D 902007005 BAB VIII
Bab VIII
Kesimpulan
“The real voyage of discovery consists not in seeking new lands
but seeing with new eyes.”
(Marcel Proust)
Sampai pada tahap kesimpulan, penulis merasa bahwa hasil
penelitian yang dituangkan dalam disertasi ini sesungguhnya tidak
mengungkapkan suatu teori atau teknik yang baru (new lands) tentang
bagaimana melakukan pembangunan masyarakat, melainkan lebih
pada membuka wawasan yang lebih luas (new eyes) tentang bagaimana
mengembangkan pemberdayaan masyarakat dengan pola pendekatan
yang non-birokratis, yakni bottom-up approach yang memampukan
para agen perubahan menghasilkan partisipasi masyarakat untuk
melakukan pembangunan yang efektif. Hal ini sesuai dengan tujuan
penelitian, yakni mengungkapkan tentang bagaimanakah proses
berlangsungnya pemberdayaan masyarakat tersebut sehingga mampu
menggerakkan partisipasi masyarakatnya dalam proses pembangunan.
Kemudian tentang faktor-faktor apa sajakah yang mampu memberi
motivasi terjadinya pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru.
Faktor dan Instrumen Pemberdayaan Masyarakat di Desa
Tlogoweru
Proses pemberdayaan masyarakat yang terjadi di desa
Tlogoweru merupakan prototipe pemberdayaan masyarakat yang
digerakkan oleh peranan para agen perubahan dengan efektif, yakni
pembangunan masyarakat sebagai implementasi dari partisipasi aktif
dari masyarakat desa Tlogoweru sebagaimana telah diungkapkan di
139
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru
dalam bab IV-VI. Hal ini meneguhkan kajian teoritis yang
menunjukkan pentingnya peranan agaen perubahan sebagai katalisator
dan dan motivator dalam suatu proses pemberdayaan masyarakat.
Sebagai katalisator, sebagaimana telah dipaparkan dalam bab IV, pak
Soetedjo maupun ibu Elisabeth selaku agen perubahan, lebih
mengedepankan pola pembangunan yang berorientasi pada pendekatan
bottom-up yang menekankan komunikasi berupa dialog sehingga
dengan cepat bisa mencairkan sikap negatif atau persepsi yang beda
dari antara kelompok masyarakat desa Tlogoweru untuk menampung
semua aspirasi dan kebutuhan mereka, dengan demikian mereka
mampu menimbulkan trust yang mendorong partisipasi aktif dari
masyarakat desa. Kasus yang serupa pernah menjadi pengalamanan di
negara Korea Selatan, negara ini sebenarnya mengalami masa yang
lebih parah daripada Indonesia setelah masa perang Korea (1950-1953),
namun secara signifikan dapat bangkit dari kemiskinan melalui
gerakan Saemaul Undong (Gerakan Desa Baru) dengan program
pembangunan the Five-Years Economic Development Plan (19621976) yang berhasil mendongkrak pembangunan wilayah-wilayah
perdesaan menjadi suatu wilayah kekuatan sosial masyarakat, yakni
melalui partisipasi masyarakat perdesaan mereka dengan pola
pendekatan bottom-up, yakni program self-help, cooperation and
diligence, dimana para pemimpin dari semua sektor pemerintahan
mengutamakan trust dan aspirasi masyarakat sebagai penggerak
partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat mereka, sehingga
menghantar negara ini menjadi salah satu negara adidaya di dunia masa
kini (Budiman 1991).
Dari hasil penelitian pula, dapat disebutkan adanya enam
faktor sebagai modal sosial yang mampu memotivasi partisipasi dari
masyarakat desa Tlogoweru dalam upaya pemberdayaan masyarakat
sehingga menghasilkan pembangunan yang efektif. Faktor pertama
adalah nilai Sense of belonging (Rasa memiliki). Nilai pembangunan
inilah yang merupakan perekat dan penggerak segenap anggota
masyarakat desa Tlogoweru untuk berpartisipasi dalam pembangunan
mereka. Pak Soeredjo selaku kepala desa amat meresapi nilai
pembangunan ini, baginya desa Tlogoweru dengan seantero
140
Kesimpulan
masyarakat, alam dan kekayaan hayatinya merupakan bagian yang
utuh dalam kehidupannya. Faktor yang kedua adalah Aspiration from
below (Aspirasi dari bawah). Jika keseluruhan dari hasil penelitian ini
disimak dengan seksama akan menyajikan bagaimana nilai
pembangunan desa Tlogoweru amat kental dalam pola kepemimpinan
pak kades Soetedjo dan ibu Elisabeth. Mereka sebagai para agen
perubahan dan pemimpin masyarakat amat menempatkan aspirasi
setiap anggota masyarakat desa Tlogoweru sebagai indikator utama
untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pelaksaksanaan
suatu proyek pembangunan mereka. Faktor ketiga adalah Numerous
participants (Partisipan yang melimpah banyak).
