Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB VII

Bab VII
Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Tlogoweru
Sebagaimana telah diuraikan secara teoritis dalam Bab I-III dan
secara empiris di Bab IV-VI tentang konsep pembangunan masyarakat
yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat. Maka Bab ini
mengupayakan suatu penyampaian kajian analitis atas hasil penelitian
dan dari literatur tentang beberapa faktor yang berperan dalam proses
suatu pemberdayaan masyarakat desa Tologoweru. Adrian Leftwich
(2000), salah seorang praktisi politik pembangunan, menyebutkan
bahwa kajian analitis atas suatu hasil penelitian tentang pemberdayaan
masyarakat dapat dijadikan sebagai percontohan atau simulasi bagi
suatu perencanaan bagi pembangunan masyarakat. Hal ini senada
dengan apa yang diungkapkan oleh Nitisastro (2010:9) bahwa oleh
karena pembangunan merupakan suatu proses, maka pembangunan
tersebut membutuhkan “breakthrough” dari kondisi stagnant dan
berupa pertumbuhan kumulatif. Oleh karenanya, kajian analitis atas
suatu pemberdayaan masyarakat amat diperlukan, sehingga siapapun
yang hendak melakukan pembangunan dapat mengadakan pilihan dari
metode-metode pemberdayaam masyarakat yang ada sebagai
alternatifnya.


Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Konsep mendasar tentang pemberdayaan masyarakat
sebagaimana dicanangkan oleh World Bank adalah suatu proses
pembangunan masyarakat yang harus dijalan secara terus menerus
dalam rangka peningkatan partisipasi dan kemandirian masyarakat
dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal (Narayan 2002:11).
123

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

Hal ini sesuai dengan pendapat Ife (1995:182) yang menjelaskan bahwa
suatu pemberdayaan masyarakat (social empowerment) adalah
providing people with the resourses, opportunities,
knowledge, and skills to increase their capacity to
determine their own future, and to participate in and affect
the life of their community,
(penyediaan pada masyarakat dengan sumber-sumber
kebutuhan, kesempatan, pengetahuan, dan keahliankeahlian untuk menambah daya kemampuan mereka untuk
menentukan masa depan mereka sendiri, dan untuk

berpartisipasi dan memberi pengaruh pada kehidupan
masyarakat mereka)

Di dalam pengertian mendasar tersebut, tersirat empat prinsip
utama yang memaknai suatu kegerakan pemberdayaan masyarakat
(Friedman 1992:31-32; Wrihatnolo & Dwidjowijoto 2007:7-9), yaitu:
Pertama, prinsip pemberdayaan masyarakat yang memfasilitasi
penyediaan sumber daya, kesempatan, pengetahuan serta ketrampilan
dalam suatu proses yang harus dijalankan secara terus menerus.
Maksud dari prinsip ini adalah bukan saja merujuk pada adanya nilai
kesinambungan atau kontinyuitas, tapi yang lebih mendasar adalah
prinsip ini merujuk pada perlu adanya suatu proses pembangunan
masyarakat yang sistematis, alamiah serta berkesinambungan.
Maksudnya adalah di dalam proses pembangunannya, masyarakat
sendirilah yang harus menentukan ukuran-ukuran idealisme yang akan
menjadi tolol ukur kemampuan masyarakat agar mampu
merealisasikannya secara obyektif. Kedua, prinsip pemberdayaan
masyarakat yang menekankan terjadinya peningkatan kemampuan dari
masyarakat setempat. Maksudnya adalah bahwa proses suatu
pembangunan masyarakat harus tetap memiliki konsistensi terhadap

tujuan proses itu sendiri, yakni pada peningkatan kemampuan
masyarakat dalam berbagai dimensinya. Dengan demikian segala
sesuatu yang dilakukan bagi pembangunan masyarakat haruslah ada
dampak positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat pembangun yang
menjadi subyek pemberdayaan tersebut atau berlaku sebagai pemilik
dan aktor penentu pembangunan masyarakat itu sendiri. Ketiga,
prinsip pemberdayaan masyarakat yang ditandai dengan adanya pola
124

