Ekspresi Biofilm Bakteri pada Penderita Rinosinusitis Kronis dengan Pewarnaan Hematoxylin Eosin Chapter III VI

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis / Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain potong
lintang.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit (RS) Haji Adam
Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam
mulai bulan Januari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi. Pemeriksaan
dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan di Departemen Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronis yang
menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional di RS Haji Adam
Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam
mulai bulan Januari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi.

3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah penderita rinosinusitis kronis yang
menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional yang kemudian
diambil jaringan dari sinus maksila atau etmoidnya di RS Haji Adam Malik

40

Universitas Sumatera Utara

Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam yang
memenuhi kriteria inklusi pada bulan Januari 2016 sampai dengan sampel
terpenuhi.
Kriteria inklusi:
a. Penderita rinosinusitis kronis dimana sinus yang terlibat minimal
sinus maksila atau sinus etmoid yang menjalani tindakan bedah
sinus endoskopi fungsional.
b. Pada penderita rinosinusitis kronis dupleks sampel diambil dari sisi
sinus yang paling banyak terinfeksi.
c. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani
formulir persetujuan mengikuti penelitian.

Kriteria eksklusi
Mukosa yang tidak adekuat untuk analisis.
3.3.3 Besar sampel
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus uji hipotesis
beda proporsi 1 populasi:

Zα √po qo + Zβ √pa qa
n=
eterangan:
pa - po

2

Keteragan:
n

= Jumlah sampel minimal yang diperlukan




= Kesalahan tipe 1 = 1,96

Po

= Proporsi penderita rinosinusitis kronis = 71% = 0,71 (You, et al.,
2011)

Universitas Sumatera Utara

qo

= 1 – 0,71 = 0,29



= Kesalahan tipe 2 = 0,84

pa – po

= 20% = 0,2


pa – 0,71

= 0,2

pa

= 0,91

qa

= 1 – 0,91 = 0,09

n

=

1,96 √0,71x0,29 + 0,84 √0,91x0,09

2


0,2
n

= 31,87

Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 32
3.3.4 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability
consecutive sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria
penelitian dimasukkan ke dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu
hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).

3.4 Variabel Penelitian
Variabel independent: jenis kelamin, usia, gejala klinis, lama gejala, polip.
Variabel dependent: biofilm.

Universitas Sumatera Utara

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 Rinosinusitis kronis adalah inflamasi pada mukosa hidung dan
sinus paranasal selama lebih dari 12 minggu (Fokkens, et al.,
2012).
3.5.2 Bedah sinus endoskopik fungsional adalah tehnik bedah
minimal invasif dimana sel-sel udara pada sinus dan ostiumnya
dibuka dengan cara tampak langsung (Slack dan Bates, 1998).
3.5.3 Usia adalah umur yang dihitung dalam tahun dan perhitungan
berdasarkan kalender masehi.
3.5.4 Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan.
3.5.5 Gejala klinis adalah suatu kondisi yang dirasakan atau dikeluhkan
penderita sehubungan dengan penyakitnya antara lain:
a. Hidung tersumbat
b. Sekret pada hidung
c. Nyeri pada wajah
d. Penciuman berkurang
3.5.6 Lama gejala adalah waktu antara timbulnya gejala sampai dengan
penderita datang berobat.
3.5.7 Polip adalah pembengkakan mukosa yang berbentuk seperti
anggur, lembut, licin dan mobile (Schlosser dan Woodworth, 2009).
3.5.8 Biofilm adalah komunitas mikroba dalam bentuk sesil yang

ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada
substratum atau satu sama lainnya (Donlan dan Costerton, 2002;
Foreman, at al., 2009; Hassan, et al., 2011). Ada beberapa teknik
pemeriksaan biofilm, salah satu diantaranya adalah pemeriksaan
dengan pewarnaan hematoxylin eosin (Mathur, et al., 2006; Taj, et
al., 2012).
Pemeriksaan

biofilm

dengan

pewarnaan

hematoxylin

eosin

memerlukan alat-alat sebagai berikut:
a. 1


set

alat

untuk

pemeriksaan

dengan

pewarnaan

hematoxylin eosin

Universitas Sumatera Utara

b. Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany)
Pemeriksaan


biofilm

dengan

pewarnaan

hematoxylin

eosin

memerlukan bahan-bahan sebagai berikut:
a. Xylene
b. ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100%
c. hematoxylin eosin
d. air suling
e. asam hidroklorida 0,1%
3.6 Alat Ukur
3.6.1 Alat



Lampu kepala merk Ryne dan alat THT rutin merk Renz



Alat penghisap sekret (suction) merk Thomas Medipump tipe
1132 GL



1 set alat endoskopi



1

set

alat

untuk


pemeriksaan

dengan

pewarnaan

hematoxylin eosin


Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany)



Formulir persetujuan ikut penelitian



Catatan medis penderita dan status penelitian penderita

3.6.2 Bahan


Formalin 4%



Xylene



Ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100%



Hematoxylin-eosin



Air suling



Asam hidroklorida 0,1%

Universitas Sumatera Utara

3.6.3 Cara kerja
Semua subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi durante operasi mukosa sinus maksila atau sinus
etmoidnya diambil menggunakan forcep lalu difiksasi dalam
formalin

4%

selama

hematoxylin-eosin

48

dengan

jam.

Kemudian

menggunakan

diwarnai
prosedur

dengan
patologi

standar.
Pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan
dengan cara: potongan mukosa dideparafinisasi dalam xylene (2x5
menit) dan direhidrasi secara berturut-turut selama 1 menit dicuci
dengan ethanol 100%, 96%, 80%, dan 70%. Kemudian diwarnai
dengan hematoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air suling,
dicuci dengan asam hidroklorida 0,1% dalam 50% ethanol, dicuci
dengan air keran selama 15 menit, diwarnai dengan eosin selama 1
menit, dan dicuci lagi dengan air suling. Slide-nya kemudian
didehidrasi dengan ethanol 95% dan 100% secara berurutan diikuti
dengan xylene (2x5 menit) dan ditutup dengan coverslip. Kemudian
slide

dianalisa

dengan

mikroskop

cahaya

Olympus

Cx19

(Germany) dengan pembesaran 20x dan 40x.
Hasil pemeriksaan:
Dengan pewarnaan hematoxylin eosin rutin biofilm tampak sebagai
bentuk yang ireguler dari kelompok bakteri basofilik kecil, substansi
ekstrapolimer, dan sisa eritrosit dan leukosit yang terperangkap
pada permukaan epitel. Sampel diklasifikasikan menjadi, biofilm (+)
bila terdapat keterlibatan permukaan mukosa yang dianalisa dan
biofilm (-) bila tidak ada keterlibatan permukaan mukosa yang
dianalisa.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.1. Pewarnaan hematoxylin eosin, tampak kelompok bakteri
basofilik kecil pada permukaan epitel (Hochstim, et al., 2010)

3.7 Teknik Pengumpulan Data
Data

primer

diambil

dari

lembar

pemeriksaan

dan

hasil

pemeriksaan terhadap subyek penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher RS Haji Adam Malik
Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam. Data
mengenai ekspresi biofilm bakteri diperoleh dari hasil pemeriksaan
dengan pewarnaan hematoxylin eosin terhadap jaringan dari sinus
maksila dan atau sinus etmoid di Departemen Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan program Statistical
Packet for The Social and Science (SPSS) kemudian disajikan dalam
bentuk tabel dan diagram. Analisis univariat untuk data deskriptif. Analisis
bivariat digunakan untuk melihat hubungan antar variabel. Variabel
katagorik menggunakan uji Chi Square pada taraf kepercayaan 95% dan

Universitas Sumatera Utara

variabel numerik menggnakan uji T Independent bila data berdistribusi
normal, bila tidak normal digunakan uji Mann Whitney. Uji normalitas
menggunakan uji Shapiro Willk. Untuk variabel yang ditemukan bermakna
pada uji bivariat akan dilanjutkan ke uji analisa multivariat.

