Ekspresi Biofilm Bakteri pada Penderita Rinosinusitis Kronis dengan Pewarnaan Hematoxylin Eosin

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung
2.1.1 Hidung luar
Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian
bawah terdapat dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh otot dan kulit (Dhingra, 2014).
Sepertiga atas hidung luar merupakan tulang dan duapertiga
bawah merupakan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari dua tulang
hidung yang bertemu di garis tengah dan pada bagian atas dari prosesus
nasalis os frontal dan keduanya melekat diantara prosesus frontalis os
maksila (Dhingra, 2014).
Bagian tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
kartilago alar minor dan kartilago septum (gambar 2.1) (Dhingra, 2014).

Gambar 2.1. Hidung luar (Dhingra, 2014)

5


Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Hidung dalam
Dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Setiap
kavum nasi berhubungan dengan bagian luar melalui lubang hidung
(nares anterior) dan dengan nasofaring melalui koana. Setiap kavum nasi
terdiri dari bagian yang ditutupi kulit, disebut vestibulum dan bagian yang
ditutupi mukosa disebut kavum nasi yang sebenarnya (Dhingra, 2014).
Vestibulum merupakan bagian anterior dan inferior dari kavum nasi.
Vestibulum dilapisi oleh kulit dan berisi kelenjar sebasea, folikel rambut
dan rambut-rambut yang disebut vibrise. Bagian atas vestibulum terbatas
pada dinding lateral yang ditandai oleh ala nasi (katup hidung) yang
dibentuk oleh batas belakang dari kartilago nasalis lateralis superior.
Dinding medial vestibulum dibentuk oleh kolumela dan bagian bawah dari
septum nasi (Dhingra, 2014).
Setiap kavum nasi memiliki dinding lateral, medial, superior dan
inferior. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka menggulung
seperti proyeksi tulang yang dilapisi oleh membran mukosa. Daerah di
bawah konka disebut dengan meatus (Dhingra, 2014).
Konka inferior merupakan struktur dinding lateral hidung yang

paling menyolok pada rinoskopi anterior. Konka inferior terdiri dari tulang
yang dilapisi oleh mukoperiostium, jaringan lunak yang meliputi pleksus
kavernosus, dan di atasnya terdapat mukosa respiratori. Tulang konka
inferior berartikulasi dengan tulang lakrimal di bagian anterior, dan
melekat ke prosesus medial dari maksila dan tulang palatina di bagian
lateral. Pleksus kavernosus dapat membesar karena aliran darah sebagai
respon terhadap siklus hidung atau terhadap berbagai macam pemicu dari
lingkungan (Hwang dan Abdalkhani, 2009).
Konka media membentuk batas media dari meatus media dan
menjadi tanda utama yang penting dalam operasi sinus. Orientasi dari
konka media berjalan sepanjang 3 bidang yang berbeda dalam

Universitas Sumatera Utara

perjalanannya dari anterior ke posterior dan dapat dipahami secara
skematik dalam ketiga bagian. Sepertiga anterior dari konka media
berjalan sepanjang bidang sagital. Bagian dari konka media ini adalah
yang paling mudah diamati dengan rinoskopi anterior, dan bagian ini
melekat pada dinding lateral hidung dan lempeng kribriformis di bagian
superior. Pada sepertiga tengah, konka direfleksikan dari orientasi sagital

ke koronal, membentuk lamela basalis dari konka media yang melintang
untuk masuk ke dinding lateral hidung. Bagian melintang dari konka media
ini yang memisahkan sel etmoid anterior dari sel etmoid posterior. Pada
bagian anterior dari lamela basalis dari konka media, drainase sel melalui
meatus media. Pada bagian posterior dari lamela basalis, drainase sel
melalui meatus superior. Bagian sepertiga posterior dari konka berjalan
pada bidang axial dengan perlekatannya yang berlanjut sepanjang dinding
lateral hidung. Bagian akhir posterior dari konka media memasuki
perbatasan foramen sfenopalatina dan ke tempat munculnya arteri
sfenopalatina ke dalam hidung (Hwang dan Abdalkhani, 2009).
Konka superior merupakan yang paling belakang dari konka-konka
yang lain. Merupakan jalan masuk superior yang paling umum ke dasar
tengkorak bersama dengan konka media dan membantu menentukan
batas dari sel etmoid posterior. Bagian medial dari konka superior dan
bagian

lateral

dari


septum

nasi

adalah

daerah

dari

resesus

sfenoetmoidalis, dimana ostium sinus sfenoid dapat dijumpai

(gambar

2.2) (Hwang dan Abdalkhani, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2. Struktur dinding lateral hidung (Dhingra, 2014)

