Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Proses terakhir dari siklus akuntansi adalah diperolehnya hasil berupa

laporan keuangan.

Laporan keuangan merupakan media komunikasi dalam

bentuk informasi tertulis mengenai posisi keuangan, aktivitas dan kinerja
keuangan yang disajikan secara terstruktur dan berkala.

Penginformasian ini

ditujukan kepada para pihak yang terkait, baik didalam maupun diluar perusahaan
sebagai bentuk pertanggungjawaban pihak manajemen atas aliran dana investasi
dan kredit yang masuk ke perusahaan, serta sebagai alat untuk menarik investor
baru yang hendak menanamkan modal.

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2012) Laporan Keuangan merupakan
bagian dari proses pelaporan keuangan. Di Indonesia, Laporan Keuangan wajib
disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
merupakan suatu petunjuk dari prosedur akuntansi yang berisi perlakuan,
pencatatan, penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Menurut PSAK No. 1
(2013) tentang Penyajian Laporan Keuangan yang merupakan revisi dari PSAK 1
(2009), Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen berikut
ini:
a) laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode;
b) laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain selama periode;

1

c) laporan perubahan ekuitas selama periode;
d) laporan arus kas selama periode;
e) catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi
penting dan informasi penjelasan lain;
ea) informasi komparatif untuk mematuhi periode sebelumnya sebagaimana
ditentukan dalam paragraf 36 dan 36A; dan

f) laporan posisi keuangan pada awal periode sebelumnya yang disajikan
ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif
atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika
entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya sesuai dengan
paragraf 40A-40D.
Pada umumnya, laporan keuangan diterbitkan untuk menampilkan kondisi
terbaik yang dimiliki perusahaan. Namun, adakalanya perusahaan tidak dalam
kondisi keuangan yang baik, misalnya terjadi peristiwa dimana pihak manajemen
gagal mencapai tujuan kinerjanya sehingga informasi keuangan yang akan
disajikan dalam laporan keuangan tidak memuaskan. Kondisi yang demikian
berpotensi memicu pihak manajemen untuk melakukan berbagai cara termasuk
melakukan tindak kecurangan. Upaya dengan memanipulasi laporan keuangan
pun dilakukan agar informasi keuangan yang akan disajikan tampak “baik” dimata
pihak yang berkepentingan demi menjaga eksistensi dan keberlangsungan hidup
perusahaan.

Perilaku yang demikian disebut kecurangan pelaporan keuangan

(fraudulent financial reporting).


2

Tindak kecurangan dengan cara memanipulasi informasi pada laporan
keuangan menyebabkan informasi yang terkandung dalam laporan keuangan
menjadi tidak valid dan relevan.

Apabila laporan keuangan tidak valid dan

relevan, maka informasi keuangan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk
pengambilan keputusan karena analisis yang dilakukan tidak berdasarkan
informasi yang sebenarnya. Hal inilah yang dapat menyesatkan para pengguna
laporan keuangan terkhusus bagi para pengguna yang menjadikan laporan
keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan ekonomi.
Kecurangan dalam konteks pelaporan keuangan mengindikasikan adanya
salah saji secara material baik yang dilakukan oleh suatu lembaga organisasi
ataupun individu.

Fraud yang dimaksud merupakan salah satu dari bentuk

kejahatan dibidang ekonomi, yang tidak sedikit memakan biaya yang besar bagi

suatu organisasi dan yang lebih tragisnya lagi bahwa organisasi yang
bersangkutan secara implisit terkesan menyembunyikannya (Rahman, 2011).
Kecurangan pelaporan keuangan memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap kepercayaan para investor dan pengguna pasar lainnya dari
segi kualitas dan integritas proses pelaporan keuangan.

Salah satu kasus

kecurangan yang menggemparkan dunia terjadi di Amerika Serikat.

Enron

Corporation yang merupakan perusahaan energi dan perdagangan derivatif energi
terbesar di AS telah melakukan manipulasi laba yakni melalui lembaga auditornya
untuk mendongkrak laba mendekati USD 1 milyar. Kontribusi laba perseroan
sekitar 80% dari divisi perdagangan derivatif dan melakukan rekayasa kinerja
serta menyembunyikan kewajiban dalam laporan keuangan selama 3 tahun.