3.9 Hipotesa Statistik
H1 : terdapat perbedaan jenis kelamin, usia, gejala klinis, lama
gejala dan polip terhadap ekspresi biofilm bakteri

3.10 Kerangka Kerja
Pasien rinosinusitis kronis yang menjalani
tindakan bedah sinus endoskopi fungsional

Mukosa sinus maksila atau sinus
etmoid diambil menggunakan forcep

Sampel dilakukan pemeriksaan biofilm
dengan pewarnaan hematoxylin eosin

Biofilm (+)

Biofilm (-)

Pengumpulan dan analisa
data

Universitas Sumatera Utara

3.11 Jadwal Penelitian

NO

Jenis Kegiatan

Waktu
I

1.

Persiapan proposal

2.

Presentasi proposal

3.

Pengumpulan data

4.

Pengolahan data dan

II

III

IV

V

pembuatan laporan
5.

Laporan hasil

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 33 orang penderita rinosinusitis
kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional di RS
Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra
Lubuk Pakam mulai bulan Januari 2016 yang telah memenuhi kriteria
inklusi. Subyek berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding
perempuan sejumlah 19 orang (57,6%). Rerata usia subyek penelitian
adalah 37,67 tahun. Keluhan hidung tersumbat dialami oleh sebanyak 31
orang (93,9%), sekret hidung sebanyak 25 orang (75,8%), nyeri wajah
sebanyak 22 orang (66,7%) dan penciuman berkurang sebanyak 17 orang
(51,5%).
Rerata lama gejala dialami subyek selama 27,91 hari dan
ditemukan polip pada 12 orang pasien (36,4%).
Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian
Subyek penelitian

Karakteristik

n = 33

Usia (rerata)

37,67 (15,44)

Jenis kelamin (%)
-

Laki-laki

19 (57,6)

-

Perempuan

14 (42,4)

Gejala Klinis (%)
-

Hidung Tersumbat

31 (93,9)

-

Sekret Hidung

25 (75,8)

-

Nyeri Wajah

22 (66,7)

-

Penciuman Berkurang

17 (51,5)

Lama Gejala (rerata)

27,91 (33,69)

Polip (%)

12 (36,4)
49
Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.2

Karakteristik

subyek

penelitian

berdasarkan

hasil

pemeriksaan biofilm
Subyek Penelitian
Karakteristik

Usia (rerata)

Biofilm (+)

Biofilm (-)

n = 22

n = 11

38,95 (16,28)

35,09 (13,98)

Jenis kelamin (%)
-

Laki-laki

13 (68,4)

6 (31,6)

-

Perempuan

9 (64,3)

5 (35,7)

21 (67,7)

10 (32,3)

18 (72)

7 (28)

Gejala Klinis (%)
-

Hidung Tersumbat

-

Sekret Hidung

-

Nyeri Wajah

14 (63,6)

8 (36,4)

-

Penciuman Berkurang

10 (58,8)

7 (41,2)

25,05 (27,37)

33,64 (44,79)

10 (83,3)

2 (16,7)

Lama Gejala (rerata)
Polip (%)

Tabel 4.3 Analisa usia berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm

Usia (rerata)

Biofilm (+)

Biofilm (-)

P Value*

38,95 (16,28)

35,09 (13,98)

0,507

*T Independent
Rerata usia pasien dengan biofilm (+) adalah 38,95 tahun
sedangkan pada pasien dengan biofilm (-) adalah 35,09 tahun. Hasil
analisis menggunakan uji T Independent menunjukkan tidak terdapat
perbedaan rerata usia antara subyek dengan biofilm (+) dan biofilm (-)
(p=0,507).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.4 Analisa jenis kelamin berdasarkan hasil pemeriksaan
biofilm
Biofilm (+)

