Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB IV

Bab IV
Peranan Para Agen Perubahan
dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa
Tlogoweru
Bab ini merupakan pemaparan hasil penelitian lapangan berupa
temuan empiris tentang bagaimana peranan para agen perubahan yang
mampu menginspirasi dan memotivasi masyarakat desa Tlogoweru
sehingga terjadi proses pemberdayaan masyarakat yang dapat
menghasilkan kemajuan dalam pembangunan masyarakat mereka.
Adapun kemajuan pembangunan tersebut berupa: Pertama,
peningkatan kesejahteraan material (ekonomi) yang dihasilkan dari
meningkatnya pendapatan hasil pertanian melalui tersedianya
pengairan bagi tanah persawahan yang dihasilkan dari pembangunan
sumur-sumur pantek, terkendalinya wabah tikus melalui
penangkarangan burung Tyto Alba, dan berhasilnya pengembangan
peternakan sapi. Kedua, peningkatan kesejahteraan non-material
berupa meningkatnya rasa percaya diri yang lebih baik, semakin
eratnya hubungan antar warga, serta semakin banyaknya warga desa,
khususnya para ibu rumah tangga, yang terlibat dalam kegiatan sosial
maupun usaha. Dengan demikian, bab ini diharapkan akan dapat
dijadikan rujukan bagi siapa saja yang berkehendak melakukan proses

pendekatan dan memotivasi masyarakat agar berpartisipasi dalam
pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat dengan efektif.

Memperkenalkan Para Agen Perubahan
Sebagaimana telah dipaparkan di bab II, bahwa keberhasilan
suatu pembangunan masyarakat yang efektif tidak terjadi dengan
sendirinya, melainkan ditentukan oleh tingkat partisipasi
67

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

masyarakatnya sehingga pemberdayaan masyarakatnya dapat berjalan
dengan efektif pula. Dan tingkatan partisipasi masyarakat tersebut
ditentukan oleh peranan dari para agen perubahan dalam hal
menginspirasi, memotivasi dan menggerakkan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan masyarakat setempat yang
digerakkan oleh para agen perubahan untuk melakukan segala upaya
sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
pemahaman Nasution (1990:37) yang menyatakan bahwa para agen
perubahan adalah perseorangan atau kelompok orang yang berpotensi

menggerakkan partisipasi masyarakat untuk terlaksananya suatu
perubahan sosial atau suatu pembangunan yang terencana. Soekanto
(1992:273) lebih lanjut menyatakan bahwa seorang agen perubahan
yang efektif adalah seorang agen perubahan yang mampu menciptakan
sikap kepercayaan (trust) dalam diri anggota masyarakat, sehingga ia
dapat berperan sebagai mitra dari masyarakat setempat dalam
pembangunan dalam rangka perencanaan dan pengimplementasian
suatu perubahan-perubahan pada suatu kelompok masyarakat atau
organisasi masyarakat dimana ia berada dengan cara mempengaruhi
masyarakat tersebut melalui sistem yang terbuka, teratur dan
direncanakan. Dengan demikian para agen perubahan merupakan
individu atau kelompok orang yang menginspirasi terjadinya suatu
rekayasa sosial (social engineering), dengan kata lain, seorang agen
perubahan dapat pula disebut sebagai seorang perencanaan perubahan
masyarakat atau (social change planning).
Dalam kasus desa Tlogoweru, para agen perubahan adalah
terdiri dari dua kelompok utama; Kelompok pertama adalah kelompok
internal, yakni tim kerja yang terdiri dari para staf kantor
pemerintahan desa dibantu dengan beberapa anggota masyarakat desa
Tlogoweru yang diwakili oleh bapak Soetedjo selaku Kepala Desa.

Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok eksternal, yakni tim
pelayanan (kerja) dari Persekutuan Doa Putri Sion di Semarang yang
diwakili oleh ibu Elisabeth Philip.1 Sebelum bulan Agustus tahun 2008,
pak Soetedjo sama sekali tidak mengenal sosok pribadi ibu Elisabeth
1

Identitas secara detail personil dari kedua kelompok ini telah diungkapkan di Bab III.

68

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

Philip demikian sebaliknya. Namun dari sejak adanya perkenalan
tersebut dan melalui silahturami yang sering mereka adakan dalam
rangka untuk mendiskusikan persoalan pembangunan masyarakat dan
merencanakan pembangunan masyarakat desa Tlogoweru, maka kedua
agen perubahan ini bersama dengan anggota kelompok mereka (tim
kerja) mampu berperan sebagai penggerak dari partisipasi masyarakat
desa Tlogoweru melalui pemberdayaan masyarakat yang mereka
lakukan dengan efektif.

