Evaluasi drug related problems obat antidiabetes pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap rumah sakit umum pelabuhan periode januari-juni 2014

(1)

EVALUASI

DRUG RELATED PROBLEMS

OBAT

ANTIDIABETES PADA PASIEN GERIATRI DENGAN

DIABETES

MELITUS

TIPE 2 DI RUANG RAWAT

INAP RUMAH SAKIT UMUM PELABUHAN

PERIODE JANUARI-JUNI 2014

SKRIPSI

INTEN NOVITA SARI

1111102000087

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015


(2)

EVALUASI

DRUG RELATED PROBLEMS

OBAT

ANTIDIABETES PADA PASIEN GERIATRI DENGAN

DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUANG RAWAT

INAP RUMAH SAKIT UMUM PELABUHAN

PERIODE JANUARI-JUNI 2014

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

INTEN NOVITA SARI

1111102000087

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

Nama : Inten Novita Sari

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Evaluasi Drug Related Problems Obat Antidiabetes Pada Pasien Geriatri Dengan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pelabuhan Periode Januari – Juni 2014

World Health Organization (WHO) memprediksi jumlah penderita diabetes melitus akan terus meningkat setiap tahun, termasuk Indonesia. Pasien yang mengidap penyakit diabetes melitus lebih banyak diderita oleh pasien geriatri. Beberapa penelitian melaporkan bahwa Drug Related Problems (DRPs) sering terjadi pada geriatri hal ini dikarenakan pemakaian obat yang cukup lama serta fungsi organ dan aktivitas fisik yang sudah mengalami penurunan, untuk itu perlu dilakukan evaluasi Drug Related Problems. Peneliti melakukan pengambilan data melalui data sekunder berupa rekam medis pasien periode Januari-Juni 2014 dengan desain cross-sectional. Teknik pengambilan data berupa total sampling, didapatkan 28 sampel yang sesuai kriteria inklusi penelitian. Pada hasil penyajian data secara deskriptif, hasil evaluasi Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi berdasarkan pemberian obat antidiabetes pada pasien butuh tambahan obat yakni 10,71% (3 pasien), terdapat salah obat sebesar 7,14% (2 pasien), sedangkan potensi terjadinya interaksi obat sebesar 50% (14 pasien) dan tidak terdapat DRPs yang lainnya terjadi. Pada penggunaan antidiabetik tunggal didapatkan sebanyak 17 pasien (60,71%), sedangkan penggunaan antidiabetik kombinasi sebanyak 11 pasien (39,28%). Terdapat 11 kelas terapi yang diberikan kepada pasien, dan yang paling banyak yaitu obat gastrointestinal 85,71%.

Kata Kunci : Drug Related Problems, obat antidiabetik, diabetes mellitus tipe 2


(7)

Name : Inten Novita Sari Program Study : Farmasi

Tittle : Evaluation Drug Related Problems antidiabetic In Geriatric Patients With Type 2 Diabetes Mellitus In Space General Hospital Inpatient Ports January - June 2014

Diabetes Mellitus (DM) is a worldwide serious health problem which has been increasing by years based on World Health Organization (WHO) prevalence prediction, including Indonesia. The geriatrics is nowadays on the highest rate due to the degenerative process. Previous studies report the causes of Drug Related Problems (DRP) on geriatric patients are the lack of physical activities, multiorgan function decreases, and even many drugs are recently used for a long time. Thus, the further Drug Related Problems (DRP) evaluation is actually needed based the evidence. This study was conducted to evaluate the Drug Related Problems (DRP) of antidiabetic drugs. Beside, the Author wanted to show the prevalence of single and combination antidiabetic treated patients accordance to the secondary data. The data was extracted from medical records by January to June 2014 and desined using cross sectional. The Author was collecting the 28 data complying to the inclusion criteria by total sampling method. this study showed through descriptive presentation that the evaluation of antidiabetic within Drug Related Problems (DRP) resulting in patient with unnecessary drug therapy 10,71 % (3 patients), uncompatible drug choice 7,14% (2 patients), and patient with high risk drug interaction 50% (14 patients). The other Drug Related Problems (DRP) was not found. Whereas, the single antidiabetic treated patients is about 60,71% (17 patients), and the combination antidiabetic treated patients is about 39,28% (11 patients). Beside, there are totally 11 other drugs which is dominated by gastrointestinal drugs (85,71%).

Keywords : Drug Related Problems, antidiabetic drug, diabetes mellitus type 2

\


(8)

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia serta nikmat Iman dan islam yang tak terhingga. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas limpahan cinta dan kasihNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang bejudul “Evaluasi Drug Related Problems Obat Antidiabetes Pada Pasien Geriatri Dengan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pelabuhan Periode Januari – Juni 2014” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Yardi Ph.D, Apt dan Ibu Nelly Suryani Ph.D, Msi, Apt selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam penelitian ini juga kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga tersusunnya skripsi ini.

2. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M. Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan bantuan.

3. Ibu Vidya Arlaini Anwar,S.si, Apt, beserta seluruh pihak karyawan ruang administrasi medik yang telah banyak membantu dalam pengambilan data. 4. Kedua orang tua saya, Almarhum papa tersayang Firdaus dan mama tercinta

Daster Yuniati, SE yang selalu memberikan kasih sayang dan doa yang tidak pernah henti serta dukungan baik moril maupun materil. Tidak ada yang dapat membalas semua kebaikan dan ketulusan cinta mama dan papa. Semoga Allah senatiasa memberikan kesehatan, perlindungan, dan kasih


(9)

(10)

Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Inten Novita Sari

NIM : 1111102000087

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS OBAT ANTIDIABETES PADA PASIEN GERIATRI GERIATRI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2

DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM PELABUHAN PERIODE JANUARI-JUNI 2014

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta Dengan demikian persetujuan publikasi persetujuan karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat Pada Tanggal : 1 Juni 2015

Yang menyatakan,

(Inten Novita Sari)


(11)

v xvi

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan ... 4

1.4 Manfaat ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Drug Related Problems ... 5

2.1.1 Butuh Tambahan Obat ... 5

2.1.2 Obat Tanpa Indikasi ... 5

2.1.3 Salah Obat ... 6

2.1.4 Dosis Dibawah Dosis Terapi ... 7

2.1.5 Dosis Melebihi Dosis Terapi ... 7

2.1.6 Ketidakpatuhan Pasien ... 8

2.1.7 Interaksi Obat ... 9

2.1.7.1 Mekanisme Interaksi Obat ... 10

2.1.7.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat ... 12

2.2Diabetes Melitus ... 12

2.2.1 Definisi ... 12

2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus ... 13

2.2.3Skrinning Diabetes Melitus ... 14

2.2.4 Klasifikasi DM Berdasarkan Etiologi ... 15

2.2.5 Gejala Diabetes Melitus ... 15

2.2.6 Patogenesis Diabetes Melitus ... 15

2.2.7 Komplikasi Akut Diabetes Melitus ... 16

2.2.8 Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus ... 21

2.2.8 Penatalaksanaan ... 22

2.2.9 Obat Hipoglikemik Oral Pada Pasien Geriatri ... 30

2.2.10 Protokol Diabetes Melitus Tipe 2 ... 33

2.3 Geriatri ... 35

2.4 Rumah Sakit ... 36


(12)

v xvi

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

3.2.1 Tempat Penelitian ... 40

3.2.2 Waktu Penelitian ... 40

3.3 Definisi Operasional ... 41

3.3.1 Variabel Bebas ... 41

3.3.1.1 Penggolongan Karakteristik Pasien Diabetes mellitus ... 41

3.3.1.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes ... 41

3.3.1.3 Jumlah Penggunaan Obat ... 41

3.3.2 Variabel Terikat ... 42

3.3.2.1 Drug Related Problems (DRPs) ... 42

3.3.3 Karakteristik Pasien ... 44

3.3.3.1 Geriatri ... 44

3.3.3.2 Jenis Kelamin ... 44

3.3.3.3. Penyakit Komplikasi ... 44

3.3.3.4 Penyakit Penyerta ... 45

3.4. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45

3.4.1. Populasi ... 45

3.4.2. Sampel ... 45

3.4.2.1. Kriteria Inklusi Sampel ... 45

3.4.2.2. Kriteria Eklusi Sampel ... 46

3.5. Prosedur Penelitian ... 46

3.5.1. Bagan Alur Penelitian ... 46

3.5.2. Persiapan ... 47

3.5.3 Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 47

3.5.3.1. Penelusuran Dokumen ... 47

3.5.4. Manajemen Data ... 48

3.6. Pengolahan Data ... 48

3.7. Analisa Data ... 48

3.7.1. Analisis Univariat ... 48

3.7.2. Analisis Bivariat ... 49

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

4.1. Hasil Penelitian ... 50

4.1.1 Karakteristik Pasien ... 50

4.1.1.1 Karakteristik Berdasarkan Usia ... 50

4.1.1.2 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin ... 51

4.1.1.3 Karakteristik Berdasarkan Penyakit Komplikasi ... 51

4.1.1.4 Karakteristik Berdasarkan Penyakit Penyerta ... 52

4.1.2 Profil Penggunaan Obat ... 53

4.1.2.1 Profil Penggunaan Obat Antidiabetik Tunggal ... 53

4.1.2.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetik Kombinasi ... 54

4.1.2.3 Profil Penggunaan Obat Oral ... 55

4.1.2.4 Profil Penggunaan Obat Injeksi ... 55

4.1.2.5 Jumlah Penggunaan Obat ... 56


(13)

