Kadar Kortisol Saliva Sebagai Penanda Derajat Sindroma Premenstruasi Pada Remaja
Era globalisasi mempunyai dampak bagi pembangunan yang
berlangsung dengan pesat di Indonesia dan telah memberi dampak yang
luas pula dalam bidang pendidikan, pengetahuan, serta kesehatan
sehingga terjadi peningkatan kebutuhan akan pelayanan kesehatan
(Depkes RI, 2007a).
Masalah kesehatan memiliki ruang lingkup yang luas antara lain
menyangkut perkembangan manusia yang harmonis dalam upaya
meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah kesehatan perempuan
yang dinilai sangat menentukan tercapainya kualitas hidup yang baik pada
keluarga dan masyarakat, sehingga merupakan aspek yang penting untuk
diperhatikan (Supriyono, 2003).
Kesehatan perempuan meliputi juga kesehatan reproduksinya.
Perempuan yang termasuk kategori usia remaja maupun usia reproduktif,
selama kehidupannya terdapat suatu periode dimana saat itu organ'organ
reproduksinya telah mencapai tingkat kematangan biologis. Periode ini
pada perempuan khususnya pada remaja secara fisiologis disebut periode
yaitu masa timbulnya menstruasi atau haid untuk pertama
kalinya, dimana selanjutnya fase menstruasi ini akan terjadi secara siklik
setiap bulannya (Lutan, 1999).
Namun pada beberapa perempuan, masa menstruasi dapat menjadi
masa'masa yang menyiksa, dikarenakan adanya gangguan pada siklus
menstruasi mereka. Gangguan menstruasi yang paling sering dikeluhkan
oleh sebagian perempuan adalah sindroma premenstruasi (
PMS) yang meliputi gejala nyeri saat mentruasi, rasa penuh
pada perut, nyeri payudara, dan gejala lain yang bersifat perubahan
emosional menjelang periode menstruasi sampai saat menstruasi berakhir
(Kraemer, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Sindroma premenstruasi adalah kumpulan gejala fisik dan psikologis
yang terkait dengan siklus menstruasi perempuan. Sekitar 80% ' 95%
perempuan usia reproduktif mengalami gejala'gejala premenstruasi yang
dapat mengganggu beberapa aspek dalam kehidupannya. Gejala tersebut
dapat diperkirakan dan biasanya terjadi secara reguler kurang lebih dua
minggu sebelum periode menstruasi. Hal ini dapat hilang begitu
dimulainya menstruasi, namun dapat pula berlanjut setelahnya (Abraham
& Head, 1997; Lutan & Pujiastuti, 2007). Penyebab munculnya sindroma
ini memang belum jelas, diduga karena perubahan hormonal pada fase'
fase dalam siklus menstruasi yang menghilang saat menstruasi terjadi
sampai beberapa hari setelah menstruasi selesai. Ada teori yang
menyebutkan sebagai akibat dari terjadinya ketidak'seimbangan antara
hormon estrogen dan progesteron pada perempuan (Manuaba, 2004).
Teori lain juga banyak berkembang, diantaranya akibat defisiensi
vitamin dan mineral kalsium dan magnesium (Khine et al, 2006; Thys'
Jacobs, 2000). Penelitian Siregar, Abdillah, Adenin yang telah dilakukan di
Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU tahun 2010 menyatakan
bahwa kadar serum magnesium terkait dengan kejadian sindroma
premenstruasi. Selain itu, ditemukan pula bahwa ibu dan saudara
perempuan
dari
kelompok
perempuan
yang
menderita
sindroma
premenstruasi juga mempunyai riwayat sindroma premenstruasi (Siregar,
Adenin, Abdillah, 2010). Pada penelitian lain di Purwodadi tahun 2006
mengenai hubungan indeks massa tubuh sebagai penyebab terjadinya
sindroma premenstruasi, ditemukan bahwa antara indeks massa tubuh
dan sindroma premenstruasi tidak terdapat hubungan yang signifikan
(Setyowati, 2006). Penelitian tahun 2010 di Massachusetts diperoleh hasil
bahwa terdapat hubungan yang linear antara indeks massa tubuh dengan
derajat sindroma premenstruasi (Bertone'Johnson et al, 2010).
Berdasarkan
aspek
sosial,
sindroma
premenstruasi
dapat
menurunkan produktivitas kerja. Penelitian yang dilakukan Lutan dan
Pujiastuti pada sebuah pabrik korek api di Pematang Siantar Sumatera
Universitas Sumatera Utara
Utara menemukan bahwa sindroma premenstruasi sangat berpengaruh
pada aktivitas sehari'hari. Hasil penelitian menemukan sebanyak 66,4%
pekerja perempuan mengalami penurunan produktivitas yang disebabkan
oleh banyaknya keluhan gejala sindroma premenstruasi (Lutan &
Pujiastuti, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Borenstein et al tahun 2004 pada
perempuan di Amerika Serikat menunjukkan hubungan antara sindroma
premenstruasi dengan peningkatan ketidak'hadiran perempuan pada
waktu bekerja, sehingga menurunkan efisiensi dan produktivitas pada
waktu bekerja, sehingga akhirnya akan menjadi masalah dalam
pembayaran
gaji
premenstruasi
para
perempuan
yang
et al,
mengalami
sindroma
).
Pada sebuah penelitian di Jepang juga menyebutkan bahwa 79%
responden menyatakan bahwa sindroma premenstruasi mengganggu
hubungan interpersonal dan 54% mempengaruhi penampilan kerja
(Takeda et al 2006).
Produktivitas kerja yang menurun pada periode premenstruasi ini
dapat dinilai dari peningkatan ketidakhadiran pada perempuan pekerja
akibat sindroma premenstruasi. Sehingga, apabila seorang pekerja
perempuan menurun produktivitasnya selama 7' 10 hari menjelang haid
(Speroff & Fritz, 2010), dapat dipastikan terjadi penurunan produktivitas
sebanyak 84'120 hari setiap tahunnya. Hal ini akan sangat besar
dampaknya bagi perusahaan yang mempunyai tenaga kerja sebagian
besar perempuan usia reproduktif (Baziad, 1997).