3


Kasus ini melibatkan Arthur Andersen sebagai auditor eksternal yang telah
menghancurkan dokumen dan bukti-bukti penting.

Enron yang menduduki

ranking 7 dari 500 perusahaan terkemuka di AS bangkrut dengan meninggalkan
hutang hampir US $ 31.2 milyar. Kasus Enron tidak hanya merugikan pihak
investor, tetapi juga para karyawan yang menginvestasikan dana pensiunnya
dalam saham perusahaan dan investor di pasar modal.
Selain Enron, terdapat banyak skandal manajemen laba berskala besar
lainnya yang dilakukan secara ilegal seperti Xerox Corporation, WorldCom, Walt
Disney Company, dan lain-lain.

Keruntuhan perusahaan-perusahaan publik

tersebut dikarenakan oleh strategi maupun praktik curang (fraud) dari manajemen
puncak yang berlangsung cukup lama karena lemahnya pengawasan yang
independen oleh corporate boards (Gozali, 2012).
Di Indonesia, kasus kecurangan pelaporan keuangan juga banyak ditemui.
Misalnya, kasus kecurangan yang dilakukan oleh PT Kimia Farma Tbk yang

selanjutnya disebut PT KF. Berdasarkan indikasi oleh Kementerian BUMN dan
pemeriksaan Bapepam tahun 2002, ditemukan adanya salah saji (overstatement)
dalam laporan keuangan yaitu pada laba bersih PT KF untuk tahun yang berakhir
31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 milyar. Salah saji ini terjadi dengan cara
melebihsajikan penjualan dan persediaan pada 3 unit usaha, yakni pada Unit
Industri Bahan Baku, Unit Logistik Sentral dan Unit Pedagang Besar Farmasi
(PBF). Dari kasus ini diketahui bahwa perusahaan menggunakan ROA sebagai
“alat” untuk memanipulasi laporan keuangan.

4

Selain PT KF, terdapat pula skandal keuangan pada perusahaan
perbankan.

Menurut Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan,
perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Sedangkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk pinjaman dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
Sebagai alat dalam pelaksanaan kebijakan moneter pemerintah, industri
perbankan memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem perekonomian
suatu negara. Hal ini dikarenakan perbankan sebagai lembaga perantara keuangan
memiliki fungsi Financial Intermediary. Sesuai dengan pengertian bank menurut
PSAK No.31 dalam Noviyani (2012), bank adalah suatu lembaga yang berperan
sebagai perantara keuangan (Financial Intermediary) yaitu suatu lembaga yang
mempunyai peran untuk mempertemukan antara antara pihak yang memiliki dana
dan pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi
memperlancar lalu lintas pembayaran.
Menurut Gozali (2012), Industri perbankan mempunyai regulasi yang
lebih ketat dibandingkan dengan industri lain, misalnya suatu bank harus
memenuhi kriteria Capital Adequacy Ratio (CAR) minimum yang ditetapkan
Bank Indonesia, yaitu perbandingan antara Modal dengan Aktiva Tertimbang

5


Menurut Risiko. Semakin besar proporsi rasio ini, semakin baik posisi modal
sebuah bank, dan sebaliknya. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia (BI), bank
yang dinyatakan sehat harus memiliki CAR paling sedikit sebesar 8%.

BI

menggunakan laporan keuangan sebagai dasar dalam penentuan status bank
(apakah bank tersebut merupakan bank yang sehat atau tidak). Kenyataannya,
perusahaan perbankan dengan dasar utama kegiatan kepercayaaan (trust), baik
dalam penghimpunan dana maupun dalam penyaluran dana justru terlibat skandal
keuangan.
Dalam kasus yang telah ditangani Bapepam tahun 2002, terdapat kasus PT
Broadband Multimedia yang melakukan penjaminan atas hutang kepada Bank
Lippo dan Bank Mayapada yang dilakukan tanpa seizin RUPS, selaku pemegang
kekuasaan tertinggi. Hal ini menandakan bahwa terdapat unit pengawas yang
terdapat di perusahaan ini belum melakukan monitoring secara efektif. Dalam
beberapa kasus, fraud menyebabkan kerugian pada bank yang jumlahnya cukup
besar sehingga bank tersebut dapat ditutup atau dilikuidasi, di antaranya adalah
Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali yang dilikuidasi pada tahun 2005. Penutupan
atau likuidasi akibat fraud tersebut sangat merugikan stakeholders antara lain

