T1 802013071 Full text

(1)

PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS

SEKOLAH DENGAN REMAJA SEKOLAH ANGGOTA

PPA (PUSAT PENGEMBANGAN ANAK)

OLEH

HIZKI ANTI NILASARI 802013071

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA


(2)

(3)

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen SatyaWacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Hizki Anti Nilasari

NIM : 802013071

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal bebas royalty non-eksklusif (non-eclusif royalty freeright) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS SEKOLAH DENGAN REMAJA SEKOLAH ANGGOTA PPA (Pusat Pengembangan Anak)

Dengan hak bebas royalty non eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih media/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga Pada tanggal : 10 Mei 2017 Yang menyatakan,

Hizki Anti Nilasari

Mengetahui, Pembimbing


(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Hizki Anti Nilasari NIM : 802013071

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Sayta Wacana Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :

PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS SEKOLAH DENGAN REMAJA SEKOLAH ANGGOTA PPA (Pusat Pengembangan Anak)

Yang dibimbing oleh :

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Adalah benar-benar hasil karya saya.

Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 10 Mei 2017 Yang memberi pernyataan,


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS SEKOLAH DENGAN REMAJA SEKOLAH ANGGOTA PPA (PUSAT PENGEMBANGAN ANAK)

Oleh

Hizki Anti Nilasari 802013071 TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Disetujui pada tanggal 16 Mei 2017 Oleh

Pembimbing

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.

Diketahui Oleh, Disahkan oleh, Kaprogdi Dekan

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA


(7)

PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS

SEKOLAH DENGAN REMAJA SEKOLAH ANGGOTA

PPA (PUSAT PENGEMBANGAN ANAK)

Hizki Anti Nilasari Chr. Hari Soetjiningsih

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA


(8)

i Abstrak

Erikson (dalam Burns, 1993) menyatakan bahwa konsep diri merupakan suatu penelitian terhadap identitas pada masa remaja, khususnya perhatian terhadap cara individu dalam mempersepsikan dirinya. Monks dkk (1999) menjelaskan bahwa memasuki usia remaja, masalah konsep diri menjadi masalah yang cukup serius. Pada umumnya remaja mengalami krisis psikososial yaitu antara menemukan dan kebingungan atas identitas dirinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap remaja saat ini masih dalam tahap mencari jati diri. Maka dari itu penting bagi remaja untuk memiliki konsep diri yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara konsep diri remaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak). Partisipan penelitian tediri dari 30 remaja putra maupun putri putus sekolah dan 30 lainnya adalah remaja sekolah putra maupun putri anggota PPA (Pusat Pengembangan Anak). Penelitian dilakukan dengan alat ukur berupa skala psikologi konsep diri. Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan signifikan pada konsep diri remaja putus sekolah dan remaja sekolah anggota PPA (Pusat Pengembangan Anak).


(9)

ii Abstract

Erikson (in Burns, 1993) stated that the concept of the self is an examination of identity in adolescence, in particular attention to how the individual perceives in him. Monks et al (1999) explains that as a teenager, the problem of self concept becomes quite serious problems. In General, adolescents are experiencing psychosocial crisis between find and confusion over his identity. In general it can be said that the attitude of adolescents are still in the stage of searching for identity. Therefore it is important for teenagers to have a good self concept. This research aims to find out whether there are significant differences between the concept of yourself Teen dropouts by school children who become teen CWA (child development center). Participants in the study consists of 30 teenagers both men and women dropping out of school and 30 other school teen both men and women members of CWA (Child Development Center). Research done by measuring instrument in the form of self concept scale psychology. The results of the research there were significant differences on the concept of self teen dropouts and teenage school members of the CWA (Child Development Center).