Di Indonesia, cuti haid biasanya diberikan kepada pekerja perempuan
termasuk perempuan usia remaja akhir pada hari pertama dan kedua
dalam periode haidnya, apabila yang bersangkutan merasa nyeri saat
menjelang haid dan saat haid. Namun rasa sakit ini sifatnya sangat
subyektif, sehingga tidak diwajibkan untuk melampirkan surat keterangan
dokter dan cukup hanya memberitahukan saja sesuai dengan ketentuan
pasal 81 UU No.13 tahun 2003 yang mengatur tentang cuti haid bagi
Universitas Sumatera Utara
pekerja perempuan. Sehingga kadang'kadang peraturan ini dapat
disalahgunakan dengan cara mengambil cuti haid namun pekerja
perempuan tersebut tidak sedang haid dan belum tentu mengalami
sindroma premenstruasi. Seharusnya pekerja perempuan yang tidak
merasakan sakit pada waktu haidnya, wajib bekerja seperti biasa. Pada
satu penelitian, ditemukan sebanyak 40% pekerja perempuan yang
memanfaatkan cuti haid di luar siklus haid, bukan pada saat pekerja
benar'benar harus beristirahat pada saat aktifitas terganggu karena
sindroma premenstruasi (Lutan & Pujiastuti 2007).
Ditinjau dampak sindroma premenstruasi pada usia remaja, penelitian
Llewellyn menemukan bahwa sebanyak 80% perempuan usia remaja dan
usia reproduktif
mengalami perubahan suasana hati dan masalah
gangguan kondisi kesehatan menjelang periode menstruasi (Llewellyn,
2005). Studi epidemiologi menunjukkan sekitar 20% dari perempuan usia
remaja mengalami sindroma premenstruasi sedang sampai berat
(Freeman,
2005).
Cukup
tingginya
angka
kejadian
sindroma
premenstruasi pada remaja, dan banyaknya keluhan yang dialami
seorang perempuan berusia remaja berupa timbulnya gejala'gejala
gangguan
somatis
dan
afektif
(emosional)
menjelang
periode
menstruasinya, menimbulkan dugaan bahwa seorang perempuan remaja
yang menderita sindroma premenstruasi dikaitkan dengan rentang
kehidupan remaja yang penuh dengan proses adaptasi terhadap masa
transisi kehidupannya. Proses
(GAS) yang
dialami seorang perempuan usia remaja terjadi secara fisiologis untuk
mencapai keadaan homeostasis yang baik dalam menghadapi segala
bentuk tekanan atau stres terhadap tubuh secara keseluruhan. Dalam hal
ini, stres menurut Selye adalah kondisi yang dihasilkan ketika seseorang
berinteraksi
dengan lingkungannya yang kemudian merasakan suatu
pertentangan antara tuntutan situasi dan sumber daya sistem pertahanan
biologis, psikologis, dan sosial yang dimilikinya (Selye, 1978).
Universitas Sumatera Utara
Suatu penelitian menemukan bahwa faktor stres turut berperan
terhadap terjadinya sindroma premenstruasi pada perempuan remaja.
Hasil penelitian menemukan bahwa sindroma premenstruasi mengganggu
aktivitas sehari'hari dari 60%'85% perempuan usia remaja, yang
diperlihatkan dari ketidakhadiran di sekolah. Suatu penelitian yang menilai
dampak sindroma premenstruasi pada usia remaja, juga dilakukan pada
siswi Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta tahun 2008, hasil penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi kejadian sindroma premenstruasi dengan
gejala berat pada siswi adalah sebanyak 39,2%, sedangkan yang
mengalami gejala ringan sebanyak 60,8%. Selain itu, diketahui juga
bahwa sindroma premenstruasi mempengaruhi prestasi belajar para siswi,
terlihat dari penurunan konsentrasi belajar, peningkatan ketidakhadiran di
kelas, sampai ketidakhadiran dalam mengikuti ujian (Dasuki, Zaitun,
2008). Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Anggraini tahun 2007 di
Solo tentang dampak sindroma premenstruasi pada mahasiswi akademi
kebidanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswi
yang
mengalami sindroma premenstruasi akan mengalami perubahan fisik dan
psikologis berupa penurunan motivasi belajar (Anggraini, 2007).
Sampai saat ini, standar baku (
) untuk menegakkan
diagnosis sindroma premenstruasi belum ditemukan. Karena etiologi dari
sindroma premenstruasi didukung oleh banyak teori (
!
"
), baik ditinjau sebagai penyakit ginekologi maupun sebagai
penyakit psikiatri (
!
!
), sehingga terdapat
beberapa kriteria diagnosis yang disepakati oleh para ahli yang
berkompeten, diantaranya kriteria diagnosis yang ditetapkan oleh
#
$
" %&
$ (ACOG) tahun 2006, dan
kriteria diagnosis yang ditetapkan oleh ! $
"
!
tahun 2010, '
(DSM IV) tahun 2000. Namun pada Bulan Oktober
!
(ISPMD) yang
meliputi para ahli ginekologi (ACOG), psikiatri (APA) dan lembaga dunia
WHO menyusun suatu konsensus, yaitu Konsensus Montreal yang
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa terdapat suatu alat ukur yang dinyatakan valid dan
reliabel selama kurun waktu dekade terakhir secara internasional yang
meliputi kriteria sindroma premenstruasi pada DSM IV dan '
#
"
" !
(ICD'10) untuk menilai derajat keparahan
sindroma premenstruasi, yaitu
$
(PSST) yang ditemukan oleh Steiner tahun 2003. (Steiner, Macdougall,
Brown, 2003).
Pada Konsensus
"
Montreal tersebut, PSST dianggap sebagai
. Hasil penilaian derajat sindroma premenstruasi
dengan menggunakan PSST sejalan dengan tingkat prevalensi yang telah
dilaporkan dari beberapa penelitian tentang sindroma premenstruasi.
Penilaian sindroma premenstruasi dengan PSST berdasarkan derajat
keparahan yaitu tidak ada gejala, ringan, sedang sampai berat dan
!
#
!
/PMDD
('
!
).
