Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes mellitus
2.1.1

Definisi
Diabetes mellitus didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai
akibat insufisiensi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
atau defisiensi produksi insulin oleh sel β Langerhans kelenjar pankreas atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Definisi DM lainnya menurut American Diabetes Association (ADA)
2014, adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dari hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

2.1.2

Klasifikasi


Klasifikasi DM terdiridari 4 jenis yaitu:
2.1.2.1 Diabetes Mellitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM)
DM tipe 1 merupakan penyakit kronik yang dapat dikarakteristikkan
dengan ketidakmampuan produksi insulin akibat destruksi autoimun dari sel β
pankreas. Pada kelompok penyakit ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali
sekresi insulin. Ketika massa sel β berkurang, maka sekresi insulin berkurang
sampai suatu saat insulin yang tersedia tidak dapat menormalkan kadar gula
darah. Setelah sel β hancur 80-90% akan terjadi hiperglikemia dan diabetes dapat
didiagnosis. Dengan demikian pada saat itu pasien memerlukan insulin eksogen.

7
Universitas Sumatera Utara

Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis. Selain akibat
autoimun, beberapa dari DM tipe 1 terjadi akibat proses yang idiopatik. DM tipe 1
yang bersifat idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada
ras tertentu Afrika dan Asia (American

Diabetes


Association, 2014;

Khardori,2015).
2.1.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2 atau Non- Insulin Dependent Diabetes
Mellitus(NIDDM)
Diabetes mellitus tipe 2 dikarakteristikkan dengan hiperglikemia dan
dihasilkan dari kombinasi resistensi insulin perifer dan tidak cukupnya sekresi
insulin oleh sel β pankreas. Walaupun etiologi spesifiknya tidak diketahui,
destruksi autoimun sel β tidak terjadi. Kelompok penyakit ini banyak terjadi pada
pasien yang mengalami kegemukan, dimana obesitas merupakan salah satu
penyebab resistensi insulin. Resistensi insulin dapat diperbaiki dengan
menurunkan berat badan dan/atau pengobatan hiperglikemia secara farmakologi,
tetapi jarang dapat pulih ke keadaaan normal (American diabetes association,
2014; Khardori,2015).
2.1.2.3 Diabetes Mellitus Gestasional (DM gestasional)
Kelompok penyakit ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan. Biasanya terjadi pada
trimester kedua dan ketiga. Penderita DM gestasional memiliki resiko lebih besar
untuk menerita DM yang menetap (American Diabetes Association, 2016).

2.1.2.4 Diabetes Melitus Tipe Lain
Kelompok penyakit ini terjadi karena etiologi lain, yaitu adanya gangguan
genetik fungsi sel β, gangguan genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, karena obat atau bahan kimia, infeksi, sebab imunologi yang

8
Universitas Sumatera Utara

jarang dan sindroma genetik lainnya yang kadang dihubungkan dengan diabetes
mellitus (American Diabetes Association, 2014).

2.1.3

Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko terjadinya DM terdiri atas :

a. Obesitas (Body Mass Index (BMI) ≥ 25 kg/m 2)
b. Kurang aktivitas fisik
c. Ras/ etnik beresiko tinggi
d. Wanita yang melahirkan bayi dengan berat

≥ 9 pon atau didiagnosis
dengan DM gestasional.
e. Hipertensi (≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi hipertensi)
f. Kadar kolesterol HDL≤ 35 mg/d L dan/atau kadar trigliserida > 250
mg/dL
g. HbA1C ≥ 5,7%, glukosa puasa terganggu dan gangguan toleransi glukosa
pada pengujian sebelumnya (American Diabetes Association, 2015).

