Perlindungan Konsumen Terhadap Keterlambatan Pengiriman Barang Melalui Angkutan Darat (Studi Pada CV. Sinar Makmur Abadi)

16

BAB II
KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG
A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang
1. Sejarah Pengangkutan Barang
Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
atau kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan manusia yang
paling sederhana (tradisional) sampai kepada taraf kehidupan manusia yang
modern senantiasa didukung oleh kegiatan pengangkutan. Bahkan salah satu
barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah
kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang dipergunakan
masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan.
Menurut H.M.N Purwosutjipto, Pengangkutan adalah: Perjanjian timbal
balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat
ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri
untuk membayar uang angkutan.5
Selanjutnya Abdulkadir Muhammad menguraikan istilah ”pengangkutan”
dengan mengatakan bahwa pengangkutan meliputi tiga dimensi pokok yaitu :
”pengangkutan sebagai usaha (business); pengangkutan sebagai perjanjian

(agreement); dan pengangkutan sebagai proses (process)”.6

5
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum
Pengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1991, hal. 2.
6
Muhammad Abdulkadir, Hukum Pengangkutan Niaga Cetakan Ke III, Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 12.

16
Universitas Sumatera Utara

17

Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya
bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan.
Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut carter
(charterparty). Jadi perjanjian pengangkutan pada umumnya diadakan secara
lisan, yang didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian itu
sudah terjadi.

Menurut Hasim Purba di dalam bukunya ”Hukum Pengangkutan Di Laut”,
pengangkutan adalah: Kegiatan pemindahan orang dan atau barang dari suatu
tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan maupun
angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan. Jadi pengangkutan itu berupa
suatu wujud kegiatan dengan maksud memindahkan barang-barang atau
penumpang (orang) dari tempat asal ke suatu tempat tujuan tertentu.7
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, warisan Pemerintah HindiaBelanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku, diberikan tempat yang
sangat banyak untuk mengatur hukum pengangkutan menyeberang laut (Buku ke
II Titel ke V mengenai penyediaan dan pemuatan kapal-kapal – vervrachting en
bevrachting van schepen; Titel ke VA tentang pengangkutan barang-barang; Titel
ke VB tentang pengangkutan orang-orang. Keadaan pengaturan hukum
pengangkutan di darat secara sumir di dalam Kitab Undang- Undang Hukum
Dagang itu disebabkan karena dahulu kala memang lebih-lebih terjadi
pengangkutan barang-barang dan orang-orang menyeberang laut dari pada
melewati darat.
Hasim Purba, Hukum Pengangkutan Di Laut, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan,
2005, hal. 4.
7

Universitas Sumatera Utara


18

2. Pengertian Pengangkutan Barang
Dalam dunia perniagaan, masalah angkutan memegang peranan yang sangat
penting, tidak hanya sebagai alat fisik, alat yang harus membawa barang yang
diperdagangkan dari produsen ke konsumen, tetapi juga sebagai penentu dari
harga barang–barang tersebut. Karena itu untuk kepentingan perdagangannya tiaptiap pedagang akan selalu berusaha mendapatkan frekuensi angkutan yang
kontiniu dan tinggi dengan biaya angkutan yang rendah.
Menurut arti katanya, pengangkutan berasal dari kata dasar ”angkut” yang
berarti angkut dan bawa, muat bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya
mengangkat dan membawa, memuat dan membawa atau mengirimkan.
Pengangkutan artinya pengangkutan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan
dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang yang diangkat. Jadi dalam
pengertian pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari
satu tempat ketempat lain.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa pengertian
mengandung kegiatan memuat barang atau penumpang, membawa barang atau
penumpang


ketempat

lain

dan

menurunkannya.8

Adapun

tujuan

dari

pengangkutan adalah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke
tempat yan lain dengan selamat, yang mana hal tersebut juga bermaksud untuk
meningkatnya daya guna dan nilai.
Pengertian pengangkutan sendiri tidak diatur dalam KUHD, tetapi mengenai
hal ini Abdulkadir Muhammad merumuskan sebagai berikut : ”Proses kegiatan


8

Muhammad Abdulkadir , Op.Cit, hal. 19.