Telah diteliti bahwa sindroma premenstruasi berkaitan erat dengan
tingkat stres seorang perempuan, dan telah dipostulasikan bahwa stres
menginduksi sekresi hormon kortisol yang pada akhirnya menghasilkan
suatu
kaskade
perubahan
fisiologis
akibat
aktivasi
dari
pusat
neuroendokrin di hipotalamus dalam aksis hipotalamus'hipofisis'adrenal
(Facchinetti et al 1994; Demers, 1999; Ziegler & Herman, 2002; Halbreich
2003; Kalman& Grahn, 2004; Kurina et al, 2004; Matsumoto et al,2007;
Taylor et al 2008; Rabin et al, 2011).
Suatu penelitian yang berkaitan dengan sindroma premenstruasi juga
menyebutkan bahwa pada tingkat seluler terjadi perubahan pada
sensitivitas reseptor hormonal dari sistem pembawa pesan/
$
yang menyampaikan sinyal interseluler pada penderita
sindroma premenstruasi. Sintesis
$
c'
/
mempunyai peranan penting dalam keseimbangan hormonal secara
sistemik (Galaghar, 1999; Cui et al 2004; Anwar, 2005). Mekanisme lain
dengan cara hormon steroid berdifusi melalui membran sel untuk masuk
Universitas Sumatera Utara
ke dalam sel. Hormon berikatan dengan reseptor intraseluler, sehingga
terjadi suatu kompleks hormon dan reseptor memasuki inti sel, kompleks
hormon dan reseptor akan berikatan dengan reseptor pada DNA
(
), kemudian terjadi transkripsi DNA yang
mengubah mRNA, kemudian terjadi translasi oleh mRNA dan akan
terbentuk suatu protein sehingga akan menyebabkan terjadinya aksi
hormonal pada sel. (King, 2012)
Berdasarkan perubahan hormonal tersebut, sindroma premenstruasi
ini diduga lebih mudah terjadi pada perempuan yang lebih peka terhadap
perubahan hormonal dalam siklus menstruasinya (Abraham & Head,
1997), terutama terjadi pada perempuan usia remaja (Chau et al,1999),
karena ciri khas dari remaja adalah “
”, yaitu sangat
peka dan sering berubah sikap (Mappiare, 1992; Hurlock, 2004). Hal ini
terjadi
karena
pada
masa
remaja
terjadi
perubahan
fisik
dan
perkembangan psikologis yang sangat pesat, sehingga pada masa ini
sering disertai permasalahan fisiologis tubuh maupun
psikologis
(Pudigjogyanti, 1995).
Berbagai teori menyatakan peran psikoneuroendokrin pada sindroma
premenstruasi.
Keadaan
stres
berhubungan
dengan
sistem
neuroendokrin. Hormon kortisol sebagai produk dari mekanisme ini, sering
digunakan sebagai &
(
untuk mempelajari stres. Secara fisiologis,
aksis HPA terkait dengan perubahan adaptasi tubuh terhadap pengaruh
lingkungan eksternal, sehingga sekresi
yaitu
)
$
$ "
dari hipotalamus
(CRH) dapat diaktifkan oleh
peristiwa psikologis dengan tingkat aktivasi yang bervariasi. Hubungan
CRH
dengan
(ACTH),
aktivasi
neurotransmiter dan saraf otonom sangat kompleks (Demers, 1999; Lathe,
2001; Cohen, 2003; Collins & Emeoth, 2005; Stewart, 2008).
Peran psikoneuroendokrin menjadi dasar patogenesis sindroma
premenstruasi. Pengaruh stresor psikososial dianggap sebagai * $$ +
terjadinya sindroma premenstruasi. Diawali dengan keterlibatan aksis
Universitas Sumatera Utara
HPA, perubahan kadar hormon kortisol, ketidak'seimbangan hormon
reproduksi perempuan, serta ketidak'seimbangan
di
sistem saraf pusat. Sehingga hal ini menjadi dasar penatalaksanaan
sindroma premenstruasi. Sampai saat Konsensus Montreal ditetapkan,
belum ditemukan suatu pemeriksaan hematologis dan biokimiawi yang
obyektif untuk menilai sindroma premenstruasi ('
#
!
2010).
Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh sindroma premenstruasi baik
berupa dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi membuat klinisi berupaya
memberikan terapi yang efektif. Terapi sindroma premenstruasi saat ini
hanya meliputi terapi medisinal berupa suplementasi vitamin, mineral,
hormonal, analgetik, dan anti depresan. Dimana seyogianya klinisi perlu
melibatkan terapi psikologis, seperti terapi kognitif'behavioral (
&
,
$
,
) dan suportif psikologis lainnya, mengingat peran stres
dewasa ini dianggap sebagai * $$ + terjadinya sindroma premenstruasi
(Lusty et al, 2009).
Keadaan stres erat kaitannya dengan aksis HPA dan kelenjar adrenal
sebagai organ yang menyekresikan hormon kortisol. Sejauh mana stres
mempengaruhi kelenjar adrenal dalam mensekresikan kortisol dapat
dinilai dari derajat “
-
+ yang diukur dengan kuesioner “
+. Kuesioner ini disusun oleh Hompes, seorang ahli
ginekologi Inggris. Dimana validitas dan reliabilitasnya telah dibuktikan
sebelumnya (Hompes, 2009).
Akhirnya keadaan stres dan hormon kortisol dianggap berkaitan
dengan derajat sindroma premenstruasi. Sehingga pemeriksaan kadar
kortisol
merupakan
suatu
cara
untuk
menilai
derajat
premenstruasi. Di mana perlu diketahui nilai titik potong (
"" ,
sindroma
/ dari
kadar kortisol saliva tertentu yang sensitif dan spesifik sebagai penanda
derajat sindroma premenstruasi. Pemeriksaan kadar kortisol lebih mudah
diperoleh dari saliva, karena globulin sebagai protein pengikat kortisol
tidak dapat melewati duktus asinar kelenjar saliva sehingga kadar kortisol
Universitas Sumatera Utara
bebas lebih mudah diperoleh. Selain itu banyak penelitian telah
membuktikan bahwa kadar kortisol saliva mencerminkan kadar kortisol
bebas di dalam darah dan merupakan alat yang sangat berguna untuk
studi fisiologis dan untuk diagnosis pada anak'anak dan dewasa (Castro
et al, 2000; Kalman & Grahn 2004). Pemeriksaan kortisol saliva ini
tergolong mudah dan non'invasif (Lo et al, 1992; Kirschbaum ,2008;
Hellhammer et al, 2009).