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

peningkatan kemandirian dari masyarakat dalam mengelola suatu
kebijakan pembangunan masyarakat. Kemandirian suatu masyarakat
merupakan syarat mutlak sebagai tolok ukur keberhasilan
pembangunan masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai sosial
masyarakat lokal tersebut sebagai faktor modal sosial, antara lain
budaya, tradisi lokal atau kearifan lokal (local wisdom) yang memiliki
daya pengaruh terhadap tingkat kemandirian dari keseluruhan anggota
masyarakatnya. Keempat, prinsip pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan meningkatkan taraf hidup dari semua anggota masyarakat

kearah yang lebih sejahtera, aman dan kuat.
Konsep pemberdayaan masyarakat yang diutarakan di atas
sesuai dengan apa yang telah diusung oleh Moeljarto (1987) bahwa
pemberdayaan masyarakat yang dijalan dengan baik akan mendorong
suatu kegerakan partisipasi masyarakat yang akan memberi dampak
sosial secara signifikan, antara lain: (1) Mendorong terjadinya
partisipasi masyarakat karena menjadikan kepentingan masyarakat
sebagai fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan; (2) Melalui
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan akan mendorong
terjadinya partisipasi masyarakat karena menimbulkan rasa harga diri
dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan
penting yang menyangkut masyarakat; (3) Maka dengan demikian
kegerakkan pemberdayaan masyarakat ini pada akhirnya akan
mendorong pula terjadinya partisipasi masyarakat yang dipicu dengan
kemampuan dari masyarakat setempat untuk menciptakan suatu siklus
umpan berputar pada informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan
kondisi daerah, yang tanpa keberadaannya tidak akan terungkap. Arus
informasi ini merupakan bagian dari efisiensi dari pembangunan; (4)
Oleh karena masyarakat telah mampu menjalankan aspirasinya dengan
baik maka secara otomatis pemberdayaan masyarakat yang ada tersebut

akan terus mendorong terjadinya suatu partisipasi masyarakat yang
diakibatkan sebagai bagian dari proses pembangunan masyarakat yang
akan dapat dilaksanakan lebih baik karena masyarakat memiliki rasa
kepemilikkan; (5) Maka sebagai konsekuensinya pemberdayaan
masyarakat tersebut akan mendorong juga terjadinya partisipasi
masyarakat karena kegerakkan masyarakat ini akan memperluas
125

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

jangkauan pengembangan proyek pembangunan masyarakat yang
bersangkutan; (6) Sebab itulah pemberdayaan masyarakat akan
mendorong terjadinya partisipasi masyarakat karena memperluas
jangkauan pelayanan pemerintah pada seluruh masyarakat dan
menopang proses pembangunan yang berlasngsung; (7) Pemberdayaan
masyarakat akan mendorong terjadinya partisipasi masyarakat karena
menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi artkulasi potensi
individu maupun pertumbuhan kelompok individu dalam masyarakat
mereka; (8) Pemberdayaan masyarakat akan mendorong terjadinya
partisipasi masyarakat karena merupakan cara efektif membangun

kemampuan
masyarakat
dalam
pengelolaan
perencanaan
pembangunan masyarakat itu sendiri; (9) Pemberdayaan masyarakat
akan mendorong terjadinya partisipasi masyarakat karena
mencerminkan hak-hak demokratis individu yang terlibat dalam
pembangunan mereka sendiri.
Konsep pemberdayaan tersebut di atas tampaknya telah
terimplementasikan di desa Tlogoweru melalui proses pengembangan
usaha peternakan sapi yang merupakan hasil dari partisipasi
masyarakatnya sebagai respon atas ide dari ibu Elisabeth selaku agen
perubahan dan pak Soetedjo selaku kepala desa yang memotivasi para
petani untuk tidak pesimis dan traumatis akibat kegagalan dan kondisi
yang selama ini mereka alami. Nilai-nilai semangat berpartisipasi inilah
yang menjadi daya dorong moral yang mumpuni sebagai penggerak
masyarakat dalam melakukan pembangunan. Nilai-nilai seperti ini
penulis temukan dalam diri pak kades Soetedjo,
“saya sebagai pemimpin masayarakat disini senantiasa

menekankan filosofi hidup ngilmu lan makaryo, ojo podho
nongkrong lan nekem tangan. Artinya, carilah ilmu dan
berkaryalah, jangan hanya duduk-duduk dan berpangku
tangan” (wawancara, 1 Juni 2011)

Kalimat ini sering berulang kali diucapkan untuk memberi
semangat pada berbagai kesempatan pertemuan khusus maupun dalam
rapat pembahasan pengembangan dan perencanaan proyek
pembangunan.
126

