Perlindungan Konsumen Terhadap Keterlambatan Pengiriman Barang Melalui Angkutan Darat (Studi Pada CV. Sinar Makmur Abadi) Chapter III V

32

BAB III
KAJIAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Perlindungan Konsumen
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya
di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai
variasi barang dan atau jasa yang dapat dikonsumsi, yang ditunjang dengan
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Kondisi yang demikian pada satu
pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena akan barang dan atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Pelaku usaha tentu ingin meraih keuntungan yang besar yang tentunya dengan
biaya produksi yang rendah. Sedangkan konsumen tentunya ingin mendapatkan
pelayanan yang maksimal. Kedua belah pihak pasti akan berpegang teguh pada
prinsip masing-masing untuk mendapatkan apa yang hendak dicapai atau
diinginkan.22
Posisi konsumen pada dasarnya lebih lemah dari pelaku usaha. Posisi
konsumen yang lemah ini menyebabkan pelaku usaha memiliki kecenderungan
untuk melecehkan hak-hak konsumen. Menurut David Oughton dan Jhon Lowry,
dalam Abdul halim Barkatullah, posisi konsumen yang lemah ini didasarkan pada
beberapa argumentasi yaitu:23


22
http//www.scribd.com/doc/51106383/10/Pengertian-Hukum-Perlindungan-Konsumen,
diakses pada tanggal 15 Januari 2017, Pukul 13:15 WIB
23
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010, hal 7.

32
Universitas Sumatera Utara

33

1. Dalam masyarakat modern, pelaku usaha menawarkan berbagi
jenis produk baru hasil kemajuan teknologi dan manajemen.
Barang-barang tersebut diproduksi secara missal.
2. Terdapat perubahan-perubahan mendasar dalam pasar konsumen,
dimana konsumen sering tidak memiliki posisi tawar untuk
melakukan evaluasi yang memadai terhadap produksi barang
dan/atau jasa yang diterimanya. Konsumen hampir-hampir tidak
dapat diharapkan memahami sepenuhnya penggunaan produkproduk canggih yang tersedia.

3. Metode periklanan modern melakukan disinformasi kepada
konsumen dari pada memberikan informasi secara objektif.
4. Pada dasarnya konsumen berada dalam posisi tawar yang tidak
seimbang, karena kesulitan-kesulitan dalam memperoleh informasi
yang memadai.
5. Gagasan paternalism melatar belakangi lahirnya undang-undang
perlindungan konsumen hukum bagi konsumen, dimana terdapat
rasa tidak percaya terhadap kemampuan konsumen melindungi diri
sendiri akibat risiko keuangan yang dapat diperkirakan atau risiko
kerugian fisik.24
Menurut Troelstrup dalam Abdul Halim Barkatullah, posisi tawar
konsumen yang lemah disebabkan:
a. Terdapat lebih banyak produksi, merk, dan cara penjualannya;

24

Ibid, hlm. 8-9

Universitas Sumatera Utara


34

b. Daya beli konsumen makin meningkat;
c. Lebih banyak merk yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak
diketahui oleh semua orang;
d. Model-model produk lebih cepat berubah;
e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang
lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha;
f. Iklan yang menyesatkan;
g. Wanprestasi pelaku usaha.
Lemahnya posisi tawar dari konsumen tersebut menyebabkan hukum
perlindungan konsumen menjadi penting. Sebagai bentuk perlindungan bagi
konsumen dibentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan
Konsumen. Perlindungan konsumen merupakan masalah penting manusia, oleh
karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat
mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan
saling ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.25
Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan dengan
pekalu usaha berdasrkan doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan

sejarah hukum perlindungan konsumen, antara lain:26
a. Let the buyer beware (caveat emptor)
Merupakan dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen.
Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang
25
Husni Syawali dan Neni S M, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,
Bandung, 2000, hlm. 7
26
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakatra, 2006, hlm 61

Universitas Sumatera Utara

35

sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan. Prinsip ini
mengadung

kelemahan,

bahwa


dalam

perkembangan

konsumen

tidak

mendapatkan informasi yang memadai untuk menetukan pilihan terhadap barang
dan atau jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuna konsumen atau ketidak keterbukaan pelaku usaha
terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan dimikian, apabila konsumen
mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut
akibat dari kelalaian konsumen sendiri.
b. The due care theory
Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa. Selama pelaku
usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat dipersalahkan. Pada
prinsip ini berlaku pembuktian siapa


mendalilkan

maka dialah yang

membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di
Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai dengan pasal 1865 BW
yang secara tegas menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan mempunyai
suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau
menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut.
c. The pivity of contract
Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka
telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan

Universitas Sumatera Utara

36


diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan demikian konsumen dapat menggugat
berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1340 BW
yang menyatakan tentang ruang lingkup berlakuknya perjanjian hanyalah antara
pihak-pihak yang membuat perjanjian saja.
Penegakan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian penting
yang tidak dapat dipisahkan dari negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak
ukur dalam pembangunan nasional diharapkan mampu memberikan kepercayaan
terhadap masyarakat dalam melakukan pembaharuan secara menyeluruh di
berbagai aspek. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan secara tegas
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Kaidah ini mengandung makna
bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam
ketatanegaraan. Hal ini bertujuan agar hukum dapat berjalan dengan baik dan
benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, maka
diperlukan institusi-institusi penegak hukum sebagai instumen penggeraknya.
Untuk mewujudkan negara hukum tidak saja diperlukan norma-norma hukum atau
peraturan perundang-undangan sebagai subtansi hukum, tetapi juga diperlukan
lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh
perilaku hukum masyarakat sebagai budaya hukum. Selain itu, berdasarkan Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa
perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Universitas Sumatera Utara