Sindroma premenstruasi paling sering terjadi pada perempuan usia
remaja yang sangat peka dengan perubahan hormonal. Dampak dari
sindroma premenstruasi akan mempengaruhi aktivitas sehari'hari dan
menurunkan produktivitas serta kualitas hidup secara keseluruhan.
Sindroma premenstruasi paling banyak muncul sebagai gejala subjektif
yang diduga berhubungan dengan aspek psikoneuroendokrin. Dari
berbagai penelitian, diketahui bahwa pengaruh stres bermanifestasi
terhadap
aksis
hipotalamus'hipofisis'adrenal.
Sejauh
mana
stres
mempengaruhi kelenjar adrenal dalam menyekresikan kortisol dapat
dinilai dari derajat
pada perempuan remaja. Derajat
menggambarkan perubahan kadar kortisol sebagai
. Keadaan ini akan bermanifestasi terhadap perubahan endokrin
reproduksi seorang perempuan dan menjadi “ $$ + terjadinya sindroma
premenstruasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu suatu upaya
diagnostik yang obyektif untuk menilai derajat keparahan sindroma
premenstruasi, agar perempuan remaja penderita sindroma premenstruasi
mendapat terapi yang efektif. Untuk itu hormon kortisol yang terinduksi
oleh keadaan stres akan dijadikan sebagai penanda derajat sindroma
menstruasi. Pemeriksaan kadar kortisol ini diperoleh dari spesimen saliva
karena selain kadarnya mewakili kadar kortisol bebas di dalam darah,
pemeriksaan kortisol saliva ini lebih mudah dan non'invasif. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan kortisol saliva belum pernah diteliti sebelumnya untuk menilai
derajat sindroma premenstruasi pada perempuan remaja, sehingga dari
hasil penelitian ini dapat diperoleh suatu biomarker yang mudah,
,
, , yang sensitif, dan spesifik
untuk penanda derajat sindroma
premenstruasi.
Belum adanya penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan
stresor psikososial yang dinilai dari derajat
terhadap kadar
kortisol saliva sebagai penanda derajat sindroma premenstruasi, maka
peneliti berusaha merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
“Apakah pemeriksaan
kadar
kortisol saliva
ini
dapat
menjadi
pemeriksaan non invasif yang sensitif dan spesifik sebagai penanda
terjadinya sindroma premenstruasi pada perempuan remaja?” dan
“Bagaimana pengaruh stresor psikososial yang dinilai dari derajat
terhadap perubahan kadar kortisol saliva pada perempuan remaja
yang mengalami sindroma premenstruasi?”.
Untuk mengetahui kadar kortisol saliva dari perempuan remaja
yang
dapat
dijadikan
sebagai
penanda
derajat
sindroma
premenstruasi.
!
"
Mengetahui karakteristik indeks massa tubuh (IMT), usia saat
, lama menstruasi dari perempuan remaja yang
mengalami sindroma premenstruasi.
# Mengetahui perbedaan tingkat stresor psikososial yang dinilai
berdasarkan derajat
-
yang diukur dengan
terhadap kadar kortisol saliva dari remaja
yang mengalami sindroma premenstruasi.
Universitas Sumatera Utara
$ Mengetahui hubungan kadar kortisol saliva dari remaja terhadap
derajat keparahan sindroma premenstruasi yang dinilai dengan
$
merupakan
"
(PSST)
yang
.
% Penelitian ini juga akan mencari nilai titik potong (
"" ,
),
sensitivitas dan spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi
negatif, akurasi, serta
, (AUC) dari kadar kortisol
saliva yang dapat dijadikan sebagai penanda derajat sindroma
premenstruasi. Setelah hasil diperoleh, nilainya nanti akan
dipakai sebagai standar diagnosis untuk menegakkan diagnosis
sindroma premenstruasi yang terjadi pada remaja.
&
&
'
Hasil penelitian diharapkan menambah teori bahwa tingkat stresor
psikososial yang dinilai dari derajat
berhubungan
dengan kadar kortisol saliva yang dapat dijadikan sebagai penanda
derajat sindroma premenstruasi.
!
&
(
&
&
#
) Metode pemeriksaan kortisol saliva yang mudah dan non
invasif serta sensitif dan spesifik sebagai penanda derajat
sindroma
premenstruasi
dapat
dijadikan
standar
operasional prosedur sebagai penanda derajat sindroma
premenstruasi pada remaja.
!) Diperolehnya
"" ,
tertentu dari kadar kortisol
saliva, membantu klinisi untuk menilai bahwa pengaruh
stresor
psikososial
erat
kaitannya
dengan
derajat
keparahan dari sindroma premenstruasi, sehingga selain
memberikan terapi medisinal, klinisi dapat melakukan
Universitas Sumatera Utara
penanganan aspek psikologis pada perempuan remaja
yang mengalami sindroma premenstruasi.
#
&
#
) Penanganan sindroma premenstruasi pada remaja dapat
dilakukan dalam bentuk suportif psikologis, salah satunya
melakukan konseling, khususnya yang berkaitan dengan
motivasi belajar.
!) Pemeriksaan
kadar
kortisol
saliva
pada
sindroma
premenstruasi dapat digunakan untuk menilai secara
obyektif
perempuan
usia
remaja
yang
menderita
sindroma premenstruasi dari kalangan siswi/mahasiswi
terkait dengan ketidakhadiran, motivasi, dan prestasi
belajar, juga bagi perempuan pekerja usia remaja yang
menderita sindroma premenstruasi terkait produktivitas
kerja, sehingga akan memberikan manfaat ekonomis
bagi
perusahaan
yang
mempunyai
tenaga
kerja
perempuan usia remaja akhir dalam mengupayakan
waktu kerja yang optimal di tempat mereka bekerja
karena permintaan cuti haid diberikan secara obyektif.
*
"
+
")
Dari penelitian ini akan diperoleh nilai titik potong (
"" ,
)
tertentu dari kadar kortisol saliva, sehingga nilai titik potong dan prosedur
pemeriksaan dengan memakai kortisol saliva tersebut nantinya dapat
dipakai untuk penanda derajat sindroma premenstruasi yang baru sebagai
prosedur pemeriksaan laboratorium untuk menilai derajat sindroma
premenstruasi pada perempuan usia remaja.