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

Kegigihan dan jiwa determinasi dari ibu Elisabeth juga
berperan vital, misalnya dalam kelangsungan program pengembangan
bina usaha peternakan sapi. Prinsip pemberdayaan masyarakat yang
dipakai oleh ibu Elisabeth mampu memotivasi para peternak sehingga
bangkit dari keterpurukan ketika anjlognya harga jual daging sapi atau
tatkala mengalami kegagalan dalam proses penggemukan sapi. Dalam
hal pengambilan keputusan, pak kades Soetedjo maupun ibu Elisabeth

tidak pernah memaksakan kehendak mereka, walaupun sebenarnya
ibu Elisabeth memiliki kapasitas itu karena kucuran dana adalah
mutlak bergantung dari beliau. Namun toh ibu Elisabeth biasa berkata,
“ya sudah kalo itu memang keinginan dari bapak-bapak…
cuman saya minta satu yang harus dilakukan yaitu jujur,

transparan dan rajin …” (saat penelitian, 29 Maret 2012)
sebagai respon atas pendapat yang tidak setuju pada
pendapatnya.

Pendekatan dan pola kerja yang non-birokratis inilah yang
nampaknya mendorong kegerakan partisipasi masyararakat desa
Tlogoweru. Gerakan pemberdayaan ini dapat terjadi karena adanya
suatu perubahan paradigma sistem manajemen dari sistem manajemen
yang dari arah top down ke arah bottom up. Menurut Peter Senge
dalam the Fifth Discipline (1990) perobahan dari organisasi tradisonal
yang top down, birokratis, otoriter ke organisasi pembelajaran bisa
terjadi apabila tersedianya jalur sistem organisasi yang mengalami
perubahan fokus dari kekuasaan kepada prinsip kebersamaan, dimana
para anggota masyarakatnya belajar lebih baik dalam cara berfikir

dalam sistem sosialnya, yaitu memberikan umpan balik dalam rangka
interaksi sebagai antara mitra bukan sebagai antara atasan versus
bawahan. Hal ini oleh Peter Senge disebut sebagai berfikir sistemis
dengan memahami konsep sederhana yang disebut dengan feedback
(umpan balik) yang menyatakan bagaimana suatu tindakan dapat
memperkuat atau meniadakan satu sama lain di antara kemitraan yang
ada. Pola pikir senada dengan Senge juga diutarakan oleh Widjajono
Partowidagdo (2004:165-170) yang menyatakan bahwa perbaikan atau
perubahan suatu paradigma dari suatu sistem dari suatu masyarakat
akan mengubah masyarakatnya, terutama jika masyarakat tersebut
127

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

terlibat langsung dengan sistem sosial tersebut. Namun suatu sistem
sosial bisa dijalankan dengan baik membutuhkan adanya suatu struktur
sosial yang memadai dengan sistem sosial tersebut, karena untuk
mengubah perilaku dari sistem diperlukan struktur yang
mendukungnya.


Peranan Trust dalam Pemberdayaan Masyarakat
Dari hasil observasi lapangan atas kehidupan desa Tlogoweru,
khususnya berkenaan dengan keefektifan dalam pendayagunaan
sumur-sumur pantek sehingga mampu mengakselerasi pembangunan
di beberapa sektor lainnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa
adanya rasa trust (kepercayaan sosial) amat menentukan tingkat
keberhasilan proses dalam pembangunan masyarakatnya, yaitu trust di
antara para pemimpin masyarakat yang membangun, dalam hal ini
diwakili oleh pak Soetedjo selaku kepada desa dengan para stakeholder
dalam hal ini terwakili oleh ibu Elisabeth.
Henslin (2002) memandang trust sebagai pembangkit harapan
dan kepercayaan dari individu terhadap reliabilitas orang lain. Fondasi
terjadinya trust diantara anggota suatu masyarakat adalah meliputi
saling menghargai satu dengan lainnya dan sikap menerima adanya
perbedaan di antara anggota masyarakat atau kelompok-kelompok
yang ada di suatu masyarakat (Carter 2001). Hal ini disebabkan karena
seorang individu yang memiliki trust yang tinggi cenderung lebih
menjadi individu yang mudah disukai, lebih memiliki rasa bahagia, dan
dianggap sebagai seorang individu yang paling dekat dibandingkan
individu yang memiliki trust yang rendah (Marriages 2001; Hanks

2002). Dengan demikian trust merupakan faktor pemberdayaan
masyarakat yang memiliki kekuatan dan yang mampu memicu suatu
hubungan yang akrab di antara para pelaku pembangunan sehingga
bisa bekerjasama dalam suatu pembangunan masyarakat.
Sikap trust yang dinyatakan oleh pak Soetedjo terhadap ibu
Elisabeth merupakan modal sosial yang memungkinkan keberhasilan
pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru. Pengamatan penulis
128

