Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Ranting (Ramulus) Patah Tulang (Euphorbia Tirucalli L.) Sebagai Analgetik Pada Mencit Jantan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman Patah Tulang
2.1.1 Morfologi Tanaman Patah Tulang
Tanaman Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) berasal dari Afrika tropis,
tamanan ini menyukai tempat terbuka yang terkena cahaya matahari langsung. Di
Indonesia, ditanam sebagai tanaman pagar, tanaman hias di pot, tanaman obat,
atau tumbuh liar. Dapat ditemukan dari dataran rendah sampai ketinggian 600 m.
Perdu yang tumbuh tegak ini mempunyai tinggi 2-6 m dengan pangkal berkayu,
bercabang banyak, dan bergetah seperti susu yang beracun (Nuryati, 2011).
Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) mempunyai ranting yang bulat
silindris berbentuk pensil, beralur halus membujur, dan berwarna hijau.
Rantingnya setelah tumbuh sekitar satu jengkal akan segera bercabang dua yang
letaknya melintang, demikian seterusnya sehingga tampak seperti percabangan
yang terpatah-patah. Daunnya jarang, terdapat pada ujung ranting yang masih
muda, kecil-kecil, bentuknya lanset, panjang 7-25 mm, dan cepat rontok. Bunga
majemuk, tersusun seperti mangkuk, warnanya kuning kehijauan seperti ranting.
Jika masak, buahnya akan pecah dan melemparkan biji-bijinya. Ciri khas
tumbuhan patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah tidak memiliki daun dan
hanya tersusun atas batang-batang yang mirip tulang belulang. Getah yang

dikandung patah tulang terbukti secara empiris mengobati tulang patah
(Nuryati, 2011).

65
Universitas Sumatera Utara

Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) juga dikenal dengan nama
susuru (Sunda), kayu urip, pacing tawa, tikel balung (Jawa), kayu jaliso, kayu
leso, kayu langtolangan, kayu tabar (Madura), patah tulang (Sumatera)
(Nuryati, 2011).
2.1.2. Sistematik Tanaman Patah Tulang
Divisi

: Spermatophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Kelas


: Dicotyledonae

Bangsa

: Asterales

Suku

: Euphorbiaceae

Warga

: Euphorbia

Jenis

: Euphorbia tirucalli

(Setiawati,dkk, 2008).


2.1.3 Sifat dan Kandungan Kimia
Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) mempunyai bau lemah, rasa mulamula tawar, lama kelamaan timbul rasa kebas di lidah. Mengandung senyawa
euphorbone, taraksasterol, laktucerol, euphol, senyawa damar yang menyebabkan
rasa tajam ataupun kerusakan pada selaput lendir, bila terkena mata getah patah
tulang dapat menyebabkan kebutaan, sesegera mungkin mata dicuci dengan air
kelapa atau santan (Arief, 2007).

66
Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Manfaat Tanaman Patah Tulang
Bagian tanaman yang paling sering dimanfaatkan untuk obat adalah kulit
batang dan ranting dan akarnya dengan beberapa cara manfaat penggunaannya,
yaitu:
- Mencegah tahi lalat membesar
Gosok tahi lalat dengan air jeruk nipis, lalu olesi dengan getah patah tulang.
Lakukan beberapa kali sehari dan jangan sampai terkena mata.
- Kapalan (clavus) dan kutil
Cuci bersih ½ kg dahan dan ranting patah tulang, lalu rebus dengan 4 liter air

sampai tersisa 2 liter. Gunakan air rebusan hangat untuk merendam bagian
tubuh yang kulitnya menebal atau terdapat kutilnya selama ½ jam. Setelah
kulit kering, olesi kutil dengan lendir daun lidah buaya sampai merata. Dengan
pengobatan ini, kapalan atau kutil dapat terlepas dengan sendirinya.
- Kulit tertusuk duri atau terkena pecahan kaca
Olesi kulit atau tubuh yang tertusuk duri dengan getah patah tulang. Getah
patah tulang dapat mengeluarkan duri-duri dari kulit.
- Sakit gigi
Teteskan getah patah tulang pada gigi yang sakit dan berlubang. Lakukan satu
sampai dua kali sehari. Hati-hati jangan sampai mengenai gigi yang sehat.
- Patah tulang
Gosokkan getah patah tulang pada kulit diatas tulang yang patah. Cara lainnya,
giling halus ranting patah tulang dan tempelkan hasil gilingan di atas tulang
yang patah kemudian balut. Lakukan pengobatan dua kali sehari dengan
mengganti pembalutnya.