Dari catatan penelitian dalam rangka penulis ikut serta
berkunjung sebagai rekan pelayanan ibu Elisabeth maupun dalam
rangka melakukan penelitian sejak Maret 2009 di desa Tlogoweru,
penulis dapat memberi gambaran bahwa sosok kepribadian dari pak
Soetedjo dan ibu Elisabeth secara natural merupakan dua pribadi yang
memiliki kesamaan dalam hal kemampuan berinteraksi dengan orang
lain secara intuitif melalui keterbukaan diri, yakni kemampuan intrapersonal intuitif. Kemampuan ini terlihat dari sifat keterbukaan
mereka yang sederhana apa adanya dengan mengesampingkan
perbedaan agama maupun suku di antara mereka. Sebagai contoh, Pak
Soetedjo seringkali tanpa ada sekat sosial apapun dengan leluasa
mengucapkan kata “Shalom” dengan polos dan santun, demikian pula
ibu Elisabeth sering pula memakai kata “Assalamulaikum” sebagai
ungkapan saling sapa baik di antara mereka maupun di antara anggota
tim kerja. Bahkan acap kali ibu Elisabeth diminta menaikkan doa
secara iman Kristiani secara terbuka di acara-acara pertemuan yang
dihadiri oleh para anggota masyarakat desa Tlogoweru. Kemampuan
yang menonjol lainnya dari kedua agen perubahan ini, yakni pak
Soetedjo dan bu Elisabeth, yang penulis perlu kemukakan adalah
adanya sikap saling percaya yang terjalin di antara mereka sehingga
menular kepada para anggota tim kerja dari kedua kelompok agen

perubahan ini. Sebagai contoh, kepercayaan dari pak Soetedjo kepada
ibu Elisabeth bahwa misi pelayanan Persekutuan Doa Putri Sion
bukanlah misi keagamaan melainkan misi pelayanan sosial yang
bertujuan untuk pengembangan masyarakat agar dapat hidup lebih
sejahtera lahir dan batin, demikian pula kepercayaan ibu Elisabeth
secara totalitas kepada pak Soetedjo bahwa beliau memiliki komitmen
69

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

dan integritas dalam mengelola setiap jumlah dana bantuan untuk
pembangunan dengan tepat guna dan dapat dipertanggung jawabkan.

Tahapan Awal Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat
Desa Tlogoweru
Semenjak pertama kali melakukan kunjungan ke desa
Tlogoweru dalam rangka pelayanan sosial pada bulan Agustus 2008,
ibu Elisabeth amat antusias untuk menjalin kerjasama dengan pihak
pemerintah desa, dalam hal ini dengan pak Soetedjo selaku Kepala
Desa. Menurut pengakuan dari ibu Tantio maupun pak Hizkiah Totok

selaku anggota tim Persekutuan Doa Putri Sion yang juga ikut serta
dalam kunjungan awal ke desa Tlogoweru menyatakan bahwa
ketertarikan ibu Elisabeth untuk menyediakan dana maupun bantuan
teknis bagi usaha-usaha pembangunan masyarakat desa Tlogoweru
didasarkan pada dua alasan mendasar. Pertama, adanya kenyataan atas
terpuruknya perekonomian masyarakat desa yang disebabkan sangat
minimnya setiap hasil panen pertanian yakni hanya sekitar 3-4 ton di
tiap tahunnya, kondisi jalan akses ke desa yang amat jelek serta tidak
adanya sarana pembinaan bagi masyarakatnya. Alasan lainnya adalah
sikap dari para pemuka masyarakat, dalam hal ini para tokoh
masyarakat maupun tokoh agama yang dengan keterbukaan hati mau
menerima kehadiran ibu Elisabeth walaupun berbeda agama dan suku.
Sikap keterbukaan ini nampaknya dimanfaatkan oleh ibu Elisabeth
sebaik mungkin untuk menawarkan kerjasama dalam pelayanan sosial
untuk pembangunan masyarakat desa Tlogoweru. Maka sebagai
langkah konkritnya, ibu Elisabeth pada pertengahan September 2008
mengajak pak Soetedjo bersama dengan para pemimpin masyarakat
desa Tlogoweru untuk mengadakan pertemuan untuk berdialog
tentang bagaimana melakukan kerjasama untuk mengatasi masalah
hasil panen yang selama ini amat minim dan bagaimana

memberdayakan anggota masyarakat desa Tlogoweru agar memiliki
ketrampilan-ketrampilan yang dapat membantu pengembangan
ekonomi keluarga.
70

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

Bab ini hanya menyajikan tahapan awal bagaimana ibu
Elisabeth besama dengan pak Soetedjo melakukan peran mereka
sebagai agen perubahan untuk menggerakkan masyarakat desa
Tlogoweru untuk berpartisipasi secara aktif sehingga terjadi
pemberdayaan masyarakat yang berhasil dalam pengembangan
pertanian, penanggulangan hama tikus dan pengembangan pertenakan
sapi. Sedangkan tahapan pemberdayaan masyarakat dalam
pengembangan ketrampilan praktis bagi masyarakat desa Tlogoweru
akan diutarakan pada bab berikutnya.

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pembuatan SumurSumur Pantek
“Kami setiap tahun hanya berhasil memanen padi hanya sekitar
3 sampai 4 ton pertahunnya, dan sebagian besar berkualitas kurang

baik, sehingga harga jualnya rendah” demikian ungkap pak Soetedjo
pada pertemuan di bulan Agustus 2008. Dari pertemuan tersebut
disimpulkan bahwa penyebab utama dari minimnya hasil panen
pertanian adalah tidak adanya debit air yang memadai untuk pengairan
ke tanah persawahan para petani, kemudian adanya serangan hama
tikus yang ganas di setiap musim panen, serta kurang tersedianya
pupuk yang baik karena banyaknya beredar pupuk yang palsu.
Pembahasan tentang pencarian solusi terhadap masalah
pengairan tanah persawahan tersebut di atas ditindaklanjuti dengan
pertemuan pada Oktober 2008 yang dihadiri oleh pak Soetedjo selaku
kepala desa, pak Kyai Achmad selaku pemuka agama bersama dengan
tiga orang pemimpin lainnya dengan ibu Elisabeth, pak Hizkia Totok
bersama empat orang ibu selaku anggota Persekutuan Doa Putri Sion di
Semarang2 dan menghasilkan usulan pembuatan sumur pantek sebagai
pemecahan masalah kebutuhan pengairan tanah pertanian. Maka
sebagai pilot project, Ibu Elisabeth memberi sumbangan dana awal
sebesar lima juta rupiah untuk pembuatan sebuah sumur pantek. Pak

2


Lihat di Bab III.

