Uji Disolusi Tablet Parasetamol Produksi Pt. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

(1)

UJI DISOLUSI TABLET PARASETAMOL PRODUKSI PT.

KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

TUGAS AKHIR

OLEH:

INDAH FEBRIYATNA SIREGAR NIM 122410091

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan pengetahuan, kekuatan, kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, serta sholawat beriring salam untuk Rasulullah Nabi Muhammad SAW sebagai contoh tauladan dalam kehidupan.Tugas Akhir ini berjudul “UJI DISOLUSI TABLET PARASETAMOL PRODUKSI PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN”. Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya pada program Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagaimana mestinya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak antara lain:

1. Prof. Dr. Julia Reveny, Msi.,Apt. Sebagai Wakil Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., sebagai koordinator program Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan.

3. Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S.,Apt. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh perhatian hingga tugas akhir ini selesai


(4)

4. Ibu Dra. Siti Nurbaya, M.Si., Apt., sebagai Dosen Penasehat Akademis yang telah memberikan nasehat dan pengarahan kepada penulis dalam hal akademis setiap semester.

5. Bapak dan Ibu dosen staf Pengajar Fakultas Farmasi Program Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan yang berupaya mendukung kemajuan mahasiswa Analis Farmasi Dan Makanan.

6. Seluruh staf dan pegawai PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis dalam melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL)

7. Teman-teman Analis Farmasi dan Makanan stambuk 2012 semuanya tanpa terkecuali, yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terima kasih buat kebersamaan dan semangatnya selama ini, serta masukan dalam penyusunan tugas akhir ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yaitu Ayahanda M.Yusuf Siregar dan Ibunda Ratna serta kakak dan sahabat terbaik penulis Ayu Ardila Siregar SE dan Arifuddin, juga untuk seluruh keluarga besar yang telah mencurahkan perhatian serta memberikan dukungan baik moril maupun materil dan segenap doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan tugas akhir ini, masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan yang dimiliki penulis baik itu sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa. Untuk Itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun


(5)

demi penyempurnaan tugas akhir ini. Semoga tugas akhir ini berguna bagi pembaca secara umum dan penulisan secara khusus. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Mei 2015 Penulis,

Indah Febriyatna Siregar NIM 122410091


(6)

UJI DISOLUSI TABLET PARASETAMOL PRODUKSI PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstrak

Tablet acetaminofen atau disebut juga parasetamol merupakan salah satu obat golongan analgetik-antipiretik, yaitu dapat menghilangkan rasa nyeri dan juga menurunkan panas. Tablet parasetamol harus melalui serangkaian pengujian untuk menentukan kualitas tablet tersebut. Salah satunya adalah uji disolusi. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah tablet parasetamol yang diproduksi oleh PT. Kimia (Persero) Tbk. Plant Medan memenuhi persyaratan uji disolusi sesuai dengan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia Edisi IV.

Sampel terdiri dari 6 tablet yang diambil dari satu bets. Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan alat tipe 2 (metode dayung), pelarut buffer fosfat (ph 5,8), kecepatan 50 rpm dalam waktu 30 menit dengan suhu ± 37o C, dan penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri UV, sesuai dengan prosedur dan alat spektrofotometer UV merk Agilent type 8453 Eyang digunakan di laboratorium PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kadar zat terlarut dari ke-6 tablet, yaitu 96,72%, 99,26%, 94,85%, 97,00%, 97,88%, 95,04%, sesuai dengan batas yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia, dimana jumlah ke-6 tablet yang Diuji pada tahap 1 (S1) memenuhi kriteria penerimaan hasil uji disolusi, yaitu tidak satupun kadar yang diperoleh kurang dari ketentuan (Q + 5%) yakni (75% + 5% = 80%).


(7)

DISSOLUTION TEST PARACETAMOL TABLET PRODUCED BY PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstract

Acetaminophen tablets also called Paracetamol is one of the drugs known as analgesic-antipyretic, which can relieve pain and reduce the heat. Paracetamol tablets must go through a series of tests to determine the quality of the tablet. One is the dissolution test. The purpose of this test is to determine whether paracetamol tablets produced by PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan meets the requirements in accordance with the dissolution test set by the Indonesian Pharmacopoeia Edition IV.

The sample consisted of 6 tablets were taken from a single batch. Dissolution test was performed by using a type 2 (paddle method), phosphate buffer solvent, speed of 50 rpm, within 30 minutes at a temperature of ± 37o C, and assay performed using UV spectrophotometric, method in accordance with the procedures and UV spectrophotometer brands Agilent 8453 Ewhat type used in the laboratory PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan.