37

B. Sejarah Perlindungan Konsumen
Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis
barang dan atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan atau jasa tersebut pada
umumnya merupakan barang dan atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat
komplementer satu terhadap yang lainnya. Bervariasinya produk yang semakin
luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi,
jelas terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa yang
ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun yang
berasal dari luar negeri.
Perkembangan yang demikian tersebut, pada satu sisi memberikan manfaat
bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan atau jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi, serta semakin terbukanya kesempatan dan kebebasan untuk memilih
aneka jenis dan kualitas barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan dan
kemampuan konsumen. Kondisi dan fenomena tersebut, pada sisi lainnya dapat

mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang,
dimana konsumen berada di posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek
aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku
usaha melalui jalan promosi, cara penjualan, serta perjanjian standar yang
merugikan konsumen.27
Hal tersebut bukan hanya gejala regional saja, tetapi menjadi permasalahan
yang mengglobal dan melanda seluruh konsumen di dunia. Timbulnya kesadaran
konsumen, telah melahirkan salah satu cabang baru dalam ilmu hukum yaitu
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 11-12.
27

Universitas Sumatera Utara

38

hukum Perlindungan Konsumen yang dikenal juga dengan hukum konsumen
(consumers law). Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum
yang bercorak Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing,
namun kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata

dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat.28
Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini
sebenarnya masih pararel dengan gerakan-gerakan pertengahan abad ke-20.
Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai dikenal dari gerakan serupa
di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara
populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada
kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup responsive
terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB
(ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan Konsumen.29
Setelah YLKI kemudian muncul organisasi-organisasi serupa, antara lain
Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun
1985, Yayasan Bina Lembaga Konsumen Indonesia (YBLKI) di Bandung dan
beberapa perwakilan di berbagai propinsi tanah air. Keberadaan YLKI sangat
membantu dalam upaya peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen karena
lembaga ini tidak hanya sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan
dan menerima pengaduan, tapi juga sekaligus mengadakan upaya advokasi
langsung melalui jalur pengadilan.
Ibid. hal. 12.
Istilah “Konsumerisme” bukan paham yang mengajarkan orang berlaku “konsumtif”.
Konsumerisme adalah gerakan yang memperjuangkan ditegakkannya hak-hak konsumen

(Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004, hal.
29.)
28

29

Universitas Sumatera Utara

39

YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional)
membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun
Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab
pemerintah

mengkhawatirkan

bahwa

dengan

lahirnya

Undang-Undang

Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Pada awal tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang
yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu ciri pada masa ini
adalah pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah memiliki
kesadaran tentang arti penting adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Hal ini diwujudkan dalam dua naskah Rancangan Undang-undang Perlindungan
Konsumen.
Pada akhir tahun 1990-an, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak
hanya diperjuangkan oleh lembaga konsumen dan Departemen Perdagangan,
tetapi adanya tekanan di lembaga keuangan internasional (IMF/International
Monetary Fund). Berdasarkan desakan dari IMF itulah akhirnya Undang-Undang
Perlindungan

Konsumen

dapat

dibentuk.30

Keberadaan

Undang-undang

Perlindunga Konsumen merupakan simbol kebangkitan hak-hak sipil masyarakat,
sebab hak konsumen pada dasarnya juga adalah hak-hak sipil masyarakat.
Undang-undang Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detail
dari hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-Undang Perlindungan
Sudaryatmo, Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen, PIRAC, Cetakan I, Jakarta,
2001, hal. 23.
30

Universitas Sumatera Utara

40

Konsumen ini, walaupun judulnya mengenai perlindungan konsumen tetepi
materinya lebih banyak membahas mengenai pelaku usaha dengan tujuan
melindungi konsumen. Hal ini disebabkan pada umumnya kerugian yang diderita
oleh konsumen merupakan akibat perilaku dari pelaku usaha, sehingga perlu
diatur agar tidak merugikan konsumen.
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua
bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Az Nasution
berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari
hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur,
dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Sedangkan
hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu
sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa di dalam pergaulan hidup.31
Undang-undang Perlindungan Konsumen ini pun memiliki segi positif dan
negatif yaitu:32
Segi positif adalah:
1. Dengan adanya Undang-Undang ini maka hubungan hukum dan masalahmasalah yang berkaitan dengan konsumen dan penyedia barang dan atau
jasa dapat ditanggulangi.
2. Kedudukan konsumen dan penyedia barang dan atau jasa adalah sama
dihadapan hukum.
Segi negatif dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :
31
Az Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 72
32
Ibid, hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