v xvi

4.1.3.3 DRPs Kategori Salah Obat ... 58

4.1.3.4 DRPs Kategori Dosis Dibawah Dosis Terapi ... 58

4.1.3.5 DRPs Kategori Dosis Melebihi Dosis Terapi ... 58

4.1.3.6 DRPs Kategori Interaksi Obat ... 59

4.1.3.7 Kategori IO Berdasarkan Mekanisme ... 60

4.1.3.8 Kategori IO Berdasarkan Tingkat Keparahan ... 60

4.1.4 Hasil Analisis Bivariat ... 61

4.1.4.1 Analisis Hubungan Usia dengan DRPs ... 61

4.1.4.2 Analisis Hubungan Jenis Kelamin dengan DRPs ... 62

4.1.4.3 Analisis Hubungan Penyakit Komplikasi dengan DRPs ... 62

4.1.4.4 Analisis Hubungan Penyakit Penyerta dengan DRPs ... 63

4.1.4.5 Analisis Hubungan OAD Tunggal dengan DRPs ... 63

4.1.4.6 Analisis Hubungan OAD Kombinasi dengan DRPs ... 64

4.1.4.7 Analisis Hubungan Jumlah Penggunaan Obat dengan DRPs ... 64

4.2 Pembahasan ... 65

4.2.1 Karakteristik Pasien ... 65

4.2.1.1 Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia ... 65

4.2.1.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66

4.2.1.3 Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Komplikasi ... 66

4.2.1.4 Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta ... 67

4.2.2 Profil Obat Antidiabetes ... 67

4.2.2.1 Obat Antidiabetes Tunggal ... 67

4.2.2.2 Kombinasi Obat Antidiabetes ... 69

4.2.2.3 Profil Obat ... 69

4.2.2.4 Jumlah Penggunaan Obat ... 75

4.2.3 Drug Related Problems (DRPs) ... 76

4.2.4. Analisis Bivariat ... 81

4.2.4.1 Hubungan Usia dengan DRPs ... 81

4.2.4.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan DRPs ... 81

4.2.4.3 Hubungan Penyakit Komplikasi dengan DRPs ... 81

4.2.4.4 Hubungan Penyakit Penyerta ... 82

4.2.4.5 Hubungan OAD Tunggal dengan DRPs. ... 82

4.2.4.6 Hubungan OAD Kombinasi dengan DRPs ... 82

4.3 Keterbatasan Penelitian ... 82

4.3.1 Kendala ... 82

4.3.2 Kelemahan ... 83

4.4 Kekuatan ... 84

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. ... 85

5.1. Kesimpulan ... 85


(14)

v xvi

Halaman Tabel 2.1 Target Pengendalian Diabetes Melitus ... 21 Tabel 2.2 Target Penatalaksanaan Diabetes Melitus ... 31 Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Penggunaan Obat Pasien (Selama Dirawat) ... 56 Tabel 4.2 Persentase Distribusi Jumlah Butuh Tambahan Obat Antidiabetik . 57 Tabel 4.3 Persentase Distribusi Jumlah Salah Obat antidiabetik. ... 58 Tabel 4.4 Persentase Prevalensi Interaksi Obat Berdasarkan Jumlah Pasien

yang mengalaminya ... 59 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Obat-Obat Yang Berpotensi Mengalami

Interaksi ... 59 Tabel 4.6 Persentase Distribusi Frekuensi Interaksi Obat Antidiabetes

Berdasarkan Mekanisme ... 60 Tabel 4.7 Persentase Distribusi Frekuensi Interaksi Obat Antidiabetik

Berdasarkan Tingkat Keparahan Tabel ... 60 Tabel 4.8 Hasil Analisis Hubungan Antara Usia Dengan DRPs. ... 61 Tabel 4.9 Hasil Analisis Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan DRPs ... 62 Tabel 4.10 Hasil Analisis Hubungan Antara Penyakit Komplikasi dengan

DRPs ... 62 Tabel 4.11 Hasil Analisis Hubungan Antara Penyakit Penyerta dengan DRPs

... 63 Tabel 4.12 Hasil Analisis Hubungan Antara Obat Antidiabetes Tunggal dengan

DRPs ... 63 Tabel 4.13 Hasil Analisis Hubungan Antara Obat Antidiabetes kombinasi

dengan DRPs ... 64 Tabel 4.14 Hasil Analisis Hubungan Antara Jumlah Penggunaan Obat dengan


(15)

v xvi

Halaman Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM Tipe 2 ... 32 Gambar 3.1 Alur Penelitian ... 46 Gambar 4.1 Persentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan usia ... 50 Gambar 4.2 Persentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

... 51 Gambar 4.3 PersentaseDistribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Penyakit

Komplikasi` ... 52 Gambar 4.4 PersentaseDistribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Penyakit

Penyerta ... 52 Gambar 4.5 PersentaseDistribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Penggunaan

Antidiabetik ... 53 Gambar 4.6 PersentaseDistribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Penggunaan

Antidiabetik Tunggal ... 54 Gambar 4.7 PersentaseDistribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Penggunaan

Antidiabetik Kombinasi ... 54 Gambar 4.8 Persentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Profil

Penggunaan Obat Oral ... 55 Gambar 4.9 Persentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Profil

Penggunaan Obat Injeksi ... 56 Gambar 4.10 Persentase Distribusi Jumlah Evaluasi DRPs Berdasarkan


(16)

v xvi

Halaman Lampiran 1. Surat Permohonan Data dan Izin Penelitian Dari UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi ... 89

Lampiran 2. Rekapitulasi Data Sampel ... 90

Lampiran 3. Jumlah Profil Penggunaan Obat Yang Digunakan ... 103

Lampiran 4. Distribusi Jumlah Penggunaan Obat Pasien ... 111

Lampiran 5. Evaluasi DRPs Membutuhkan Tambahan Obat ... 112

Lampiran 6. Evaluasi DRPs Obat Tanpa Indikasi ` ... 118

Lampiran 7. Evaluasi DRPs Salah Obat ... 123

Lampiran 8. Evaluasi DRPs Dosis Dibawah Dosis Terapi Frekuensi Pasien 128 Lampiran 9. Evaluasi DRPs Dosis Melebihi Dosis Terapi ... 130

Lampiran 10. Evaluasi DRPs Interaksi Obat ... 132

Lampiran 11. Hasil Analisis Hubungan Antara Usia dengan DRPs ... 141

Lampiran 12. Hasil Analisis Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan DRPs ... 142

Lampiran 13. Hasil Analisis Hubungan Antara Penyakit Komplikasi dengan DRPs ... 143

Lampiran 14. Hasil Analisis Hubungan Antara Penyakit Penyerta dengan DRPs ... 144

Lampiran 15. Hasil Analisis Hubungan Antara OAD Tunggal dengan DRPs ... 145

Lampiran 16. Hasil Analisis Hubungan Antara OAD Kombinasi dengan DRPs ` ... 146

Lampiran 17. Hasil Analisis Hubungan Antara Jumlah Penggunaan Obat dengan DRPs ... 147


(17)

v xvi

CAD : Coronary Artery Disease

CHF : Congestive Heart Failure

CHF : Congestive Heart Failure

CKD : Chronic Kidney Disease

DM : Diabetes Melitus

DRPs : Drug Related Problems

GDP : Gula Darah Puasa

GDS : Gula Darah Sewaktu

GERD : Gastro Esophageal Reflux Disease

HDL : High Density Lipoprotein

MAO : Mono Amin Oksidase


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan sekelompok gangguan metabolisme yang ditandai oleh hiperglikemia yang berhubungan dengan kelainan karbohidrat, lemak, metabolisme protein dan komplikasi kronis termasuk mikrovaskular, makrovaskular, dan gangguan neuropatik. Hampir 18,2 juta orang Amerika menderita Diabetes Melitus (Dipiro, dkk., 2009). Penyakit Diabetes Melitus juga merupakan salah satu penyakit yang menarik perhatian di Indonesia karena penderitanya terus bertambah banyak. Dimana, menurut hasil RISKESDAS 2013 yang dipublikasikan dari Departemen Kesehatan terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,4 persen (2013) (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan data WHO (World Health Organization) Pada tahun 2014, terdapat 9% dari usia 18 tahun hingga usia tua mengalami diabetes . Pada tahun 2012, diabetes merupakan penyebab kematian yakni sebanyak 1,5 juta. Dan lebih dari 80% kematian yang disebabkan oleh diabetes terjadi pada negara yang berpenghasilan rendah dan menengah.

Menurut Riskesdas 2007, berdasarkan diagnosis atau gejala bahwa DKI Jakarta merupakan provinsi dengan prevalensi diabetes melitus tertinggi yaitu sebesar 2,6%. Menurut riset yang sama bahwa data morbiditas pada pasien rawat inap RS di seluruh Indonesia pada tahun 2009, jumlah penderita diabetes melitus tertinggi terdapat pada kelompok umur 45-64 tahun, diikuti kelompok umur 65 tahun ke atas dan kelompok 25-44 tahun. Sedangkan data mortalitas diabetes melitus di RS menggambarkan 74,3% merupakan pasien diabetes yang tidak bergantung pada insulin dan 25,7% selebihnya merupakan pasien diabetes yang bergantung pada insulin (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Diabetes melitus tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan yakni 90% dari kasus diabetes melitus pada umumnya. Sebagian besar penyebab kenaikan kejadian diabetes melitus tipe 2 karena meningkatnya lemak tubuh dan gaya hidup yang tidak teratur. Dengan peningkatan jumlah obesitas di seluruh dunia maka


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terjadi peningkatan juga pada prevalensi DM tipe 2. Pada pengelolaan terapi DM bertujuan untuk mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, mengurangi angka kematian, serta meningkatkan kualitas hidup. Langkah pertama pada pengelolaan terapi diabetes melitus yaitu terapi non-farmakologi, jika target belum tercapai dapat di lakukan terapi farmakologi (Dipiro, et.al., 2009).