The test results showed that the levels of dissolved substances from the 6th tablet, ie 96.72%, 99.26%, 94.85%, 97.00%, 97.88%, 95.04%, in accordance with the limits set out in Pharmacopoeia of Indonesia, where the number of 6th tablet Tested on stage 1 (S1) meet acceptance criteria dissolution test results, that none of the levels that are less than the provisions of (Q + 5%) ie (75% + 5% = 80%) . Key word : Paracetamol tablets, dissolution test, paddle method,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Dan Manfaat ... 3

1.2.1 Tujuan ... 3

1.2.2 Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Pengertian Obat ... 4

2.2 Tablet ... 5

2.2.1 Jenis-jenis tablet ... 6

2.2.2 Syarat-syarat tablet ... 8


(9)

2.3.1 Mekanisme kerja ... 12

2.3.2 Farmakokinetika ... 12

2.3.3 Farmakodinamika ... 13

2.3.4 Efek samping ... 13

2.3.5 Indikasi ... 14

2.3.6 Sediaan dan dosis ... 14

2.3.7 Sindrom toksik yang umum ... 14

2.4 Uji Disolusi ... 15

2.4.1 Metode uji disolusi ... 16

2.4.2 Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju Disolusi ... 18

2.4.3 Syarat penerimaan hasil disolusi ... 19

2.5 Metode Penetapan Kadar Secara Spektrofotometri Ultraviolet (UV) ... 21

2.5.1 Definisi ... 21

2.5.3 Instrumen ... 22

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ... 24

3.1. Alat Dan Bahan ... 24

3.1.1 Alat-alat ... 24

3.1.2 Bahan-bahan ... 24

3.2 Prosedur ... 24

3.2.1 Pembuatan buffer fosfat pH 5,8 ... 24

3.2.2 Pembuatan larutan standar ... 24


(10)

3.2.4 Cara penetapan serapan ... 26

3.3 Perhitungan ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1. Hasil ... 27

4.2. Pembahasan ... 27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

5.1. Kesimpulan ... 29

5.2. Saran ... 29


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Penyimpangan bobot rata-rata ... 9

Tabel 2.2. Tabel penerimaan hasil uji disolusi ... 20

Tabel 4.1. Hasil perhitungan disolusi ... 27


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Struktur parasetamol ... . 11


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data dan hasil uji disolusi tablet parasetamol ... .. 32

Lampiran 2. Data hasil uji disolusi oleh PT. Kimia Farma ... 33

Lampiran 3. Hasilabsorbansilarutansampel ... 34

Lampiran 4. Hasil absorbansi larutan standar ... 35

Lampiran 5. Contoh perhitungan ... 36

Lampiran 6. Gambar alat disolusi (Merk Hanson Type Vision G2 Elite 8TM) ... 38

Lampiran 7. Gambar alat spektrofotometer ... 39


(14)

UJI DISOLUSI TABLET PARASETAMOL PRODUKSI PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstrak

Tablet acetaminofen atau disebut juga parasetamol merupakan salah satu obat golongan analgetik-antipiretik, yaitu dapat menghilangkan rasa nyeri dan juga menurunkan panas. Tablet parasetamol harus melalui serangkaian pengujian untuk menentukan kualitas tablet tersebut. Salah satunya adalah uji disolusi. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah tablet parasetamol yang diproduksi oleh PT. Kimia (Persero) Tbk. Plant Medan memenuhi persyaratan uji disolusi sesuai dengan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia Edisi IV.

Sampel terdiri dari 6 tablet yang diambil dari satu bets. Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan alat tipe 2 (metode dayung), pelarut buffer fosfat (ph 5,8), kecepatan 50 rpm dalam waktu 30 menit dengan suhu ± 37o C, dan penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri UV, sesuai dengan prosedur dan alat spektrofotometer UV merk Agilent type 8453 Eyang digunakan di laboratorium PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kadar zat terlarut dari ke-6 tablet, yaitu 96,72%, 99,26%, 94,85%, 97,00%, 97,88%, 95,04%, sesuai dengan batas yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia, dimana jumlah ke-6 tablet yang Diuji pada tahap 1 (S1) memenuhi kriteria penerimaan hasil uji disolusi, yaitu tidak satupun kadar yang diperoleh kurang dari ketentuan (Q + 5%) yakni (75% + 5% = 80%).


(15)

DISSOLUTION TEST PARACETAMOL TABLET PRODUCED BY PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstract

Acetaminophen tablets also called Paracetamol is one of the drugs known as analgesic-antipyretic, which can relieve pain and reduce the heat. Paracetamol tablets must go through a series of tests to determine the quality of the tablet. One is the dissolution test. The purpose of this test is to determine whether paracetamol tablets produced by PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan meets the requirements in accordance with the dissolution test set by the Indonesian Pharmacopoeia Edition IV.

The sample consisted of 6 tablets were taken from a single batch. Dissolution test was performed by using a type 2 (paddle method), phosphate buffer solvent, speed of 50 rpm, within 30 minutes at a temperature of ± 37o C, and assay performed using UV spectrophotometric, method in accordance with the procedures and UV spectrophotometer brands Agilent 8453 Ewhat type used in the laboratory PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan.

The test results showed that the levels of dissolved substances from the 6th tablet, ie 96.72%, 99.26%, 94.85%, 97.00%, 97.88%, 95.04%, in accordance with the limits set out in Pharmacopoeia of Indonesia, where the number of 6th tablet Tested on stage 1 (S1) meet acceptance criteria dissolution test results, that none of the levels that are less than the provisions of (Q + 5%) ie (75% + 5% = 80%) . Key word : Paracetamol tablets, dissolution test, paddle method,


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat adalah suatu zat yang digunakan untuk diagnosa, pengobatan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau pada hewan. Zat tersebut dapat berasal dari nabati, hewani, kimiawi alam maupun sintetis. Sebelum dipergunakan menjadi obat, zat tersebut terlebih dahulu dibentuk menjadi sediaan farmasi, seperti kapsul, pil, tablet, sirup, suspensi, salep, dan suppositoria (Anief, 1987).

