Stigma Sosial Terhadap Ibu Rumah Tangga Penyalahguna Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Seorang ibu rumah tangga nekat menjadi kurir narkoba untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Ia bersedia mengantar delapan bungkus ganja kering dengan upah
Rp200 ribu per bungkus. Adalah Mutia, 42 tahun warga Desa Garut Peudada, Bireun,
Nanggroe Aceh Darussalam. Iatertangkapsebelum sampai ke Padang dengan
menumpangi bus. Saat berada di loket bus Jalan Sisingamangaraja ternyata polisi telah
mencium misi yang tengah dikerjakannya. Mutia berikut delapan bungkus daun ganja
kering pun langsung digiring ke kantor Polsekta Sunggal.
Penyalahguna narkoba, termasuk pengedar dan bandar ternyata melibatkan
hampir semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu sangat wajar jika dinyatakan bahwa
penyalahgunaan NAPZA di Indonesia telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan.
Berikut ini analisa trend data dari Pemberantasan Penggunaan dan Peredaran Gelap
Nasional (P4GN) secara nasional tahun 2009-2013, jumlah kasus tertinggi (yaitu kasus
narkoba) di tahun 2013 dengan total 21.269 kasus dan jumlah kasus terendah (yaitu
kasus psikotropika) di tahun 2011 sebanyak 1.602 kasus. Trend kenaikan kasus terbesar
yaitu kasus narkoba di tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 60,6% dan penurunan kasus
terbesar yaitu kasus psikotrotopika dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 86,55%.
Saat ini muncul 350 jenis narkoba baru masuk ke Indonesia dimana terdata tidak

cocok disatukan jumlah jenis narkoba dengan jumlah pengguna narkoba

jumlah

pengguna narkoba mencapai empat juta orang dan sebagian besar berada pada usia
produktif. Indonesia disinyalir berada di peringkat keempat terbesar pengguna narkoba
12
Universitas Sumatera Utara

di dunia dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat.BNN merilis data kelompok usia
10-20 tahun sebagai pengguna aktif dan terjadi peningkatan 3,5% pengguna baru
dimana setiap tahun terjadi peningkatan sebesar satu persen pengguna baru.
Miris mengetahui berbagai fenomena yang telah dikemukakan sebelumnya,
antara lain ibu rumah tangga yangmenjadi perantara tersebarnya barang haram, seperti
narkoba.Seharusnya ibu rumah tangga menjadi pelindung bagi buah hatinya dari bahaya
penyalahgunaan narkoba.Peran ibu dalam pendidikan kepada anak sangat penting
termasuk upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba. Bahkan, ibu dianggap sebagai
ujung tombak pencegahan dini terhadap penggunaan narkoba. Seorang ibu mempunyai
kemampuan yang mumpuni dalam memahami dan melihat kondisi keseharian di dalam
keluarganya, mulai dari hal-hal kecil seperti alat-alat rumah tangga sampai yang besar

seperti ruang lingkup pergaulan keluarga berada dalam pengetahuan seorang ibu.
Di zaman serba modern dan banyak orang berpikir dan bertindak praktis ini
yang mana arus perpindahan informasi maupun manusia sangat mudah untuk dilakukan
mendorong timbulnya berbagai ekses negatif salah satunya adalah penyalahgunaan
narkoba. Narkoba menjadi sangat mudah untuk diakses bahkan oleh pihak-pihak yang
jauh dari sumber informasi seperti penduduk perdesaan yang terisolir sekalipun.
Untuk tahun 2008 jumlah tindak kejahatan narkoba di Sumatera Utara adalah
sebesar 2846 kasus dimana yang berjenis kelamin wanita sebanyak 142 kasus atau
sebesar 6,48 % dari semua kasus narkoba. Untuk tahun 2009 mengalami peningkatan
dimana jumlah tindak kejahatan narkoba sebesar 2623 kasus dan yang dilakukan wanita
sebanyak 164 kasus atau sebesar 6,72%. Untuk tahun 2010 ada sebanyak 883 kasus
dimana yang melibatkan wanita sebanyak 57 kasus atau sebesar 6,34%.

