Gambaran Pengetahuan Pendaki Gunung tentang Acute Mountain Sickness (AMS) pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU)

1


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Jumlah orang yang mendaki gunung meningkat, baik untuk pekerjaan atau
kesenangan. Melakukan perjalanan ke ktinggian memang menimbulkan
kebahagiaan, namun berisiko tinggi untuk sesorang mengalami penyakit di
ketinggian (altitude illness) atau memicu masalah kesehatan lainnya hingga bisa
menimbulkan perburukkan. Oleh karena itu, ada baiknya individu

yang

berencana untuk melakukan pendakian, menemui dokter di layanan kesehatan
primer untuk mendapatkan informasi dan anjuran dalam melakukan perjalanan
yang baik sehingga tidak menimbulkan masalah kesehatan (Luks, 2014).

Menurut Gomersallk (2012), sekitar 10 dari 1000 orang yang berhasil
mendaki gunung hingga ke puncak, terdapat kepuasan diri sendiri. Mendaki
gunung di waktu senggang dianggap sebagai rekreasi untuk menghilangkan penat
dari rutinitas sehari-hari, khususnya mereka yang tinggal di daerah perkotaan.
Selain itu, para pendaki gunung biasanya ingin mencari udara segar dan bersih
yang jarang didapatkan di daerah perkotaan karena polusi, debu, dan asap yang
kian memenuhi ruang kota. Penat yang hilang dan udara bersih yang didapatkan
setelah melakukan pendakian diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup para
pendaki gunung, khususnya berkaitan dengan kualitas kesehatan.
Berbagai aktivitas manusia bisa dilakukan di ketinggian, misalnya terkait
olahraga, bercocok tanam, tujuan pariwisata, dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Namun, ketinggian tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk bertahan hidup.
Temperatur yang begitu rendah, kecepatan angin yang tinggi, kelembapan yang
rendah, peningkatan intensitas radiasi matahari, dan penurunan tekanan atmosfer
merupakan berbagai tantangan yang harus dihadapi bagi mereka di ketinggian,
khususnya para pendaki gunung (Chawla dan Saxena, 2014)

Universitas Sumatera Utara

2



Palmer (2010) menyebutkan bahwa perubahan fisiologis yang terjadi
sehubungan aklimatisasi di ketinggian adalah sebagai berikut :
a. Peningkatan ventilasi secara involunter.
b. Peningkatan konsentrasi hemoglobin.


Memengaruhi

hemokonsentrasi

sehubungan

dengan

volume

plasma (dalam beberapa hari).



Meningkatkan jumlah sel darah merah atau eritrosit (2-3 minggu).

c. Peningkatan afinitas hemoglobin dengan oksigen


Pergeseran kurva disasosiasi oksigen ke kiri dari penurunan PCO2
dan peningkatan pH.

d. Penurunan cardiac output


Peningkatan waktu difusi O2 dari alveolus ke kapiler akibat aliran
darah melambat.



Peningkatan tekanan arteri pulmoner dan tekanan kapiler

Jika tubuh gagal melakukan kompensasi, maka akan terjadi keluhan atau

penyakit saat melakukan pendakian gunung, salah satunya, yaitu Acute Mountain
Sickness (AMS). Berdasarkan Rennie et al. (1976) dan Subramanyam et al.
(1969) yang disebutkan dalam kepustakaan Roach et al. (2000), Acute Mountain
Sickness (AMS) adalah sindrom yang muncul pada para petualang ke ketinggian
dengan melakukan pendakian ke tempat yang terlalu tinggi dan atau terlalu cepat.
Gejala yang ditimbulkan oleh acute mountain sickness dapat terjadi secara
ringan hingga berat. Gejala utama dari AMS adalah sakit kepala. Diagnosis AMS
dapat ditegakkan bila baru saja melakukan pendakian hingga ketinggian di atas
2500 mdpl dan diikuti sakit kepala diikuti satu atau lebih manifestasi klinis
lainnya, seperti gangguan gastrointestinal, kelelahan (fatigue), oyong (dizziness),
gangguan tidur, retensi cairan, dan oligouria (Richard, 2014).
Tingginya suatu tempat dan kecepatan pendakian merupakan variabel
utama dalam terjadinya AMS. Semakian tinggi suatu tempat dan cepat waktu
pendakian, angka insidensi terjadi AMS juga semakin besar. Sebuah studi yang