Parasetamol merupakan salah satu obat golongan analgetik-antipiretik, yaitu dapat menghilangkan rasa nyeri dan juga menurunkan panas, yang efektif dan paling aman serta tidak mengiritasi lambung dan tidak mengakibatkan pendarahan. Obat ini digunakan sangat luas dikalangan masyarakat Indonesia, karena harganya yang cukup terjangkau dan mudah didapat, dan di pasaran tersedia dalam berbagai bentuk, antara lain bentuk tablet, kaplet, dan sirup. (Anief, 1987).

Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala, fungsinya memberi tanda tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot (Anief, 1996).


(17)

PT. Kimia farma (Persero) Tbk. Plant Medan memproduksi tablet parasetamol, salah satu parameter uji yang dilakukan untuk pengujian sediaan tablet adalah uji disolusi. Uji ini dilakukan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan lain dalam monografi (Ditjen POM, 1995).

Sebelum melakukan uji disolusi, metode analisis yang digunakan harus ditetapkan terlebih dahulu dan dikaji dengan seksama antara lain: komposisi media disolusi, jumlah media, waktu, kecepatan pengadukan, prosedur penetapan konsentrasi dan toleransi. Setelah pengambilan sampel uji disolusi, dilanjutkan dengan proses analisis penetapan kadar zat aktif dalam sampel (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Faktor yang harus diperhatikan dalam uji disolusi, yaitu ukuran dan bentuk yang akan mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan, selain itu sifat media pelarutan juga akan mempengaruhi uji kelarutan. Beberapa kegunaan uji disolusi antara lain : menjamin keseragaman satu batch, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru (Ditjen POM, 1995). Absorpsi dan kemampuan obat berada dalam tubuh sangat tergantung pada kecepatan pelarutan sehingga siap untuk diabsorpsi.

Berdasarkan hal diatas, maka penulis melakukan uji disolusi tablet parasetamol produksi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan apakah telah


(18)

memenuhi persyaratan serta terjamin mutu dan khasiatnya sehingga layak didistribusikan dan aman untuk digunakan.

1.2 Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan

1. Mengetahui kadar parasetamol dalam tablet produksi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan.

2. Mengetahui apakah kadar parasetamol dalam tablet tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada Farmakope Indonesia edisi IV tahun 1995.

1.2.2 Manfaat

1. Mahasiswa dapat mengaplikasikan kemampuan dalam melakukan uji disolusi dan penetapan kadar parasetamol secara spektrofotometri.

2. Untuk mengetahui laju pelarutan zat aktif dari sediaan, sebab absorbsi dan kemampuan obat berada dalam tubuh sangat tergantung pada adanya obat dalam keadaan terlarut untuk diabsorbsi.

3. Untuk mengetahui dan memberikan informasi kepada masyarakat, bahwa sediaan tablet parasetamol produksi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan telah memenuhi persyaratan serta terjamin mutu dan khasiatnya, sehingga layak didisribusikan dan aman untuk digunakan.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 193/KabB/. VII/71 mendefinisikan bahwa obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan serta memperindah badan atau bagian badan manusia (Joenoes, 2001).

Batas antara obat dan racun sangat pendek, hal ini tergantung pada dosis dan cara pemakaian. Oleh karena itu, obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat bersifat sebagai racun. Obat akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan pada suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila digunakan tidak tepat dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebihan akan menimbulkan keracunan, sedangkan apabila dosisnya lebih kecil, maka pasien tidak akan memperoleh kesembuhan (Widjajanti, 1988).

Efek farmakologi atau efek terapi obat harus mencapai tempat aksinya dalam konsentrasi yang cukup untuk menimbulkan respon. Tercapainya konsentrasi obat tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsorpsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian yang lain dari badan. Kecepatan absorpsi obat akan dipengaruhi oleh laju disolusi, semakin cepat laju disolusi akan semakin cepat absorpsi obat (Anief, 1996).


(20)

2.2 Tablet

Tablet adalah bentuk sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah kedalam lubang cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995).

Tablet didefenisikan sebagai bentuk sediaan solid yang mengandung satu atau lebih zat aktif dengan atau tanpa berbagai eksipien (yang meningkatkan mutu sediaan tablet) dan dibuat dengan mengempa campuran serbuk dalam mesin tablet (Siregar dan Wikarsa, 2012).

Tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancurnya, dan dalam aspek lainnya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Kebanyakan tablet digunakan pada pemberian obat-obat secara oral, dan kebanyakan dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat pemberi rasa, dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Tablet lain yang penggunaanya dengan cara sublingual, bukal, atau melalui vagina, tidak boleh mengandung bahan tambahan seperti pada tablet yang digunakan secara oral (Ansel, 1989).