41

1. Pengertian dan istilah yang digunakan di dalam peraturan perundangundangan yang ada tidak selalu sesuai dengan kebutuhan konsumen dan
perlindungan konsumen.
2. Kedudukan hukum antara konsumen dan penyedia produk (pengusaha)
jadi tidak berarti apa-apa, karena posisi konsumen tidak seimbang, lemah
dalam pendidikan, ekonomis dan daya tawar, dibandingkan dengan
pengusaha penyedia produk konsumen.
3. Prosedur dan biaya pencarian keadilannya, belum mudah, cepat dan
biayanya murah sebagaimana dikehendaki perundang-undangan yang
berlaku.
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Menurut Satjipto Rahardjo yang ditulis dalam buku karangan Rachmadi
Usman, menyebutkan asas hukum merupakan “jantung” peraturan hukum. Asas
merupakan landasan paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Peraturanperaturan hukum itu pada akhirnya dikembalikan kepada asas-asas hukum
tersebut, kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan
bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari suatu peraturan
hukum. Dengan demikian, dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar
kumpulan peraturan-peraturan, karena asas itu mengandung nilai-nilai dan
tuntutan etis, merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan citacita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.33
Adapun Asas perlindungan konsumen antara lain :
33

Rachmadi usman, Hak Jaminan Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

42

1. Asas

Manfaat;

mengamanatkan

bahwa

segala

upaya

dalam

penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan,
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil,
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual,
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan,
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang
menjadi rujukan pertama, baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun
dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan
konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Universitas Sumatera Utara

43

Menurut Gustav Radbruch yang tertulis dalam buku,34 menyebutkan
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum atau
tiga nilai dasar hukum, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum
dalam perlindungan konsumen. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi
sorotan utama adalah masalah keadilan, di mana menurut Friedman yang tertulis
dalam buku Peter Mahmud menyebutkan bahwa: “in terms of law, justice will be
judge as how law treats people and how it distributes its benefits and cost”, dan
dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law,
general or specific, is allocative”.
Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist
menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya sebagai tujuan hukum baik
menurut Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam
mewujudkan secara bersamaan.35 Mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum
sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah hal
itu tidak menimbulkan masalah. Dalam kenyataannya sering antara tujuan yang
satu dengan yang lainnya terjadi benturan. Sebelumnya telah disebutkan bahwa
tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah melindungi kepentingan
konsumen, lebih lengkapnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;

34
Achmad Ali, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Cetakan
Kedua, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 34.
35
Achmad Ali, Op.,Cit, hal. 95

Universitas Sumatera Utara

44

b. Mengangkat

harkat

dan

martabat

konsumen

dengan

cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian

hukum dan

keterbukaan

informasi

serta

akses

untuk

mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan

kesadaran

pelaku

usaha

mengenai

pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
Achmad Ali mengatakan masing-masing Undang-Undang memiliki tujuan
khusus. Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus
membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan
ketentuan Pasal 2.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas
bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan
hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan c, dan huruf e.
Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan
huruf a, dan b, termasuk c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang

Universitas Sumatera Utara

45

diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.
Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat
dalam rumusan huruf a sampai f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan
sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a
sampai dengan huruf dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal,
apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam
Undang-Undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan konsisi
masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan
persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan
efektifitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, sebagaimana dikemukakan oleh
Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektifitas per
Undang-Undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.36

36

Ibid.,hal. 96

Universitas Sumatera Utara

46

BAB IV
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KETERLAMBATAN
PENGIRIMAN BARANG MELALUI ANGKUTAN DARAT
A. Pelaksanaan Pengiriman Barang Melalui Angkutan Darat Pada CV. Sinar
Makmur Abadi
Setelah peneliti melakukan wawancara dengan pihak CV. Sinar Makmur
Abadi, maka diketahui bahwa pelaksanaan pengiriman barang yang dilakukan
oleh CV. Sinar Makmur Abadi dalam pengangkutan barang melalui darat selama
ini telah dilaksanakan sesuai dengan apa yang disepakati oleh pihak yaitu CV.
Sinar Makmur Abadi dan pengirim.
Bapak Gunawan sebagai pimpinan yaitu CV. Sinar Makmur Abadi
mengungkapkan bahwa “selama ini pelaksanaan pengiriman paket barang melalui
darat harus sesuai dengan prosedur pengiriman barang yang dibuat oleh CV. Sinar
Makmur Abadi, sebelum yaitu CV. Sinar Makmur Abadi menerima barang yang
akan diangkut, pihak pengirim harus menyepakati perjanjian yang dibuat oleh CV.
Sinar Makmur Abadi. Perjanjian yang digunakan adalah konosemen. Konosemen
berisi merek dan nomor barang, banyaknya unit barang, jenis bungkusan barang,
ukuran barang, berat barang, harga tarif barang, biaya yang harus dikeluarkan
sebelum penyerahan barang dari muatan, dan tujuan.37 Setiap kali ada pengiriman
barang melalui CV. Sinar Makmur Abadi akan selalu dipantau dan dimonitor
secara ketat oleh pos pemantauan di sepanjang rute pengiriman dan dengan
pemberhentian wajib di kantor pusat kami di Medan untuk memeriksa status
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal
20 September 2016
37