Universitas Sumatera Utara

19

memuat barang atau penumpang kedalam alat pengangkutan, membawa barang
atau penumpang dari tempat pemuatan ketempat tujuan dan menurunkan barang
atau penumpang dari alat pengangkut ketempat yang ditentukan”.9
Sedangkan Purwosutjipto memberikan pengertian sebagai berikut :
Perjanjian timbal balik antara pengangkutan dan pengiriman, dimana pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari
suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat. Sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.10
Dari beberapa definisi tersebut diatas, dapat diketahui berbagai aspek
pengangkutan. Menurut Abdulkadir Muhammad dalam definisi pengangkutan,
aspek-aspeknya meliputi :
a. Pelaku

Yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Pelaku ini berupa badan
usaha, seperti perusahaan pengangkutan. Dan ada pula yang berupa
manusia pribadi, seperti buruh pengangkutan pelabuhan.
b.

Alat Pengangkutan
Yaitu alat yang didigunakan untuk menyelanggarakan pengangkutan. Alat
ini digerakan secara mekanik dan memenuhi syarat Undang-undang,
seperti kendaraan bermotor, kapal laut, dan lain-lain.

c.

Barang atau Pengangkutan
Yaitu muatan yang diangkut. Barang perdagangan yang sah menurut
Undang-undang, dalam pengertian barang juga termasuk hewan.
9

Ibid
H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit. hal. 2.


10

Universitas Sumatera Utara

20

d.

Perbuatan
Yaitu kegiatan pengangkutan barang atau orang sejak pemuatan sampai
dengan penurunan ditempat tujuan.

e.

Fungsi Pengangkutan
Yakni meningkatkan penggunaan dan nilai barang atau penumpang (tenaga
kerja).

f.


Tujuan Pengangkutan
Yakni sampai ditempat tujuan yang ditentukan dengan selamat, biaya
pengangkutan luna.11

B. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang
Pada dasarnya dalam pembuatan perjanjian pengangkutan terdapat pihakpihak yang mengikatkan untuk melaksanakan prestasi yang berbeda, yaitu antara
pihak pengangkutan dan pihak pemakai jasa pemakai jasa angkutan. Menurut
Abdulkadir Muhammad, pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan terdiri dari :
”pengangkut dan pengirim untuk pengangkutan barang”. Pengangkut dan
penumpang untuk pengangkutan penumpang”.12
Selanjutnya dikatakan pula, bahwa pihak-pihak yang berkepentingan ini
ada yang secara langsung terikat dala perjanjian pengangkutan karena
berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian, seperti pengangkut, pengirim,
penumpang. Ada juga yang secara tidak langsung terikat dalam perjanjian karena
bukan pihak, melainkan bertindak sebagai atas namaatau kepentingan pihak lain,

11
12

Muhammad Abdulkadir , Op.Cit, hal. 19-20.

Ibid.,hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

21

seperti ekspeditur, biro perjalanan, pengatur muatan, penguasa perdagangan atau
karena ia memperoleh hak dalam perjanjian itu, seperti penerima.
Sedangkan

menurut

Purwosujtipto

pihak-pihak

dalam

perjanjian


pengangkutan adalah :
(1) Pengangkutan
Dalam

Undang-undang

(KUHD)

tidak

ada

pengaturan

definisi

pengangkutan secara umum, kecuali dalam pengangkutan laut. Tetapi dilihat dari
pihak dalam perjanjian, pengangkutan adalah pihak yang mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari sutu tempat ke
tempat tertentu dengan selamat13. Dengan demikian dapat dikatakan, pengangkut

mengikatkan diri untuk mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang
diserahkan kepadanya. Selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk
sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan.14
(2) Pengirim
Dalam KUHD tidak diatur definisi pengirim secara umum. Tetapi dilihat
dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang
mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.15 Sehingga dapat
dikatakan bahwa, sebagai kewajiban pengirim adalah membayar uang sebagai
kontra prestasi dari penyelenggara pengangkutan yang dilakukan sebagai
pengangkut16.