Komposisi utama dari tablet adalah zat berkhasiat yang terkandung didalamnya, sedangkan bahan pengisi yang sering digunakan dalam pembuatan


(21)

tablet yaitu bahan penghancur, bahan penyalut, bahan pengikat, bahan pemberi rasa dan bahan tambahan lainnya (Ansel, 1989).

2.2.1 Jenis-jenis tablet

Jenis-jenis tablet adalah sebagai berikut : 1. Tablet kompresi

Yaitu tablet kompresi dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai bentuk tablet dan ukuran, biasanya kedalam bahan obatnya diberi tambahan sejumlah bahan pembantu antara lain :

a) Pengencer atau pengisi yang ditambahakan jika perlu kedalam formulasi supaya membentuk ukuran tablet yang diinginkan.

b) Pengikat atau perekat, yang membantu pelekatan partikel dalam formulasi, memungkinkan granul dibuat dan dijaga keterpaduan hasil tabletnya.

c) Penghancur atau bahan yang dapat membantu penghancuran, akan membantu memecah atau menghancurkan tablet setelah pemberian sampai menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, sehingga lebih mudah diabsorpsi.

d) Antirekat pelincir atau zat pelincir yaitu zat yang meningkatkan aliran bahan memasuki cetakan tablet dan mencegah melekatnya bahan ini pada punch dan dieserta membuat tablet-tablet menjadi bagus dan berkilat.

e) Bahan tambahan lain seperti zat warna dan zat pemberi rasa (Ansel, 1989).


(22)

2. Tablet kunyah

Pada tablet kunyah sebagai bahan pengisi dapat berupa mannitol, sorbitol, laktosa atau dekstrosa ditambah bahan pemanis dan bahan pembau (Anief, 1987).

3. Tablet salut

Tablet sering disalut agar dapat menghilangkan rasa tak enak dari obat, menaikkan stabilitas obat terhadap pengaruhuap, air, cahaya, dan terlihat lebih baik (Anief, 1987).

a) Tablet salut gula

Tablet ini sering disebut dragee. Penyalutan dilakukan dengan larutan gula dalam panci untuk penyalutan dan panci untuk mengkilapkan tablet diputar dengan motor penggerak dan dilengkapi dengan alat penghisap dan sistem penghembus dengan udara panas (blower) (Anief, 2008).

b) Tablet salut selaput

Tablet kompresi ini disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut atau tidak larut dalam air maupun membentuk lapisan yang meliputi tablet. Biasanya lapisan ini bewarna, kelebihannya dari penyalutan dengan gula adalah lebih tahan lama, lebih sedikit bahan, waktu yang lebih sedikit untuk penggunaanya (Ansel, 1989).


(23)

c) Tablet salut enterik

Tablet salut enterik adalah tablet yang disalut dengan zat penyalut yang relatif tidak larut dalam asam lambung, tetapi larut dalam usus halus.

Penyalut enterik dimaksudkan:

a) Agar obat tidak mengiritir perut

b) Dikehendaki agar obat berkhasiat dalam usus seperti antelmintika c) Menghindari obat menjadi inaktif dalam cairan lambung, yaitu

karena pH rendah atau dirusak enzim digostif dalam perut (Anief, 2008).

4. Tablet effervescent

Yaitu tablet berbuih dibuat dengan cara kompresi granul yang mengandung garam effervescent atau bahan-bahan lain yang mampu melepaskan gas ketika bercampur dengan air (Ansel, 1989).

2.2.2 Syarat-syarat tablet

Syarat-syarat tablet adalah sebagai berikut: 1. Keseragaman bobot

Keseragaman bobot ditetapkan sebagai berikut :

Ditimbang 20 tablet, dihitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika ditimbang satu-persatu, tidak boleh lebih dari 2 tablet yang menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom A dan tidak boleh satu tablet pun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih dari harga dalam kolom . Jika perlu dapat digunakan dalam


(24)

10 tablet dan tidak satu tablet yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata- rata yang ditetapkan dalam kolom A maupun kolom B (Anief, 2008).

Tabel 2.1. Penyimpangan bobot rata-rata

Bobot rata-rata Penyimpangan bobot rata-rata dalam %

A B

25 mg atau kurang 15% 30%

26 mg sampai dengan 150 mg 10% 20% 151 mg sampai dengan 300 mg 7,5% 15%

lebih dari 300 mg 5% 10%

(Ditjen POM, 1995). 2. Kekerasan tablet

Kekerasan tablet dan ketebalannya berhubungan dengan isi die dan gaya kompresi yang diberikan. Bila tekanan ditambahkan, maka kekerasan tablet meningkat sedangkan ketebalan tablet berkurang. Selain itu metode granulasi juga menentukan kekerasan tablet. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4-8 kg, bobot tersebut dianggap sebagai batas minimum untuk menghasilkan tablet yang memuaskan. Alat yang digunakan untuk uji ini adalah hardness tester, alat ini diharapkan dapat mengukur berat yang diperlukan untuk memecahkan tablet (Ansel, 1989).