pemerintah dan investor.
Di samping itu, juga terdapat sembilan kasus perbankan pada kuartal
pertama yang dihimpun oleh Strategic Indonesia melalui Badan Reserse Kriminal
Mabes Polri (sumber: www.kompas.com) :
1. pembobolan Kantor Kas Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tamini Square.
Melibatkan supervisor kantor kas tersebut dibantu empat tersangka dari

6

luar bank. Modusnya, membuka rekening atas nama tersangka di luar
bank. Uang ditransfer ke rekening tersebut sebesar 6 juta dollar AS.
Kemudian uang ditukar dengan dollar hitam (dollar AS palsu berwarna
hitam) menjadi 60 juta dollar AS.
2. pemberian kredit dengan dokumen dan jaminan fiktif pada Bank
Internasional Indonesia (BII) pada 31 Januari 2011. Melibatkan account
officer BII Cabang Pangeran Jayakarta. Total kerugian Rp 3,6 miliar.
3. pencairan deposito dan melarikan pembobolan tabungan nasabah Bank
Mandiri. Melibatkan lima tersangka, salah satunya customer service bank
tersebut. Modusnya memalsukan tanda tangan di slip penarikan, kemudian
ditransfer ke rekening tersangka. Kasus yang dilaporkan 1 Februari 2011,

dengan nilai kerugian Rp 18 miliar.
4. Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Margonda Depok. Tersangka
seorang wakil pimpinan BNI cabang tersebut. Modusnya, tersangka
mengirim berita teleks palsu berisi perintah memindahkan slip surat
keputusan kredit dengan membuka rekening peminjaman modal kerja.
5. pencairan deposito Rp 6 miliar milik nasabah oleh pengurus BPR tanpa
sepengetahuan pemiliknya di BPR Pundi Artha Sejahtera, Bekasi, Jawa
Barat. Pada saat jatuh tempo deposito itu tidak ada dana. Kasus ini
melibatkan Direktur Utama BPR, dua komisaris, komisaris utama, dan
seorang pelaku dari luar bank.

7

6. pada 9 Maret terjadi pada Bank Danamon. Modusnya head teller Bank
Danamon Cabang Menara Bank Danamon menarik uang kas nasabah
berulang-ulang sebesar Rp 1,9 miliar dan 110.000 dollar AS.
7. penggelapan dana nasabah yang dilakukan Kepala Operasi Panin Bank
Cabang Metro Sunter dengan mengalirkan dana ke rekening pribadi.
Kerugian bank Rp 2,5 miliar.
8. pembobolan uang nasabah prioritas Citibank Landmark senilai Rp 16,63

miliar yang dilakukan senior relationship manager (RM) bank tersebut.
Inong Malinda Dee, selaku RM, menarik dana nasabah tanpa
sepengetahuan pemilik melalui slip penarikan kosong yang sudah
ditandatangani nasabah.
9. konspirasi kecurangan investasi/deposito senilai Rp 111 miliar untuk
kepentingan pribadi Kepala Cabang Bank Mega Jababeka.
Menurut Hofstede Centre (2014) dalam K. Mohamed (2015), Malaysia
hadir dengan skor Power Distance Index (PDI) tertinggi yakni 100 dan Indonesia
menduduki posisi ke-2 tertinggi dengan angka 78 dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya. Di posisi ke-3 ada Singapore 74, disusul Vietnam 70,
dan Thailand 64. Skor PDI telah menjadi alat pengukuran dalam penelitian ilmu
sosial untuk membuat perbandingan perbedaan negara dan budaya. Skor rentang
indeks antara 1 (terrendah) dan 120 (tertinggi) digunakan untuk mengukur gap.
PDI menunjukkan bahwa terdapat tendensi yang tinggi bagi Fraud dan
Fraudulent Financial Reporting (FFR) untuk terjadi berulang kali di negara
tersebut.

