Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB VI

Bab VI
Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat
Desa Tlogoweru
Pada bab ini, penulis menyajikan laporan empiris dari hasil
penelitian di lapangan untuk memberi gambaran tentang bagaimana
proses lahirnya program inovatif Desa Wisata sebagai wujud
pemberdayaan masyarakat yang mampu mendorong pergerakan
partisipasi masyrakat desa Tlogoweru untuk bersama-sama melakukan
pembangunan masyarakatnya. Penulis juga mencatat beberapa konsep
pembangunan
masyarakat
desa
Tlogoweru
dalam
mengimplementasikan konsep pembangunan yang berorientasikan pada
ecocentrism, yaitu proses pengembangan bina usaha sektor lingkungan
yang dilakukan oleh para pemimpin pemerintahan desa bersama
dengan masyarakat desa Tlogoweru sebagai wujud program
pembangunan masyarakat yang berkelanjutan (sustainability
community development). Dengan demikian, bab ini diharapkan dapat
memberi inspirasi kepada siapa saja yang berkehendak melakukan

pemberdayaan masyarakat dengan lebih baik dan maju.
Di tengah-tengah mulai terasanya denyutan kesejahteraan
hidup masyarakatnya1, pemerintah dan masyarakat desa Tlogoweru
tidak melupakan pentingnya pembangunan desa yang harus ditopang
dengan perspektif
pembangunan masyarakat yang menekankan
keseimbangan antara pola pembangunan masyarakat yang
mengutamakan kepentingan komunitas (anthropocentrism), yaitu
konsep pembangunan masyarakat yang menempatkan kesejahteraan
manusia menjadi prioritas tertinggi, dengan pola pembangunan
masyarakat yang mengutamakan kepentingan ekologi (ecocentrism),
yaitu konsep pembangunan masyarakat yang memandang bahwa
1

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab IV dan V.

105

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru


manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem di
sekitarnya, sebab itu segala kegiatan manusia harus terkait erat dengan
kepentingan ekosistem secara keseluruhan dari suatu masyarakat
(Mirovitskaya & Acher 2001; O’Riordan 1989).
Melalui pembicaran dalam forum pertemuan formal (rapat
bulanan) dan dialog-dialog informal sebagaimana yang dilakukan
sebulan sekali bersama dari ibu Elisabeth, pak Seotedjo bersama
beberapa perangkat pemerintaha desa dengan beberapa mitra
pengembangan usaha2 membahas tentang konsekuensi pembangunan
masyarakat dan bagaimana melalukan pemeliharaan, pengawasan,
pengembangan dan pencegahan dari efek buruk dari pembangunan
masyarakat. Pak Soetedjo, selaku Kepala Desa, lebih lanjut mengajak
masyarakat desa Tlogoweru untuk memulai melanjutkan
pembangunan masyarakatnya ke arah pembangunan masyarakat yang
mengutamakan pembangunan yang berkonsep pembangunan
masyarakat
yang
keberkelanjutan
(sustainable
community

development).
Dan sebagai tindak lanjutnya, segenap aparatur pemimpin
pemerintahan desa Tlogoweru bersama-sama dengan bu Elisabeth
mencetuskan prakarsa untuk pembuatan rencana program
pengembangan usaha masyarakat berupa program Desa Wisata
Tlogoweru dengan konsep pembangunan masyarakat yang mengacu
pada pembangunan masyarakat yang mengedepankan konsep berbasis
Desa Ekologis (Ecological Village atau Eco-Village).
Program ini mendapat respon dan dukungan yang antusias dari
pimpinan pemerintahan kabupaten Demak, yaitu mulai dari unsur
pejabat Pemerintahan Provinsi Jateng dan Pemerintahan Kabupaten
Demak, juga unsur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jateng. Menurut
anggota tim kreatif Dinbudpar, Bapak Yossiady Bambang Singgih
bahwa desa Tlogoweru di Kecamatan Guntur ini dinilai layak menjadi
Desa Wisata karena memiliki daya tarik wisata yang handal yaitu
Beberapa mitra pengembang usaha diantaranya adalah pimpinan dari PT Sango,
Pengusaha (pribadi) di Jakarta, Pembisnis agro-industri dari Bali (Bali Sehat Organik),
mitra dagang PT Sango dari Jepang.
2