3. Friabilitas

Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet ialah dengan mengukur keregasannya (friabilitas). Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet menjadi hancur. Untuk menguji keregasan tablet digunakan alat Roche friabilator. Sebelum tablet dimasukkan ke alat friabilator, tablet ditimbang terlebih dahulu. Kemudian tablet dimasukkan


(25)

kedalam alat, lalu alat dioperasikan selama empat menit atau 100 kali putaran. Tablet ditimbang kembali dan dibandingkan dengan berat mula-mula. Selisih berat dihitung sebagai keregasan tablet. Persyaratan keregasan harus lebih kecil dari 0,8% (Ansel, 1989).

4. Waktu hancur (Disintegration Test)

Uji waktu hancur tablet dilakukan untuk tablet yang tidak bersalut, tablet bersalut bukan enterik, tablet salut enterik, tablet bukal, dan tablet sublingual. Uji waktu hancur dilakukan dengan menggunakan alat uji waktu hancur. Masing-masing sediaan tablet tersebut mempunyai prosedur uji waktu hancur dan persyaratan tertentu (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Uji waktu hancur tidak dilakukan pada etiket jika dinyatakan “tablet kunyah, tablet isap, tablet yang pelepasan zat aktif bertahap dalam jangka waktu tertentu, atau tablet melepaskan zat aktif dalam dua periode berbeda atau lebih dengan jarak waktu yang jelas diantara periode pelepasan tersebut (Siregar dan Wikarsa, 2010).

5. Disolusi (Dissolution Test)

Disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya zat aktif yang terlarut dan memberikan efek terapi di dalam tubuh. Kecepatan absorbsi obat tergantung pada pemberian yang dikehendaki dan juga harus dipertimbangkan frekuensi pemberian obat (Syamsuni, 2007).


(26)

6. Penetapan kadar zat aktif

Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk dikonsumsi (Syamsuni, 2007).

2.3 Paraseta

mol

Rumus Bangun : Acetamenophen; Paracetamol; p-acetamidophenol; N- acetyl-p-amino-phenol

Gambar 2.1. Struktur parasetamol Rumus Struktur : C8H9NO2

Berat Molekul : 151,16

Nama Kimia : 4’- Hidroksiasetanilida

Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit. Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium

hidroksida1N; mudah larut dalam etanol; tidak larut dalam benzen dan eter. (Ditjen POM, 1995).


(27)

2.3.1 Mekanisme kerja

Mekanisme kerja yang berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin (PG) ini memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin Anti-Inflamasi Non-Steroid (AINS) diketahui menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesik, antipiretik dan anti-inflamasinya belum jelas. Selain itu obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

Golongan obat ini menghambat enzim siklo-oksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklo-oksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin (PG) hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

2.3.2 Farmakokinetik

Parasetamol diserap cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam, masa paruh dalam plasma antara 1-3 jam.Obat ini tarsebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma sebagian terikat oleh protein plasma, 25%. Obat ini mengalami metabolisme oleh anzim-anzim mikrosom dalam hati. 80% asetaminofen dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil dengan asam sulfat dalam hati. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil


(28)

hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai asetaminofen (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

2.3.3 Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagaai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

2.3.4 Efek samping

Reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

Methemoglobinemia dan sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% hemoglobin (Hb) diubah menjadi met-Hb. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi berpotensi menyebabkan nefropati analgesik (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).


(29)

2.3.5 Indikasi

Penggunaan asetaminofen sebagai analgetik dan antipiretik adalah sama dengan penggunaan salisilat. Analgesik, penggunaan asetaminofen dapat diberikan tiap 3-4 jam untuk keadaan seperti sakit kepala, migren, serta nyeri haid. Tetapi sebaiknya terapi jangan diberikan terlalu lama. Jika dosis terapeutik biasa tidak memberi manfaat, dosisi yang lebih besar biasanya juga tidak menolong. Antipiretik, penggunaan asetaminofen untuk meredakan demam telah terdesak oleh penggunaannya untuk menimbulkan analgesia.Untuk dewasa dosis 325 mg-1000 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 20 mg/kg BB diberikan tiap 4-6 jam, dosis total perhari jangan melebihi 3,6 g (Tanu, 1972). 2.3.6 Sediaan dan dosis

Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimum 4 g/hari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 g/hari. Anak-anak: 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari. Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g (Tjay dan Kirana, 2002).

2.3.7 Sindrom toksik yang umum

Asetaminofen jika dikonsusmsi secara akut lebih dari 150-200 mg/kg (pada anak-anak) atau 7 gr (pada orang dewasa) dianggap sebagai potensi toksik. Metabolit yang sangat toksik diproduksi didalam hati (Katzung, 2004).

Awalnya pasien mengalami gangguan gastrointernal ringan (mual, muntah). Setelah 24-36 jam bukti cedera hati mulai nampak, disertai kenaikan


(30)

kadar aminotransferase dan hipoprotrombinemia. Pada kasus berat, terjadi gagal hati fulminan, sehingga menyebabkan ensefalopati hepatis dan kematian. Kadar keparahan keracunan ditentukan oleh kadar asetaminofen serum. Jika kadarnya kira-kira 4 jam setelah mengonsumsi lebih dari 150-200 mg/L, maka pasien tersebut beresiko mengalami kerusakan hati (Katzung, 2004).