Biofilm (-)

P Value*

Laki-Laki (%)

13 (68,4)

6 (31,6)

1,000

Perempuan

9 (64,3)

5 (35,7)

*Fisher’s Exact
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19 subyek laki-laki
terdapat 13 orang (68,4%) dengan biofilm (+) sedangkan dari 14 subyek
perempuan terdapat 9 orang (64,3%) dengan biofilm (+). Hasil analisis
menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan jenis kelamin (p=1,000).

Tabel 4.5

Analisa gejala hidung tersumbat berdasarkan hasil
pemeriksaan biofilm
Biofilm (+)

Biofilm (-)

P Value

21 (67,7)

10 (32,3)

1,000*

1 (50)

1 (50)

Hidung Tersumbat (%)
Ada
Tidak ada
*Fisher’s Exact
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 31 subyek dengan gejala
hidung tersumbat terdapat 21 orang (67,7%) dengan biofilm (+)
sedangkan dari 2 subyek yang tidak mengalami hidung tersumbat
terdapat 1 orang (50%) dengan biofilm (+). Hasil analisis menggunakan uji
Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi
biofilm (+) berdasarkan ada tidaknya gejala hidung tersumbat (p=1,000).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.6

Analisa

gejala

sekret

hidung

berdasarkan

hasil

pemeriksaan biofilm
Biofilm (+)

Biofilm (-)

P Value

Ada

18 (72)

7 (28)

0,391*

Tidak ada

4 (50)

4 (50)

Sekret Hidung (%)

*Fisher’s Exact
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 25 subyek dengan gejala
sekret hidung terdapat 18 orang (72%) dengan biofilm (+) sedangkan dari
8 subyek yang tidak ada seket hidung terdapat 4 orang (50%) dengan
biofilm (+). Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan ada
tidaknya sekret hidung (p=0,391).

Tabel 4.7

Analisa

gejala

nyeri

wajah

berdasarkan

hasil

pemeriksaan biofilm
Biofilm (+)

Biofilm (-)

P Value

Ada

14 (63,6)

8 (36,4)

0,709*

Tidak ada

8 (72,7)

3 (27,3)

Nyeri Wajah (%)

*Fisher’s Exact
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 22 subyek dengan gejala
nyeri wajah terdapat 14 orang (63,6%) dengan biofilm (+) sedangkan dari
11 subyek yang tidak ada nyeri wajah terdapat 8 orang (72,7%) dengan
biofilm (+). Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan ada
tidaknya nyeri wajah (p=0,709).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.8

Analisa gejala penciuman berkurang berdasarkan hasil
pemeriksaan biofilm
Biofilm (+)

Biofilm (-)

P Value

10 (58,8)

7 (41,2)

0,325*

12 (75)

4 (25)

Penciuman Berkurang (%)
Ada
Tidak ada
*Chi Square
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 17 subyek dengan gejala
penciuman berkurang terdapat 10 orang (58,8%) dengan biofilm (+)
sedangkan dari 16 subyek yang tidak ada keluhan penciuman berkurang
terdapat 12 orang (75%) dengan biofilm (+). Hasil analisis menggunakan
uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi
biofilm (+) berdasarkan keluhan penciuman berkurang (p=0,325).
Tabel 4.9 Analisa lama gejala berdasarkan hasil pemeriksaan biofilm

Lama Gejala, rerata (SB)

Biofilm (+)

Biofilm (-)

P Value

25,05 (27,37)

33,64 (44,79)

