Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB I

Bab I
Pendahuluan
Pada bab pendahuluan ini, penulis menjelaskan tentang latar
belakang dari alasan memilih topik penelitian tentang pemberdayaan
masyarakat yang dijalankan di desa Tlogoweru, kecamatan Guntur,
Kabupaten Demak di propinsi Jawa Tengah. Kemudian bab ini juga
mengulas tentang permasalahan penelitian, tujuan dan manfaat
penelitian. Pemilihan desa Tlogoweru sebagai sasaran penelitian
didasarkan pada pengamatan penulis baik sebagai hasil dari studi
literatur tentang teori-teori pembangunan masyarakat maupun dari
pengalaman empiris di desa Tlogoweru dalam rangka keikut sertaan
penulis mendampingi proses pembangunan masyarakat desa
Tlogoweru mulai sekitar bulan Agustus 2009 sampai dengan sekitar
Maret 2015. Penulis merasa amat tertarik dan termotivasi untuk
mengangkat desa Tlogoweru sebagai protipe suatu upaya
pemberdayaan masyarakat yang dihasilkan dari partisipasi aktif
masyarakatnya dalam rangka mencapai pembangunan dengan efektif.
Melalui pembahasan tentang latar belakang penelitian, penulis
mengulas secara umum tentang kurangnya keefektifan pemerintah
dalam menanggulangi kemiskinan di masyarakat perdesaan melalui
program-program pembangunan masyarakat yang nampaknya

disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam melakukan
pemberdayaan masyarakat pada desa-desa atau kelompok masyarkat
yang bersangkutan. Sebab itulah, permasalahan penelitian dalam
disertasi ini mengupayakan untuk menemukan faktor-faktor apa saja
yang berperan sebagai penggerak partisipasi masyarakat desa
Tlogoweru sehingga terjadi pemberdayaan masyarakat dengan efektif.
Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan
umum baik secara teoritis maupun pragmatis, bagi siapa saja yang
1

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

berkehendak melakukan perencanaan suatu pembangunan masyarakat
perdesaan di Indonesia dengan hasil yang lebih efektif.

Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan permasalahan sosial yang masih
menjadi tantangan terbesar bagi pemerintahan secara global di abad ke
21 ini, itulah sebabnya masalah pemberantasan kemiskinan menjadi
agenda penting yang dicanangkan oleh PBB melalui program

Millennium Development Goals (MDG’s). Ketika penulis memulai
penelitian pada awal tahun 2013, posisi tingkat penduduk miskin di
Indonesia pada bulan Maret 2012 menunjukkan penurunan ke angka
11,96 persen atau 29,13 juta jiwa (BPS, 2012) dibandingkan dengan
19,4 persen atau 38,7 juta jiwa pada tahun 2000, namun jika dicermati
lebih seksama dalam kaitannya dengan jumlah total populasi penduduk
Indonesia yang juga meningkat, maka penurunan angka kemiskinan
tersebut tetap mengindikasikan adanya kebutuhan program
pengentasan kemiskinan yang harus menjadi agenda utama
pembangunan di Indonesia. Lebih lanjut, Stamboel (2012),
Sumodiningrat & Wulandari (2016), maupun Suharto (2016)
mengungkapkan bahwa secara sektoral, penduduk miskin di Indonesia
hingga pada masa dasa warsa ini masih terkonsentrasikan di sektor
pertanian, yakni di daerah perdesaan. Hal ini dipertegas oleh pendapat
dari Abdoellah (2016), Satria dkk (2011); maupun Suswono (dalam
Stamboel 201:xv) yang menyatakan bahwa sekitar 60 persen penduduk
miskin di Indonesia tinggal dan bekerja di daerah perdesaan yang pada
umumnya menumpukan kesejahteraan mereka dalam sektor pertanian.
Dengan kata lain, kemiskinan penduduk di Indonesia bisa disebut
sebagai fenomena kemiskinan perdesaan. Maka dari itu, tidaklah

mengherankan apabila sejumlah besar para praktisi pembangunan
masyarakat berpendapat bahwa pembangunan masyarakat desa adalah
kunci menuju pengentasan masalah kemiskinan di Indonesia
(Abdoellah 2016; Maschab 2013; Nurman 2015; Refi & Falahi 2014;
Satria dkk 2011; Stamboel 2012; Suharto 2010; Sumodiningrat & Ari
2016).
2

Pendahuluan

Namun, mengapa permasalahan pembangunan perdesaan di
Indonesia belum juga dapat juga diselesaikan dengan baik sehingga
angka kemiskinan masih terbilang tinggi, padahal pemerintah telah
mengupayakan program-program pembangunan perdesaan sebagai
upaya pengentasan masalah kemisikinan, misalnya pada tahun 19701980, pemerintah telah mengadakan pembangunan infrastruktur
pertanian berupa pembangunan irigasi yang mampu mengairi lahan
persawahan hingga mencapai 1,5 hektar, pemerintah juga telah
mendirikan Badan Urusan Logistik (BULOG) yang bertujuan
mengontrol stabilitas harga beras serta didampingi dengan program
Bimbingan Masyarkat (BIMAS). Pada tahun 1993, pemerintahan Orde