8

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan
organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang
berkedudukan di Amerika Serikat. ACFE merupakan asosiasi yang memiliki misi
untuk mengurangi peristiwa fraud dan kejahatan kerah-putih dengan mendeteksi
dan menghalangi terjadinya fraud. Organisasi yang didirikan oleh Dr. Joseph T.
Wells, CFE, CPA ini menerbitkan Report to the Nations on Occupational Fraud
and Abuse pada tahun 1996 untuk pertama kalinya. Report to the Nations on
Occupational Fraud and Abuse merupakan proyek penelitian anti fraud pertama
yang dilakukan dengan menganalisis biaya, metodologi dan para pelaku
kecurangan.

Awalnya pada perusahaan di Amerika, namun saat ini laporan

tersebut sudah memuat berbagai kasus kecurangan yang terjadi di enam belahan
benua di dunia. Informasi yang terkandung dalam laporan ini berdasarkan kasus
kecurangan yang telah diinvestigasi oleh Certified Fraud Examiner (CFE).
Tabel 1.1
Jumlah dan persentase kasus Occupational Fraud serta jumlah kerugian
di berbagai wilayah di dunia tahun 2010 dan 2012

Wilayah

Jumlah
kasus
1.021

2010
Kasus
(%)
56.8%

Kerugian
(USD)
$105,000

Jumlah
kasus
778

2012
Kasus
(%)
57.2%

Kerugian
(USD)
$120,000

Amerika
Serikat
Asia
298
16.6% $274,000
204
15.0% $195,000
Eropa
157
8.7% $600,000
134
9.9% $250,000
Afrika
112
6.2% $205,000
112
8.2% $134,000
Kanada
99
5.5% $125,000
58
4.3%
$87,000
Amerika
70
3.9% $186,000
38
2.8% $325,000
Latin dan
Karibian
Oceania
40
2.2% $338,000
35
2.6% $300,000
Sumber: Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse (2010, 2012)

9

Tabel diatas menunjukkan jumlah kasus dan tingkat kerugian yang diderita
oleh berbagai wilayah di dunia pada tahun 2010 dan 2012 berdasarkan Report to
the Nations on Occupational Fraud and Abuse yang diterbitkan ACFE. Dalam
Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse (2010), ACFE
menganalisis 1.797 kasus occupational fraud yang terjadi pada 106 negara di
dunia. Amerika Serikat menduduki posisi pertama dengan jumlah kasus tertinggi
yakni 1.021 kasus. Asia berada pada posisi kedua dengan jumlah kasus 298.
Eropa menduduki posisi ketiga dengan jumlah kasus 157.
ACFE kembali menerbitkan Report to the Nations on Occupational Fraud
and Abuse (2012). Dalam laporannya di tahun 2012, ACFE menganalisis 1.359
kasus occupational fraud yang terjadi pada 96 negara. Amerika Serikat kembali
menduduki posisi pertama dengan jumlah kasus yang menurun dari tahun 2010
yakni menjadi 778 kasus. Pada posisi kedua, Asia kembali muncul dengan jumlah
kasus 204 dan Eropa kembali menduduki posisi ketiga dengan jumlah 134 kasus.
Tabel 1.2
Jumlah dan persentase kasus Occupational Fraud serta jumlah kerugian
di berbagai wilayah di dunia tahun 2014
Wilayah
Amerika Serikat
Sub-Sahara Afrika
Asia Pasifik
Eropa Barat
Eropa Timur dan Asia Tengah/Barat
Kanada
Amerika Latin dan Karibian
Asia Selatan
Timur Tengah dan Afrika Utara

Jumlah
kasus
646
173
129
98
78
58
57
55
53

Persentase
kasus
48.0%
12.8%
9.6%
7.3%
5.8%
4.3%
4.2%
4.1%
3.9%

Kerugian
(USD)
$100,000
$120,000
$240,000
$200,000
$383,000
$250,000
$200,000
$56,000
$248,000