67
Universitas Sumatera Utara

- Herpes zoster

Tumbuk halus 1 genggam herba patah tulang dan 1 buah bawang putih, lalu
tambahkan air dingin. Balurkan hasil tumbukan pada bagian tubuh yang sakit.
Lakukan pengobatan tiga kali sehari (Arief, 2007).
2.2 Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
darisimplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM, 1995). Ragam ekstraksi
yang tepat bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang
diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne,1984).
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian kosentrasi pada kesimbangan. Maserasi dilakukan dengan cara
pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi dilakukan dengan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama,
dan seterusnya (Ditjen, 2000).
Metode ekstraksi atau cara ekstraksi dapat dilakukan dengan cara merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel
dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut
karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan

yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan
di dalam sel. Tehnik ini biasanya digunakan jika kandungan organik yang ada

68
Universitas Sumatera Utara

dalam bahan-bahan tumbuhan tersebut cukup tinggi dan telah diketahui jenis
pelarut yang dapat melarutkan dengan baik senyawa-senyawa yang akan
diekstraksi atau diisolasi. Kelemahan teknik ini yakni adanya kejenuhan
konsentrasi larutan penyari (Ditjen, 2000).
2.3 Tinjauan Umum Tentang Nyeri
2.3.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh, sensasi penglihatan,
pendengaran, bau, rasa, sentuhan,dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor
sensorik.

Provokasi

saraf-saraf


sensorik

nyeri

menghasilkan

reaksi

ketidaknyamanan, distress, atau menderita (Raylene, 2008).
2.3.2 Mekanisme Nyeri

Gambar 2.1 Perjalanan Nyeri (Anonim, 2011).
Pada Gambar 2.1 menjelaskan tentang perjalanan rangsangan nyeri. Rasa
nyeri terjadi akibat rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang
dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat
tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung
saraf bebas di kulit, selaput lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain.

69

Universitas Sumatera Utara

Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris ke sistem saraf
pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat
nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Otak besar
dan otak kecil bersama-sama melakukan reaksi pertahanan dan perlindungan.
Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin, dan
prostagladin, serta ion-ion kalium (Mustchler, 1991; Ganiswara, 1995; Tan dan
Rahardja, 2002).
Banyak faktor yang mempengaruhi nyeri (Gambar 2.1), antara lain:
lingkungan, umur, kelelahan, riwayat nyeri sebelumnya, mekanisme pemecahan
masalah pribadi. Sebagian besar rasa nyeri hebat oleh karena: trauma, iskemia
atau inflamasi disertai kerusakan jaringan. Hal ini mengakibatkan terlepasnya zat
kimia tertentu yang berperan dalam merangsang ujung-ujung saraf perifer. Nyeri
dapat diperberat dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang berlebihan,
misalnya: kebisingan, cahaya yang sangat terang dan kesendirian. Kelelahan juga
meningkatkan nyeri sehingga banyak orang merasa lebih nyaman setelah tidur
(Willkinson, 2007).
2.3.3 Mediator Nyeri
Ada beberapa sumber/penghasil senyawa kimia yang terlibat pada

pengenalan nyeri, yaitu (1) berasal dari sel-sel yang rusak, (2) disintesis oleh selsel melalui enzim yang diinduksi karena kerusakan jaringan, atau (3) merupakan
produk nosiseptor sendiri. Histamin dan kalium yang dilepaskan oleh sel setelah
terjadi kerusakan jaringan dapat mengaktivasi dan/atau mensensitisasi nosiseptor.
Pada kadar rendah, bradikinin, suatu polipeptida hasil potongan protein plasma,
dapat menghasilkan vasodilatasi dan edema, mengakibatkan hiperalgesia (yaitu

