Kadar Kortisol Saliva Sebagai Penanda Gangguan Gejala Menopause Pada Paramedis Poli Rawat Jalan Usia Perimenopause Di RSUP H.Adam Malik Medan
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai
perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa
diprediksi yang cenderung ovulatoar menjadi siklus yang dimulai dengan
menuanya
ovarium
hingga
sampai
ke
fase
berhenti.
Dengan
berkembangnya teknologi medis dan meningkatnya fokus pada perawatan
kesehatan preventif, angka rata-rata harapan hidup menjadi meningkat.
Kebanyakan wanita sekarang setidaknya sepertiga dari kehidupan mereka
berada di masa menopause. Secara khusus, diperkirakan bahwa pada
tahun 2020, sekitar 52 juta perempuan akan berusia 55 tahun atau lebih
tua. 1
Definisi menopause merujuk pada suatu titik waktu yang dimana
dimaksudkan
dengan
1
tahun
setelah
berhentinya
menstruasi.
Postmenopause merupakan tahun-tahun berikutnya titik ini. Usia rata-rata
perempuan mengalami periode menstruasi terakhir mereka adalah 51,5
tahun, tetapipenghentian menstruasi karena kegagalan ovarium dapat
terjadi pada semua usia.1
Gejala-gejala fisik yang dapat timbul pada menopause adalah
gejolak rasa panas dan keringat pada malam hari, kelelahan, insomnia,
kekeringan kulit dan rambut, sakit dan nyeri pada persendian, sakit
kepala, palpitasi (denyut jantung cepat dan tidak teratur), dan berat badan
Universitas Sumatera Utara
bertambah. Gejala-gejala psikologis pada menopause adalah perasaan
murung, kecemasan, irritabilitas dan perusahaan yang berubah-ubah,
labilitas emosi, merasa tidak berdaya, gangguan daya ingat,kosentrasi
berkurang, sulit mengambil keputusan, dan merasa tidak berharga.2
Pada penelitian oleh Muharram (2007) didapatkan dari hasil
penelitian cross sectional terhadap 1.350 perempuan menopause
Indonesia berumur 40-60. Rata-rata umur perempuan menopause di
Indonesia adalah 48 ± 5,3 tahun. Ada 5 gejala utama dari perempuan
menopause Indonesia yaitu : nyeri otot atau sendi (77,7%), rasa letih atau
hilang energi (68,7%), kehilangan nafsu berhubungan badan (61,3%),
kerutan di kulit (60%) dan sulit konsentrasi, hot flushes (29,5%).3
Sebelum terjadinya menopause biasanya didahului dengan pra
menopause sebagai permulaan transisi yang dimulai 2-5 tahun sebelum
menopause. Pada masa pra menopause terjadi ketidakteraturan siklus
haid. Masa ini dimulai sekitar usia 40 tahun. Pada masa pra menopause
ditandai menurunnya kadar hormonal estrogen yang sering menimbulkan
gejala yang sangat mengganggu aktifitas kehidupan para perempuan
bahkan mengancam kehidupan rumah tangga. Gejala menjadi sangat
serius apabila tidak ditangani karena dapat menimbulkan perubahan yang
menyebabkan
kecemasan
pada
perempuan.
Gejala-gejala
yang
ditimbulkan antara lain hot flushes (rasa panas dari dada hingga wajah),
night sweat (berkeringat di malam hari), penurunan daya ingat, depresi,
raca cemas (stres), mudah capek dan insomnia. 4
Universitas Sumatera Utara
Pada masa pra menopause menurut Proverawati dan Sulistyawati
(2010) faktor yang berpengaruh terhadap gejala pra menopause antara
lain : faktor psikis, sosial ekonomi, budaya dan lingkungan, faktor lain yaitu
perempuan yang belum menikah, perempuan karier yang sudah atau
belum berumah tangga dan mentruasi pertama. Selain itu latar belakang
perempuan sangat berpengaruh terhadap kondisi perempuan dalam
menjalani masa menopause, misalnya apakah perempuan tersebut sudah
menikah atau tidak, apakah perempuan tersebut mempunyai suami, anak,
cucu, atau keluarga yang membahagiakannya, serta pekerjaan yang
mengisi aktivitas sehari-hari.4
Psikis erat kaitan nya dengan kadar kortisol. Dimana, keadaan
stres berhubungan dengan sistem neuroendokrin. Hormon kortisol
sebagai
produk
dari
mekanisme
ini,
sering
digunakan
sebagaibiomarkeruntukmempelajaristres. Secara fisiologis, aksis HPA
terkait dengan perubahan adaptasi tubuh terhadap pengaruh lingkungan
ekternal, sehingga sekresi releasing factor dari hipotalamus yaitu
corticotrophin-releasing hormone (CRH) dapat diaktifkan oleh peristiwa
psikologis dengan tingkat aktivasi yang bervariasi. Hubungan CRH
dengan adrenocorticotropin hormone (ACTH), aktivasi neurotransmiter
dan saraf otonom sangat kompleks.5,6
Suatu penelitian pada hewan oleh Seattle Institute for Biomedical
and Clinical Research (2002) didapatkan bahwa pada awalnya estrogen
yang menurun pada wanita menopause menyebabkan suatu stres dalam
Universitas Sumatera Utara
tubuh wanita, sehingga kemudian menyebabkan peningkatan sekresi
kortisol oleh kelenjer adrenal7.
