Ekspresi Biofilm Bakteri pada Penderita Rinosinusitis Kronis dengan Pewarnaan Hematoxylin Eosin
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis
kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit.
Pada rinosinusitis kronis perubahan mukosa mengakibatkan kondisi
yang baik untuk pertumbuhan biofilm. Sekali biofilm terbentuk, dapat
menyebabkan resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi
eksternal
dikarenakan
antigen
yang
terus-menerus
ada
dan
perkembangan proses inflamasi kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir,
Pedelty dan Swift, 2011).
Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, teknik yang telah
distandarisasi sangat penting sekali dikembangkan. Berbagai metode
telah distandarisasi pada beberapa laboratorium, masing-masing
mempunyai
kelebihannya
masing-masing.
Metode-metode
ini
diantaranya metode lempeng kultur jaringan, metode tabung, metode
agar
merah
kongo,
liquid-interface
coverslip
assay,
scanning
mikroskop elektron, dan pemeriksaan dengan mikroskop cahaya atau
fluoresens (Mathur, et al., 2006; Taj, et al., 2012).
Biofilm merupakan komunitas mikroba dalam bentuk sesil yang
ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada
substratum atau satu sama lainnya. Mereka tertanam dalam matriks
substansi polimer ekstraseluler (EPS) yang mereka hasilkan, dan
menunjukkan
perubahan
fenotip
berhubungan
dengan
tingkat
pertumbuhan dan transkripsi gen (Donlan dan Costerton, 2002;
Foreman, at al., 2009; Hassan, et al., 2011).
Saat ini baku emas untuk mengidentifikasi adanya biofilm adalah
confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan
1
Universitas Sumatera Utara
dengan fluorescent in-situ hybridisation (FISH) (Keir, Pedelty dan
Swift, 2011). Sangat disayangkan confocal scanning laser microscopy
merupakan peralatan yang tidak murah dan tidak tersedia luas.
Namun dikarenakan terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm
berperan penting dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk
mengidentifikasi metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk
meneliti
biofilm
pada
sampel
klinis.
Ketersediaan
pewarnaan
hematoxylin eosin yang luas dalam laboratorium patologi klinik
membuatnya menjadi metode yang sangat praktis untuk mendeteksi
biofilm dalam praktek klinis. Hochstim dkk dalam penelitiannya
menyatakan
bahwa
pewarnaan
hematoxylin
eosin
merupakan
prediktor akurat terhadap ada atau tidak adanya biofilm pada semua
kasus dengan FISH sebagai standar kontrolnya. Toth dkk dan Hong
dkk juga menyatakan bahwa pewarnaan hematoxylin eosin adalah
metode yang kuat dan terpercaya dalam mendeteksi biofilm bakteri
pada rinosinusitis kronis (Hochstim, et al., 2010; Hong, et al., 2013;
Natili dan Leipzig, 2014; Toth, et al., 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Ramadan dkk mengambil spesimen
mukosa dari sinus etmoid dan maksila dari 5 kasus yang didiagnosa
dengan rinosinusitis kronis semuanya menunjukkan biofilm (+), yang
terlihat di bawah mikroskop elektron dan kebanyakan seperti biofilm
Staphylococcus
aureus.
Semua
kasus
menunjukkan
derajat
abnormalitas permukaan mukosa yang berbeda, susunan silia yang
tidak teratur atau bahkan tidak ada silia dan sel goblet (Ramadan,
Sanclement dan Thomas, 2005; You, et al., 2011). Sanclement dkk
meneliti 30 kasus rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus
endoskopik fungsional dan 4 kasus kontrol (3 kasus septoplasty dan 1
kasus rinore cairan serebrospinal). Bakteri biofilm dijumpai pada 24
kasus dari kelompok rinosinusitis (80%), sedangkan pada kelompok
kontrol tidak dijumpai biofilm (Sanclement, et al., 2005; You, et al.,
2011). Zhang dkk meneliti 12 spesimen mukosa pasien rinosinusitis
Universitas Sumatera Utara
kronis, yang menunjukkan angka biofilm (+) sebanyak 83,3% dan
biofilm
tersebut
dijumpai
pada
semua fase
yaitu
perlekatan,
perkembangan dan pelepasan (You, et al., 2011; Zhang, et al., 2008).