Pasien DM tipe 2 banyak ditemukan pada usia tua (geriatri) dan sering tidak terdapat gejala sebelumnya (Dipiro, et.al., 2009). Geriatri merupakan individu yang telah mengalami proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan pada jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga terjadi penurunan pertahanan tehadap infeksi dan untuk memperbaiki kerusakan yang diderita. Secara umum masalah pada geriatri masih merupakan suatu masalah yang belum dapat teratasi, hal ini berhubungan dengan kondisi pasien geriatri yang telah mengalami penurunan fungsi organ tubuh dan daya tahan tubuh akibat proses menua (Potter dan Perry., dkk, 2005). Populasi geriatri merupakan tantangan dan peluang yang besar yang dihadapi oleh semua negara. Di negara-negara yang kurang berkembang telah merubah sistem pelayanan kesehatan pada populasi geriatri agar dapat melengkapi kebutuhan kesehatan populasi geriatri dan sambil terus mengatasi masalah kesehatan lainnya seperti kesehatan ibu dan anak (Keller, dkk., 2002). Pada pengobatan pasien geriatri harus selalu melakukan pertimbangan yang khusus terhadap kondisi kesehatan, pemilihan obat, penyesuaian dosis serta melakukan pengobatan secara teratur.

Pada pasien geriatri kapasitas fungsional sebagian besar sistem organ utama menunjukkan adanya penurunan. Beberapa perubahan ini mengubah farmakokinetik. Bagi para ahli farmakologi dan klinisi, perubahan terpenting dari segala perubahan adalah penurunan fungsi ginjal. Berbagai perubahan serta penyakit yang menyertai lainnya dapat mengubah karakteristik farmakodinamik obat-obat tertentu pada beberapa pasien (Katzung, 2010). Hal ini yang menyebabkan perlu perhatian khusus untuk pengobatan pada pasien geriatri.

Pengobatan diabetes melitus umumnya memerlukan waktu yang lama dan sering merupakan pengobatan yang lebih dari satu obat. Komplikasi yang terjadi pada diabetes melitus akan menambahkan kompleksitas pengobatan yang dilakukan


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap pasien. Hal ini berpotensi untuk terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang berpotensi atau terbukti dapat mengganggu pencapaian terapi obat. (Cipolle, dkk., dalam review Adusumilli dan Adepu, 2014). Pada umumnya DRPs terdiri dari 7 kategori, namun salah satu kategori DRPs yakni ketidakpatuhan pasien tidak dapat dilakukan pada penelitian ini karena penelitian bersifat retrospekftif sehingga tidak dapat memantau pasien secara langsung.

Penelitian yang dilakukan di rumah sakit Malaysia periode Januari 2009 hingga Juni 2012 tercatat sebesar 77,8% mayoritas usia 60 sampai 79 tahun (rata-rata usia 71tahun) yang mengalami DRPs dan kategori yang dialami pasien yaitu masalah pemilihan obat sebesar 45,9%, masalah interaksi obat tercatat 24,9%, dan masalah dosis tercatat sebesar 13,3% (Huri,et.al., 2014). Penelitian yang terjadi diindonesia salah satunya, penelitian yang dilakukan di RSUP Jogjakarta periode Januari-Juni 2009 tercatat sebesar 73,1% usia lanjut 60-75 tahun (elderly) yang mengalami DRPs dan kategori yang dialami oleh pasien yaitu masalah dosis terlalu rendah (3,8%) dan (Adverse Drug Reaction) reaksi obat yang tidak diinginkan (53,8%). (Ayuningtyas, 2010).

Pada praktek pelayanan farmasi klinik apoteker atau farmasis memegang peranan penting dalam pencapaian terapi obat dan menghindari terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam penentuan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2014).

Berdasarkan paparan diatas, menunjukan bahwa pentingnya pemilihan obat terutama pada pasien geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 untuk menghindari atau menurunkan angka terjadinya DRPs, sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas layanan di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara agar tercapai suatu keberhasilan terapi


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini.

Apakah terdapat DRPs (Drug Related Problems) penggunaan obat pada pasien geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pelabuhan periode Januari – Juni 2014.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

Mengideintifikasi DRPs pada Diabetes Melitus tipe 2 pasien geriatri yang di Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara periode Januari – Juni 2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik pasien geriatri DM tipe 2 yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara periode Januari-Juni 2014 (berdasarkan usia, jenis kelamin, penyakit komplikasi, dan penyakit penyerta).

b. Mengetahui profil penggunaan obat yang digunakan oleh pasien geriatri DM tipe 2.

c. Mengetahui persentase kejadian DRPs pada pengobatan pasien geriatri DM tipe 2 yang mendapat terapi obat diabetes.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Mendapatkan informasi mengenai DRPs yang digunakan oleh pasien geriatri rawat inap diabetes melitus tipe 2 periode Januari – Juni 2014.

b. Menjadi suatu masukan bagi dokter dan tenaga farmasi dalam meningkatkan ketepatan indikasi, pemilihan obat, regimen dosis, dan lama penggunaan obat pada pasien rawat inap geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 sehingga diperoleh pengobatan yang efektif, aman, dan efisien.


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Probems (DRPs) merupakan suatu peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang berpotensi atau terbukti dapat mengganggu pencapaian terapi obat (Cipolle, dkk., dalam review Adusumilli dan Adepu, 2014). Pada kejadian DRPs yang telah terjadi maupun yang berpotensi terjadi DRPs, farmasi seharusnya melakukan pencegahan dan memecahkan suatu masalah DRPs yang terjadi. Hal ini yang menyebabkan seorang farmasis memegang peran penting dalam mencegah maupun mengendalikan masalah tersebut.

Terdapat beberapa klasifikasi DRPs sebagai berikut (Cipolle, dkk., dalam review Adusumilli dan Adepu, 2014).

2.1.1 Butuh Tambahan Obat (Need for additional therapy)

Penderita DM bisa mengalami komplikasi yang tidak diharapkan, oleh karena itu perlu mencermati apakah ada indikasi penyakit yang tidak diobati. Adanya indikasi penyakit yang tidak tertangani ini dapat disebabkan oleh:

a. Penderita mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat. b. Penderita memiliki penyakit kronis lain yang memerlukan keberlanjutan

terapi obat

c. Penderita mengalami gangguan medis yang memerlukan kombinasi farmakoterapi untuk menjaga efek sinergi/potensiasi obat

d. Penderita berpotensi untuk mengalami risiko gangguan penyakit baru yang dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaktik atau premedikasi. (Cipolle, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.1.2 Obat Tanpa Indikasi (Unnecessary therapy)

Pemberian obat tanpa indikasi disamping merugikan penderita secara finansial yang juga dapat merugikan penderita yang berpotensi memberikan efek yang tidak dikehendaki. Pemberian obat tanpa indikasi ini dapat disebabkan oleh:


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta a. Penderita menggunakan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit

pada saat ini

b. Penyakit penderita terkait dengan penyalahgunaan obat, alkohol atau merokok

c. Kondisi medis penderita lebih baik ditangani dengan terapi non obat

d. Penderita memperoleh polifarmasi untuk kondisi yang indikasinya cukup mendapat terapi obat tunggal

e. Penderita memperoleh terapi obat untuk mengatasi efek obat yang tidak dikehendaki yang disebabkan oleh obat lain yang seharusnya dapat diganti dengan obat yang lebih sedikit efek sampingnya (Cipolle, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.1.3 Salah obat (wrong drug)

Salah obat merupakan keadaan dimana obat yang digunakan untuk mengobati kondisi pasien tidak efektif atau terapi yang digunakan bukan yang paling efektif. Selain itu, pasien alergi terhadap obat tersebut, atau obat kontraindikasi terhadap kondisi pasien. Misalnya, jika obat yang digunakan merupakan obat yan efektif tapi terdapat obat lainnya sama efektifnya namun lebih murah, hal ini bisa dikatakan salah obat. Atau, ketika pasien menerima obat kombinasi namun ada obat tunggal yang sama efektif nya dengan kombinasi, maka pasien dapat dikatakan DRP salah obat. (Strand, et.al., 1990).

Pemilihan obat yang tidak tepat dapat mengakibatkan tujuan terapi tidak tercapai sehingga penderita dirugikan. Penyebab lainnya, pada pemilihan obat yang tidak tepat dapat disebabkan oleh:

a. Obat yang digunakan berkontraindikasi, misalnya penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea harus hati-hati atau dihindari pada penderita lanjut usia, wanita hamil, penderita dengan gangguan fungsi hati, atau gangguan fungsi ginjal yang parah.

b. Obat yang digunakan efektif tetapi bukan yang paling aman c. Penderita resisten dengan obat yang digunakan


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta d. Penderita menolak terapi obat yang diberikan, misalnya pemilihan bentuk

sediaan yang kurang tepat (Cipolle, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.1.4 Dosis dibawah dosis terapi (dosage is too low)

Meskipun mendasar, bahwa prinsip dari homeopati dimana jika dosis terlalu sedikit (suboptimal) obat diklasifikasikan sebagai DRP, yaitu ketika hasil yang diinginkan pada pasien tidak tercapai (yaitu, infeksi tidak merespon dengan pengobatan antibiotik yang suboptimal). Pada dasarnya, dosis semua obat dipertimbangkan berdasarkan penyakit, dan informasi riwayat pasien. Dosis dapat dikatakan kurang optimal jika konsentrasi obat di serum tidak tercapai bersamaan dengan adanya (tanda-tanda dan gejala) maka hal ini dapat dikatakan DRP.