Keadaan stres erat kaitannya dengan aksis HPA dan kelenjar
adrenal sebagai organ yang mensekresikan hormon kortisol. Sejauh mana
stres mempengaruhi kelenjar adrenal dalam mensekresikan kortisol dapat
dinilai dari derajat “adrenal stress” yang diukur dengan kuesioner Adrenal
Stress Questionnaire. Kuesioner ini disusun oleh Hompes D, seorang ahli
ginekologi Inggris. Dimana validitas dan reliabilitasnya telah dibuktikan
sebelumnya.8
Peningkatan kortisol pada perimenopause banyak disebabkan oleh
tingkat stres yang tinggi, pada beberapa penelitian hal ini banyak dikaitkan
dengan munculnya gejala gangguan tidur.
Kortisol diseksresikan oleh
kelenjar adrenal melalui respon feedback pada tubuh. Kortisol adalah
bahan kimia kuat yang , bersama dengan adrenalin sangat efektif dalam
melindungi tubuh selama masa stres . Ketika kadar kortisol tidak
seimbang , bagaimanapun, dapat mendatangkan gangguan pada sistem
syaraf.Tingginya kadar kortisol mengganggu restoratif tidur REM , dan
mengganggu ritme tidur , itulah sebabnya mengapa begitu banyak wanita
dalam laporan perimenopause bahwa mereka mampu untuk tertidur ,
tetapi mereka tidak bisa untuk tetap tidur. Kadar kortisol yang tinggi juga
dapat menyebabkan jantung berdebar-debar , dan bahkan serangan
panik. Bahkan jika wanita menderita kelelahan, dengan tingkat tinggi
kortisol dalam tubuh, maka wanita tetap tidak akan bisa tidur.9
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian oleh Cagnacci et al (2011), wanita perimenopause
dinilai faktor psikologimelalui skor Greene yang dikaitkan dengan
peningkatan 24 jam kadar kortisol urin. Didapatkan terjadi peningkatan
kadar kortisol, peningkatan ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko untuk
penyakit jantung, seperti resistensi insulin dan penurunan kadar HDLkolesterol.10
Diagnosis dari gejala menopause sampai saat ini masih terbatas
pada keluhan yang cenderung subjektif, untuk itu diperlukan suatu
penelitian mengenai adanya parameter yang objektif dalam menilai derajat
keparahan gejala menopause, sehingga bisa dijadikan penanda dan
bahkan mungkin follow up dalam pengobatan gejala menopause, dalam
hal ini kortisol diperkirakan dapat menjadi suatu alat diagnostik untuk
gangguan menopause.
1.2.
Rumusan Masalah
Belum adanya penelitian yang dilakukan untuk mengetahui
hubungan gejala menopause yang dinilai dari menopause rating scale
terhadap kadar kortisol saliva sebagai penanda derajat keparahan gejala
menopause, maka peneliti berusaha merumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh gejala menopause yang dinilai dari
menopause rating scale terhadap perubahan kadar kortisol saliva yang
dijadikan sebagai penanda gangguan gejala menopausepada wanita
perimenopause?”dan “Apakah
pemeriksaan kadar kortisol saliva ini
Universitas Sumatera Utara
dapat
menjadi
pemeriksaan
non invasif
yang
sensitif dan spesifik
sebagai penanda gangguan menopause?”
1.3. Hipotesis Penelitian
Gangguan menopause yang dinilai dari menopause rating scale
bermanifestasi pada perubahan kadar kortisol saliva dari wanita
perimenopause yang dapat dijadikan sebagai penanda gangguan gejala
menopause.
