Hubungan Pola Asuh Keluarga Dengan Tipe Kepribadian Remaja Di Smp Negeri 7 Medan

BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Menurut Friedman (dalam Setiawati, 2008) keluarga merupakan kesatuan
dari orang-orang yang terikat dalam perkawinan, ada hubungan darah, atau adopsi
dan tinggal dalam satu rumah. Keluarga mempunyai lima fungsi, yaitu fungsi
afektif, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, fungsi perawatan kesehatan, dan
fungsi sosialisasi. Fungsi sosialisasi keluarga merujuk pada praktek membesarkan
anak dan upaya keluarga dalam mendidik dan mengajarkan anak agar dapat
diterima di masyarakat.
Dalam kehidupan keluarga, orang tua memiliki pola tersendiri dalam
mengasuh dan mendidik anak. Serangkaian cara yang digunakan orang tua dalam
berinteraksi dengan anak selama mengadakan pengasuhan disebut pola asuh orang
tua. Pola tersebut tentu akan berbeda

antara satu keluarga dengan keluarga

lainnya (Notosoedirdjo, 2005). Dalam interaksinya dengan anak, orang tua
cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggapnya paling baik bagi si
anak. Tak bisa dipungkiri orang tua dengan karakter masing-masing dan masa

lalunya akan ikut serta mempengaruhi jenis pola asuh yang diterapkan pada anakanak mereka. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh. Di
satu sisi orangtua harus bisa menentukan pola asuh apa yang tepat dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak. Di sisi lain sebagai orang tua
mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak-anaknya menjadi
seseorang yang dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orangtuanya. Cara-

Universitas Sumatera Utara

cara atau model dalam mengasuh anak di lingkungan keluarga yang sifatnya
konsisten dari waktu kewaktu, meliputi pola asuh demokratis, otoriter, dan
permisif (Wahyuning, 2003).
Pengasuhan orang tua akan membentuk suatu konsep diri tertentu pada
anak. Konsep diri yang terbentuk juga akan mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya (Sunarti, 2004). Begitu pula menurut Notosoedirdjo (2005) bahwa
pola asuh yang diterapkan orangtua akan memberikan suatu sikap serta
perkembangan kepribadian seorang anak yang tertentu. Dasar kepribadian yang
terbentuk merupakan hasil perpaduan antara warisan sifat-sifat, bakat-bakat
orangtua, dan lingkungan tempat dibesarkan (Gunarsa, 2003). Seluruh isi keluarga
itulah yang pertama kali membentuk pribadi anak (Sujanto, 2001).
Kepribadian yang melekat pada seseorang menggambarkan perilakunya

tanpa bisa diberikan suatu penilaian benar atau salah, terpuji atau tercela, dan
positif atau negatif. Misal, apabila kita mengatakan ciri-ciri kepribadian si A itu
ialah orang yang bersifat pendiam, namun dia gampang marah, memiliki IQ
rendah, dan keras kepala, berarti kita menggambarkan segala bentuk sifat,
temperamen, karakter, perilaku, kognitif, atau wataknya (Pieter & Lubis, 2010).
Hipocrates-Galenus membedakan kepribadian manusia atas dasar proporsi
campuran dari keempat unsur, yaitu koleris, melankholis, flegmatis, dan
sanguinis. Jika salah satu proporsi dari unsur melebihi dari proporsi unsur-unsur
lain dari seharusnya (dominan), maka akan menyebabkan adanya ciri-ciri khas
sifat-sifat kejiwaan seseorang (Pieter & Lubis, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Meskipun orang memiliki peluang untuk menuju pada masing-masing tipe,
tetapi pada dasarnya hampir semua orang cenderung pada salah satu tipe tertentu
yang mendominasi. Hal tersebutlah yang membuat kepribadian antara individu
satu dengan individu yang lainnya berbeda. Walaupun ada beberapa kepribadian
yang tampak sama, namun secara keseluruhan berbeda (Waluya, 2007).
Perbedaan kepribadian dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor dominan
yang menyebabkan perbedaan kepribadian adalah faktor sosial yang terdiri dari