Terdapat parameter lainnya, jika terdapat dosis dibawah dosis terapi. Pasien menerima dosis yang sesuai atau obat dilanjutkan cukup lama namun tidak mencapai efek yang diinginkan maka dapat dikatakan dosis dibawah dosis terapi. (Strand, et.al., 1990).

Pemberian obat dengan dosis sub terapeutik mengakibatkan ketidakefektifan terapi obat. Hal ini dapat disebabkan oleh:

a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang dikehendaki

b. Konsentrasi obat dalam plasma penderita berada di bawah rentang terapi yang dikehendaki

c. Saat profilaksis tidak tepat bagi penderita d. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai e. Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai

f. Terapi obat dialihkan terutama untuk uji klinis (Cipolle, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.1.5 Dosis melebihi dosis terapi (Dose is too high)

keadaan ini sama halnya dengan dosis terlalu rendah, dimana dosis melebihi dosis terapi memberikan efek yang berlawanan dengan seharusnya. Keadaan dimana dosis ditingkatkan secara cepat dan peningkatan menyebabkan komplikasi lainnya


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maa hal ini dapat dikatakan adanya DRP. Hal ini juga memungkinkan adanya akumulasi obat dalam jangka yang panjang sehingga menyebabkan efek toksik pada pasien. (Strand, et.al., 1990).

Pemberian obat dengan dosis berlebih mengakibatkan efek hipoglikemia dan kemungkinan munculnya toksisitas. Hal ini dapat disebabkan oleh:

a. Dosis obat terlalu tinggi untuk penderita

b. Konsentrasi obat dalam plasma penderita di atas rentang terapi yang dikehendaki

c. Dosis obat penderita dinaikkan terlalu cepat

d. Penderita mengakumulasi obat karena pemberian yang kronis e. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai

f. Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai (Cipolle, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

Dapat disimpulkan bahwa, pasien yang mengalami atau berpotensi untuk mengalami keracunan yang ditimbulkan oleh dosis obat yang berlebih merupakan masalah umum yang terdapat pada praktek klinis. Pemantauan farmakokinetik dan penyesuaian dosis tidak bisa terlalu ditekankan atau terlalu cepat hal ini untuk mencegah terjadinya DRP.(Strand, et.al., 1990).

2.1.6 Ketidakpatuhan (Adherence problem)

Ketidakpatuhan pasien dapat terjadi ketika pasien menggunakan obat tidak sesuai dengan aturan yang diberikan dan pasien memiliki kondisi ekonomi yang tidak mampu sehingga pasien tidak menebus obat yang telah diresepkan. Kasus ini perlu bantuan farmasis untuk memberikan informasi obat pada pasien sehingga tercapai efek terapi yang diinginkan. (Strand, et.al., 1990).

Penderita gagal menerima obat dapat disebabkan oleh:

a. Penderita tidak mematuhi aturan yang direkomendasikan dalam penggunaan obat

b. Penderita tidak menerima pengaturan obat yang sesuai sebagai akibat kesalahan medikasi (medication error) berupa kesalahan peresepan, dispensing, cara pemberian atau monitoring yang dilakukan.


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta c. Penderita tidak meminum obat yang diberikan karena ketidakpahaman d. Penderita tidak meminum obat yang diberikan karena tidak sesuai dengan

keyakinan tentang kesehatannya.

e. Penderita tidak mampu menebus obat dengan alasan ekonomi.

Yang juga perlu mendapat perhatian khusus terhadap munculnya masalah terkait obat apabila penderita berada dalam kondisi khusus, seperti:

- Penderita hamil / menyusui - Penderita gangguan ginjal - Penderita gangguan hati

- Penderita gangguan jantung (stage 3-4) - Penderita lanjut usia

- Penderita anak-anak

- Penderita sedang berpuasa (Cipolle, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.1.7 Interaksi Obat (Adverse Drug Reaction)

Keadaan DRP kategori interaksi obat dapat terjadi, ketika pasien mengkonsumsi obat/ makanan secara bersamaan. Contohnya, susu menghambat absorbsi se. diaan oral yang mengandung besi. Pergeseran pada ikatan protein obat dapat mengakibatkan masalah yang serius, sehingga perlu perhatian khusus. Contohnya, dosis yang terlalu tinggi pada salisilat dapat menggantikan ikatan protein pada obat oral hipoglikemik generasi pertama dan berpotensi hipoglikemik pada pasien.(Strand, et.al., 1990).

Interaksi obat yang mungkin timbul dari pemakaian insulin dengan obat hipoglikemik oral atau dengan obat yang lain dapat dilihat pada referensi yang lebih detil, misalnya BNF terbaru, Stokley's Drug Interactions dan lain sebagainya. Obat-obat tersebut di bawah ini merupakan contoh Obat-obat-Obat-obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah sehingga memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin maupun obat hipoglikemik oral yang diberikan.

Obat atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea antara lain: insulin, alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon,


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta oksifenbutazon, dikumarol, kloramfenikol, senyawa-senyawa penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat. Hormon pertumbuhan, hormon adrenal, tiroksin, estrogen, progestin dan glukagon bekerja berlawanan dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping itu, beberapa jenis obat seperti guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin, salisilat, fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa diberikan pada periode yang sama (Cipolle, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.1.7.1 Mekanisme Interaksi Obat

Dapat dikatakan interaksi jika terjadi efek dari satu obat yang dipengaruhi dengan adanya obat lain, jamu, makanan, minuman atau oleh beberapa bahan kimia. Hasil interaksi dapat berbahaya jika terjadi peningkatan toksisitas obat. Namun terdapat juga interaksi obat yang tidak benar-benar mempengaruhi sama sekali seperti efek aditif dari kedua obat yang memiliki efek yang sama contohnya: efek gabungan dari dua atau lebih obat antidepresan atau obat yang mempengaruhi QT interval. Namun terkadang istilah interaksi obat digunakan ketika terjadi reaksi fisiko-kimia antara obat yang dicampur dalam suatu infus (Stockley, 2008).

Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi 2 secara umum yaitu : 1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME).

Contohnya: Ranitidin mengurangi pembersihan ginjal metformin dengan menghambat sekresi metformin di tubular ginjal sehingga kadar plasma metformin dapat meningkat dan dapat meningkatkan efek farmakologisnya (farmakokinetik, moderat).


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta a. Interaksi pada absorbsi

Ketika obat diberikan secara oral, maka akan terjadi penyerapan melalui membran mukosa dari saluran pencernaan, dan sebagian besar interaksi terjadi pada penyerapan diusus.

b. Interaksi pada distribusi obat

Pada interaksi ini dapat terjadi melalui beberapa hal, yaitu: interaksi ikatan protein dan induksi atau inhibisi transpor protein obat.

c. Interaksi pada metabolisme obat

Reaksi-reaksi yang dapat terjadi pada saat tahap metabolisme yaitu: yang pertama perubahan pada first pass metabolism salah satu pada perubahan aliran darah ke hati, dan inhibisi atau induksi first pass metabolism, kedua induksi enzim, ketiga inhibisi enzim, yang keempat faktor genetik dan yang terakhir adanya interaksi isoenzim CYP450.

d. Interaksi pada ekskresi obat

Sebagian besar obat dieksresikan melalui empedu atau urin, pengecualian untuk obat anestesi inhalasi. Interaksi dapat dilihat dari perubahan pH, perubahan aliran dara diginjal, ekskresi empedu dan ekskresi tubulus ginjal (Stockley, 2008).

2. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek dari satu obat terjadi perubahan karena adanya obat lain. Terkadang obat bersaing untuk reseptor tertentu misalnya agonis beta2, seperti salbutamol, dan beta bloker seperti propranolol) namun seringkali reaksi terjadi secara langsung dan mempengaruhi mekanime fisiologi.

Interaksi ini diklasifikasikan menjadi beberapa tipe: a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat memiliki efek farmakologis yang sama dan diberikan secara bersama-sama maka dapat memberikan efek yang aditif. Misalnya, alkohol menekan SSP, dan jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar (misalnya ansiolitik, hipnotik, dll) dapat meningkatkan efek ngantuk.


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Interaksi antagonis atau berlawanan

Interaksi ini berbeda dengan interaksi aditif, dimana ada beberapa pasang obat dengan kerja yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah dengan menghambat kompetitif efek vitamin K (Stockley, 2008).

2.1.7.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan ke berdasarkan tingkatan keparahanan : minor, moderate, atau major.

1. Keparahan minor

Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara klinis dan tidak membutuhkan terapi tambahan. Contoh interaksi minor adalah interaksi hidralazin dan furosemid. Dimana efek farmakologis furosemid dapat meningkat jika diberikan bersamaan dengan hidralazin, tetapi secara klinis tidak signifikan. Interaksi obat minor dapat diatasi dengan menilai rejimen pengobatan.

2. Keparahan moderate

Interaksi moderate sering membutuhkan pengaturan dosis atau dilakukan pemantauan. Contohnya, obat rifampisin dan isoniazid yang dapat menyebabkan peningkatan terjadinya hepatotoksisitas. Namun, kombinasi ini masih sering digunakan dan diiringi dengan melakukan pemantauan enzim hati.