1.4. Tujuan
1.4.1.Tujuan Umum
Mengetahui kadar kortisol saliva
jalanusia
perimenopause
pada paramedis poli rawat
di
RSUP.H.Adam
Malik
Medanberdasarkan gangguan gejala menopause.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui
karakteristik
jalanusiaperimenopause
paramedis
di
poli
RSUP.H.Adam
rawat
Malik
Medanberdasarkan ada tidaknya gejala menopause ( status
pernikahan,
paritas, lama menopause, BMI dan skor total
Menopause Rating Scale (MRS)).
2.
Mengetahui
karakteristik
paramedis
poli
rawat
jalanusia
perimenopause di RSUP.H.Adam Malik Medanberdasarkan derajat
Universitas Sumatera Utara
gejala menopause (status pernikahan, paritas, lama menopause
dan BMI).
3.
Mengetahui
frekuensiparamedis
poli
rawat
jalanusia
perimenopause di RSUP.H.Adam Malik Medan berdasarkan
subkelompokderajat gejala menopause
4.
Mengetahui
persentaseparamedis
poli
rawat
jalanusia
perimenopause di RSUP.H.Adam Malik Medan berdasarkan
Menopause Rating Scale
5. Mengetahui hubungan kadar kortisol saliva dari paramedis poli
rawat
jalanusia
perimenopause
di
RSUP.H.Adam
Malik
Medanberdasarkan ada tidaknya keluhan menopause.
6. Mengetahui hubungan kadar kortisol saliva dari paramedis poli
rawat jalanusia perimenopause di RSUP.H.Adam Malik Medan dan
RSUD Dr.Pirngadi Medan terhadap derajat keluhan menopause.
7. Penelitian ini juga akan mencari nilai titik potong (cut off value),
sensitivitas dan spesifisitas serta area under curve (AUC) dari
kadar kortisol saliva yang dapat dijadikan sebagai penanda
gangguan gejala menopause.
1.5.
Manfaat
1. Pemeriksaan
operasional
kadar
prosedur
kortisol
saliva
sebagai
dapat
penanda
menjadi
gangguan
standar
gejala
menopause.
Universitas Sumatera Utara
2. Diperolehnya cut off value dari kadar kortisol saliva, sehingga
membantu klinisi dalam mendiagnosis gejala menopause.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai
perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa
diprediksi yang cenderung ovulatoar menjadi siklus yang dimulai dengan
menuanya
ovarium
hingga
sampai
ke
fase
berhenti.
Dengan
berkembangnya teknologi medis dan meningkatnya fokus pada perawatan
kesehatan preventif, angka rata-rata harapan hidup menjadi meningkat.
Kebanyakan wanita sekarang setidaknya sepertiga dari kehidupan mereka
berada di masa menopause. Secara khusus, diperkirakan bahwa pada
tahun 2020, sekitar 52 juta perempuan akan berusia 55 tahun atau lebih
tua. 1
Definisi menopause merujuk pada suatu titik waktu yang dimana
dimaksudkan
dengan
1
tahun
setelah
berhentinya
menstruasi.
Postmenopause merupakan tahun-tahun berikutnya titik ini. Usia rata-rata
perempuan mengalami periode menstruasi terakhir mereka adalah 51,5
tahun, tetapipenghentian menstruasi karena kegagalan ovarium dapat
terjadi pada semua usia.1
Gejala-gejala fisik yang dapat timbul pada menopause adalah
gejolak rasa panas dan keringat pada malam hari, kelelahan, insomnia,
kekeringan kulit dan rambut, sakit dan nyeri pada persendian, sakit
kepala, palpitasi (denyut jantung cepat dan tidak teratur), dan berat badan
Universitas Sumatera Utara
bertambah. Gejala-gejala psikologis pada menopause adalah perasaan
murung, kecemasan, irritabilitas dan perusahaan yang berubah-ubah,
labilitas emosi, merasa tidak berdaya, gangguan daya ingat,kosentrasi
berkurang, sulit mengambil keputusan, dan merasa tidak berharga.2
Pada penelitian oleh Muharram (2007) didapatkan dari hasil
penelitian cross sectional terhadap 1.350 perempuan menopause
Indonesia berumur 40-60. Rata-rata umur perempuan menopause di
Indonesia adalah 48 ± 5,3 tahun. Ada 5 gejala utama dari perempuan
menopause Indonesia yaitu : nyeri otot atau sendi (77,7%), rasa letih atau
hilang energi (68,7%), kehilangan nafsu berhubungan badan (61,3%),
kerutan di kulit (60%) dan sulit konsentrasi, hot flushes (29,5%).3
Sebelum terjadinya menopause biasanya didahului dengan pra
menopause sebagai permulaan transisi yang dimulai 2-5 tahun sebelum
menopause. Pada masa pra menopause terjadi ketidakteraturan siklus
haid. Masa ini dimulai sekitar usia 40 tahun. Pada masa pra menopause
ditandai menurunnya kadar hormonal estrogen yang sering menimbulkan
gejala yang sangat mengganggu aktifitas kehidupan para perempuan
bahkan mengancam kehidupan rumah tangga. Gejala menjadi sangat
serius apabila tidak ditangani karena dapat menimbulkan perubahan yang
menyebabkan
kecemasan
pada
perempuan.