Berdasarkan uraian di atas dan fakta bahwa penelitian mengenai
biofilm pada pendertita rinosinusitis kronis belum pernah dilakukan di
Medan maka peneliti tertarik untuk mengetahui prevalensi biofilm
positif pada penderita rinosinusitis kronis.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah ditemukan di atas, dapat
dirumuskan suatu masalah yaitu bagaimana gambaran ekspresi
biofilm bakteri pada penderita rinosinusitis kronis.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran ekspresi biofilm bakteri pada
penderita rinosinusitis kronis.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Untuk
mengetahui
berdasarkan
hasil
perbedaan
proporsi
pemeriksaan
biofilm
jenis
pada
kelamin
penderita
rinosinusitis kronis.
b. Untuk mengetahui perbedaan proporsi usia berdasarkan hasil
pemeriksaan biofilm pada penderita rinosinusitis kronis.
c. Untuk mengetahui perbedaan proporsi gejala klinis berdasarkan
hasil pemeriksaan biofilm pada penderita rinosinusitis kronis.
d. Untuk mengetahui perbedaan proporsi lama gejala berdasarkan
hasil pemeriksaan biofilm pada penderita rinosinusitis kronis.
e. Untuk mengetahui perbedaan proporsi polip berdasarkan hasil
pemeriksaan biofilm pada penderita rinosinusitis kronis.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat dalam bidang akademik
Untuk
mengetahui gambaran ekspresi biofilm bakteri pada
penderita
rinosinusitis
kronis
dan
karakteristik
penderita
rinosinusitis kronis dengan biofilm bakteri positif.
1.4.2 Manfaat dalam pelayanan masyarakat
Sebagai bahan masukan bagi dokter dan calon dokter spesialis
T.H.T.K.L mengenai gambaran ekspresi biofilm bakteri pada
penderita
rinosinusitis
kronis
dan
karakteristik
penderita
rinosinusitis kronis dengan biofilm bakteri positif.
1.4.3 Manfaat bagi pengembangan penelitian
Sebagai bahan informasi dan data dasar bagi peneliti lain
mengenai gambaran ekspresi biofilm bakteri pada penderita
rinosinusitis kronis dan karakteristik penderita rinosinusitis kronis
dengan biofilm bakteri positif.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis
kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit.
Pada rinosinusitis kronis perubahan mukosa mengakibatkan kondisi
yang baik untuk pertumbuhan biofilm. Sekali biofilm terbentuk, dapat
menyebabkan resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi
eksternal
dikarenakan
antigen
yang
terus-menerus
ada
dan
perkembangan proses inflamasi kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir,
Pedelty dan Swift, 2011).
Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, teknik yang telah
distandarisasi sangat penting sekali dikembangkan. Berbagai metode
telah distandarisasi pada beberapa laboratorium, masing-masing
mempunyai
kelebihannya
masing-masing.
Metode-metode
ini
diantaranya metode lempeng kultur jaringan, metode tabung, metode
agar
merah
kongo,
liquid-interface
coverslip
assay,
scanning
mikroskop elektron, dan pemeriksaan dengan mikroskop cahaya atau
fluoresens (Mathur, et al., 2006; Taj, et al., 2012).
Biofilm merupakan komunitas mikroba dalam bentuk sesil yang
ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada
substratum atau satu sama lainnya. Mereka tertanam dalam matriks
substansi polimer ekstraseluler (EPS) yang mereka hasilkan, dan
menunjukkan
perubahan
fenotip
berhubungan
dengan
tingkat
pertumbuhan dan transkripsi gen (Donlan dan Costerton, 2002;
Foreman, at al., 2009; Hassan, et al., 2011).
Saat ini baku emas untuk mengidentifikasi adanya biofilm adalah
confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan
1
Universitas Sumatera Utara
dengan fluorescent in-situ hybridisation (FISH) (Keir, Pedelty dan
Swift, 2011). Sangat disayangkan confocal scanning laser microscopy
merupakan peralatan yang tidak murah dan tidak tersedia luas.
Namun dikarenakan terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm
berperan penting dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk
mengidentifikasi metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk
meneliti
biofilm
pada
sampel
klinis.