13
Universitas Sumatera Utara

Tahun 2011 ada sebanyak 1418 kasus kejahatan narkoba di Sumatera Utara
sedangkan yang melibatkan wanita sebanyak 146 kasus atau sebesar 12,64%. Untuk
tahun 2012 ada sebanyak 3096 kasus dimana yang melibatkan wanita sebanyak 182
kasus atau sebesar 8,76%. Untuk tahun 2013 ada sebanyak 2314 kasus kejahatan

narkoba dan yang melibatkan wanita sebanyak 152 kasus atau sebesar 7,63%. Untuk
tahun 2014 ada sebanyak 1864 kasus tindak kejahatan narkoba dimana yang melibatkan
wanita sebanyak 94 kasus atau sebesar 8,22% (Pusat Informasi Masyarakat Anti
Narkoba Sumatera Utara).
Berdasarkan pemaparan sebelumnya dapat diketahui bahwa penyalahgunaan
narkoba menjadi isu global tidak hanya karena angka prevalensi yang terus meningkat
dari tahun ke tahun, tetapi juga stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap
penyalahguna narkoba, khususnya ibu rumah tangga. Bagaimanapunn juga, respon
masyarakat terhadap perempuan yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, baik
yang berperan sebagai bandar, pengedar, maupun pengguna akan berbeda jika perbuatan
yang sama dilakukan oleh laki-laki. Terlebih jika perempuan tersebut berstatus ibu
rumah tangga.Salah satu bentuk respon masyarakat adalah berupa stigma sosial atau cap
sosial. Disebut stigma sosial atau cap sosial, karena bersumber dari masyarakat, atau
berproses dari interaksi sosial.
Terbentuknya masyarakat ditandai dengan adanya penggolongan individuindividu dan kelengkapan sifat-sifat dasar alamiah dari setiap anggota-anggota
masyarakat itu sendiri. Social setting terbentuk dengan adanya kategori-kategori dari
individu-individu yang saling mengisi satu sama lain. Interaksi sosial yang sering
dilakukan menyebabkan terjadinya kondisi yang memungkinkan antar pihak
memberikan perhatian yang khusus satu sama lain.
14

Universitas Sumatera Utara

Ketika seseorang hadir di tengah-tengah masyarakat, kemudian yang pertama
sekali masuk kepada kategori dan atribut masyarakat adalah penampilan individu
tersebut, identitas sosial dan status sosial lebih dikedepankan daripada atribut personal
seperti kejujuran dan juga pekerjaan. Berdasarkan kriteria masyarakat tadi,
perubahannya berjalan dengan ekspektasi biasa saja.
Istilah stigma kemudian digunakan untuk menunjukkan secara mendalam tentang
label negatif, tetapi kita harus melihat hal tersebut dengan kacamata interaksi atau
hubungan sosial bukan atribut sosial, inilah yang diperlukan. Suatu atribut yang
terstigmatisasi menjadi suatu tipe yang menunjukkan ketidakbiasaan dari individu. Oleh
sebab itulah penilaian baik atau buruk tersebut harus didasarkan pada nilai yang berlaku
di dalam masyarakat. Sebagai contoh beberapa pekerjaan di Amerikan Serikat tergolong
bukan yang diminati oleh lulusan universitas sebaliknya pekerjaan tertentu
bagaimanapun memungkinkan orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi
menyimpan ini sebagai rahasia. Akhirnya mereka menganggap ini sebagai suatu
kegagalan dan menjadi asing.
Jadi, seorang individu yang mempunyai hasrat untuk membela negaranya maka ia
menyembunyikna kecacatan, agar tidak kehilangan kepercayaan dirinya. Kemudian
individu yang sama mendapatkan perlakuan yang menyakitkan hati sehingga ia