Universitas Sumatera Utara
berlangsung dengan pesat di Indonesia dan telah memberi dampak yang
luas pula dalam bidang pendidikan, pengetahuan, serta kesehatan
sehingga terjadi peningkatan kebutuhan akan pelayanan kesehatan
(Depkes RI, 2007a).
Masalah kesehatan memiliki ruang lingkup yang luas antara lain
menyangkut perkembangan manusia yang harmonis dalam upaya
meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah kesehatan perempuan
yang dinilai sangat menentukan tercapainya kualitas hidup yang baik pada
keluarga dan masyarakat, sehingga merupakan aspek yang penting untuk
diperhatikan (Supriyono, 2003).
Kesehatan perempuan meliputi juga kesehatan reproduksinya.
Perempuan yang termasuk kategori usia remaja maupun usia reproduktif,
selama kehidupannya terdapat suatu periode dimana saat itu organ'organ
reproduksinya telah mencapai tingkat kematangan biologis. Periode ini
pada perempuan khususnya pada remaja secara fisiologis disebut periode
yaitu masa timbulnya menstruasi atau haid untuk pertama
kalinya, dimana selanjutnya fase menstruasi ini akan terjadi secara siklik
setiap bulannya (Lutan, 1999).
Namun pada beberapa perempuan, masa menstruasi dapat menjadi
masa'masa yang menyiksa, dikarenakan adanya gangguan pada siklus
menstruasi mereka. Gangguan menstruasi yang paling sering dikeluhkan
oleh sebagian perempuan adalah sindroma premenstruasi (
PMS) yang meliputi gejala nyeri saat mentruasi, rasa penuh
pada perut, nyeri payudara, dan gejala lain yang bersifat perubahan
emosional menjelang periode menstruasi sampai saat menstruasi berakhir
(Kraemer, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Sindroma premenstruasi adalah kumpulan gejala fisik dan psikologis
yang terkait dengan siklus menstruasi perempuan. Sekitar 80% ' 95%
perempuan usia reproduktif mengalami gejala'gejala premenstruasi yang
dapat mengganggu beberapa aspek dalam kehidupannya. Gejala tersebut
dapat diperkirakan dan biasanya terjadi secara reguler kurang lebih dua
minggu sebelum periode menstruasi. Hal ini dapat hilang begitu
dimulainya menstruasi, namun dapat pula berlanjut setelahnya (Abraham
& Head, 1997; Lutan & Pujiastuti, 2007). Penyebab munculnya sindroma
ini memang belum jelas, diduga karena perubahan hormonal pada fase'
fase dalam siklus menstruasi yang menghilang saat menstruasi terjadi
sampai beberapa hari setelah menstruasi selesai. Ada teori yang
menyebutkan sebagai akibat dari terjadinya ketidak'seimbangan antara
hormon estrogen dan progesteron pada perempuan (Manuaba, 2004).
Teori lain juga banyak berkembang, diantaranya akibat defisiensi
vitamin dan mineral kalsium dan magnesium (Khine et al, 2006; Thys'
Jacobs, 2000). Penelitian Siregar, Abdillah, Adenin yang telah dilakukan di
Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU tahun 2010 menyatakan
bahwa kadar serum magnesium terkait dengan kejadian sindroma
premenstruasi. Selain itu, ditemukan pula bahwa ibu dan saudara
perempuan
dari
kelompok
perempuan
yang
menderita
sindroma
premenstruasi juga mempunyai riwayat sindroma premenstruasi (Siregar,
Adenin, Abdillah, 2010). Pada penelitian lain di Purwodadi tahun 2006
mengenai hubungan indeks massa tubuh sebagai penyebab terjadinya
sindroma premenstruasi, ditemukan bahwa antara indeks massa tubuh
dan sindroma premenstruasi tidak terdapat hubungan yang signifikan
(Setyowati, 2006). Penelitian tahun 2010 di Massachusetts diperoleh hasil
bahwa terdapat hubungan yang linear antara indeks massa tubuh dengan
derajat sindroma premenstruasi (Bertone'Johnson et al, 2010).
Berdasarkan
aspek
sosial,
sindroma
premenstruasi
dapat
menurunkan produktivitas kerja. Penelitian yang dilakukan Lutan dan
Pujiastuti pada sebuah pabrik korek api di Pematang Siantar Sumatera
Universitas Sumatera Utara
Utara menemukan bahwa sindroma premenstruasi sangat berpengaruh
pada aktivitas sehari'hari. Hasil penelitian menemukan sebanyak 66,4%
pekerja perempuan mengalami penurunan produktivitas yang disebabkan
oleh banyaknya keluhan gejala sindroma premenstruasi (Lutan &
Pujiastuti, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Borenstein et al tahun 2004 pada
perempuan di Amerika Serikat menunjukkan hubungan antara sindroma
premenstruasi dengan peningkatan ketidak'hadiran perempuan pada
waktu bekerja, sehingga menurunkan efisiensi dan produktivitas pada
waktu bekerja, sehingga akhirnya akan menjadi masalah dalam
pembayaran
gaji
premenstruasi
para
perempuan
yang
et al,
mengalami
sindroma
).
Pada sebuah penelitian di Jepang juga menyebutkan bahwa 79%
responden menyatakan bahwa sindroma premenstruasi mengganggu
hubungan interpersonal dan 54% mempengaruhi penampilan kerja
(Takeda et al 2006).
Produktivitas kerja yang menurun pada periode premenstruasi ini
dapat dinilai dari peningkatan ketidakhadiran pada perempuan pekerja
akibat sindroma premenstruasi. Sehingga, apabila seorang pekerja
perempuan menurun produktivitasnya selama 7' 10 hari menjelang haid
(Speroff & Fritz, 2010), dapat dipastikan terjadi penurunan produktivitas
sebanyak 84'120 hari setiap tahunnya. Hal ini akan sangat besar
dampaknya bagi perusahaan yang mempunyai tenaga kerja sebagian
besar perempuan usia reproduktif (Baziad, 1997).