3. Keparahan major

Interaksi major pada umumnya harus dihindari bila memungkinkan, karena dapat menyebabkan potensi toksisitas yang serius. Contohnya, ketokonazol yang dapat menyebabkan peningkatan cisaprid sehingga dapat memperpanjang interval QT dan mengancam jiwa. Sehingga kombinasi ini tidak disarankan untuk digunakan. (Atkinson, et.al., 2007).

2.2 Diabetes Melitus 2.2.1 Definisi

Diabetes melitus merupakan sekelompok gangguan metabolisme yang ditandai oleh hiperglikemia yang berhubungan dengan kelainan karbohidrat, lemak,


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta metabolisme protein dan komplikasi kronis termasuk mikrovaskular, makrovaskular, dan gangguan neuropatik. Prevalensi pada DM tipe 2 terus meningkat sebanyak 90% dari seluruh prevalensi DM pada umumya. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan DM tipe 2 yaitu faktor genetik, kegemukan (≥20% berat badan berlebih dari berat ideal atau indeks massa tubuh ≥25kg/m2

), kebiasaan faktor fisik, dan etnis. Sebelumnya dapat diidentifikasi gangguan toleransi glukosa, hipertensi (≥140 /90 mmHg pada orang dewasa), High Density Protein (HDL) kolesterol ≤35 mg/dL atau trigliserida ≥250 mg/dL, riwayat diabetes melitus gestasional, riwayat penyakit pembuluh darah, dan gangguan polikistik ovarium (Dipiro, et.al., 2009).

Diabetes melitus bila tidak diobati dapat menimbulkan masalah. Kadar glukosa yang tinggi mengganggu sirkulasi dan dapat merusak saraf. Hal ini berakibat neri pada tungkai, kebutaan, gagal ginjal, dan kematian. Luka kecil dapat berakibat kematian jaringan, dan dapat berakhir dengan amputasi. Diabetes melitus meingkatkan risiko timbulnya aterosklerosis atau penyempitan pembuluh darah (Tambayong, 2000).

2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Diabetes adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan resistensi terhadap insulin, sekresi insulin tidak memadai, atau keduanya. Manifestasi klinik gangguan ini adalah hiperglikemia. Sebagian besar pasien diabetes diklasifikasikan pada kedua kategori besar: diabetes tipe 1 yang disebabkan oleh defisiensi insulin, dan diabetes tipe 2 yang dikarenakan adanya resistensi insulin. Wanita yang terkena diabetes karena stress pada saat kehamilan termasuk diabetes gestasional.

1. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes ini merupakan diabetes akibat kerusakan autoimun dari sel-sel β pankreas. Diabetes biasanya dialami oleh anak-anak dan remaja, atau dapat terjadi pada semua usia. Pada usia muda biasanya memiliki tingkat lebih cepat terjadi kerusakan sel-β dan adanya ketoasidosis.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Penderita diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan obesitas abdominal yang dapat menyebabkan resistensi insulin. Selain itu


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hipertensi, dislipidemia, dan peningkatan inhibitor plasminogen activator-1 juga sering ditemukan pada penderita DM tipe 2.

3. Diabetes melitus gestasional

Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa pada saat di diagnosa pertama ketika selama kehamilan. Pentingnya deteksi klinis, dimana terapi akan mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal.(Dipiro, dkk., 2009).

2.2.3 Skrinning Diabetes melitus 1. Diabetes melitus tipe 1

Skrining untuk DM tipe ini tidak direkomendasikan. 2. Diabetes melitus tipe 2

Berdasarkan pendapat ahli, American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan skrining pada DM tipe 2 setiap 3 tahun dimulai pada usia 45 tahun. Pengujian harus dipertimbangkan pada usia awal dan lebih sering pada individu dengan faktor risiko. Skrining yang dilakukan adalan glukosa plasma puasa. Oral Tes Toleransi Glukosa (OGTT) lebih mahal dan kurang nyaman.

3. Diabetes melitus gestasional

Penilaian risiko untuk diabetes ini harus dilakukan pada prenatal pertama. Wanita berisiko (riwayat keluarga positif DM, ditandai obesitas, atau dari kelompok etnis yang berisiko tinggi) harus diskrining sesegera mungkin. Jika pada skrining awal dinyatakan negatif, maka dapat dilakukan pengujian ulang pada usia kehamilan 24 sampai 28 minggu. Evaluasi GDM (diabetes melitus gestasional) dapat dilakukan 2 cara yaitu : pendekatan Oral glukosa tes toleransi yang mungkin biaya efektif dalam populasi pasien yang berisiko tinggi. Pendekatan kedua yaitu tes skrining untuk mengukur konsentrasi glukosa serum atau plasma 1 jam setelah beban glukosa oral 50 gram (Dipiro,dkk., 2009).


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.4 Klasifikasi DM Berdasarkan Etiologi

1. Diabetes melitus tipe 1 (destruksi sel β, defisiensi insulin absolut).

2. Diabetes melitus tipe 2 (resisten insulin dengan relatif defisiensi insulin, defek sekretori insulin sehingga resisten insulin).

3. Tipe spesifik lainnya (defek genetik dari fungsi sel β, defek genetik dari aksi insulin, gangguan eksokrin pankreas , endokrinopati, infeksi, dan lain-lain). 4. Diabetes melitus gestasional (Dipiro, et.al., 2009).

2.2.5 Gejala Diabetes melitus

Gejala diabetes pada umumnya yaitu : 1. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dl 2. Konsentrasi glukosa plasma ≥200mg/dl

3. 2 jam setelah pemberian glukosa pada postprandial ≥200 mg/dl 4. HbA1c > 5,9-6,0 % (Dipiro, et.al., 2009).

Sedangkan gejala berdasarkan klasifikasi diabetes melitus yaitu:

a. Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).

b. Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan saraf (Soegondo, dkk., 2005).

2.2.6 Patogenesis Diabetes Melitus 1. Diabetes Melitus tipe 1

DM tipe 1 ditandai oleh defisiensi insulin absolut. Hal disebabkan oleh kerusakan pada sel β pankreas, tetapi mekanismenya tidak diketahui. Ciri utamanya yaitu: (1) tahap preklinis yang panjang ditandai oleh kerusakan sel β pankreas; (2)


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terjadi hiperglikemia 80%-90% dari kerusakan sel β pancreas, (3) transient remission (the so-called, “honeymoon”phase);(4) terdapat penyakit komplikasi dan kematian. Faktor-faktor yang memicu proses auto imun (misalnya, susu sapi, atau virus, makanan, atau paparan lingkungan lainnya).

Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan sel limfosit T yang tersebar ke berbagai antigen sel β. Antibodi yang paling umum untuk mendeteksi adanya DM tipe 1 adalah antibodi sel islet. Pengukuran antibodi lainnya yang lebih mudah adalah antibodi insulin dan antibodi insulin glutamat. Lebih dari 90% pada orang yang baru terdiagnosis DM tipe 1 ini memiliki satu atau lebih antibodi ini.

2. Diabetes Melitus tipe 2 a. Aksi Insulin normal

Dalam keadaan puasa 75% dari pembuangan glukosa total berlangsung di jaringan otak, hati dan pencernaan. Sisanya 25% glukosa di metabolisme di otot.

DM tipe 2 ditandai dengan: (1) kerusakan pada sekresi insulin; dan (2) resistensi insulin pada otot, hati, dan adiposit.

b. Gangguan Pada Sekresi Insulin

Sel β pankreas pada orang normal mampu mengsekresikan insulin untuk menjaga glukosa tetap normal. Gangguan sekresi insulin terdapat pada pasien DM tipe 2 dan populasi etnis tertentu.

2.2.7 Komplikasi Akut Diabetes melitus

Komplikasi akut menurut Soegondo, 2005 yakni hipoglikemia, hiperglikemia dan ketoasidosis merupakan keadaan gawat darurat yang terjadi pada perjalanan penyakit Diabetes Melitus (DM).

1. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini ringan berupa gelisah sampai berat, koma dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah kurang dari 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia bisa


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang. Hipoglikemia ditandai dengan lemas, gemetar, pusing, pandangan berkunang-kunang, keluar keringat dingin pada muka terutama dihidung, detak jantung meningkat dan kehilangan kesadaran.

2. Hiperglikemia

Secara anamnesis ditemukan adanya masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stres akut. Tanda khas adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi berat.

3. Ketoasidosis diabetik

Ketoasidosis merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit diabetes melitus. Keadaan komplikasi akut ini memerlukan pengelolaan tepat. Timbulnya komplikasi ini merupakan ancaman kematian bagi penyandang DM. faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut adalah: a. Terlambat ditegakkannya diagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa

setelah koma

b. Pasien belum tahu mengidap diabetes

c. Sering ditemukan bersama-sama dengan komplikasi lain yang berat misalnya: sepsis, renjatan, infark miokard, dan CVD

d. Kurangnya keterampilan menangani kasus-kasus ketoasidosis karena belum adanya protokol yang baik.

Komplikasi akut diabetes melitus mulai dari hipoglikemia, koma (beri glukosa kadar tinggi misalnya, 40%). Ketoasidosis (asidosis disebabkan produksi keto-bodies meningkat sehingga koma.