(10)

1

PENDAHULUAN

Masa remaja adalah masa peralihan dimana perubahan secara fisik dan psikologis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, 2003). Menurut Mohamad Surya (1990 : 90) bahwa masa adolesence berawal dari 13 sampai 15 tahun untuk perempuan, 15 sampai 17 tahun untuk laki-laki sedangkan masa adolesence yang sebenarnya antara 15 sampai usia 18 tahun untuk perempuan, 17 sampai 19 tahun untuk laki-laki. Selain itu pendapat lain mengemukakan bahwa Masa remaja merupakan masa krusial bagi perkembangan individu, sebab pada masa ini individu mengalami transisi bio-logis, kognitif, maupun sosial. Akibatnya, individu mulai mencari-cari identitas dirinya (Santrock, 2012). Erikson (dalam Burns, 1993) menyatakan bahwa konsep diri merupakan suatu penelitian terhadap identitas pada masa remaja, khususnya perhatian terhadap cara individu dalam mempersepsikan dirinya. Kemudian menurut Monks dkk (1999) menjelaskan bahwa memasuki usia remaja, masalah konsep diri menjadi masalah yang cukup serius. Pada umumnya remaja mengalami krisis psikososial yaitu antara menemukan dan kebingungan atas identitas dirinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap remaja saat ini masih dalam tahap mencari jati diri.

Oleh karena itu peneliti berpendapat bahwa konsep diri menjadi hal yang sangat penting untuk dimiliki remaja pada masanya. Karena dengan konsep diri, remaja dapat mengerti dan paham mengenai identitas dan jati dirinya. Namun ketika remaja tidak memiliki konsep diri maka akan menimbulkan dampak yang tidak baik, seperti kenakalan remaja. Kenakalan remaja dilatar belakangi oleh faktor internal dan faktor eksternal, diantaranya adalah konsep diri. Konsep diri adalah pandangan dan perasaaan kita tentang diri sendiri maupun persepsi tentang diri ini bersifat


(11)

2

psikologi, sosial, dan fisik. Jadi untuk mengetahui konsep diri kita positif atau negatif, secara sederhana terangkum dalam tiga pertanyaan berikut, “bagaimana watak saya sebenarnya?”, “bagaimana orang lain memandang saya?’, dan “bagaimana pandangan saya tentang penampilan saya?”. Jawaban pada pertanyaan pertama menunjukkan persepsi psikologis, jawaban kedua menunjukkan persepsi sosial, dan jawaban pada pertanyaan ketiga menunjukkan persepsi fisis tentang diri kita (Rakhmat, 2005).Kenakalan remaja menjadi topik yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, dapat didengar dan dilihat dari berbagai media komunikasi yang ada. Dalam jurnal “Hubungan Antara Tingkat Kontrol Diri Dengan Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja” yang disusun oleh Iga Serpianing Aroma dan Dewi Retno Suminar, mengemukakan bahwa perilaku kenakalan remaja mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut nampak dari fakta yang dilansir oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), yakni pelaku kriminal dari kalangan remaja dan anak-anak mengalami peningkatan.Berdasarkan data yang ada, terhitung sejak Januari hingga Oktober 2015, meningkat 35% dibandingkan tahun sebelumnya. Pelakunya rata-rata berusia 13 hingga 17 tahun (nusantaraku.com, 2015). Dampak lain dari remaja yang tidak memiliki konsep diri yang baik adalah penyalahgunaan narkoba. Kasus penyalahgunaan narkoba setiap tahunnya semakin merambah pasar anak muda, baik dari faktor usia maupun pendidikan, pengguna narkoba belia mengalami peningkatan. Dampak lain adalah berupa pelanggaran status, pelanggaran terhadap norma maupun pelanggaran terhadap hukum. Pelanggaran status seperti lari dari rumah, membolos dari sekolah, minum minuman keras dibawah umur, balapan liar dan lain sebagainya. Pelanggaran status seperti ini biasanya sulit untuk tercatat


(12)

3

secara kuantitas karena tidak termasuk dalam pelanggaran hukum. Sedangkan perilaku yang menyimpang terhadap norma antara lain seks pranikah dikalangan remaja, aborsi oleh remaja wanita, dan lain sebagainya.

Konsep diri meliputi apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan tentang diri kita sendiri. Dengan demikian ada dua komponen konsep diri, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri atau self image, sedangkan komponen afektif disebut harga diri atau self esteem. Keduanya, menurut William D. Brocks dan Philip Emmert, berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal (Rakhmat, 2005).