0,969*

*Mann Whitney
Rerata lama gejala rhinosinusitis pada pasien dengan biofilm (+)
adalah 25,05 hari sedangkan pada pasien dengan biofilm (-) adalah 33,64
hari. Hasil analisis dengan uji Mann Whitney menunjukan tidak tedapat
perbedaan rerata lama gejala berdasarkan ada tidaknya biofilm pada
pasien rinosinusitis kronis (p=0,969).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.10

Analisa

keberadaan

polip

berdasarkan

hasil

pemeriksaan biofilm
Biofilm (+)

Biofilm (-)

P Value

Ada

10 (83,3)

2 (16,7)

0,249*

Tidak ada

12 (57,1)

9 (42,9)

Polip (%)

*Fisher’s Exact
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 12 subyek dengan polip
terdapat 10 orang (83,3%) dengan biofilm (+) sedangkan dari 21 subyek
yang tidak ada polip terdapat 12 orang (57,1%) dengan biofilm (+). Hasil
analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan ada tidaknya polip
(p=0,249).

Universitas Sumatera Utara

BAB V
PEMBAHASAN

Rinosinusitis kronis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada
bagian telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Patogenesisnya belum
sepenuhnya ditemukan. Teori multifaktor yang secara luas diterima
diantaranya adalah infeksi (bakteri, jamur, virus), abnormalitas anatomi
dari kompleks ostiomeatal, hipersensitivitas, disfungsi sistem mukosiliar.
Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian tentang bakteri pada
rinosinusitis kronis melaporkan nilai positif sebanyak 32,5% sampai 96%,
mengindikasikan adanya hubungan antara rinosinusitis kronis dengan
bakteri (Yildirun, et al., 2004; You, et al., 2011). Beberapa peneliti
mengemukakan bahwa biofilm adalah penyebab yang umum dari infeksi
persisten kronis (Bendouah, et al., 2006; You, et al., 2011).
Bakteri biofilm terdiri dari polimer ekstraseluler yang disekresi oleh
bakteri dan mozaik bakteri di dalamnya, bakteri biofilm ini memiliki
karakteristik angka pertumbuhan yang lambat, resisten terhadap antibiotik
yang kuat, kemampuan mentransfer gen secara bersamaan. Sekali biofilm
terbentuk resistensi terhadap antibiotik meningkat 500 sampai 1000 kali
dibandingkan dengan daerah yang bebas bakteri (Tewart dan Costerton,
2001; You, et al., 2011).
Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, lebih dari
80% dari semua infeksi melibatkan biofilm. Biofilm berhubungan dengan
banyak kondisi medis termasuk diantaranya alat-alat medis yang
terpasang lama, plak gigi, infeksi saluran pernapasan atas, peritonitis, dan
infeksi urogenital. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif memiliki
kemampuan untuk membentuk biofilm.

55

Universitas Sumatera Utara

Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis
kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit. Pada
rinosinusitis kronis perubahan mukosa mengakibatkan kondisi yang baik
untuk pertumbuhan biofilm. Sekali biofilm terbentuk, dapat menyebabkan
resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi eksternal dikarenakan
antigen yang terus-menerus ada dan perkembangan proses inflamasi
kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011).
Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, saat ini baku emas untuk
mengidentifikasi

adanya

biofilm

adalah

confocal

scanning

laser

microscopy yang digunakan bersamaan dengan fluorescent in-situ
hybridisation (FISH) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Namun sangat
disayangkan alat tersebut merupakan peralatan yang tidak murah dan
tidak tersedia luas. Oleh karena terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm
berperan penting dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk
mengidentifikasi metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk meneliti
biofilm pada sampel klinis. Ketersediaan pewarnaan hematoxylin eosin
yang luas dalam laboratorium patologi klinik membuatnya menjadi metode
yang sangat praktis untuk mendeteksi biofilm dalam praktek klinis
(Hochstim, et al., 2010; Natili dan Leipzig, 2014).
Penatalaksanaan rinosinusitis kronis yang disebabkan oleh biofilm
hampir

sama

dengan

penatalaksanaan

rinosinusitis

kronis

pada

umumnya, hanya saja antibiotik yang digunakan adalah antibiotik
bakteriostatik spesifik yang diberikan dalam dosis rendah dan berpulsasi,
yang disebut dengan Marshall Protocol (Mangunkusumo, 2011; Deb, et
al., 2014). Dari beberapa penelitian didapatkan juga bahwa larutan cuci
hidung (larutan saline) yang dicampur dengan 1% sampo bayi pada
rinosinusitis kronis memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan
yang hanya diberi larutan saline (Chiu, et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