71

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

Soetedjo bersama dengan pak Pujo Arto selaku ketua kelompok tani
Tulodo Makaryo segera melakukan koordinasi untuk pembuatan
sumur yang dimaksud. Pembuatan sumur perdana tersebut ternyata
membuahkan hasil yang memuaskan sehingga mampu mengairi sekitar
dua lahan tanah pertanian. Keberhasilan ini menimbulkan semangat
dari para pemuka desa dan petani untuk bangkit dari kelesuhan hasil
panen padi dan jagung yang selama ini mereka alami. Sebagai tindak
lanjut dari keberhasilan tersebut, Pak Soetedjo melaporkan hal ini
kepada ibu Elisabeth. Setelah mengadakan pembicaraan tentang
rencana kelanjutan pembuatan sumur-sumur berikutnya, baik melalui
hubungan telepon maupun kunjungan singkat di kantor pak Soetedjo,
maka sekitar sebulan kemudian, dimulailah proyek dengan target
pembuatan 200 buah sumur pantek hingga tahun 2013 untuk
pengairan area sawah pertanian seluas 225.2 ha (77,25%) dengan

bantuan dana sebesar seratus juta rupiah dari para donatur yang
dikoordinir oleh ibu Elisabeth bersama tim Persekutuan Putri Sion
Semarang.

Sumber: arsip Soetedjo

Gambar 4.1 Profil sumur sawah pantek

Adapun proses pembangunan sumur-sumur pantek di desa
Tlogoweru adalah dimulai dengan penyampaian perencanaan oleh pak
Soetedjo selaku Kepala Desa pada pertemuan-pertemuan rutin pada
hari Jumat di depan kantor desa dan pada pertemuan khusus para
pemimpin masyarakat yang terdiri dari perwakilan kelompok wanita,
72

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

pemuda bahkan remaja. Dengan demikian program-program
pemberdayaan masyarakat tersebut mendapat respon posititf berupa
partisipasi masyarakat secara aktif mulai dari para pemimpin desa

tingkat pemerintahan, keagamaan, dan para petani sehingga
pemberdayaan masyarakat dapat terlaksana dengan efektif. Fenomena
sosial ini tanpa disadari terjadi sesuai dengan kajian teori
pemberdayaan masyarakat yang telah diutarakan oleh Dubois dan
Miley (1992:211-217) bahwa karaktersitik dari suatu usaha
pemberdayaan masyarakat yang efektif adalah; Pertama, terbangunnya
suatu relasi sosial berupa rasa saling tolong menolong yang
merefleksikan respon empati sosial, yaitu menghargai pilihan dan hak
anggota masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri (selfdetermination), menghargai perbedaan dan keunikan individu, dan
menekankan kerjasama dengan masyarakat (client participation).
Kedua, terjalinnya komunikasi dari anggota masyarakat yang
melahirkan sikap saling menghormati, sikap yang menjunjung
martabat dan harga diri masyarakat dengan mempertimbangkan
keragaman individu, yaitu dengan berfokus pada kepentingan anggota
masyarakat, dan upaya-upaya menjaga kerahasiaan pribadi dari setiap
anggota masyarakat. Ketiga, keterlibatan dua pihak, yaitu para agen
perubahan dan para pemimpin masyarakat dalam upaya pemecahan
setiap masalah sosial yang terjadi, sehingga memperkuat partisipasi
masyarakat dalam setiap aspek sodial untuk menuntaskan proses
pemecahan masalah, menghargai hak-hak masyarakat, menanggapi dan
meresponi tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar dan
bertumbuh, dan melibatkan masyarakat dalam setiap pembuatan
keputusan dan evaluasi proyek. Dengan kata lain, pemberdayaan
masyarakat dan partisipasi masyarakat di desa Tlogoweru dapat terjadi
adalah disebabkan dari keefektifan komunikasi yang dilakukan oleh
para pemimpin masyarakat dan agen perubahan, dalam hal ini pak
Soetedjo selaku kepala desa yang mewakili kepentingan masyarakat
dan ibu Elisabeth selaku agen perubahan. Ibu Elisabeth sendiri sejak
dari awal tidak pernah mendikte tentang bagaimana seharusnya
melaksanakan proyek pembuatan sumur-sumur pantek, melainkan
cukup mempercayakan sepenuhnya pada kebijakan dari pak kades
73

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

Soetedjo dan rekan-rekan pemimpinan desa lainnya. Yang ditekankan
oleh ibu Elisabeth adalah kejujuran, ketulusan dan kesungguhan. Hal
ini dibenarkan oleh Pak Pujo Arto selaku kepala kelompok tani yang
menyatakan bahwa sistem hubungan kerja yang dibangun oleh bu
Elisabeth di desa Tlogoweru adalah sistem partisipatif kemasyarakatan.
Berikut penuturannya,

“saya melihat cara kerja bu Elis itu semua orang harus
terlibat dan siapa yang mau didorong untuk berusaha dan
mampu melakukannya. Seperti proyek pembangunan
sumur-sumur ini merupakan ide dan dukungan dana dari
ibu Eliz, tapi yang memikirkan dan menjalankan
pembuatannya adalah dari kami anggota kelompok tani”
(wawancara, 13 Maret 2012)