Di Indonesia, cuti haid biasanya diberikan kepada pekerja perempuan
termasuk perempuan usia remaja akhir pada hari pertama dan kedua
dalam periode haidnya, apabila yang bersangkutan merasa nyeri saat
menjelang haid dan saat haid. Namun rasa sakit ini sifatnya sangat
subyektif, sehingga tidak diwajibkan untuk melampirkan surat keterangan
dokter dan cukup hanya memberitahukan saja sesuai dengan ketentuan
pasal 81 UU No.13 tahun 2003 yang mengatur tentang cuti haid bagi
Universitas Sumatera Utara
pekerja perempuan. Sehingga kadang'kadang peraturan ini dapat
disalahgunakan dengan cara mengambil cuti haid namun pekerja
perempuan tersebut tidak sedang haid dan belum tentu mengalami
sindroma premenstruasi. Seharusnya pekerja perempuan yang tidak
merasakan sakit pada waktu haidnya, wajib bekerja seperti biasa. Pada
satu penelitian, ditemukan sebanyak 40% pekerja perempuan yang
memanfaatkan cuti haid di luar siklus haid, bukan pada saat pekerja
benar'benar harus beristirahat pada saat aktifitas terganggu karena
sindroma premenstruasi (Lutan & Pujiastuti 2007).
Ditinjau dampak sindroma premenstruasi pada usia remaja, penelitian
Llewellyn menemukan bahwa sebanyak 80% perempuan usia remaja dan
usia reproduktif
mengalami perubahan suasana hati dan masalah
gangguan kondisi kesehatan menjelang periode menstruasi (Llewellyn,
2005). Studi epidemiologi menunjukkan sekitar 20% dari perempuan usia
remaja mengalami sindroma premenstruasi sedang sampai berat
(Freeman,
2005).
Cukup
tingginya
angka
kejadian
sindroma
premenstruasi pada remaja, dan banyaknya keluhan yang dialami
seorang perempuan berusia remaja berupa timbulnya gejala'gejala
gangguan
somatis
dan
afektif
(emosional)
menjelang
periode
menstruasinya, menimbulkan dugaan bahwa seorang perempuan remaja
yang menderita sindroma premenstruasi dikaitkan dengan rentang
kehidupan remaja yang penuh dengan proses adaptasi terhadap masa
transisi kehidupannya. Proses
(GAS) yang
dialami seorang perempuan usia remaja terjadi secara fisiologis untuk
mencapai keadaan homeostasis yang baik dalam menghadapi segala
bentuk tekanan atau stres terhadap tubuh secara keseluruhan. Dalam hal
ini, stres menurut Selye adalah kondisi yang dihasilkan ketika seseorang
berinteraksi
dengan lingkungannya yang kemudian merasakan suatu
pertentangan antara tuntutan situasi dan sumber daya sistem pertahanan
biologis, psikologis, dan sosial yang dimilikinya (Selye, 1978).
Universitas Sumatera Utara
Suatu penelitian menemukan bahwa faktor stres turut berperan
terhadap terjadinya sindroma premenstruasi pada perempuan remaja.
Hasil penelitian menemukan bahwa sindroma premenstruasi mengganggu
aktivitas sehari'hari dari 60%'85% perempuan usia remaja, yang
diperlihatkan dari ketidakhadiran di sekolah. Suatu penelitian yang menilai
dampak sindroma premenstruasi pada usia remaja, juga dilakukan pada
siswi Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta tahun 2008, hasil penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi kejadian sindroma premenstruasi dengan
gejala berat pada siswi adalah sebanyak 39,2%, sedangkan yang
mengalami gejala ringan sebanyak 60,8%. Selain itu, diketahui juga
bahwa sindroma premenstruasi mempengaruhi prestasi belajar para siswi,
terlihat dari penurunan konsentrasi belajar, peningkatan ketidakhadiran di
kelas, sampai ketidakhadiran dalam mengikuti ujian (Dasuki, Zaitun,
2008). Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Anggraini tahun 2007 di
Solo tentang dampak sindroma premenstruasi pada mahasiswi akademi
kebidanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswi
yang
mengalami sindroma premenstruasi akan mengalami perubahan fisik dan
psikologis berupa penurunan motivasi belajar (Anggraini, 2007).
Sampai saat ini, standar baku (
) untuk menegakkan
diagnosis sindroma premenstruasi belum ditemukan. Karena etiologi dari
sindroma premenstruasi didukung oleh banyak teori (
!
"
), baik ditinjau sebagai penyakit ginekologi maupun sebagai
penyakit psikiatri (
!
!
), sehingga terdapat
beberapa kriteria diagnosis yang disepakati oleh para ahli yang
berkompeten, diantaranya kriteria diagnosis yang ditetapkan oleh
#
$
" %&
$ (ACOG) tahun 2006, dan
kriteria diagnosis yang ditetapkan oleh ! $
"
!
tahun 2010, '
(DSM IV) tahun 2000. Namun pada Bulan Oktober
!
(ISPMD) yang
meliputi para ahli ginekologi (ACOG), psikiatri (APA) dan lembaga dunia
WHO menyusun suatu konsensus, yaitu Konsensus Montreal yang
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa terdapat suatu alat ukur yang dinyatakan valid dan
reliabel selama kurun waktu dekade terakhir secara internasional yang
meliputi kriteria sindroma premenstruasi pada DSM IV dan '
#
"
" !
(ICD'10) untuk menilai derajat keparahan
sindroma premenstruasi, yaitu
$
(PSST) yang ditemukan oleh Steiner tahun 2003. (Steiner, Macdougall,
Brown, 2003).
Pada Konsensus
"
Montreal tersebut, PSST dianggap sebagai
. Hasil penilaian derajat sindroma premenstruasi
dengan menggunakan PSST sejalan dengan tingkat prevalensi yang telah
dilaporkan dari beberapa penelitian tentang sindroma premenstruasi.
Penilaian sindroma premenstruasi dengan PSST berdasarkan derajat
keparahan yaitu tidak ada gejala, ringan, sedang sampai berat dan
!
#
!
/PMDD
('
!
).
Telah diteliti bahwa sindroma premenstruasi berkaitan erat dengan
tingkat stres seorang perempuan, dan telah dipostulasikan bahwa stres
menginduksi sekresi hormon kortisol yang pada akhirnya menghasilkan
suatu
kaskade
perubahan
fisiologis
akibat
aktivasi
dari
pusat
neuroendokrin di hipotalamus dalam aksis hipotalamus'hipofisis'adrenal
(Facchinetti et al 1994; Demers, 1999; Ziegler & Herman, 2002; Halbreich
2003; Kalman& Grahn, 2004; Kurina et al, 2004; Matsumoto et al,2007;
Taylor et al 2008; Rabin et al, 2011).