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

selama ini terhadap pola kerja dari ibu Elisabeth yang tidak pernah
menuntut laporan-laporan administratif yang kaku otoriter terhadap
penggunaan dana, misalnya untuk pembuatan sumur pantek,
melainkan cukup meminta pak Soetedjo selaku penanggungjawab
untuk melaporkan nota pembeliaan. Hal ini bisa dilakukan oleh sebab
sikap trust ibu Elisabeth terhadap para pemimpin desa Tlogoweru
mendapat sambutan positif sehingga semangat trust ini akhirnya
berbalik kepada ibu Elisabeth dan timnya, dengan demikian trust yang
hadir ditengah-tengah para pemimpin ini memberi dampak yang besar
terhadap pelaksanaan proyek-proyek pembuatan sumur-sumur, yang
pada akhirnya dapat diselesaikan dan dimanfaatkan secara maksimal
dan efektif oleh masyarakat desa Tlogoweru. Peranan trust
sebagaimana yang terjadi di masyarakat desa Tlogoweru ini nampaknya
memiliki keselarasan dengan teori sosial tentang peranan trust didalam
suatu masyarakat yang sedang membangun, seperti telah dikemukakan
oleh Fukuyama dalam bukunya “Trust: the Social Vitues and the
Creation of Prosperity” (1995) yang mengungkapkan bahwa terjalinnya
trust di antara anggota masyarakat akan menggerakkan suatu persatuan
dan memiliki potensi untuk melahirkan pemberdayaan masyarakat.

Peranan Pemimpin dalam Pemberdayaan Masyarakat
Kotter (2005) mengungkapkan bahwa suatu pemberdayaan
masyarakat akan terjadi secara alamiah dan responsif apabila atmosfer
pemberdayaan masyarakat tersebut berlangsung secara konduktif, yaitu
pemberdayaan masyarakat yang direncanakan dan diimplementasikan
dengan pendekatan non-birokatis melalui gaya kepemimpinan yang
terbuka pada semua pendapat orang-orang disekitarnya. Misalnya,
sikap proaktif untuk mendapatkan informasi baru atau pengetahuan
baru serta memegang teguh komitmen untuk mencapai hasil dari
perencanaan tersebut. Hal ini senada dengan penegasan Warren Bennis
(2001:136) bahwa pemimpin adalah seorang yang menciptakan suatu
struktur yang dapat membebaskan daya pikir semua orang dan
mengalirkan berbagai ide dengan cepat.
129

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

Kasus pembanguan desa Tlogoweru dalam hal ini
pengembangan dan pembudidayaan burung Tyto Alba bisa dijadikan
suatu percontohan pembangunan masyarakat yang konkrit berkenaan
dengan peranan kepemimpinan dalam pergerakan untuk menggalang
pemberdayaan masyarakat sehingga tercipta partisispasi dari setiap
anggota masyarakat secara maksimal. Di dalam buku mereka,
Empowerment Takes More Than a Minute, Dr. Ken Blanchard, John
Carlos dan Alan Randolph (1997) menegaskan bahwa seorang
pemimpin akan mampu membawa pola perubahan dari para
anggotanya untuk berpartsisipasi sehingga terjadi pemberdayaan
masyarakat tidak lain melalui tiga kunci, yaitu berbagi informasi,
menetapkan batasan-batasan, dan mengganti sistem birokrasi dengan
sistim pendekatan individu dan tim yang mandiri. Salah satu
keunggulan yang menonjol dari Pak kades Soetedjo dalam
kepemimpinannya adalah kemampuan menyampaikan informasi
tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan perencanaan dan
pelaksanaan pengembangan burung Tyto Alba dengan sederhana, to
the point dan akurat, sehingga mampu membangkitkan rasa memikili
dalam berpartisipasi untuk pemberdayaan masyarakat bagi mereka
sendiri. Selanjutnya, dalam kepemimpinannya, pak kades Soetedjo
menciptakan budaya kerja yang mandiri yang non-birokratis namun
memiliki batasan-batasan kepemimpinan melakui tim kerja dan
peraturan-peraturan internal mereka. Dengan demikian, setiap anggota
tim pelaksana pemberdayaan masyarakat dengan jelas memahami
tentang apa saja yang harus mereka lakukan dan hal-hal apa saja yang
bukan menjadi wewenang mereka. Jadi batasan-batasan kerja ini
seperti garis di lapangan bulu tangkis, yaitu memberi kepastisan
sekaligus wewenang bagi setiap anggota masyarakat untuk
berpartsisipasi untuk pemberdayaan masyarakat setempat. Dengan
demikian, pemberdayaan berarti setiap anggota masyarakat memiliki
kebebasan untuk berpartisipasi namun juga mereka memiliki tanggung
jawan kepada cara dan hasilnya. Langkah selanjutnya dalam
mengefektifkan pemberdayaan masyarakat, pak kades Soetedjo
membuka diri dalam kepemimpinannya dengan pola pendekatan
komunikasi individual, artinya setiap anggota masyarakat memiliki
130

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

kesempatan untuk dapat bertemu dan membicara tentang hal apa saja
berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat secara terbuka. Dengan
demikian setiap anggota masyarakat melalui tim-tim pemberdayaan
memiliki kemandirian dalam pengelolaan maupun pelaksanaan
program-program pemberdayaan masyarakat mereka.

