Pembebasan Bersyarat (Pb) Bagi Penyalahguna Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Norma atau kaidah hukum selalu ada dalam masyarakat yang berguna untuk
mengatur masyarakat itu sendiri.Masyarakat melanggar kaidah-kaidah hukum itu atau
melakukan tindak pidana maka akan dikenakan sanksi. Seorang pelaku tindak pidana
akan dikenakan hukuman berupa sanksi pidana. Pada hakekatnya sejarah hukum
pidana adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai
hubungan erat dengan masalah tindak pidana. 9
Mengenai jenis pidananya, bentuk-bentuk hukuman dapat diuraikan dalam
hukum pidana Indonesia mengenal jenis pidana yang tercantum dalam Pasal 10
KUHP, dimana disebutkan bahwa pidana terdiri atasdua yaitu: 10
a. Pidana pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
9

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal.23.
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

10


Universitas Sumatera Utara

3. Pidana Kurungan
4. Denda
b. Pidana tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumumanputusan hakim
Keterangan Pidana Mati adalah satu satunya bentuk hukuman yang menjadi
diskursus di masyarakat sebab hukuman mati merampas kehidupan seseorang. Sisi
lain hak hidup adalah salah satu hak yang dijamin oleh UUD 1945 sebagai konstitusi
negara. Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal
tertentu yaitu apabila si pelaku telah memperlihatkan melalui perbuatannya bahwa dia
adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum maka dibutuhkan suatu
hukum yang tegas yaitu hukuman mati.
Hukuman Pidana Penjara, pidana membatasi kemerdekaan atau kebebasan
seseorang yaitu dengan menempatkan terpidana dalam suatu tempat (lembaga
pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bisa bebas keluar masuk dan di dalamnya
diwajibkan tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang

berlaku. Hukuman penjara minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun (Pasal 12 ayat 2)
dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12
(3) KUHP. Persamaan antara pidana penjara dan pidana kurungan yaitu sama-sama
berupa pidana yaitu sama-sama menghilangkan kemerdekaan bergerak, mengenal
maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum dan tidak mengenal
minimum khusus, sama-sama diwajibkan bekerja, sama-sama bertempat di penjara.
Perbedaannya lebih ringan pidana kurungan daripada pidana penjara (Pasal 69

Universitas Sumatera Utara

KUHP), ancaman maksimum umum dari pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana
kurungan hanya 1 tahun, pelaksanaan pidana penjara dapat dilakukan di lembaga
pemasyarakatan di seluruh Indonesia sedangkan pidana kurungan hanya bisa
dilaksanakan di tempat dimana ia berdiam ketika diadakan keputusan hakim.
Pidana denda diancam pada jenis pelanggaran (buku III) baik secara alternatif
maupun berdiri sendiri. Hukuman tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di
bawah pidana denda. Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan
kejahatan oleh ideologi yang dianutnya. Pencabutan hak-hak tertentu menurut pasal
35 ayat 1 KUHP hanya diperbolehkan hak memegang jabatan pada umunya atau
jabatan tertentu, hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI, hak

memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum, hak menjadi penasihat umum atau pengurus atau penetapan keadilan, hak
menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak bukan
anak sendiri, hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri, hak menjalankan mata pencaharian. Pidana
perampasan hak memegang jabatan dikatakan bahwa hakim tidak berwenang
memecat seseorang pejabat dari jabatannya dalam aturan-aturan khusus ditentukan
penguasa lain untuk melakukan pemecatan tersebut, pidana perampasan barang
tertentu ada 2 jenis barang yang dirampas melalui putusan hakim yaitu barang-barang
milik terhukum yaitu barang yang diperoleh dengan kejahatan, yang dipergunakan
untuk melakukan kejahatan Pasal 39 KUHP, pidana pengumuman putusan hakim

Universitas Sumatera Utara

merupakan publikasi ekstra dari putusan pemidanaan seorang dari pengadilan
pidana. 11
Pemasyarakatan narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang
diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam Pasal 29
KUHP. Kewajiban bekerja lagi narapidana penjara dapat juga dilakukan di luar
lembaga pemasyarakatan kecuali bagi narapidana tertentu dijelaskan di dalam Pasal