Gejala-gejala
yang
ditimbulkan antara lain hot flushes (rasa panas dari dada hingga wajah),
night sweat (berkeringat di malam hari), penurunan daya ingat, depresi,
raca cemas (stres), mudah capek dan insomnia. 4
Universitas Sumatera Utara
Pada masa pra menopause menurut Proverawati dan Sulistyawati
(2010) faktor yang berpengaruh terhadap gejala pra menopause antara
lain : faktor psikis, sosial ekonomi, budaya dan lingkungan, faktor lain yaitu
perempuan yang belum menikah, perempuan karier yang sudah atau
belum berumah tangga dan mentruasi pertama. Selain itu latar belakang
perempuan sangat berpengaruh terhadap kondisi perempuan dalam
menjalani masa menopause, misalnya apakah perempuan tersebut sudah
menikah atau tidak, apakah perempuan tersebut mempunyai suami, anak,
cucu, atau keluarga yang membahagiakannya, serta pekerjaan yang
mengisi aktivitas sehari-hari.4
Psikis erat kaitan nya dengan kadar kortisol. Dimana, keadaan
stres berhubungan dengan sistem neuroendokrin. Hormon kortisol
sebagai
produk
dari
mekanisme
ini,
sering
digunakan
sebagaibiomarkeruntukmempelajaristres. Secara fisiologis, aksis HPA
terkait dengan perubahan adaptasi tubuh terhadap pengaruh lingkungan
ekternal, sehingga sekresi releasing factor dari hipotalamus yaitu
corticotrophin-releasing hormone (CRH) dapat diaktifkan oleh peristiwa
psikologis dengan tingkat aktivasi yang bervariasi. Hubungan CRH
dengan adrenocorticotropin hormone (ACTH), aktivasi neurotransmiter
dan saraf otonom sangat kompleks.5,6
Suatu penelitian pada hewan oleh Seattle Institute for Biomedical
and Clinical Research (2002) didapatkan bahwa pada awalnya estrogen
yang menurun pada wanita menopause menyebabkan suatu stres dalam
Universitas Sumatera Utara
tubuh wanita, sehingga kemudian menyebabkan peningkatan sekresi
kortisol oleh kelenjer adrenal7.
Keadaan stres erat kaitannya dengan aksis HPA dan kelenjar
adrenal sebagai organ yang mensekresikan hormon kortisol. Sejauh mana
stres mempengaruhi kelenjar adrenal dalam mensekresikan kortisol dapat
dinilai dari derajat “adrenal stress” yang diukur dengan kuesioner Adrenal
Stress Questionnaire. Kuesioner ini disusun oleh Hompes D, seorang ahli
ginekologi Inggris. Dimana validitas dan reliabilitasnya telah dibuktikan
sebelumnya.8
Peningkatan kortisol pada perimenopause banyak disebabkan oleh
tingkat stres yang tinggi, pada beberapa penelitian hal ini banyak dikaitkan
dengan munculnya gejala gangguan tidur.