Prinsip yang amat ditekankan dalam pelaksanaan proyek
pembuatan sumur-sumur yang dimulai tahun 2008 hingga tahun 2015
adalah melalui perencanaan pembangunan masyarakat yang dilandasi
oleh permusyawaratan antar petani yang dikoordinir oleh ketua
kelompok-kelompok tani, dan setelah mendapat masukan tentang
aspirasi, kebutuhan dan kendala-kendala yang dialami oleh masingmasing kelompok pertanian, maka barulah proposal diajukan kepada
pak kades Soetedjo dalam suatu pertemuan desa yang biasanya
dilakukan setiap hari Jumat sehabis sholat jumat bersama di rumah pak
kades atau di kantor kepala desa. Dari usulan dan proposal kebutuhan
akan sumur-sumur inilah, kemudian pak kades Soetedjo menelpon ibu
Elisabeth atau ia sendiri datang ke desa Tlogoweru untuk
membicarakan tentang proposal tersebut, apabila ibu Elisabeth
kebetulan tidak bisa berkunjung ke Tlogoweru, bisa disampaikan
melalui pak Robby Trijono atau pak Leo Hutagaol selaku perwakilan
ibu Elisabeth yang hampir setiap hari Jumat datang untuk memantau
atau menerima informasi tentang proyek pengembangan masyarakat
yang sedang berlangsung. Dari penelitian tentang proses tersebut,
penulis dapat menyimpulkan bahwa keberhasilan pembangunan
sumur-sumur pantek merupakan akibat dari cara pak kades Soetedjo
dan ibu Elisabeth yang menekankan pada partisipasi masyarakat

74

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

sehingga pemberdayaan masyarakatnya dapat efektif (Theresia 2014:
97-101).

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pembudidayaan Burung
Tyto Alba
Kesuksesan hasil panen tanaman padi dan jagung sebagai hasil
upaya pembuatan sumur-sumur pantek untuk sumber pengairan
persawahan desa Tlogoweru ternyata belum secara tuntas
menyelesaikan keresahan hati dalam diri para petani dan pak kades
Soetedjo beserta dengan segenap jajaran perangkat desa, karena hama
tikus masih merupakan monster pengancam yang setiap saat sanggup
melahap dan memusnah-kan hasil panen dalam hitungan hari setelah
masa panen tiba. Wabah hama tikus (Rattus argentiventer) yang ganas
sudah menjadi jadwal ancaman rutin bagi penduduk desa Tlogoweru
yang 90% anggota masyarakatnya adalah mengandalkan pertanian
sebagai sumber utama mata pencarian mereka. Tercatat dalam catatan
kegiatan yang ada di kantor desa Tlogoweru (data Bapermades, 2013)
bahwa sejak tahun 1980, segenap perangkat desa dan masyarakat desa
Tlogoweru telah mengupayakan segala cara dan teknik metode untuk
pembasmian atau setidaknya meminimalisir efek wabah hama tikus
yang selalu melahap hasil pertanian hingga 60% dan tidak jarang
hingga mencapai 80% dari hasil tanaman padi dan jagung pada setiap
musim panen tiba. Upaya-upaya pemberantasan tikus yang sudah
pernah dilakukan antara lain; gropyokan, penyebaran racun, bom
tikus, pengasapan, perangkap, obat-obat pestisida, pemasangan seng
mengitari areal tanaman persawahan, hingga metode lomba
penyetoran ekor-ekor tikus berhadiah. Namun dalam kenyataannya
semua teknik cara-cara ini ternyata tidak efektif dan dinilai
memboroskan tenaga maupun dana karena tikus-tikus di daerah
persawahan desa Tlogoweru mampu berpopulasi diri dengan amat
cepat, beranak kurang dari 2 bulan dan mampu melahirkan minimal 6

75

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

ekor anakan/per-ekor induk tikus. Populasi sepasang tikus bisa
mencapai 2048 ekor dalam setahun.3
Namun sejak adanya implementasi penangkaran, pembiakan
dan pendayagunaan burung Tyto Alba (burung hantu serak jawa)
sebagai predator tikus yang dimulai sekitar akhir tahun 2011,
masyarakat pertanian desa Tlogoweru mulai bisa bernafas lega, karena
hama tikus telah berhasil mereka tekan dengan amat efektif sehingga
tingkat kerugian hanya sekitar 2% saja. Hal ini dimungkinkan oleh
karena burung Tyto Alba memiliki kemampuan berburu sangat tinggi
yang memiliki kemampuan memangsa tikus hingga 2-3 ekor tikus
dewasa dalam seharinya bahkan lebih jika populasi tikus bertambah.
Dari perhitungan kasar oleh pak Pujo Arto sebagai ketua tim
penangkaran Tyto Alba, setiap pasangan burung Tyto Alba dalam
setiap tahunnya jika mendapat tempat habitat yang baik akan mampu
memangsa sekitar 7.200 ekor tikus. Burung Tyto Alba merupakan jenis
burung cepat beradapatasi dengan lingkungan barunya baik didataran
rendah maupun di dataran tinggi, itulah sebabnya burung Tyto Alba
tidak mudah mengalami stress seperti jenis burung lainnya apabila
dipindahkan ke tempat habitat baru. Burung Tyto Alba relatif cepat
berkembang biak, dalam satu tahun rata-rata bertelur hingga 2-3 kali
sebanyak 5-10 butir telur per-burungnya. Kemampuan berburu mereka
sesuai dengan keunikan indera penglihatan dari burung ini yang
memiliki daya penglihatan yang amat tajam di malam hari yang
mampu menangkap setiap gerakan tikus hingga jarak 500 meter. Sebab
itu, keberadaan burung Tytto Alba merupakan andalan masyarakat
desa Tlogoweru dalam pemberantasa wabah hama tikus, sebagaimana
diutarakan oleh pak kades Soetedjo dengan menjelaskan bahwa,
“Sebelum ada burung Tyto Alba, petani hanya memanen
jagung sekitar 3,3 ton dan padi sekitar 3,2 ton per hektare.
Setelah ada burung hantu, petani di Tlogoweru dapat
memanen jagung dan padi masing-masing hingga 7 ton dan
9 ton untuk jagung. Pendapatan petani dari panen padi
yang semula hanya Rp11,55 juta per hektare meningkat
Olah data dari catatan observasi dan wawancara, 24 September 2012 dan 19 Februari
2013)