25 KUHP.
Hukuman yang diberikan kepada seorang pelaku tindak pidanabukanlah
semata-mata sebagai tindakan balasan atas kejahatan yang telah ia lakukan.
Padadasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai
dengan suatu pemidanaan yaitu : 12
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang baik dan berguna dalam masyarakat.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dengan
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana.
Indonesia menganut falsafat pembinaan narapidana, yang disebut dengan
nama “Pemasyarakatan”, sedangkan istilah penjara diubah namanya menjadi

11

Kombes Pol.Dr.Ismu Gunadi & Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum
Pidana, hal 74-83

12
http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum penitensier diakses 2 Maret 2015
pukul 17.40

Universitas Sumatera Utara

“Lembaga Pemasyarakatan” 13 yang digunakan sebagai tempat untuk membina dan
sekaligus sebagai tempat untuk mendidik narapidana. Pemasyarakatan yang dimaksud
disini harus diartikan dengan “memasyarakatkan” kembali terpidana sehingga
menjadi warga yang baik dan berguna( healthily re-entry into community) yang pada
hakekatnya adalah “resosialisasi”. 14
Istilah

sistem

kepenjaraan

telah

diubah


menjadi

sistem

pemasyarakatan. 15Perbedaan sistem Kepenjaraan dengan pemasyarakatan sistem
kepanjaraan menganut liberalisme individualisme, narapidana dianggap sebagai
objek, tidak diperkenalkan kepada masyarakat, di dalam memperbaiki narapidana
lebih banyak mempergunakan kekerasan/unsur penjeraan dalam penjara, mengakui
narapidana sebagai manusia yang sudah tidak ada gunanya lagi. Sistem
pemasyarakatan menganut Pancasila dan UUD 1945, narapidana di samping objek
juga merupakan subjek, tidak terlepas dari masyarakat, di dalam memperbaiki
narapidana lebih banyak mempergunakan kekuatan/unsur yang ada dalam

13

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak
didik pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ke-3
14
Resosialisasi yaitu suatu proses interaksi antara narapidana petugas lembaga pemasyarakatan

dan masyarakat ke dalam proses interaksi mana termasuk mengubah sistem nilai-nilai daripada
narapidana, sehingga ia akan dapat dengan baik dan efektif mengadaptasi norma-norma dan nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat, di dalam buku Romli Atmasasmita, Dari Pemenjaraan ke Pembinaan
Narapidana. (Bandung, Alumni 1971), hal.5
15
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara
Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan
agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab,
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ke 2

Universitas Sumatera Utara

masyarakat, mengakui narapidana sebagai manusia yang harus dikembalikan
martabatnya sebagai manusia. 16
Pertama kali dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidato penerimaan gelar
Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli
1963 yang memberikan rumusan bahwa disamping menimbulkan rasa derita pada

terpidana

karena

hilangnya

kemerdekaan

bergerak, 17

Pemasyarakatan

juga

membimbing terpidana agar bertobat, mendidik ia supaya menjadi seorang anggota
masyarakat yang berguna. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan
adalah untuk Pemasyarakatan.Para Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) belum
tentu orang jahat.Masyarakat sebenarnya tidak memahami norma kemasyarakatan
yang berlaku sehingga melakukan pelanggaran hukum. Narapidana dapat kembali
menjadi warganegara yang baik diperlukan pembinaan yang efektif. Pembinaan yang

dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan meliputi dua jenis pembinaan yaitu
pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian yang di dalamnya dilaksanakan
dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dapat langsung dilakukan oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) dengan bimbingan Pembina/Pembimbing. 18Pembinaan
kepribadian ditujukan untuk kesadaran mental dan fisik sehingga dapat menyadari
kesalahan yang pernah dilakukan. 19Pembinaan kemandirian ditujukan untuk
memberikan keterampilan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar dapat

16

S.R.Sianturi, SH dan Mompang L Panggabean SH, Hukum Peitensia di Indonesia, hal. 102
Sahardjo dalam buku Suwarto, Op.Cit.,hal.37
18
Suwarto, Op.cit.,2013, hal.19
19
Ibid., Hal.47