Salah satu keunggulan pola kepemimpinan Pak Soetedjo
bersama dengan seluruh jajaran perangkat desa Tlogoweru bersamasama dengan ibu Elisabeth yang berperan vital dalam keberhasilan
setiap program pembangunan masyarakat di desa Tlogoweru adalah
penekanan partisipasi masyarakat secara penuh dan aktif dalam setiap
upaya pemberdayaan mereka. Pak Soetedjo senantiasa menyerukan
agar setiap anggota masyarakat memahami, menghayati dan
mengambil bagian dalam program-program pembangunan. Salah satu
contohnya adalah dalam kasus program pengembangan burung Tyto
Alba. Agar setiap anggota masyarakat desa Tlogoweru mau terlibat
dalam partisipasi maka tak segan-segan dibangunlah kandang karantina
burung Tyto Alba walaupun harus mengeluarkan dana yang mahal.
Faktor keempat adalah Dare to taking risk (Berani mengambil resiko).
Peranan seorang pemimpin dan kepemimpinan amat berpengaruh
dalam kesuksesan suatu pembangunan. Hasil penelitian ini memuat
cukup fakta empiris tentang bagaimana pak Soetedjo dan ibu Elisabeth
harus senantiasa menghadapi tantangan kesulitan maupun kendalakendala sosial dalam mencetuskan ide hingga sampai pelaksanaan
proyek pembangunan, namun mereka sebagai pemimpin yang berani
mengambil resiko dengan melakukan pengorbanan dalam banyak hal.
Faktor yang kelima adalah Aiming for mutual welfare (Bertujuan bagi
kesejahteraan bersama). Pemicu yang amat mempengaruhi masyarakat
desa Tlogoweru untuk mengambil bagian dalam partisipasi pembangun
adalah keyakinan mereka bahwa usaha-usaha pemberdayaan yang
141
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru
dicanangkan oleh pak kades Soetedjo bersama ibu Elisabeth adalah
bertujuan bagi peningkatan kesejahteraan hidup mereka. Dan faktor
keenam adalah Learning atmosphere (Atmosfir yang mendorong
pembelajaran). Salah satu karakter ibu Elisabeth yang cukup menonjol
adalah kemauannya yang kuat untuk senantiasa mendorong orang lain
untuk melakukan pemberlajaran. Keberadaan LPKS adalah bukti
konkrit bagaimana faktor ini ditanamkan dalam diri masyarakat desa
Tlogoweru.
Selanjutnya, ada beberapa instrumen yang memungkinkan
keenam faktor tersebut di atas dapat terjadi. Adapun instrumen
pertama yang merupakan pendukung motivasi dalam pembangunan
masyarakat desa Tlogoweru adalah Job description (Penjabaran tugas).
Ibu Elisabeth amat tegas dalam hal penjabaran tugas, karena baginya
dengan pembagian tugas yang jelas akan menentukan keefektifan kerja.