Suatu penelitian yang berkaitan dengan sindroma premenstruasi juga
menyebutkan bahwa pada tingkat seluler terjadi perubahan pada
sensitivitas reseptor hormonal dari sistem pembawa pesan/
$
yang menyampaikan sinyal interseluler pada penderita
sindroma premenstruasi. Sintesis
$
c'
/
mempunyai peranan penting dalam keseimbangan hormonal secara
sistemik (Galaghar, 1999; Cui et al 2004; Anwar, 2005). Mekanisme lain
dengan cara hormon steroid berdifusi melalui membran sel untuk masuk
Universitas Sumatera Utara
ke dalam sel. Hormon berikatan dengan reseptor intraseluler, sehingga
terjadi suatu kompleks hormon dan reseptor memasuki inti sel, kompleks
hormon dan reseptor akan berikatan dengan reseptor pada DNA
(
), kemudian terjadi transkripsi DNA yang
mengubah mRNA, kemudian terjadi translasi oleh mRNA dan akan
terbentuk suatu protein sehingga akan menyebabkan terjadinya aksi
hormonal pada sel. (King, 2012)
Berdasarkan perubahan hormonal tersebut, sindroma premenstruasi
ini diduga lebih mudah terjadi pada perempuan yang lebih peka terhadap
perubahan hormonal dalam siklus menstruasinya (Abraham & Head,
1997), terutama terjadi pada perempuan usia remaja (Chau et al,1999),
karena ciri khas dari remaja adalah “
”, yaitu sangat
peka dan sering berubah sikap (Mappiare, 1992; Hurlock, 2004). Hal ini
terjadi
karena
pada
masa
remaja
terjadi
perubahan
fisik
dan
perkembangan psikologis yang sangat pesat, sehingga pada masa ini
sering disertai permasalahan fisiologis tubuh maupun
psikologis
(Pudigjogyanti, 1995).
Berbagai teori menyatakan peran psikoneuroendokrin pada sindroma
premenstruasi.
Keadaan
stres
berhubungan
dengan
sistem
neuroendokrin. Hormon kortisol sebagai produk dari mekanisme ini, sering
digunakan sebagai &
(
untuk mempelajari stres. Secara fisiologis,
aksis HPA terkait dengan perubahan adaptasi tubuh terhadap pengaruh
lingkungan eksternal, sehingga sekresi
yaitu
)
$
$ "
dari hipotalamus
(CRH) dapat diaktifkan oleh
peristiwa psikologis dengan tingkat aktivasi yang bervariasi. Hubungan
CRH
dengan
(ACTH),
aktivasi
neurotransmiter dan saraf otonom sangat kompleks (Demers, 1999; Lathe,
2001; Cohen, 2003; Collins & Emeoth, 2005; Stewart, 2008).
Peran psikoneuroendokrin menjadi dasar patogenesis sindroma
premenstruasi. Pengaruh stresor psikososial dianggap sebagai * $$ +
terjadinya sindroma premenstruasi. Diawali dengan keterlibatan aksis
Universitas Sumatera Utara
HPA, perubahan kadar hormon kortisol, ketidak'seimbangan hormon
reproduksi perempuan, serta ketidak'seimbangan
di
sistem saraf pusat. Sehingga hal ini menjadi dasar penatalaksanaan
sindroma premenstruasi. Sampai saat Konsensus Montreal ditetapkan,
belum ditemukan suatu pemeriksaan hematologis dan biokimiawi yang
obyektif untuk menilai sindroma premenstruasi ('
#
!
2010).
Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh sindroma premenstruasi baik
berupa dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi membuat klinisi berupaya
memberikan terapi yang efektif. Terapi sindroma premenstruasi saat ini
hanya meliputi terapi medisinal berupa suplementasi vitamin, mineral,
hormonal, analgetik, dan anti depresan. Dimana seyogianya klinisi perlu
melibatkan terapi psikologis, seperti terapi kognitif'behavioral (
&
,
$
,
) dan suportif psikologis lainnya, mengingat peran stres
dewasa ini dianggap sebagai * $$ + terjadinya sindroma premenstruasi
(Lusty et al, 2009).
Keadaan stres erat kaitannya dengan aksis HPA dan kelenjar adrenal
sebagai organ yang menyekresikan hormon kortisol. Sejauh mana stres
mempengaruhi kelenjar adrenal dalam mensekresikan kortisol dapat
dinilai dari derajat “
-
+ yang diukur dengan kuesioner “
+. Kuesioner ini disusun oleh Hompes, seorang ahli
ginekologi Inggris. Dimana validitas dan reliabilitasnya telah dibuktikan
sebelumnya (Hompes, 2009).
Akhirnya keadaan stres dan hormon kortisol dianggap berkaitan
dengan derajat sindroma premenstruasi. Sehingga pemeriksaan kadar
kortisol
merupakan
suatu
cara
untuk
menilai
derajat
premenstruasi. Di mana perlu diketahui nilai titik potong (
"" ,
sindroma
/ dari
kadar kortisol saliva tertentu yang sensitif dan spesifik sebagai penanda
derajat sindroma premenstruasi. Pemeriksaan kadar kortisol lebih mudah
diperoleh dari saliva, karena globulin sebagai protein pengikat kortisol
tidak dapat melewati duktus asinar kelenjar saliva sehingga kadar kortisol
Universitas Sumatera Utara
bebas lebih mudah diperoleh. Selain itu banyak penelitian telah
membuktikan bahwa kadar kortisol saliva mencerminkan kadar kortisol
bebas di dalam darah dan merupakan alat yang sangat berguna untuk
studi fisiologis dan untuk diagnosis pada anak'anak dan dewasa (Castro
et al, 2000; Kalman & Grahn 2004). Pemeriksaan kortisol saliva ini
tergolong mudah dan non'invasif (Lo et al, 1992; Kirschbaum ,2008;
Hellhammer et al, 2009).