17

Universitas Sumatera Utara


memiliki bekal hidup setelah selesai menjalani pidana.Negara hukum narapidana juga
memiliki hak-hak yang dilindungi dan diakui oleh penegak hukum, khususnya para
staf di Lembaga Pemasyarakatan. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) juga harus
harus diayomi hak-haknya walaupun telah melanggar hukum, di samping itu juga ada
ketidakadilan perilaku bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), misalnya
penyiksaan, tidak mendapat fasilitas yang wajar dan tidak adanya kesempatan untuk
mendapat Pembebasan Bersyarat. 20
Menurut Sahardjo pembinaan dijabarkan menjadi 10 prinsip Lembaga
Pemasyarakatan yaitu : 21
1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya
sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan.
3. Berikan bimbingan ( bukan penyiksaan) supaya mereka bertaubat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk, atau lebih
jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya pada narapidana
dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
bersifat sekedar pengisi waktu.


20

Susana Rita K., Nasib Narapidana, Mereka Hanya Menjemput Kematian Di Lembaga
Pemasyarakatan, Harian Kompas, 13 April 2007, Hal.4
21
Sahardjo, dalam buku Romli Atsasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam
Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1982) Hal.12

Universitas Sumatera Utara

7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak
didik adalah berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar
mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya
adalah merusak dirinya, keluarganya, dan lingkungannya kemudian
dibina dan dibimbing kejalan yang benar.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu.
10. Pembinaan dan bimbingan diberikan kepada narapidana serta anak didik
maka disediakan sarana yang diperlukan.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, tertuang hak-hak yang dimiliki oleh
warga binaan seperti hak beribadah, hak perawatan jasmani dan rohani, pelayanan
kesehatan, pendidikan dan pengajaran serta hak lain yang seharusnya dilindungi dan
dijamin. Dengan kata lain orang yang menjalani masa pidana, hak-hak
kewarganegaraan dan kemanusiannya tidak akan hilang. 22
Sistem Pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan Warga Binaan
Pemasyarakatan agar dapat berinteraksi secara sehat dengan masyarakat, sehingga
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab. Lebih lanjut Soejono Dirdjosisworo menyimpulkan sebagai berikut “Yang
22

Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

Universitas Sumatera Utara

dimaksud dengan pembinaan napi adalah segala daya upaya perbaikan terhadap tuna
warga atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dengan maksud secara langsung
dan minimal menghindarkan pengulangan tingkah laku yang menyebabkan keputusan
hakim tersebut. Lapas mempunyai tugas pemasyarakatan dan berfungsi dalam
melakukan pembinaan terhadap narapidana, memberikan bimbingan, mempersiapkan
sarana dan mengelola hasil kerja, melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib,
serta melakukan urusan tata usaha rumah tangga Lapas. Sistem Pemasyarakatan
identik dengan reintegrasi sosial, terpidana tidak hanya menjadi objek tetapi juga
menjadi subjek dalam pembinaan”. 23 Hal tersebut adalah salah satu hal yang sampai
sekarang belum dapat direalisasikan secara baik oleh instansi terkait.
Selain hak-hak narapidana juga ada kewajiban yang harus dipenuhi
olehnarapidana seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan Pasal 15 yaitu : 24
1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan
kegiatan tertentu
2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Menurut peraturan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan juga tercantum
kewajiban narapidana yaitu: 25

23

Soerjono D.Sosio Kriminologi, Ilmu-ilmu Sosial Dalam Studi Kejahatan, (Bandung: Sinar
Baru, 1985) Hal.235
24
Pasal 15, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditulis di
Lembaran Negara RI 1995, Nomor 3614