lingkungan keluarga dan

masyarakat. Kepribadian seseorang terbentuk,

berkembang dan berubah seiring dengan proses sosialisasinya di lingkungan
(Waluya, 2007).
Menurut Hurlock (1994, dalam Pengestu 2010) proses sosialisasi yang
terpenting terjadi pada usia remaja karena pada usia ini masa yang menentukan
hari depannya. Remaja merupakan masa transisi dari periode anak-anak menuju
dewasa. Masa remaja dibagi menjadi dua bagian yaitu remaja awal (12/13 tahun)
dan akhir (17/18 tahun). Saat memasuki remaja awal, seseorang menunjukkan
tingkah laku yang sulit diatur dan membutuhkan perhatian khusus dari keluarga.
Pada masa remaja, individu mengalami berbagai perubahan fisik maupun psikis,
juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berfikir abstrak seperti orang
dewasa. Sebagai generasi penerus bangsa posisi remaja sangat rentan akan konflik
karena mereka berusaha untuk mencari identitas diri. Identitas diri remaja berupa
usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, dan
sebagainya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban tersebut sehingga
membuat remaja mengalami kebingungan peran saat mencari model peran yang


Universitas Sumatera Utara

akan diikuti. Oleh karena itu, peran orang tua sangatlah penting untuk selalu
memberikan bantuan dan nasehatnya serta melakukan penyesuaian terhadap
keadaan tersebut (Soetjiningsih, 2004).
Orangtua yang bersikap otoriter menjadi penghambat bagi kreativitas
remaja. Remaja akan selalu berusaha menyesuaikan pendiriannya dengan
kehendak orang lain. Hal tersebut akan mengurangi daya fantasinya dan
kemampuan remaja untuk berpikir abstrak. Di sisi lain orangtua yang bersikap
permisif akan mendorong bagi remaja menjadi seseorang yang sukar
mengendalikan agresivitasnya dan selalu mengambil sikap ingin menang dan
benar. Sedangkan orangtua yang besikap demokratis membuat remaja mudah
bergaul, aktif dan ramah tamah (Notosoedirdjo, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Hany Agung Risdiyanto pada tahun 2007
di Kabupaten Lamongan diketahui bahwa pola asuh orang tua siswa kelas delapan
di SMPN 1 Sukorame kecenderungannya adalah demokratis (77.5%), kedua
adalah otoriter (12.5%) dan yang terakhir adalah permisif (10%). Kemudian tipe
kepribadian siswa yang pertama adalah phlegmatis (32.5% ), kedua adalah koleris
(27.5 %), ketiga adalah melankolis (23.75%), dan yang terakhir sanguinis
(16.25% ). Dari hasil analisis yang telah dilakukannya menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan tipe
kepribadian siswa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hany Agung Risdiyanto,
membuat saya tertarik untuk membahas kembali masalah yang berkenaan dengan
pola asuh dalam lingkungan keluarga untuk itu saya mengajukan skripsi dengan

Universitas Sumatera Utara

judul “hubungan pola asuh keluarga dengan tipe kepribadian remaja di smp
negeri 7 medan”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi perumusan masalah
adalah apakah ada hubungan pola asuh keluarga dengan tipe kepribadian remaja
di SMP Negeri 7 Medan.
3. Hipotesa
Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah ada hubungan antara pola asuh
keluarga dengan tipe kepribadian remaja di SMP Negeri 7 Medan.
4. Tujuan Penelitian
4.1 Tujuan Umun
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan pola asuh keluarga

dengan tipe kepribadian remaja SMP.
4.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran pola asuh keluarga
b. Mengetahui gambaran tipe kepribadian remaja SMP
c. Mengetahui hubungan antara pola asuh keluarga dengan tipe kepribadian
remaja SMP
5. Manfaat Penelitian
5.1 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan bagi peserta
didik di institusi pendidikan keperawatan tentang hubungan pola asuh keluarga
dengan tipe kepribadian remaja.

Universitas Sumatera Utara

5.2 Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang hubungan
pola asuh keluarga dengan tipe kepribadian remaja. Dengan demikian profesi
keperawatan, khususnya keperawatan keluarga, dapat memberikan informasi ini
kepada keluarga sebagai salah satu upaya pelayanan asuhan keperawatan untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga.

5.3 Keluarga
Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi para orangtua agar
mengetahui dan memahami berbagai jenis pola asuh anak dan mampu untuk
memilah dan memilih pola asuh yang tepat dalam memberi pendidikan dan
pengasuhan kepada anak.

Universitas Sumatera Utara