106

Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

berupa penangkaran burung Tyto Alba dan rubuha-rubuha burung
Tyto Alba yang menyebar di kawasan lahan persawahan pertanian
desa, dan juga sekaligus menawarkan keindahan panorama alam
perdesaan yang asri kehijauan sepanjang mata memandang dengan
segala pernak perniknya, yaitu tempat-tempat peternakan, gedung
LPKS dan hasil-hasil produksinya, antara lain; kaos sablonan dengan
logo desa Tlogoweru, souvenir sederhana icon burung Tyto Alba dari
ukiran kayu.3
Penetapan dan pengesahan program Desa Wisata Tlogoweru
dengan konsep eco-village akhirnya diresmikan langsung oleh Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak pada tahun 2011. Sejak
berpredikat sebagai Desa Wisata, masyarakat desa Tlogoweru
mengalami kesibukan hampir disetiap hari mereka, karena desa
Tlogoweru mulai kebanjiran pelancong-pelancong (turis) mulai dari
sekitar desa, sekitar beberapa kecamatan dan kabupaten.
Kepala desa Tlogoweru, pak Sutejo, mengakui desanya mulai

kebanjiran banyak turis-turis. Banyak turis-turis berasal dari berbagai
daerah Jawa dan dari luar Jawa bahkan dari mancanegara. Kedatangan
para turis tersebut bukan saja untuk melihat secara dekat keberadaan
habitat burung Tyto Alba, namun juga belajar langsung tentang
penangkaran dan pembudidayaan burung-burung Tyto Alba di area
persawahan masyarakat. Segmentasi para turis bukan hanya dari
lingkungan pemerhati lingkungan hidup, namun juga berasal dari
lingkungan akademisi perguruan tinggi.
“Para professor itu ingin langsung melihat praktik di
lapangan. Selain melengkapi banyak teori yang sudah ada
mereka berkeinginan bisa menjawab pertanyaan jika ada
mahasiswanya yang mengambil penelitian tentang burung
hantu,” kata kades Soetedjo. (21 Maret 2014)

Dari data buku tamu dan bahan-bahan materi pembinaan
warga maupun pengunjung yang disampaikan oleh pak Pujo Arto dan

Catatan didapat ketika persiapan sarasehan ilmiah tentang desa inovatif yang akan
diadakan pada 30 Oktober 2012.


3

107

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

pak Soetedjo, serta memo tulisan tangan dari pak Soetedjo4, penulis
mendapati data jumlah pengunjung. Dari catatan daftar tamu pada
tahun 2012 , jumlah pengunjung yang datang untuk mengadakan studi
lapangan, studi banding dan atau wisata mencapai jumlah 2.068 orang
pengunjung yang meliputi 2011 orang pengunjung domestik dan 57
orang pengunjung warga negara asing. Jumlah kunjungan pada tahun
2013 mengalami peningkatan menjadi berjumlah 2.988 orang
pengunjung terdiri dari 2.967 orang pengunjung domestik dan 21
orang pengunjung warga negara asing. Kemudian di tahun 2014
tercatat meningkat menjadi 3.889 orang pengunjung yang terdiri dari
3.857 orang pengunjung domestik dan 32 orang pengunjung dari warga
negara asing. Mayoritas pengunjung yang datang adalah para peneliti
dan pemerhati lingkungan. Sebagai akibatnya, pak Pujo Arto seringkali
diundang sebagai nara sumber berkenaan dengan penyampaian materi

tentang pengetahuan dan pengalaman pengembangbiakan burung Tyto
Alba yang diadakan oleh Dirjen Kementerian Pertanian se Kabupaten
Jawa, Balai Pengembangan Hewan, maupun Kodam IV Diponegoro.