Baru juga mengeluarkan kebijakan Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang
menyediakan layanan khusus pada desa-desa dalam kategorial miskin
atau tertinggal atau terpencil untuk mendapatkan bantuan dana
maupun prasarana. Dan di era Reformasi, pemerintah telah
mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Untuk menjawab pertanyaan semacam di atas, pada tahun 2007, tiga
pusat studi pembangunan masyarakat di bawah lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM-IPB)
yang terdiri dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL),
Pusat Studi Pembangunan Pertanian Pedesaan (PSP3), dan Pusat
Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W)
mengadakan Semiloka Desa 2030 yang bertujuan untuk melakukan
identifikasi titik kristis yang menyebabkan tetap lemahnya daya
pembangunan masyarakat desa sebagaimana diharapkan oleh programprogram pemerintah yang ada. Ada dua kesimpulan dari hasil semiloka
tersebut, yakni permasalahan pola pendekatan yang dipakai
pemerintah dalam pengimplementasian program-programnya dan
masalah paradigma pembangunan masyarakat, yakni pola
pembangunan yang masih berorientasikan pada produksi. Semiloka
Desa 2030 mengemukakan kenyataan bahwa program-program
pembangunan masyarakat desa yang dirancang pemerintah Orde Baru

hingga era Reformasi ternyata masih belum melibatkan partisipasi
masyarakat desa secara terbuka dan aktif, hal ini disebabkan oleh
karena pola pendekatan pemerintah masih bersifat sentralistis dengan
3

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

pendekatan local state government yang memposisikan masyarakat
desa hanya sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah. Hal ini
tercermin melalui Undang-undang (UU) No.5 Tahun 1979 yang
mengarahkan kebijakan pengelolahan pemerintah desa menjadi
penyeragaman atau sentralisasi dalam pembangunan masyarakat yang
seharusnya masyarakat desa diberi wewenang untuk melakukan
pemerintahannya bersama dengan masyarakat desa lokal (self
governing community).
Demikian pula halnya dengan pemahaman tentang konsep
pembangunan masyarakat. Dalam arena pengkajian tentang masalah
pembangunan masyarakat perdesaan, istilah “Pembangunan
masyarakat” masih lebih dipahami sebagai suatu konsep (paradigma)
pembangunan dalam suatu masyarakat desa yang hanya menyentuh

pada pembangunan dalam aspek fisik yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat desa setempat, misalnya;
bersentuhan dengan kepentingan lembaga swasta atau dengan lembaga
pemerintah yang hanya mengupayakan suatu perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan yang bersifat fisik (gedung, rumah, pabrik),
dimana tingkat keberhasilannya acap kali diukur dengan tingkat
pendapatan-pengeluaran ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara.
Namun pada hakikatnya, pembangunan masyarakat desa sejatinya
perlu memiliki konsep pembangunan yang menyentuh aspek
pembangunan yang lebih multi dimensi, yaitu dari dimensi fisik
maupun non-fisik, mental maupun spiritual, serta dimensi sosial dan
politik yang menghasilkan pembangunan dalam bentuk pendidikan,
kesehatan, rasa aman, dan jaminan keadilan (Dalal-Clayton 2003;
Stiglitz 2002). Itulah sebabnya Adrian Leftwich (2000) menegaskan
agar didalam setiap kegiatan pembangunan masyarakat desa selayaknya
dituntun dan diwadahi dengan suatu konsep yang konkrit tentang apa
yang akan menjadi tujuan utama dari pembangunan masyarakat desa
yang bersangkutan, sehingga melalui konsep pembangunan masyarakat
desa tersebut, suatu pembangunan memiliki pilar pengarah dan
pendukungnya agar mampu diimplementasikan melalui perencanaan

pembangunan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian
pembangunan masyarakat desa tersebut dapat diarahkan untuk
4

Pendahuluan

menghasilkan model pembangunan yang sesuai dengan tujuan Undang
Undang Dasar 1945 pasal 33 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dengan kata lain, suatu pembangunan masyarakat desa
dapatlah disebut berhasil dalam pembangunan masyarakatnya apabila
dalam kehidupan masyarakat desanya terjadi suatu perubahan sosial
atau transformasi sosial yang dapat terindikasikan dalam bentuk
kemampuan dari setiap anggota masyarakatnya untuk mencapai
“kesejahteran hidup atau mutu hidup” (Mardikanto & Soebiato 2013;
Soetomo 2013). Dalam kaitan pemahaman ini, Todaro (2000:18-20)
mengartikan pencapaian “kesejahteraan hidup atau mutu hidup” adalah
sebagai kondisi dimana suatu masyarakat dalam tujuan
pembangunannya bukanlah semata-mata untuk mencapai keberhasilan