Uraian hasil penelitian yang dituangkan dalam bab IV-VI banyak
memberi contoh bagaimana program-program pembangunan selalu
mengandalkan tim kerja yang baik. Demikian pula dengan pak
Soetedjo yang senantiasa tanpa lelah melakukan supervisi terhadap
setiap pemimpin kelompok tani dan setiap perangkat desa untuk
melakukan tugas kerja mereka dengan sebaik-baiknya. Instrumen
kedua adalah Encouragement (Pengobaran semangat). Semangat
berpartisipasi dalam kerja amat berperan vital untuk mencapai suatu
keberhasilan dalam bidang apapun. Setiap hari Jumat selepas ibadah
solat, para pemimpin masyarakat desa Tlogoweru pasti berkumpul di
ruangan kerja pak Soetedjo yang terletak di sebelah tempat tinggal
beliau. Melalui forum inilah, pak Soetedjo senantiasa memberi
informasi atau laporan tentang segala sesuatu yang sedang berlangsung
di desa mereka. Demikian pula ibu Elisabeth hampir sebulan sekali
pasti mengusahakan untuk berkunjung ke desa Tlogoweru untuk
melakukan evaluasi kerja. Ibu Elisabeth selalu memperhatikan segala
sesuatu yang menjadi keinginan atau kebutuhan masyarakat desa
Tlogoweru dan siap untuk memfasilitasi pencapaian keinginan atau
kebutuhan tersebut. Instrumen yang ketiga adalah Partnership
(Kemitraan). Pak Soetedjo dan ibu Elisabeth amat menekankan
kemitraan kerja sebagai instrumen yang efektif dalam merencanakan
142
Kesimpulan
dan melaksanakan setiap program pembangunan masyarakat. Laporan
empiris hasil penelitian yang telah dielaborasi di Bab IV-VI sudah
cukup menyajikan hasil penelitian yang menunjukkan kemitraan
merupakan penggerak yang menginspirasi dan memotivasi lahirnya
program-program pemberdayaan dalam pembangunan. Hal ini terlihat
dalam hal bagaimana pembangunan sumur, peternakan sapi atau desa
wisata dapat terjadi tidak lain disebabkan oleh adanya kemitraan
dengan pihak-pihak lain. Instrumen keempat adalah Intuitive (Intuisi).
Para pratiksi dalam dunia marketing mengakui bahwa ada faktor “X”
seringkali adalah kunci keberhasilan seorang marketer (Prama, 2002;
Kartajaya, 2005). Dan faktor “x” dalam kasus keberhasilan
pembangunan desa Tlogoweru adalah dari intuisi atau gerakkan hati
dalam diri ibu Elisabeth dan pak Soetedjo. Hampir semua ide dan
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru mencapai
tujuannya disebabkan oleh kekuatan intuisi yang digerakkan oleh
adanya kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi. Penelitian ini
telah memberi gambaran bahwa pemberdayaan masyarakat desa
Tlogoweru merupakan perwujudan dari intuisi yang ada dalam diri ibu
Elisabeth atau pak Soetedjo yang kemudian dikomunikasikan bersama
dan menghasilkan suatu pemberdayan masyarakat dalam rangka
merencenakan dan melakukan pembangunan. Instrumen terakhir bagi
pembangunan masyarakat adalah Trust (Kepercayaan). Bab VII telah
menyimpulkan bagaimana kepercayaan (trust) merupakan kunci
penggerak partisipasi dari masyarakat untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat yang efektif di desa Tlogoweru.
Implikasi Teoritis
Dalam kerangka teori pembangunan masyarakat, pendekatan
People-Centered Development (Pembangunan yang berpusatkan pada
rakyat) merupakan bagian temuan dari penelitian ini, yakni paradigma
pembangunan masyarakat yang dijalankan sebagai hasil dari partisipasi
masyarakat mulai dari awal perencanaan, pengambilan keputusan
maupun pelaksanaannya, atau yang seringkali disebut sebagai bottomup approach (pendekatan dari bawah ke atas). Pendekatan ini memiliki
143
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru
implikasi yang menentukan keberhasilan dari suatu perencanaan dan
pelaksanaan usaha pemberdayaan masyarakat, khususnya di
masyarakat perdesaan, karena masyarakat akan lebih didorong untuk
mengambil bagian mereka untuk menjadi bagian dari proses
pembangunan yang ada. Dengan demikian, hasil penelitian di desa
Tlogoweru ini bisa menjadi suatu prototipe bahwa keberhasilan
pembangunan masyarakat juga bertumpu pada paradigma atau
pendekatan teori pembangunan yang dianut oleh para agen
pembaruan, karena mind-set mereka yang tercermin dari teori yang
mereka terapkan memiliki dampak yang vital terhadap sikap maupun
kebijakan yang mereka tetapkan maupun jalankan dalam hal
pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Harapan Bagi Pembangunan Masyarakat Perdesaan di
Indonesia
Melalui penelitian ini, penulis ingin menggugah semangat dari
rekan-rekan para pemimpin daerah maupun para pemimpin lembaga
pengembangan atau pelayanan masyarakat untuk terus berjuang bagi
pembangunan masyarakat perdesaan di Indonesia walaupun
menghadapai kurangnya fasilitas dana atau kendala-kendala nonmaterial lainnya, karena suatu usaha pembangunan masyarakat akan
bisa tetap berjalan dengan baik jika para pemimpin selaku para agen
perubahan mengedepankan prinsip kepemimpinan yang baik, yakni
paradigma pembangunan masyarakat yang berpusatkan pada rakyat,
yaitu suatu pembangunan masyarakat dimana prakarsa dan proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap
demi tahap harus dimulai dan berupa aspirasi dari masyarakat dimana
pembangunan akan diberlangsungkan; Fokus utama dari pembangunan
masyarakat tersebut adalah suatu perencanan usaha yang diarahkan
secara transparan hanya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
setempat untuk memiliki swadaya untuk mengelola dan
memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat di komunitas untuk
memenuhi kebutuhan mereka; Pendekatan pembangunan masyarakat
144
Kesimpulan
yang dijalankan harus memiliki tingkat daya yang mampu
mentoleransi variasi kapasitas-kapasitas masyarakat lokal dan oleh
karenanya, pembangunan masyarakat tersebut harus bersifat flexible
sehingga mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lokal; Dan para
agen pebaruhan ketika melaksanakan pembangunan masyarakat
tersebut, pendekatan yang dipakai dalam melalukan interaksi sosial
harus menekankan pada proses social learning yang didalamnya
terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai
dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan
saling belajar; Dengan demikian dapat terjalin suatu proses
pembentukan jejaring (networking) antara birokrasi dan lembaga
swadaya masyarakat, yaitu berupa satuan-satuan organisasi tradisional
yang mandiri. Jejaring sosial ini harus merupakan suatu bagian yang
integral dari pendekatan sosial tersebut, yang bertujuan baik untuk
meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola
pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara
struktur vertikal maupun horizontal. Melalui proses networking ini
diharapkan terjadi suatu simbiose sosial, yaitu keharmonisan dari
antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal dan
pemerintahan daerah.
Mari bersama kita membangun
masyarakat perdesaan Indonesia yang sejahtera!
Soli Deo Gloria
145
Kesimpulan
“The real voyage of discovery consists not in seeking new lands
but seeing with new eyes.”
(Marcel Proust)
Sampai pada tahap kesimpulan, penulis merasa bahwa hasil
penelitian yang dituangkan dalam disertasi ini sesungguhnya tidak
mengungkapkan suatu teori atau teknik yang baru (new lands) tentang
bagaimana melakukan pembangunan masyarakat, melainkan lebih
pada membuka wawasan yang lebih luas (new eyes) tentang bagaimana
mengembangkan pemberdayaan masyarakat dengan pola pendekatan
yang non-birokratis, yakni bottom-up approach yang memampukan
para agen perubahan menghasilkan partisipasi masyarakat untuk
melakukan pembangunan yang efektif. Hal ini sesuai dengan tujuan
penelitian, yakni mengungkapkan tentang bagaimanakah proses
berlangsungnya pemberdayaan masyarakat tersebut sehingga mampu
menggerakkan partisipasi masyarakatnya dalam proses pembangunan.
Kemudian tentang faktor-faktor apa sajakah yang mampu memberi
motivasi terjadinya pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru.
Faktor dan Instrumen Pemberdayaan Masyarakat di Desa
Tlogoweru
Proses pemberdayaan masyarakat yang terjadi di desa
Tlogoweru merupakan prototipe pemberdayaan masyarakat yang
digerakkan oleh peranan para agen perubahan dengan efektif, yakni
pembangunan masyarakat sebagai implementasi dari partisipasi aktif
dari masyarakat desa Tlogoweru sebagaimana telah diungkapkan di
139
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru
dalam bab IV-VI. Hal ini meneguhkan kajian teoritis yang
menunjukkan pentingnya peranan agaen perubahan sebagai katalisator
dan dan motivator dalam suatu proses pemberdayaan masyarakat.