Kelainan sirkulasi pada diabetes melitus a. Aterosklerosis

Lebih awal dari biasanya akibat lanjut berupa penyakit arteri koroner, silent MI, dan stroke.

b. Retinopati


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta c. Nefropati

Terjadi 40-50% pasien IDDM dan kelainan pada glomerulusklerosis d. Neuropati

Berupa polieneuropati peripheral yang biasanya bilateral, kesemutan/parestesia, hipertsetesi dan nyeri (malam hari menghebat), dapat sembuh sendiri dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun.

e. Gangguan sirkulasi perifer

Ulkus di kaki (mudah infeksi gangren amputasi) (Tambayong, 2000). Sedangkan komplikasi kronis yang dipaparkan oleh Suzanna ndraha tahun 2014, bahwa yang dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah:

a. kerusakan saraf (neuropati)

Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena.

b. Kerusakan ginjal

Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropati atau kerusakan saraf.

c. Kerusakan mata (retinopati)

Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadi penyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata.

d. Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi.

e. Stroke

Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.

f. Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi.

g. Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan Periperal Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.

h. Gangguan Pada Hati

Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.

i. Penyakit Paru

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberculosis paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah.

j. Gangguan Saluran Cerna

Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan usus.


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Keluhan gangguan saluran makan biasa juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang diminum.

k. Infeksi

Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi (Ndraha, 2014).

2.2.8 Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus

Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran. Kriteria lengkap dari keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada tabel 2.1 (Ndraha, dikutip dari PERKENI 2011, 2014).

Tabel 2.1. Target Pengendalian DM (Ndraha, dikutip dari PERKENI 2011, 2014).

Parameter Nilai Target

IMT (kg/m2 ) 18,5 - <23

Tekanan darah sistolik/diatolik (mmHg) <130/80

Glukosa Darah Puasa (mg/dl) <100

Glukosa darah 2 jam PP (mg/dl) <140

HbA1c (%) <7

Kolesterol LDL (mg/dl) <100

Kolesterol HDL (mg/dl) Pria >40

Wanita >50


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.8 Penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan DM adalah mengurangi risiko untuk penyakit komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, memperbaiki gejala, mengurangi kematian, dan meningkatkan kualitas hidup.

1. Non Farmakologi

a. Diet

Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua penderita DM. untuk penderita DM tipe 1 difokuskan pada pemberian insuln dengan diet seimbang untuk mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Selain itu pada DM tipe 2 juga dianjurkan untuk melakukan pembatasan meningkatkan berat badan. Sehingga sangat penting bahwa pasien memahami hubungan antara karbohidrat dan kontrol glukosa.

b. Olahraga

Secara umum kebanyak pasien dengan DM bias mendapatkan keuntungan dari peningkatan aktivitas. Latihan aerobik meningkatkan resistensi insulin dan mengontrol kadar gula darah, mengurangi faktor risiko kardiovaskular, memberikan kontribusi untuk penurunan berat badan dan meningkatkan kesejahteraan. Pasien yang lebih tua, pasien dengan penyakit lama (usia> 35 tahun, atau >25 tahun dengan DM ≥ 10 tahun.

2. Farmakologi

Sampai tahun 1995 hanya 2 pilihan untuk pengobatan farmakologis yang tersedia untuk pasien DM, sulfonilurea (untuk DM tipe 2 saja). Namun, saat ini telah ada lima kelas terapi obat oral DM tipe 2 yang telah disetujui: α-glukosidase inhibitor, biguanid, meglitinid, tiazolidindion atau glitazon, dan sulfonylurea. Obat antidiabetes oral diindikasikan untuk pasien DM tipe 2 yang tidak dapat mencapai target glikemik meskipun telah melakukan diet dan olahraga.

1. Insulin

a. Farmakologi

Insulin merupakan hormon anabolik dan antikatabolik, yang berperan utama pada protein, karbohidrat, dan metabolisme. Insulin endogen diproduksi dari proinsulin peptida pada sel β.


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Insulin biasanya dikategorikan berdasarkan sumbernya, kekuatan, onset dan durasi kerja. Selain itu insulin memiliki asam amino dalam molekul insulin termodifikasi. Sediaan insulin biasanya U-100 dan U-500, 100 unit/mL dan 500 unit/mL.

c. Farmakokinetik

Kinetik injeksi subkutan tergantung pada onset, puncak, dan durasi kerja. Penambahan protamin NPH, NPL, dan suspense protamin aspart) atau kelebihan seng maka dapat menunda onset, puncak, dan durasi efek insulin.

Waktu paruh injeksi insulin reguler (IV) yaitu 9 menit. Sehingga wkatu efektif untuk injeksi insulin (IV) lebih pendek. Insulin IV lebih murah daripada insulin lainnya. Insulin terdegradasi di hati, otot, dan ginjal. Insulin dimetabolisme dihati sekitar 20%-50%, sedangkan dimetabolisme di ginjal sekitar 25%-20%. Sehingga tidak dianjurkan untuk pasien menggunakan insulin jika terdapat penyakit ginjal stadium akhir.

d. Komplikasi mikrovaskular

Insulin telah terbukti sebagai agen oral untuk mengobati DM. Penelitian di Amerika telah membuktikan bahwa efikasi antara insulin dan sulfonilurea menunjukkan efikasi yang sama dalam penurunan mikrovaskular.

e. Komplikasi makrovaskular

Hubungan antara masalah tingginya kadar insulin (hiperinsulinemia), resistensi insulin, dan kardiovaskular sehingga dapat dipercayai bahwa terapi insulin dapat menyebabkan komplikasi makrovaskular. Namun UKPDS dan DCCT tidak menemukan hubungan antara komplikasi makrovaskular dengan terapi insulin.

f. Efek samping

Secara umum efek samping insulin yaitu hipoglikemia dan kenaikan berat badan. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien yang instensif melakukan terapi, dan lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 1 daripada tipe2. Sehingga pemantauan kadar glukosa darah sangat penting dilakukaan pada pasien yang menggunakan terapi insulin. Jika pasien telah mengalami hipoglikemia yang berat maka akan terjadi takikardia dan berkeringat).


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta g. Dosis dan cara pemberian

Pada pasien DM tipe 1, dosis seharinya 0,5-0,6 unit/kg. Selama penyakit akut atau ketosis resistensi insulin maka dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Dosis diberikan tergantung dengan keadaan patologi pasien.

2. Golongan sulfonilurea a. Farmakologi

Mekanisme utama dari sulfonilurea yaitu meningkatkan sekresi insulin. Hal ini dengan cara mengikat sulfonilurea ke reseptor spesifik sulfonilurea pada sel β pankreas. Sekresi insulin melalui vena portal kemudian menekan produksi glukosa hepatik.

b. Klasifikasi

Sulfonilurea diklasifikasikan menjadi dua generasi. Generasi pertama terdiri dari (asetoheksamid, klorpropamid, tolazamid, dan tolbutamid), generasi kedua (glimepirid, glipizid, dan gliburid).

c. Farmakokinetik

Golongan sulfonilurea semua dimetabolisme di hati. Enzim CYP 450 terlibat dalam metabolisme sulfonilurea di hati. Lalu metabolit yang tidak aktif akan diekskresikan melalui ginjal sehingga pada obat golongan ini perlu perlu penyesuaian dosis dan berhati-hati pada pasien yang mengalami gangguan ginjal.

d. Komplikasi mikrovaskular

Sulfonilurea dapat mengurangi komplikasi mikrovaskular pada pasien DM tipe 2.

e. Efek samping

Efek samping yang paling umum adalah hipoglikemia. Semakin rendah FPG, maka semakin tinggi potensi hipoglikemia. Orang-orang yang melewatkan makan, berolahraga dalam beban yang berat makan lebih mungkin mengalami hipoglikemia. Faktor rsiko mengalami hipoglikemia yaitu usia >60 tahun, jenis kelamin perempuan, dan digunakan bersamaan


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan diuretik tiazid. Efek samping lainnya pada golongan ini yaitu ruam kulit, anemia hemolitik, gangguan pencernaan, dan kolestasis.

f. Dosis dan cara pemberian

Untuk dosis pasien usia lanjut dan pasien gangguan ginjal atau hati, dapat dilakukan penurunan dosis. Dosis dosis harus dititrasi setiap 1 sampai 2 minggu untuk mencapai target glikemik. Pada obat immediate release memiliki dosis maksimal glipizid yaitu 40mg/hari, dosis efektif maksimal 10-15 mg/hari.

Yang termasuk obat golongan ini sebagai berikut : (Soegondo,dkk., 2005). a. Khlorpropamid

Seluruhnya dieksresi melalui ginjal sehingga tidak dipakai pada gangguan faal ginjal dan oleh karena lama kerjanya lebih dari 24 jam, diberikan sebagai dosis tunggal, tidak dianjurkan untuk pasin geriatri.

b. Glibenklamid

Mempunyai efek hipoglikemik yang poten, sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Dikatakan mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa kelainan fungsi hati dan ginjal yang ringan.

c. Glikazid

Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang sehingga tidak begitu sering menyebabkan hipoglikemia mempunyai efek antiagregasi trombosit yang lebih poten. Dapat diberikan pada gangguan fungsi hati dan ginjal yang ringan.

d. Glikuidon

Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang dan juga jarang menyebabkan hipoglikemia. Karena hampir seutuhnya di eksresi melalui empedu dan usus, dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati yang lebih berat.


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mempunyai efek yang lebih lama dari glibenklamid tetapi lebih pendek dari khlorpropamid dan mempunyai efek menekan produksi glukosa hati dan meningkatkan jumlah reseptor.

f. Glimepirid

Mempunyai waktu mulai kerja yang pendek dan waktu kerja yang lama, dengan cara pemberian dosis tunggal. Efek farmakodinamiknya adalah mensekresi sedikit insulin dan kemungkinan adanya aksi dari ekstra pankreas. Untuk pasien yang berisiko tinggi yaitu usia lanjut, gangguan ginjal atau yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik pada awal pengobatan.