Sumber: LPKS

Gambar 6.1 Gapura Desa: Desa Wisata Tlogoweru

4 Pak Soetedjo amat perhatian dan membantu penulis dengan rela menuliskan dengan
tangan semua data yang diperlukan.

108

Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

Proses Pengembangan Bina Usaha Eco-Village Desa Wisata
Tlogoweru
Perencanaan untuk pengembangan bina usaha lingkungan
diawali dari pak Soetedjo selaku kepada desa melalui komunikasi di
forum diskusi dan forum dialog non-formal sebagai sarana evaluasi dan

perencanaan program kerja bersama-sama dengan setiap orang yang
terlibat dalam proyek-proyek pembangunan masyarakat di desa
Tlogoweru. Pada waktu wawancara dengan penulis (1 Juni 2012), Pak
Soetedjo selaku kepala desa mengungkapkan tentang prinsipnya
tentang bagaimana ia dapat menggalang kerjasama dengan orang lain
adalah melalui 3 elemen, yaitu pemerintah desa, masyarakat, dan unsur
swasta. Dan, “Semenjak saya ketemu ibu Elizabeth Philips, ini
melengkapi. Jadi menjadi satu dorongan kepada saya, masyarakat disini
untuk maju.”
Dan salah satu hasil dari pembicaran dalam forum-forum
semacam tersebut adalah tercetusnya program pengembangan
pembangunan masyarakat desa berupa program Desa Wisata. Beragam
unsur masyarakat dilibatkan dan terlibat dalam program Desa Wisata
Tlogoweru, antara lain mulai dari seluruh tim Tyto Alba, anggota PKK,
segenap anggota Paguyuban Sepeda Onthel Mintorogo (Potro), guruguru TK, segenap pengurus dan anggota kelompok-kelompok Tani,
Dinas Pariwisata kabupaten Demak. Pamor Desa Wisata Tlogoweru
semakin berkibar, melalui penyiaran stasiun TV SCTV, Metro dan TVOne yang mengekpos keberadaan Desa Wisata Tlogoweru, di up-load
nya beberapa klip film singkat tentang keberadaan burung-burung
Tyto Alba serta gambaran kemajuan desa Tlogoweru yang dimuat di
media You-Tube, kemudian adanya situs blog yang dibuat untuk

memberi informasi tentang desa Tlogoweru.5

http://tlogoweru.blogspot.com/ ; http://bpd-tlogoweru.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Tlogoweru-DEMAK/130027817184573
5

109

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

Sumber: LPKS

Gambar 6.2 Berbagai Unsur dan Latarbelakang Masyarakat Tertarik
Berkunjung ke Desa Wisata Tlogoweru

Materi program wisata andalan dari Desa Wisata Tlogoweru
adalah wisata fauna yaitu berkunjung ke kandang penangkaran burung
Tyto Alba dan menyaksikan secara on the spot keberadaan rubuharubuha burung-burung Tyto Alba di area-area persawahan lahan
tanaman padi dan jagung.
Selama akitivitas ini, para pengunjung mendapatkan penjelasan

secara rinci tentang ciri-ciri burung Tyto Alba, bagaimana mereka
dapat ditangkar serta peranannya dalam pembasmian hama tikus di
desa Tlogoweru. Ada juga materi program wisata yang ditawarkan
berupa pengenalan dan pembelajaran tentang aneka kehidupan flora
dan fauna yang ada di desa Tlogoweru. Program ini biasanya untuk
pengunjung dari golongan murid sekolah atau universitas sebagai satu
group wisata yang khusus datang dengan tujuan keilmuan. Acara
biasanya dimulai sekitar pukul 10 pagi (atau sesuai dengan waktu
ketibaan mereka) hingga pukul 4 sore, antara lain; presentasi
pengenalan singkat tentang sejarah, geologi tanah dan kemajuankemajuan yang dicapai oleh masyarakat desa Tlogoweru. Presentasi
khusus tentang burung Tyto Alba, kemudian dilanjutkan dengan tanya
jawab dan berkeliling ke area persawahan, area peternakan sapi, area
110

Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

penangkaran buru Tyto Alba, menyaksikan sumur-sumur pantek dan
berakhir dengan acara santai bersama di sekitar perswahan yang
mempesona.
Program wisata yang cukup menarik perhatian adalah program

wisata Home Stay. Tercatat sudah ada 4 (empat) sekolah internasional
dari Jakarta dan satu sekolah swasta dari Semarang yang pernah
mengikuti program ini. Program wisata home stay di desa Tlogoweru
adalah program wisata yang berlangsung selama sehari penuh atau
lebih, dimana para peserta bermalam di rumah-rumah penduduk,
berkenalan dengan penduduk, makan lauk pauk tradisi lokal, belajar
memerah sapi, melihat cara pengairan sawah dari sumur-sumur
pantek, menyaksikan proses sederhana tentang pembuatan pupuk
kompos, pembuatan bio gas dari kotoran hewan ternak, dan tentunya
belajar tentang seluk beluk kehidupan burung Tyto Alba. Andika siswa
dari sekolah swasta Jakarta amat terkesan dengan program wisata ini,
“aku pertama agak gimana gitu ada di tengah-tengah
sawah, jorok deh… pak tani disini keren lho, kog bisa ya
naikkan air dari sumur yang dalem lalu dimasukan ke
saluran sawah tanpa alat diesel. Tapi aku seneng banget
waktu menyentuh sapi, rasanya hangat tapi bau (sambil
ketawa-tawa)…”

Ada beberapa ibu dari Jakarta yang datang untuk mendampingi
putra-putri mereka, dan juga harus bermalam di rumah penduduk.
Seorang ibu menceritakan bagaimana ia pun juga belajar tentang
menghargai kehidupan dengan lebih serius ketika sesudah mengalami
pengalaman yang cukup membuatnya sempat bergemetaran,
“waktu ini udah tengah malam, tiba-tiba saya kebelet pipis,
waduh… saya jadi agak kalang kabut. Bagaimana nih
caranya, saya mau bangunin anak tidak tega, mau minta
tolong tuan rumah, malulah. Maka saya nekat aja, dan
ternyata menyeremkan juga, untuk ke kamar kecilnya
harus keluar rumah di tengah kegelapan malam,
suasananya serem deh…”

Dengan adanya program Desa Wisata ini, masyarakat desa
Tlogoweru termotivasi untuk selalu memelihara kebersihan
111

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

lingkungan rumah maupun jalan-jalan umum. Disamping itu ibu-ibu
rumah tangga memperoleh tambahan kegiatan dan penghasilan yang
menambah pemasukan ekonomi mereka. Keramahan dan sikap positif
masyarakat desa Tlogoweru merupakan nilai tambah yang membuat
program Desa Wisata terus berkembang.

Sumber: LPKS

Gambar 6.3 Kegiatan Home Stay Siswa Internasional di Jakarta: Turun ke
sawah belajar menanam, membuat kompos, peternakan sapi

Konsep ecological village (eco-village) merupakan konsep
pembangunan kawasan perdesaan yang mempertimbangkan
pencapaian kualitas individu, keluarga, masyarakat serta kualitas
lingkungan alam yang berkelanjutan (sustainable). Dengan demikian
diharapkan akan terjadi arus balik dari kota ke desa, sehingga
berdampak terjadinya berkurangnya masalah kependudukan, masalah
urbanisasi, masalah energi, serta masalah sosial perkotaan yang
semakin kompleks. Aspek lain dari keunggulan konsep pembangunan
eco-village adalah adanya upaya pemanfaatan dan penerapan teknologi
untuk mencari dan memecahkan masalah-masalah sosial dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat yang mendesak, misalnya;
kecukupan energi, air bersih, sarana komunikasi, akses terhadap pasar,
112

Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

akses terhadap pengembangan IPTEKS, serta peningkatan kualitas dan
nilai tambah komoditas ekspor dan komoditas konsumsi untuk
kebutuhan dalam negeri (Wright & Bernard, 2002; Chiras, 2006;
Anderies, dkk, 2004).
Keunggulan dari konsep pembangunan berbasis eco-vilage
adalah dapat terjalinnya hubungan sosial masyarakat antara satu
kesatuan di suatu pemukiman dan segenap unit usaha yang
dikembangkan masyarakat setempat, dengan demikian pemukiman
area perdesaan akan dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang
cukup untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat
perdesaan setempat dan juga untuk memfasilitasi usaha kerja
masyarakat. Hasilnya adalah pengelolaan usaha dan antar usaha
masyarakat dilakukan secara terpadu, sehingga sumberdaya masyarakat
desa setempat dapat diberdayakan seefesien mungkin (Keraf, 2002).
Dalam kasus desa Tlogoweru, konsep eco-village melalui
program Desa Wisata Tlogoweru telah menjadikan pemukiman
masyarakat desa dilengkapi dengan sarana dan prasarana umum dan
sosial yang cukup memadai, hampir semua bagian jalanan dan area
persawahan telah ditata apik dan asri dengan menonjolkan aspek
kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan keindahan. Pengembangan
konsep pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village
dipandang penting karena memiliki makna, tujuan dan manfaat yang
signifikan bagi kemajuan pembangunan masyarakat perdesaan
(Gillman, 1991):6 Pertama, konsep pembangunan masyarakat perdesaan
berbasis eco-village merupakan jalan keluar untuk masalah sosialekonomi masyarakat perdesaan, yaitu dalam mengatasi masalah
urbanisasi dan persoalan ketimpangan atau ketidak seimbangan
pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Konsep ecovillage merupakan solusi strategis untuk masalah ini, yaitu dengan
mengembalikan kehidupan perdesaan menjadi nyaman, dengan
menyediakan kesempatan dan peluang usaha masyarakat sehingga
Tambahan: Gilman, Robert,1991. The Eco-village Challenge: The Challenge of
Developing a Community Living in Balanced Harmony–with itself as well as nature- is
tough, but attainable.
6

113

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

mereka mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan dasar pokok
kehidupan serta kebutuhan pengembangan diri, misalnya; pendidikan,
pelatihan kerja atau penambahan peralatan kerja (dalam hal ini adalah
peralatan pertanian dan teknologi pertanian). Kedua, konsep
pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village merupakan
kegerakan yang dapat membantu upaya pemerintahan negara dalam
mencari solusi untuk menurunkan tingkat kepadatan penduduk di
perkotaan, menurunkan tingkat urbanisasi dari masyarakat perdesaan
dan merupakan solusi strategis dalam pemetaan pembangunan
masyarakat yang adil melalui pemerataan pembangunan dan
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di perdesaan. Ketiga,
konsep pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village
merupakan suatu kegerakan yang akan mengoptimalkan sumber daya
alam, misalnya melalui efisiensi penggunaan bahan bakar, sehingga
mendorong terjadinya kemandirian energi masyarakat perdesaan.
Dengan demikian, melalui perubahan pola masyarakat tersebut,
diharapkan akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat baik
secara individu, keluarga dan masyarakat luas yang bermukim di
wilayah perdesaan.
Dari pemahaman di atas, maka sesungguhnya sebuah kawasan atau
daerah wilayah perdesaan yang mempratikkan prinsip-prinsip konsep
pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village tersebut akan
mendapatkan paling tidak 3 (tiga) manfaat dari dimensi sistem ecovillage, yaitu7;
Dimensi ekologis
Dalam dimensi ini, suatu masyarakat desa eco-village memiliki
ketertarikan dan keterikatan untuk mengeksplorasi semaksimal
mungkin keterkaitan yang harmonis antara manusia dan sistem alam
lingkungannya (ekosistem). Akibat dari keterkaitan ini adalah
terjadinya pemanfaatan sumberdaya alam lokal secara harmonis
dengan kebutuhan konsumsi dari masyarakat (manusia) lokal. Dengan
Luky Andrianto, “Menuju Desa Berwawasan Lingkungan 2030: Sebuah pendekatan
eco-village” dalam Satria, Rustiadi & Purnomo, 2011:347-357.

7

114

Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

demikian akan tercipta dengan sendirinya suatu pola konsumsi
kehidupan yang berkelanjutan (sustainable consumption) dalam
masyarakat yang bersangkutan, yaitu konsumsi yang tidak bersifat
massal dan intensif, melainkan konsumsi bersifat efisiensi. Konsep
yang diakibatkan dari dimensi ekologis ini, pada akhir-akhir ini
menjadi suatu kegerakkan masyarakat yang dinamakan kegerakan
“bioregionalism” yaitu suatu pemikiran untuk mengupayakan
keseimbangan yang intergrasi antara manusia dengan sistem hubungan
manusia di luar sistem kemanusiaan, yaitu dengan sistem lingkungan
alam (ekosistem). Dengan kata lain, bioregionalism adalah suatu
kegerakkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable) yang
berfokus pada isu desentralisasi, lokalisasi, human-scale communies,
ketahanan lokal, kerjasama dan tanggung jawab masyarakat dengan
ekosistem.