Peranan Visi dalam Pemberdayaan Masyarakat
Rivai (2004:96) mengaplikasikan peranan kepemimpinan
kedalam beberapa bentuk peranan dalam pemberdayaan masyarakat,
antara lain: (1) Pemimpin harus mampu menciptakan visi bagi
kegerakkan dalam suatu kelompok masyarakat, karena tanpa adanya
sebuah visi yang jelas, lugas dan tegas tidak ada suatu kegerakkan
apapun apalagi mengharapkan tercapainya sebuah pencapaian suatu
keberhasilan. Dictum “Everything rises and falls on leadership”
(Maxwell, 1999) menegaskan tentang kebenaran tentang kebenaran
ini, bahwa segala sesuatu akan bisa dibangunkan dan dirobohkan
bergantung dari pemimpinnya. Hal ini bisa terjadi sebab seorang
pemimpin adalah seorang yang memiliki visi untuk membawa orangorang yang dipimpinnya kepada satu tujuan bersama; (2) Seorang
pemimpin setelah memiliki visi yang jelas akan mampu membantu
pengembangan komitmen dalam diri setiap anggota masyarakat yang ia
pimpin. Sehingga setiap anggota tersebut ketika menjalankan programprogram kerja mereka bukan sekedar menjalankannya secara mekanis,
melainkan secara personil. Dengan demikian setiap anggota memiliki
tuntutan terhadapa diri mereka sendiri untuk berkomitmen dalam
pekerjaan merea untuk mencapai apa yang menjadi visi mereka
bersama; (3) Dengan adanya komitmen dari setiap anggota tersebut
terhadap visi bersama, maka seorang pemimpin akan memiliki
kemampuan untuk menginspirasi kepercayaan (trust) dalam diri setiap
anggota masyarakat yang dipimpinnya, yaitu dengan mengintegrasikan
pandangan-pandangan yang berlainan dari antara para anngotanya
sehingga meminimalisir kesenjangan hubungan atau konflik di antara
mereka. Dengan demikian setiap angggota akan merasakan
131

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

kenyamanan dalam bekerjasama karena merasa sebagai bagian yang
holistik dari lembaga atau organisasi dimana mereka berada.
Peranan pemimpin lebih lanjut dijabarkan oleh John Adair
(2008:11) tentang fungsi kepemimpinan berkenaan dengan visinya,
yaitu: Pertama, fungsi perencanaan, yakni kemampuan untuk
mengusahakan dan memahami visi bersama, kemudian mendefinisikan
tugas, maksud dan tujuan tim kerjanya, sehingga ia bisa memperoleh
gambaran yang menyeluruh dari suatu perencanaan (visi) yang realitis
dan efektif. Fungsi kedua dari seorang pemimpin adalah bertindak
sebagai instruktur, yaitu memberi pengarahan kepada tim kerjanya
supaya mengenali sasaran atau tujuan dan rencana yang ditetapkan
bersama sesuai dengan visi dan menjelaskan apa yang menjadi tujuan
dari visi tersebut dengan akurat. Dengan demikian akan mampu
mengkoordinir tim kerja untuk melaksanakan program kerja yang
sudah dijadikan perencanaan. Fungsi ketiga adalah pengendalian, yaitu
senantiasa menciptakan dan memelihara suasana kerja tim yang
konduktif dengan memastikan bahwa setiap anggota tim yang ada telah
memahami tujuan visi dan mendorong mereka untuk mengambil
partisipasi sebagai satu tim. Fungsi keempat adalah sebagai pendukung,
yaitu dapat memberi apresiasi kepada setiap orang dari timnya yang
memang telah memberi kontribusi pada pencapaian hasil sesuai dengan
visi bersama. Pemberian semangat ini diberikan baik secara individu
maupun sebagai satu tim. Fungsi kelima adalah penginformasian, yaitu
kemampuan untuk memberi kejelasan tentang tugas dan perencanaan
dari visi dengan bahasa yang mudah dipahami dan memberi data yang
akurat dengan cara membuat ringkasan pokok-pokok tugas kerja atau
gagasan-gagasan baru. Dan fungsi keenam adalah pengevaluasian, yaitu
mengkaji setiap kelayakan ide-ide atau perencanaan secara rutin,
mengevaluasi prestasi tim kerja dan menentukan batas-batas kerja yang
baru dalam pencapaian visi.
Kouzes dan Posner (2003) menjelaskan makna visi sebagai
berikut: Visi adalah ungkapan yang secara harfiah berarti “melihat”
yaitu kemampuan memandang ke depan. Visi berarti mengisyaratkan
orientasi ke masa depan. Visi adalah gambaran – lukisan tentang
132