2.4 Uji Disolusi

Uji Disolusi didefenisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut. Secara singkat, alat untuk menguji karakteristik disolusi dan sediaan padat kapsul atau tablet terdiri dari :

1) Motor pengaduk dengan kecepatan yang dapat diubah,

2) Keranjang baja stainless berbentuk silinder atau dayung untuk ditempelkan keujung batang pengaduk,

3) Bejana dari gelas, atau bahan lain yang inert dan transparan dengan volume 1000 ml, bertutup sesuai dengan di tengah-tengahnya ada tempat untuk menempelkan pengaduk, dan ada lubang tempat masuk pada 3 tempat, dua untuk memindahkan contoh dan satu untuk menempatkan termometer, dan

4) Penangas air yang sesuai untuk menjaga temperatur pada media disolusi (seperti yang dicantumkan dalam masing-masing monografi) ditempatkan dalam bejana dan biarkan mencapai temperatur 37°C ± 0,5°C. Kemudian satu tablet atau satu kapsul yang diuji dicelupkan ke dalam bejana atau


(31)

ditempatkan dalam keranjang dan pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada waktu-waktu tertentu contoh dari mesin diambil untuk analisis kimia dari bagian obat yang terlarut. Tablet atau kapsul harus memenuhi persyaratan seperti yang tertera dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ansel, 1989).

Laju disolusi dapat menjadi tahap pembatasan kecepatan sebelum zat aktif berada dalam darah. Akan tetapi jika bentuk sediaan (tablet) yang diberikan secara per oral masuk dan berada di saluran cerna dalam bentuk sediaan solid, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi untuk tahap pembatasan kecepatan zat aktif berada dalam sirkulasi. Pertama, bentuk sediaan solid harus terdisintegrasi dan zat aktif larut dalam media cair dan kemudian harus melewati membran saluran cerna. Zat aktif yang mudah larut akan cenderung cepat melarut, membuat tahap pembatasan kecepatan, yakni difusi pasif atau transpor aktif zat aktif, untuk absorpsi melalui membran saluran cerna. Sebaliknya kecepatan absorpsi zat aktif yang sukar larut akan dibatasi oleh laju disolusi zat aktif yang tidak larut, atau juga dapat dibatasi oleh kecepatan disintegrasi bentuk sediaan (Siregar dan Wikarsa, 2010).

2.4.1 Metode uji disolusi

Menurut Ditjen POM (1995), ada dua metode alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi:

a) Alat 1 (Tipe Keranjang)

Alat terdiri dari wadah bertutup yang terbuat dari kaca, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan wadah disolusi


(32)

(keranjang) berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm−175 mm, diameter 98 mm−106 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus dan tanpa goyangan. Sebuah tablet diletakkan dalam keranjang saringan kawat kecil yang diikatkan pada bagian bawah batang logam yang digerakkan oleh motor yang kecepatannya dapat diatur. Wadah dicelupkan sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37o ± 0,5oC selama pengujian dan menjaga agar gerakan air halus dan tetap. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk mencegah penguapan digunakan suatu penutup yang pas.

b) Alat 2 (Tipe Dayung)

Alat ini sama dengan alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang logam sebagai pengaduk. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi spesifikasi dengan jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dasar wadah yang dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan obat dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan.

2.4.2 Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:


(33)

1. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat

Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran-ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Syukri, 2002).

2. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut: suspensi, kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara teoritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama, karena diantara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul, tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur, dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju disolusi. Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan


(34)

tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama.Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi diantaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan dan porositas (Siregar dan Wikarsa, 2010).

3. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat (Syukri, 2002).

2.4.3 Syarat penerimaan hasil disolusi

Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ditjen POM, 1995).

Pengujian dengan tiga tahap, Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu


(35)

tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Tabel 2.2. Tabel penerimaan hasil uji disolusi

Tahap Jumlah sediaan yang diuji Syarat penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q+ 5%

S2 6 Rata-rata dari12 unit (S1+S2) adalah

sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q–15%

S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3 )

adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecildari Q–15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q–25%

Keterangan:

S1 : Tahap pertama S2 : Tahap kedua S3 : Tahap ketiga

Q : Jumlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut, seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% adalah persen dari jumlah yang tertera pada etiket sehingga mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali ditetapkan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam 45 menit dengan menggunakan Alat 1 pada 100 rpm atau Alat 2 pada 50 rpm (Ditjen POM, 1995).


(36)

2.5 Metode Penetapan Kadar Secara Spektrofotometri Ultraviolet (UV) 2.5.1 Defenisi

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi dan ini diperoleh dengan alat penguat seperti prisma ataupun celah optis (Gandjar dan Rohman, 2007).

Metode spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrofotometri UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul organik di dalam larutan. Spektrumnya mempunyai daerah yang lebar dan sedikit informasi yang bisa didapatkan dari spektrum ini, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm, sedangkan visible berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).


(37)

2.5.2 Instrumen

Komponen- komponen suatu spektrofotometer meliputi sebagai berikut: - Sumber cahaya

Lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visible (pada panjang gelombang antara 350-900 nm) (Gandjar dan Rohman, 2007).

- Monokromator

Digunakan untuk mendispersikan sinar kedalam komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrumen melewati spektrum (Gandjar dan Rohman, 2007).