2.1.4

Manifestasi klinis
Diabetes mellitus ditandai gejala yaitu poliuria (banyak berkemih),

polidipsia (banyak minum) dan polifagia (banyak makan). Jika jumlah glukosa
yang masuk tubulus ginjal dalam filtrat glomerulus meningkat kira-kira di atas
225 mg/menit, glukosa dalam jumlah bermaknamulai dibuang ke dalam urin. Jika
jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa
terjadi bila kadar glukosa darah meningkat melebihi 180 mg persen. Akibatnya
sering disebut “ambang” darah untuk timbulnya glukosa di dalam urin sekitar 180
mg persen.Saat kadar glukosa darah meningkat dan melebihi ambang batas ginjal


9
Universitas Sumatera Utara

maka glukosa yang berlebihan ini akan dikeluarkan (diekskresikan). Untuk
mengeluarkan glukosa melalui ginjal dibutuhkan banyak air (H2O). Hal ini yang
akan menyebabkan penderita sering kencing dan tubuh kekurangan cairan
(dehidrasi) sehingga timbul rasa haus yang menyebabkan banyak minum
(polidipsi). Gejala ini sering disertai dengan kelelahan karena ketidakmampuan
untuk menggunakan glukosa dan penurunan berat badan karena pemecahan
protein tubuh dan lemak sebagai alternatif sumber energi glukosa. Pengelihatan
kabur yang disebabkan oleh perubahan lensa refraksi juga dapat terjadi. Pasien
juga mengalami tingkat infeksi yang lebih tinggi terutama candida dan infeksi
saluran kemih karena peningkatan glukosa urin (Guyton, 1992; Tjay dan
Rahardja, 2007; Walker and Whittlesea, 2012).

2.1.5

Diagnosis
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas berupa poliuria,


polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu
(GDS) ≥ 200 mg/d L diagnosis sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan
Glukosa Darah Puasa (GDP)≥ 126 mg/d L juga dapat digunakan untuk pedoman
diagnosis diabetes mellitus. Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis DM, sehingga diperlukan pemeriksaan lebih lanjut (Ditjen
Bina Farmasi dan Alkes, 2005; Ndraha, 2014).

10
Universitas Sumatera Utara

Menurut ADA (2015) seseorang menderita DM apabila:
1. HbA1C ≥ 6,5 %
2. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak
mendapat kalori sedikitnya 8 jam.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada
TTGO ≥ 200 mg/d L (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar
WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus

yang dilarutkan ke dalam air.
4. Glukosa plasma acak ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi DM terdiri dari:
1) Komplikasi Akut
Ada tiga komplikasi DM yang dapat terjadi dan berhubungan dengan gangguan
keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut
adalah:
a)

Hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi jika kadar glukosa darah turun dibawah 60 mg/dL.
Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang
berlebihan, menurunnya asupan makanan, atau aktifitas fisik yang berat.
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing,
lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, detak jantung meningkat,
sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi
kerusakan otak dan akhirnya kematian. Untuk mengatasinya dapat diberikan


11
Universitas Sumatera Utara

glukosa oral atau jika perlu glukosa intravena (Rubenstein, dkk., 2003;
Guthrie dan Richard, 2004).
b)

Ketoasidosis Diabetik

Ketoasidosis diabetik diawali dengan terjadinya hiperglikemia. Dalam hal ini
hiperglikemia terjadi pada saat tubuh sangat kekurangan insulin, sehingga
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel. Ketika hal ini terjadi untuk
memenuhi kebutuhan energi diperlukan sumber energi alternatif, akibatnya
dihasilkan keton dari asam lemak bebas. Produksi keton dari pemecahan
asam lemak dapat menyababkan tubuh menjadi lebih asam.Keadaan yang
lebih parah dapat terjadi ketika defisiensi insulinberkepanjangan yang
mengakibatkan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit. Pada ketoasidosis
diabetik kadar gula darah tidak perlu terlalu tinggi, biasanya kadarnya 300900 mg/dL. Onsetnya bertahap selama beberapa jam atau beberapa hari.
Gejalanya dapat berupa rasa haus dan mulut kering, poliuria, sesak nafas,

mual dan muntah, nyeri kepala dan nyeri perut, mengantuk yang bisa
berlanjut menjadi bingung dan koma. Pengobatannya dapat dilakukan dengan
memberikan cairan (untuk melarutkan glukosa dan rehidrasi), insulin dan
elektrolit (biasanya kalium, natrium dan fosfat) (Rubenstein, dkk., 2003;
Guthrie dan Richard, 2004).
c)

Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik

Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) merupakan komplikasi
akut pada DM dengan tanda-tanda dehidrasi tanpa disertai ketosis. Onsetnya
lambat dengan poliuria selama 2-3 minggu dan dehidrasi progresif.Dalam hal
ini terjadi peningkatan kadar gula darah yang sangat tinggi (800 mg/dL-2000

12
Universitas Sumatera Utara

mg/dL) dan osmolaritas plasma meningkat (sering kali di atas 400 osmol/l).
Penggobatannya dapat dilakukan dengan memberikan cairan, kalium dan
insulin(Rubenstein, dkk., 2003; Guthrie dan Richard, 2004).