H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit. hal. 3-4.
Ibid, hal. 4
15
Muhammad Abdulkadir , Op.Cit, hal. 35.
16
H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit. hal. 2
13

14

Universitas Sumatera Utara

22

Mengenai perhitungan jumlah biaya pengangkutan menurut Abdulkadir
Muhammad ditentukan oleh beberapa hal :
a. Jenis pengangkutan yaitu pengangkutan darat, laut dan udara. Tiap jenis
pengangkutan mempunyai biaya pengangkutan yang tidak sama.
b. Jenis alat pengangkutan yaitu bus, kereta api, kapal laut dan pesawat
udara. Tiap jenis alat pengangkutan mempunyai pelayanan dan
kenikmatan yang berbeda, sehingga berbeda pula tarif yang diterapkan.
c. Jarak pengangkutan yaitu jarak jauh, jarak dekat. Semakin jauh jarak yang
ditempuh semakin besar baiaya yang dikeluarkan dibanding jarak yang
lebih dekat.
d. Waktu pengangkutan yaitu cepat atau lambat, pengangkutan yang lebih
cepat biaya yang dikeluarkan lebih besar dibanding yang lebih lambat.
e. Sifat muatan yakni berbahaya, mudah busuk, mudah pecah. Sifat ini
mempunyai kemungkinan timbul kerugian yang lebih besar daripada sifat
tidak berbahaya.17
Disamping pengangkut dan pengirim yang merupakan pihak-pihak dalam
perjanjian pengangkutan, masih ada pihak yang terkait yaitu pihak penerima. Hal
yang ketiga ini sering diperdebatkan oleh para sarjana, yaitu mengenai kedudukan
pihak penerima sebagai pihak diluar yang membuat akta perjanjian pengangutan
apabila terjadi penyelenggaran pengangkutan yang tidak selamat. Mengenai hal
tersebut ada beberapa pendapat yaitu :

17

Muhammad Abdulkadir , Op.Cit, hal. 69.

Universitas Sumatera Utara

23

1. Penerima sebagai pihak yang berkepentingan seperti yang termaksud
dalam pasal 1317 KUHPerdata. Pendapat ini diikuti oleh Soekardono dan
Purwosutjipto.
2. Penerima sebagai Cesseionaris (orang yang menerima cesse). Secara
diam-diam mengenai hak tagih pengirim terhadap pengangkut, ini
menurut Purwosutjipto. Sedangkan menurut Soekardono bahwa pada saat
penerima menerima cesse, dilakukan dengan terang-terangan sesuai
dengan ketentuan Pasal 613 (2) KUPerdata.
3. Penerima sebagai pemegang kuasa atau penyelenggaran urusan si
pengirim. Pendapat ini menurut Soekardono tidak sesuai dengan
kenyataan sehari-hari. Banyak penerima sebagai pembeli, sedangkan
pengirim sebagai penjual.
Sejak penerima menyatakan kehendaknya untuk menerima barangbarang
angkutan, maka menurut ketentuan Pasal 1317 (2) KUHPerdata sipengirim tidak
berwenang lagi untuk merubah tujuan pengiriman barang-barang tersebut. Dan
sejak penerima mendapatkan haknya untuk menerima barang, maka untuk
penerima berlaku ketentuan-ketentuan dari perjanjian pengangkutan, termasuk
membayar ongkos, kecuali ditentukan lain, seerti pasal 491 KUHD yang
berbunyi: ”setelah barang yang diangkut itu diserahkan ditempat tujuan, maka
haruslah sipenerima membayar upah pengangkutan, dan segala apa lainnya yang
wajib dibayarnya menurut surat-surat berdasarkan nama barang tersebut telah
diterimakan kepadanya”.