- Optik-optik

Dapat didesain untuk memecah sumber sinar, sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam suatu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi (Gandjar dan Rohman, 2007).

- Detektor

Kebanyakan detektor menghasilkan sinyal listrik yang dapat mengaktifkan meter atau pencatat. Setiap pencatat harus menghasilkan sinyal yang secara


(38)

kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang mengenainya. Persyaratan-persyaratan penting untuk detektor meliputi:

1) Sensitivitas tinggi hingga dapat mendeteksi tenaga cahaya yang mempunyai tingkatan rendah sekalipun.

2) Waktu respon yang pendek (Sastrohamidjojo, 1991).

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektofotometri ultraviolet adalah:

a. Pemilihan panjang gelombang maksimum

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.

b. Pembuatan kurva baku

Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi.

c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan

Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal.


(39)

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat- alat yang digunakan adalah alat disolusi (tipe paddle) ( Merk hanson

Type Vision G2 Elite 8TM), beaker glass, labu tentukur, volum pipet, dan

perangkat spektrofotometer (Agilent 8453). 3.1.2 Bahan – bahan

Bahan dan reagensia adalah buffer fosfat pH= 5,8 dan sampel yang diambil adalah parasetamol 500 mg bentuk tablet yang diproduksi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan.

3.2Prosedur

3.2.1 Pembuatan buffer fosfat pH = 5,8

- Ditimbang KH2PO4 sebanyak 68,10 gr, masukkan kedalam beaker glass.

- Ditambahkan 18 ml NaoH 2N dilarutkan dalam 10 L aquadem 3.2.2 Pembuatan larutan standar

- Ditimbang seksama 55,55 mg baku kerja parasetamol, masukkan dalam labu ukur 100 ml.

- Dilarutkan dengan larutan buffer fosfat pH 5,8 (pelarut), dicukupkan dengan pelarut sampai batas.


(40)

- Dipipet 1 ml larutan, masukkan ke dalam labu ukur 100 ml lalu dicukupkan dengan pelarut, kocok.

3.2.3 Pembuatan larutan sampel

- Ditimbang bobot tablet satu persatu sebanyak 2 tablet, catat bobotnya.

- Diisi tabung disolusi dengan media (buffer fosfat) masing-masing sebanyak 900 ml.

- Panaskan media hingga suhu ± 37°C, dengan cara menekan “HEATER” (kontrol dengan termometer bila perlu)

- Setelah suhu sesuai, dimasukkan tablet yang telah ditimbang (setara dengan bobot tablet 600 mg x 500/600 mg parasetamol) tadi kedalam masing-masing tabung (satu tablet per tabung).

- Ditekan tombol “ON” pada alat, diatur waktu dengan menggunakan timer selama 30 menit.

- Setelah selesai, diambil sampel dengan menggunakan spuit 30 ml (posisi alat dayung masih berputar), pindahkan ke dalam beaker glass 50 ml.

- Dipipet 1 ml larutan, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, lalu dicukupkan dengan buffer fosfat pH 5,8 sampai garis tanda.


(41)

3.2.4 Cara penetapan serapan

- Diukur serapan larutan A dan larutan B pada panjang gelombang serapan maximal 243 nm dengan menggunakan larutan buffer fosfat pH = 5,8 sebagai blanko

3.3 Perhitungan

Kadar uji disolusi dapat diukur dengan rumus :

Dimana:

Asp : Absorbansi sampel Ast : Absorbansi standar

Bsp : Bobot parasetamol yang terkandung dalam sampel yang ditimbang (mg)

Bst : Bobot standar parasetamol yang ditimbang (mg) Kst : Kadar standar parasetamol (%)


(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil

Hasil disolusi tablet parasetamol dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.1. Hasil perhitungan disolusi

No Bst= 55,55 Ast = 0,36509

Kadar zat terlarut dalam mg

Kadar zat terlarut dalam %

Bsp (mg) Asp

1 601,73 0,35552 483,625 96,73%

2 600,23 0,36394 496,309 99,27%

3 586,36 0,33976 474,295 94,86%

4 598,42 0,35460 485,035 97.02%

5 612,57 0,36627 489,431 97,90%

6 596,43 0,34627 475,228 95,05%

Perhitungan : Kadar zat larut rata-rata = 96,807%

Syarat S1: Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5% (Q=80%) = 80% + 5% = 85%

4.2Pembahasan

Hasil penetapan kadar Tablet Parasetamol 500 mg yang dilakukan pada uji disolusi secara spektrofotometri terhadap 6 (enam) tablet diperoleh kadar yaitu 96,73%; 99,27%; 94,86%; 97,02%; 97,90%; 95,05%.

Kadar zat aktif yang terlarut tersebut sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia Edisi IV, dimana jumlah keenam sampel yang diuji memenuhi persyaratan yaitu kadar tidak kurang dari Q + 5% (Q = 80%). Hal ini menunjukkan bahwa zat aktif Parasetamol mempunyai kecepatan pelarutan baik.