Konsep diri (self concept) adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan (Chaplin, 1995). Evaluasi, penilaian, atau penaksiran berarti individu menggambarkan dirinya dan memberikan nilai mengenai dirinya sendiri. Secara umum penilaian tentang konsep diri dibagi menjadi dua bagian, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri positif adalah mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, sedangkan salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri negatif adalah tidak mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya (Rakhmat, 2005). Individu yang memiliki konsep diri positif akan mengembangkan sifat- sifat seperti kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk melihat dirinya sendiri secara realistis yang kemudian individu dapat menilai hubungan dengan orang lain secara tepat dan hal ini akan menimbulkan penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya bila konsep diri negative, individu akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri,


(13)

4

merasa ragu dan kurang percaya diri. Hal tersebut dapat menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk (Hurlock,1978).

Dari ulasan yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan konsep diri pada remaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak). Berdasarkan fenomena yang dilihat oleh peneliti di sekitar tempat dimana peneliti tinggal, menunjukkan ada hal yang berbeda dari kedua subjek penelitian, yaitu remaja putus sekolah dan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak). Hal yang dapat diamati secara langsung adalah mengenai penampilan fisik, kedua subjek penelitian memiliki penampilan secara fisik yang berbeda. Remaja putus sekolah cenderung berpenampilan dengan hal-hal yang menurut mereka gaul tanpa mempedulikan bagaimana pandangan orang-orang di sekeliling mereka pada umumnya. Memberi warna pada rambut dan memakai anting bagi remaja laki-laki adalah hal yang sangat umum. Namun pada organisasi-organisasi kemasyarakatan mereka cenderung tidak berani muncul, melalui wawancara yang telah peneliti lakukan mengenai hal tersebut, mereka mengutarakan bahwa mereka malu dan tidak percaya diri untuk terlibat dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan, misalnya karang taruna. Sementara remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak) secara fisik mereka berpenampilan seperti pada umumnya. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan mengenai hal tersebut, remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak) mengutarakan bahwa ada aturan-aturan yang diberlakukan di sekolah mengenai penampilan fisik mereka, seperti tidak boleh mewarnai rambut baik untuk laki-laki maupun perempuan dan tidak boleh mengenakan anting pada laki-laki. Hal tersebut membuat mereka menampilkan diri


(14)

5

mereka secara umum dan sesuai peraturan yang berlaku. Remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak) lebih aktif terlibat dalam organisasi baik di dalam maupun di luar sekolah, seperti Gereja, PPA dan lingkungan tempat tinggal mereka.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan diangkat pada penelitian ini adalah “Apakah remaja putus sekolah dan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak) memiliki konsep diri yang berbeda?”

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara konsep diri remaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak).

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat Praktis

Mengetahui perbedaan konsep diri antararemaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak).

Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian baru yang dilakukan oleh peneliti dapat memberikan manfaat dalam dunia Psikologi Perkembangan sebagai sarana untuk memotivasi para remaja agar memiliki konsep diri yang baik, guna mengurangi timbulnya kenakalan remaja.


(15)

6

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).

Remaja yang sekolah menurut Rogers (1999) memiliki kemampuan ke dalam diri sendiri, mengerti diri, menentukan hidup dan mampu menangani masalah yang sedang dihadapi. Ini berarti dirinya dihargai, dicintai karena nilai yang ada pada diri sendiri sebagai pribadi sehingga ia tidak bersifat defensif namun sepenuhnya menerima dirinya sendiri dan penuh kepercayaan terhadap diri sendiri.

Remaja yang putus sekolah biasanya memiliki banyak kecenderungan negatif, remaja yang putus sekolah cenderung lebih suka memukul, kurang bisa menilai dirinya sendiri, mengabaikan peraturan yang ada di sekitarnya, kurang memberikan kasih sayang pada orang yang ada disekitarnya, melecehkan orang lain, menghina orang lain yang menurut mereka lebih rendah dari dirinya, tidak berlaku adil pada sesama, tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada pada dirinya dan lain sebagainya. Remaja yang putus sekolah ketika dilihat dari pergaulannya dengan lingkungan yang kurang mendukung, yang membuat remaja lebih cenderung memunculkan perilaku negatif atau mempunyai konsep diri yang negatif (Sobur, 2003).