Konka suprema terkadang terlihat di atas konka superior dan
memiliki meatus yang sempit di bawahnya. Ostium sinus sfenoid terletak
di resesus sfenoetmoidalis, bagian medial dari konka superior atau
suprema. Ostium sinus sfenoid secara endoskopik dapat berada kira-kira
1 cm di atas pinggir atas dari koana posterior dekat dengan pinggir
posterior dari septum nasi (Dhingra, 2014).
Dinding medial kavum nasi dibentuk oleh septum nasi. Septum nasi
memisahkan kedua kavum nasi, menyediakan penopang struktural untuk
hidung, dan mempengaruhi aliran udara di dalam kavum nasi. Septum
nasi terdiri dari tulang rawan dan tulang yang dilapisi oleh mukosa
respiratori (Leung, Walsh dan Kern, 2014). Septum bagian anterior
dibentuk oleh lamina kuadrangularis dan premaksila; bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan sinus sfenoid; dan
bagian inferior dibentuk oleh vomer, krista nasalis os maksila, dan krista
nasalis os palatina (gambar 2.3) (Hwang dan Abdalkhani, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3. Anatomi Hidung, Septum nasi (1), kartilago kuadrangularis
(2), os nasal (3), os vomer (4), krista nasalis os palatina (5), krista nasalis
os maksila (6), membran septum (7) (Leung, Walsh dan Kern, 2014)
Dinding superior kavum nasi bagian anterior yang miring dibentuk
oleh tulang hidung; bagian posterior yang miring dibentuk oleh tulang
sfenoid; dan bagian media yang horizontal dibentuk oleh lamina
kribriformis etmoid tempat masuknya nervus olfaktorius ke kavum nasi
(Dhingra, 2014).
Dinding inferior kavum nasi dibentuk oleh prosesus palatina
maksila pada ¾ bagian anteriornya dan bagian horizontal dari os palatina
pada ¼ bagian posteriornya (Dhingra, 2014).
2.1.3 Membran mukosa hidung
Lapisan epitel dari kavum nasi berubah dari anterior ke posterior.
Kulit di dalam vestibulum nasi berkeratin, epitel sel skuamosa yang
mengandung vibrise dan kelenjar sebasea. Pada bagian tepi dari konka

Universitas Sumatera Utara

inferior, epitel berubah menjadi sel kuboidal dan kemudian berubah
menjadi epitel kolumnar bersilia berlapis semu. Pada bagian paling

posterior dari nasofaring, mukosa berubah menjadi tidak berkeratin, epitel
sel skuamosa (Hwang dan Abdalkhani, 2009).
2.1.4 Pendarahan hidung
Pendarahan dari kavum nasi terutama berasal dari arteri etmoid
anterior

dan

posterior

(cabang

dari

arteri

oftalmika)

dan


arteri

sfenopalatina (cabang terminal dari arteri maksilaris interna). Arteri etmoid
anterior melewati rektus media dan memasuki lamina papirasea. Arteri ini
kemudian berjalan melewati atap sinus etmoid di dalam tulang
pembungkus yang tipis, kemudian memperdarahi lamina kribriformis dan
bagian anterior septum. Arteri ini merupakan tanda yang paling posterior
untuk pembedahan resesus frontalis. Arteri etmoid posterior keluar dari
rongga orbita, kira-kira 12 mm pada bagian posterior dari arteri etmoid
anterior. Arteri ini memperdarahi bagian posterior yang lebih kecil,
termasuk celah olfaktorius (Hwang dan Abdalkhani, 2009).
Arteri maksilaris interna memasuki fosa pterigomaksilaris dan
keluar ke kavum nasi melalui foramen sfenopalatina seperti arteri
sfenopalatina. Foramen sfenopalatina terletak pada bagian lateral dari
ujung posterior konka media. Pada saat memasuki hidung, arteri
sfenopalatina terbagi menjadi cabang hidung posterolateral dan cabang
septum posterior (Hwang dan Abdalkhani, 2009).
Vena berjalan sejajar dengan arteri sfenopalatina dan dan
cabangnya, bermuara ke pleksus oftalmika dan sebagian ke sinus
kavernosus. Vena-vena ini tidak memiliki katup sehingga merupakan

faktor predisposisi untuk penyebaran infeksi dari hidung ke sinus
kavernosus (Hwang dan Abdalkhani, 2009).
Terdapat dua daerah anastomosis arteri yang sering terlibat dalam
epistaksis yaitu pleksus Kiesselbach, yang sering terlibat pada epistaksis