Universitas Sumatera Utara

24

Pengecualian diatas misalnya dalam hal ongkos angkutan menjadi
tanggung jawab pengirim, dan penerma tidak wajib membayar ongkos angkutnya.
Dan bagi seorang penerima tidak boleh minta atau memerintahkan kepada
pengangkut supaya menyerahkan barang-barang kiriman itu ditempat yang bukan
tempatnya.
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Pengangkutan Barang
1. Hak dan Kewajiban Pengangkut
a. Hak-Hak Pengangkut
Di dalam KUHD, mengenai hak-hak pengangkut tidak diatur secara
terperinci. Sehingga, Hudi Asrori menyimpulkan bahwa dapat dikatakan hak yang
dimiliki oleh pengangkut adalah hak atas biaya angkutan yang harus dibayar oleh
pengirim. Termasuk di dalamnya adalah hak pengangkut untuk menuntut
pemenuhan atau menolak pengangkutannya, apabila pengirim tidak melaksanakan
kewajibannya membayar uang angkutan. Namun demikian, hak pengangkut untuk
menuntut pemenuhan atau menolak pengangkutan tersebut tidak pernah
dimanfaatkan, karena dalam praktik perjanjian pengangkutan biaya angkutan
selalu diminta oleh pengangkut sebelum pengangkutan dilaksanakan, yaitu pada
saat mengadakan perjanjian pengangkutan.18
b. Kewajiban Pengangkut
Dalam Pasal 91 KUHD ditentukan bahwa pengangkut berkewajiban
mengangkut barang-barang yang diserahkan kepadanya ke tempat tujuan yang
telah ditentukan. Selain itu, pengangkut juga berkewajiban menyerahkan kepada
H.M. Hudi Asrori S, Mengenal Hukum Pengangkutan Udara, Yogyakarta, Penerbit
Kreasi Wacana, 2010, hal. 30.
18

Universitas Sumatera Utara

25

penerima tepat pada waktunya dan dalam keadaan seperti pada waktu diterimanya
barang tersebut. Kewajiban pengangkut yang lain juga ditentukan dalam Pasal 96
Ayat (1) KUHD, yang menentukan bahwa pengangkut berkewajiban untuk
mengadakan suatu register atau daftar mengenai barang-barang yang telah
diterimanya untuk diangkut.
2. Hak dan Kewajiban Pengirim dan Penerima
a. Hak-hak Pengirim dan Penerima
Hak-hak pengirim lebih banyak ditentukan oleh persetujuan kedua belah
pihak. Pada umumnya, hak pengirim adalah bahwa barang-barangnya akan
diangkut oleh pengangkut sampai di tempat tujuan dan diserahkan kepada
penerima yang berhak dengan selamat. Apabila terjadi kehilangan atau kerusakan
selama dalam pengangkutan, maka pengirim berhak untuk menuntut ganti rugi.
Terhadap hak-hak ini sebetulnya juga dimiliki oleh penerima karena dalam
pengangkutan barang, penerima merupakan pihak yang mempunyai hubungan
hukum dengan pengirim.19
b. Kewajiban Pengirim
Sebagai pihak yang memakai jasa angkutan, pengirim mempunyai
kewajiban membayar uang angkutan sebagai kontra prestasi dari penyelenggaraan
pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut. Kewajiban ini sebetulnya baru
timbul apabila diperjanjikan lebih dahulu, karena menurut ketentuan Pasal 491
KUHD, kewajiban membayar uang angkutan ada pada penerima, setelah barangbarang diterimanya.20
19
20

Ibid., hal. 32.
Ibid.,

Universitas Sumatera Utara

26

Di samping itu, dalam Pasal 96 Ayat (2) KUHD ditentukan bahwa pengirim
wajib membuat daftar harga barang yang diangkut, apabila barang tersebut
mempunyai nilai uang seperti emas atau surat-surat berharga. Juga, dalam Pasal
96 Ayat (3) ditentukan bahwa apabila pengirim lalai membuat daftar harga barang
tersebut, maka ketika terjadi kehilangan atau kerusakan terhadap barang tersebut,
pengirim tidak dapat menuntut pihak pengangkut lebih dari nilai harga barang
tersebut menurut penglihatan pengangkut.
D. Peraturan Mengenai Pengangkutan Barang
Adapun dasar-dasar hukum pengangkutan barang adalah sebagai berikut :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 KUH Perdata
menyebutkan bahwa : ”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1367 ayat
(1) KUHPerdata menyebutkan bahwa: ”Seseorang tidak saja bertanggung
jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatan sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya”.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Di dalam KUHD yang mengatur
tentang pengangkutan barang diatur pada Buku I Bab V Bagian 2 dan 3
Pasal 90 sampai dengan Pasal 98. Ketentuan pasal-pasal KUHD tersebut
bersifat lex generalis, artinya berlaku umum untuk semua jenis
pengangkutan darat dengan kendaraan bermotor.21
3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (UULAJ). Di dalam UUAJ ini yang mengenai angkutan barang
terdapat pada :
a) BAB 10, Bagian kesatu Pasal 137 ayat (1), ”angkutan orang dan/atau
barang dapat menggunakan kendaraan bermotor dan kendaraan tidak
bermotor”. Ayat (3), ”angkutan barang dengan kendaraan bermotor
wajib menggunakan mobil barang”. Ayat (4), mobil barang dilarang
digunakan untuk angkutan orang, kecuali :
(a) Rasio kendaraan bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis,
dan prasana jalan di provinsi/kabupaten kota/kota belum memadai;
21