(16)

7

Dari uraian diatas maka dapat di simpulkan bahwa setiap remaja membutuhkan orang lain disampingnya, yaitu orang tua, guru, dan teman artinya dengan adanya orang tua dan guru yang bisa memberikan dorongan dan masukan-masukan, remaja bisa memperbaiki perilaku remaja sebelumnya yang kurang bagus atau kurang baik dan bisa diarahkan ke arah yang lebih baik lagi,serta mereka dapat mengenal dan menerima dirinya sendiri, menentukan arah hidup masing-masing sesuai dengan nilai dalam dirinya.

2.2 Konsep Diri

Konsep diri (self concept) adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan (Chaplin, 1995). Evaluasi, penilaian, atau penaksiran berarti individu menggambarkan dirinya dan memberikan nilai mengenai dirinya sendiri. Secara umum penilaian tentang konsep diri dibagi menjadi dua bagian, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri positif adalah mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, sedangkan salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri negatif adalah tidak mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya (Rakhmat, 2005).

Individu yang memiliki konsep diri positif akan mengembangkan sifat- sifat seperti kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk melihat dirinya sendiri secara realistis yang kemudian individu dapat menilai hubungan dengan orang lain secara tepat dan hal ini akan menimbulkan penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya bila konsep diri negative, individu akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri, merasa ragu dan kurang percaya diri. Hal


(17)

8

tersebut dapat menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk (Hurlock,1978).

Dalam jurnal “Dinamika Konsep Diri pada Remaja Perempuan Pembaca Teenlit” yang disusun oleh Novia Dwi Rahmaningsih dan Wisjnu Martani, Berzonsky (1981) mendefinisikan konsep diri sebagai sebuah personal theory yang mencakup seluruh konsep, asumsi, dan prinsip yang dipercayai oleh individu tentang dirinya sepanjang kehidupan. Sementara itu, disumber lainnya Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Dapat dilihat bahwa secara ringkas Berzonsky mengungkapkan bahwa konsep diri adalah hal-hal yang terkait dengan fisik, sosial, moral, dan psikis, hal inilah yang akhirnya menentukan konsep diri seseorang atau individu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri mencakup seluruh konsep, asumsi dan prinsip yang menggambarkan dirinya dan memberikan nilai mengenai dirinya sendiri. Adapun penilaian konsep diri dibagi menjadi dua bagian, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif adalah dimana individu mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, sedangkan konsep diri negatif adalah dimana individu tidak mampu menerima dan mencintai dirinya sendiri apa adanya.


(18)

9

2.3 Aspek-Aspek Konsep Diri

Menurut Berzonsky (1981) dalam jurnal “Dinamika Konsep Diri pada Remaja Perempuan Pembaca Teenlit” yang disusun oleh Novia Dwi Rahmaningsih dan Wisjnu Martani, Berzonsky (1981) aspek konsep diri adalah :

2.3.1. Aspek fisik, yaitu bagaimana penilaian individu terhadap segala sesuatu bayang terlihat secara fisik yang dimilikinya seperti tubuh, kesehatan, pakaian penampilan.

2.3.2. Aspek sosial, yaitu bagaimana peranan sosial yang perankan individu mencakup hubungan antara individu dengan keluarga dan individu dengan lingkungan.

2.3.3. Aspek moral, merupakan nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah dalam kehidupan individu dan memandang nilai etika moral dirinya seperti kejujuran, tanggungjawab atas kegagalan yang dialaminya, religiusitas serta perilakunya.

2.3.4. Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri

2.4. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri

Menurut Stuart dan Sudeen ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari Significant Other (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri).


(19)

10

2.4.1. Significant Other( Orang yang terpenting atau yang terdekat ) Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.

2.4.2. Self Perception ( Persepsi diri sendiri )

Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu. 2.5. Hipotesis

“Ada perbedaan signifikan pada konsep diri remaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak). Remaja sekolah anggota PPA memiliki konsep diri lebih baik dibandingkan remaja putus sekolah.”


(20)

11

METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional

Konsep Diri:

Berzonsky (1981) mendefinisikan konsep diri sebagai sebuah personal theory yang mencakup seluruh konsep, asumsi, dan prinsip yang dipercayai oleh individu tentang dirinya sepanjang kehidupan. Sementara itu, di sumber lainnya Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Dapat dilihat bahwa secara ringkas Berzonsky mengungkapkan bahwa konsep diri adalah hal-hal yang terkait dengan fisik, sosial, moral, dan psikis, hal inilah yang akhirnya menentukan konsep diri seseorang atau individu.