Universitas Sumatera Utara

anterior, dan pleksus Woodruff, yang sering terlibat pada epistaksis
posterior. Pleksus Kiesselbach terletak pada septum nasi anterior dan
dibentuk oleh anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor,
arteri labialis superior, dan arteri etmoid anterior (gambar 2.4). Pleksus
Woodruff terletak pada bagian posterior dari konka media dan meatus
inferior yang dibentuk oleh anastomosis dari cabang arteri maksilaris
interna, yaitu arteri sfenopalatina dan arteri faringeus asenden (gambar
2.5) (Hwang dan Abdalkhani, 2009).

Gambar 2.4. pembuluh darah daerah septum nasi (Schlosser dan
Woodworth , 2009)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.5. Pembuluh darah daerah dinding lateral hidung (Schlosser
dan Woodworth, 2009)

2.1.5 Persarafan hidung
Nervus olfaktorius memberikan indra penghidu. Terdapat filamen
utama dari sel olfaktorius dan tersusun 12-20 nervus yang melewati
lamina kribrosa dan berakhir pada bulbus olfaktorius. Nervus ini dapat
membawa pembungkus duramater, arachnoid dan piamater ke dalam
hidung. Trauma pada nervus ini dapat menyebabkan terbukanya daerah
cairan serebrospinal berada sehingga dapat menyebabkan terjadinya
rinore cairan serebrospinal atau meningitis (Dhingra, 2014).
Sebagian besar dari 2/3 bagian posterior kavum nasi (septum dan
dinding lateral) dipersarafi oleh ganglion sfenopalatina yang dapat diblok
dengan meletakkan tampon kapas yang telah dibasahi cairan anestesi di
dekat foramen sfenopalatina yang terletak pada bagian posterior konka
media. Nervus etmoidalis anterior mempersarafi bagian anterior dan
superior kavum nasi (dinding lateral dan septum) dapat diblok dengan
meletakkan tampon pada tulang hidung bagian atas dimana nervus


Universitas Sumatera Utara

tersebut masuk. Cabang nervus infra orbital mempersarafi vestibulum
pada sisi medial dan lateral (Dhingra, 2014).
Saraf otonom terdiri dari saraf parasimpatis dan saraf simpatis.
Saraf parasimpatis mengontrol sekresi hidung dan kelenjar hidung. Saraf
parasimpatis berasal dari nervus petrosa superfisial yang besar, berjalan
pada nervus dari kanalis pterigoideus (nervus vidianus) dan mencapai
ganglion sfenopalatina dimana saraf ini bercabang sebelum mencapai
kavum nasi. Saraf ini juga mensuplai pembuluh darah hidung dan
menyebabkan vasodilatasi (Dhingra, 2014).
Saraf simpatis berasal dari dua segmen toraks bagian atas dari
tulang belakang, melewati ganglion servikalis superior, berjalan di dalam
nervus petrosa dan bergabung dengan saraf parasimpatis dari nervus
petrosa yang besar untuk membentuk nervus dari kanalis pterigoideus
(nervus vidianus). Saraf simpatis mencapai kavum nasi tanpa bercabang
pada ganglion sfenopalatina. Rangsangan pada saraf simpatis dapat
menyebabkan vasokonstriksi. Rinore yang berlebihan pada kasus rinitis
alergi dan vasomotor dapat dikontrol dengan memotong nervus vidianus
(gambar 2.6) (Dhingra, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6. Persarafan hidung. (A) Ganglion sfenopalatina berada pada
bagian ujung posterior dari konka media mensuplai sebagian besar 2/3
posterior hidung. (B) Saraf pada dinding medial (Dhingra, 2014)