Universitas Sumatera Utara

1. Mentaati semua peraturan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan
2. Wajib berlaku sopan, patuh dan hormat kepada semua petugas
3. Wajib menghargai semua Warga Binaan Pemasyarakatan
4. Wajib menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan dan keindahan
5. Wajib berpakaian rapi dan sopan
6. Wajib mengikuti program pembinaan
7. Wajib memelihara barang-barang milik Negara
8. Wajib menitipkan barang-barang berharga
9. Wajib memberitahu kepada petugas apabila melihat atau mengetahui
tanda-tanda

atau

keadaan

bahaya

bagi

keamanan

Lembaga

Pemasyarakatan
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya atau istilah
yang dikenal masyarakat sebagai tindak pidana Narkotika. Sebagaimana yang
disebutkan oleh UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada pasal 1 ke 1
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.”
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 narkotika digolongkan ke dalam 3 golongan
yaitu :
1. Narkotika golongan I
25

Catur Darma Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan

Universitas Sumatera Utara

Narkotika golongan satu hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Heroin, kokain, opium, Ganja,
Katinon, MDMDA/Ecstasy.
2. Narkotika golongan II
Berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Morfin,
Petidin, Fentanil, Metadon.
3. Narkotika golongan III
Berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Codein, Buprenorfin, Etilmorfin.
Tindak pidana narkotika merupakan suatu kejahatan yang kompleks karena
dalam tindak pidana narkotika, pelaku tindak pidana bisa menjadi sekaligus korban.
Berdasarkan pra research yang dilakukan penulis di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Medan masih cukup banyak ditemukan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
dengan kasus pemakai diatur dalam Pasal 127 UU No.35 Tahun 2009, pengedar
bukan pemakai diatur dalam Pasal 115, 120, 125 UU No.35 Tahun 2009. Pemakai
sekaligus pengedar diatur dalam Pasal 127, dan Pasal 114 UU No.35 Tahun 2009,
dan bandar diatur dalam Pasal 113, Pasal 118, Pasal 112, Pasal 123 UU No.35
Tahun2009.Banyaknya pelaku tindak pidana mengakibatkan bertambahnya jumlah

Universitas Sumatera Utara

narapidana/Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menjalani hukuman penjara
di Lembaga Pemasyarakatan (lapas). Pada saat ini kita sering mendengar istilah
Pembebasan Bersyarat (Voorwaardelijke in Vrijheidstelling/VI) proses pembinaan
tahap akhir bagi narapidana/Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), banyak orang
yang belum mengetahui tentang Pembebasan Bersyarat tersebut. Masyarakat awam
hanya tahu bahwa Pembebasan Bersyarat merupakan upaya pemerintah untuk
membebaskan narapidana atau pelaku kejahatan.Pandangan seperti ini harus segera
diluruskan karena dapat menimbulkan pandangan negatif.
Dasar hukum Pembebasan Bersyarat adalah Pasal 15 KUHP dan yang
menyatakan orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, dan
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang yang menyatakan
Pemasyarakatan, narapidana memiliki hak untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat
(PB) bila telah melalui dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan
juga paling sedikit sembilan bulan dari masa hukumannya. Berdasarkan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Pembebasan Bersyarat
(PB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana diluar Lembaga
Pemasyarakatan (lapas) setelah menjalani sekurang kurangnya 2/3 dari masa pidana
minimal 9 (sembilan) bulan. 26
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika
pengertian dari narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

26

Pasal 14, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditulis di
Lembaran Negara RI 1995, Nomor 3614

Universitas Sumatera Utara

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan. Ilmu kedokteran, sebagian besar golongan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya masih bermanfaat bagi pengobatan,
namun biladisalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar
pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat
merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Narkoba
dapat menjadi menghambat pembangunan nasional yang beraspek materiel-spiritual.
Bahaya pemakaian narkoba sangat besar pengaruhnya terhadap negara, jika sampai
terjadi pemakaian narkoba secara besar-besaran di masyarakat, maka bangsa
Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, apabila terjadi demikian negara akan
rapuh dari dalam karena ketahanan nasional merosot.Hal ini harus lebih
dipertimbangkan lagi apabila Pemerintah melaluiKementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia ingin memberikan Pembebasan Bersyarat kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP)/narapidana narkotika. 27
Banyaknya kasus penyalahgunaan Narkotika tidak hanya dikota-kota besar
saja, tetapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia,
mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi
atas.Hal ini menyebabkan banyaknya pelaku penyalahgunaan narkotika yang dikenai
sanksi pidana penjara, dan berdampak pada bertambahnya Warga Binaan
Pemasyarakatan
27