Sebagai katalisator, sebagaimana telah dipaparkan dalam bab IV, pak
Soetedjo maupun ibu Elisabeth selaku agen perubahan, lebih
mengedepankan pola pembangunan yang berorientasi pada pendekatan
bottom-up yang menekankan komunikasi berupa dialog sehingga
dengan cepat bisa mencairkan sikap negatif atau persepsi yang beda
dari antara kelompok masyarakat desa Tlogoweru untuk menampung
semua aspirasi dan kebutuhan mereka, dengan demikian mereka
mampu menimbulkan trust yang mendorong partisipasi aktif dari
masyarakat desa. Kasus yang serupa pernah menjadi pengalamanan di
negara Korea Selatan, negara ini sebenarnya mengalami masa yang
lebih parah daripada Indonesia setelah masa perang Korea (1950-1953),
namun secara signifikan dapat bangkit dari kemiskinan melalui
gerakan Saemaul Undong (Gerakan Desa Baru) dengan program
pembangunan the Five-Years Economic Development Plan (19621976) yang berhasil mendongkrak pembangunan wilayah-wilayah
perdesaan menjadi suatu wilayah kekuatan sosial masyarakat, yakni
melalui partisipasi masyarakat perdesaan mereka dengan pola
pendekatan bottom-up, yakni program self-help, cooperation and
diligence, dimana para pemimpin dari semua sektor pemerintahan
mengutamakan trust dan aspirasi masyarakat sebagai penggerak
partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat mereka, sehingga
menghantar negara ini menjadi salah satu negara adidaya di dunia masa
kini (Budiman 1991).
Dari hasil penelitian pula, dapat disebutkan adanya enam
faktor sebagai modal sosial yang mampu memotivasi partisipasi dari
masyarakat desa Tlogoweru dalam upaya pemberdayaan masyarakat
sehingga menghasilkan pembangunan yang efektif. Faktor pertama
adalah nilai Sense of belonging (Rasa memiliki). Nilai pembangunan
inilah yang merupakan perekat dan penggerak segenap anggota
masyarakat desa Tlogoweru untuk berpartisipasi dalam pembangunan
mereka. Pak Soeredjo selaku kepala desa amat meresapi nilai
pembangunan ini, baginya desa Tlogoweru dengan seantero
140
Kesimpulan
masyarakat, alam dan kekayaan hayatinya merupakan bagian yang
utuh dalam kehidupannya. Faktor yang kedua adalah Aspiration from
below (Aspirasi dari bawah). Jika keseluruhan dari hasil penelitian ini
disimak dengan seksama akan menyajikan bagaimana nilai
pembangunan desa Tlogoweru amat kental dalam pola kepemimpinan
pak kades Soetedjo dan ibu Elisabeth. Mereka sebagai para agen
perubahan dan pemimpin masyarakat amat menempatkan aspirasi
setiap anggota masyarakat desa Tlogoweru sebagai indikator utama
untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pelaksaksanaan
suatu proyek pembangunan mereka. Faktor ketiga adalah Numerous
participants (Partisipan yang melimpah banyak).
Salah satu keunggulan pola kepemimpinan Pak Soetedjo
bersama dengan seluruh jajaran perangkat desa Tlogoweru bersamasama dengan ibu Elisabeth yang berperan vital dalam keberhasilan
setiap program pembangunan masyarakat di desa Tlogoweru adalah
penekanan partisipasi masyarakat secara penuh dan aktif dalam setiap
upaya pemberdayaan mereka. Pak Soetedjo senantiasa menyerukan
agar setiap anggota masyarakat memahami, menghayati dan
mengambil bagian dalam program-program pembangunan. Salah satu
contohnya adalah dalam kasus program pengembangan burung Tyto
Alba. Agar setiap anggota masyarakat desa Tlogoweru mau terlibat
dalam partisipasi maka tak segan-segan dibangunlah kandang karantina
burung Tyto Alba walaupun harus mengeluarkan dana yang mahal.
Faktor keempat adalah Dare to taking risk (Berani mengambil resiko).
Peranan seorang pemimpin dan kepemimpinan amat berpengaruh
dalam kesuksesan suatu pembangunan. Hasil penelitian ini memuat
cukup fakta empiris tentang bagaimana pak Soetedjo dan ibu Elisabeth
harus senantiasa menghadapi tantangan kesulitan maupun kendalakendala sosial dalam mencetuskan ide hingga sampai pelaksanaan
proyek pembangunan, namun mereka sebagai pemimpin yang berani
mengambil resiko dengan melakukan pengorbanan dalam banyak hal.