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

bagaimana kemungkinan nantinya, yakni tentang arah strategis
organisasi. Visi mengandung arti standar pencapaian sukses atau citacita. Visi memiliki arti yang menunjukkan suatu pilihan nilai. Sebab
itu, visi memiliki karekateristik yang unik dan mengarahkan pemimpin
dan orang-orang yang dipimpinnya kepada suatu tugas yang istimewa.
Dengan demikian, visi seorang pemimpin amat berperan vital
dalam memicu suatu pemberdayaan masyarakat dalam organisasi
apapun, termasuk terhadap suatu negara. Sebab, dengan visi yang
sudah menyatu kedalam darah daging dan sanubarinya, seorang
pemimpin memiliki kekuatan moral (moral authority) yang mampu
meniupkan inspirasi yang mendorong suatu partisipasi dari
masyarakatnya untuk melalukan dan mencapai apa yang menjadi
impian masa depan mereka. Suatu organisasi atau masyarakat yang
berada dalam pengaruh visi dari pemimpinnya akan memiliki alasan
rasionil untuk menyatukan diri dalam partsipasi pembangunan,
mentransformasi diri untuk menjadi pelaku pembangan secara
partisipatif yang menciptakan peluang-peluang yang tadinya tidak ada
(unexist). Jesse Stoner dalam rangka penyelesaian disertasinya di
Universitas Massachussetts (1988) dengan tajuk “Visionary Leadership,
Management and High Performance Work Units” melakukan studi
intensif yang menunjukkan dampak yang luar biasa yang dihasilkan
oleh visi dalam kepemimpinan bagi suatu kinerja sebuah perusahaan.
Ia mengumpulkan lebih dari 500 pemimpin perusahaan yang memiliki
visi yang kuat terlihat memiliki tim yang berkinerja tinggi, sedangkan
seorang pemimpin walaupun memiliki kemampuan manajemen yang
tinggi namun tidak memiliki visi yang kuat nampak memiliki tim kerja
dengan kinerja yang biasa-biasa saja bahkan cenderung lemah.
Dalam kasus pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru,
penulis dapat menyimpulkan Pak Soetedjo bersama bu Elisabeth adalah
pemimpin visioner yang kuat, hal ini terindikasikan melalui Pak
Soetedjo yang menangkap visi dari ibu Elisabeth untuk usaha
pengembangan peternakan sapi unggul, kemudian mampu
menginternalisasikannya dan akhirnya menginspirasikannya kepada
para pemimpin masyarakat desa Tlogoweru sehingga menjadi suatu
133

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan
masyarakat desa Tlogoweru. Dengan demikian, pemberdayaan
masyarakat desa Tlogoweru merupakan wujud dari implementasi visi
masyarakatnya. Adapun visi desa Tlogoweru telah dicanangkan dengan
jelas sebagai berikut:1 Visi: “Mewujudkan masyarakat Desa Tlogoweru
yang sejahtera, maju, kreatif, demokratis, dalam suasana kehidupan
yang konduksif, religius dan mandiri.” Dan visi ini dilengkapi dengan
Misi masyarakatnya, yaitu: “Kamtibmas, good governance, pendapatan
naik, ketersediaan pangan, sarpras, sosial, ekonomi, kerjasama dengan
pihak swasta, pelestarian adat, pemberdayaan pokmas, kerukunan
hidup antar pemeluk agama, pelaksanaan kerja koordinatif dan
sinergis.”