Universitas Sumatera Utara

3



disebutkan dalam situs web Altitude Research Center dari Universitas Colorado
Anschutz Medical, 22% dari mereka yang mendaki hingga ketinggian 7000 –
9000 kaki akan mengalami AMS, dan 42% mengalami AMS jika berada di
ketinggian lebih dari 10000 kaki. Dan diduga sekitar 30 juta jiwa memiliki risiko
untuk mengalami AMS setiap tahunnya.
Dalam studi lain, disebutkan bahwa sekitar 22-77% dari petualang,
khususnya pendaki gunung, mengalami AMS di rentang ketinggian 1850-5895
meter di atas permukaan laut (mdpl) (Luks, 2014). Jika berdasarkan jenis kelamin,
antara laki-laki dan perempuan tidak memeliki perbedaan untuk mengalami AMS
(Palmer, 2010).
Menurut Hackett et al. (1976) dikutip dalam Sharma (2010) yang
menyebutkan bahwa insidensi kejadian AMS sebesar 53% persen pada laki-laki
dan 51% pada perempuan. Kejadian AMS berdasarkan pengelompokkan gender
disebutkan juga berbeda dalam studi lain. Menurut Hanaoka (2000) dikutip dalam
Febriyana, Wiyono, dan Yunus (2003), laki-laki dan perempuan dapat menderita
AMS walaupun perempuan lebih cenderung terkena AMS
Acute High Altitude Illness (AHAI), termasuk di dalamnya AMS, mengenai
pada kelompok orang yang tidak menetap di ketinggain tertentu atau dengan kata
lain mereka melakukan pendakian. Berbeda dengan para penduduk atau orangorang menetap tinggal di ketinggian, yang mana mereka lebih mudah mengalami
chronic mountain sickness (Monge disease). Sekitar 50-70% pendaki gunung

umumnya mengalami AMS, meskipun insidensi bergantung pada kecepatan
pendakian dan juga skala ketinggian. Insidensi AHAI juga dikelompokkan
berdasarkan ketinggian dengan AMS umumnya terjadi pada ketinggian di atas
2500 mdpl (Smedley dan Grocott, 2013).
Studi lain menyebutkan bahwa AMS mungkin terjadi pada individu yang
mendaki ke ketinggian di atas 2500 mdpl dan dilaporkan bahwa 53% di antaranya
terjadi pada ketinggian di atas 4000 mdpl (Lanfranchi et al., 2005).
Ketinggian memengaruhi proses terjadinya AMS. Dalam hal ini, sekitar 68 % disebutkan sebagai persentase terjadinya peningkatan frekuensi nadi dan
ventilasi pada ketinggian 2700 mdpl, meskipun pada ketinggian di atas 3000 mdpl

Universitas Sumatera Utara

4


Sfaturasi O2 pada orang yang belum terkena AMS masih dapat mencapai lebih
dari 90% (Küpper et al., 2010). Menurut Luks, Rodway et al. (2014), AMS dapat
terjadi berdasarkan 3 kelompok kategori risiko, yaitu :
a) Rendah
• Individu tanpa riwayat altitude illness dan tidak pernah mendaki

gunung ≤ 2800 mdpl.
• Individu memakan waktu ≥2 hari untuk mendaki gunung 25003000 m.
b) Sedang
• Individu tanpa riwayat AMS dan tidak pernah mendaki gunung
2500-2800 mdpl dalam 1 hari.
• Individu tanpa riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl
dalam 1 hari.
• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian sekitar
3000-3500 mdpl dan dengan kecepatan > 500 m per hari.
c) Tinggi


Individu dengan riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl
dalam 1 hari.



Semua individu dengan riwayat HAPE atau HACE.




Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500
mdpl.



Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500
mdpl dan dengan kecapatan > 500 m per hari



Pendakian gunung yang sangat cepat.

Acute Mountain Sickness (AMS) memerlukan perhatian yang lebih karena
hingga saat ini belum banyak informasi mengenai hal tersebut, khususnya di
Indonesia. Di Indonesia, masih sedikit didapati studi yang membahas kejadian
AMS di kalangan pendaki gunung. Oleh karena itu, Penulis ingin mengetahui
lebih lanjut bagaimana kejadian AMS di kalangan Mahasiswa USU yang pernah

Universitas Sumatera Utara


5


mendaki gunung serta bagaimana gambaran pengetahuan mereka mengenai hal
tersebut.

1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pengetahuan pendaki gunung tentang Acute Mountain
Sickness (AMS) pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) ?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum :
Mengetahui bagaimana gambaran pengetahuan pendaki gunung yang
merupakan Mahasiswa USU tentang AMS

1.3.2. Tujuan Khusus
1.

Mengetahui


karakteristik

pendaki

gunung

mahasiswa

USU.

Karakteristik tersebut terdiri dari jenis kelamin, ketinggian, dan juga
penyakit penyerta.
2.

Mengetahui gambaran pengetahuan pendaki gunung pada kelompok
mahasiswa USU.

3.


Mengetahui gambaran kejadian AMS pada pendaki gunung
mahasiswa

USU

berdasarkan

karakteristik

dan

gambaran

pengetahuan.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Sebagai informasi mengenai gambaran kejadian AMS bagi institusi
pendidikan, khususnya bagi Fakultas Kedokteran USU dan rekan sejawat
serta tenaga medis dari institusi lainnya, sehingga mampu memberikan
edukasi pada pendaki gunung dalam upaya pencegahan AMS.
1.4.2. Sebagai informasi mengenai AMS bagi masyarakat, khususnya bagi
mereka yang akan mendaki gunung, supaya memiliki bekal pengetahuan
sebelum pendakian.

Universitas Sumatera Utara

6


1.4.3. Sebagai kesempatan bagi peneliti untuk mengintegrasikan ilmu yang telah
didapat di bangku kuliah dan sebagai prasyarat untuk menyelesaikan
program pendidikan Sarjana Kedokteran.

Universitas Sumatera Utara