suatu program pembangunan yang sekedar menghasilkan uang, barang
atau bangunan. Namun lebih dari itu, hasil dari pembangunan
masyarakat desa tersebut harus melampaui unsur non-material yang
merupakan bagian riil dari kehidupan manusia, yaitu terjadinya
perubahan pola kehidupan masyarakat, dimana setiap anggotanya lebih
mampu mengekspresikan kemerdekaannya secara emosi, intelektual
maupun idealnya, yakni pembangunan masyarakat desa yang memberi
perluasan kebebasan (expansion of freedom), berupa kebebasan politik,
kesempatan-kesempatan ekonomi, peluang-peluang sosial, jaminan
keterbukaan, dan perlindungan keamanan (Sen 1999:3, 36-38).
Pendapat ini nampaknya sepaham dengan teori “humanizing”-nya
Mahbub ul Haq (1976), seorang ekonom dan tokoh pembangunan dari
Universtas Karach di Pakistan yang menekankan bahwa tujuan utama
pembangunan adalah menciptakan kondisi kesejahteraan masyarakat
yang lebih baik daripada sebelum adanya pembangunan. Pandangan ini
dikuatkan oleh Budiman (1985) yang memahami bahwa tujuan absolut
dari suatu pembangunan adalah manusia itu sendiri. Yaitu, menjadikan
sosok manusia secara aktif menjadi manusia yang kreatif, yakni
manusia-manusia yang merasa sejahtera, merasa bahagia, aman dan
bebas dari rasa takut. Dengan kata lain, suatu pembangunan

dinyatakan berhasil dan benar adalah apabila pembangunan
5

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

masyarakat tersebut mampu menciptakan kesejahteraan seluruh
anggota masyarakatnya, yaitu suatu pembangunan yang dihasilkan dari
rakyat dan bagi rakyat.
Jika demikian, maka konsep tujuan pembangunan masyarakat
desa, sebagaimana di anjurkan oleh Todaro (Nurman 2015:94-95),
haruslah dimulai dari suatu konsep terjadinya perubahan-perubahan
atas struktur sosial, sikap masyarakat, lembaga-lembaga, baik dari
tingkat daerah hingga di tingkat nasional, sehingga pembangunan akan
mampu menghadirkan realita baru bagi kehidupan masyarakat yang
melakukan pembangunan tersebut, yaitu bahwa tujuan pembangunan
bukan hanya diarahkan untuk peningkatan pendapatan keuangan
(income) bagi seseorang atau kelompok tertentu dari masyarakatnya,
tetapi lebih kepada pemerataan hasil pembangunan yang dapat
dirasakan oleh segenap komponen masyarakat baik dalam sektor
perekonomian, namun juga mencakup aspek rasa aman dan

keseimbangan tingkat sosialnya. Dengan demikian, hasil dari
pembangunan tersebut juga akan mampu memperhatikan peningkatan
aspek kebutuhan dimensi non-material masyarakat, seperti
peningkatan “Life sustenance” suatu masyarakat, yakni kemampuan
setiap anggota masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan bukan
saja dasar hidupnya berupa sandang, pangan dan papan; namun juga
dalam peningkatan aspek kemanusian berkenaan dengan “Self-Esteem”
dalam diri setiap anggota masyarakatnya, yaitu kemampuan untuk
memiliki rasa kepribadian yang holistic, dalam hal ini adalah memiliki
harga diri, kemampuan intelektual, dan fisik yang sehat; dan akhirnya
adanya rasa “Freedom From Servitude” dari setiap anggota masyarakat,
yaitu kemampuan diri untuk melakukan berbagai pilihan dalam hidup
dan yang tidak merugikan orang lain.
Berdasarkan dengan pemahaman di atas, maka perlu adanya
suatu karakteristik yang menguji konsep pembangunan masyarakat
yang mampu mendorong pemaknaan yang lebih tegas dan jelas tentang
keberhasilan pembangunan masyarakat. Bryant dan White (1989)
mengajukan karakteristik utama sebagai tanda dari keberhasilan
pembangunan masyarakat dengan menyatakan bahwa pembangunan
6


Pendahuluan

masyarakat yang berhasil adalah pembangunan masyarakat yang
memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan individu
(pemberdayaan individu) yang ada dalam masyarakat yang
bersangkutan untuk menciptakan masa depannya sendiri, yaitu
terjadinya suatu kegerakkan partisipasi aktif dari setiap anggota
masyarakatnya sehingga tercipta suatu pergerakan modal sosial, yakni
berupa pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan masyarakatnya
dimana hasil-hasilnya pembangunan masyarakat tersebut pada puncak
pencapaian tujuannya dapat dirasakan oleh segenap anggota
masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pembangunan masyarakat
tersebut bukan saja diarahkan untuk pencapaian dalam penambahan
dan peningkatan dalam pendapatan aspek ekonomi semata melainkan
juga telah mampu mencapai tujuan utama dari pembangunan
masyarakat, yaitu pembangunan yang berorientasi kepada
pertumbuhan sosial masyarakat dan adanya realitas sustainable dalam
seluruh pemberdayaan atas sumber daya alam yang menjamin
kepastian ketersediaan sumber daya alam dan lingkunan alam
sekitarnya bagi generasi di mada depan.
Todaro (2000:24) lebih lanjut mengembangkannya dengan
menyatakan beberapa pokok pikiran tentang karakteristik dari
keberhasilan suatu pembangunan masyarakat dengan ciri-ciri
karakteristik pembangunan masyarakat sebagai berikut: Karakteristik
yang pertama adalah Capacity (Kapasitas), yaitu keberhasilan
pembangunan masyarakat yang telah mampu memberi sentuhan sosial
berupa aspek keadilan masyarakat secara menyeluruh, hal ini berarti
pembangunan masyarakat yang telah memberi nilai tambah bagi
kehidupan masyarakat yang bersangkutan berupa aspek kemampuan
meningkatkan pendapatpan atau produktifitas seluruh anggota
masyarakatnya. Karakteristik yang kedua dari keberhasilan suatu
pembangunan masyarakat adalah Equity (Kesamaan / Kesetaraan),
yaitu keberhasilan pembangunan masyarakat yang mampu memberi
rasa kenyamanan bagi masyarakat setempat berupa adanya
pengingkatan kehidupan kesejahteraan sosial masyarakatnya, dengan
demikian pembangunan masyarakat ini mampu membawa
pengurangan kesenjangan antar berbagai lapisan masyarakat di daerah
7