Faktor yang kelima adalah Aiming for mutual welfare (Bertujuan bagi
kesejahteraan bersama). Pemicu yang amat mempengaruhi masyarakat
desa Tlogoweru untuk mengambil bagian dalam partisipasi pembangun
adalah keyakinan mereka bahwa usaha-usaha pemberdayaan yang
141
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru
dicanangkan oleh pak kades Soetedjo bersama ibu Elisabeth adalah
bertujuan bagi peningkatan kesejahteraan hidup mereka. Dan faktor
keenam adalah Learning atmosphere (Atmosfir yang mendorong
pembelajaran). Salah satu karakter ibu Elisabeth yang cukup menonjol
adalah kemauannya yang kuat untuk senantiasa mendorong orang lain
untuk melakukan pemberlajaran. Keberadaan LPKS adalah bukti
konkrit bagaimana faktor ini ditanamkan dalam diri masyarakat desa
Tlogoweru.
Selanjutnya, ada beberapa instrumen yang memungkinkan
keenam faktor tersebut di atas dapat terjadi. Adapun instrumen
pertama yang merupakan pendukung motivasi dalam pembangunan
masyarakat desa Tlogoweru adalah Job description (Penjabaran tugas).
Ibu Elisabeth amat tegas dalam hal penjabaran tugas, karena baginya
dengan pembagian tugas yang jelas akan menentukan keefektifan kerja.
Uraian hasil penelitian yang dituangkan dalam bab IV-VI banyak
memberi contoh bagaimana program-program pembangunan selalu
mengandalkan tim kerja yang baik. Demikian pula dengan pak
Soetedjo yang senantiasa tanpa lelah melakukan supervisi terhadap
setiap pemimpin kelompok tani dan setiap perangkat desa untuk
melakukan tugas kerja mereka dengan sebaik-baiknya. Instrumen
kedua adalah Encouragement (Pengobaran semangat). Semangat
berpartisipasi dalam kerja amat berperan vital untuk mencapai suatu
keberhasilan dalam bidang apapun. Setiap hari Jumat selepas ibadah
solat, para pemimpin masyarakat desa Tlogoweru pasti berkumpul di
ruangan kerja pak Soetedjo yang terletak di sebelah tempat tinggal
beliau. Melalui forum inilah, pak Soetedjo senantiasa memberi
informasi atau laporan tentang segala sesuatu yang sedang berlangsung
di desa mereka. Demikian pula ibu Elisabeth hampir sebulan sekali
pasti mengusahakan untuk berkunjung ke desa Tlogoweru untuk
melakukan evaluasi kerja. Ibu Elisabeth selalu memperhatikan segala
sesuatu yang menjadi keinginan atau kebutuhan masyarakat desa
Tlogoweru dan siap untuk memfasilitasi pencapaian keinginan atau
kebutuhan tersebut. Instrumen yang ketiga adalah Partnership
(Kemitraan). Pak Soetedjo dan ibu Elisabeth amat menekankan
kemitraan kerja sebagai instrumen yang efektif dalam merencanakan
142
Kesimpulan
dan melaksanakan setiap program pembangunan masyarakat. Laporan
empiris hasil penelitian yang telah dielaborasi di Bab IV-VI sudah
cukup menyajikan hasil penelitian yang menunjukkan kemitraan
merupakan penggerak yang menginspirasi dan memotivasi lahirnya
program-program pemberdayaan dalam pembangunan. Hal ini terlihat
dalam hal bagaimana pembangunan sumur, peternakan sapi atau desa
wisata dapat terjadi tidak lain disebabkan oleh adanya kemitraan
dengan pihak-pihak lain. Instrumen keempat adalah Intuitive (Intuisi).
Para pratiksi dalam dunia marketing mengakui bahwa ada faktor “X”
seringkali adalah kunci keberhasilan seorang marketer (Prama, 2002;
Kartajaya, 2005). Dan faktor “x” dalam kasus keberhasilan
pembangunan desa Tlogoweru adalah dari intuisi atau gerakkan hati
dalam diri ibu Elisabeth dan pak Soetedjo. Hampir semua ide dan
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru mencapai
tujuannya disebabkan oleh kekuatan intuisi yang digerakkan oleh
adanya kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi. Penelitian ini
telah memberi gambaran bahwa pemberdayaan masyarakat desa
Tlogoweru merupakan perwujudan dari intuisi yang ada dalam diri ibu
Elisabeth atau pak Soetedjo yang kemudian dikomunikasikan bersama
dan menghasilkan suatu pemberdayan masyarakat dalam rangka
merencenakan dan melakukan pembangunan. Instrumen terakhir bagi
pembangunan masyarakat adalah Trust (Kepercayaan). Bab VII telah
menyimpulkan bagaimana kepercayaan (trust) merupakan kunci
penggerak partisipasi dari masyarakat untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat yang efektif di desa Tlogoweru.