46
Universitas Sumatera Utara

47

pengiriman, keadaan truk (pengangkut) dan barang muatan.38 Pengiriman barang
atau muatan, driver atau pengemudi dibekali dengan surat angkutan atau surat
jalan,yang berguna selain sebagai alat bukti yang nantinya diserahkan kembali
pada perusahaan juga sebagai alat monitoring dari perusahaan, apabila terjadi
kecelakaan lalu lintas ataupun kerusakan truk maka surat angkutan yang akan
dikirim ke perusahaan dengan keterangan dari pengemudi, untuk selanjutnya
dibuatkan berita acara keterlambatan untuk diserahkan pada penerima barang
sebagai wujud tanggung jawab dari CV. Sinar Makmur Abadi, apabila ada
kerusakan maka perusahaan juga akan menggantinya dengan ketentuan ada tanda
tangan dari pengemudi yang menyatakan bahwa memang barang atau muatannya
itu mengalamai kerusakan.39
Perjanjian pengangkutan yang dibuat secara sah mengikat kedua pihak,
yaitu pengangkut dan pengirim. Antara kedua belah pihak tercipta hubungan
kewajiban dan hak yang perlu direalisasikan melalui proses penyelenggaraan
pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan. Proses penyelenggaraan
pengangkutan melalui darat, meliputi tiga tahap, yaitu tahap pemuatan penumpang
atau barang di terminal pemberangkatan, tahap pelaksanaan angkutan, dan tahap
penurunan dan pembongkaran penumpang atau barang diterminal tujuan.40
(1) Tahap Pemuatan Barang

38
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal
20 September 2016
39
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal
20 September 2016
40
Achmad Ichsan, Hukum Dagang Lembaga Perserikatan Surat-surat Berharga,
Pengangkutan, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 1986. hal. 432.

Universitas Sumatera Utara

48

Pada tahap ini pengirim menyerahkan barang kepada CV. Sinar Makmur
Abadi, pihak pengirim harus melunasi biaya angkutan yang telah disepakati dan
CV. Sinar Makmur Abadi menerbitkan surat pengangkutan sebagai bukti bahwa
telah terjadinya perjanjian pengangkutan. Dokumen angkutan ini disebut dengan
surat angkutan barang. Agar pengirim juga memegang sekedar pembuktian,
baiknya ia minta turunan (duplikat) dari surat angkutan dengan disahkan oleh
pengangkut/nahkoda atau pengirim minta sepucuk tanda penerima barang-barang
dari pengangkut.41 Dalam surat angkutan yang harus menyebutkan antara lain :
1. Keterangan-keterangan mengenai barang yang akan dikirim seperti
jumlah, cara pengepakan, volume, berat brutonya dan lain sebagainya;
2. Nama stasiun tempat pengiriman dan tujuan;
3. Nama dan alamat pengiriman;
4. Nama dan alamat penerima;
5. Tempat dan tanggal surat angkutan;
6. Penyebutan surat-surat yang diperlukan dalam angkutan itu.
Setelah pengirim menyerahkan barang ke CV. Sinar Makmur Abadi,
barang tersebut ditimbang dahulu dan kemudian pengangkut memasukkan ke
dalam kendaraan yg diangkut dimana kendaraannya adalah truk. Setelah
pemuatan selesai, supir menyiapkan kendaraan untuk keberangkatan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Setiap kendaraan bermotor yang beroperasi
di jalan raya harus memenuhi ketentuan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ). Menurut Pasal 48 ayat (1) UndangSoekardono, R, Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pengangkutan Di Darat, Penerbit
Rajawali, Jakarta, 1981, hal. 27.
41

Universitas Sumatera Utara

49

Undang tersebut, ”setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus
memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan”. Dalam ayat (2) persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas susunan;
1) Perlengkapan;
2) Ukuran;
3) Karoseri;
4) Rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntuknya;
5) Pemuatan;
6) Penggunaan
7) Penggandengan kendaraan bermotor; dan
8) Penempelan kendaraan bermotor.
(2) Tahap Pelaksanaan Angkutan
Dalam tahap ini CV. Sinar Makmur Abadi menyelenggarakan angkutan,
kegiatan memindahkan barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan
dengan menggunakan alat pengangkut sesuai dengan perjanjian pengangkutan.
Untuk kelancaran dan keselamatan pengangkutan, dalam Pasal 77 ayat (1)
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ): ”Setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin
Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan”. Dalam
Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ),
”Setiap perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan
ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi
Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Dalam Pasal 162 ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (UULLAJ), Kendaraan bermotor yang mengangkut barang khusus wajib :
1. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk
barang yang diangkut;