Sumber: Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse (2014)

10

ACFE kembali menerbitkan Report to the Nations on Occupational Fraud
and Abuse tahun 2014 yang menunjukkan bahwa ACFE telah menganalisis 1.347
kasus occupational fraud yang terjadi pada lebih dari 100 negara. Pada Report to
the Nations on Occupational Fraud and Abuse tahun 2014, ACFE menggolongkan
lokasi geografis yang lebih rinci lagi dengan membagi lokasi menjadi 9 wilayah di
dunia. Amerika Serikat kembali menduduki posisi pertama dengan jumlah kasus
646. Pada posisi kedua, terdapat Sub-Sahara Afrika dengan jumlah kasus 173.
Asia Pasifik menduduki posisi ketiga dengan jumlah kasus 129.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ACFE tahun 2010 dan 2012,
Indonesia yang termasuk dalam regional Asia.

Pada tahun 2010, Indonesia

berkontribusi 27 kasus kecurangan yang merupakan posisi ketiga setelah China
dengan 62 kasus dan India 37 kasus dari total 298 kasus. Pada tahun 2012, serupa
dengan Malaysia, Indonesia berkontribusi sejumlah 20 kasus. Seperti sebelumnya,
kontributor kasus fraud terbesar di wilayah Asia adalah China dengan jumlah
kasus yang menurun cukup tajam menjadi 35 kasus. Selanjutnya pada posisi
kedua, India berkontribusi sebanyak 34 kasus dari total 204 kasus. Sementara itu,
berdasarkan studi ACFE di tahun 2014, Indonesia tergolong dalam regional Asia
Pasifik. Posisi pertama diduduki oleh China dengan jumlah kasus 39. Indonesia
berada pada posisi kedua dan berkontribusi 19 kasus. Pada posisi ketiga, Philipina
menyumbang 18 dari 129 kasus.
Berdasarkan data dari ACFE tersebut, jumlah kecurangan di dunia, Asia
dan Indonesia pada tahun 2010, 2012 dan 2014 dapat digambarkan dalam gambar
berikut ini.

11

Sumber: Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse (2010, 2012,
2014)
Gambar 1.1
Jumlah kasus Occupational Fraud di dunia, Asia dan Indonesia tahun 2010,
2012 dan 2014
Jika ditinjau dari segi industri, pada tahun 2010, perbankan dan jasa-jasa
keuangan berada pada peringkat pertama dengan jumlah kasus kecurangan sebesar
298 dan jumlah kerugian $175,000. Pada tahun 2012, perbankan dan jasa-jasa
keuangan kembali menduduki peringkat pertama dengan jumlah kasus kecurangan
yang sedikit menurun yakni sebesar 229 dan jumlah kerugian $232,000. Pada
tahun 2014, perbankan dan jasa-jasa keuangan masih tetap berada pada peringkat
pertama dengan jumlah kasus kecurangan yang kembali meningkat menjadi 244
dan jumlah kerugian $200,000. Berikut ini disajikan gambar mengenai fenomena
kasus kecurangan pada sektor perbankan yang memiliki kecenderungan menurun
pada tahun berikutnya.

12

Sumber: Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse (2010, 2012,
2014)
Gambar 1.2
Jumlah kasus Occupational Fraud perbankan dan kerugiannya tahun 2010,
2012 dan 2014
Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh ACFE, berdasarkan
laporan triwulan Bank Indonesia (BI) kepada DPR pada tahun 2012-2013, jumlah
kasus tindak pidana perbankan (tipibank) yang dilaporkan kepada DPR jumlahnya
cukup besar. Sejak Desember 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan bank
telah beralih dari BI ke Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam UU No.
21 tahun 2011 tentang OJK dan menurut laporan triwulanan OJK kepada DPR
masih didapati jumlah tipibank yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1.3 berikut ini:
Tabel 1.3
Statistik Investigasi Dugaan Tindak Pidana Perbankan
No.
Tahun
Jumlah kasus yang diinvestigasi
1.
2012
65
2.
2013
62
3. 2014 (Triwulan II-IV)
43*
Sumber: Laporan Triwulan BI/OJK kepada DPR