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

hingga di tingkat nasional. Selanjutnya, karakteristik yang ketiga
adalah
Empowerment
(Pemberdayaan),
yaitu
keberhasilan
pembangunan masyarakat yang berdampak dalam peningkatan daya
kreatifitas masyarakat lokal, hal ini menyangkut pembangunan yang
mengutamakan pola struktur pembangunan yang memberdayakan
masyarakat loka agar dapat menjadi aktif dalam memperjuangkan nasib
dirinya dan bagi seluruh anggota masyarakat. Dan karakteristik yang
keempat dari keberhasilan suatu pembangunan masyarakat adalah
Suistanable (Berlanjutan), yaitu keberhasilan pembangunan masyarakat
yang mampu mempertahankan dan mengembangkan pembangunan
dalam masyarakat itu sendiri, hal ini menyangkut pembangunan
masyarakat yang senantiasa mengusahakan pelestarian lingkungan dari
pembangunan di masyarakatnya.

Peranan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan
Kesimpulan dari pemahaman tentang makna pembangunan
masyarakat desa di atas adalah bahwa pembangunan masyarakat desa
pada hakikatnya adalah suatu usaha yang dilakukan dengan kesadaran
diri dalam serangkaian kegiatan masyarakat dalam suatu negara untuk
mencapai suatu perubahan dari keadaan yang buruk menuju ke
keadaan yang lebih baik dimana seluruh kegiatan pembangunan ini
dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam rangka melakukan
pembangunan tersebut, yakni dengan memposisikan masyarakat desa
sebagai aktor yang aktif dalam keseluruhan proses pembangunan
(Soetomo 2013:50-51). Namun arti pemberdayaan disini bukanlah
suatu perubahan yang bersifat “asal pemberdayaan” atau “given” atau
“take it for granted” melainkan pemberdayaan yang dijalankan dan
dialami oleh masyarakat yang bersangkutan melalui suatu proses yang
dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan diarahkan untuk mencapai
tujuan pembangunan secara terencana. Artinya, setiap pemberdayaaan
dalam masyarakat desa tersebut merupakan hasil dari sebuah proses
perencanaan yang melibatkan proses analisa atau evaluasi terhadap
arah pembangunan masyarakat tersebut dengan acuan-acuan
intelektual atau dasar analisa sosial, serta pola pemberdayaan terhadap
8

Pendahuluan

sumber daya manusia dalam pembangunan masyarakat yang
bersangkutan. Dan oleh karena pembangunan masyarakat desa adalah
sebuah proses, maka keterlibatan individu-individu, dalam hal ini
suatu masyarakat yang memberdayakan diri dalam pembangunan
masyarakat merupakan syarat mutlak dan vital untuk pencapaian
keberhasilan suatu pembangunan masyarakat. Mardikanto & Soebiato
(2013: 5) menyimpulkan dengan tegas tentang fakta ini bahwa
pembangunan masyarakat desa adalah suatu upaya bersama dari setiap
anggota masyarakat berupa pemberdayaan dari partisipasi yang
dihasilkan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri. Dengan demikian,
pembangunan masyarakat bukanlah kegiatan masyarakat yang
direncanakan, dilaksanakan dan dimaksudkan untuk memenuhi
kepentingan segolongan atau sekelompok warga masyarakat,
melainkan dari pemberdayaan seluruh angggota masyarakat setempat.
Sebab itulah, menurut Nitisastro (2010:9-11) maupun
Soedjatmoko (1998:181-182), konsep pembangunan masyarakat desa
yang baik dan benar adalah pembangunan yang mensyaratkan
pemberdayaan masyarakatnya melalui keterlibatan atau pastisipasi
aktif dari seluruh anggota masyarakat desa dimana pembangunan
tersebut diadakan, yaitu mulai dari fase pengambilan keputusan
tentang perencanaan pembangunan, sampai pada fase pelaksanaan dan
pengawasan proses pembangunan, hingga pada akhirnya pada fase
pemanfaatan hasil-hasilnya oleh masyarakat yang bersangkutan.
Premis tentang konsep pembangunan masyarakat ini amat penting,
sebagaimana telah diungkapkan oleh Sumodiningrat (1999) bahwa
pembangunan masyarakat bukanlah suatu kegiatan yang dilaksanakan
oleh karena instruksi atau program pemerintah atau kelompok
masyarakat tertentu (top-down approach), melainkan suatu usaha
pembangunan masyarakat yang dilaksanakan melalui proses
pemberdayaan masyarakat dari kelompok-kelompok masyarakat
tertentu bersama-sama dengan seluruh warga masyarakatnya (bottomup approach).
Sejauhmanakah pemberdayaan masyarakat selama ini telah
diterapkan dalam proses pembangunan perdesaan di Indonesia?
9