Ecovillage Network (2002) memberikan beberapa karakteristik dari
dimensi ekologis dalam suatu desa berbasis eco-village: (a)
Memproduksi bahan pangan yang sesuai dengan karakteristik bioregion (b) Mendukung pola produksi bahan pangan organik. (c)
Membangun dengan mempergunakan materi lokal yang sudah
diadaptasi. (d) Mempromosikan pemanfaatan sistem energi terbarukan.
(e) Melindungi keberagaman hayati. (f) Mempertimbangkan life-cycle
atas semua produk sehingga meminimalisir efek negatif limbah produk.
(g) Mengkonservasi kualitas sumberdaya alam melalui pengelolaan
energi dan limbah yang sesuai dengan kondisi alam lingkungan.
Dimensi sosial atau komunitas
Dimensi ini amat berperan penting dan strategik dalam
pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village, yaitu
masyarakat atau komunitas perdesaan menjadi pelaku langsung dan
aktif dari suatu kegerakkan pembangunan masyarakat. Hal ini adalah
sejatinya merupakan prinsip dan karakter dari pembangunan
masyarakat yang berorientasikan pada kepentingan rakyat, dimana
partisipasi masyarakat merupakan kekuatan efektif untuk terjadinya
pemberdayaan masyarakat. Gillman (1991:51) menjelaskannya sebagai
berikut:
115

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

“ecovillages are communities in which people feel supported
by and responsible to those around them. They provide a
deep sense of belonging to a group. They are small enough
that everyone feels safe, empowered, seen and heard. People
are then able to participate in making decissions that effect
their own lives and that of the community on a transparent
basis.”

Adapun nilai sistem komunitas tersebut di atas yang
merupakan dimensi sosial dari pembangunan masyarakat perdesaan
berbasis eco-village dapat dinyatakan sebagai berikut (Ecovillages
Network, 2002): (a) Setiap anggota masyarakat (komunitas)
mengenalkan diri sebagai komunitas atau masyarakat sosial yang
berbasiskan eco-village, dengan demikian (b) setiap anggota
masyarakat akan saling berbagi sumberdaya dan senantiasa tergerak
untuk saling membantu, yang akan menggerakkan (c) setiap anggota
masyarakat untuk lebih berfokus pada kesehatan masyarakat secara
keseluruhannya daripada kesehatan per-individu, maka akan
menjadikan (d) setiap anggota masyarakat lebih memiliki paradima
yang mengutamakan pekerjaan yang mendatangkan manfaat bagi
seluruh anggota masyarakat lokal, dengan demikian akan (e)
mengikutsertakan setiap anggota kelompok masyarakat marjinal dalam
pemberdayaan masyarakat, dengan demikian akan (f) mendorong
adanya pendidikan yang berkelanjutan, yang akhirnya masyarakat
tersebut mampu (g) memiliki sistem masyarakat yang menyatukan
perbedaan sosial maupun perbedaan dalam berpendapat.
Dimensi budaya dan spiritualitas
Dalam dimensi ini, masyarakat memiliki nilai sistem
kemasyarakatan (berkomunitas) yang patrimonial (patrimony), yaitu
suatu sistem kemasyarakatan yang melakukan segala sesuatunya
dengan memberi perhatian lebih mengutamakan pertimbangan pada
apa yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat terhadap sumberdaya
alam (obligations of owners) daripada eksploitasi hak atas sumberdaya
alam (rights of owners). Dengan kata lain, dimensi budaya ini amat
menekankan pada nilai sistem sosial yang menempatkan sumberdaya
116

Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

alam sebagai pusat sumber hakikat hidup masyarakat yang harus
didayagunakan dengan baik dan benar sesuai kebutuhan masyarakat.
Adapun nilai-nilai sistem masyarakat dari dimensi budaya tersebut
di atas dapat dinyatakan sebagai berikut (Ecovillages Network, 2002):
(a) Masyarakat melakukan setiap aktivitas budaya secara bersama-sama.
(b) Setiap individu anggota masyarakat memiliki rasa sensitivitas
terhadap satu dengan lainnya sehingga terjalin persatuan dalam
masyarakat. (c) Masyarakat memiliki respek terhadap kehidupan
spiritual. (d) Kelompok-kelompok (komunitas) masyarakat memiliki
fleksibilitas dan sistem responsif yang komunikatif dalam mengatasi
perbedaan dan problema yang terjadi. (d) Masyarakat memiliki
pemahaman yang jelas tentang koneksi dan ketergantungan antara
seluruh unsur kehidupan alam dan kehidupan masyarakat (manusia).