3

76

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

menjadi Rp. 23,1 juta per hektare.” (wawancara, 13 Agustus
2013)

Bertolak dari keefektifan predator burung Tyto Alba tersebut,
desa Tlogoweru diidentikan sebagai desa “burung hantu.” Dalam
rangka hendak ikut serta dalam suatu acara pertemuan ibu Elisabeth
dan beberapa perangkat desa Tlogoweru untuk membahas rencana
penambahan rumah burung hantu (rubuha), penulis pada pertengahan
bulan Agustus 2013 berangkat sendirian dan mengalami salah jalan,
ketika bertanya seorang penduduk yang dapat penulis temui dan
bertanya tentang arah ke desa Tlogoweru, dengan spontan penduduk
tersebut mengatakan, “O, desa burung hantu ya.” Maka tidaklah
berlebihan apabila hingga saat ini lambang burung Tyto Alba menjadi
ikon dari kemajuan pembangunan masyarakat desa Tlogoweru. Suatu
jenis burung yang dahulunya amat ditabukan dan ditakuti oleh
masyarakat, tapi pada masa kini justru dipelihara dan didayagunakan
untuk kepentingan pengembangan usaha pertanian masyarakat.
Proses pengembangan dan pembudidayaan burung Tyto Alba
berawal dari sebuah informasi tentang adanya predator hama tikus
berupa burung Tyto Alba yang telah dilakukan di dusun Munggur,
desa Giriharjo, kecamatan Ngrambe, kabupaten Ngawi melalui
penelusuran situs internet oleh pak Hizkia Totok dan pak Sumanto.4
Penemuan informasi ini setelah disampaikan kepada pak
Seotedjo selaku kepala desa dan ketua kelompok tani Tulodo Makaryo,
yaitu pak Pujo. Maka muncullah suatu ide agar beberapa dari antara
anggota kelompok tani bisa melakukan studi banding dan belajar
tentang pendayagunaan burung Tyto Alba di dusun Munggu, Ngrambe
sesuai dengan info yang mereka dapatkan. Ide tersebut mendapat
dukungan dari ibu Elisabeth. Maka sebagai tindaklanjutnya, pak
Soetedjo membentuk satu tim untuk melakukan pembelajaran dan
pelatihan tentang burung Tuto Alba secara terpadu di dusun Munggur,
desa Giriharjo, kecamatan Ngrambe, Ngawi. Dan pada 23 Maret 2011
Hal ini dimungkinkan karena sebagaimana telah diutarakan dalam Bab IV, desa
Tlogoweru telah memiliki SDM dalam ketrampilan komputer dan internet melalui
pelatihan di LPKS.
4

77

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

selama tiga minggu, tim dari desa Tlogoweru yang terdiri dari; pak
Soetedjo, pak Sumanto, pak Pujo Arto, pak Winarto, pak Suwardi, pak
Jumari, dan pak Supadi mendapat pengetahuan dasar tentang burung
Tyto Alba serta pelatihan singkat di lapangan tentang bagaimana
melakukan penangkaran, pembiakan dan pendayagunakan burung
Tyto Alba yang dipandu oleh pak Jumangin. Sepulang dari Ngrambe,
pak kades Soetedjo membentuk tim Tyto Alba dengan komposisi
personel sebagai berikut:
Pengurus Harian Tim Tyto Alba
Pelindung
: Kepala Desa
Pembina
: Soetedjo & Elisabeth Philip
Ketua
: Pujo Arto
Sekretaris
: Sumanto
Bendahara
: Sri Suwarti
Tim Lapangan Tyto Alba
Karantina
Rubuha
Populasi
Pakan
Pemandu Lapangan
Keamanan
Konsumsi
Gedung
Transportasi
Peralatan
IT

: Pujo Arto, Eko Sudibyo
: Sumarto
: Sanipan
: Kasmudi, Mulyadi
: Djamiman
: Supriyadi
: Jumiati
: Sundarni
: Djaiman, Suwardi
: Erik
: Sumanto, Jumari

Sebagai tindaklanjutnya, selama lebih kurang dari enam bulan,
anggota tim Tyto Alba secara swabelajar berdasarkan pengetahuan
dasar tentang burung Tyto Alba yang mereka dapatkan dari pelatihan
di Ngrambe terus berusaha melakukan penelitian tentang karaktersitik
tentang natur, ciri umum biologis, serta segala hal yang berkenan
dengan kemampuan burung Tyto Alba. Salah satu di antara anggota