Peranan Karakter dalam Pemberdayaan Masyarakat
Sebagaimana telah diungkapkan di atas tentang peranan trust
dalam pemberdayaan masyarakat, sedangkan trust adalah berkenaan
tentang penerimaan atas diri seseorang untuk melakukan tindakan
bersama, maka trust sesungguhnya merupakan produk dari karakter
seseorang, yaitu nilai etika atau moral dari seorang pribadi, misalnya;
kejujuran, ketulusan, atau kesabarannya (Koentjaraningrat 1984 dan
1999).
Covey (1990) menyatakan bahwa hampir selama 150 tahun,
sebagaian besar pengkajian literatur tentang karakteristik dari pribadi
(pemimpin) yang sukses menegaskan bahwa karakter memiliki
pengaruh yang amat kuat dalam mempengaruhi seseorang atau
kelompok orang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan dan
sebagai akibtanya akan mengantarkan mereka mencapai kesuksesan.
Itulah sebabnya pemberdayaan masyarakat akan dapat dijalankan
apabila digerakkan oleh seorang pemimpin yang memiliki karakter
yang mampu menjadi panutan model (role model) bagi setiap anggota
masyarakat atau lembaga yang dipimpinnya. D’Souza (2007)

1

Perdes No.04 Tahun 2010. Tentang RPJM Desa tahun 2010 – 2014.

134

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

menggambarkan pemimpin yang efektif adalah seorang pemimpin
yang “know the way, show the way and lead the way ” yaitu pemimpin
yang tidak sekedar pandai mengucapkan jargon-jargon kepemimpinan
atau program-program yang muluk-muluk tetapi pemimpin yang
mengetahui dengan baik dan benar pada setiap tindakannya, kemudian
ia membuktikan bahwa dirinya telah melakukannya, sehingga ia
mampu mendapat kepercayaan untuk memimpin orang lain mencapai
keberhasilan sesusai dengan visinya.
Pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru yang mampu
membangun partisipasi masyarakatnya dengan baik adalah tidak lain
disebabkan oleh karakter dari kepemimpinan dari kepala desa
Tlogoweru, yaitu pak Soetedjo. Karakter kepemimpinan Pak kades
Soetedjo sebenarnya adalah sederhana sekali, yaitu terletak pada
falsafah hidup “Sandal Jepit”nya. Suatu falsafah kepemimpinan yang
dijiwai oleh sifat ketulusan, kesederhanaan dan keterbukaan tanpa
pilih kasih terhadap siapapun, baik secara strata ekonomi, pendidikan
dan latar belakang agama. Seperti istilah yang dipakainya “Sandal
Jepit”, pak kades dalam kesehariaanya memang beralaskan sepasang
sandal jepit ketika berkunjung ke rumah warganya atau melakukan
supervisi ke semua perangkat desa Tlogoweru. Demikian pula dalam
berkomunikasi dengan anggota warganya maupun siapa saja, pak
Soetedjo memakai bahasa jawa sehari-hari yang sederhana, sehingga
setiap warga merasa nyaman dan terayomi ketika berjumpa maupun
berinteraksi. Oleh karena keefektifannya, falsafah kepemimpinan
“Sandal Jepit” pak Soetedjo amat berperan dalam menciptakan ruang
publik bagi setiap anggota masyarakat untuk berani dengan terbuka
mengekspresikan sikap maupun keinginan mereka. Hal ini nampak,
misalnya ketika pada awal perjumpaan mereka dengan kelompok ibu
Elisabeth untuk melakukan bantuan kerjasama pembangunan
masyarakat. Bagi penulis yang sudah hampir delapan tahun berkenalan
dan bersama-sama melakukan pemberdayaan masyarakat di desa
Tlogoweru melihat karakter kepemimpinan dari pak Soetedjo ini
merupakan pengejawantahan yang
konkrit dari karakter
kepemimpinan Pancasila sebagaimana yang pernah dicetuskan oleh
Bapak Pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantoro (Soleh,
135