Universitas Sumatera Utara

50

2. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut;
3. memarkir kendaraan di tempat yang di tempat yang ditetapkan;
4. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan
dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang
diangkut;
5. beroperasi

pada

waktu

yang

tidak

mengganggu

keamanan,

keselamatan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan;
dan
6. mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
(3) Tahap Penurunan atau Pembongkaran Barang
Setelah kendaraan bermotor atau truk tiba, barang-barang tersebut
langsung diantar ke tempat tujuan atau di tempat yang disepakati seperti tertera
pada surat angkutan. Sesudah barang diterima, dilakukan pengecekan terhadap
barang yang diangkut tersebut. Apabila barang diantar ke tempat tujuan dan
penerimanya tidak ada di tempat, maka barang yang diangkut tersebut disimpan di
dalam gudang CV. Sinar Makmur Abadi yang berada di kota tersebut. Namun,
bila penerima tidak mengambil atau menghubungi pihak pengangkut dalam hal ini
CV. Sinar Makmur Abadi selama 15 hari, maka pihak pengangkut
mengembalikan barang tersebut ke pengirim dalam hal ini toko yang
bersangkutan dengan ongkos pengembalian dibebankan oleh pihak pengirim dan
CV. Sinar Makmur Abadi tidak bertanggung jawab lagi atas barang tersebut.
Dalam Pasal 195 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(UULLAJ), ”Perusahaan angkutan umum memungut biaya tambahan atas barang

Universitas Sumatera Utara

51

yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan”. Selanjutnya dalam
Pasal 196 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ)
disebutkan, ”Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima
sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, perusahaan angkutan umum
berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam
penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
B. Perjanjian Pengiriman Barang Melalui Angkutan Darat Pada CV. Sinar
Makmur Abadi
Pelaksanaan perjanjian pengiriman barang yang dilakukan CV. Sinar
Makmur Abadi antara konsumen dengan menggunakan perjanjian baku.
a. Perihal Perjanjian Secara Umum
1. Pengertian Perjanjian
Pengaturan umum mengenai perjanjian di Indonesia terdapat di dalam Buku
III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang Perikatan. Buku
III KUHPerdata tersebut menganut sistem terbuka (open system), artinya setiap
orang bebas mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, baik perjanjian bernama
(nominaat) maupun perjanjian tidak bernama (innominaat), asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. ”Sedangkan pasal-pasal dari Hukum
Perjanjian yang terdapat dalam Buku III tersebut merupakan apa yang dinamakan
aanvulendrecht atau hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasalpasal dalam Buku III KUHPerdata boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh

Universitas Sumatera Utara

52

pihakpihak yang membuat perjanjian”.42
Kemudian, ”sistem terbuka dalam KUHPerdata tersebut mengandung suatu
asas yang disebut asas kebebasan berkontrak, yang lazimnya disimpulkan dari
Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, dan dengan melihat pada Pasal 1319 KUHPerdata
maka diakui 2 (dua) macam perjanjian dalam Hukum Perjanjian yaitu Perjanjian
Nominaat dan Perjanjian Innominaat”.43
”Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur

dalam KUHPerdata (nominaat) dan yang diatur di luar KUHPerdata (innominaat)
tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUHPerdata yang ada
dalam Bab I dan Bab II”.44
Perjanjian nominaat atau perjanjian bernama yaitu perjanjian-perjanjian
yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata dari Bab V sampai dengan Bab XVIII,
seperti Perjanjian Jual-Beli, Perjanjian Sewa-Menyewa, Perjanjian TukarMenukar, dan sebagainya. Sedangkan, perjanjian innominaat atau perjanjian tidak
bernama, yaitu perjanjian yang terdapat di luar Buku III KUHPerdata, yang
timbul, tumbuh, berkembang dalam praktik dan masyarakat, dengan kata lain
perjanjian tersebut belum dikenal saat KUHPerdata diundangkan. ”Timbulnya
perjanjian ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata”.45

42

43

Subekti, Op.cit, hal. 13.

Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, cet. 3, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, hal. 6.
44
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal. 73.
45
Salim HS, Op.cit., hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

53

Pengertian perjanjian tersebut masih kurang jelas, oleh karena itu para
sarjana merumuskan pula definisi perjanjian, antara lain yaitu Subekti,
memberikan definisi perjanjian adalah sebagai, “suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.46
Sedangkan pengertian perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu:
“perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua
pihak, di mana salah satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan
sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak
untuk menuntut pelaksanaan janji itu”.47
2. Hubungan Perikatan Dengan Perjanjian
Untuk pemahaman pengertian tentang perjanjian, maka tidak akan terlepas
hubungannya dengan perikatan, karena perjanjian adalah sumber yang terpenting
bagi lahirnya perikatan. Pasal 1233 Buku III KUHPerdata menyatakan bahwa:
”Tiap-tiap perikatan lahir baik karena persetujuan, baik karena Undang-undang”.
Sehingga dapat dikatakan, perikatan lahir melalui perjanjian yaitu dengan
dikehendaki oleh para pihak dan juga melalui Undang-undang, artinya perikatan
dapat lahir antara orang atau pihak yang satu dengan pihak yang lain baik dengan
atau tanpa orang-orang tersebut menghendakinya. Untuk pemahaman pengertian
tentang perjanjian, maka tidak akan terlepas hubungannya dengan perikatan,
karena perjanjian adalah sumber yang terpenting bagi lahirnya perikatan. Pasal
1233 Buku III KUHPerdata menyatakan bahwa: ”Tiap-tiap perikatan lahir baik
46
47