70
Universitas Sumatera Utara

sensitivitas berlebihan terhadap nyeri), pada kadar tinggi, bradikin dapat secara
langsung menstimulasi nosiseptor untuk aktif. Prostaglandin dan leukotrien
merupakan senyawa yang disintesis di daerah kerusakan jaringan dan dapat
mengakibatkan hiperalgesis melalui kerja langsungnya pada nosiseptor atau
dengan mensensitisasi nosiseptor terhadap senyawa lain. Senyawa P, suatu
neurotransmitter yang dilepaskan dari serabut saraf aferen, juga mengakibatkan
pelepasan histamin dan bekerja sebagai vasodilator kuat (Raylene, 2008).
Tabel 2.1 Senyawa Aktif Mediator-mediator Nyeri
Senyawa

Sumber


Histamin

Dilepaskan oleh sel mast

Kalium

Dilepaskan oleh sel-sel yang rusak

Bradikinin

Protein plasma

Prostaglandin

Asam arakidonat yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak

Leukotrien

Asam arakidonat yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak


Senyawa P

Neuron aferen primer

Sumber: Field, (1987).
2.3.4 Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis yaitu:
1. Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat yang tidak
merusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan menimbulkan nyeri yang ringan.
Ciri khas nyeri sederhana adalah terdapatnya korelasi positif antara kuatnya
stimuli dan persepsi nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka semakin berat nyeri
yang dialami.
2. Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat kuat sehingga
merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami inflamasi dan menyebabkan

71
Universitas Sumatera Utara

fungsi berbagai komponen nosiseptif berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi
mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin,
prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi
nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi nosiseptor
menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi nosiseptor menyebabkan hiperalgesia.
3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan adanya disfungsi
primer ataupun lesi pada sistem saraf yang diakibatkan: trauma, kompresi,
keracunan toksin atau gangguan metabolik. Akibat lesi, maka terjadi perubahan
khususnya pada serabut saraf aferen (SSA) atau fungsi neuron sensorik yang
dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara
neuron dengan lingkungannya, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan.
Gangguan keseimbangan tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga
aktivasi SSA (mekanisme perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya
menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral) (Turk dan Flor, 1999;
Raylene, 2008).
Pengobatan nyeri tidak hanya difokuskan untuk menghilangkan gejala
tetapi juga untuk mengatasi penderitaan dan ketidakmampuan yang diakibatkan
oleh nyeri tersebut. Pemberian analgetik secara teratur disarankan lebih untuk
mencegah munculnya nyeri dari pada meredakan nyeri yang telah terjadi. Rasa
nyeri dapat di atasi dengan obat-obat analgetik yang letak dan tempat kerjanya
disesuaikan dengan rasa nyeri yang dirasakan, rasa nyeri ringan sampai sedang
dapat diobati dengan obat-obat analgetik perifer seperti antalgin tablet
(Metampiron) dan nyeri sedang sampai nyeri berat dapat diobati dengan obat-obat
analgetik narkotik seperti morfin.

72
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan
dengan beberapa cara, yaitu:
a. merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh
analgetika perifer atau anestetika lokal.
b. merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya
dengan anestetika lokal
c. blokade dari pusat nyeri dalam sistem saraf pusat dengan analgetika sentral
(narkotika) atau anestetika umum (Tan dan Rahardja, 2002).
2.4 Analgetik
2.4.1 Definisi Analgetik
Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik digunakan untuk
meringankan atau mengurangi rasa nyeri tanpa mempengaruhi kesadaran
(Mustchler, 1991; Tan dan Rahardja, 2002; Siswandono dan Soekardjo, 2008 ).
Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni penerimaan
rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu
terhadap perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses
pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan
narkotik menekan reaksi-reaksi psikis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Pada pengobatan rasa nyeri dengan analgetik, faktor-faktor psikis turut berperan,
misalnya kesabaran individu dan daya menerima nyeri. Secara umum analgetik
dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non-narkotik atau integumental
analgetik (misalnya asetosal dan parasetamol) dan analgetika narkotik atau
analgetik opioid atau viseral analgetik (misalnya morfin) (Mustchler, 1991).