13

Menurut Laporan Triwulanan OJK kepada DPR, modus fraud yang terjadi
pada sektor perbankan diantaranya adalah penyimpangan pengeluaran biaya
sponsorship, mark up fasilitas kredit, penggunaan dana debitur/nasabah untuk
kepentingan pribadi, penggelapan dana, pemalsuan tanda tangan, menerima fee
dari debitur, menerbitkan bank garansi fiktif, dan pemungutan biaya administrasi
kepada nasabah.
Caprio dan Levine (2002) dalam Gozali (2012) mengemukakan bahwa
bank merupakan sektor usaha yang tidak transparan, sehingga memungkinkan
terjadinya masalah keagenan.

Masalah keagenan dalam sektor keuangan

perbankan pada hakekatnya dapat dibedakan dalam dua kategori. Pertama adalah
masalah keagenan akibat hutang (debt agency problem) dan kedua adalah masalah
keagenan akibat pemisahan kepemilikan dan pengendalian (separation of
ownership and control).
Selain berbagai fenomena yang telah disajikan sebelumnya, juga terdapat
faktor lain yang mendorong peneliti melakukan penelitian mengenai kecurangan
pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting), yakni: kesenjangan
penelitian (research gap). Penelitian yang menggunakan analisis fraud triangle
dalam mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan tidak banyak. Peneliti yang
menggunakan analisis fraud triangle dalam mendeteksi kecurangan pelaporan
keuangan diantaranya dilakukan oleh Lou dan Wang (2009) dan Rachmawati
(2014).

Sementara para peneliti lainnya, cenderung menggunakan rasio-rasio

finansial maupun analisis laporan keuangan dalam meneliti kecurangan pelaporan
keuangan.

Penelitian

mengenai

fraudulent

financial

reporting

masih

14

menghasilkan temuan yang tidak konsisten misalnya penelitian yang dilakukan
oleh Persons (1995), Anisa (2012), Hutomo (2012), Subroto (2012), Rosita (2014)
dan Rachmawati (2014) sehingga dianggap perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi fraudulent financial reporting untuk
memperoleh konsistensi temuan.
Berikut ini inkonsistensi yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya.
Tabel 1.4
Kesenjangan Penelitian (Research gap)
No.

Variabel

Berpengaruh terhadap
Tidak Berpengaruh
FFR
terhadap FFR
1. Profitabilitas
Pengaruh negatif: Ansar Persons (1995), Hutomo
(2011)
(2012), Subroto (2012)
dan Rachmawati &
Marsono (2014)
2. Leverage
Pengaruh positif: Persons Hutomo (2012), Subroto
(1995), Anisa (2012) dan (2012) dan Rachmawati
Dalnial (2014)
& Marsono (2014)
3. Efektivitas
Pengaruh negatif: Rosita Rachmawati & Marsono
pengawasan
(2014) dan Wicaksono & (2014)
Chariri (2015)
Sumber: Diolah oleh peneliti.
Berdasarkan penelitian Ansar (2011), profitabilitas berpengaruh negatif
terhadap fraudulent financial reporting. Sementara itu, hasil penelitian Persons
(1995), Hutomo (2012), Subroto (2012) dan Rachmawati (2014) menunjukkan hal
yang berbeda, profitabilitas tidak berpengaruh terhadap fraudulent financial
reporting.

Berdasarkan penelitian Persons (1995), Anisa (2012) dan Dalnial

(2014) diperoleh hasil bahwa financial leverage berpengaruh positif terhadap
fraudulent financial reporting.

Sedangkan hasil penelitian Hutomo (2012),

Subroto (2012) dan Rachmawati (2014) menunjukkan bahwa leverage tidak
berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting.