Pada beberapa tahun belakangan ini, pendekatan anti-biofilm baru
telah dikembangkan sebagai alternatif dari terapi antibiotik klasik,
diantaranya antimikroba peptida, enzim yang melemahkan matriks biofilm,
bakteriofag, terapi ultrasonik, quorum sensing inhibitors, agen anti adesi.
Pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme resistensi biofilm
terhadap antimikroba akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan
agen anti-biofilm baru yang inovatif (Aziz dan Aeron, 2014; Chen, Yu dan
Sun, 2013; Sun, et al., 2013).
Berdasarkan karakteristik subyek penelitian sebanyak 33 pasien,
didapati pada pasien rinosinusitis kronis jumlah penderita dengan jenis
kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan rasio
1,36:1. Penelitian oleh Boase dkk yang melibatkan 38 penderita
rinosinusitis

kronis

juga

mendapati

jumlah

laki-laki

lebih

tinggi

dibandingkan perempuan dengan rasio 1,37:1. Rasio yang lebih tinggi
didapati pada penelitian oleh Foreman dkk dengan jumlah sampel 50
pasien dengan rasio 1,5:1. Dan penelitian oleh You dkk dengan jumlah
sampel 90 pasien mendapati rasio laki-laki dan wanita sebesar 1,78:1.
Kenapa

laki-laki

lebih

sering

terkena

rinosinusitis

dibandingkan

perempuan sampai saat ini masih sulit untuk dijelaskan. Anatomi dan
fisiologi hidung laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda. Infeksi bakteri
sebagai penyebab rinosinusitis kronis dapat menyerang baik laki-laki
maupun perempuan. Alergi maupun jamur juga bukan merupakan
penyakit yang khusus pada laki-laki saja tetapi juga bisa mengenai
perempuan. Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah kebiasaan
merokok yang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dibandingkan
perempuan, yang mana diketahui bahwa merokok dapat menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo dan Soetjipto,
2011).
Rata-rata umur subjek penelitian ini adalah 37 tahun. Studi oleh
Udayasri dkk menyebutkan bahwa insiden rinosinusitis kronis paling