78

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

tim yang paling interesan dan proaktif dalam pengembangan burung
Tyto Alba adalah pak Pujo Arto.
Penulis pada masa awal pendampingan sekitar pertengahan
tahun 2011 dan selama proses pengembangan dan penangkaran
burung Tyto Alba sering menyaksikan bagaimana pak Pujo dalam
perjuangannya untuk usaha pengembangan ini mulai dari anakan
hingga dewasa burung Tytto Alba, bahkan beberapakali mengalami
pagutan dari paruh Tyto Alba yang amat tajam sehingga melukai
tangannya beberapa kali. Dengan bersusah payah pak Pujo terus
mempelajari mulai dari mencari, menangkap burung Tyto Alba,
kemudian memeliharanya hingga beberapa burung Tyto Alba mulai
bertelor dan menetaskan anak-anak burung Tyto Alba. Dari
pengalaman dan pembelajaran yang mulai menampilkan hasil tersebut,
pak Pujo akhirnya memiliki kepercayaan diri untuk bisa membangun
kepercayaan diri tim Tyto Alba untuk meneruskan usaha
pengembangan dan pemberdayaan tersebut.
Proses awal pengembangan dan pemberdayaan burung Tyto
Alba mengalami kendala yang tidak sedikit, hal ini nampak misalnya,
ketika keberadaan burung-burung Tyto Alba pertama kali
disosialisasikan kepada masyarakat desa Tlogoweru, tim Tyto Alba
mendapati kesangsian bahkan penolakkan dari sebagian besar anggota
masyarakat dari kelompok-kelompok tani maupun anggota masyarakat
kebanyakan, karena menganggap burung Tyto Alba juga akan
memangsa ayam, burung, serta hewan unggas peliharaan mereka
lainnya. Maka untuk menjelaskan dan membuktikan kepada
masyarakat luas bahwa burung Tyto Alba hanyalah burung pemangsa
tikus, ditempuhlah dengan cara membuat kandang karantina tempat
penangkaran burung Tyto Alba yang dibangun di sekitar areal tanah di
depan rumah pak Pujo. Adapun ukuran kandang karantina adalah 6x12
meter dengan ketinggian mencapai sekitar 10 meter yang biaya
pembangunanya didapat dari tim ibu Elisabeth sebesar Rp.70 juta. Pak
Manto, petani sekaligus penggerak pemuda desa Tlogoweru,
menjelaskan bahwa biaya perawatan, terutama pakan, burung Tyto
Alba selama penangkaran atau hingga umur 300 hari mencapai Rp
79

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

1,250 juta. Dan agar mengurangi biaya pakan tersebut, tim Tyto Alba
dan kepala desa menggalakkan gerakan penyediaan makanan burung
hantu secara sukarela. “Setiap warga yang menemukan tikus di rumah
atau sawah diharapkan menyerahkannya ke penangkaran (burung Tyto
Alba). Hal itu bisa menghemat biaya perawatan hingga 90 persen,” kata
pak Manto.

Sumber: Yusuf

Gambar 5.2 Kandang Karantina Penangkaran Burung & Rubuha Tyto Alba

Cara yang ditempuh oleh tim Tyto Alba untuk melakukan
pengujian sekaligus pembuktian tentang sepak terjang pola kehidupan
burung-burung Tyto Alba kepada masyarakat adalah dengan cara
hewan-hewan peliharaan yang berhabitat disekeliling rumah-rumah
penduduk yang dimasukkan untuk menghuni kandang karantina, yaitu
hewan-hewan yang terdiri dari berbagai jenis hewan peliharaan
domestik (domestic animals), antara lain; satu hingga tiga ekor ayam,
itik, bebek, burung dara, ada kolam ikan kecil, tikus dan tentunya
burung Tyto Alba.
Setelah melakukan pengamatan dengan seksama sekitar 3
hingga 4 minggu, anggota masyarakat mendapati fakta lapangan bahwa
ternyata burung-burung Tyto Alba hanya memangsa dan memakan
tikus-tikus yang ada atau hanya mau makan jika tikus yang dijadikan
umpan yang disediakan di sekitar paguponnya. Berbekal hasil dari
pengamatan dan pengetahuan sederhana ini, sebagian besar anggota
masyarakat mulai memiliki kepercayaan diri agar tim Tyto Alba segera
80

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

mengimplementasikan program pembasmian wabah tikus dengan
burung Tyto Alba sebagai predatornya. Maka dimulailah pemasangan
rubuha (rumah burung hatu) atau pagupon. Dan sebagai langkah
awalnya didirikanlah sebanyak 20 puluh rubuha. Pak Pujo Arto selaku
ketua tim Tyto Alba desa Tlogoweru menjelaskan bahwa
“Rumah burung itu ada yang terbuat dari perpaduan kayubambu dan beton cor dengan ketinggian sekitar 3 meter.”

