Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Teori Keagenan / Teori Agensi (Agency Theory)
Martantya dan Daljono (2013) menyatakan bahwa teori keagenan (Agency

theory) mendasarkan hubungan antara principal atau pemegang saham dengan
agent atau manajemen.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa

hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara satu atau lebih pemegang saham
(principal) dengan pihak manajemen (agent) yang timbul pada saat pihak
principal memberikan wewenang kepada manajer untuk memberikan jasanya
dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan.
Hubungan ini tercipta atas dasar saling membutuhkan antara kedua belah pihak
untuk memenuhi peran serta kepentingan yang berbeda-beda.
Teori keagenan menunjukkan bahwa pemisahan antara manajemen
perusahaan dan hubungan pemilik kepada manajer merupakan hal yang penting

untuk dilakukan.

Pemisahan ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan

efektivitas dengan menyewa pihak yang professional untuk mengelola
perusahaan,

tetapi

pemisahan

ini

ternyata

menimbulkan

permasalahan.

Permasalahan muncul ketika terjadi ketidaksamaan tujuan antara Prinsipal dan

Agen.
Eisenhardt (1989) mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia
memiliki tiga sifat dasar yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri
sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi

19

masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko
(risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer akan
bertindak berdasarkan sifat opportunistic (lebih mengutamakan kepentingan
pribadinya dibandingkan dengan kepentingan pemilik).

Agen akan berusaha

mencari keuntungannya sendiri untuk mendapatkan bonus dari perusahaan dengan
berbagai cara termasuk memanipulasi angka-angka di dalam laporan keuangan.
Adanya perbedaan kepentingan (conflict of interest) antara antara pihak
pemilik (principals) dan manajemen (Agent) mengakibatkan kedua belah pihak
yang saling bertentangan ini berperilaku sesuai dengan kepentingannya masingmasing yakni untuk memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Pihak Prinsipal
termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya sendiri dengan

profitabilitas yang selalu meningkat. Mereka menginginkan laba yang tinggi dari
perusahaan agar investasi yang telah ditanamkan cepat kembali karena semakin
tinggi laba, maka harga saham akan semakin tinggi dan semakin besar pula
deviden yang akan diterimanya.
Di sisi lain, pihak Agen pun memiliki kepentingan sendiri yakni untuk
mendapatkan kompensasi/bonus/insentif/remunerasi yang besar atas kinerjanya.
Mereka termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan
psikologisnya, antara lain memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak
kompensasi. Prestasi Agen dinilai berdasarkan kemampuannya memperoleh laba
yang besar untuk dialokasikan pada pembagian deviden. Semakin tinggi laba,
maka harga saham dan deviden pun akan turut meningkat, dan Agen pun akan
dianggap berhasil/berkinerja baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi.

20

Namun, apabila tidak ada pengawasan yang memadai, sang Agen dapat
memainkan beberapa kondisi perusahan agar seolah-olah target tercapai demi
memenuhi tuntutan Prinsipal agar mendapatkan kompensasi yang tinggi.
Permainan tersebut bisa terjadi atas prakarsa dari Prinsipal ataupun
inisiatif dari Agen sendiri. Maka terjadilah Creative Accounting yang menyalahi

aturan, misal: adanya piutang yang tidak mungkin tertagih yang tidak dihapuskan;
Kapitalisasi expense yang tidak semestinya; Pengakuan penjualan yang tidak
semestinya;

yang kesemuanya berdampak pada besarnya nilai aktiva dalam

Laporan Posisi Keuangan yang “mempercantik” laporan keuangan walaupun
bukan nilai yang sebenarnya. Bisa juga dengan melakukan income smoothing
(membagi keuntungan ke periode lain) agar setiap tahun kelihatan perusahaan
meraih keuntungan, padahal kenyataannya merugi atau laba turun.
Perbedaan “kepentingan ekonomis” di antara pihak Agen dan Prinsipal
inilah yang mendorong terjadinya kesenjangan informasi (asymmetrical
information) di antara kedua belah pihak tersebut.

Kesenjangan informasi

merupakan perbedaan informasi yang dimiliki oleh Agen dan Prinsipal karena
informasi tersebut tidak terdistribusi dengan merata. Agen memiliki informasi
tentang operasi dan kinerja perusahaan lebih banyak dibandingkan Prinsipal. Hal
ini timbul sebagai akibat dari tidak mungkinnya Prinsipal untuk mengamati secara

langsung segala usaha yang dilakukan oleh Agen. Hal ini yang menimbulkan
kesempatan bagi Agen untuk melakukan kecurangan.
Asymmetrical information terdiri dari dua tipe, yang pertama adalah
adverse selection. Pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki informasi lebih

21

sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan perjanjian, dia
akan membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang sangat tinggi.
Tipe yang kedua adalah moral hazard. Moral hazard ini terjadi pada saat Agen
melakukan suatu tindakan tanpa sepengetahuan pemilik demi keuntungan
pribadinya dimana tindakan tersebut sekaligus mengakibatkan turunnya
kesejahteraan pemilik.
Konflik kepentingan antara Agen dengan Prinsipal terjadi karena
kemungkinan Agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan Prinsipal,
sehingga memicu munculnya biaya keagenan (Agency cost). Masalah keagenan
potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham perusahaan
kurang dari seratus persen (Masdupi, 2005). Dengan proporsi kepemilikan yang
hanya sebagian dari perusahaan cenderung bertindak untuk kepentingan pribadi
dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan.


Inilah yang nantinya akan

menyebabkan biaya keagenan (Agency cost).
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan Agency cost sebagai jumlah
dari biaya yang dikeluarkan Prinsipal untuk melakukan pengawasan Agen.
Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero Agency cost dalam rangka
menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari pandangan
stakeholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar antara mereka.
Biaya keagenan ini merupakan bentuk paling mendasar sebagai indikator
terjadinya masalah keagenan, baik kaitannya dengan (1) biaya pemantuan
(monitoring cost), (2) biaya perikatan (bounding cost), (3) kerugian residual
(residual cost) sebagai pengurang kekayaan Prinsipal.