2)

Komplikasi Kronik

Komplikasi jangka panjang DM dapat menyerang semua sistem organ dalam
tubuh. Kategori komplikasi kronik DM adalah:
a)

Komplikasi Makrovaskuler

Komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita DM adalah
penyakit jantung koroner (coronary heart disease = CHD), penyakit pembuluh
darah otak dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral vascular disease =
PVD). Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita
diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung sangat penting
dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid
darah. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya,
termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah
raga


secara

teratur,

tidak

merokok,

mengurangi

stress

dan

lain

sebagainya(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
b)

Komplikasi Mikrovaskuler

Hiperglikemia

yang

persisten

dan

pembentukan

protein

yang

terglikasi(termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi
makinlemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh
darahkecil.

Hal

inilah

komplikasimikrovaskuler,

yang

mendorong

antara

lain

timbulnya

retinopati,

komplikasi-

nefropati,

dan

neuropati(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

13
Universitas Sumatera Utara

2.1.7 Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah mengurangi resiko untuk komplikasi penyakit
mikrovaskuler dan makrovaskuler, untuk memperbaiki gejala, mengurangi
kematian dan meningkatkan kualitas hidup (Dipiro, et al., 2008).
1) Terapi Non Farmakologi
a) Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien DM. Yang terpenting
dari terapi nutrisi adalah tercapainya hasil metabolik optimal dan pencegahan
serta pengobatan komplikasi. Pasien DM membutuhkan porsi makan dengan
karbohidrat yang sedang dan rendah lemak, dengan fokus pada keseimbangan
makanan yang direkomendasikan. Pasien dengan DM tipe 2 sering memerlukan
pembatasan kalori untuk penurunan berat badan. Penurunan berat badan telah
dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β
terhadap stimulus glukosa (Dipiro, et al., 2008; Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
b) Aktivitas
Olahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olahraga berat, olahraga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh
olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,
dan lain sebagainya. Olahraga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan

14
Universitas Sumatera Utara

aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan
glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2) Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan terapi non farmakologi.
a) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi:
1. Sulfonilurea
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan
untuk penderita DM dewasa baru dengan berat badan normal dan dibawah normal
serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Obat-obat kelompok ini
bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya
efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Penurunan
kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin di kelenjar pankreas (Ditjen Bima
Farmasi dan Alkes, 2005).
Sulfonilurea berikatan dengan sulfonilurea reseptor 1(SUR1) dan
menghambat kanal kalium yang sensitif adenosin trifosfat (k-ATP) d i sel β
pankreas sehingga penutupan kanal k-ATP inimenurunkan keluarnya kalium dan
menyebabkan depolarisasi membran sel β pankreas, selanjutnya kanal Ca2+
terbuka

dan

terjadi

influks

kalsium.

Peningkatan

kalsium

didalam

selmengakibatkan pergeseran granul insulin keluar sel kemudian terjadi
eksositosis. Sekresi insulin yang meningkat ini masuk ke vena porta, seterusnya
menekan produksi glukosa. Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus

15
Universitas Sumatera Utara

cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral (Brunton dan Parker, 2008; Dipiro,
et al., 2008; Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Sulfonilurea terdiri dari dua generasi, yakni generasi pertama dan generasi
kedua. Contoh obat sulfonilurea generasi pertama adalah tolbutamida,
asetoheksamida, tolazamida, dan klorpropamida. Sedangkan generasi kedua
antara lain gliburida (glibenklamida), glipizida, glikazida,dan glimepirida. Obatobat generasi kedua lebih kuat dibandingkan generasi pertama (Brunton dan
Parker, 2008; Dipiro, et al., 2008).
2. Meglitinid
Meglitinid terdiri dari nateglinide dan repaglinide bekerja seperti
sulfonilurea dengan menstimulasi sekresi insulin dari sel β-pankreas. Namun
berbeda dengan sulfonilurea, meglitinid memiliki onset yang cepat dengan durasi
kerja yang pendek. Terapi kombinasi obat-obat ini dengan metformin atau
glitazon memberikan efek yang lebih baik dari pada monoterapi. Efek samping
akibat penggunaan obat-obat ini adalah hipoglikemia, namun risiko hipoglikemia
yang muncul lebih rendah dari pada akibat penggunaan sulfonilurea. Obat-obat ini
diabsorbsi dengan baik setelah diberikan 1-30 menit sebelum makan. Meglitinid
dimetabolisme di hati menjadi produk metabolit tidak aktif dan di ekskresikan
melalui empedu (Finkel, dkk., 2009).
3. Biguanid
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati,
menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak
merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

16
Universitas Sumatera Utara

Satu-satunya senyawa biguanid yang masih dipakai sebagai obat
hipoglikemik oral saat ini adalah metformin. Obat ini tidak merangsang pelepasan
insulin dari pankreas dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia bahkan
dalam dosis besar. Golongan biguanid ini mempunyai efek menurunkan kadar
gula darah yang meningkat pada penderita diabetes mellitus. Penurunan kadar
gula darah ini disebabkan oleh peningkatan asupan glukosa ke otot, penurunan
glukoneogenesis dan penghambatan absorbsi glukosa disaluran cerna. Metformin
meningkatkan sensitivitas insulin di hati dan jaringan periferal (otot). Namun
Mekanisme pasti bagaimana metformin dapat meningkatkan sensitifitas insulin
masih diteliti. Efeknya ialah turunnya kadar gula darah dan penurunan berat
badan karena bersifat menekan nafsu makan sehingga layak diberikan pada
penderita yang gemuk. Metformin menurunkan nilai HbA1c sekitar 1,5% sampai
2%, gula darah puasa 60 mg/dl sampai 80mg/dl. Metformin juga dapat
menurunkan kadar trigliserida dan LDL kolesterol sekitar 8% sampai 15% dan
juga dapat meningkatkan HDL kolesterol hingga 2%, sehingga dalam hal ini
metformin telah terbukti mengurangi terjadinya komplikasi makrovaskuler
(Brunton dan Parker, 2008; Dipiro, et al., 2008; Tjay dan Rahardja, 2007).
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang-kadang
diare, dan dapat menyebabkan asidosis laktat. Metformin dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, riwayat asidosis laktat, gagal
jantung yang memerlukan terapi obat atau pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (Brunton dan Parker, 2008; Dipiro, et al., 2008; Ditjen Bina Farmasi
dan Alkes, 2005).

17
Universitas Sumatera Utara

4. Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah agonis untuk peroxisome proliferator–activated
receptor γ (PPAR γ). PPAR γ mengaktifkan gen insulin-responsif yang mengatur
metabolisme karbohidrat dan lemak. Tiazolidindion bekerja dengan mengikat
pada PPAR-γ, yang terutama ada pada sel lemak dan sel vaskular. Tiazolidindion
secara tidak langsung meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, hati dan
jaringan lemak. Kerja farmakologisnya luas berupa penurunan kadar glukosa
dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan
hati. Akibatnya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat.
Efek lainnya antara lain dapat menurunkan kadartrigliserida,asam lemak bebas
dan mengurangi glukoneogenesis dalam hati.Contoh obat yang termasuk
golongan ini adalah rosiglitazone dan pioglitazone (Brunton dan Parker, 2008;
Dipiro, et al., 2008).
5. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase
(maltase, isomaltase, sukrase, dan glukoamilase) yang terdapat pada “brush
border” dipermukaan membran usus halus, menunda pemecahan sukrosa dan
karbohidrat kompleks. Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah akarbose
dan miglitol. Efeknya adalah menurunkan kadar gula darah sesudah makan.
Penghambat alfa glukosidase dapat digunakan sebagai monoterapi pada pasien
usia lanjut atau pada pasien dengan didominasi hiperglikemia postprandial. Obat
ini biasanya digunakan dalam kombinasi dengan antidiabetik oral lainnya
dan/atau insulin. Obat ini harus diberikan diawal saat makan. Sebagai monoterapi
obat-obat ini tidak menyebabkan hipoglikemia, tetapi ketika digunakan dalam