Kortisol diseksresikan oleh
kelenjar adrenal melalui respon feedback pada tubuh. Kortisol adalah
bahan kimia kuat yang , bersama dengan adrenalin sangat efektif dalam
melindungi tubuh selama masa stres . Ketika kadar kortisol tidak
seimbang , bagaimanapun, dapat mendatangkan gangguan pada sistem
syaraf.Tingginya kadar kortisol mengganggu restoratif tidur REM , dan
mengganggu ritme tidur , itulah sebabnya mengapa begitu banyak wanita
dalam laporan perimenopause bahwa mereka mampu untuk tertidur ,
tetapi mereka tidak bisa untuk tetap tidur. Kadar kortisol yang tinggi juga
dapat menyebabkan jantung berdebar-debar , dan bahkan serangan
panik. Bahkan jika wanita menderita kelelahan, dengan tingkat tinggi
kortisol dalam tubuh, maka wanita tetap tidak akan bisa tidur.9
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian oleh Cagnacci et al (2011), wanita perimenopause
dinilai faktor psikologimelalui skor Greene yang dikaitkan dengan
peningkatan 24 jam kadar kortisol urin. Didapatkan terjadi peningkatan
kadar kortisol, peningkatan ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko untuk
penyakit jantung, seperti resistensi insulin dan penurunan kadar HDLkolesterol.10
Diagnosis dari gejala menopause sampai saat ini masih terbatas
pada keluhan yang cenderung subjektif, untuk itu diperlukan suatu
penelitian mengenai adanya parameter yang objektif dalam menilai derajat
keparahan gejala menopause, sehingga bisa dijadikan penanda dan
bahkan mungkin follow up dalam pengobatan gejala menopause, dalam
hal ini kortisol diperkirakan dapat menjadi suatu alat diagnostik untuk
gangguan menopause.
1.2.
Rumusan Masalah
Belum adanya penelitian yang dilakukan untuk mengetahui
hubungan gejala menopause yang dinilai dari menopause rating scale
terhadap kadar kortisol saliva sebagai penanda derajat keparahan gejala
menopause, maka peneliti berusaha merumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh gejala menopause yang dinilai dari
menopause rating scale terhadap perubahan kadar kortisol saliva yang
dijadikan sebagai penanda gangguan gejala menopausepada wanita
perimenopause?”dan “Apakah
pemeriksaan kadar kortisol saliva ini
Universitas Sumatera Utara
dapat
menjadi
pemeriksaan
non invasif
yang
sensitif dan spesifik
sebagai penanda gangguan menopause?”
1.3. Hipotesis Penelitian
Gangguan menopause yang dinilai dari menopause rating scale
bermanifestasi pada perubahan kadar kortisol saliva dari wanita
perimenopause yang dapat dijadikan sebagai penanda gangguan gejala
menopause.
1.4. Tujuan
1.4.1.Tujuan Umum
Mengetahui kadar kortisol saliva
jalanusia
perimenopause
pada paramedis poli rawat
di
RSUP.H.Adam
Malik
Medanberdasarkan gangguan gejala menopause.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui
karakteristik
jalanusiaperimenopause
paramedis
di
poli
RSUP.H.Adam
rawat
Malik
Medanberdasarkan ada tidaknya gejala menopause ( status
pernikahan,
paritas, lama menopause, BMI dan skor total
Menopause Rating Scale (MRS)).
2.
Mengetahui
karakteristik
paramedis
poli
rawat
jalanusia
perimenopause di RSUP.H.Adam Malik Medanberdasarkan derajat
Universitas Sumatera Utara
gejala menopause (status pernikahan, paritas, lama menopause
dan BMI).
3.
Mengetahui
frekuensiparamedis
poli
rawat
jalanusia
perimenopause di RSUP.H.Adam Malik Medan berdasarkan
subkelompokderajat gejala menopause
4.
Mengetahui
persentaseparamedis
poli
rawat
jalanusia
perimenopause di RSUP.H.Adam Malik Medan berdasarkan
Menopause Rating Scale
5. Mengetahui hubungan kadar kortisol saliva dari paramedis poli
rawat
jalanusia
perimenopause
di
RSUP.H.Adam
Malik
Medanberdasarkan ada tidaknya keluhan menopause.
6. Mengetahui hubungan kadar kortisol saliva dari paramedis poli
rawat jalanusia perimenopause di RSUP.H.Adam Malik Medan dan
RSUD Dr.Pirngadi Medan terhadap derajat keluhan menopause.
7. Penelitian ini juga akan mencari nilai titik potong (cut off value),
sensitivitas dan spesifisitas serta area under curve (AUC) dari
kadar kortisol saliva yang dapat dijadikan sebagai penanda
gangguan gejala menopause.
1.5.
Manfaat
1. Pemeriksaan
operasional
kadar
prosedur
kortisol
saliva
sebagai
dapat
penanda
menjadi
gangguan
standar
gejala
menopause.
Universitas Sumatera Utara
2. Diperolehnya cut off value dari kadar kortisol saliva, sehingga
membantu klinisi dalam mendiagnosis gejala menopause.
Universitas Sumatera Utara