhkan pemeriksaan dokter.

2.3.5 Sediaan dan Dosis

Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimum 4 g/hari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 g/hari. Anak-anak: 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari.

Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g (Tjay, 2002).

2.4 Disolusi

Disolusi adalah proses suatu zat solid memasuki pelarut untuk menghasilkan suatu larutan. Disolusi secara singkat didefenisikan sebagai proses suatu solid melarut.

Pentingnya laju disolusi zat aktif dari sediaannya pada manfaat klinis dan system penghantaran zat aktif telah lama diakui. Sifat bentuk sediaan yang sangat penting adalah konstribusinya pada laju dan besarnya ketersediaan zat aktif (obat) dalam tubuh (Siregar, 2008).


(2)

Dari jenis alat, ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi:

a. Alat 1 (Tipe Keranjang)

Alat terdiri dari wadah bertutup yang terbuat dari kaca, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan wadah disolusi (keranjang) berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm−175 mm, diameter 98

mm−106 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada

posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus dan tanpa goyangan. Sebuah tablet diletakkan dalam keranjang saringan kawat kecil yang diikatkan pada bagian bawah batang logam yang digerakkan oleh motor yang kecepatannya dapat diatur. Wadah dicelupkan sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 370±0,50C selama pengujian dan menjaga agar gerakan air halus dan tetap. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk mencegah penguapan digunakan suatu penutup yang pas.

b. Alat 2 (Tipe Dayung)

Alat ini sama dengan alat tipe 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang logam sebagai pengaduk. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi spesifikasi dengan jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dasar wadah yang dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan obat dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah sebelum dayung mulai


(3)

berputar. Gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Ditjen POM, 1995).

2.4.2 Prosedur Pengujian Disolusi

Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti yang tertera dalam masing-masing monografi) kedalam wadah, pasang alat dan dibiarkan media disolusi mencapai temperature 370C. Satu tablet dicelupkan dalam keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ditjen POM, 1995).

2.4.3 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap. Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi. Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel dibawah ini.


(4)

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm (Lachman, 1994).

2.4.4 Faktor yang Memengaruhi Disolusi Zat Aktif

Menurut Siregar (2008), faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan, antara lain:

a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif Tahap

Jumlah Sediaan yang

diuji

Kriteria Penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%

S2 6

Rata – rata dari 12 unit (S1+ S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%

S3 12

Rata – rata dari 24 unit (S1+ S2+ S3 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q – 25%


(5)

Sifat-sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi: karakteristik fase solid, polimorfisa, kopresipitasi dan/atau kompleksasi, karakteristik partikel, kelarutan zat aktif.

b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan meliputi: eksipien dan zat tambahan, zat pengisi (zat pengencer), disintegran, pengikat dan zat penggranulasi, lubrikan, antilekat (antiadherent) dan glidan. Pengaruh zat tambahan lainnya yaitu pengaruh surfaktan dan pengaruh zat pewarna larut-air pada laju disolusi.

c. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan

Bermacam-macam faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan yaitu metode granulasi/prosedur pembuatan, ukuran granul, interaksi zat aktif-eksipien, pengaruh gaya kempa, pengaruh penyimpanan pada lau disolusi. d. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi

Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi yaitu eksentrisitas gerakan pengaduk, vibrasi/getaran, intensitas pengadukan, kesejajaran unsur pengadukan dan gangguan pola aliran.

e. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji disolusi

Beberapa faktor parameter uji disolusi mempengaruhi karakteristik disolusi zat aktif. Faktor-faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik media disolusi, pH, lingkungan dan suhu sekeliling telah terbukti memengaruhi daya guna disolusi suatu zat aktif.


(6)

Selain faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya, ada berbagai faktor yang tidak tercakup, tetapi secara signifikan memengaruhi karakteristik disolusi zat aktif. Beberapa diantaranya yaitu kontaminasi dari dinding wadah, adsorpsi, sorpsi dan kelembapan.

2.5 Penetapan Kadar

Setelah pengambilan sampel uji disolusi, dilanjutkan dengan proses analisis penetapan kadar zat aktif dalam sampel (Siregar, 2008).

Metode yang dipilih dalam penetapan kadar uji disolusi tablet Parasetamol yaitu spektrofotometri sinar uv. Spektrofotometri sinar uv adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan untuk molekul dan ion-ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004).