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

Sebenarnya, melalui PNPM (Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat) Mandiri, yang telah diluncurkan oleh Presiden RI sejak 30
April 2007 di Kota Palu, Sulawesi Tengah, pemerintah telah
mengupayakan konsep pembangunan melalui pemberdayaan
masyarakat. Namun, hasil penemuan dan pengkajian Maschab (2013)
maupun Suharto (2016) menampilkan bahwa pelaksanaan programprogram PNPM Mandiri Perdesaan masih cenderung berorientasi pada
program-program pembangunan gedung atau infra struktur penunjang
ekonomi dan belum mampu melakukan pemberdayaan penduduk desa
secara efektif. Ada tiga indikator utama dari ketidakefektifan tersebut;
Pertama, masih lemahnya proses pemberdayaan masyarakat yang
mampu
mengembangkan
SDM
sehingga
program-program
pembangunan masyarakat mengalami kendala-kendala dalam
implementasi kebijakan-kebijakan yang ada. Adisasmita (2013:13-14)
menjelaskan lemahnya pemberdayaan masyarakat tersebut sebagai
berikut,
Perencanaan pembangunan di Indonesia selama ini sering
dikatakan menerapkan pendekatan top-down sehingga hasil
pembangunan kurang
memberikan manfaat
kepada
masyarakat setempat. Banyak proyek pembangunan yang
berhasil secara fisik tetapi dalam kenyataannya tidak berhasil
secara masyarakat karena kurang mampu memberdayakan
masyarakat, sehingga pembangunan tersebut dikatakan tidak
berhasil.

Kedua, belum ratanya hasil nyata dari program-program
pembangunan masyarakat sehingga masyarakat desa masih belum
dapat mengalami kesejahteraan secara merata, atau sebagaimana
Maschab (2013:169) menyebutnya sebagai “pembangunan desa yang
dilakukan selama ini hanya sekedar bisa menjadikan masyarakat desa
agar tidak terlalu miskin.” Ketiga, tidak adanya nilai-nilai
keberlanjutan (sutainability) dalam pembangunan, sehingga
pembangunan masyarakat lebih cenderung menekankan keberhasilan
dalam tatanan tingkat perekonomian semata. Hal ini diungkapkan oleh
Usman (2015:174-179) bahwa pembangunan perdesaan kita
(Indonesia) selama ini masih berjalan dalam bingkai the blueprint
approach , yakni suatu pembangunan masyarakat yang dijalankan
10

Pendahuluan

dengan gagasan perencanaan pembangunan dari pihak luar pemerintah
dan pihak luar masyarakat, masih berlakunya sistem birokrasi yang
manajerial, sumber dana pembangunan berasal dari pemerintah pusat,
proyek pembangunan dilakukan berdasarkan target waktu yang telah
ditentukan dan diaplikasikan pada pembangunan infrastruktur yang
beragam (misalnya; pembangunan jalan, gedung, fasilitas umum
dijadikan satu proyek), dan implementasi program pembangunan
dijalankan dengan lebih berpedomankan pada panduan teknis undangundang pemerintah daerah daripada berpedomankan pada kebijakan
lokal.
Lemahnya implementasi pemberdayaan masyarakat yang
terlihat dari ketiga indikator tersebut tampaknya memang menjadi
kendala bagi pembangunan masyarakat perdesaan di Indonesia, hal ini
dapat tergambarkan dari beberapa hasil penelitian, antara lain,
penelitian Purba (2008) di kecamatan Panombeian Panei, kabupaten
Simalungun yang menyatakan pemberdayaan masyarakat dalam
keterlibatan mereka pada tahap perencanaan berjalan dengan baik,
namun pada tahap pelaksanaan, keterlibatan masyarakat amat
berkurang yang disebabkan dari kurangnya SDM yang
berkompentensi, sehingga masih berorintasi pada program semata.
Penelitian Mardjoeki (2012) di masyarakat pesisir pantai
Kapetakan (Bungko) sampai pesisir pantai Mertasinga Kecamatan
Gunungjati dan Kota Cirebon, Mundu sampai Losari, Kabupaten
Cirebon menemukan masih terbatasnya sarana pelayanan dasar
termasuk sarana prasarana fisik sehingga sebagian besar masyarakat
masih terisolir dan terbelakang, ditambah belum adanya kebijakan
yang mengatur kehidupan masyarakat pesisir, sehingga masyarakat
masih belum dapat mengambil sikap yang jelas dalam pengambilan
keputusan. Sebagai akibatnya, pemberdayaan masyarakatnya tidak
dapat berjalan dengan efektif.
Penelitian Nugrahani (2013) di dusun Kalingiwo, Girimulyo,
Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan bahwa
walaupun pemerintahan desa bersama dengan lembaga pemerintah
menyampaikan pengimplementasian PNPM, namun pemerintah tidak
11