3.2. Subjek Penelitian

Subjek keseluruhan berjumlah 60 orang dengan klasifikasi 30 orang adalah remaja putra ataupun putri dengan kriteria putus sekolah dan 30 lainnya adalah remaja putra ataupun putri dengan kriteria bersekolah serta menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak). Subjek didapatkan sesuai dengan jumlah anak yang dijumpai atau dapat dikatakan accidental.

3.3. Teknik pengumpulan data

Menggunakan teknik pengambilan data yaitu, Non Probability Sampling dengan menggunakan Convenience Sampling, artinya adalah penentuan jumlah sampel tidak dilakukan melalui perhitungan tertentu akan tetapi dengan menetapkan jumlah atau ukuran sampel sesuai perkiraan (menurut Nawawi, 2001), teknik pengambilan


(21)

12

sampel dengan subjek yang besedia dan mau memberikan respons pada penelitian (menurut Nauman, 2000).

3.4. Analisis Aitem dan Reliabilitas Alat Pengumpulan Data

3.4.1. Analisis Aitem : Item-item dalam skala psikologi ini bertujuan untuk

mengukur sejauh mana perbedaan konsep diri antara remaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA.

3.4.2. Realibilitas : Menggunakan reliabilitas 0,25 pada skala psikologis tentang konsep diri.

3.4.3. Alat pengumpulan data : Alat ukur yang digunakan adalah skala psikologi tentang konsep diri

3.5. Teknis Analisis Data

Teknik analisis data pengujian hipotesis dilakukan dengan perhitungan statistik dengan bantuan program SPSS untuk mengukur apakah terdapat perbedaan konsep diri antara remaja putus sekolah dengan remaja sekolah dan menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak).


(22)

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Dengan format skala Likert berjumlah 5 point, setelah dilakukan uji reliabilitas dan seleksi aitem maka didapatkan skor reliabilitas sebesar 0,882 setelah dilakukan seleksi aitem didapatkan hasil bahwa terdapat 3 aitem yang gugur . Peneliti menggunakan Kriteria Kaplan dimana aitem yang memiliki nilai Corrected Aitem-Total Correlation < 0,3 akan dihilangkan.

Setelah peneliti melakukan penghitungan ulang menggunkan SPSS dengan menghilangkan item-item yang tidak sesuai, maka hasil tingkat reliabilitas yang peneliti peroleh yaitu meningkat dari hasil 0,882 menjadi 0,897. Untuk mengukur hasil penelitian digunakan beberapa uji melalui SPSS versi 16.00 sebagai berikut:

UJI NORMALITAS

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

PUTUS

SEKOLAH SEKOLAH

N 30 30

Normal Parametersa Mean 64.63 128.27

Std. Deviation 6.515 4.777

Most Extreme Differences Absolute .172 .144

Positive .172 .084

Negative -.168 -.144

Kolmogorov-Smirnov Z .941 .791

Asymp. Sig. (2-tailed) .339 .559

a. Test distribution is Normal.

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan skala konsep diri (K-S-Z = 0,992, p = 0,435, p > 0,05). Dapat disimpulkan bahwa variabel konsep diri memiliki sebaran data yang berdistribusi normal.


(23)

14

UJI HOMOGENITAS

Test of Homogeneity of Variances Levene

Statistic df1 df2 Sig.

2.068 8 16 .103

UJI-T

Group Statistics

KELOM

POK N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

NILAI 1 30 64.6333 6.51515 1.18950

2 30 1.2827E2 4.77734 .87222

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

NILAI Equal variances assumed

.511 .477 -43.141 58 .000 -63.63333 1.47502 -66.58590 -60.68077

Equal variances not assumed


(24)

15

Berdasarkan uji-T yang dilakukan melali SPSS dapat dilihat bahwa SIG.(2-TAIL) kurang dari 0,05, dimana hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan signifikan. Dalam hal ini perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan konsep diri antara remaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak).