mencoba untuk keluar dari dinas ketantaraan. Kemungkinan ia akan berusaha untuk
mendapatkan izin masuk ke rumah sakit angkatan darat, selanjutnya ia akan di
diskreditkan jika tidak dikatahui pada dirinya penyakit yang akut (Goffman, 1963: 3).
Stigma merupakan jenis khusus dari hubungan antara atribut dan streotif,
walaupun saya tidak bermaksud mengatakannya demikian, dalam bagian tertentu karena
adanya atribut yang penting di hampir setiap sisi masyarakat kita mengalami pergeseran
15
Universitas Sumatera Utara

nilai. Istilah stigma dan sejenisnya bisa dilihat dari dua perspektif: apakah individu yang
mengalami stigmatisasi berasumsi bahwa dirinya mengetahui dia sedang terstigmatisasi
atau adanya fakta-fakta yang jelas yang mengarahkan seseorang terstigmatisasi. Ada
satu contoh stigma yang dapat dilihat dari segi perlakuannya yaitu: discredited, dan
yang kedua discreditable. Ini adalah sebuah perbedaan yang penting walaupun
keterangan-keterangan yang mengarah pada stigmatisasi individu dialami dalam dua
situasi tersebut. Saya akan memulai dengan situasi discredited dan menjadi
discreditable tetapi tidak selalu keduanya terpisah (Goffman, 1963: 4).
Ada tiga jenis stigma: yang pertama adanya kebencian yang amat mendalam
terhadap individu disebabkan kecacatannya. Selanjutnya adanya kesalahan pada
karakter individu yang dianggap sebagai kelemahannya secara gamblang, kecurangan

atau perbuatan khianat dan nilai yang dipegang teguh, dan kebohongan, ini semua
merupakan hal-hal yang menjadikan individu mengalami stigmatisasi.
Secara kongkret dapat ditemui pada individu yang mengalami kelainan mental,
residivis, pecandu narkoba, pecandu alcohol, pelaku homoseks, pengangguran, pelaku
percobaan bunuh diri, dan pelaku kejahatan politik. Pada akhirnya stigma merupakan
hal yang menjurus kepada kesukuan yang teridentifikasi melalui ras, kebangsaan dan
agama. Stigma ini lantas menyebar melalui garis silsilah keturunan yang mencemarkan
nama bai seluruh anggota keluarga (walaupun individu yang terstigmatisasi merupakan
bagian masa lalu keluarga ).
Kesamaan yang ditonjolkan para sosiolog yaitu: adanya individu yang secara
mudah diterima dalam interaksi sosial masyarakat yang kemudian mempengaruhi
karakternya sendiri dan pada gilirannya membuat individu tadi dikenal komunitasnya.
Masyarakat kemudian menganggap individu tadi bagian yang terpisah dari mereka. Dia
16
Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi stigma, sebuah perbedaan yang tidak sesuai dari apa yang masyarakat
mengantisipasinya. Dan anggota masyarakat yang tidak termasuk ke dalam komunitas
tersebut itulah yang dianggap normal. Prilaku masyarakat yang menganggap dirinya
normal terhadap individu yang terstigmatisasi dan tindakan yang mereka ambil yang

berkaitan dengannya sudah jelas, sejak adanya hal tersebut masyarakat merespon
dengan aksi social yang didesain secara halus dan membangun (Goffman, 1963: 5).
Apabila ingin dibuat suatu definisi dapat diketahui bahwa individu yang
terstigmatisasi tidak lagi dianggap sebagai manusia pada umumnya. Dari asumsi ini
dapat dirumuskan berbagai jenis diskriminasi, melalui tindakan yang efektif, terkadang
tidak terpikirkan hingga mengurangi kesempatan hidup individu yang terstigmatisasi.
Kemudian dapat dibangun sebuah teori stigma sebuah ideology untuk menjelaskan
keterkucilannya dan dampak bahaya dari kehadirannya, terkadang rasionalisasi
berdasarkan perbedaan-perbedaan lainnya, seperti kelas sosial dan dendam.
Istilah yang lebih spesifik dari stigma seperti pincang, bajingan, dungu dalam
diskursus harian dan juga sebagai sumber metafora dan gambaran umum. Lebih lanjut
adanya respon bertahan terhadap situasi yang dialami individu dianggap sebagai
ekspresi langsung atas perubahan dirinya, dan kemudian terlihat keduanya baik dari
perubahan dan respon yang menjadi retribusi untuk sesuatu yang ia atau orang tuanya
atau kelompoknya lakukan. Karenanya menjadikan kita mempunyai penilaian atas cara
mmperlakukan individu tersebut.
Sekarang individu kembali pada situasi awalnya yang normal, terlihat benar
secara umum bahwa masyarakat yang membuat kategori sosial secara kuat mendukung
adanya suatu standar penilaian yang mereka dan lainnya sutuju untuk tidak secara
langsung tidak diterapkan pada mereka. Seorang pengusaha ingin mengetahui perilaku