(WBP)

narkotika

di

Lembaga

Pemasyarakatan

Klas

I

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan,2004), hal 5

Universitas Sumatera Utara

Medan.Pemidanaan atau penghukuman diatur lebih jelas dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).Menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana ialah
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman.Narapidana yang telah
melakukan tindak pidana dibawa ke pengadilan dan dijatuhi pidana yang
setimpal.Warga Binaan Pemasyarakatan tersebut ke dalam lingkungan masyarakat,
menjadikan ia bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat sekitar
atau lingkungannya. 28
Hak dan kewajiban merupakan tolak ukur berhasil tidaknya pola pembinaan
yang dilakukan oleh para petugas kepada Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP)/narapidana.Dalam

hal

inidapat

dilihat

apakah

petugas

benar-benar

memperhatikan hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan apakah
narapidana juga sadar selain hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) juga
mempunyai

kewajiban

yang

harus

dilakukan

dengan

baik

dan

penuh

kesadaran.Dalam hal inidituntut adanya kerjasama yang baik antara petugas dan para
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Pembebasan Bersyarat merupakan salah satu
perwujudandari pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), yaitu
pengembalian

Warga

Binaan

Pemasyarakatan

(WBP)

kepada

masyarakat

(pembebasan narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan
memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya 29. Bagi
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang diberikan Pembebasan Bersyarat

28
29

Suwarto, Individualisasi Pemidanaan, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2013), hal.120
Suwarto, Op.Cit., Hal.87

Universitas Sumatera Utara

menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) harus telah
memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas ke masyarakat yang telah
menyatakan siap menerimanya.
Masyarakat diharapkan turut berperan dalam memberikan pembinaan dan
pendidikan bagi narapidana.Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang
dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu, mempunyai kemungkinan dapat
dikabulkannya permohonan Pembebasan Bersyaratnya sebelum habis masa
pidananya.Narapidana yang dikabulkan permohonan Pembebasan Bersyaratnya harus
menjalani masa percobaan, yaitu selama sisa pidananya yang belum dijalani ditambah
satu tahun.Masa percobaan ini merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba
terbatas menuju kehidupan bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Narapidana yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu,mempunyai
kemungkinan dapat dikabulkannya permohonan Pembebasan Bersyaratnya sebelum
habis

masa

pidananya.

Warga

Binaan

Pemasyarakatan

(WBP)

yang

dikabulkanpermohonan Pembebasan Bersyaratnya harus menjalani masa percobaan,
yaitu selama sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun.Masa percobaan
ini merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan
bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Penulis melakukan penelitian tentang hak asasi warga binaan di Lapas Klas I
Medan yang salah satunya mengenai pembebasan bersyarat bertujuan secepat
mungkin warga binaan pemasyarakatan kembali ke masyarakat, pembinaan terbaik
terhadap warga binaan adalah dikembalikan/diintegrasikan di tengah-tengah

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Pembinaan yang terbaik bukanlah disolasi dengan jeruji besi atau di
balik tembok penjara. Jumlah narapidana yang sedang menjalani hukuman pidana
penjara di Lembaga Pemasyarakatan sebesar 2.264 orang terhitung hingga bulan
April. Penelitian dilakukan di Lapas I Medan karena dominan mayoritas kasusnya
mengenai penyalahgunaan narkotika sebesar 1.624 narapidana yang memiliki masa
pidana tinggi yaitu di atas 5 tahun karena terlalu banyaknya kasus mengenai
penyalahgunaan narkotika membuat over kapasitas yang batas tampung sebesar 1.024
orang, kasus korupsi 8 narapidana, teroris 2 narapidana dan dibentuk Lapas Khusus
Narkotika di Humbahas, Langkat dan Raya ( Simalungun Siantar) namun disana
masih rentan pengamanannya salah satunya minimnya sumber daya petugasnya, tim
medis, psikolog, sarana medis kesehatan. Dalam kasus narkotika yang utama
dibutuhkan adalah media kesehatan untuk memperbaiki kesehatannya akibat
narkotika, segi bangunan yang belum memenuhi syarat standarisasi penjara. 30

A. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka pokok permasalahan
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah implementasi Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana
penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan?