73
Universitas Sumatera Utara

2.5 Obat-obat Analgetik
2.5.1 Analgetik Narkotik
Analgetik narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem
saraf pusat secara selektif dan dapat mengurangi rasa sakit yang moderat ataupun
berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung
akut, sesudah operasi dan kolik usus dan ginjal. Aktivitas analgetik narkotik jauh
lebih besar dibanding golongan analgetik non narkotik, sehingga disebut pula
analgetik kuat (Siswandono dan Soekardjo, 2008).
2.5.1.1 Morfin
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L. yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dua golongan: (1) golongan
fenantren misalnya morfin dan kodein dan (2) golongan benzilisokinolin,
misalnya noskapin dan papaverin (Ganiswara, 1995).
Rumus Bangun:

Gambar 2.2 Struktur Molekul Morfin (Ditjen POM, 1995).
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan
tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi
kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman

74
Universitas Sumatera Utara

(euforia), dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta
ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala
abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka
kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam UndangUndang Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM
(Ganiswara, 1995).
2.5.1.2 Mekanisme Kerja Morfin
Efek analgetik dari morfin dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan
sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord (Siswandono dan
Soekardjo, 2008).

Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Morfin di Reseptor Opioid (Mycek, 2001).
Morfin memperlihatkan efek utamanya dengan berinteraksi dengan
reseptor opioid pada SSP dan saluran cerna yang menyebabkan hiperpolarisasi sel
saraf, menghambat peletupan saraf dan penghambatan pelepasan transmiter.
Morfin bekerja pada reseptor µ (mu) yang memodulisasi presepsi nyeri dalam

75
Universitas Sumatera Utara

medula spinalis menyebabkan analgesia (menghilangkan nyeri tanpa hilangnya
kesadaran) (Mycek, 2001).
Antagonis-antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek
samping dari analgetik narkotik tanpa mengurangi kerja analgetiknya dan
terutama digunakan pada overdosis atau intoksiaksi dengan obat-obat ini. Zat-zat
ini sendiri juga berkhasiat sebagai analgetik, tetapi tidak dapat digunakan dalam
terapi, karena dia sendiri menimbulkan efek-efek samping yang mirip dengan
morfin, antara lain depresi pernafasan dan reaksi-reaksi psikotis. Yang sering
digunakan adalah nalorfin dan nalokson (Mustchler, 1991; Mycek, 2001).
Efek morfin terhadap sistem saraf pusat berupa analgesia dan narkosis.
Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan
seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (10-15 mg)
menimbulkan euforia pada penderita yang sedang menderita nyeri, sedih dan
gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan
disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai dengan mual, dan muntah.
Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berfikir,
apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, ektremitas
terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas
dan miosis. Rasa lapar hilang dan dapat muntah yang tidak selalu disertai rasa
mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20
mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan
miosis. Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi nafas) morfin dan
opioid lain terdapat antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis bagi efek
analgetik dan efek depresi nafas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu

76
Universitas Sumatera Utara

sebelum pemberian morfin, efek analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya
bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek analgetik mencapai maksimum, dosis
morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita
yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan morfin dengan dosis besar
untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan terhadap depresi nafas morfin.
Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka kemungkinan besar timbul gejala
depresi nafas oleh morfin (Ganiswara, 1995; Tan dan Rahardja, 2002).
2.5.2 Analgetik Non- narkotik
Analgetik non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang
ringan sampai moderat, sehingga sering disebut analgetik ringan. Analgetik non
narkotik bekerja pada perifer dan sentral sistem saraf pusat, obat golongan ini
mengadakan

potensiasi

dengan

obat-obat

penekan

sistem

saraf

pusat

(Siswandono dan Soekardjo, 2008).
Adapun obat-obat analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang bekerja
disaraf perifer seperti: derivat salisilat, derivat p-aminofenol, derivat pirozolon
dan derivat oksikam. Salah satu perlakuan dalam penelitian menggunakan obat
analgetik dari metampiron (antalgin).
2.5.2.1 Antalgin (Metampiron)
Metampiron adalah derivat metansulfonat dari aminopirin yang larut baik
dalam air dan dapat diberikan secara injeksi. Metampiron digunakan sebagai
analgetik-antipiretik karena antiinflamasinya lemah, demi keamanan dari obat ini
metampiron sebaiknya diberikan bila dibutuhkan analgetik-antipiretiknya
(Ganiswara, 1995).