3. Golongan biguanid a. Farmakologi

Metformin merupakan satu-satunya sediaan yang ada di Amerika Serikat. Metformin telah digunakan secara klinis selama 45 tahun, dan telah disetujui sejak 1995 tahun. Metformin dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan perifer. Metformin tidak memiliki efek langsung pada sel β, meskipun kadar insulin berkurang, mencerminkan peningkatan pada sesitivitas insulin.

b. Farmakokinetik

Metformin memiliki bioavailabilitas oral 50% sampai 60%, kelarutan lipid yang rendah, dan volume distribusi yang tinggi. Metformin tidak dimetabolisme dan tidak mengikat protein di plasma. Metformin dieliminasi di ginjal. Metformin memiliki waktu paruh 6 jam, namun memiliki efek > 24jam.

c. Komplikasi mikrovaskular

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan yang terlihat antara terapi dengan mengurang komplikasi mikrovaskular.


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menurut UKPDS bahwa metformin dapat mengurangi komplikasi makrovaskular. metformin secara signifikan dapat mengurangi semua penyebab kematian dan risiko stroke. Metformin telah terbukti dapat mengurangi risiko kematian total dan kematian kardiovaskular.

e. Efek samping

Metformin memiliki efek samping pada gastrointestinal (ketidak nyamanan perut, sakit perut, dan diare) serta dapat terjadi anoreksia sehingga dapat menyebabkan kehilangan berat badan. Efek samping ini dapat di atasi dengan titrasi yang lambat. Efek samping pada gastrointestinal juga bersifat sementara. Pasien lanjut yang mengalami penurunan massa otot dan laju filtrasi glomerulus kurang dari 70 sampai 80 mL/menit, sehingga sebaiknya metformin tidak diberikan.

f. Dosis dan cara pemberian

Metformin immediate release memiliki dosis sehari-hari sebesar 500 mg/hari bersamaan dengan makanan untuk meminimalkan efek samping pada gastrointestinal. Metformin dapat ditingkatkan 500 mg sampai 200 mg/hari hingga mencapai tujuan glikemik. Metformin dapat digunakan sebesar 850 mg, kemudian dapat ditingkatkan setiap 1 sampai 2 minggu dan untuk dosis maksimal 850 mg tiga kali sehari (2250mg/hari). Untuk metformin extend release dapat dimulai dari dosis 500mg/hari bersamaan dengan makan malam dan di titrasi setiap minggu. Sediaan ini dapat meminimalkan efek samping pada gastrointestinal dan meningkatkan kontrol glikemik.

4. Golongan tiazolidindion a. Farmakologi

Tiazolidindion juga disebut sebagai TZDs atau glitazon. Pioglitazone dan rosiglitazone telah disetujui untuk pengobatan DM tipe2. Tiazolidindion dapat meningkatkan sensitivitas insulin di otot, hati, dan jaringan lemak secara tidak langsung. Tiazolidindion dapat menyebabkan preadiposit untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel lemak pada subkutan.


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Farmakokinetik

Pioglitazon dan rosiglitazon dapat diserap dengan baik dengan atau tanpa makanan. Keduanya (> 99%) berikatan dengan protein albumin. Pioglitazon terutama dimetabolisme oleh CYP2C8. Rosiglitazon dimetabolisme oleh CYP2C8. Waktu paruh pioglitazon dan rosiglitazon yaitu masing-masing 3-7 jam dan 3-4 jam. Kedua obat tersebut memiliki durasi antihiperglikemik lebih dari 24 jam.

c. Komplikasi mikrovaskular

Tiazolidindion dapat mengurangi Hba1c, dan mempunyai hubungan pada risiko komplikasi mikrovaskular.

d. Komplikasi makrovaskular

Tiazolidindion dapat mengubah fungsi endothelium, mempengaruhi HDL, dan penurunan tekanan darah.

e. Efek samping

Dapat menyebabkan hepatotoksisitas, dapat meningkatkan alanin amino transferase (ALT), retensi cairan, dan anemia.

f. Dosis dan cara pemberian

Dosis yang dianjurkan dimulai dari pioglitazon15 mg/ hari sekali sehari dan rosiglitazon 2-4 mg sekali sehari. Dosis dapat ditingkatkan perlahan-lahan tergantung pada tujuan terapi dan efek samping. Dosis maksimum piglitazon 45 mg, dan rosiglitazon 8 mg sekali sehari.

5. Golongan α-glukosidase inhibitor a. Farmakologi

Saat ini, ada dua inhibitor α-glukosidase (akarbosa dan miglitol). Inhibitor α-glukosidase kompetitif dapat menghambat enzim (maltase, isomaltase, sukrase, dan glukoamilase) di usus kecil.

b. Farmakokinetik

Mekanisme kerja α-glukosidase inhibitor terbatas pada luminal usus. Beberapa metabolit dari akarbosa diserap dan dieskresikan melalui ginjal,


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedangkan mayoritas miglitol diserap dan ekskresikan melalui ginjal tidak berubah.

c. Komplikasi mikrovaskular

α-glukosidase inhibitor dapat mengurangi kadar Hba1c, dan terbukti berhubungan pada risiko komplikasi mikrovaskular.

d. Komplikasi makrovaskular

Akarbosa terbukti dapat menurunkan gangguan toleransi glukosa terhadap diabetes, serta mengurangi risiko kardiovaskular.

e. Efek samping

Efek samping pada gastrointestinal seperti perut kembung, ktidaknyamanan perut, dan diare.

f. Dosis dan cara pemberian

Dosis untuk kedua obat (miglitol dan akarbosa) mirip. Memulai dengan dosis yang sangat rendah (25 mg dengan satu kali makan satu hari), dapat meningkatkan secara bertahap (selama beberapa bulan) untuk dosis maksimum 50 mg tiga kali sehari utuk pasien ≤ 60 kg atau 100 mg tiga kali sehari untuk pasien > 60kg. kedua inhibitor α-glukosidase harus bersamaan dengan makanan. inhibitor α-glukosidase kontraindikasi pada pasien dengan sindrom usus atau inflamasi usus, dan tidak harus diberikan pada pasien dengan kreatinin serum > 2mg/dL.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat hipoglikemik oral: 1. dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan

secara bertahap.

2. harus diketahui betul bagaiman cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut. Misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam.

3. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.

4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal, baru beralih kepada insulin.


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh orang dengan diabetes.

Adapun indikasi pemakaian obat hipoglikemik oral: 1. Diabetes sesudah umur 40 tahun

2. Diabetes kurang dari 5 tahum

3. Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit sehari 4. DM tipe 2, berat normal atau lebih (Soegondo, dkk.,2005).

2.2.8 Obat hipoglikemik oral pada pasien geriatri

Hipoglikemik harus dihindari pada orang dengan diabetes usia lanjut, oleh karena itu sebaiknya obat-obat yang bekerja jangka panjang tidak dipakai da diberikan obat-obat yang mempunyai masa paruh yang pendek tetapi bekerja cukup lama.

1. Terapi kombinasi sulfonilurea dan biguanid

Pada saat-saat tertentu diperlukan kombinasi atau pemakaian bersama antara obat-obat golongan sulfonilurea dan biguanid. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk biguanid untuk bekerja efektif, kedua-duanya rupanya mempunyai efek terhadap sensitivitas reseptor jadi pemakaian kedua obat tersebut saling menunjang. Kombinasi kedua obat ini dapat efektif pada banyak penyandang DM yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai tunggal.

2. Obat hipoglikemik oral dan insulin

Kombinasi obat obat hipoglikemik oral (OHO) dan insulin dapat dimulai jika dengan OHO dosis maksimal, baik tunggal ataupun secara kombinasi namun kadar glukosa darah belum tercapai. Pada keadaan ini dipikirkan adanya kegagalan pemakaian OHO. Untuk kombinasi ini, insulin kerja sedang dapat diberikan pada pagi atau malam hari.

Kontraindikasi: obat pemicu sekresi insulin tidak dapat diberikan pada DM tipe 1. Adanya kelainan parenkim pada hati dan ginjal, kehamilan, laktasi, dan masa terdapat stress berta memerlukan pertimbangan khusus sebelum memakai pemicu sekresi insulin.


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pasien diabetes harus menyadari bahwa obat-obat oral diresepkan sebagai pelengkap (bukan pengganti) bentuk terapi lain seperti diet dan latihan. Penggunaan obat OAD mungkin perlu dihentikan untuk sementara waktu dan digantikan dengan insulin jika pasien mengalami hiperglikemia yang disebabkan oleh infeksi, trauma, atau pembedahan (Smeltzer dan Bare., 2002).

Tabel 2.2 Target pelaksanaan Diabetes Melitus (Dipiro, dkk., 2009)

Parameter ADA ACE dan AACE

Kadar plasma preprandial 90-130 mg/dl < 110 mg/dl Kadar plasma postprandial < 180 mg/dl <140 mg/dl


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 (American Diabetes Association, 2014)

Makanan sehat, kontrol berat badan, meningkatkan aktivitas fisik

Terapi awal Metformin

monoterapi

Efek ( HbA1c) Tinggi

Hipoglikemia Risiko Rendah

Berat badan Nertral/menurunkan

Efek samping GI/ asidosis laktat

Harga Murah

Jika target HbA1c tidak tercapai selama 3 bulan, lanjutkan ke kombinasi 2 obat

Kombinasi 2 obat

Efek ( HbA1c) Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Hipoglikemia Risiko Risiko rendah Risiko rendah Risiko Risiko

moderate rendah rendah

Berat badan Meningkat Meningkat Netral Menurun Meningkatk Efek samping major Hipoglikemia Edema, HF, Fx’s Jarang GI Hipoglikemia

Harga Murah Mahal Mahal Mahal variasi

Jika target HbA1c tidak tercapai selama 3 bulan, lanjutkan ke kombinasi 2 obat

Kombinasi 3 obat

strategi Jika terapi terapi kombinasi insulin basal tidak dapat mencapai target insulin HbA1c selam 3-6 bulan maka kombinasi ditambahkan dengan dua kompleks obat antihiperglikemik non insulin.