Universitas Sumatera Utara

sering dijumpai pada kelompok umur 21-40 tahun, sebanyak 65%. Studi
oleh D. Shrestha dkk juga melaporkan bahwa insiden rinosinusitis kronis
terbanyak didapati pada kelompok umur 21-40 tahun, sebanyak 68%.
Insiden biofilm positif pada penelitian ini dijumpai pada 22 dari 33
sampel pasien (66,7%). Hampir sama dengan yang didapati oleh
Hochstim dkk dalam penelitiannya yang mendapatkan insiden biofilm
positif sebanyak 62% yaitu 15 orang dari 24 sampel. Hong dkk dalam
penelitiannya mendeteksi biofilm pada 28 pasien dari 55 sampel (50,9%)
lebih kecil bila dibandingakan dengan penelitian ini. Berbeda dengan
Hochstim dkk dan Hong dkk, beberapa penelitian berikut ini memperoleh
hasil yang lebih tinggi, penelitian yang dilakukan oleh You dkk dengan
jumlah sampel 90 orang menjumpai insiden biofilm positif sebesar 71,1%.
Penelitian yang dilakukan oleh Foreman dkk pada 50 orang penderita
rinosinusitis kronis mendapati insiden biofilm positif sebesar 72%, angka
yang relatif sama dengan You dkk. Insiden biofilm yang lebih tinggi
dilaporkan oleh Sanclement dkk yang melibatkan 30 orang, sebesar 80%,
dan penelitian oleh Zhang dkk sebesar 83,3%. Insiden biofilm yang relatif
tinggi ini dapat menjelaskan kenapa penderita rinosinusitis kronis memiliki
gejala yang lebih berat dan menahun, serta resisten terhadap antibiotik
((Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011).
Gejala yang paling sering dijumpai pada penderita rinosinusitis
kronis pada penelitian ini adalah hidung tersumbat (93,9%), diikuti oleh
sekret hidung (75,8%), nyeri wajah (66,7%), dan penciuman berkurang
(51,5%). Penemuan ini sesuai dengan penelitian dari You dkk yang juga
menjumpai keluhan hidung tersumbat (98,9%) sebagai keluhan terbanyak,
diikuti dengan sekret hidung (96,7%), penciuman berkurang (53,3%), nyeri
wajah (50%). Hal yang berbeda didapati oleh Udayasri dkk yang
mendapati bahwa keluhan sekret hidung (95,2%) adalah keluhan yang
paling sering didapati, diikuti oleh hidung tersumbat (94,4%), nyeri wajah
(56%), dan penciuman berkurang (6,4%). Penelitian oleh D. Shrestha dkk

Universitas Sumatera Utara

juga melaporkan bahwa sekret hidung (90%) adalah keluhan terbanyak,
diikuti oleh hidung tersumbat (88%).
Hidung tersumbat adalah gejala yang paling sering dilaporkan pada
rinosinusitis kronis, yang terdiri dari 3 komponen utama yaitu sumbatan
yang disebabkan oleh dilatasi dari vena sinusoid akibat dari inflamasi dan
oedem, nasal fibrosis dan polip hidung. Gejala sekret hidung yang terjadi
bisa anterior atau posterior dan komposisinya dapat sangat bervariasi.
Nyeri wajah merupakan gejala yang paling bervariasi, dengan prevalensi
yang dilaporkan berkisar antara 18-77,9% pada penderita rinosinusitis
kronis. Umumnya pasien yang datang dengan nyeri wajah dan sakit
kepala

dicurigai

memiliki

“masalah

sinus”.

Rinosinusitis

jarang

menyebabkan nyeri wajah kecuali bila terdapat infeksi bakteri akut ketika
drainase sinus tidak baik dan biasanya bersifat sangat nyeri dan unilateral.
Pasien dengan rinosinusitis bakteri kronis jarang mengalami nyeri wajah
kecuali jika ostium sinus tersumbat dan gejalanya sama dengan
rinosinusitis akut. Gangguan penciuman juga sering dijumpai, yang dapat
disebabkan oleh kondisi fisik yang menghalangi odoran mencapai celah
olfaktori, dan oedem pada area tersebut. Studi epidemiologi menyatakan
bahwa riwayat polip nasi merupakan faktor resiko yang sangat berperan
terhadap terjadinya gangguan olfaktori (Fokkens, et al., 2012).
Nasal polip pada penelitian ini dijumpai pada 12 dari 33 orang
(36,4%). Angka yang tidak jauh berbeda dengan penelitian oleh Udayasri
dkk sebesar 32% dan penelitian oleh Goel dkk sebesar 32,5%.
Penyebab dan efek yang berhubungan antara polip nasi dengan
rinosinusitis kronis bakteri masih dalam perdebatan. Polip dapat terbentuk
akibat infeksi dari infiltrasi eosinofil pada mukosa hidung sebagai respon
terhadap inflamasi alergi atau non alergi. Selanjutnya polip yang
membesar dapat mesebabkan ostium sinus tersumbat, sekret stasis, dan
superinfeksi bakteri. Namun, polip yang berasal dari infeksi bakteri pada