22

2.2

Fraud
2.2.1


Konsep Fraud
Fraud atau kecurangan berasal dari kata “curang” yang
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tidak jujur, tidak
lurus hati, tidak adil. Sedangkan menurut Albrecht et al. (2011),
fraud is a generic term, and embraces all the multivarious
means which human ingenuity can devise, which are resorted to
by one individual, to get an advantage over another by false
representations. No definite and invariable rule can be laid
down as a general proposition in defining Fraud, as it includes
surprise, trickery, cunning and unfair ways by which another is
cheated.The only boundaries defining it are those which limit
human knavery.
Artinya, Fraud merupakan hal yang bersifat umum dan
memiliki banyak makna, yang terjadi karena kecerdikan manusia
dan ditujukan untuk satu pihak untuk memperoleh keuntungan lebih
dengan penyajian yang salah. Tidak ada aturan khusus yang dapat
dijadikan sebagai dasar dalam mengartikan Fraud yang terdiri dari
kejutan, kecurangan, kelicikan dan cara yang tidak wajar yang
digunakan sebagai cara untuk menipu orang lain. Satu-satunya cara

untuk menjelaskannya adalah bahwa Fraud adalah hal yang merusak
moral manusia.
Menurut Black Law Dictionary dalam Rahmanti (2013), definisi
fraud adalah :
1. A knowing misrepresentation of the truth or concealment of a
material fact to induce another to act to his or her detriment; is
usual a tort, but in some cases (esp. when the conduct is willful)
it may be a crime, 2. A misrepresentation made recklessly
without belief in its truth to induce another person to act, 3. A

23

tort arising from knowing misrepresentation, concealment of
material fact, or reckless misrepresentation made to induce
another to act to his or her detriment.
Kutipan diatas dapat diterjemahkan, kecurangan adalah :
1. kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau
keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat
mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan
yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahan namun dalam

beberapa

kasus

(khususnya

dilakukan

memungkinkan merupakan suatu kejahatan;
salah/keliru

(salah

pernyataan)

yang

secara

disengaja)


2. penyajian yang

secara

ceroboh/tanpa

perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya berakibat dapat
mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat;
3. suatu kerugian yang timbul sebagai akibat diketahui keterangan
atau penyajian yang salah (salah pernyataan), penyembunyian fakta
material, atau penyajian yang ceroboh/tanpa perhitungan yang
mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau bertindak yang
merugikannya.
Kecurangan atau perbuatan curang hanyalah salah satu dari
berbagai tindak pidana.

Biasanya kecurangan mencakup tiga

langkah yaitu:ku (1) tindakan/ the act, (2) Penyembunyian/ the

concealment dan (3) konversi/ the conversion. Kecurangan terjadi
karena lemahnya sistem pengendalian internal pada entitas tersebut

24

dan adanya kekuasaan serta kesempatan untuk dapat melakukan
tindak kecurangan.
Albrecht et al., (2011) mengungkapkan bahwa Fraud
merupakan kecurangan yang terdiri dari beberapa elemen penting,
yaitu :
1. penyajian (a representation),
2. menyangkut hal-hal yang material (about a material point),
3. yang tidak benar/salah (which is false),
4. dan yang dilakukan dengan sengaja atau ceroboh (and
intentionally or recklessly so),
5. yang dipercayai (which is believed),
6. dan dilakukan pada korban (and acted upon by the victim),
7. untuk kerugian korbannya (to the victim’s damage).

Menurut Rahmanti (2013) secara umum, unsur-unsur dari
kecurangan adalah:
1. terdapat salah pernyataan (misrepresentation);
2. dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present);
3. fakta bersifat material (material fact);
4. dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (makeknowingly or recklessly);
5. dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak
beraksi;

25

6. pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah
pernyataan tersebut (misrepresentation);
7. yang merugikannya (detriment).

2.2.2

Klasifikasi Fraud
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau
Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi
professional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang
berkedudukan di Amerika Serikat. ACFE, Asosiasi yang bertujuan
untuk memberantas kecurangan, menggambarkan occupational
fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini menggambarkan cabangcabang dari fraud dalam bentuk skema hubungan kerja, beserta
ranting dan anak rantingnya.

26

Sumber : Association of Certified Fraud Examiners (2014)
Gambar 2.1
Fraud Tree

27

Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal yang Ditimbulkan Sama Oleh
Kecurangan (Uniform Occupational Fraud Classification System),
mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau
tipologi berdasarkan perbuatan sebagai berikut:
1. Korupsi (Corruption)
Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut
ACFE, bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan
TPK di Indonesia. Korupsi merupakan jenis fraud yang paling sulit
dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti
suap dan kolusi. Jenis fraud ini merupakan jenis yang terbanyak
terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya
lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik
sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini
sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja
sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme).

Menurut

ACFE, korupsi terbagi ke dalam penyalahgunaan wewenang/konflik
kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan
yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara
ekonomi (economic extortion) atau dikenal sebagai pungutan liar
atau upeti. Untuk mengungkap korupsi, auditor seharusnya memiliki
keterampilan dan pengalaman melakukan investigasi sebab porsi
teknik investigasi dalam mengungkap korupsi lebih dominan
daripada auditing.

28

2. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation)
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan, penggelapan
atau pencurian aset atau harta perusahaan, skimming (pencurian
uang lewat peng-capture-an nomor rekening orang lain) oleh
pihak di dalam dan/atau pihak lain di luar perusahaan. Jenis fraud
ini merupakan fraud yang paling umum dan paling mudah
dideteksi karena sifatnya yang berwujud (tangible) atau dapat
diukur dan dihitung (defined value).

Asset Misapproproation

seringkali diidentikkan sebagai employee fraud atau fraud yang
dilakukan

oleh

pegawai

sebab

mayoritas

pelaku

Asset

Missapropriation memang berada pada tingkat atau kedudukan
sebagai pegawai.

Ada beberapa teknik yang bisa digunakan

untuk mendeteksi penyimpangan atas aset ini.

Pengungkapan

Asset Misappropriation dilakukan dengan mengkombinasikan
teknik auditing dengan teknik investigasi.

Namun, pemahaman

yang baik mengenai pengendalian internal dalam pos-pos adalah
teknik terbaik untuk mendeteksi kecurangan tipe ini.
3. Pelaporan yang yang dibuat salah/Kecurangan dalam
Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Financial statement fraud meliputi tindakan yang dilakukan oleh
pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah
untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan
melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) atau

29

mempercantik penyajian laporan keuangan untuk memperoleh
keuntungan atau manfaat pribadi mereka terkait dengan
kedudukan dan tanggung jawabnya.

Fraud jenis ini ditandai

dengan kesengajaan untuk membuat laporan keuangan menjadi
salah saji atau kesalahan jumlah dalam pengungkapan pelaporan
keuangan, dengan maksud menipu pengguna laporan keuangan.
Lebih khusus, kecurangan dalam laporan melibatkan manipulasi,
pemalsuan, atau pengubahan catatan akuntansi atau dokumen
pendukung yang dipergunakan untuk pembuatan suatu laporan
keuangan.

Selain bentuk tersebut, penyalahgunaan prinsip

akuntansi yang disengaja untuk memanipulasi hasil juga termasuk
kecurangan.

Fraudulent Statement seringkali diidentikkan

sebagai management fraud atau fraud yang dilakukan oleh
manajemen sebab mayoritas pelaku memang berada pada tingkat
atau kedudukan di lini manajerial (pejabat atau eksekutif dan
manajer senior).

Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau

kecurangan non finansial. ACFE menekankan bahwa pelaporan
yang dibuat salah atau menipu bukan hanya pelaporan keuangan
sehingga pelaporan kinerja operasional, permohonan kredit,
prospektus atau pernyataan publik (press release) yang dibuat
untuk mengelabui orang lain guna memperoleh keuntungan atau
manfaat pribadi juga termasuk fraudulent statement.