Implikasi Teoritis
Dalam kerangka teori pembangunan masyarakat, pendekatan
People-Centered Development (Pembangunan yang berpusatkan pada
rakyat) merupakan bagian temuan dari penelitian ini, yakni paradigma
pembangunan masyarakat yang dijalankan sebagai hasil dari partisipasi
masyarakat mulai dari awal perencanaan, pengambilan keputusan
maupun pelaksanaannya, atau yang seringkali disebut sebagai bottomup approach (pendekatan dari bawah ke atas). Pendekatan ini memiliki
143
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru
implikasi yang menentukan keberhasilan dari suatu perencanaan dan
pelaksanaan usaha pemberdayaan masyarakat, khususnya di
masyarakat perdesaan, karena masyarakat akan lebih didorong untuk
mengambil bagian mereka untuk menjadi bagian dari proses
pembangunan yang ada. Dengan demikian, hasil penelitian di desa
Tlogoweru ini bisa menjadi suatu prototipe bahwa keberhasilan
pembangunan masyarakat juga bertumpu pada paradigma atau
pendekatan teori pembangunan yang dianut oleh para agen
pembaruan, karena mind-set mereka yang tercermin dari teori yang
mereka terapkan memiliki dampak yang vital terhadap sikap maupun
kebijakan yang mereka tetapkan maupun jalankan dalam hal
pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Harapan Bagi Pembangunan Masyarakat Perdesaan di
Indonesia
Melalui penelitian ini, penulis ingin menggugah semangat dari
rekan-rekan para pemimpin daerah maupun para pemimpin lembaga
pengembangan atau pelayanan masyarakat untuk terus berjuang bagi
pembangunan masyarakat perdesaan di Indonesia walaupun
menghadapai kurangnya fasilitas dana atau kendala-kendala nonmaterial lainnya, karena suatu usaha pembangunan masyarakat akan
bisa tetap berjalan dengan baik jika para pemimpin selaku para agen
perubahan mengedepankan prinsip kepemimpinan yang baik, yakni
paradigma pembangunan masyarakat yang berpusatkan pada rakyat,
yaitu suatu pembangunan masyarakat dimana prakarsa dan proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap
demi tahap harus dimulai dan berupa aspirasi dari masyarakat dimana
pembangunan akan diberlangsungkan; Fokus utama dari pembangunan
masyarakat tersebut adalah suatu perencanan usaha yang diarahkan
secara transparan hanya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
setempat untuk memiliki swadaya untuk mengelola dan
memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat di komunitas untuk
memenuhi kebutuhan mereka; Pendekatan pembangunan masyarakat
144
Kesimpulan
yang dijalankan harus memiliki tingkat daya yang mampu
mentoleransi variasi kapasitas-kapasitas masyarakat lokal dan oleh
karenanya, pembangunan masyarakat tersebut harus bersifat flexible
sehingga mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lokal; Dan para
agen pebaruhan ketika melaksanakan pembangunan masyarakat
tersebut, pendekatan yang dipakai dalam melalukan interaksi sosial
harus menekankan pada proses social learning yang didalamnya
terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai
dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan
saling belajar; Dengan demikian dapat terjalin suatu proses
pembentukan jejaring (networking) antara birokrasi dan lembaga
swadaya masyarakat, yaitu berupa satuan-satuan organisasi tradisional
yang mandiri. Jejaring sosial ini harus merupakan suatu bagian yang
integral dari pendekatan sosial tersebut, yang bertujuan baik untuk
meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola
pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara
struktur vertikal maupun horizontal. Melalui proses networking ini
diharapkan terjadi suatu simbiose sosial, yaitu keharmonisan dari
antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal dan
pemerintahan daerah.
Mari bersama kita membangun
masyarakat perdesaan Indonesia yang sejahtera!
Soli Deo Gloria
145