Subekti, Op.cit., hal. 1
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

54

karena persetujuan, baik karena Undang-undang”. Sehingga dapat dikatakan,
perikatan lahir melalui perjanjian yaitu dengan dikehendaki oleh para pihak dan
juga melalui Undang-undang, artinya perikatan dapat lahir antara orang atau pihak
yang satu dengan pihak yang lain baik dengan atau tanpa orang-orang tersebut
menghendakinya.
Mengenai pengertian atas perikatan, tidak satu pasalpun dalam KUHPerdata
yang menguraikan apa yang dimaksud dengan perikatan. Subekti berusaha
memberikan batasan atas apa yang dimaksud dengan pengertian perikatan ialah:
“suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”48
Dalam perikatan, kewajiban tersebut disebut sebagai prestasi dapat dilihat
dalam Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.” Pihak-pihak dalam perikatan, sekurangnya ”terdiri dari 2 (dua) pihak
yaitu yang mempunyai kewajiban itu dinamakan juga pihak yang berhutang atau
debitur, sedangkan pihak yang mempunyai hak itu disebut juga pihak penagih
atau kreditur (pihak berpiutang)”.49
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perikatan adalah: “suatu hubungan
hukum di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan
pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi

Subekti, Op.cit., hal. 1.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. 1,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 18.
48

49

Universitas Sumatera Utara

55

itu”.50 Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan perikatan adalah:
“suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang
memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari lainnya,
sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.51
Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan unsur dari perikatan yaitu:
a. Adanya suatu hubungan hukum;
b. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda;
c. Antara dua orang/pihak atau lebih;
d. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur;
e. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur;
f. Adanya prestasi.52
b. Alasan Hukum CV. Sinar Makmur Abadi Menggunakan Perjanjian Baku
Dalam Pelaksanaan Pengangkutan Barang.
Sistem hukum di Indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian
pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan
kehendak atau konsensus. Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari
penyelenggaraan pengangkutan, atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang
diterbitkan dalam perjanjian itu. Sementara itu, yang dimaksud dokumen
pengangkutan ialah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam pengangkutan,
berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau hak.

50
51

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.cit., hal. 3.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Intermasa, Jakarta, 2003, hal. 122.
52
I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak; Contract Drafting Teori dan Praktek, Edisi
Revisi, Kesaint Blanc, Jakarta, 2003, hal. 21-22.

Universitas Sumatera Utara

56

Mengenai saat perjanjian pengangkutan terjadi dan mengikat pihak-pihak,
sebagian ada ditentukan dalam undang-undang dan sebagian lagi tidak ada. Dalam
hal tidak ada ketentuan, maka kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan
diikuti oleh perusahaan pengangkutan.
Undang-Undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas
membuat dan melaksanakan perjanjian. Pihak-pihak dalam perjanjian diberi
kebebasan dalam menentukan aturan yang mereka kehendaki dalam perjanjian
dan melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara
mereka selama para pihak tidak melanggar ketentuan mengenai klausula yang
halal, artinya ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum,
kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat. Walaupun
setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian tetapi Undang-Undang
mengatur batasan-batasan dari kebebasan tersebut. Suatu perjanjian dikatakan
tidak boleh bertentangan dengan:
1. Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
2. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.
3. Pasal 1339 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,

Universitas Sumatera Utara

57

tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang.
Berdasarkan ketiga pasal tersebut maka ada 2 (dua) hal yang harus
diperhatikan di dalam membuat suatu perjanjian baku, yaitu :
1) Tidak

bertentangan

dengan

Undang-Undang,

moral

(kesusilaan),

ketertiban umum, kepatutan, dan kebiasaan (Pasal 1337 dan Pasal 1339
KUHPerdata).
2) Memiliki itikad baik (Pasal 1338 KUHPerdata).
Moral (kesusilaan) diartikan sebagai moral yang dalam suatu masyarakat
diakui oleh umum/khalayak ramai. Sedangkan ketertiban umum adalah
kepentingan masyarakat yang dilawankan dengan kepentingan perseorangan, yang
dalam berhadapan dengan kepentingan perseorangan itu dipermasalahkan apakah
kepentingan masyarakat itu dikesampingkan. Keadilan dapat dimasukan ke dalam
arti kepatutan. Dengan demikian sesuatu yang tidak adil berarti tidak patut.
Dengan kata lain bila dikaitkan dengan kepatutan dalam arti keadilan, maka
isi/klausula-klausula suatu perjanjian tidak boleh tidak adil. Klausula-klausula
perjanjian yang secara tidak wajar sangat memberatkan pihak lainnya adalah
syarat-syarat yang bertentangan dengan keadilan. Sedangkan kebiasaan pada
umumnya dapat diartikan sebagai kebiasaan setempat yaitu aturan-aturan yang
diindahkan dalam lingkungan tertentu. Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu
dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan konsumen maupun tidak merugikan
kepentingan umum. Niat tersebut harus merupakan niat yang jujur untuk tidak
merugikan konsumen atau merugikan kepentingan umum.