Catatan Penutup
Ketiga dimensi di atas telah menjadi konsep pembangunan
masyarakat perdesaan dengan konsep berbasis eco-village yang
dipraktikkan di desa Tlogoweru melalui program Desa Wisata
Tlogoweru. Setiap orang yang mau datang untuk mempelajari tentang
bagaimana pembangunan masyarakat atau sekedar berkunjung ke desa
Tlogoweru akan dapat menyaksikan dengan cepat dan wajar tentang
bagaimana anggota masyarakat desa Tlogoweru melalui LPKS memberi
pelatihan ketrampilan bagaimana mengelolah limbah kotoran hewan
menjadi pupuk organik dan sebagian lagi diolah menjadi bio gas yang
dipakai oleh sebagian kecil rumah-rumah penduduk. Keberadaan
burung-burung Tyto Alba yang terlindungi oleh undang-undang
perdesaan dan sikap masyarakat yang melindunginya merupakan
refleksi dimensi sosial/komunitas yang dihidupi dengan wajar,
demikian pula dalam hal penggunaan sumberdaya alam, masyarakat
desa Tlogoweru melalui program Desa Wisatanya menempat diri
sebagai pemelihara dan pengembang dari segala yang ada lingkungan
hidup mereka (obligations of owners) daripada bersikap sebagai

117

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

pemilik yang melakukan eksploitasi hak atas sumberdaya alam (rights
of owners).
Untuk menyimpulkan dengan gamblang apa yang telah dibahas
di atas, Gambar 6.4 dibawah ini memberi acuan rangkuman sederhana
dan konkrit tentang bagaimana desa Tlogoweru melalui program Desa
Wisata berbasis eco-village mengimplementasikan aspek-aspek dan
dimensi-dimensi pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.

Sumber: Ecovillage Design Education; Jain, 2001

Gambar 6.4 Pola dan dimensi konsep eco-village

Berdasarkan penelusuran di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa program Desa Wisata Tlogoweru merupakan suatu agenda dan
cita-cita untuk pembangunan masyarakat yang berkelanjutan, yaitu
upaya pemberdayaan masyarakat untuk melakukan suatu
pembangunan masyarakat yang menekankan keharmonisan,
keintegrasian, dan kemantapan terhadap aspek ekonomi, aspek sosialbudaya, dan aspek lingkungan hidup sebagai perwujudan prinsip
pembangunan masyarakat yang berkelanjutan (Hoen, 1996:64). Sebab
itu, gagasan Desa Wisata Tlogoweru dapatlah dikatakan sebagai
terobosan kebijakan pemerintahan desa yang amat strategis, yaitu
menggeser titik tumpu pembangunan masyarakat dari hanya bertumpu
118

Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

untuk pembangunan ekonomi semata ke arah pembangunan
masyarakat yang bertumpu pada pembangunan sosial-budaya dan
lingkungan hidup.

Sumber: Sukip Sowan

Gambar 6.5 Anak-anak di Tlogoweru telah memiliki ecological sense
terhadap binatang yang ada dalam lingkungan mereka