77
Universitas Sumatera Utara

Rumus Bangun:

. H2O

Gambar 2.4 Struktur Molekul Metampiron (DitjenPOM, 1995).
Obat-obat
mempengaruhi

ini

dinamakan

Sistem

Saraf

juga

Pusat,

analgetika
tidak

perifer,

menurunkan

karena
kesadaran

tidak
atau

mengakibatkan ketagihan. Semua analgetik perifer juga memiliki kerja antipiretik,
yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut juga analgetik
antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat pengatur kalor
di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan
bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat
(Ganiswara, 1995).
Penggolongan analgetik non-narkotik (perifer) secara kimiawi adalah
sebagai berikut: (1) salisilat-salisilat, Na-salisilat, asetosal, salisilamida, (2)
Derivat-derivat p-aminofenol: fenasetin dan parasetamol, (3) Derivat-derivat
pirozolon: antipirin, aminofenazon, dipiron, fenilbutazon dan turunan-turunannya
(4) Derivat-derivat antranilat: glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat
(Tan dan Rahardja, 2002).
2.5.2.2 Mekanisme Kerja Antalgin (Metampiron)
Analgetik

diberikan

kepada

penderita

untuk

menimbulkan

efek

analgetiknya dengan cara menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim
pada sistem saraf pusat yang mengkatalisis biosintesis prostaglandin, seperti

78
Universitas Sumatera Utara

siklooksigenase, sehingga mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediatormediator rasa sakit, seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin,
prostaglandin, ion-ion hidrogen dan kalium yang dapat merangsang rasa sakit
secara mekanis atau kimiawi (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Gambar 2.5 Diagram Perombakan Asam Arachidonat (Tan dan Rahardja, 2002).
Efek-efek

samping

yang

biasanya

muncul

adalah

menyebabkan

agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Pemakaian metampiron
jangka panjang harus diperhatikan kemungkinan diskrasia darah dapat
menimbulkan hemolisis, udem, tremor, mual, muntah, pendarahan lambung dan
ketidakmampuan untuk buang air kecil (anuria) (Ganiswara, 1995).
2.5.2.3 Analgetik-Antipiretik
Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Jadi, analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan juga
menurunkan suhu tubuh yang tinggi (Anief, 1995).

79
Universitas Sumatera Utara

2.6 Metode Pengukuran Nyeri
2.6.1 Uji Plantar Tes Infra Red (Metode Hargreaves)
Menurut Hargreaves (1988), plantar tes berfungsi untuk melihat respon
analgetik terhadap stimuli thermal

yang disebabkan oleh obat-obatan yang

diberikan kepada hewan dengan sistem terkendali terdiri dari:
-

Sebuah sumber infra red bergerak

-

Sebuah panel kaca

-

Sebuah kontroller

Seekor mencit/tikus ditempatkan dalam salah satu dari tiga kamar, setelah diberi
obat sumber infra red ditempatkan di bawah lantai kaca dan diposisikan oleh
operator langsung di bawah kaki belakang. Uji ini dimulai dengan menekan
tombol untuk menyalakan sumber infra red dan memulai digital waktu. Ketika
mencit/tikus merasa sakit akan menarik kakinya. Penarikan kaki menyebabkan
penurunan mendadak dalam radiasi yang dipantulkan yang mematikan sumber
infra red dan menghentikan pencatat waktu reaksi. Penarikan akhir dihitung
dengan ketelitian 0,1 detik.
2.6.2 Uji Hot Plate
Telapak kaki mencitsangat sensitif terhadap panas pada suhu tinggi yang
tidak merusak kulit. Mencit biasanya merespon dengan melompat, menarik kaki
dan menjilat. Waktu yang diperlukan omset untuk terjadinya respon ini
diperpanjang waktunya, akibat pemberian obat-obatan sistem saraf pusat tetapi
tidak mempengaruhi sistem saraf perifer padahewan yang diberi analgetik perifer
dan NSAID (Parmar dan Prakash, 2006).

80
Universitas Sumatera Utara