30

Menurut studi yang dilakukan oleh ACFE dalam Report to the
Nations on Occupational Fraud and Abuse (2014), diantara ketiga cabang
tersebut, asset misappropriation berada pada posisi pertama dengan
jumlah kasus 86,3% di tahun 2010; 86,7% di tahun 2012; dan 85,4% di
tahun 2014. Namun dengan median kerugian terendah yakni $135,000 di
tahun 2010; $120,000 di tahun 2012; dan $130,000 di tahun 2014.
Sementara corruption menduduki posisi kedua dengan jumlah kasus
32,8% di tahun 2010; 33,4% di tahun 2012; dan 36,8% di tahun 2014
dengan median kerugian $250,000 di tahun 2010; $250,000 di tahun
2012; dan $200,000 di tahun 2014. Financial statement fraud berada
pada posisi terakhir dengan jumlah kasus terendah yakni 4,8% di tahun
2010; 7,6% di tahun 2012; dan 9,0% di tahun 2014. Namun dengan
median kerugian tertinggi yakni $ 4,1 juta di tahun 2010; $1 juta di tahun
2012; dan $1 juta di tahun 2014.
Selaras dengan studi yang dilakukan oleh ACFE sebelumnya,
menurut studi yang dilakukan oleh ACFE dikutip dalam Wind (2014),
juga disampaikan bahwa kecurangan dalam laporan keuangan, jika
dibandingkan dengan bentuk kecurangan lain yang dilakukan karyawan
perusahaan, biasanya memiliki dampak kerugian aset yang lebih tinggi
pada perusahaan yang menjadi korban. Selain itu juga akan membawa
dampak negatif bagi pemegang saham dan investasi secara umum.
Menurut Hutomo (2012), ada empat jenis atau kategori fraud yang
paling sering menimpa perusahaan perusahaan kecil maupun besar di

31

dunia. Yang pertama adalah pencurian data (data fraud) para pelaku
pencurian data biasanya mengarah ke data-data yang lebih bersifat
sensitif, misalnya data yang terkait dengan kartu kredit pelanggan. Kedua
adalah penggelapan (embezzlement) ini terjadi ketika para pelaku
penggelapan (biasanya pegawai) dengan sengaja menjadikan perusahaan
tempatnya bekerja sebagai sasaran untuk maksud memperkaya diri
sendiri.

Ketiga adalah penipuan atas jasa perbankan online (online

banking), bank untuk semua skala rentan mengalami penipuan. Keempat
adalah penipuan atau penggelapan atas cek, hal ini terjadi ketika para
pelaku memanipulasi cek untuk mencuri dana dari rekening perusahaan.
Menurut Albrecth dan Albrecth (2003, 8) dikutip oleh Nguyen
(2008), fraud diklasifikasikan menjadi lima jenis:
Tabel 2.1
Jenis-jenis Fraud
No. Jenis Fraud
1. Embezzlement
employee atau
occupational
fraud

2.

Management
fraud

Korban
Pimpinan

Pelaku
Karyawan

Pemegang
saham, pemberi
pinjaman dan
pihak lain yang
mengandalkan
laporan keuangan

Manajemen
Puncak

Penjelasan
Karyawan baik
secara
langsung
maupun tidak
langsung
melakukan
kecurangan
pada
pimpinannya.
Manajemen
puncak
menyediakan
penyajian yang
keliru, biasanya
pada informasi
keuangan.

32

3.

Investment
scams

4.

Vendor fraud

Investor

Individu

Organisasi atau
perusahaan yang
membeli barang
atau jasa

Organisasi
atau
perorangan
yang menjual
barang atau
jasa

Individu yang
menipu
investor
menanamkan
uangnya dalam
investasi yang
salah.

Organisasi
yang
memasang harga
terlalu tinggi
untuk barang dan
jasa atau tidak
adanya
pengiriman
barang walaupun
pembayaran telah
dilakukan.
5. Customer fraud Organisasi yang
Pelanggan
Pelanggan menipu
menjual barang
penjual agar
atau jasa
mereka
mendapatkan
sesuatu yang lebih
dari seharusnya.
Sumber: Albrecht dan Albrecth (2003, 8) dalam Nguyen (2008)
2.2.3

Faktor Pemicu Fraud
Setelah dikaji, terdapat empat (4) faktor pendorong seseorang
untuk melakukan fraud yang disebut dengan teori GONE,
dikemukakan dalam Sihombing (2014), yaitu :
1.

Greed (keserakahan)

2.

Opportunity (kesempatan)

3.

Need (kebutuhan)

4.

Exposure (pengungkapan)
Faktor greed dan need merupakan faktor intern (individu)

yang berhubungan dengan individu pelaku fraud, sedangkan faktor

33

Opportunity dan exposure merupakan faktor generik (umum) yang
berhubungan dengan organisasi sebagai korban dari perbuatan
fraud.
1.

Faktor Generik
Kesempatan untuk melakukan fraud selalu ada pada setiap
kedudukan.

Risiko

terjadinya

fraud bergantung pada

kedudukan pelaku dengan objek fraud.

Secara umum,

manajemen perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih
besar untuk melakukan fraud daripada karyawan.
2.

Faktor Individu
Faktor ini melekat dalam diri seseorang dan terdiri dari
kebutuhan (need), dan keserakahan (greed). Kebutuhan (need)
yang sifatnya mendesak,

terkadang membuat manusia rela

melakukan segala cara untuk dapat memenuhi kebutuhan
tersebut, sedangkan keserakahan (greed) membuat manusia
bernafsu untuk memperoleh lebih dari apa yang sudah
dimilikinya dengan cara yang ilegal dan tidak benar.

2.2.4 Pelaku Fraud
Fraud dapat terdiri dari berbagai bentuk kejahatan atau
tindak pidana. Dahulu, kecurangan banyak dilakukan oleh orangorang kelas pekerja atau yang sering disebut kejahatan kerah biru
(blue collar crime). Kecurangan jenis ini berjumlah tidak terlalu

34

besar dan sangat mudah diidentifikasi. Seiring berjalannya waktu,
ternyata kecurangan juga menjadi hobi bagi kalangan atas, dengan
kerugian yang lebih besar dan sulit diidentifikasi. Kejahatan kelas
atas ini umum disebut dengan kejahatan kerah putih (white collar
crime). Kejahatan kerah putih menurut Rezaee (2002) antara lain
terdiri dari pencurian, penggelapan asset, penggelapan informasi,
penggelapan kewajiban, penghilangan atau penyembunyian fakta,
rekayasa fakta termasuk korupsi.