18
Universitas Sumatera Utara

bentuk kombinasi dengan sulfonilurea atau insulin hipoglikemia dapat terjadi.
Efek samping utamanya adalah kembung, diare dan kram abdomen. Pasien yang
mengalami penyakit usus inflamasi (inflammatory bowel disease , ulserasi kolon
atau obstruksi usus tidak boleh menggunakan obat ini (Brunton dan Parker, 2008;
Dipiro, et al., 2008; Finkel, dkk., 2009).
6. DPP-IV inhibitors (Dipeptidyl Peptidase IV inhibitors)
Dipeptidyl peptidase IV (DPP-4) merupakan enzim yang terdapat di dalam
tubuh yang akan menurunkan aktivitas jenis hormon inkretin utama di dalam
tubuh

yaitu

glucagon-like

peptide-1

(GLP-1)

dan

glucose-dependent

insulinotropic polypeptide (GIP). Hormon inkretin berperan dalam meningkatkan
insulin endogen dalam menanggapi beban glukosa yang tinggi, yaitu postprandial. Selain itu juga dapat mengurangi jumlah glukosa yang diproduksi oleh
hati ketika kadar glukosa cukup tinggi. Dengan memblokir DPP-4, obat golongan
ini memperpanjang aktivitas inkretin dan menghambat pelepasan glukagon.
Dengan demikian dapat menyebabkan penurunan glukosa darah dan peningkatan
sekresi insulin. Contoh DPP-4 inhibitors adalah sitagliptin dan vildagliptin (Tjay
dan Rahardja, 2007; Walker dan Whittlesea, 2012).
b) Terapi insulin
Insulin merupakan hormon polipeptida dengan berat molekul 5808 untuk
insulin manusia, yang terdiri dari 51 asam amino yang tersusun dalam 2 rantai,
yakni rantai A terdiri dari 21 sam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino.
Antara rantai A dan B terdapat 2 gugus disulfida yaitu antara A-7 dengan B-7 dan
A-20 dengan B-19. Selain itu masih terdapat gugus disulfida antara asam amino
ke-6 dan ke-11 pada rantai A (Guyton, 1992; Gunawan, 2009).

19
Universitas Sumatera Utara

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada
DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak
lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe
I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat
di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM
Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan
terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
Insulin diperlukan pada penderita diabetes mellitus dengan kriteria berikut:
1.

Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi
insulin endogen oleh sel-sel β kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak
ada.

2.

Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin
apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa
darah.

3.

Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miokard akut atau stroke.

4.

DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin,
apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.

5.

Ketoasidosis diabetik.

6.

Pengobatan sindroma hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik.

7.

Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,
secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar

20
Universitas Sumatera Utara

glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika
terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
8.

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.

9.

Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
Beberapa sediaan insulin tersedia di pasaran yang berbeda dalam hal awal

kerja (onset) dan lama kerjanya (duration).Sebagaimana diuraikan sebagai
berikut:
1.

Insulin yang bekerja-cepat (rapid-acting)
Tiga analog insulin injeksi yang bekerja-cepat: insulin lispro, insulin aspart,
dan insulin glusin, dan satu bentuk inhalasi insulin yang bekerja cepat, yaitu
human insulin recombiant, kini tersedia dipasaran. Awal kerja insulin ini 1530 menit dengan puncak kerjanya 1-2 jam setelah disuntikkan dan lama
kerjanya 5-6 jam.

2.

Insulin yang bekerja-singkat (short-acting)
Contohnya insulin reguler (kristal zink insulin) efeknya tampak dalam waktu
30 menit dan mencapai puncak kerja 2-3 jam setelah disuntikkan melalui
subkutan dan biasanya berlangsung selama 6-8 jam.

3.