17
Universitas Sumatera Utara

yang menunjukkan sifat wanita dari perempuan atau perilaku pertapa dari seorang
biksu, dan tidak menganggap dirinya sendiri yang mesti dipilih antara kedua ketegori
tersebut. Perbedaan antara norma yang nyata dan sekedar norma pendukung (Goffman,
1963: 6).
Isu mengenai stigma tidak dibahas di sini tetapi hanya beberapa ekspektasi dari
beberapa sisi yang mana diperoleh darinya kategori dan tidak hanya sebagai pendukung
norma-norma yang umum tetapi juga kenyataan yang sebenarnya. Sangat mungkin bagi
inidividu untuk gagal dalam kehiduan yang diinginkannya dan mungkin juga tidak
tersentuh kegagalan. Terhinakan; terisolasi dengan keterasingannya, berlindung dialik
apa yang ia yakini dan ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang normal sebagaimana
orang yang normal lainnya. Sedangkan kita (masyarakat ) dianggapnya bukan manusia.
Dia mengalami stigma tetapi tidak terlihat adanya penyesalan ketika dia melakukan
sesuatu.
Sekarang ini di Amerika pemisahan antar system dan juga norma menyebabkan
terjadinya pemunduran pada masyarakat.Individu yang mengalami terstigmatisasi
cenderung untuk tetap bertahan dengan keyakinan yang sama mengenai identitasnya
dan inilah kenyataanya. Perasaan terdalam mengenai dirinya membuatnya berpikir

bahwa ia adalah manusia normal. Seorang manusia sebagaimana manusia lainnya, dan
seorang manusia yang mempunyai kesempatan dan kegagalan yang sama.
Sesungguhnya apapun yang dikatakan tentang dirinya itu juga dialami oleh setia
orang tetapi hanya setiap orang yang terpilih yang termsuk kategori social yang tidak
memenuhi kriteria. Sebagai contoh individu berdasarkan umur, jenis kelamin, profesi
dan sebagainya. Namun ia merasa dirinya melakukan hal yang benar sehingga ia tidak
perduli dengan apa yang dikatakan orang lain kemudian masyarakat tidak benar-benar
18
Universitas Sumatera Utara

menerimnya dan tidak siap untuk berinteraksi dengannya. Selanjutnya standar yang ia
masukkan dari masyarakat luas melengkapi dirinya untuk bisa diterima secara akrab
dalam pergaulan (apa yang terlihat oleh masyarakat sebagai kegagalannya), tidak bisa
dihindarinya, walaupun hanya sesaat.
Sebagai contoh soerang anak perempuan berusia 12 (dua belas tahun) yang
bernama Lucy (nama samaran) yang tidak dapat melakukan aktivitas sosialnya karena
memiliki ayah mantan narapidana. Dia mencoba ramah dan berlaku baik terhadap
semua orang tetapi tidak memberikan pengaruhnya. Teman-teman perempuan di
sekolahnya berkata bahwa ibunya tidak ingin berteman dengan lucy karena akan
menimbulkan efek negative.