2.3

Teori Fraud Triangle
Teori Fraud Triangle yang dicetuskan oleh Cressey (1953) diperkenalkan

dalam literatur pofesioanal pada SAS No. 99, Consideration of Fraud in a
Financial Statement Audit, menggantikan SAS No. 82. Menurut teori ini, kondisi
yang umumnya hadir pada saat fraud terjadi yaitu tekanan atau pressure,
kesempatan atau opportunity, dan rasionalisasi atau rationalization. Fraud
triangle biasanya digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai risiko
kecurangan. SAS No. 99 mengharuskan auditor untuk menerapkan prosedur baru
yang bertujuan untuk mengetahui lingkungan perusahaan dan untuk mengevaluasi
jumlah luas informasi baru dalam upaya untuk mengidentifikasi fakta dan keadaan
yang mengindikasikan adanya tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi (Skousen et
al., 2008).

35

2.3.1 Konsep Fraud Triangle
Fraud

Triangle

merupakan

konsep

pencegahan

dan

pendeteksian fraud yang dicetuskan oleh Donald R. Cressey pada
tahun 1953 dan disebut juga Cressey’s Theory. Konsep dari fraud
triangle ini diperkenalkan dalam literatur profesional pada Statement
of Auditing Standard (SAS 99), Consideration of Fraud in a
Financial Statement Audit, diprakarsai penelitian Cressey yang
berjudul Other People’s Money; A Study in the Social Psychology of
Emblezzment.

Penelitian Cressey ini secara umum menjelaskan

alasan mengapa orang-orang melakukan fraud. Melalui serangkaian
wawancara dengan 113 orang yang telah di hukum karena
melakukan penggelapan uang perusahaan, yang disebutnya “trust
violators” atau “pelanggar kepercayaan”.
Cressey (1953) dalam Gagola (2011) menyimpulkan bahwa :
Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia
melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah
keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, sadar
bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya dengan
menyalahgunakan kewenangannya sebagai pemegang kepercayaan
di
bidang
keuangan,
dan
tindak-tanduk
sehari-hari
memungkinkannya menyesuaikan pandangan mengenai dirinya
sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana
atau kekayaan yang dipercayakan.
Cressey menyimpulkan terdapat 3 kondisi yang selalu hadir dalam
kegiatan kecurangan perusahaan yakni tekanan atau pressure, kesempatan
atau opportunity, dan rasionalisasi atau rationalization.

36

2.3.2 Elemen Fraud Triangle
Fraud triangle menjelaskan terdapat tiga faktor yang hadir
dalam setiap situasi fraud:
1. Tekanan (Pressure)
Tekanan (Pressure) adalah insentif/dorongan/kebutuhan yang
mendorong orang untuk melakukan fraud. Menurut Wind
(2014), tekanan datang dari harapan yang tidak realistis dari
investor, bank, atau sumber keuangan lainnya. Tekanan dapat
mencakup hampir semua hal, baik yang bersifat finansial
maupun non finansial. Tekanan yang bersifat finansial muncul
karena adanya tuntutan gaya hidup, tuntutan ekonomi, perilaku
gambling. Sedangkan tekanan yang bersifat non finansial
muncul karena adanya dorongan untuk menutupi kinerja yang
buruk sementara tuntutan pekerjaan adalah untuk mendapatkan
hasil yang terbaik. Menurut SAS No. 99, terdapat empat jenis
kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat
mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah financial
stability, external pressure, personal financial need, dan
financial targets.
2. Kesempatan (Opportunity)
Kesempatan (Opportunity) adalah situasi yang memungkinkan
terjadinya fraud. Kesempatan untuk melakukan fraud muncul
karena para pelaku fraud (fraudster) percaya bahwa aktivitas

37

mereka tidak akan terdeteksi. Bahkan jika aksinya diketahui,
maka tidak ada tindakan serius yang akan diambil (impunitas).
Kesempatan dapat terjadi karena pengendalian internal yang
tidak ada atau lemah, manajemen pengawasan yang kurang
baik, dan atau penyalahgunaan posisi atau otoritas. Kegagalan
untuk menetapkan prosedur yang memadai untuk mendeteksi
aktivitas fraud juga meningkatkan kesempatan terjadinya
kecurangan. Ketiga elemen fraud triangle, opportunity
memerlukan pengawasan struktur organisasi mulai dari atas.
Organisasi harus membangun adanya proses, prosedur dan
pengendalian yang bermanfaat dan menempatkan karyawan
dalam posisi tertentu agar mereka tidak dapat melakukan
kecurangan dan efektif dalam mendeteksi kecurangan seperti
yang dinyatakan dalam SAS No. 99. Dengan demikian,
kesempatan melakukan fraud dapat diminimalisir dan fraud
dapat terdeteksi sedini mungkin. Menurut SAS No. 99,
terdapat tiga jenis kondisi yang umum terjadi pada opportunity
yang dapat mengakibatkan kecurangan, yaitu Nature of
Industry, Ineffective Monitoring, dan Organizational Structure.
3. Rasionalisasi (Rationalization)
Rasionalisasi (Rationaization) merupakan pembenaran atas
perbuatan/tindakan yang dilakukan. Rasionalisasi merupakan
bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur (Skousen et

38

al., 2008). Sikap atau karakter adalah apa yang menyebabkan
satu atau lebih individu untuk secara rasional melakukan fraud.
Para pelaku fraud biasanya mencari berbagai alasan secara
rasional untuk menjustifikasi tindakan mereka. Rasionalisasi
bisa sangat sederhana, bahkan untuk kejahatan keuangan yang
kompleks. Rasionalisasi atau sikap (attitude) yang paling
banyak digunakan adalah meminjam (borrowing) aset yang
dicuri dengan alasan bahwa tindakannya dilakukan untuk
membahagiakan orang-orang yang dicintainya (Rini, 2012).

2.4 Fraudulent Financial Reporting
2.4.1 Konsep Fraudulent Financial Reporting
National Commission on Fraudulent Financial Reporting
(1987) mendefinisikan kecurangan pelaporan keuangan sebagai
perilaku yang disengaja atau ceroboh, baik berupa tindakan atau
kelalaian, yang menghasilkan laporan keuangan yang secara material
menyesatkan (bias).

Pernyataan diatas sejalan dengan pendapat

Tuanakotta (2010) yang mengatakan bahwa kecurangan dalam
pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting) diartikan
sebagai kesengajaan atau kecerobohan dalam melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, yang
menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan secara
material. Kecurangan pelaporan keuangan dapat melibatkan banyak

39

faktor dan dalam berbagai bentuk.