4.2. Pembahasan

Perbedaan konsep diri pada remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) dan remaja putus sekolah menunjukkan hasil yang signifikan. Ini membuktikan bahwa peran dan manfaat sekolah selama ini yang dianggap sederhana oleh sebagian orang tua, ternyata berperan sangat penting dalam membangun konsep diri yang positif bagi remaja. Remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) dan remaja yang putus sekolah dalam penelitian ini sangat berbeda. Remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) lebih mengetahui konsep dirinya dibandingkan dengan remaja putus sekolah, seperti pendapat Rogers (1999) Remaja yang sekolah memiliki kemampuan ke dalam diri sendiri, mengerti diri, menentukan hidup dan mampu menangani masalah yang sedang dihadapi.

Remaja yang sekolah dalam penelitian ini dinyatakann memiliki konsep diri yang positif, dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi masalahnya. Sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Rogers(1999). Remaja yang sekolah mempunyai konsep diri yang baik terutama dalam hal penerimaan diri dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh


(25)

16

karena itu pendidikan disekolah dan di PPA (Pusat pengembangan Anak) sangat berperan penting dalam pembentukkan konsep diri remaja.

Remaja yang sekolah lebih memiliki disiplin tinggi dan membentuk konsep diri yang lebih positif, remaja yang sekolah paham dengan tanggung jawab di sekolah ataupun dalam keluarga, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku, hal itu yang mendukung remaja dapat membentuk konsep diri yang baik.

Remaja yang putus sekolah lebih memiliki konsep diri yang negatif. Remaja yang putus sekolah memiliki kebiasaan yang melanggar norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Misalnya, bepakaiaan semaunya tanpa peduli situasi, tidak mengerti tanggung jawab di masyarakat maupun dalam keluarga, tidak memiliki tujuan hidup.

Remaja dihadapkan dengan banyak peran yang baru dan status orang dewasa, pekerjaan dan romantika (Kanopka, dalam Pikunas, 1976; Kaczman & Riva, 1996). Dalam hal ini orang tua sebaiknya mengizinkan mereka untuk menjajaki berbagai peran yang berbeda, maupun berbagai jalur yang terdapat dalam suatu peran tertentu. Jika menghadapi peran semacam itu dengan cara yang sehat dan sampai pada jalur yang positif untuk diikuti dalam kehidupan, maka perilaku yang positif akan dicapai.

Apabila dalam menjajaki berbagai peran dan mendefinisikan masa depannya remaja kurang berhasil maka remaja tersebut akan mengalami kebingungan. Hal inilah kenapa pendidikan perlu di tempuh dengan baik. Begitu pula sebaliknya dalam kehidupan pada masyarakat luas, tidak sedikit pula


(26)

17

remaja yang putus sekolah, untuk itu pendidikan di sekolah sangat berperan penting untuk membentuk konsep diri remaja yang lebih positif.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Remaja tidak dilahirkan dengan konsep diri tertentu. Ketika remaja lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak memiliki pengharapan bagi diri kita sendiri, serta tidak memiliki penilaian apapun terhadap diri remaja sendiri. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respon orang tua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya.

Dengan demikian manusia memiliki kecenderungan untuk menetapkan nilai-nilai pada saat mempersepsi sesuatu. Setiap individu dapat saja menyadari keadaannya atau identitas yang dimilikinya akan tetapi yang lebih penting adalah menyadari seberapa baik atau buruk keadaan yang dimiliki serta bagaimana harus bersikap terhadap keadaan tersebut. Tingkah laku individu sangat bergantung pada kualitas konsep dirinya yaitu konsep diri positif atau konsep diri negatif.

Dari fenomena tersebut diatas, peneliti dapat melihat atau mengetahui bahwa konsep diri remaja yang sekolah cenderung positif dibandingkan konsep diri remaja yang putus sekolah. Remaja yang sekolah bisa lebih berusaha lebih baik dalam pemecahan masalah yang ada pada dirinya. Sedangkan remaja yang


(27)

18

putus sekolah lebih cenderung mudah depresi atau stres, dan lebih cenderung putus asa ketika remaja yang putus sekolah tersebut mengalami kegagalan atau mengalami hambatan dalam pencapaian cita-cita dan harapannya. Seperti yang dikemukakan oleh Damon, bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat memiliki harga diri yang positif


(28)

19

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Sekolah Yang Menjadi Anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) Dengan Remaja Putus Sekolah” yang dilakukan melalui observasi dan pengambilan data menggunakan skala psikologi konsep diri (angket). Peneliti menyimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) dan remaja putus sekolah.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil analisis data, maka peneliti mencoba memberikan rekomendasi sebagai berikut:

- Pentingnya peran sekolah dalam membantu remaja dalam mengenal konsep diri mereka.