30

Hasil Penghitungan wawancara dengan Bagian Pembinaan Register Narapidana Dewasa di
Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan

Universitas Sumatera Utara

2. Apa kendala yang dihadapi oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan
dalam

pemberian

Pembebasan

Bersyarat

(PB)

bagi

Warga

Binaan

Bersyaratbagi

warga

binaan

Pemasyarakatanyang kasus penyalahgunaan Narkotika?
3. Bagaimana

pengawasan

Pembebasan

penyalahguna Narkotika di Balai Pemasyarakatan Klas I

B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka
permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui implementasi Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana
penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh petugas di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Medan dalam proses Pembebasan Bersyarat (PB) bagi
Warga Binaan Pemasyarakatanyang kasus penyalahgunaan Narkotika.
3. Untuk mengetahui pengawasan petugas Balai Pemasyarakatan Klas I Medan
terhadap narapidana yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat

C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu :
1. Secara teoritis penelitian dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih
pemikiran dalam pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang

Universitas Sumatera Utara

hukum, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan pemberian pembebasan
bersyarat warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
praktisi maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai pemberian pembebasan
bersyarat warga binaan Pemasyarakatan Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Medantentang Narkotika.
3. Untuk Mahasiwa Hukum
Memberikan sumbangan pemikiran kepada mahasiwa fakultas hukum dalam
memperluas wawasan terkait pemberian pembebasan bersyarat warga binaan
Pemasyarakatan Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Medan tentang Narkotika.
4. Untuk masyarakat
Memberikan informasi ilmiah mengenai peraturan yang berlaku pada
narapidana penyalahguna narkotika.

D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan
Universitas lainnya tidak terdapat kesamaan. Dari penelusuran yang dilakukan,
ditemukan beberapa judul tesis terdahulu yaitu:
1. Holmes Rio Natanael Siregar (NIM:107005106) dengan judul : Pelaksanaan
Pembebasan Bersyarat Sebagai Salah Satu Proses Reintegrasi sosial warga
binaan pemasyarakatan ditinjau dari UU No.12 Tahun 1995 Tentang

Universitas Sumatera Utara

Pemasyarakatan.Tulisantesis ini tidak ditemukan di Perpustakaan Universitas
Sumatera Utara.
2. Sri Asmaniah (NIM 077005026) dengan judul : Pelaksanaan Pembebasan
Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Balai Ditinjau Dari UndangUndang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Permasalahannya:
1. Apa Pertimbangan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Tanjung Balai
Dalam Pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan
Cuti Bersyarat
2. Hambatan-Hambatan yang terjadi Dalam Pelaksanaan Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai
Judul dan permasalahan yang ada di atas tidak memliki kesamaan terhadap
judul dan permasalahan dengan penelitian ini. Penelitian ini belum ada yang meneliti
dan membahasnya sehingga secara akademis keaslian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan.
E. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Hukum harus menjamin bahwa setiap orang dengan kedudukannya di muka
hukum dan pengadilan tidak membedakan strata sosial dan tidak ada prioritas si
miskin terhadap si kaya dalam mendapatkan keadilan, meskipun dalam praktiknya
terjadi diskriminasi.

Universitas Sumatera Utara

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Kerangka Teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis, mengenai suatu kasus atau
permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis, terhadap
prosedur penegakan hukum pemberian pembebasan bersyarat bagi penyalahguna
narkotika ditinjau dari UU No.35 Tahun 2009 di lembaga pemasyarakatan Klas I
Medan.
Teori yang digunakan teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan
dalam tiga golongan besar, yaitu: 31
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Teori ini artinya untuk membalas tindak pidana yang dilakukan seseorang. Jadi
pidana menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana itu sendiri. Teori
pembalasan ini terbagi 2 yaitu teori pembalasan subjektif ialah pembalasan
terhadapkesalahan pelaku, pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang
telah diciptakan pelaku di dunia luar. 32
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar
pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Jadi
tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di
31
32

Suwarto, Op.cit, Hal.23
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993),

hal 26.