Metformin + sulfonilurea

Metformin DPP-4 inhibitor

Metformin + GLP-1 reseptor agonist Metformin + Tiazolidindion Metformin + insulin Metformin + sulfonylurea + TZD Atau DPP-4-i Atau GLP-1- RA Atau Insulin Metformin + Tizolidindion + SU

Atau DPP-4-i Atau GLP-1- RA Atau Insulin Metformin + DPP-4-inhibitor + SU Atau TZD Atau Insulin

Metformin + Insulin + TZD Atau DPP-4-i Atau GLP-1- RA Metformin + GLP-1 receptor Agonist + SU Atau TZD Atau Insulin


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.10 Protokol Diabetes Melitus Tipe 2

Protokol diabetes melitus tipe 2 menurut Cello:

1. Dokter umum melaporkan pasien baru melalui komputer perawat. Lalu mengajak pasien untuk melakukan konsultasi diabetes. Serta melakukan pengambilan sampel darah. Dalam melakukan konsultasi membahas tentang gaya hidup, tekanan darah, berat badan, penggunaan obat-obatan dan faktor-faktor yang lainnya yang mungkin mempengaruhi penyakit tersebut. Selain itu dapat melakukan pemeriksaan darah, kaki, dan mata selam 1 tahun sekali.serta melakukan pemeriksaan tekanan darah, berat badan, dan lingkar perut.

Lalu melakukan pertanyaan pada pasien meliputi: a. Gaya hidup

b. Keluhan (misalnya hipo atau hiperglikemia) c. Obat (kepatuhan pasien)

d. Kontrol kadar glukosa darah e. Masalah mata

f. Keluhan kardiovaskular (angina pektoris, gagal jantung)

g. Keluhan neuropatik (berkurangnya kepekaan, rasa sakit/ kesemutan dan mati rasa).

h. Neuropati autonomi (masalah pada pengosongan lambung atau diare) i. Masalah seksual (disfungsi ereksi, mengurangi hasrat seksual)

2. Melakukan Diagnosis

Diagnosis dapat dilakukan dengan mengukur glukosa darah puasa pada dua hari yang berbeda; atau ketika glukosa darah sewaktu.

Profil risiko dapat ditentukan melalui:

a. Memeriksa data medis untuk melihat patologi kardiovaskular: infark miokard, angina pektoris, gagal jantung, dan penyakit pembuluh darah perifer.

b. Menanyakan riwayat penyakit jantung orang tua, saudara atau saudari sebelum usia 60 tahun.


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta d. Tekanan darah dan BMI.

i. Toleransi Glukosa Terganggu

Dapat dilakukan pengulangan pengukuran setelah 2 minggu. Jika terlalu tinggi, setelah 3 bulan glukosa puasa dan HbA1c harus diukur lagi. Jika diagnosis diabetes melitus masih tidak mungkin, pasien harus diperiksa setiap tahun oleh pelayanan diabetes.

ii. Deteksi (kemungkinan) dalam praktek pengobatan umum. Penentuan kadar glukosa darah untuk:

a. Keluhan atau gangguan yang disebabkan oleh diabetes melitus , misalnya: haus, polyuria, penurunan berat badan, pruritus vulvue pada usia yang lebih tua, nyeri, dan gangguan sesibilitas neurogenik.

b. Setiap 3 tahun untuk orang tua dari usia 45 tahun yang berisiko: hipertensi, gangguan metabolisme lemak, BMI> 27, riwayat DM tipe 2, wanita hamil yang menderita DM, orang dari turki;maroko; atau dan etnis tertentu.

3. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Hal terpenting pada penatalaksanaan DM yaitu: a. Nilai target

b. Informasi dan edukasi

c. Terapi non-farmakologi (berhenti merokok, olahraga, nutrisi, menurunkan berat badan jika BMI> 27)

d. Terapi farmakologi (jika dengan terapi non farmakologi pasien belum bisa mencapai nilai target (HbA1c) setelah 3 bulan, terapi obat dimulai. Dokter umum yang menentukan obat yang akan digunakan.

4. Komplikasi Selama Diabetes Melitus a. Faktor risiko kardiovaskular b. Nefropati

c. Masalah kaki (ulkus kaki diabetikum) d. Retinopati (Cello,2010).


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 12.

Hasil Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin dengan DRPs

Crosstab

DRP

Total

ada tidakbutuh

jenis kelamin perempuan Count 9 8 17

% within DRP 50.0% 80.0% 60.7%

laki-laki Count 9 2 11

% within DRP 50.0% 20.0% 39.3%

Total Count 18 10 28

% within DRP 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.426a 1 .119

Continuity Correctionb 1.331 1 .249

Likelihood Ratio 2.559 1 .110

Fisher's Exact Test .226 .124


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 13.

Hasil Analisis Hubungan antara Penyakit Komplikasi dengan DRPs

penyakit_komplikasi * DRP Crosstabulation

DRP

Total ada tidak ada

penyakit_komplikasi Ada Count 14 8 22

% within DRP 77.8% 80.0% 78.6%

tidak ada Count 4 2 6

% within DRP 22.2% 20.0% 21.4%

Total Count 18 10 28

% within DRP 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .019a 1 .891

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .019 1 .890

Fisher's Exact Test 1.000 .642

N of Valid Casesb 28

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for

penyakit_komplikasi (ada / tidak ada)

.875 .130 5.890

For cohort DRP = ada .955 .499 1.825

For cohort DRP = tidak ada 1.091 .310 3.844


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 14.

Hasil Analisis Hubungan antara Penyakit Penyerta dengan DRPs

Crosstab

DRPs

Total ada tidak ada

penyakit_penyerta 100 Count 19 9 28

% within penyakit_penyerta 67.9% 32.1% 100.0%

Total Count 19 9 28

% within penyakit_penyerta 67.9% 32.1% 100.0%

Chi-Square Tests

Value

Pearson Chi-Square .a

N of Valid Cases 28


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 15.

Hasil Analisis Hubungan antara Obat Antidiabetes Tunggal dengan

DRPs

Crosstab

DRP

Total ada tidak ada

OAD_tunggal ada Count 11 6 17

% within DRP 61.1% 60.0% 60.7%

tidak ada Count 7 4 11

% within DRP 38.9% 40.0% 39.3%

Total Count 18 10 28

% within DRP 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 7.003a 1 .004

Continuity Correctionb 6.566 1 .016

Likelihood Ratio 9.003 1 .002

Fisher's Exact Test .002 .002

N of Valid Casesb 28

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for OAD_tunggal

(ada / tidak ada) 1.048 .216 5.090

For cohort DRP = ada 1.017 .576 1.795

For cohort DRP = tidak ada .971 .353 2.672


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 16.

Hasil Analisis Hubungan antara Obat Antidiabetes Kombinasi

dengan DRPs

Crosstab

DRP

Total Ada tidak ada

OAD_Kombinasi Ada Count 7 4 11

% within DRP 38.9% 40.0% 39.3%

tidak ada Count 11 6 17

% within DRP 61.1% 60.0% 60.7%

Total Count 18 10 28

% within DRP 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 7.003a 1 .004

Continuity Correctionb 6.566 1 .016

Likelihood Ratio 9.003 1 .002

Fisher's Exact Test .002 .002

N of Valid Casesb 28

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .003a 1 .954

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .003 1 .954

Fisher's Exact Test 1.000 .632


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 17.

Hasil Analisis Hubungan antara Jumlah Penggunaan Obat dengan

DRPs

Crosstab

DRP

Total ada tidak ada

Jumlah_penggunaanobat >15obat Count 4 3 7

% within DRP 22.2% 30.0% 25.0%

<15obat Count 12 7 19

% within DRP 66.7% 70.0% 67.9%

15 obat Count 2 0 2

% within DRP 11.1% .0% 7.1%

Total Count 18 10 28

% within DRP 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.277a 2 .034

Likelihood Ratio 1.929 2 .001


Dokumen yang terkait

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa Tahun 2011

4 87 60

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INSTALASI RAWAT INAP Idenifikasi Drug Related Problems (DRPs) Potensial pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS "X" Tahun 2015.

1 9 19

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 Idenifikasi Drug Related Problems (DRPs) Potensial pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS "X" Tahun 2015.

0 3 13

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMs KATEGORI OBAT SALAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II GERIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2007.

0 0 18

ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) KATEGORI INTERAKSI OBAT DAN SALAH OBAT PADA PASIEN ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) KATEGORI INTERAKSI OBAT DAN SALAH OBAT PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 GERIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DA

0 1 17

PENDAHULUAN ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) KATEGORI INTERAKSI OBAT DAN SALAH OBAT PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 GERIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE TAHUN 2010.

0 1 31

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan diuretik pada pasien geriatri dengan hipertensi komplikasi stroke di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 - Juni 2013.

0 3 123

Evaluasi drug therapy problems obat hipoglikemik oral pada pasien geriatri penderita Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman periode 2008 - USD Repository

0 0 123

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2009-Maret 2010 - USD Repository

0 2 120

Evaluasi drug therapy problems obat hipoglikemia kombinasi pada pasien geriatri diabetes mellitus tipe 2 di instalasi rawat jalan RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode Januari-Juni 2009 - USD Repository

0 0 123