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

2014:80-81) yang berbunyi “Ing ngarso asung tulodo” yang artinya
seorang pemimpin harus mampu menjadi contoh keteladanan bagi
setiap anggota masyarakatnya. Pemimpin yang demikian akan
memberi daya bagi masyarakatnya untuk turut berpartisipasi aktif
dalam pemberdayaan dalam diri mereka. Kemudian karakter
kepemimpinan dengan “Ing madyo mangun karso” yang artinya
seorang pemimpin harus mampu menumbuhkan prakarsa atau inisiatif
untuk merangsang kekreatifan masyarakat yang dipimpinnya melalu
sikap kesejajaran dan kesederhanaan, dengan demikian masyarakat
akan tergerak untuk lebih berpartisipasi karena merasa sebagai bagian
dari segenap proses pemberdayaan yang sedang berlangsung. Dan
akhirnya karakter “Tut wuri handayani” yang artinya seorang
pemimpin harus memiliki jiwa kerendahan hati untuk menghargai
setiap pendapat anggota masyarakatnya dan mau menerima saran atau
usulan bahkan kritikan. Dengan demikian setiap anggota masyarakat
akan merasakan ketenangan dan kepastisan dalam berpartisipasi dalam
proses pemberdayaan masyarakat setempat. Pak Soetedjo secara pribadi
merumuskan karakter kepemimpinannya dengan prinsip 8 (delapan)
pilar, yang merupakan rangkuman dari penuturan dan wejangan yang
pernah diterimanya dari bu Elisabeth dalam rangka pemberdayaan
masyarakat desa Tlogoweru, sebagai berikut:
“Saya sendiri diberi pemahaman, kita pegang 8 pilar untuk
memajukan desa Tlogoweru” jelasnya. “Yang pertama,
Tuhan. Artinya kami membiasakan masyarakat untuk
mengandalkan Tuhan dalam setiap laku kita maka Tuhan
akan memberkati jalan hidup kita. Pilar kedua adalah
kebenaran. Salah satu kebenaran itu mengajar kita untuk
mengucap syukur dalam segala keadaan, dalam keadaan sakit
atau sehat; dalam keadaan kelimpahan atau kekurangan.
Pilar ketiga adalah belajar hidup takut akan Tuhan. Kita
bekerja tanpa diawasi siapa pun. Jadi tidak usah takut sama
manusia, tapi belajar mengetahui bahwa Tuhan ada di setiap
langkah kita. Pilar yang keempat, hidup rendah hati. Karena
kesombongan itu awal kehancuran, tinggi hati itu awal pada
kejatuhan. Yang kelima adalah kejujuran. Tuhan itu akan
memberi pertolongan kepada orang yang jujur dan hidup
tidak bercela. Pilar keenam adalah kerendahan hati. Ilmu
yang kita peroleh, keberhasilan yang sudah kita peroleh, kita

136

Menyingkap Faktor-faktor Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tlogoweru

harus berani kembali membagikan kepada orang lain. Pilar
ketujuh adalah menjalin harta hubungan. Saya katakan
hubungan itu merupakan harta, harta yang tidak bisa hilang.
Jangan menilai segala sesuatu hubungan itu dengan uang.
Uang itu bisa habis. Delapan adalah menerima semua
manusia sebagai saudara, sekalipun kami berbeda warna
kulit, berbeda suku bangsa, berbeda kebudayaan, berbeda
agama, tetapi mereka adalah manusia, sesama yang harus kita
hargai dan hormati.” (Wawancara, 1 Juni 2011)

Catatan Penutup
Pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru merupakan
perwujudan nyata dari partisipasi aktif masyarakat Tlogoweru. Itulah
sebabnya, pemberdayaan masyarakat tersebut mampu memberi
harapan bagi masyarakat desa Tlgoweru untuk terus berupaya
mencapai kemajuan ekonomi dan harkat kehidupan masyarakatnya.
Adapun proses pemberdayaan masyarakat tersebut dapat
diskemakan sebagai berikut:

Sumber: yusuf

Gambar 7.1 Skema Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

Dari skema di atas amat gamblang terlihat pemberdayaan
masyarakat di desa Tlogoweru merupakan akibat dari partispasi
137

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

masyarakat yang aktif yang disebabkan oleh beberapa faktor yang
mendukungnya. Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) Adanya peranan
para agen perubahan sebagai penggerak suatu pemberdayaan
masyarakat yang melahirkan partisipasi aktif dari setiap anggota
masyarakat oleh karena memiliki persepsi yang sama untuk
berpartisipasi didalamnya. (2) Para agen perubahan, baik para agen
perubahan internal yang berperan sebagai fasilitator yang memahami
kebutuhan masyarakat; maupun para agen perubahan eksternal yang
berperan sebagai fasilitator yang menyediakan sarana bagi pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Kedua kelompok agen perubahan ini
mengandalkan trust sebagai social-glue di antara mereka, dengan
demikian para agen perubahan melakukan peranan mereka masingmasing melalui jalur interpersonal relationship dan komunikasi yang
transparan, tegas dan lugas. (3) Adanya kejelasan visi pembangunan
masyarakat di antara para agen perubahan, sehingga mampu menarik
perhatian dan menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi. (4)
Tampilnya kepemimpinan yang berkarakter dalam diri para agen
perubahan yang berperan sebagai kekuatan sosial yang mampu
menyatukan setiap anggota masyarakatnya, memberi kepastian atas
pencapaian visi pembangunan dengan integritas, dan keteladan yang
konkrit dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.

138