Universitas Sumatera Utara

dalam masyarakat tidak terganggu. Teori ini dibagi 2 yaitu prevensi umum
(generale preventie) bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya
tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat
(dader) tidak melanggar. 33 Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana
adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat.
Memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan
melakukan tindak pidana. Teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana
itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi. Berfungsi
untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat
yang baik dan berguna. Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa
karakteristik dari teori relatif atau teori utilitarian, yaitu :

a. tujuan pidana adalah pencegahan (Prevensi)
b. pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja. (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana.
d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan.

33

E.Utrecht, Hukum Pidana I,( Jakarta: Universitas Jakarta, 1958), hal.157

Universitas Sumatera Utara

e. Pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi
baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila
tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat. 34
c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan
penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan
ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori di atas (teori absolut dan teori
relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori
memiliki kelemahan-kelemahan yaitu : 35
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidak adilan karena dalam
penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan
pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku
tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat, kepuasan masyarakat
diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat dan mencegah
kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.
Perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun
ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu

34

E.Utrecht, Op.cit, hal 157.
Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum
Pidana, Cetakan I, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), Hal 11-12.
35

Universitas Sumatera Utara

sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana agar menjadi
manusia yang berguna di masyarakat.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah
bagian penghubung yang menerangkan suatu yang sebelumnya hanya baru ada
dipikiran. “Peranan konsep dalam pemeliharaan adalah untuk menghubungkan dunia
teori dan observasi antara bisnis dan realitis. 36Konsepsi yang dimaksud disini adalah
kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang abtraksi
yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut dengan defenisi
operasional. 37
Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindari perbedaan
pengertian mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Adanya penegasan
kerangka konsepsi, maka akan diperoleh suatu pandangan dalam menganalisis
masalah yang akan diteliti baik dipandang dari aspek yuridis maupun aspek
sosiologis. Penelitian ini dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau defenisi
operasional sebagai berikut:
a. Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga
Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (duaper tiga) masa

36
37

Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1999) hal.34
Sumardi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Parsada 1998) hal.3

Universitas Sumatera Utara

pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal
9 (sembilan) bulan. 38
b. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
Lapas
c. Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 39
d. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana. 40
e. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta
cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara Pembina dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas Warga binaan Pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan dan dapat hidup secara warga yang baik dan
bertanggung jawab. 41

38

Indonesia (g), Peraturan tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, PP Nomor 32 Tahun 1999, Lembaran Negara Nomor 69 Tahun 1999, TLN Nomor
3846, ps.1 bagian 7
39
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
40
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
41
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Universitas Sumatera Utara

f. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam

lalulintas

atau

hubungan-hubungan

hukum

dalam

kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.
g. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.

F. Metode Penelitian
Metode artinya cara tepat untuk melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan.
Sedangkan penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan
penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat
dipecahkan. 42
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif dan penelitian hukum empiris.
Metode penelitian normatif hukum yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder berupa hukum positif dan bagaimana

42

Moh. Nazir, Metode Penelitian (Ghalia Indonesia Jakarta, 1998), hal.13

Universitas Sumatera Utara

penyerapannya dalam praktek di Indonesia. 43 Metode penelitian sosiologis/empiris
yaitu penelitian yang berdasarkan kondisi lapangan berkaitan dengan pembebasan
bersyarat warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. 44Perbandingan
antara ketentuan hukum secara normatif dengan pelaksanaannya di lapangan.
Menurut Soerjono Soekanto, seorang sarjana hukum, adalah seorang ilmuwan
yang memahami hukum dan mengetahui menghimpun data hukum secara sistematis
dan konsisten. Mengumpulkan data atau menghimpun data berarti melakukan
penelitian artinya apabila seorangilmuwan antara lain berfungsi sebagai seorangyang
mengetahui dan menghimpun data tentang bidang yang diperdalaminya maka dia
harus melakukan penelitian. 45
2. Sumber Data Penelitian
Adapun jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yaitu sumber bahan hukum yang bersumber dari kepustakaan, yaitu bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Berdasarkan jenis dan
sumber data tersebut maka penelitian ini lazim disebut penelitian kepustakaan
(library research).Sebagai penunjang bagi data sekunder tersebut penelitian ini juga
membutuhkan data primer, yakni data yang diperoleh secara langsung dari lapangan,

43

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal.118

45

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), hal.33.