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

memiliki program pemberdayaan masyarakat berupa pelatihan kerja
atau pendampingan kerja, sehingga terjadi kelemahan dalam
pengelolaan dan pengawasan dalam perencanaan maupun pelaksanaan
program BTL (Bantuan Tunai Langsung) yang disalurkan.
Demikian pula, penelitian Setyawati (2014) tentang
“Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian
Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Kearifan Lokal” menyimpulkan
pemerintah tidak mengikut sertakan masyarakat secara langsung dalam
perencanaan program sehingga masyarakat tidak memiliki kesadaran
untuk berpatisipasi, maka sebagai akibatnya, pemberdayaan
masyarakat tidak ada sehingga masyarakat tidak tahu bagaimana
berperan sebagai penunjang keberhasilan peningkatan hasil ekonomi
masyarakat mereka sendiri.
Berdasarkan pemahaman tentang masih lemahnya konsep
pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat perdesaan di Indonesia
secara umum sebagaimana telah diuraikan di atas, maka melalui
disertasi ini, penulis mengajukan desa Tlogoweru di kecamatan
Guntur, kabupaten Demak sebagai prototipe pembangunan masyarakat
perdesaan dengan konsep pemberdayaan masyarakatnya.
Disertasi ini, dalam pengamatan penulis hingga disertasi ini
ditulis, merupakan hasil dari temuan empiris yang pertama dari suatu
penelitian yang mengungkapkan tentang bagaimana proses
pemberdayaan masyarakat dengan efektif dilakukan pada masyarakat
di desa Tlogoweru sehingga mampu menunjang pembangunan
masyarakatnya. Pemberdayaan masyarakat di desa Tlogoweru memiliki
karakteristik yang sesuai dengan tiga indikator keberhasilan suatu
pemberdayaan masyarakat, yakni Pertama, adanya pengembangan
sektor ekonomi atau bina usaha, Kedua, adanya pengembangan sektor
peningkatan sumber daya manusia (SDM) atau bina manusia, dan
Ketiga, adanya pengembangan sektor pelestarian lingkungan hidup
atau bina lingkungan (Anwas 2013; Soleh 2014; Suharto 2016; Usman
2015).

12

Pendahuluan

Bina usaha adalah bentuk pemberdayaan masyarakat yang
menghasilkan peningkatan hasil usaha yang konkrit dari masyarakat
setempat yang ditandai dengan adanya perencanaan yang baik,
penetapan dan pembagian hasil yang merata serta dilakukan melalui
partisipasi aktif dari masyarakatnya. Bina manusia adalah
pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan peningkatan
kompetensi masyarakat dalam melakukan bina usaha, sehingga
pembangunan yang berlangsung merupakan pembangunan masyarakat
yang berorientasikan pada pengembangan potensi masyarakat dan
dilakukan dari aspirasi masyarakat, oleh masyarakat dan untuk
masyarakat secara mandiri. Bina lingkungan adalah pemberdayaan
yang menunjang model pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development), yakni pembangunan masyarakat yang menjamin
terjadinya ketersediaan sumber daya alam secara berkesinambungan
bagi generasi yang akan datang melalui program-program yang
berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup.
Adapun fenomena terjadinya pemberdayaan masyarakat di
desa Tlogoweru sesuai dengan ketiga indikator tersebut di atas dapat
diuraikan secara garis besarnya adalah sebagai berikut; Keberhasilan
pemberdayaan masyarakat di desa Tlogoweru
tampak pada
pengembangan bina usahnya. Sejak tahun 1970, desa Tlogoweru
termasuk dalam daftar Inpres Desa Tertinggal (IDT), namun semenjak
tahun 2012, tingkat perekonomian dari hasil pertanian masyarakat desa
Tologoweru menampakkan kemajuan yang signifikan. Ada dua
kejadian yang membuat penulis menjadi semakin berpenasaran untuk
lebih dalam menggali tentang penyebab meningkatnya hasil usaha
masyarakat di desa Tlogoweru. Pertama, kejadian setelah mendengar
pengakuan dari Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi
Pertanian, Bp. Prabowo Respatiyo Caturroso, atas potensi dan
keberhasilan usaha pertanian desa Tlogoweru setelah melakukan
kunjungannya bahwa, “… kami (akan) mencanangkan Desa Tlogoweru
menjadi desa percontohan bagi desa lain di Indonesia," katanya
(wawancara, 19 Februari 2013). Kejadian kedua adalah
penganugerahan Piagam Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara
untuk kategori Pembina Ketahanan Pangan kepada pak Soetedjo,
13

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

selaku kepala desa Tlogoweru, dari Gubernur Jawa Tengah, H. Ganjar
Pranowo, pada 10 Nopember 20151. Kedua kejadian ini amat
monumental, karena meneguhkan pernyataan pak Soetedjo selaku
kepada desa pada tahun 2012 sebelumnya bahwa masyarakat desa
Tlogoweru telah mengalami kesejahteraan ekonomi melalui
pendapatan pertanian mereka dari panen padi sebelum tahun 2012
hanya Rp. 11,55 juta per hektare, namun setelah itu telah meningkat
menjadi Rp. 23,1 juta per hektare, dan daya beli masyarakat
meningkat, sehingga mampu membayar sewa tanah / 7500m2/tahun
dari 6 juta rupiah menjadi 16 juta rupiah (wawancara, 10 Juli 2012).
Tabel 1.1: Data Peningkatan Pendapatan Tahun 2012

Sumber: Soetedjo (kantor kepala desa Tlogoweru)