Ini mungkin memerlukan

penyimpangan/distorsi kotor yang disengaja atas catatan perusahaan,
seperti kartu jumlah persediaan atau pemasuan transaksi, seperti
penjualan atau pesanan fiktif. Karyawan perusahaan pada tingkat
manapun mungkin terlibat, dari manajemen tingkat atas, menengah
sampai bawah. Jika perilaku tersebut disengaja, atau begitu ceroboh
itu sama dengan perilaku yang disengaja secara hukum, dan hasil
kecurangan laporan keuangan tercakup dalam definisi operasional
Komisi dalam bentuk kecurangan pelaporan keuangan
Menurut National Commission on Fraudulent Financial
Reporting (1987), Kecurangan pelaporan keuangan (FFR) berbeda
dengan penyebab lain dari laporan keuangan yang secara material
menyesatkan, seperti kesalahan yang tidak disengaja. Komisi ini
juga membedakan kecurangan pelaporan keuangan dari kejanggalan
perusahaan lainnya, seperti penggelapan karyawan, pelanggaran
peraturan keamanan lingkungan atau produk, dan kecurangan pajak,
yang tidak selalu menyebabkan laporan keuangan menjadi tidak
akurat secara material.
ACFE (2008) dalam National Commission on Fraudulent
Financial

Reporting

(1987)

mendefinisikan

FFR

sebagai

penghilangan fakta material atau data akuntansi atau salah saji yang
sengaja dilakukan dengan hati-hati, untuk menyesatkan dan, bila
dipertimbangkan dengan semua informasi yang tersedia, akan

40

menyebabkan pembaca mengubah penilaiannya dalam membuat
keputusan, biasanya berkaitan dengan investasi. Definisi ini penting
karena ACFE menekankan pada proses pengambilan keputusan
investor yang bergantung pada laporan keuangan yang disediakan.
Dalam prakteknya, penipuan keuangan terutama terdiri dari
memalsukan

laporan

keuangan

yang

mencakup

unsur-unsur

manipulasi yang melebih-lebihkan aset, penjualan dan laba, atau
mengecilkan kewajiban, biaya, atau kerugian. (Dalnial, 2014).
Dalam Statement on Auditing Standards (SAS) No.99 (AU
Section 316), yang berjudul Consideration of Fraud in a Financial
Statement Audit, yang diterbitkan oleh Auditing Standard Board
(ASB) dibawah naungan American Institute of Public Accountant
(AICPA) pada Oktober 2002, fraudulent financial reporting
merupakan salah satu dari dua jenis kesengajaan penyalahsajian
yang relevan dengan audit atas laporan keuangan dan pertimbangan
auditor atas terjadinya fraud. Fraudulent financial reporting
diartikan sebagai saji yang timbul dari kecurangan pelaporan
keuangan adalah salah saji yang disengaja atau kelalaian dalam
jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang didesain
untuk untuk menipu pengguna laporan keuangan di mana efeknya
menyebabkan laporan keuangan tidak disajikan, dalam semua hal
yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum
(GAAP).

41

2.4.2 Faktor Pemicu Fraudulent Financial Reporting
Menurut SAS No. 99, terdapat tiga hal penyebab kecurangan
pelaporan keuangan, yaitu:
a. manipulasi, falsifikasi/pemalsuan, atau alterasi/perubahan atas
catatan akuntansi dan dokumen pendukung dari laporan
keuangan yang disusun,
b. kesalahan penyajian (misrepresentation) atau kelalaian yang
disengaja dalam peristiwa, transaksi, atau informasi penting
lainnya yang signifikan terhadap laporan keuangan,
c. melakukan secara sengaja salah penerapan (misapplication)
prinsip-prinsip akuntansi yang berhubungan dengan jumlah,
klasifikasi, penyajian, dan pengungkapan.
Penyebab FFR menurut Darmawati & Mediaty (2014) adalah
1) keserakahan, dalam kasus Enron dan banyak kasus di Indonesia.
2) adanya tekanan yang dirasakan oleh manajemen untuk
menunjukkan prestasi.

Misalnya ketika perusahaan mengalami

penurunan pangsa pasar dan sudah terlanjur berjanji di awal tahun
mengenai sasaran Earning per share (EPS) tentu saja akan berusaha
berada pada janjinya itu walaupun dengan jalan fraudulent financial
reporting.
Studi yang dilakukan National Commission on Fraudulent
Financial Reporting (1987), menyatakan bahwa FFR umumnya
terjadi sebagai hasil dari tekanan lingkungan, institusi, atau individu

42

dan kesempatan.

Adanya tekanan dan kesempatan menambah

tekanan dan insentif yang mendorong individu dan perusahaan untuk
melakukan FFR dan hadir pada berbagai level perusahaan.

Jika

campuran dari tekanan dan kesempatan hadir, FFR dapat terjadi.
Insentif untuk melakukan FFR dalam meningkatkan tampilan
keuangan

perusahaan

umumnya

adalah

keinginan

untuk

mendapatkan harga saham atau penawaran hutang yang lebih tinggi
atau untuk memenuhi harapan investor.

Insentif lain mungkin

keinginan untuk menunda berurusan dengan kesulitan keuangan dan
dengan demikian menghindari, misalnya, melanggar perjanjian
hutang ketat.

Kali lain insentif adalah keuntungan pribadi:

kompensasi tambahan, promosi, atau melarikan diri dari hukuman
untuk kinerja yang buruk.
Tekanan situasional pada perusahaan atau manajer individual
juga dapat menyebabkan FFR. Contoh dari tekanan situasional ini
meliputi:


pendapatan

atau

pangsa

pasar

mengalami

penurunan

mendadak. Sebuah perusahaan tunggal atau seluruh industri
dapat mengalami penurunan ini,


tekanan anggaran yang tidak realistis, terutama untuk hasil
jangka pendek.

Tekanan ini dapat terjadi ketika pimpinan

sewenang-wenang menentukan target dan anggaran laba tanpa
memperhitungkan kondisi yang sebenarnya,

43



tekanan keuangan yang dihasilkan dari rencana bonus yang
bergantung pada kinerja ekonomi jangka pendek. Tekanan ini
sangat akut ketika bonus adalah komponen yang signifikan
dari jumlah kompensasi individu.
Kesempatan untuk FFR hadir saat kecurangan lebih mudah

untuk dilakukan dan kemungkinan dideteksi kurang. Kesempatan
tersebut sering muncul dari:


tidak adanya dewan direksi atau komite audit yang waspada
mengawasi proses pelaporan keuangan;



pengendalian akuntansi internal yang lemah atau tidak ada.
Situasi ini dapat terjadi, misalnya, ketika sistem pendapatan
perusahaan kelebihan beban dari ekspansi yang cepat dari
penjualan, akuisisi divisi baru, atau masuk ke dalam lini bisnis
baru yang asing;



transaksi yang tidak biasa atau kompleks.

Contohnya

termasuk konsolidasi dua perusahaan, divestasi atau penutupan
operasi tertentu, dan perjanjian untuk membeli atau menjual
sekuritas pemerintah dengan janji dibeli kembali;


perkiraan

akuntansi

membutuhkan

penilaian

subjektif

signifikan oleh manajemen perusahaan. Contohnya termasuk
cadangan untuk kerugian pinjaman dan provisi tahunan untuk
biaya garansi;

44



staf audit internal tidak efektif. Situasi ini mungkin akibat dari
ukuran staf yang tidak memadai dan ruang lingkup audit
sangat terbatas .
Sebuah iklim etika perusahaan yang lemah memperburuk

situasi ini. Kesempatan untuk FFR juga meningkat secara dramatis
ketika prinsip akuntansi untuk transaksi yang tidak ada, berkembang,
atau tunduk pada penafsiran yang berbeda-beda.