Secara umum, kecenderungan bagi stigma untuk menyebar dari stigmatisasi
individu kepada hubungan yang lebih dekat memunculkan sebuah alasan yang
cenderung tertuju kepada penjauhan atau pemutusan hubungan. Orang yang terkena
stigma memunculkan suatu model sosial yang dikenal dengan model normalisasi, yang
menunjukkan seberapa jauh perlakuan terhadap orang yang terstigmatisasi. Normalisasi
itu berbeda

dari normifikasi. Perbedaannya ada pada fungsinya sebagai “standar

kegagalan” dari individu yang mengalami stigmatisasi tersebut. Normifikasi mengarah
pada standar norma itu sendiri.
Stigma menjadi suatu hal paling kejam yang diterima oleh individu, termasuk
penyalahguna narkoba. Stigma inilah yang membuat pecandu narkoba dan keluarganya
menjadi semakin sulit untuk mendapatkan bantuan dan dukungan yang mereka
butuhkan. Stigma yang memojokkan para penyalahguna narkoba dan keluarganya
sangat kuat berakar sehingga stigma tersebut terus berlanjut meskipun penyalahguna
narkoba telah berhenti dari aktivitasnya menyalahgunakan narkoba selama sekian tahun
19
Universitas Sumatera Utara


atau memiliki kehidupan yang sukses seperti orang lain yang tidak pernah
menyalahgunakan narkoba(Goffman, 1963: 7).
Stigma sosial tentu tidak hanya diarahkan kepada mereka yang terlibat dalam
penyalahgunaan narkoba. Stigma sosial juga sering diarahkan kepada mereka yang
menderita penyakit tertentu, seperti penyakit kusta. Demikian halnya terhadap penyakit
yang oleh masyarakat dianggap sebagai penyakit yang besar kemungkinan
dilatarbelakangi oleh perilaku menyimpang, seperti penderita HIV Aids. Sebagian
masyarakat mencap penderita penyakit kusta sebagai orang yang terkena kutukan.
Masyarakat juga menganggap bahwa penderita penyakit kusta harus dihindari, karena
akan mengakibatkan orang lain yang berinteraksi dengan mereka terinfeksi dan terkena
penyakit yang sama (Fitri, 2016: 97).
Stigma tersebut kemudian membuat penyalahguna narkoba dan keluarganya
menyembunyikan permasalahan yang mereka alami. Diskriminasi terasa sangat
menyakitkan karena mereka seolah-olah dibedakan dari orang lain yang dianggap
“normal”. Penyalahguna narkoba ataupun keluarga yang membutuhkan bantuan akan
permasalahan mereka kemudian menjadi malu atau takut untuk mengungkapkan
kenyataan yang ada. Keluarga terutama orang tua bahkan lebih sering mengambil
keputusan untuk menyembunyikan permasalahan penyalahgunaan narkoba anaknya dan
menganggapnya sebagai hal yang lebih baik untuk dilakukan dibandingkan kehilangan
nama baik keluarga (Goffman, 1963: 9)
Menyembunyikan kenyataan tersebut membuat permasalahan baru bagi
penyalahguna narkoba dan keluarga dimana disfungsi dalam keluarga akhirnya muncul.
Rasa bersalah ditambah dengan tidak adanya langkah menuju pemulihan lebih lanjut
akibat takut menghadapi stigma membuat penyalahguna narkoba dan keluarga semakin
20
Universitas Sumatera Utara