Fenomena meningkatnya kesejahteraan masyarakat desa
Tlogoweru lainnya adalah dari pengamatan penulis sejak pertama kali
berkunjung ke desa Tlogoweru pada sekitar akhir tahun 2008 hingga
pertengahan tahun 2015, desa Tlogoweru semakin menampakkan
perubahan dalam tiga area. Area pertama adalah kondisi sepanjang
jalan utama desa dan kondisi rerumputan di pematang daerah
persawahan penduduk. Nampak ada perubahan sejak tahun 2009,
bagaimana kondisi jalan yang sebelumnya banyak berlobang dan
bergelombang karena terbuat dari lapisan tanah dan aspal yang sudah
luluh, namun setelah tahun 2011 sebagian sudah dari aspal dan di
tahun 2013 sebagian dari beton, demikian pula rerumputan di
1

Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 002.5/59 tanggal 24 Agustus 2015
tentang Penerima Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara Tingkat Propinsi
Jawa Tengah 2015.

14

Pendahuluan

pematang daerah persawahan penduduk sebagian besar mulai ditanami
rumput gajah (yang juga berfungsi sebagai pakan ternak), sehingga
pada tahun 2013 desa Tlogoweru mendapat penghargaan sebagai
Kampung Kokoh juara III tingkat Nasional dari PT Semen Semen (Tbk)
Indonesia.

Sumber: Soetedjo

Gambar 1.1: Penghargaan Kampung Kokoh

Area kedua adalah kondisi perumahan penduduk. Di tahun
2012, lebih dari separuh rumah-rumah penduduk yang ada disepanjang
kiri-kanan akses jalan masuk desa sampai di depan kantor kepala desa
dan gedung “Santosa” telah berdindingkan tembok, berpekarangan rapi
dan bercat warna-warni. Area ketiga adalah beberapa staff kantor
pemerintahan desa yang penulis kenal. Di tahun 2013 mereka telah
memiliki kendaran sepeda motor pribadi dan pemerintahan desa telah
mampu membeli sebuah kendaraan roda empat (melalui kredit).
Keberhasilan pemberdayaan masyarakat di desa Tlogoweru
tampak pada pengembangan bina manusia atau SDMnya. Kemajuan
hasil pertanian desa Tlogoweru adalah hasil dari terealisasinya
program-program SDM, antara lain; program pembangunan Lembaga
Pelatihan Kerja Swasta (LPKS) yang dimulai perintisannya pada tahun
2009, serta program pembudidayaan burung Tyto Alba (Burung Hantu)
sebagai predator hama tikus. Kemampuan SDM desa Tlogoweru diakui
15

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

oleh pemerintah daerah, sehingga pada tanggal 10-12 Juli 2012, desa
Tlogoweru menjadi tempat Pelatihan Peningkatan Kapasitas Penyuluh
PNS Sekretariat Bakorlum Jawa Tengah dan pada 24 September 2012,
gubernur Jateng, H. Bibit Waluyo, menjadikan desa Tlogoweru sebagai
tempat ajang Apel Penyuluh Tingkat Propinsi Jawa Tengah dalam
rangka pembahasan PNPM Mandiri Perdesaan. Pengakuan
keberhasilan pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru di sektor
pengembangan SDM juga dapat terdeteksi dari data desa di Bapermades
mulai dari tahun 2012 hingga September 2014, telah tercatat sebanyak
14 lembaga dan instasi dari pemerintah dan 5 lembaga swata yang telah
berkunjung untuk melakukan studi banding dan menerima
pembelajaran tentang burung Tytto Alba dari staff kepada desa
Tlohgoweru (kunjungan validasi data penelitian, 10 Oktober 2014).
Keberhasilan pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru
tampak melalui bina lingkungan hidup. Hal ini terindikasikan melalui
adanya program pengembangan Wisata Alam (Eco Village) sebagai
wujud dari dampak pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru yang
menerapkan pembangunan yang berkelanjutan. Desa Toloweru
menjadi desa yang menghijaukan setiap pekarangan rumah-rumah
penduduk sehingga mendatangkan nuansa kesejukan dan keindahan
alam sekitarnya. Dengan demikian, desa Tlogoweru mampu memikat
banyak pengunjung. Dari catatan daftar tamu di kantor kepala desa
pada 10 Oktober 2014, tercatat pada tahun 2012, jumlah pengunjung
yang datang untuk mengadakan studi lapangan, studi banding dan atau
wisata mencapai jumlah 2.068 orang pengunjung yang meliputi 2011
orang pengunjung domestik dan 57 orang pengunjung warga negara
asing. Jumlah kunjungan pada tahun 2013 mengalami peningkatan
menjadi berjumlah 2.988 orang pengunjung terdiri dari 2.967 orang
pengunjung domestik dan 21 orang pengunjung warga negara asing.
Dan hingga Oktober 2014 tercatat ada 3.889 orang pengunjung yang
terdiri dari 3.857 orang pengunjung domestik dan 32 orang
pengunjung dari warga negara asing yang mengadakan kunjungan
sebagai pemerhati lingkungan hidup (kunjungan validasi data
penelitian, 10 Oktober 2014).
16