Muhammad Abdulkadir , Op.Cit, hal. 15.

Universitas Sumatera Utara

27

(b) Untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasinal Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
(c) Kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.
b) Pasal 138 ayat (3) , ”angkutan umum orang dan atau barang hanya
dilakukan dengan kendaraan bermotor umum”.
c) Pasal 139 ayat (1), ”pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan
umum untuk jasa angkutan orang dan atau barang antar kota antar
provinsi serta lintas batas negara”, Ayat (2), ”pemerintah daerah
provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa
angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi”, Ayat (3),
”pemerintah daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya
angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan atau barang dalam
wilayah kabupaten kota”.
4) Bagian keempat, Paragraf 1 Pasal 160 angkutan barang dengan kendaraan
bermotor umum terdiri atas :
1) Angkutan barang umum; dan
2) Angkutan barang khusus.
5) Paragraf 2 Pasal 161, pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Prasarana jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas jalan;
b. Tersedia pusat distribusi logistik dan atau tempat untuk memuat dan
membongkar barang; dan
c. Menggunakan mobil barang.
6) Paragraf 3 Pasal 162 ayat (1), kendaraan bermotor yang mengangkut
barang khusus wajib:
a) Memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk
barang yang diangkut;
b) Diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut;
c) Memarkir kendaraan di tempat yang ditetapkan;
d) Membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan
dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang
diangkut;
e) Beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu keamanan,
keselamatan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan;
f) Mendapat rekomendasi dari instansi terkait. Ayat (2), ”kendaraan
bermotor umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus mendapat
pengawasan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Ayat (3),
”pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan bermotor umum
yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu
sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut”.

Universitas Sumatera Utara

28

7) Pasal 163 ayat (1), ”pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau
pengirim yang menyerahkan barang khusus wajib memberitahukan kepada
pengelola pergudangan dan atau penyelenggara angkutan barang sebelum
barang dimuat ke dalam kendaraan bermotor umum”. Ayat (2),
”penyelenggara angkutan barang yang melakukan kegiatan pengangkutan
barang khusus wajib menyediakan tempat penyimpanan serta
bertanggungjawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan
barang khusus dan atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke
dalam kendaraan bermotor umum”.
8) Pasal 164, ”ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan
kendaraan bermotor umum diatur dengan peraturan menteri yang
bertanggungjawab di bidang sarana dan prasana lalu lintas dan angkutan
jalan”.
9) Bagian keenam Pasal 166 ayat (3), angkutan barang dengan kendaraan
bermotor umum wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi:
a) surat perjanjian pengangkutan; dan
b) surat muatan barang.
10) Pasal 168 ayat (1), ”perusahaan angkutan umum yang mengangkut barang
wajib membuat surat muatan barang sebagai bagian dokumen
perjalanan”. Ayat (2), ”perusahaan angkutan umum yang mengangkut
barang wajib membuat surat perjanjian pengangkutan barang”.
11) Bagian ketujuh Pasal 169 ayat (1), ”pengemudi dan atau perusahaan
angkutan umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara
pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan, dan kelas jalan”. Ayat (3),
”pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan menggunakan
alat penimbangan”. Ayat (4), ”alat penimbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) terdiri atas:
a) alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau
b) alat penimbangan dapat dipindahkan.
12) Pasal 170 ayat (1), ”alat penimbangan yang dipasang secara tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada
lokasi tertentu. Ayat (2), ”penetapan lokasi, pengoperasian dan perawatan
alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan oleh unit
pelaksana penimbangan yang ditunjuk oleh pemerintah”. Ayat (4),
”petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata
jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan”.
13) Pasal 172, ”ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan
angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah”.