(43)

Farmakope Indonesia Ed. IV menyatakan, kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilanjutkan sampai tiga tahap, Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Tabel 4.2. Tabel penerimaan hasil uji disolusi

Tahap Jumlah sediaan yang diuji Kriteria penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%

S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1+S2) adalah samadengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q–15%

S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3)

adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecildari Q–15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q–25%

Keterangan:

S1 : Tahap pertama S2 : Tahap kedua S3 : Tahap ketiga

Q : Jumlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut, seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% adalah persen dari jumlah yang tertera pada etiket sehingga mempunyai arti yang sama dengan Q (Siregar dan Wikarsa, 2010).


(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Kadar parasetamol dalam tablet produksi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan adalah 96,73%; 99,27%; 94,86%; 97,02%; 97,90%; 95,05%.

2. Dari hasil penetapan kadar yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tablet Parasetamol 500 mg yang diproduksi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi IV. Dimana persyaratan kadar uji disolusi tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5 (Q = 80%).

5.2 Saran

PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan sebaiknya melakukan pemeriksaan setiap obat yang akan dipasarkan, hingga memenuhi persyaratan demi kesehatan dan keselamatan konsumen. Serta mencoba metode penetapan kadar dengan metode lain agar dapat dibandingkan ketelitian hasilnya


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1987). Ilmu Farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 31, 38, 39, 61, 62.

Anief, M. (1996). Penggolongan Obat : Berdasarkan khasiat dan penggunaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 6, 7, 9.

Anief, M. (2008). Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 212, 214.

Ansel, C.H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI Press. Hal. 244-245.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Padang: Andalas University Press. Hal.1.

Ditjen POM RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1083, 1084.

Gandjar & Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 261-262.

Joenoes, N.Z. (2001). Resep yang Rasional. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 27.

Katzung, B.G. (2010). Farmakologi: Dasar dan Klinik, Jakarta: Salemba Medika. Hal. 608.

Nafrialdi & Setiawati, A. (2007). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Hal 237-238 Sastrohamidjojo, H. (1991), Spektroskopi, Edisi Kedua, Liberty, Yogyakarta. Hal.

11,13.

Siregar, C.J.P & Wikarsa, S. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet: Dasar-Dasar Praktis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Hal. 90, 98-110. Syamsuni, A.H. (2007). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC. Hal. 61. Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. Edisi Pertama. Yogyakarta: UI Press. Hal.


(46)

Tanu, I. (1972). Farmakologi Dan Terapi.Edisi Pertama. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 162, 164.

Tan, T.H. & Kirana,R. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta: PT. Elex Media Komput Indo. Hal. 297, 298.


(47)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data dan hasil uji disolusi tablet parasetamol

Nama sediaan : Tablet Parasetamol 500 mg Zat aktif : 500 mg Parasetamol tiap tablet

No. Betch : B50126 T

Volume Media : 900 ml

Media Disolusi : Buffer fosfat pH 5,8

Tipe Alat : Dayung (Paddle)

Waktu : 30 menit

Kecepatan Putaran : 50 rpm

Panjang Gelombang : 243 nm

Persyaratan (Q) : Tidak kurang 80% dari yang tertera pada etiket

Faktor Pengenceran Larutan Baku : 100 ml

Bobot Baku : 55,55 mg

Faktor Pengenceran Larutan Uji : 900 ml Kandungan Parasetamol pada etiket : 500 mg Absorbansi Larutan Standar : 0,36509 Absorbansi larutan sampel

Sampel Absorbansi Larutan Sampel

Pertama 0,35552

Kedua 0,36394

Ketiga 0,33976

Keempat 0,35460

Kelima 0,36627


(48)

(49)

(50)

(51)

Lampiran 5. Contoh perhitungan

Zat terlarut =

Keterangan :

Bst : Bobot standart parasetamol yang ditimbang (mg)

Bsp : Bobot parasetamol yang terkadang dalam sampel yang ditimbang (mg) Kst : Kadar standart parasetamol (%)

1.

Tablet 1

% Kadar =

= 0,97378

= 96,733%

2.

Tablet 2

% Kadar =

= 0,99683

= 99,273%

3.

Tablet 3

% Kadar =

= 0,93060

= 94,861%


(52)

Lampiran 5. (Lanjutan)

4.

Tablet 4

% Kadar =

= 0,97125

= 97,022%

5.

Tablet 5

% Kadar =

= 1,00323

= 97,901%

6.

Tablet 6

% Kadar =

= 0,94845

= 95,053%

Kadar rata – rata =


(53)

(54)

(55)

(1)

(2)

Lampiran 5. Contoh perhitungan

Zat terlarut =

Keterangan :

Bst : Bobot standart parasetamol yang ditimbang (mg)

Bsp : Bobot parasetamol yang terkadang dalam sampel yang ditimbang (mg) Kst : Kadar standart parasetamol (%)

1.

Tablet 1

% Kadar =

= 0,97378

= 96,733%

2.

Tablet 2

% Kadar =

= 0,99683

= 99,273%

3.

Tablet 3

% Kadar =

= 0,93060

= 94,861%


(3)

Lampiran 5. (Lanjutan)

4.

Tablet 4

% Kadar =

= 0,97125

= 97,022%

5.

Tablet 5

% Kadar =

= 1,00323

= 97,901%

6.

Tablet 6

% Kadar =

= 0,94845

= 95,053%

Kadar rata – rata =


(4)

(5)

(6)