tenggelam dalam permasalahannya.Para orang tua penyalahguna narkoba yang takut
dengan stigma dari masyarakat dan akhirnya menyembunyikan kenyataan bahwa
anaknya sedang menjalani pemulihan di sebuah panti rehabilitasi narkoba dengan
berbohong mengatakan si penyalahguna narkoba sedang belajar atau bekerja di luar
kota atau luar negeri.
Permasalahan yang dihadapi seorang penyalahguna narkoba dan keluarganya
bukan hanya sebatas pada program pemulihan di panti rehabilitasi, karena ketika
seorang penyalahguna narkoba keluar dari panti rehabilitasi, maka ia harus menghadapi
respon dari lingkungannya dan berharap akan mendapatkan dukungan, bukan
penolakan.Namun tidak sedikit penyalahguna narkoba yang telah pulih dan kembali ke
masyarakat merasa rendah diri dan tidak nyaman karena berbagai stigma yang ditujukan
pada dirinya, bahkan dari keluarga besarnya sendiri. Tanpa disadari hal ini membuat
penyalahguna narkoba menjadi sulit untuk mendapatkan dukungan dan penerimaan dari
orang lain serta diliputi rasa bersalah dan malu akan keadaannya (Goffman, 1963: 10)
Apakah ini berdampak buruk bagi pemulihan penyalahguna narkoba tersebut?
Stigma dari lingkungan dapat membuat penyalahguna narkoba menstigma dirinya
sendiri dengan menganggap bahwa hal-hal negatif yang dilabelkan kepada dirinya
sebagai suatu kenyataan. Ini dapat menimbulkan perasaan frustasi, putus asa, dan
akhirnya penyalahguna narkoba kembali melarikan diri ke narkoba.
Stigma dapat menghancurkan kehidupan penyalahguna narkoba maupun seluruh
anggota keluarganya. Namun jika kesadaran masyarakat mengenai stigma ini menjadi
semakin lebih baik, maka hal itu akan sangat menyelamatkan kehidupan penyalahguna
narkoba dan keluarganya. Konsekuensi-konsekuensi lain dari masyarakat (termasuk
lingkungan pekerjaan) membuat penyalahguna narkoba dan keluarga menjadi ragu
21
Universitas Sumatera Utara

untuk melakukan penyelesaian yang efektif dan efisien serta hanya berkutat dengan
penyangkalan-penyangkalan yang justru semakin memperburuk keadaan (Goffman,
1963: 12).
Harus diakui, penyalahgunaan narkoba adalah perbuatan yang bertentangan
dengan norma, baik sebagai bandar, pengedar, maupun pengguna atau pecandu. Jika
perempuan, terlebih yang berstatus ibu rumah tangga terlibat dalam penyalahgunaan
narkoba, maka tindakan tersebut merupakan fenomena yang kontra produktif.
Alasannya adalah, karena ibu rumah tangga semestinya tampil sebagai pendidik dan
pemberi contoh perbuatan baik yang layak ditiru oleh anak-anak mereka maupun
generasi muda yang ada di limgkungannya. Sebagai konsekwensinya, masyarakat akan
memberikan respon tertentu, yang mana respon tersebut mungkin akan berbeda
terhadap laki-laki walaupun dengan perbuatan yang sama.
Perempuan yang berstatus ibu rumah tangga yang terlibat dalam penyalahgunaan
narkoba akan menerima sesuatu yang disebut dengan cap sosial atau stigma sosial
sesuai dengan perbuatannya.Dari berbagai pemaparan diatas peneliti tertarik untuk
meneliti dan menyajikannya dalam bentuk skripsi dengan judul :”Stigma Sosial
Terhadap Ibu Rumah Tangga Penyalahguna Narkoba”.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, membuat peneliti ingin merumuskan
masalah penelitian tentang bagaimana stigma sosial yang dialami oleh ibu rumah tangga
penyalahguna narkoba

22
Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Stigma Sosial Terhadap Ibu Rumah
Tangga Penyalahguna Narkoba”.

1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam rangka:
1.

Pengembangan model pembinaan pengguna narkoba dan keluarganya,
sehingga warga binaan tersebut dapat menjalani hidupnya secara normal
setelah selesai menjalani hukuman.

2.

Pengembangan konsep dan teori yang berkaitan dengan stigma sosial,
sekaligus memperkaya keilmuan sosial pada umumnya dan keilmuan
kesejahteraan sosial pada khususnya.

1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam
skripsi ini, maka diperlukan sistematika penulisan. Sistematika penulisan skripsi ini
meliputi :

BAB I: PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan, manfaat
penelitian, serta sistematika penulisan.

23
Universitas Sumatera Utara

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti,
kerangka pemikiran, bagan alur pemikiran serta definisi konsep.

BAB III : METODE PENELITIAN
Berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, serta
teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian yang dilaksanakan dan
data-data lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian tersebut.

BAB V : ANALISIS DATA
Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitianbeserta dengan
analisisnya.

BAB VI : PENUTUP
Berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang akan diberikan
dari hasil penelitian ini.

24
Universitas Sumatera Utara