2.4.3 Pelaku dan Sarana yang digunakan
Menurut National Commission on Fraudulent Financial
Reporting (1987), individu dengan peran yang berbeda dalam
perusahaan - perwakilan penjualan, manajer operasi, akuntan, dan
eksekutif - telah melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Dalam
sebagian

besar

kasus,

bagaimanapun,

manajemen

puncak

perusahaan, seperti CEO, presiden, dan CFO, adalah pelaku. Dalam
beberapa kasus, perusahaan membuat kekeliruan yang disengaja
untuk

akuntan

publik

independen,

kadang-kadang

dengan

memalsukan dokumen dan catatan.
Selanjutnya, National Commission on Fraudulent Financial
Reporting (1987) mengungkapkan bahwa, sementara pelaku
penipuan menggunakan pelaporan keuangan dengan banyak cara
yang berbeda, efek dari tindakan mereka hampir selalu untuk
menaikkan atau "memper-halus" laba atau melebih-lebihkan aset

45

perusahaan. Selain itu, kecurangan pelaporan keuangan biasanya
tidak tidak dimulai dengan tindakan yang disengaja terbuka untuk
mendistorsi laporan keuangan. Dalam banyak kasus, kecurangan
pelaporan keuangan adalah puncak dari serangkaian aksi yang
dirancang untuk merespon kesulitan operasional. Awalnya, kegiatan
mungkin tidak kecurangan, tetapi seiring waktu mereka bisa menjadi
semakin dipertanyakan, hasil akhirnya mungkin kecurangan laporan
keuangan.
Skenario

ini

menggambarkan

bagaimana

kecurangan

pelaporan keuangan dapat terjadi: CEO, di bawah tekanan untuk
terus meningkatkan penjualan, memiliki departemen pengiriman
dengan jam bekerja lebih panjang di hari menjelang akhir kuartal.
Seperti tumpukan tekanan, ia meramu situasi dengan menunda
pengakuan retur penjualan, menginstruksikan perwakilan penjualan
untuk "membuat kartu penjualan." Akhirnya, ia melakukan sebuah
tindakan kecurangan, dengan mengakui pendapatan dari persediaan
yang dikirim ke pelanggan tanpa otorisasi atau dari persediaan
dikirim ke gudang publik.

Dia mungkin juga melebih-lebihkan

penjualan dengan mengakui pendapatan dari pengakuan penjualan
bahwa tidak terwujud karena kondisi material tidak puas; mengakui
pendapatan dari penjualan kuartal keempat diklaim meskipun
pengiriman tidak terjadi sampai setelah akhir tahun; dan dengan

46

tidak

sesuai

memperlakukan

pengiriman

konsinyasi

kepada

salesman sebagai penjualan.
Metode yang digunakan untuk menunda beban periode lancar
atau melebih-lebihkan aset sama beragamnya.

Hal itu termasuk

mengeluarkan permintaan pembelian palsu untuk vendor, yang
kemudian mengirimkan faktur palsu yang secara curang menurunkan
biaya suku cadang rutin dan meningkatkan biaya kapitalisasi
peralatan, gagal menghapus aset yang telah dibatalkan atau tidak
bisa ditempatkan, dengan tidak sesuai mengubah umur depresiasi
aset tetap perusahaan, gagal membuat cadangan yang memadai
untuk kerugian yang diketahui pada persediaan usang atau pinjaman
tunggakan, dan pencatatan aset tidak ada dengan memalsukan kartu
hitung persediaan.

2.5 Earning Management
2.5.1 Konsep Earning Management
Manajemen laba merupakan sebuah fenomena umum yang
terjadi di sejumlah perusahaan.

Praktik yang dilakukan untuk

mempengaruhi angka laba dapat terjadi secara legal maupun tidak
legal.

Praktik legal dalam manajemen laba berarti usaha untuk

mempengaruhi angka laba tidak bertentangan dengan aturan
pelaporan keuangan yakni sesuai Prinsip-Prinsip Akuntansi yang
Berlaku Umum, khususnya dalam Standar Akuntansi, yaitu dengan

47

cara memanfaatkan kesempatan untuk membuat estimasi akuntansi,
melakukan perubahan metode akuntansi, dan menggeser periode
pendapatan atau biaya. Adapun manajemen laba yang dilakukan
secara illegal (disebut juga dengan financial fraud), dilakukan
dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan oleh Prinsip-Prinsip
Akuntansi yang Berlaku Umum, yaitu dengan cara melaporkan
transaksi-transaksi pendapatan atau biaya secara fiktif dengan cara
menambah (mark up) atau mengurangi (mark down) nilai transaksi,
atau mungkin dengan tidak melaporkan sejumlah transaksi, sehingga
akan menghasilkan laba pada nilai/tingkat tertentu yang dikehendaki.
Schipper (1997)

dalam

Rezaee (2002)

mendefinisikan

manajemen laba sebagai suatu intervensi terhadap proses pelaporan
keuangan eksternal untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi.
Menurut Primanita & Setiono (2006), manajemen laba (earning
management) adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan untuk mempengaruhi laba (income) yang dilaporkan
yang dapat memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis
(economic advantage) yang sesungguhnya tidak dialami perusahaan
dalam jangka panjang bahkan merugikan perusahaan.
Menurut Scott (2006) dalam Noviana (2011), pengelolaan laba
(earning management) adalah pemilihan kebijakan akuntansi oleh
manajemen untuk dapat mencapai beberapa tujuan tertentu.
Pemilihan kebijakan akuntasi tersebut termotivasi dari tujuan

48

efisiensi maupun oportunistik.

Pengelolaan laba bersifat efisien

apabila manajemen perusahaan berusaha untuk menambah tingkat
transparansi laba dalam mengkomunikasikan hal yang bersifat
informasi
oportunistik

internal
apabila

perusahaan.
manajemen

Pengelolaan
perusahaan

laba
berusaha

bersifat
untuk

memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri.
Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya pada latar
belakang penelitian ini, kasus earning management secara ilegal
telah terjadi pada perusahaan berskala besar seperti Enron, Xerox
Corporation, WorldCom, Walt Disney Company, dan mayoritas
perusahaan lain di Amerika Serikat. Di Indonesia, praktik earning
management terjadi pada PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia Farma Tbk.

2.5.2 Pola Earning Management
Menurut Scott (2003), bentuk-bentuk manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer antara lain: (a) taking a bath, dilakukan
ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari
pada periode berjalan, dengan cara mengakui biaya-biaya pada
periode-periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan; (b)
income minimization, dilakukan saat perusahaan memperoleh
profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat
perhatian secara politis.