Pemerintahan desa Tlogoweru, dalam hal ini melalui pak kades
Soetedjo, senantiasa memegang komitmen dalam konsep pembangunan
masyarakat desa berbasis eco-village. Hal ini dapat terekam jejaknya
melalui berbagai pertemuan formal maupun informal, pak kades
Soetedjo acapkali mengutarakan prinsip 8 (delapan) pilar, yang
merupakan rangkuman dari penuturan dan wejangan yang pernah
diterimanya dari bu Elisabeth, untuk pembangunan masyarakat desa
Tlogoweru,
“Saya sendiri diberi pemahaman, kita pegang 8 pilar untuk
memajukan desa Tlogoweru” jelasnya. “Jadi pertama, Tuhan.
Jadi kami membiasakan masyarakat untuk mengandalkan
Tuhan dalam setiap laku kita maka Tuhan akan memberkati
jalan hidup kita. Pilar kedua adalah kebenaran. Salah satu
kebenaran itu mengajar kita untuk mengucap syukur dalam
segala keadaan, dalam keadaan sakit atau sehat; dalam
keadaan kelimpahan atau kekurangan. Pilar ketiga adalah
belajar hidup takut akan Tuhan. Kita bekerja tanpa diawasi
siapa pun. Jadi tidak usah takut sama manusia, tapi belajar
mengetahui bahwa Tuhan ada di setiap langkah kita. Pilar

119

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa Tlogoweru

yang keempat, hidup rendah hati. Karena kesombongan itu
awal kehancuran, tinggi hati itu awal pada kejatuhan. Yang
kelima adalah kejujuran. Tuhan itu akan memberi
pertolongan kepada orang yang jujur dan hidup tidak bercela.
Pilar keenam adalah kerendahan hati. Ilmu yang kita
peroleh, keberhasilan yang sudah kita peroleh, kita harus
berani kembali membagikan kepada orang lain. Pilar ketujuh
adalah menjalin harta hubungan. Saya katakan hubungan itu
merupakan harta, harta yang tidak bisa hilang. Jangan
menilai segala sesuatu hubungan itu dengan uang. Uang itu
bisa habis. Delapan adalah menerima semua manusia sebagai
saudara, sekalipun kami berbeda warna kulit, berbeda suku
bangsa, berbeda kebudayaan, berbeda agama, tetapi mereka
adalah manusia, sesama yang harus kita hargai dan hormati.”

Hal ini sesuai prinsip pembanguan masyarakat yang berbasis
ekologi yang menekankan hubungan antara pembangunan
berkelanjutan dan pembangunan ekologi (kelestarian lingkungan)
sebagai dua kutub pembanguan yang amat penting untuk menjadi
perhatian bagi setiap pemerhati dan praktisi maupun teorikus
pembangunan masyarakat, karena tanpa adanya dua kutub ini, maka
pembangunan masyarakat akan terjebak kedalam permainan ideologi
developmentalisme. Itulah sebabnya, sebagaimana diungkapkan oleh
Krotsheck dan Narodoslawky (1995) bahwa pembangunan
berkelanjutan haruslah pembangunan yang mempertimbangkan
dengan serius indikator-indikator sosial, ekonomi, lingkungan dan
institusi. Dengan demikian sumber-sumber daya alam akan dapat
dinikmati bersama oleh antar generasi secara sejajar (inter-generation
equity) melalui empat prinsip Sustainable Ecosystem (Susanto, 2006;
Krotsheck dan Narodoslawky,1995:246-248), yaitu The Principle of
Efficiency (prinsip efisiensi), artinya suatu tindakan ekologi yang
melakukan pencegahan agar sumber daya alam tidak tereksploitasi
tanpa kontrol yang akan mengakibatkan kehancuran ekosistem.
Kemudian diterapkan melalui The Principle of Sufficiency (prinsip
kecukupan), yaitu suatu tindakan ekologis yang melakukan upayaupaya pengaturan pemanfaatan sumber daya alam yang terkendali
(manageable) sehingga generasi mendatang tetap dapat menikmati
sumber daya alam tersebut. Untuk itulah dibutuhkan The Principle of
120

Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Tlogoweru

Consistency (prinsip konsitensi), yaitu tindakan ekologis yang
memberi pengaturan secara keseragaman (kompatibilitas) diantara
semua sub-sistem pengguna sumber daya alam dengan super sistemnya
(pemerintah atau perundang-undangan) sehingga keseluruhan
kekayaan sumber daya alam secara konsisten dapat terlindungkan
dengan baik. Dan sebagai pengaman pelaksanaannya perlu adanya The
Principle of precaution (prinsip keamanan), yaitu tindakan ekologis
yang melakukan penegasan menjaga keamaan secara umum terhadap
pemanfaatan setiap sumber daya alam sehingga sumber daya alam akan
terlindungkan secara permanen.

121