Universitas Sumatera Utara

58

Dalam perjanjian pengangkutan di perusahaan CV. Sinar Makmur Abadi,
tidak semua unsur dalam asas kebebasan berkontrak terpenuhi. Hal ini
dikarenakan posisi tawar menawar (bargaining position) perusahaan pengangkut
lebih kuat dari pihak pengirim (konsumen). Pelaksanaan kebebasan berkontrak
akan tercapai bila para pihak mempunyai posisi seimbang. Jika salah satu pihak
lemah maka pihak yang memiliki posisi lebih kuat dapat memaksakan
kehendaknya untuk menekan pihak yang lemah demi kepentingannya sendiri. Jadi
kedudukan pengangkut lebih dominan daripada pengirim, karena pengangkut
mempunyai wewenang yang lebih untuk menentukan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perjanjian pengangkutan, sehingga asas kebebasan
berkontrak tidak terpenuhi semuanya karena perjanjiannya sudah ditetapkan
dalam bentuk yang baku, dimana bentuk dan isi perjanjian telah ditentukan oleh
pihak perusahaan pengangkut secara sepihak tanpa mengikutsertakan pihak
pengirim.53
Perjanjian pengangkutan dikatakan tidak sejalan dengan asas kebebasan
berkontrak karena perjanjian pengangkutan menggunakan bentuk perjanjian baku
dimana perjanjian yang didalam pembuatannya hanya ditentukan oleh salah satu
pihak saja yaitu pengangkut, sementara pihak yang lain yaitu pengirim tidak
diikutkan dalam pembuatannya dan karena sesuatu hal mau tidak mau pengirim
harus memenuhi isi perjanjian pengangkutan tersebut yang sebetulnya tidak sesuai
dengan keinginan pengirim.

Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20
September 2016
53

Universitas Sumatera Utara

59

Banyak pengirim barang yang tidak memperdulikan dalam pelaksanaan
pengiriman barang menggunakan perjanjian dalam bentuk baku. Pada umumnya
pengirim hanya tinggal menandatangani bukti pengiriman barang tanpa pernah
membacakan isi dari hak-haknya. Menurut Hartono kondisi tersebut terjadi
dikarenakan: Beberapa pengirim barang mengatakan malas membaca syaratsyarat perjanjian yang ada dalam surat muatan karena tulisannya yang terlalu
kecil, selain itu ada juga yang mengatakan tidak sempat membaca karena terburuburu dan ada yang menganggapnya bukan merupakan suatu hal yang penting
untuk dibaca, bahkan ada yang tidak tahu bahwa tulisan-tulisan yang ada dalam
surat muatan itu adalah suatu perjanjian.54
Alasan lainnya pihak perusahaan CV. Sinar Makmur Abadi menggunakan
perjanjian baku dikarenakan untuk mempermudah proses dalam pelaksanaan
perjanjian pengangkutan. Hal ini dikarenakan setiap orang yang menandatangani
perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. ”Jika ada
orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian standar (baku),
maka tanda tangan itu membangkitan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan
mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin
seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya”.55
Selain itu, alasan penggunaan perjanjian baku dalam pengangkutan barang
oleh pihak perusahaan CV. Sinar Makmur Abadi dikarenakan, ”penggunaan
perjanjian baku dapat diperkenankan untuk digunakan dalam setiap perjanjian
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20
September 2016
55
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20
September 2016
54

Universitas Sumatera Utara

60

yang dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen, asalkan isi/klausulnya tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
dan kesusilaan”.56
c. Alasan Ekonomi CV. Sinar Makmur Abadi Menggunakan Perjanjian Baku

Dalam Pelaksanaan Pengangkutan Barang.
Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat komplek karena
mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Dalam kehidupan
masyarakat, seringkali dapat dilihat bahwa aktivitas manusia dalam dunia bisnis
tidak lepas dari peran perusahaan pengangkutan selaku pemberi layanan dibidang
jasa pengangkutan barang bagi masyarakat. ”Peranan pengangkutan dalam dunia
perniagaan bersifat mutlak. Sebab nilai suatu barang itu tidak hanya tergantung
dari barang itu sendiri tetapi juga tergantung pada tempat dimana barang itu
berada”.57
Salah satu bentuk bentuk layanan dibidang pengakutan adalah kecepatan
dan ketepatan dalam pengiriman barang. Apabila angkutan terlambat atau macet
maka seketika itu masyarakat gelisah dan harga barang-barang pun menjadi
goncang. Pengangkutan bukan hanya berpengaruh terhadap sirkulasi barang tetapi
juga berpengaruh pada tinggi rendahnya harga barang tersebut. Peranan
pengangkutan disamping untuk melancarkan arus barang dan mobilitas manusia
juga untuk membantu tercapainya pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara
optimal. Untuk itu jasa angkutan harus tersedia secara merata dan terjangkau daya
beli masyarakat.
56
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20
September 2016
57
H.M.N Purwosujipto, Op.cit., hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