Universitas Sumatera Utara

masyarakat dan pemerintah. 46Data-data yang dimaksud antara lain data yang didapat
dari Lapas I Medan dan lain-lain.
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat antara lain UndangUndang Dasar 1945, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan
atau yurisprudensi, KUHPidana, KUHAPidana dan sebagainya. 47
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer antara lain berupa makalah, lokakarya, seminar, simposium,
diskusi, hasil-hasil penelitian, majalah/koran, pendapat pakar, tesis atau disertasi
yang ada hubungannya dengan objek penelitian ini. 48
c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder contohnya kamus, ensiklopedi dan
sebagainya. 49
Mengenai wawancara/interview dilakukan terhadap individu yang menjadi
pelaku dan petugas lapas. Wawancara yang dimaksud wawancara yang relevan
dengan permasalahan yang diteliti.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik mengumpulkan data yang diperoleh untuk menjawab masalah dalam
penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan, pedoman wawancara/

46

Soerjono Soekanto, Metode penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1984), hal.24
Ibid
48
Ibid
49
Ibid, hal. 52
47

Universitas Sumatera Utara

interviewdan daftar pertanyaan. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini menggunakan teknik :
a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu melalui buku-buku, jurnal,
terhadap bahan hukum tertulis yang relevan dengan permasalahan yang dimaksud
dengan tujuan untuk mendapatkan teori-teori, asas-asas perlindungan, konsepkonsep dan doktrin, pendapat serta pemikiran dari para ahli dan para peneliti
terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang dikaji, terhadap semua data
sekunder yang diperoleh melalui membaca, melihat dan mendengar seminar
maupun materi kuliah serta penelusuran resmi internet untuk mendapatkan teori,
asas, prinsip dan kaidah serta norma yang relevan dengan Pembebasan Bersyarat
warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.
b. Field research atau penelitian lapangan, yaitu meneliti dengan melakukan
wawancara secara langsung dengan Informan yakni Pejabat Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Medan. 50
4. Lokasi Pengumpulan Data
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Lapas Klas I Medan. Alasan pemilihan
lokasi ini dikarenakan kondisi Lapas Klas I Medan yang saat ini sudah melebihi
kapasitas sehingga sangat rentan terjadinya pelanggaran di dalam pelaksanaan
penegakan hukum dan HAM bagi tahanan dan narapidana.
Yang menjadi responden dan populasi dalam penelitian ini terdiri atas:

50

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1998), hal 11.

Universitas Sumatera Utara

1) Narapidanayang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan
2) Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.
3) Petugas Balai Pemasyarakatan Klas I Medan.
5. Analisis Data
Data-data yang telah terkumpul baik yang didapatkan dari penelitian
kepustakaan maupun dari hasil penelitian lapangan yang tercakup berupa data primer
dan sekunder, selanjutnya diolah dan dianalisa secara normatif, logis dan sistematis
dengan menggunakan metode kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif.
Mendapatkan suatu pemahaman mengenai objek yang diteliti yaitu mengenai peranan
lembaga pemasyarakatan dalam penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak
asasi tahanan dan narapidana.
Pengolahan data secara kualitatif dan memaparkannya secara deskriptif
akhirnya diperoleh suatu kesimpulan bahwa penelitian yang dilakukan akan
memperoleh hasil yang benar dan akurat dalam menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Dengan pemaparan secara deskriptif maka penelitian ini dapat
menjelaskan pelaksanaan penegakan hukum pemberian pembebasan bersyarat
tahanan dan narapidana di Lapas Klas I Medan.
Soedjono dan Abdurrahman menyatakan bahwa deskriptif dapat diartikan
sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan

Universitas Sumatera Utara

keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada
saat sekarang berdasarkan faktor-faktor yang tampak atau sebagaimana adanya 51

51

Soedjono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal.23

Universitas Sumatera Utara