Kebijakan yang diambil bisa berupa

pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat

49

dan sebagainya. Cara ini mirip dengan taking a bath namun tidak
terlalu ekstrim; (c) income maximization, yaitu memaksimalkan laba
agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian pula dengan
perusahaan yang mendekati suatu pelanggaran kontrak hutang
jangka panjang, manajer perusahaan tersebut akan cenderung untuk
memaksimalkan laba; (d) income smoothing, merupakan bentuk
manajemen laba yang paling sering dilakukan dan paling populer.
Melalui ncome smoothing, manajer menaikkan atau menurunkan
laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga
perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi.

2.5.3 Faktor Pemicu Earning Management
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive
Accounting Theory dan Agency Theory.

Watts dan Zimmerman

(1986) dalam Watts dan Zimmerman (1990) mengusulkan tiga
hipotesis yang dapat dijadikan dasar tindakan manajemen laba yaitu
sebagai berikut:
(1) hipotesis program bonus (bonus plan hypotesis). Hipotesis ini
menyatakan bahwa manajer pada perusahaan yang menerapkan
rencana pemberian bonus lebih cenderung untuk menggunakan
metode atau prosedur-prosedur akuntansi yang dapat menggeser laba
periode mendatang ke periode berjalan sehingga dapat menaikkan
laba saat ini; (2) hipotesis perjanjian hutang (debt/equity hypotesis).

50

Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio
Debt/Equity tinggi atau menghadapi kesulitan hutang, maka manajer
perusahaan akan cenderung menggunakan metode akuntansi yang
dapat meningkatkan laba; (3) hipotesis biaya politis (political cost
hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer perusahaan
berskala besar dengan biaya politik yang tinggi cenderung memilih
metode akuntansi yang dapat menangguhkan laba yang dilaporkan
dari periode sekarang ke periode masa mendatang. Biaya politik
muncul disebabkan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat
menarik perhatian media dan konsumen.
Secara umum, metode yang digunakan untuk melakukan
manajemen laba yaitu: 1. manajemen accrual; 2. manajemen waktu
dalam mengadopsi kebijakan akuntansi;
yang bersifat voluntary.

Adapun

3. perubahan akuntansi
caranya adalah dengan

memanipulasi variabel artificial (akuntansi) melalui pemilihan
metode akuntansi yang diperbolehkan/diijinkan ataupun melalui
variabel riil (transaksional) dengan memanipulasi pendapatan, biaya
atau aktivitas perusahaan yang tidak normal.

Manajemen laba

melalui variabel artificial misalnya dengan pemilihan teknik
akuntansi yang biasa untuk menaikkan atau menurunkan laba tahun
berjalan, misalnya: pemilihan metode depresiasi, tahun amortisasi,
metode pencatatan persediaan, pengakuan gain and losses, dan
sebagainya.

Manajemen laba dengan menggunakan variabel riil

51

(transaksional) dilakukan dengan cara memanipulasi penjualan dan
biaya-biaya, misalnya: mempercepat atau menunda penjualan akhir
tahun dan pencatatan biaya (Primanita & Setiono, 2006).
Dasar penyusunan laporan keuangan yang telah disepakati
ialah dasar akrual. Pemilihan basis akrual sebagai dasar penyusunan
laporan keuangan bertujuan untuk menjadikan laporan keuangan
lebih informatif yaitu laporan keuangan yang mencerminkan kondisi
yang sebenarnya. Earnings management tidak dapat secara langsung
diamati.

Sehingga

dibutuhkan

suatu

proksi

untuk

dapat

mengindikasi terjadinya manajemen laba.
Secara umum ada 3 kelompok model empiris manajemen laba
yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang digunakan,
yaitu (Sulistyanto, 2008) :
a. model berbasis akrual merupakan model yang menggunakan
discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model
manajemen laba ini dikembangkan oleh Healy (1985), De
Angelo (1986), Jones (1991), serta Dechow, Sloan dan
Sweeney (1995);
b. model yang berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang
menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan
menggunakan item laporan keuangan tertentu dari industri
tertentu pula. Model ini dikembangkan oleh Mc Nichols dan

52

Wilson (1988) Petroni (1992), Beaver dan Engel (1996),
Beneish (1997), serta Beaver dan Mc Nichols (1998);
c. model distribution of earnings dikembangkan oleh Burgatler
dan Dichey (1997), Degeorge, Patel, dan Zechauser (1999),
serta Myers dan Skinner (1999).
Sejauh ini hanya model berbasis agregate accruals yang
diterima secara umum sebagai model yang memberikan hasil paling
kuat dalam mendeteksi manajemen laba. Model berbasis aggregate
accruals yang digunakan adalah Modified Jones Model.

Model

tersebut dikembangkan oleh Dechow, Sloan, dan Sweeney (1995).
Komponen total accruals dalam Modified Jones Model dapat
dipisahkan menjadi 2, yaitu discretionary accruals dan non
discretionary

accruals.

Discretionary

accruals

merupakan

komponen total accruals yang berasal dari rekayasa manajerial
dengan

memanfaatkan

kebebasan

dan

fleksibilitas

dalam

menentukan nilai estimasi pada metode akuntansi.

2.6 Penelitian Terdahulu
Hingga hari ini telah banyak penelitian yang dilakukan terkait kecurangan
pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting).

Penelitian tentang

fraudulent financial reporting yang dilakukan berkenaan dengan pendeteksian
dan pengujian faktor risiko fraud triangle. Pada Tabel 2.2 berikut ini disajikan
beberapa penelitian mengenai fraudulent financial reporting.

53

Tabel 2.2
Review Penelitian Terdahulu
Nama
Peneliti
No.
(Tahun)
1. Persons
(1995)

Variabel
Dependen

Variabel
Independen

Fraudulent
Financial
Reporting

Financial Leverage,
Profitability, Asset
Composition,
Liquidity,
Capital
Turnover, Firm Size,
Overall
Financial
Position
Pertumbuhan Tinggi,
Kesalahan Perkiraan
Analisis, Kerugian,
Arus Kas Negatif
dari
Aktivitas
Operasi, Leverage,
Pledging,
Rasio
Investasi, Transaksi
Pihak
Istimewa,
CEO,
Auditor
Internal, Deviation In
Control Away From
Cash Flow Rights,
Penyajian
Ulang,
Pergantian Auditor,
Ukuran Perusahaan
Financial Distress,
Earning
Management,
Liquidity, Financial
Leverage,
Capital
Turnover, Firm Size
dan Profitability

2.

Lou dan
Wang
(2009)

Fraudulent
Financial
Reporting

3.

Ansar
(2011)

Fraudulent
Financial
Reporting

Anisa
(2012)

Fraudulent
Financial
Reporting

4.