Universitas Sumatera Utara

sinus maksila akibat gigi dan yang terbentuk sekunder dari fibrosis kistik
dapat meningkatkan terbentuknya polip nasi sekunder dari inflamasi jenis
berbeda. Komponen infeksi dari penyakit kronis akhirnya dapat terjadi
akibat mekanisme pertahanan mukosa normal yang rentan (compromise)
oleh karena inflamasi yang berkepanjangan. Rinosinusitis kronis dengan
polip nasi harus dipertimbangkan sebagai perjalanan penyakit yang luas
dimana pada beberapa individu memiliki kecenderungan untuk berubah
menjadi penyakit hiperplastik (Schlosser dan Woodworth, 2009).
Secara klinis penderita rinosinusitis kronis dengan kecenderungan
biofilm positif dijumpai pada usia yang lebih tua. Keluhan yang paling
banyak dijumpai adalah hidung tersumbat dan sekret hidung dengan lama
gejala yang lebih singkat.
Dari analisa bivariat variabel penelitian tidak dijumpai adanya
perbedaan yang bermakna antara kelompok biofilm positif dibandingkan
dengan kelompok biofilm negatif berdasarkan usia, jenis kelamin, gejala
klinis berupa hidung tersumbat, sekret hidung, nyeri wajah, penciuman
berkurang, serta berdasarkan lama gejala dan keberadaan polip. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh You dkk yang juga
menemukan tidak adanya perbedaan yang bermakna dalam hal jenis
kelamin, keparahan penyakit, lama gejala, serta gejala klinis diantara
kelompok biofilm positif dan negatif. Dari sini bisa diambil kesimpulan
bahwa sulit sekali untuk memprediksi apakah penderita rinosinusitis kronis
mempunyai biofilm positif, sehingga pemeriksaan biofilm sepertinya perlu
rutin

dilakukan

untuk

dapat

membantu

penatalaksanaan

pasien

rinosinusitis kronis paska tindakan bedah sinus endoskopi fungsional.
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu tidak melihat jenis bakteri
yang didapati pada mukosa sinus.

Universitas Sumatera Utara

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ekspresi biofilm
pada penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus
endoskopi fungsional di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan
dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
6.1.1. Prevalensi biofilm pada penderita rinosinusitis kronis sekitar 66,7%.
6.2.2. Hasil analisis menggunakan uji T Independent menunjukkan tidak
terdapat perbedaan rerata usia antara subyek dengan biofilm (+) dan
biofilm (-) (p=0,507).
6.2.3. Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan jenis kelamin
(p=1,000).
6.2.4. Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan ada tidaknya
gejala hidung tersumbat (p=1,000), sekret hidung (p=0,391), nyeri wajah
(p=0,709) dan hasil analisis menggunakan uji Chi Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan keluhan
penciuman berkurang (p=0,325).
6.2.5. Hasil analisis dengan uji Mann Whitney menunjukan tidak tedapat
perbedaan rerata lama gejala berdasarkan ada tidaknya biofilm pada
pasien rinosinusitis kronis (p=0,969).

61

Universitas Sumatera Utara

6.2.6. Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan proporsi biofilm (+) berdasarkan ada tidaknya
polip (p=0,249).
6.2 Saran
6.2.1. Pada penderita rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus
endoskopi fungsional perlu dilakukan pemeriksaan biofilm mengingat tidak
ada faktor yang dapat meprediksi adanya biofilm. Hal ini daikarenakan
biofilm berhubungan dengan adanya gejala yang menetap dan terapi yang
diberikan kepada penderita rinosinusitis kronis
6.2.2. Perlu dikakukan penelitian lanjutan mengenai jenis bakteri yang
terlibat pada penderita rinosinusitis kronis dengan biofilm positif untuk
dapat membantu penatalaksanaan pasien rinosinusitis kronis dengan
biofilm positif.

Universitas Sumatera Utara