Ketersediaan
pewarnaan
hematoxylin eosin yang luas dalam laboratorium patologi klinik
membuatnya menjadi metode yang sangat praktis untuk mendeteksi
biofilm dalam praktek klinis. Hochstim dkk dalam penelitiannya
menyatakan
bahwa
pewarnaan
hematoxylin
eosin
merupakan
prediktor akurat terhadap ada atau tidak adanya biofilm pada semua
kasus dengan FISH sebagai standar kontrolnya. Toth dkk dan Hong
dkk juga menyatakan bahwa pewarnaan hematoxylin eosin adalah
metode yang kuat dan terpercaya dalam mendeteksi biofilm bakteri
pada rinosinusitis kronis (Hochstim, et al., 2010; Hong, et al., 2013;
Natili dan Leipzig, 2014; Toth, et al., 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Ramadan dkk mengambil spesimen
mukosa dari sinus etmoid dan maksila dari 5 kasus yang didiagnosa
dengan rinosinusitis kronis semuanya menunjukkan biofilm (+), yang
terlihat di bawah mikroskop elektron dan kebanyakan seperti biofilm
Staphylococcus
aureus.
Semua
kasus
menunjukkan
derajat
abnormalitas permukaan mukosa yang berbeda, susunan silia yang
tidak teratur atau bahkan tidak ada silia dan sel goblet (Ramadan,
Sanclement dan Thomas, 2005; You, et al., 2011). Sanclement dkk
meneliti 30 kasus rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus
endoskopik fungsional dan 4 kasus kontrol (3 kasus septoplasty dan 1
kasus rinore cairan serebrospinal). Bakteri biofilm dijumpai pada 24
kasus dari kelompok rinosinusitis (80%), sedangkan pada kelompok
kontrol tidak dijumpai biofilm (Sanclement, et al., 2005; You, et al.,
2011). Zhang dkk meneliti 12 spesimen mukosa pasien rinosinusitis
Universitas Sumatera Utara
kronis, yang menunjukkan angka biofilm (+) sebanyak 83,3% dan
biofilm
tersebut
dijumpai
pada
semua fase
yaitu
perlekatan,
perkembangan dan pelepasan (You, et al., 2011; Zhang, et al., 2008).
Berdasarkan uraian di atas dan fakta bahwa penelitian mengenai
biofilm pada pendertita rinosinusitis kronis belum pernah dilakukan di
Medan maka peneliti tertarik untuk mengetahui prevalensi biofilm
positif pada penderita rinosinusitis kronis.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah ditemukan di atas, dapat
dirumuskan suatu masalah yaitu bagaimana gambaran ekspresi
biofilm bakteri pada penderita rinosinusitis kronis.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran ekspresi biofilm bakteri pada
penderita rinosinusitis kronis.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Untuk
mengetahui
berdasarkan
hasil
perbedaan
proporsi
pemeriksaan
biofilm
jenis
pada
kelamin
penderita
rinosinusitis kronis.
b. Untuk mengetahui perbedaan proporsi usia berdasarkan hasil
pemeriksaan biofilm pada penderita rinosinusitis kronis.
c. Untuk mengetahui perbedaan proporsi gejala klinis berdasarkan
hasil pemeriksaan biofilm pada penderita rinosinusitis kronis.
d. Untuk mengetahui perbedaan proporsi lama gejala berdasarkan
hasil pemeriksaan biofilm pada penderita rinosinusitis kronis.
e. Untuk mengetahui perbedaan proporsi polip berdasarkan hasil
pemeriksaan biofilm pada penderita rinosinusitis kronis.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat dalam bidang akademik
Untuk
mengetahui gambaran ekspresi biofilm bakteri pada
penderita
rinosinusitis
kronis
dan
karakteristik
penderita
rinosinusitis kronis dengan biofilm bakteri positif.
1.4.2 Manfaat dalam pelayanan masyarakat
Sebagai bahan masukan bagi dokter dan calon dokter spesialis
T.H.T.K.L mengenai gambaran ekspresi biofilm bakteri pada
penderita
rinosinusitis
kronis
dan
karakteristik
penderita
rinosinusitis kronis dengan biofilm bakteri positif.
1.4.3 Manfaat bagi pengembangan penelitian
Sebagai bahan informasi dan data dasar bagi peneliti lain
mengenai gambaran ekspresi biofilm bakteri pada penderita
rinosinusitis kronis dan karakteristik penderita rinosinusitis kronis
dengan biofilm bakteri positif.
Universitas Sumatera Utara