Sehubungan dengan semakin banyaknya rubuha-rubuha yang
harus dipasang di area-area tanah persawahan dan juga semakin
banyak pulang orang-orang dari desa-desa tetangga bahkan dari luar
kabupaten yang sengaja datang ke desa Tlogoweru untuk melihat
penangkaran burung Tyto Alba, maka kepala desa Soetedjo mengeluarkan Perdes Nomor 4 Tahun 2011 tentang Burung Predator Tikus Tytus
Alba. Perdes yang merupakan rujukan dari Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya itu tidak lain agar bertujuan melindungi burung Tyto Alba
dari ancaman sasaran tembak atau pencurian untuk dikomersilkan.
Isi pokok dari Perdes ini adalah melarang setiap warga desa
untuk berburu, menangkap, memperjualbelikan, mengganggu, atau
melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan matinya burung-burung
yang ada di wilayah desa Tlogoweru, khususnya burung Tyto Alba.
Setiap warga desa Tlogoweru atau anggota warga desa tetangga yang
kedapatan melanggar yaitu menembak atau menyebabkan matinya
burung Tyto Alba di kawasan desa Tlogoweru akan dikenakan denda
uang minimal sebesar Rp 1,250 juta. Disamping adanya perdes tersebut,
pak kades Soetedjo menghimbau juga kepada anggota warga petani
yang sawahnya menjadi tempat pendirian pagupon atau rubuha untuk
turut serta secara dengan sukarela melindungi dan menjaga keberadaan
burung-burung Tyto Alba yang berhabitat disekitar persawahan
mereka.
Hingga tahun 2014, jumlah rubuha di desa Tlogoweru sudah
mencapai tidak kurang dari 600 buah rubuha, 110 buah diantaranya
adalah bantuan dari PT Sango yang amat mengapresiasi sehingga
bersedia untuk turut ikut serta sebagai mitra kerja dalam pembangunan
81

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

masyarakat di Tlogoweru. Jika kita berjalan-jalan disekitar lingkungan
perdesaan Tlogoweru, maka dapatlah kita menyaksikan perkembangan
penempatan rubuha-rubuha burung Tyto Alba yang sudah meluas
hingga tepian batas areal tanah persawahan-persawahan dari desa
tetangga, bahkan desa Pundenarum dan desa Pamongan sudah mulai
pula menempatkan rubuha-rubuha juga. Meresponi perkembangan dan
pengembangbiakan serta pendayagunaan burung Tyto Alba sebagai
predator hama tikus, sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Demak,
bapak Hari Adi Soesilo, menambahkan bahwa Pemerintah Kabupaten
Demak juga akan mengembangkan burung Tyto Alba di 14 kecamatan
setelah melihat hasil yang amat baik di desa Tlogoweru (wawancara
dengan pak Soetedjo, 13 Agustus 2013).

Pemberdayaan
Masyarakat
Peternakan Sapi

Melalui

Pengembangan

Masyarakat desa Tlogoweru, khususnya masyarakat pertanian,
sebelum tahun adanya LPKS yang diresmikan pada tahun 2010, tidak
pernah memiliki angan-angan sekecilpun untuk berternak sapi untuk
usaha peningkatan kesejahteraan mereka, karena selama ini mereka
merasa tidak mampu mengatasi masalah dengan kondisi kontur
pertanahan desa Tlogoweru5 yang rendah dan bergelombang, sehingga
berlangganan terlanda banjir jika musim hujan dan mengalami
kekeringan yang menyengat pada musim kemarau yang memicu suhu
cuaca yang cukup panas (30-320C) dan sebagai akibatnya memicu pula
bertambahnya populasi nyamuk, kondisi seperti ini tentunya amat
tidak efesien untuk suatu usaha peternakan sapi, karena populasi
nyamuk yang banyak mempengaruhi produksivitas sapi. Sebab itu,
pada umumnya hanya beberapa petani yang memelihara sapi, dan jenis
sapi yang dipelihara adalah jenis sapi lokal dan mereka memeliharanya
hanya sekedar sebagai cadangan modal yang bisa dijual sewaktu-waktu
guna untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak.

5

Lihat Bab III

82

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

Namun dengan kehadiran LPKS yang melakukan pelatihan
peternakan sapi sebagai suatu usaha pemberdayaan masyarakat desa
Tlogoweru, para petani desa Tlogoweru dapat diyakinkan bahwa
dengan bekal pengetahuan melalui pelatihan usaha peternakan,
mereka pasti akan mampu mengatasi kendala-kendala yang ada selama
ini. Dan sebagai hasilnya, pada tanggal 11 Maret 2014 ketika penulis
mengadakan validasi penelitian lapangan, tercatat sudah ada sekitar 60
ekor sapi jenis unggul yang sedang dibudidayakan oleh para petani di
desa Tlogoweru (data dari catatan di kantor kepala desa). Usaha
pengembangan sapi-sapi jenis unggul ini membawa dampak yang
signifikan dalam pembangunan masyarakat desa Tlgoweru, para petani
mulai terampil dalam berternak dan mengembangkan sapi-sapi jenis
unggul dengan penggemukan bobot tambahan sapi-sapi hingga
mencapai rata-rata 0,8-2 kg per-harinya di setiap sapi-sapi dewasa,
dengan demikian pendapatan per-peternak sapi meningkat dari hanya
sekitar Rp. 2 juta per-bulan menjadi sekitaran Rp. 8 juta per-bulannya.
Penghasilan peternak didapatkan melalui sistem kerjasama
pengembangan sapi-sapi antara peternak dan pemodal yang
menyediakan sapi-sapi muda atau anakan yang dipercayakan seekor
atau beberapa ekor ditambah biaya pakannya, kemudian para peternak
mendapat keuntungan sebesar persentase sekitar 30% sd 40% dari
berat daging sapi yang terjual. Disamping hal ini, terdapat efek
sampingan yang positif dari pengembangan budidaya sapi ini, antara
lain, tergarapnya lahan-lahan tidur yang cukup luas di desa Tlogoweru
diubahkan menjadi lahan-lahan produktif karena ditanami rumput
gajah sebagai bagian pemenuhan dari kebutuhan pakan ternak sapisapi, disamping itu pula para petani telah mampu memanfaatkan dari
sisa-sisa limbah pertanian untuk dikelola menjadi bahan pakan sapi
peliharaan mereka. Sebaliknya, para petani mendapat manfaat serta
keuntungan ekstra tambahan dari kotoran sapi ternakan mereka,
karena kotoran-kotoran sapi dapat mereka konversikan menjadi biogas
yang dapat dipakai untuk bahan bakar memasak di beberapa rumah
tangga, dari sebagian kotoran sapi-sapi ini pula para petani