Sindroma premenstruasi paling sering terjadi pada perempuan usia
remaja yang sangat peka dengan perubahan hormonal. Dampak dari
sindroma premenstruasi akan mempengaruhi aktivitas sehari'hari dan
menurunkan produktivitas serta kualitas hidup secara keseluruhan.
Sindroma premenstruasi paling banyak muncul sebagai gejala subjektif
yang diduga berhubungan dengan aspek psikoneuroendokrin. Dari
berbagai penelitian, diketahui bahwa pengaruh stres bermanifestasi
terhadap
aksis
hipotalamus'hipofisis'adrenal.
Sejauh
mana
stres
mempengaruhi kelenjar adrenal dalam menyekresikan kortisol dapat
dinilai dari derajat
pada perempuan remaja. Derajat
menggambarkan perubahan kadar kortisol sebagai
. Keadaan ini akan bermanifestasi terhadap perubahan endokrin
reproduksi seorang perempuan dan menjadi “ $$ + terjadinya sindroma
premenstruasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu suatu upaya
diagnostik yang obyektif untuk menilai derajat keparahan sindroma
premenstruasi, agar perempuan remaja penderita sindroma premenstruasi
mendapat terapi yang efektif. Untuk itu hormon kortisol yang terinduksi
oleh keadaan stres akan dijadikan sebagai penanda derajat sindroma
menstruasi. Pemeriksaan kadar kortisol ini diperoleh dari spesimen saliva
karena selain kadarnya mewakili kadar kortisol bebas di dalam darah,
pemeriksaan kortisol saliva ini lebih mudah dan non'invasif. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan kortisol saliva belum pernah diteliti sebelumnya untuk menilai
derajat sindroma premenstruasi pada perempuan remaja, sehingga dari
hasil penelitian ini dapat diperoleh suatu biomarker yang mudah,
,
, , yang sensitif, dan spesifik
untuk penanda derajat sindroma
premenstruasi.
Belum adanya penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan
stresor psikososial yang dinilai dari derajat
terhadap kadar
kortisol saliva sebagai penanda derajat sindroma premenstruasi, maka
peneliti berusaha merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
“Apakah pemeriksaan
kadar
kortisol saliva
ini
dapat
menjadi
pemeriksaan non invasif yang sensitif dan spesifik sebagai penanda
terjadinya sindroma premenstruasi pada perempuan remaja?” dan
“Bagaimana pengaruh stresor psikososial yang dinilai dari derajat
terhadap perubahan kadar kortisol saliva pada perempuan remaja
yang mengalami sindroma premenstruasi?”.
Untuk mengetahui kadar kortisol saliva dari perempuan remaja
yang
dapat
dijadikan
sebagai
penanda
derajat
sindroma
premenstruasi.
!
"
Mengetahui karakteristik indeks massa tubuh (IMT), usia saat
, lama menstruasi dari perempuan remaja yang
mengalami sindroma premenstruasi.
# Mengetahui perbedaan tingkat stresor psikososial yang dinilai
berdasarkan derajat
-
yang diukur dengan
terhadap kadar kortisol saliva dari remaja
yang mengalami sindroma premenstruasi.
Universitas Sumatera Utara
$ Mengetahui hubungan kadar kortisol saliva dari remaja terhadap
derajat keparahan sindroma premenstruasi yang dinilai dengan
$
merupakan
"
(PSST)
yang
.
% Penelitian ini juga akan mencari nilai titik potong (
"" ,
),
sensitivitas dan spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi
negatif, akurasi, serta
, (AUC) dari kadar kortisol
saliva yang dapat dijadikan sebagai penanda derajat sindroma
premenstruasi. Setelah hasil diperoleh, nilainya nanti akan
dipakai sebagai standar diagnosis untuk menegakkan diagnosis
sindroma premenstruasi yang terjadi pada remaja.
&
&
'
Hasil penelitian diharapkan menambah teori bahwa tingkat stresor
psikososial yang dinilai dari derajat
berhubungan
dengan kadar kortisol saliva yang dapat dijadikan sebagai penanda
derajat sindroma premenstruasi.
!
&
(
&
&
#
) Metode pemeriksaan kortisol saliva yang mudah dan non
invasif serta sensitif dan spesifik sebagai penanda derajat
sindroma
premenstruasi
dapat
dijadikan
standar
operasional prosedur sebagai penanda derajat sindroma
premenstruasi pada remaja.
!) Diperolehnya
"" ,
tertentu dari kadar kortisol
saliva, membantu klinisi untuk menilai bahwa pengaruh
stresor
psikososial
erat
kaitannya
dengan
derajat
keparahan dari sindroma premenstruasi, sehingga selain
memberikan terapi medisinal, klinisi dapat melakukan
Universitas Sumatera Utara
penanganan aspek psikologis pada perempuan remaja
yang mengalami sindroma premenstruasi.
#
&
#
) Penanganan sindroma premenstruasi pada remaja dapat
dilakukan dalam bentuk suportif psikologis, salah satunya
melakukan konseling, khususnya yang berkaitan dengan
motivasi belajar.
!) Pemeriksaan
kadar
kortisol
saliva
pada
sindroma
premenstruasi dapat digunakan untuk menilai secara
obyektif
perempuan
usia
remaja
yang
menderita
sindroma premenstruasi dari kalangan siswi/mahasiswi
terkait dengan ketidakhadiran, motivasi, dan prestasi
belajar, juga bagi perempuan pekerja usia remaja yang
menderita sindroma premenstruasi terkait produktivitas
kerja, sehingga akan memberikan manfaat ekonomis
bagi
perusahaan
yang
mempunyai
tenaga
kerja
perempuan usia remaja akhir dalam mengupayakan
waktu kerja yang optimal di tempat mereka bekerja
karena permintaan cuti haid diberikan secara obyektif.
*
"
+
")
Dari penelitian ini akan diperoleh nilai titik potong (
"" ,
)
tertentu dari kadar kortisol saliva, sehingga nilai titik potong dan prosedur
pemeriksaan dengan memakai kortisol saliva tersebut nantinya dapat
dipakai untuk penanda derajat sindroma premenstruasi yang baru sebagai
prosedur pemeriksaan laboratorium untuk menilai derajat sindroma
premenstruasi pada perempuan usia remaja.
Universitas Sumatera Utara