Pendahuluan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari pemaparan keberhasilan pemberdayaan masyarakat desa
Tlogoweru inilah, rumusan masalah penelitian yang menjadi acuan
dalam penelitian ini adalah di bagaimanakah partisipasi masyarakat di
desa Tlogoweru dilakukan sehingga dapat terjadi pemberdayaan
masyarakatnya untuk mensukseskan pembangunan masyarakat desa
Tlogoweru? Dan untuk pengembangan penelitian dalam disertasi ini,
penulis memakai dua pertanyaan penelitian, yaitu; Pertama,
bagaimanakah proses berlangsungnya partisipasi masyarakat tersebut
sehingga mampu menggerakkan pemberdayaan masyarakatnya dalam
proses pembangunan? Kedua, faktor-faktor apa sajakah yang mampu
memberi motivasi terjadinya pemberdayaan masyarakat desa
Tlogoweru?
Pertanyaan penelitian ini amat penting dalam rangka
mendukung tujuan dari disertasi ini, yakni menemukan proses dari
terjadinya keefektifan pemberdayaan masyarakat di desa Tlogoweru
sehingga dapat dijadikan prototipe bagi para akademisi dan praktisi
pembangunan masyarakat di Indonesia. Dengan kata lain, tujuan dari
disertasi ini adalah meneliti siapa saja yang berperan dalam
pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru dan bagaimana mereka
melakukan perannya atau faktor-faktor apa saja yang berperan didalam
keseluruhan proses pemberdayaan masyarakat tersebut.
Dengan demikian, laporan penelitian yang tertuang dalam
disertasi ini diharapkan memberi manfaat bagi pengembangan
keilmuan dalam bidang studi pembangunan, maupun bagi suatu
lembaga atau pribadi yang berniat dalam keikutsertaannya untuk
merencanakan pembangunan bagi suatu masyarakat perdesaan di
Indonesia. Adapun manfaat tersebut adalah: (1) menjadi prototipe
pembangunan masyarakat yang berbasiskan pada pemberdayaan
masyarakat. (2) menyediakan bahan acuan tentang bagaimana
melakukan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pembangunan
suatu masyarakat. Dan (3) memberi semangat bagi para praktisi
pembangunan masyarakat untuk terus berkarya bagi kesejahteraan
masyarakat perdesaan di Indonesia.
17

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

Sistematika Penyajian Hasil Penelitian
Adapun disertasi ini disajikan dalam kemasan berupa delapan
bab: Bab pertama berupa pendahulan yang mengulas latar belakang
permasalahan dalam penelitian ini, yakni tentang apa dan bagaimana
pembangunan masyarakat desa itu sebenarnya. Dalam bab ini, penulis
menguraikan pentingnya konsep atau paradigma pemberdayaan
masyarakat sebagai penggerak utama bagi setiap usaha pembangunan
masyarakat. Bab ini juga menjelaskan tentang masalah penelitian,
pertanyaan penelitan, serta manfaat dari penelitian yang dituangkan
dalam disertasi ini. Bab kedua merupakan bab pembahasan teoritis
tentang pembangunan masyarakat dan tentang bagaimana hubungan
pembangunan masyarakat dengan pemberdayaan masyarakat. Bab
ketiga adalah penyajian tentang fitur dari desa Tlogoweru, para aktor
pembangunan yang berperan sebagai penggerak pemberdayaan
masyarakat, dan akhirnya menjelaskan pendekatan metode penelitian
yang dipakai dalam disertasi ini serta proses pelaksanaan metodologis
penelitian ini. Bab keempat merupakan penyampaian hasil penelitian,
yaitu tentang pentingnya peranan para agen perubahan (agent of
change) dalam membangkitkan partisipasi masyarakat sehingga terjadi
pemberdayaan masyarakat dengan efektif. Dalam bab ini penulis
menyampaikan temuan-temuan empiris tentang bagaimana peranan
para agen perubahan melakukan proses pembangunan yang mampu
membangkitkan partisipasi masyarakat secara aktif dalam
pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru sehingga menghasilkan
pembuatan sumur-sumur pantek, membuat program penangkaran dan
pembudidayaan burung Tyto Alba (burung hantu serak jawa), serta
pengembangan program peternakan sapi. Pada bab kelima, penulis
menyajikan temuan empiris tentang bagaimana para agen perubahan
mampu menciptakan pilar-pilar pendukung pemberdayaan masyarakat
sebagai pelengkapan partisipasi masyarakat desa Tlogoweru, yakni
didirikannya Lembaga Pelatihan Kerja Swasta (LPKS) sehingga mampu
meningkatkan pemberdayaan masyarakatnya untuk mensukseskan
perencanaan pembangunan mereka. Pada bab keenam, penulis
menyajikan temuan empiris tentang bagaimana masyarakat desa
18

Pendahuluan

Tlogoweru mampu membuat program pembangunan yang
berkelanjutan berupa program inovatif pemberdayaan masyarakatnya,
yakni program wisata desa dengan konsep eco-village. Bab ketujuh
merupakan bab pengkajian analitis dan teoritis dari hasil penelitian.
Dan akhirnya, bab kedelapan adalah bab penutup berupa kesimpulan
yang komprehensif dan aplikatif sebagai respon atas hasil penelitian
yang tertuang dalam disertasi ini.

19