- Pentinya peran PPA (Pusat Pengembangan Anak) sebagai wadah untuk mendidik serta mengarahkan remaja sekolah untuk memiliki konsep diri yang positif, sehingga hal tersebut dapat menjadi upaya preventif untuk mencegah terbentuknya konsep diri negative pada remaja.

- Pentingnya peran keluarga untuk mendukung, mengawasi dan mengapresiasi remaja dalam usaha untuk membentuk konsep diri yang positif.

- Peneleti berikutnya harus lebih baik lagi dengan menggali lebih dalam mengenai variable konsep diri yang diambil serta mendiskripsikan dan menentukan subjek penelitian secara lebih spesifik


(29)

20

DAFTAR PUSTAKA

Burns R. B. (1993). Konsep diri: teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku. (Alih Bahasa: Eddy). Jakarta : Arcan.

Chaplin, J, P. (1995). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Hurlock, E. B. (1978). Perkembangan anak: Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hurlock, E. B. (1992). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan: Istiwijayanti dan Soedjarwo). Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. (2003). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang

kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Monks, F.J., dkk. (1999). Psikologi perkembangan pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Muhammad Surya. (1990). Psikologi pendidikan. Bandung: PT. Tarsito. Rakhmat, J. (2005). Psikologi komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakara.

Rahmaningsih D. N & Martani W. (2014). “Dinamika konsep diri pada remaja perempuan pembaca teenlit”. Jurnal Psikologi 41(02). 179 – 189

Santrock, John W. (2012). Life-span development. 13th Edition. University of Texas, Dallas : Mc Graw-Hill.


(1)

Berdasarkan uji-T yang dilakukan melali SPSS dapat dilihat bahwa SIG.(2-TAIL) kurang dari 0,05, dimana hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan signifikan. Dalam hal ini perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan konsep diri antara remaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak).

4.2. Pembahasan

Perbedaan konsep diri pada remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) dan remaja putus sekolah menunjukkan hasil yang signifikan. Ini membuktikan bahwa peran dan manfaat sekolah selama ini yang dianggap sederhana oleh sebagian orang tua, ternyata berperan sangat penting dalam membangun konsep diri yang positif bagi remaja. Remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) dan remaja yang putus sekolah dalam penelitian ini sangat berbeda. Remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) lebih mengetahui konsep dirinya dibandingkan dengan remaja putus sekolah, seperti pendapat Rogers (1999) Remaja yang sekolah memiliki kemampuan ke dalam diri sendiri, mengerti diri, menentukan hidup dan mampu menangani masalah yang sedang dihadapi.

Remaja yang sekolah dalam penelitian ini dinyatakann memiliki konsep diri yang positif, dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi masalahnya. Sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Rogers(1999). Remaja yang sekolah mempunyai konsep diri yang baik terutama dalam hal penerimaan diri dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh


(2)

karena itu pendidikan disekolah dan di PPA (Pusat pengembangan Anak) sangat berperan penting dalam pembentukkan konsep diri remaja.

Remaja yang sekolah lebih memiliki disiplin tinggi dan membentuk konsep diri yang lebih positif, remaja yang sekolah paham dengan tanggung jawab di sekolah ataupun dalam keluarga, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku, hal itu yang mendukung remaja dapat membentuk konsep diri yang baik.

Remaja yang putus sekolah lebih memiliki konsep diri yang negatif. Remaja yang putus sekolah memiliki kebiasaan yang melanggar norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Misalnya, bepakaiaan semaunya tanpa peduli situasi, tidak mengerti tanggung jawab di masyarakat maupun dalam keluarga, tidak memiliki tujuan hidup.

Remaja dihadapkan dengan banyak peran yang baru dan status orang dewasa, pekerjaan dan romantika (Kanopka, dalam Pikunas, 1976; Kaczman & Riva, 1996). Dalam hal ini orang tua sebaiknya mengizinkan mereka untuk menjajaki berbagai peran yang berbeda, maupun berbagai jalur yang terdapat dalam suatu peran tertentu. Jika menghadapi peran semacam itu dengan cara yang sehat dan sampai pada jalur yang positif untuk diikuti dalam kehidupan, maka perilaku yang positif akan dicapai.