83

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

mengelolanya menjadi pupuk organik yang amat membantu dalam
mengurangi biaya pertanian.6 Melalui kemampuan pengelolahan
pupuk organik, para petani desa Tlogoweru hari ini juga telah mampu
menanam dan menghasilkan beras dan sayur mayur organik. Dan ada
manfaat lain yang tidak kalah pentingnya yang dapat membanggakan
masyarakat desa Tlogoweru dengan hasil dari pengembangan
peternakan sapi-sapi unggul adalah pada setiap hari Idul Fitri,
masyarakat desa Tlogoweru mampu menyediakan sapi-sapi sendiri
untuk dipotong sebagai bagian dari pembagian zakat. Dan pada setiap
hari Idul Adha menjual sapi-sapi dan juga kambing-kambing untuk
memenuhi kebutuhan binatang kurban dari desa-desa sekitar bahkan
di luar daerah kabupaten.
Ada dua hal penting yang menjadi catatan penting penulis
dalam penelitian tentang pengembangan bina usaha bidang peternakan
di desa Tlogoweru, antara lain; Pertama, kejelian dan tekad ibu
Elisabeth yang memberanikan diri mendesak untuk diadakannya
pelatihan ketrampilan peternakan sapi sekalipun para petani kurang
simpatik sebagaimana adanya kendala dan pengalaman mereka yang
telah diuraikan di atas. Kedua, respon yang tanggap dan instruksi yang
jelas dari pak Soetedjo selaku kepala desa menjadi motivasi bagi para
anggota dari ketiga kelompok petani (Kelompok Tani Mintorogo,
Margo Kamulyan, Tulodho Makaryo) untuk berani mengambil resiko
untuk berternak sapi. Kedua sikap ini menurut pendapat penulis amat
penting sebagai modal penggerak untuk suatu usaha pemberdayaan
masyarakat sehingga para anggota masyarakat, khususnya para
pemimpinnnya, dapat turut mengambil bagian dalam partisipasi secara
akitf dalam proses pembangunan masyarakat yang bersangkutan.
Pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru melalui partisipasi
masyarakatnya merupakan suatu fenomena sosial yang lahir dari
pengimplementasian proses pemberdayaan masyarakatnya, yaitu suatu
proses sosial yang berupaya menolong anggota masyarakat untuk
memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengindentifikasi
Ketrampilan ini mereka dapatkan dari pelatihan singkat dari bp. Alit Irianto (Bali
Sehat Organik) yang diundang oleh bu Elisabeth pada sekitar bulan Juli 2013.

6

84

Peranan Para Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk
memenuhi kebutuhan tersebut (Suharto 2010:23-39). Proses ini tidak
dapat dilepaskan dari adanya peranan pemimpin masyarakat yang
menjalankan pola kepemimpinan yang mampu memberi wawasan dan
tindakan yang jelas untuk menuju kepada suatu pembangunan
masyarakatnya. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Maxwell (1990)
bahwa jatuh bangunnya suatu masyarakat bergantung dari
pemimpinnya, karena kepemimpinan (Stodgill 1974) adalah suatu
proses atau tindakan untuk mempengaruhi orang, aktivitas atau
kelompok orang dalam upayanya untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Juda Barlan (2011) menegaskan bahwa suatu tujuan akan
dapat dicapai apabila pemimpinnya mampu mempengaruhi
masyarakatnya dengan tindakan yang nyata melalui motivasi,
pelatihan atau mengikut sertakan masyarakat untuk pengambilan
keputusan-keputusan.

Catatan Penutup
Dari pemaparan hasil penelitian dalam bab ini, dapatlah
dinyatakan bahwa tahapan awal pembangunan masyarakat desa
Tologoweru mencapai keberhasilan dengan baik, yakni terjadinya
pemberdayaan masyarakat dalam sektor pertanian berupa
pembangunan sumur-sumur pantek, kemudian pemberdayaan
masyarakat berupa penanggulangan hama tikus dengan pembudidayaan predator burung Tyto Alba dan pengembangan usaha
peternakan sapi, disebabkan oleh faktor adanya peranan para agen
perubahan, dalam hal ini pak Soetedjo dan ibu Elisabeth, yang mampu
menumbuhkan hasrat atau inspirasi masyarakat untuk mencari solusi
dalam permasalahan yang mereka hadapi melalui pertemuanpertemuan informal dengan para agen perubahan. Dengan demikian
setiap usaha program pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru
merupakan bentuk partisipasi aktif dari masyarakatnya, karena
masyarakat desa Tlogoweru merasa terlibat langsung dalam proses
perencanaan,
pelaksanaan
maupun
implementasi
program
pemberdayaan masyarakat yang diadakan.
85