15

Berdasarkan penelitian Rosita (2014), efektivitas pengawasan berpengaruh
signifikan terhadap fraudulent financial reporting. Di sisi yang lain, Rachmawati
(2014) menemukan bahwa efektivitas pengawasan tidak berpengaruh terhadap
fraudulent financial reporting. Berdasarkan uraian di atas, kesenjangan penelitian
mengenai fraudulent financial reporting digambarkan dalam tabel berikut.
Berdasarkan fenomena dan research gap tersebut di atas, penelitian ini
bertujuan untuk menguji kembali faktor-faktor yang mempengaruhi fraudulent
financial reporting serta mendeteksi ada atau tidaknya kecurangan pelaporan
keuangan pada sektor perbankan dengan menggunakan faktor risiko tekanan dan
kesempatan. Penelitian ini menggunakan variabel-variabel yang berasal dari dua
faktor penyebab terjadinya fraud triangle dan dari variabel-variabel tersebut,
selanjutnya ditentukan proksi-proksi pengukurannya. Tidak digunakannya faktor
rasionalisasi dikarenakan pelaku fraud akan selalu mencari alasan yang rasional
untuk membenarkan perbuatannya.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
menganalisis hubungan faktor risiko tekanan dan kesempatan berdasarkan konsep
fraud triangle dalam mendeteksi ada tidaknya kecurangan pelaporan keuangan
(fraudulent financial reporting), yang dituangkan dalam skripsi berjudul:
“Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud
Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan
Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015”.

16

1.2

Rumusan Masalah
Permasalahan penelitian yang akan dibahas pada penelitian ini disajikan

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: apakah profitabilitas, tingkat leverage,
dan efektivitas pengawasan berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan
keuangan (Fraudulent Financial Reporting) baik secara simultan maupun parsial
pada perusahaan perbankan tahun 2012-2015?

1.3

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah tertera di atas, tujuan

dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah profitabilitas, tingkat
leverage dan efektivitas pengawasan berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan
keuangan (Fraudulent Financial Reporting) baik secara simultan maupun parsial
pada perusahaan perbankan tahun 2012-2015

1.4

Manfaat Penelitian
Selaras dengan tujuan penelitian diatas, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat bagi berbagai pihak sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan, memperluas wawasan dan
menjadi ajang latihan meneliti untuk meningkatkan pemahaman dan
keterampilan dalam meneliti serta sebagai salah satu syarat yang harus
dipenuhi guna memperoleh gelar Sarjana Akuntansi Strata I Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

17

2. Bagi Investor
Penelitian ini dapat membantu agar investor berhati-hati dan semakin bijak
dalam menganalisa laporan keuangan, mendeteksi kesempatan terkait tindak
kecurangan dalam penyajian laporan keuangan sebelum akhirnya mengambil
keputusan untuk berinvestasi.
3. Bagi Perusahaan
Dengan adanya penelitian ini, perusahaan diharapkan dapat menyajikan
laporan keuangan yang bebas dari kecurangan dan salah saji yang material
mengingat besarnya dampak dan pengaruh hal tersebut terhadap pengambilan
keputusan ekonomi yang dilakukan oleh investor, kreditor, dan pihak-pihak
yang berkepentingan lainnya.
4. Bagi Regulator
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam menentukan kebijakan publik
yang tepat terkait good corporate governance sehingga dapat meminimalisir
terjadinya kecurangan pelaporan keuangan sekaligus meningkatkan kualitas
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti
selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut mengenai kecurangan pelaporan
keuangan.

18

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kebijakan Deviden Dan Kesempatan Investasi Terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI 2012-2015

0 6 47

PENGARUH FRAUD INDICATORS TERHADAP FRAUDULENT FINANCIAL STATEMENT (Studi Empiris Pada Perusahaan yang Listed di BEI Tahun 2013-2015)

7 39 124

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fraudulent Financial Reporting dalam Perspektif Fraud Triangle (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2012-2014

1 17 116

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 0 14

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 0 2

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 0 49

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 1 4

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 0 13

MENDETEKSI DETECT FRAUDULENT REPORTING FINANCIAL STATEMENT

0 0 18

ANALISIS FRAUD DIAMOND DALAM MENDETEKSI FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING (Studi Empiris pada Perusahaan Perbankan yang Listed di BEI Tahun 2014- 2016) - Unissula Repository

1 16 9