Universitas Sumatera Utara

29

14) Bagian kedelapan, paragraf 1 Pasal 173 ayat (1), perusahaan angkutan
umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan atau barang wajib
memiliki :
a. Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek;
b. Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan atau
c. Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat.
15) Pasal 174 ayat (1), ”izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1)
berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat
keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan”. Ayat (2),
”pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Ayat (3), ”izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek
dalam satu kawasan”.
16) Pasal 175 ayat (1), ”izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk
jangka waktu tertentu”. Ayat (2), ”perpanjangan izin harus melalui proses
seleksi atau pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2).
17) Paragaraf 4 Pasl 180 ayat (1), ”izin penyelenggaraan angkutan barang
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c
diberikan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan
prasana lalu lintas dan angkutan jalan dengan rekomendasi dari instansi
terkait”. Ayat (2), ”izin penyelenggaraan angkutan alat berat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh
menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasana lalu lintas
dan angkutan jalan”.
18) Bagian kesembilan Pasal 181 ayat (1), ”tarif angkutan terdiri atas tarif
penumpang dan tarif barang”.
19) Pasal 184, ”tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181
ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa
dan perusahaan angkutan umum”.
20) Bagian kesebelas, paragraf 1 Pasal 186, ”perusahaan angkutan umum
wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian
angkutan dan atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh
penumpang dan/atau pengirim barang”.
21) Pasal 187, ”perusahaan angkutan umum wajib mengembalikan biaya
angkutan yang telah dibayar oleh penumpang dan atau pengirim barang
jika terjadi pembatalan pemberangkatan”.

Universitas Sumatera Utara

30

22) Pasal 188, ”perusahaan angkutan umum wajib mengganti kerugian yang
diderita oleh penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam
melaksanakan pelayanan angkutan”.
23) Pasal 189, ”perusahaan angkutan umum wajib mengansuransikan
tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188”.
24) Pasal 190, ”pengemudi kendaraan bermotor umum dapat menurunkan
penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian
terdekat jika penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat
membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan”.
25) Pasal 191, ”perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian
yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam
kegiatan penyelenggaraan angkutan”.
26) Pasal 193 ayat (1), ”perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah,
hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti
bahwa musnah, hilang atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu
kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan
pengirim”. Ayat (2), ”kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami”. Ayat (3),
”tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak
barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang
disepakati”. Ayat (4), ”perusahaan angkutan umum tidak bertanggung
jawab jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan
yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang”. Ayat (5),
”ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan
peraturan pemerintah”.
27) Pasal 194 ayat (1), ”perusahaan angkutan umum tidak bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga
dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan
perusahaan angkutan umum”. Ayat (2), ”hak untuk mengajukan
keberatan dan permintaan ganti kerugian pihak ketiga kepada perusahaan
angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal
terjadinya kerugian”.
28) Paragraf 2 Pasal 195 ayat (1), ”perusahaan angkutan umum berhak untuk
menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak
memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan
perjanjian angkutan”. Ayat (2), ”perusahaan angkutan umum berhak
memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil
sesuai dengan kesepakatan”. Ayat (3), ”perusahaan angkutan umum

Universitas Sumatera Utara

31

berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima
tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Pasal 196, ”jika barang angkutan tidak diambil
oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah
disepakati, perusahaan angkutan umum berhak memusnahkan barang
yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalampenyimpanannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Bagian kedua belas
Pasal 197 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah sebagai angkutan
wajib :
a) Memberikan jaminan kepada pengguna jasa angkutan umum untuk
mendapatkan pelayanan;
b) Memberikan perlindungan kepada perusahaan angkutan umum dengan
menjaga keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan
umum; dan
c) Melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang
dan barang.

Universitas Sumatera Utara