Hasil Penelitian
Financial
leverage,
Asset
Composition,
Capital Turnover, Firm
size
berpengaruh
signifikan
terhadap
Fraudulent
Financial
Reporting. Sedangkan
variabel lainnya tidak.
Kecurangan pelaporan
berkaitan dengan salah
satu kondisi berikut:
Tekanan Keuangan dari
sebuah perusahaan atau
Supervisor perusahaan,
Rasio yang lebih tinggi
dari suatu transaksi yang
kompleks,
dipertanyakannya
integritas dari manajer
perusahaan, atau lebih
memburuknya hubungan
antara
perusahaan
dengan auditornya.

Capital Turnover dan
Profitability
memiliki
pengaruh
negatif
terhadap
Fraudulent
Financial
Reporting.
Sementara,
Financial
Distress,
Earning
Management, Liquidity,
Financial Leverage dan
Firm
Size
tidak
berpengaruh
terhadap
Fraudulent
Financial
Reporting.
Keahlian Keuangan Keahlian Komite Audit
Komite
Audit, secara
signifikan
Kepemilikan Saham berpengaruh
negatif

54

5.

Hutomo
(2012)

Fraudulent
Financial
Reporting

6.

Subroto
(2012)

Fraudulent
Financial
Reporting

7.

Dalnial
(2014)

Fraudulent
Financial

Manajerial, Ukuran dengan
terjadinya
Perusahaan,
dan Kecurangan Pelaporan
Tingkat Leverage
Keuangan.
Leverage
berhubungan positif dan
signifikan
terhadap
terjadinya Kecurangan
Pelaporan
Keuangan.
Sedangkan Kepemilikan
Manajerial dan Ukuran
Perusahaan
tidak
mempengaruhi
terjadinya Kecurangan
Pelaporan Keuangan.
Rasio-rasio finansial Cash ratio, return on
(Cash ratio, Debt to invesment berpengaruh
Total
Asset, signifikan
dalam
Inventory turnover, mendeteksi Kecurangan
Quick
ratio, Pelaporan
Keuangan.
Receivable Turnover, Sementara quick ratio,
ROI, Gross Profit inventory turnover, debt
Margin, EPS, PER, to total asset, receivable
turnover, gross profit
ROA),
Ukuran Perusahaan margin, EPS, PER, ROA
(Firm Size),
terbukti
tidak
Profit Growth
berpengaruh signifikan
dalam
mendeteksi
Kecurangan Pelaporan
Keuangan.
Karakteristik
Leverage,
ROA,
Perubahan Total Aset,
Perusahaan
(Leverage, ROA, dan Financial Distress, dan
Perubahan
Total Umur Perusahaan tidak
Aset,
Financial berpengaruh signifikan
Kecurangan
Distress, dan Umur terhadap
Keuangan.
Perusahaan)
dan Pelaporan
Karakteristik Auditor Audit Firm Tenure dan
Ekternal (Audit Firm Status KAP sebagai
Tenure dan Status variabel moderating juga
tidak dapat memoderasi
KAP)
Leverage,
ROA,
Perubahan Total Aset,
Financial Distress, dan
Umur
Perusahaan
terhadap
Kecurangan
Pelaporan Keuangan.
Financial leverage, Rasio Finansial seperti
Profitability, Asset TD/TA
(proksi

55

Reporting

8.

Rachmawati Fraudulent
dan
Financial
Marsono
Reporting
(2014)

9.

Rosita
(2014)

Fraudulent
Financial
Reporting

10.

Wicaksono
dan Chariri
(2015)

Fraudulent
Financial
Reporting

Composition,
Financial leverage) dan
Liquidity,
Capital REC/REV
(proksi
Turnover, Size
Capital
Turnover)
merupakan
prediktor
yang signifikan untuk
mendeteksi Kecurangan
Pelaporan Keuangan.
Kepemilikan Asing,
Multijabatan
Dewan
Direksi dan Pergantian
Kemampuan
Perusahaan dalam
Auditor
memiliki
pengaruh
signifikan
Memenuhi
Kewajibannya,
terhadap
Kecurangan
Pelaporan
Keuangan.
Target Keuangan,
Kepemilikan
Asing,
Efektivitas
Pengawasan,
Leverage,
Target
Multijabatan Dewan Keuangan, Efektivitas
Direksi, Transaksi
Pengawasan, Transaksi
Pihak Istimewa tidak
Pihak Istimewa,
berpengaruh signifikan
Pergantian Auditor.
terhadap
Kecurangan
Pelaporan Keuangan.
Stabilitas Finansial,
Stabilitas
Finansial,
Tekanan Eksternal,
Target Finansial dan
Kebutuhan Finansial Pengawasan yang Tidak
Personal, Target
Efektif
berpengaruh
Finansial,
terhadap
Kecurangan
Karakteristik
Pelaporan
Keuangan.
Industri, Pengawasan Sedangkan
Tekanan
yang Tidak Efektif
Eksternal,
Kebutuhan
Finansial Personal dan
Karakteristik
Industri
tidak
berpengaruh
terhadap
Kecurangan
Pelaporan Keuangan.
Ukuran Dewan
Komite
Audit
dan
Komisaris,
Efektivitas
Audit
Komposisi Dewan
Internal
berpengaruh
Komisaris
negatif
signifikan
Independen, Komite terhadap kemungkinan
Audit dan Efektivitas Kecurangan
dalam
Audit Internal
Pelaporan
Keuangan,
sedangkan
Ukuran
Dewan Komisaris dan
Komposisi
Dewan
Komisaris Independen
tidak berpengaruh secara

56

signifikan
terhadap
kemungkinan
Kecurangan
dalam
Pelaporan Keuangan.
Sumber: Data sekunder, diolah

Persons (1995) melakukan penelitian untuk menjawab keprihatinan publik
dan pengambil keputusan dengan mengidentifikasi sepuluh rasio laporan
keuangan yang berhubungan dengan kecurangan pelaporan keuangan.
Penelitian Persons menggunakan sampel perusahaan fraud dan nonfraud. Untuk
mengukur variabel

financial

leverag

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kebijakan Deviden Dan Kesempatan Investasi Terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI 2012-2015

0 6 47

PENGARUH FRAUD INDICATORS TERHADAP FRAUDULENT FINANCIAL STATEMENT (Studi Empiris Pada Perusahaan yang Listed di BEI Tahun 2013-2015)

7 39 124

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fraudulent Financial Reporting dalam Perspektif Fraud Triangle (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2012-2014

1 17 116

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 0 14

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 0 2

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 1 18

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 1 4

Pengaruh Faktor Risiko Tekanan dan Kesempatan dalam Perspektif Fraud Triangle Terhadap Fraudulent Financial Reporting Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2012-2015

0 0 13

MENDETEKSI DETECT FRAUDULENT REPORTING FINANCIAL STATEMENT

0 0 18

ANALISIS FRAUD DIAMOND DALAM MENDETEKSI FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING (Studi Empiris pada Perusahaan Perbankan yang Listed di BEI Tahun 2014- 2016) - Unissula Repository

1 16 9