Insulin dengan masa kerja sedang (intermediate-acting)
Awal kerja insulin ini 2-4 jam dan mencapai puncak kerja 4-6 jam setelah
disuntikkan dengan lama kerjanya 14-18 jam.
Contohnya NPH (Neutral Protamine Hagedorn) dan Insulin lente.

21
Universitas Sumatera Utara

4.

Insulin dengan masa kerja lama (long-acting)
Terdapat 2 analog insulin yang bekerja lama, yaitu: insulin glargin dan insulin
detemir. Insulin glargin adalah analog insulin larut dengan masa kerja yang
sangat lama (ultra-long-acting) dan “tidak berpuncak” (yaitu, memiliki
plateau konsentrasi plasma yang lebar). Awal kerja insulin ini 4-5 jam setelah
disuntik dengan lama kerjanya 24 jam. Insulin detemir memiliki awal kerja 2
jam dan puncak kerjanya 6-9 jam setelah disuntikkan dengan lama kerjanya
24 jam (Dipiro, et al., 2008).

2.2

Drug Related Problems
Drug related problems adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien

terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome
yang diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut DRPs apabila terdapat dua
kondisi, yaitu:
(a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian ini dapat
berupa keluhan medis, gejala, diagnosis penyakit, ketidakmampuan (disability)
yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi.
(b) adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat (Strand, et al.,
1990).
2.2.1

Klasifikasi DRPs
Strand, et al., (1990) mengklasifikasikan DRPs menjadi 8 kategori besar:

a. Indikasi tanpa obat adalah pasien mempunyai kondisi penyakit yang
membutuhkan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk
indikasi tersebut.

22
Universitas Sumatera Utara

b. Obat tanpa indikasi adalah pasien mempunyai kondisi penyakit dan
menerima obat yang tidak mempunyai indikasi medis yang valid.
c. Obat salah adalah pasien mempunyai kondisi penyakit tetapi mendapatkan
obat yang tidak aman, tidak paling efektif dan kontraindikasi dengan
pasien tersebut.
d. Dosis obat kurang adalah pasien mempunyai kondisi penyakit dan
mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut kurang.
e. Dosis obat berlebih adalah pasien mempunyai kondisi penyakit dan
mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut lebih.
f. Reaksi obat yang merugikan adalah pasien mempunyai kondisi penyakit
akibat dari reaksi obat yang merugikan.
g. Interaksi obat adalah pasien mempunyai kondisi penyakit akibat interaksi
obat-obat, obat-makanan, obat-hasil laboratorium.
h. Kepatuhan adalah pasien mempunyai kondisi penyakit tetapi tidak
mendapatkan obat yang diresepkan.

2.3 Kualitas Hidup
Kualitas hidup menurut World Health Organization Quality of Life
(WHOQOL) adalah persepsi individu terhadap posisinya, dan berhubungan
dengan tujuan, harapan, standar dan minat. Definisi ini merupakan konsep yang
sangat luas, menggabungkan kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat
kemandirian, hubungan sosial, kepercayaan personal dan hubungannya dengan
lingkungan (WHO, 1997).

23
Universitas Sumatera Utara

2.3.1 Aplikasi pengukuran kualitas hidup
Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup dalam
penelitian ini adalah The Medical Outcomes StudyShort Form (SF-36) Health
Survey. The Medical Outcomes Study Short Form (SF-36) digunakan untuk
menilai status kesehatan sesuai dengan tujuan yang di inginkan. SF-36
menggunakan 8 subvariabel kualitas hidup yang meliputi:
1) Fungsi Fisik
Kategori tentang aktivitas yang mungkin dikerjakan selama hari-hari tertentu
seperti:
a) Aktivitas berat, sepertri lari, mengangkat benda-benda yang berat, aktif
dalam olah raga yang berat-berat.
b) Aktivitas sedang, seperti memindahkan meja, mendorong mesin
pembersih debu, bowling atau main golf.
c) Mengangkat atau membawa nampan makanan.
d) Menaiki beberapa anak tangga.
e) Menaiki satu anak tangga.
f) Melipat atau menekuk anggota tubuh atau membungkuk.
g) jalan kaki lebih dari satu km.
h) jalan kaki banyak blok rumah.
i) jalan kaki satu blok rumah.
j) Mandi atau memakai baju sendiri.
2) Keterbatasan peran fisik
Kondisi atau masalah yang berkaitan dengan pekerjaan atau dengan
aktivitas sehari-hari sebagai dampak dari kesehatan fisik seperti:

24
Universitas Sumatera Utara

a) Mengurangi jumlah waktu yang dipergunakan dalam pekerjaan atau dalam
aktivitas lainnya.
b) Melaksanakan kurang dari apa yang diinginkan.
c) Terbatasnya aktivitas dalam setiap jenis pekerjaan atau dalam aktivitas
lainnya.
d) Kesulitan dalam mengerjakan suatu pekerjaan atau kegiatan lainnya
(misalnya, membutuhkan tenaga ekstra).
3) Nyeri Tubuh
Kondisi atau rasa nyeri secara fisik selama empat minggu terakhir dan
seberapa jauh rasa nyeri mengganggu pekerjaan rutin (termasuk pekerjaan di luar
rumah dan pekerjaan rumah tangga).
4) Kesehatan secara umum
Kondisi kesehatan secara umum, dibandingkan dengan keadaan setahun
yang lalu, bagaimana rata-rata kesehatannya secara umum, pernyataan benar atau
salah jika dibandingkan dengan seseorang yang mudah sekali jatuh sakit dengan
orang lain, saya sama sehatnya dengan setiap orang saya kenal, saya
mengharapkan kesehatan saya bertambah buruk, kesehatan saya baik sekali.
5) Vitalitas
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah tentang bagaimana anda merasa dan
bagaimana segala sesuatunya berkaitan dengan anda selama empat minggu
terakhir. Untuk setiap pertanyaan, berikan sebuah jawaban yang paling dekat
dengan cara anda merasakannya seperti: merasa penuh semangat, memiliki tenaga
yang banyak, merasa kelelahan atau merasa lelah.

25
Universitas Sumatera Utara

6) Fungsi sosial
Yang perlu dikaji dari fungsi sosial adalah seperti selama empat minggu
terakhir

sejauh

mana

kesehatan

fisik

ataupun

masalah

emosional

yangmengganggu aktivitas secara normal bersama keluarga, teman-teman,
tetangga, ataupun bersama kelompok masyarakat lainnya dan dalam empat
minggu terakhir seberapa sering kesehatan fisik atau masalah-masalahemosional
mengganggu aktivitas sosial (seperti mengunjungi teman- teman,sanak keluarga,
dan lain- lain).
7) Keterbatasan emosional
Yang perlu ditanyakan dalam konsep keterbatasan emosional seperti
selama empat minggu terakhir, masalah yang dialami dengan pekerjaan atau
dengan aktifitas sehari- hari sebagai dampak dari masalah emosional (seperti
perasaan tertekan atau rasa cemas), mengurangi jumlah waktu yang pergunakan
dalam pekerjaan atau dalam aktivitas lainnya, melaksanakan kurang dari apa yang
diinginkan dan melakukan pekerjaan atau aktivitas lainnya tidak secermat seperti
biasanya.
8) Kesehatan mental
Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kesehatan mental ini
adalah tentang bagaimana perasaan dan bagaimana segala sesuatunya berkaitan
selama empat minggu terakhir seperti: seberapa sering selama empat
mingguterakhir, merasakan menjadi seorang yang sangat pencemas, merasakan
sangat terpuruk sehingga tidak ada orang yang dapat menghibur, merasakan
ketenangan dan kedamaian, merasa tertekan atau menyendiri, merasakan menjadi
seorang yang berbahagia.

26
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa Tahun 2011

4 87 60

Evaluasi drug related problems obat antidiabetes pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap rumah sakit umum pelabuhan periode januari-juni 2014

4 24 164

Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

2 43 121

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INSTALASI RAWAT INAP Idenifikasi Drug Related Problems (DRPs) Potensial pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS "X" Tahun 2015.

1 9 19

Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

0 0 2

Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

0 2 6

Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

1 4 4

Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

0 14 38

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 0 8

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 0 15