61

Terjadinya perjanjian pengangkutan menunjuk pada serangkaian perbuatan
tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim
atau penumpang secara timbal balik. Serangkaian perbuatan semacam ini tidak
terdapat pengaturannya dalam undang-undang, melainkan ada dalam kebiasaan
yang hidup dalam praktek pengangkutan, oleh karena itu serangkaian perbuatan
tersebut perlu ditelusuri melalui kasus perjanjian pengangkutan.
Pada awal dimulainya sistem perjanjian, prinsip penting di dalam perjanjian
itu adalah kebebasan berkontrak di antara pihak dengan kedudukan seimbang dan
tercapainya kesepakatan bagi para pihak-pihak. “Namun berhubung aspek-aspek
perekonomian semakin berkembang, pihak perusahaan selanjutnya mencari
format yang lebih praktis dalam menjalankan operasionalnya dengan membuat
perjanjian pengangkutan dalam bentuk baku”.58
Dalam penyelenggaraan usaha jasa di bidang pengangkutan, pihak
perusahaan CV. Sinar Makmur Abadi telah menyiapkan atau menyediakan
blanko, formulir atau model yang isinya telah dibuat dalam bentuk baku. Blanko
tersebut kemudian disodorkan kepada setiap konsumen jasa pengangkutan, yang
isinya tidak diperbincangkan terlebih dahulu dengan konsumen. Pada tahap
tersebut konsumen hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syaratsyarat yang tercantum dalam formulir tersebut atau menolaknya.
Ketentuan-ketentuan yang sudah dibakukan ini dapat dilihat dibagian
belakang tanda bukti pengiriman (consigment note) ataupun pada tanda bukti
terima kiriman yang tertuang dalam point-point. Perjanjian baku yang ditetapkan
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20
September 2016
58

Universitas Sumatera Utara

62

sepihak oleh pihak perusahaan pengangkutan dituangkan dalam bentuk formulir
dan ditandatangani oleh pengirim. ”Dimana formulir ini sudah terlebih dulu
disediakan dalam jumlah banyak sehingga memudahkan apabila sewaktu-waktu
akan dipergunakan dan dapat menghemat waktu dikarenakan isi dari perjanjian
baku ini berlaku bagi setiap konsumen pengguna jasa pengangkutan tanpa
terkecuali”.59
Klausula baku muncul dengan alasan kepraktisan atas perkembangan
ekonomi yang menuntut dilakukannya perjanjian, terutama untuk perjanjian
dengan melibatkan banyak pihak, termasuk dalam perjanjian pengangkutan
barang. ”Pihak perusahaan terlebih dahulu menyiapkan syarat-syarat yang sudah
distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, berupa kwitansi
yang dibelakangnya tercantum perjanjian pengangkutan dan kemudian diberikan
kepada pihak konsumen untuk disetujui dan ditandatangani”.60
Namun dalam kenyataannya penggunaan klausula baku dalam perjanjian
banyak merugikan konsumen. Hal ini karena posisi konsumen yang tidak
seimbang dengan posisi pelaku usaha. Dengan kondisi tersebut klausula yang
diperjanjikan lebih banyak berpihak pada kepentingan pelaku usaha. Atas alasan
tersebut maka diperlukan sebuah pengaturan tentang klausula baku, sehingga
penggunaannya dalam kontrak tetap dapat menguntungkan para pihak dan tidak
terdapat marginalisasi konsumen. Pengaturan mengenai klausula baku merupakan
konsekuensi dari upaya kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20
September 2016
60
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20
September 2016
59

Universitas Sumatera Utara

63

kondisi seimbang, yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara pelaku
usaha dan konsumen dalam prinsip kebebasan berkontrak. ”Kebebasan berkontrak
adalah apabila para pihak dikala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan
kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan
perjanjian yang disepakati”.61 Perjanjian baku memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Kelebihan kontrak baku adalah lebih efisien, karena antara para
pihak tidak perlu lagi merumuskan klausula yang akan dipakai dalam perjanjian
tersebut, sedangkan kelemahan perjanjian baku adalah kurangnya salah satu pihak
(dalam hal ini adalah konsumen) untuk melakukan negosiasi atau mengubah
klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan.
Perusahaan pengangkutan yang pekerjaannya melayani orang banyak, tidak
mungkin melakukan atau mengadakan perjanjian tertulis dengan tiap-tiap
konsumennya secara individual karena akan membutuhkan banyak waktu, uang,
dan tenaga. ”Hal ini juga dinilai tidak praktis dan kurang efisien. Karena itu pihak
perusahaan

selanjutnya

menggunakan

perjanjian

baku

dalam

perjanjian

pengangkutan yang dibuatnya”.62
Alasan

lainnya

perusahaan

menggunakan

perjanjian

baku

adalah

dikarenakan masalah biaya. Hal ini menyangkut dalam pembuatan perjanjian baku
tidak memerlukan biaya yang besar karena dibuat secara kolektif dan digunakan
untuk secara menyeluruh dalam kegiatan pengangkutan barang. Apabila
menggunakan perjanjian dalam pengangkutan yang masing-masing konsumen
N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hal. 105.
62
Hasil wawancara dengan Gunawan, Pimpinan CV. Sinar Makmur Abadi pada tanggal 20
September 2016
61

Universitas Sumatera Utara

64

saling berbeda atau juga menggunakan jasa Notaris, tentunya akan berdampak
bagi biaya pembuatan perjanjian yang akan dikeluarkan lebih tinggi. Oleh sebab
itu, untuk menyiasati agar biaya pengiriman tidak terlalumemberatkan konsumen
dan juga terkait dengan persaingan biaya pengiriman antara perusahaan, maka
pihak perusahaan membuat alternatif agar perjanjian pengangkutan dibuat dalam
bentuk yang telah baku.63 ”Penggunaan perjanjian baku yang dilakukan oleh
pe