Apabila dalam menjajaki berbagai peran dan mendefinisikan masa depannya remaja kurang berhasil maka remaja tersebut akan mengalami kebingungan. Hal inilah kenapa pendidikan perlu di tempuh dengan baik. Begitu pula sebaliknya dalam kehidupan pada masyarakat luas, tidak sedikit pula


(3)

remaja yang putus sekolah, untuk itu pendidikan di sekolah sangat berperan penting untuk membentuk konsep diri remaja yang lebih positif.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Remaja tidak dilahirkan dengan konsep diri tertentu. Ketika remaja lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak memiliki pengharapan bagi diri kita sendiri, serta tidak memiliki penilaian apapun terhadap diri remaja sendiri. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respon orang tua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya.

Dengan demikian manusia memiliki kecenderungan untuk menetapkan nilai-nilai pada saat mempersepsi sesuatu. Setiap individu dapat saja menyadari keadaannya atau identitas yang dimilikinya akan tetapi yang lebih penting adalah menyadari seberapa baik atau buruk keadaan yang dimiliki serta bagaimana harus bersikap terhadap keadaan tersebut. Tingkah laku individu sangat bergantung pada kualitas konsep dirinya yaitu konsep diri positif atau konsep diri negatif.

Dari fenomena tersebut diatas, peneliti dapat melihat atau mengetahui bahwa konsep diri remaja yang sekolah cenderung positif dibandingkan konsep diri remaja yang putus sekolah. Remaja yang sekolah bisa lebih berusaha lebih baik dalam pemecahan masalah yang ada pada dirinya. Sedangkan remaja yang


(4)

putus sekolah lebih cenderung mudah depresi atau stres, dan lebih cenderung putus asa ketika remaja yang putus sekolah tersebut mengalami kegagalan atau mengalami hambatan dalam pencapaian cita-cita dan harapannya. Seperti yang dikemukakan oleh Damon, bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat memiliki harga diri yang positif


(5)

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Sekolah Yang Menjadi Anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) Dengan Remaja Putus Sekolah” yang dilakukan melalui observasi dan pengambilan data menggunakan skala psikologi konsep diri (angket). Peneliti menyimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) dan remaja putus sekolah.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil analisis data, maka peneliti mencoba memberikan rekomendasi sebagai berikut:

- Pentingnya peran sekolah dalam membantu remaja dalam mengenal konsep diri mereka.

- Pentinya peran PPA (Pusat Pengembangan Anak) sebagai wadah untuk mendidik serta mengarahkan remaja sekolah untuk memiliki konsep diri yang positif, sehingga hal tersebut dapat menjadi upaya preventif untuk mencegah terbentuknya konsep diri negative pada remaja.

- Pentingnya peran keluarga untuk mendukung, mengawasi dan mengapresiasi remaja dalam usaha untuk membentuk konsep diri yang positif.

- Peneleti berikutnya harus lebih baik lagi dengan menggali lebih dalam mengenai variable konsep diri yang diambil serta mendiskripsikan dan menentukan subjek penelitian secara lebih spesifik


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Burns R. B. (1993). Konsep diri: teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku. (Alih Bahasa: Eddy). Jakarta : Arcan.

Chaplin, J, P. (1995). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Hurlock, E. B. (1978). Perkembangan anak: Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hurlock, E. B. (1992). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan (Terjemahan: Istiwijayanti dan Soedjarwo). Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E. (2003). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Monks, F.J., dkk. (1999). Psikologi perkembangan pengantar dalam berbagai

bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Muhammad Surya. (1990). Psikologi pendidikan. Bandung: PT. Tarsito. Rakhmat, J. (2005). Psikologi komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakara.

Rahmaningsih D. N & Martani W. (2014). “Dinamika konsep diri pada remaja perempuan pembaca teenlit”. Jurnal Psikologi 41(02). 179 – 189

Santrock, John W. (2012). Life-span development. 13th Edition. University of Texas, Dallas : Mc Graw-Hill.