2.2 Anatomi Sinus Paranasal
2.2.1 Sinus maksila
Sinus maksila adalah daerah berpneumatisasi di dalam tulang
maksila dan merupakan sinus paranasal yang terbesar. Dinding anterior
berasal dari permukaan fasial os maksila, dinding posterior berbatasan
dengan fosa pterigopalatina, dinding medial merupakan dinding lateral
dari kavum nasi, dasar dari sinus adalah prosesus alveolaris, dan dinding
superior adalah dasar orbita. Nervus infra orbita melewati dasar orbita
kemudian keluar dari bagian anterior maksila melalui foramen infra orbita.
Kanalis nervus infra orbita menghilang sampai ke sinus maksila pada 14%
kasus dan dapat menjadi resiko selama bedah sinus endoskopi. Akar gigi
molar pertama dan kedua dapat menghilang sampai ke sinus maksila
pada 2% kasus. Pada kondisi ini beresiko untuk terjadinya fistel oroantral

Universitas Sumatera Utara

bila dilakukan pencabutan gigi pada daerah ini (Leung, Walsh dan Kern,
2014).
Ostium alami sinus maksila terbuka ke bagian superior dari dinding
media yang berdrainase ke infundibulum etmoid. Ostium aksesori sinus
maksila dapat dijumpai pada 15-40% kasus, sebagian besar pada bagian
superior dan posterior dari prosesus unsinatus di atas konka inferior.
Kadang-kadang sel Haller, atau sel etmoid yang berpneumatisasi pada
bagian lateral antara sinus maksila dan dasar orbita dapat dijumpai.
Adanya sel Haller berpotensial untuk menyempitkan infundibulum maksila
dan mengganggu drainase sinus (Leung, Walsh dan Kern, 2014).
2.2.2 Sinus frontal
Ukuran dan bentuk dari sinus frontal bervariasi tergantung pada
derajat pneumatisasinya, dapat juga tidak berkembang pada kurang lebih
5% orang dewasa. Sinus frontal dapat tidak dijumpai pada satu sisi atau
dapat sangat besar meluas sampai ke atap orbita. Kedua sinus frontal
sering asimetris dan dipisahkan oleh septum intersinus yang tipis dan
posisinya sering oblik atau bahkan dapat tidak sempurna (Dhingra, 2014;
Leung, Walsh dan Kern, 2014). Dinding anterior sinus berhubungan
dengan kulit dahi, dinding inferior berhubungan dengan orbita, dan dinding
posterior berhubungan dengan selaput otak dan lobus frontal dari otak
(Dhingra, 2014).
Drainase dari sinus frontal adalah kompleks dengan saluran keluar
yang menyerupai bentuk jam pasir pada potongan sagital. Bagian superior
meluas sampai ke sinus frontal dan bagian inferiornya meluas sampai ke
resesus frontalis. Variasi pola drainase saluran keluar sinus frontal
tergantung pada pneumatisasi dari sekitar sel etmoid dan posisi dari
prosesus unsinatus. Adanya pneumatisasi yang jelas dari sel ager nasi
atau bula etmoid dapat mengobstruksi drainase sinus frontal dengan
menyempitkan resesus frontalis. Drainase sinus frontal juga tergantung

Universitas Sumatera Utara

pada perlekatan dari bagian superior prosesus unsinatus (Leung, Walsh
dan Kern, 2014). Pembukaan dari sinus frontal berada di dasarnya dan
menuju ke meatus media. Pada meatus media, drainase sinus frontal ke
resesus frontalis dijumpai sebanyak 55%, di atas namun tidak ke
infundibulum sebanyak 30%, ke infundibulum sebanyak 15% dan di atas
bula etmoid sebanyak 1% (Dhingra, 2014).
2.2.3 Sinus etmoid
Sinus etmoid merupakan rongga berisi udara dengan dinding yang
tipis, dengan jumlah yang bervariasi dari 3 sampai 18, yang mengisi
ruangan antara 1/3 atas dari dinding lateral hidung dan dinding medial
orbita. Secara klinis sel etmoid dibagi menjadi etmoid anterior yang
bermuara di meatus media, dan etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior (Dhingra, 2014). Bula etmoid adalah sel etmoid anterior
yang paling konstan dan yang paling besar. Infundibulum etmoid
mengumpulkan sekresi dari sel etmoid anterior, sinus maksila dan pada
beberapa kasus, sinus frontal. Infundibulum etmoid berhubungan dengan
meatus media melalui hiatus semilunaris (Lee, 2008).
Setiap labirin etmoid memiliki hubungan yang penting. Bagian atap
dibentuk oleh fosa cranii anterior, di sebelah lateral dari lamina kribrosa.
Selaput otak membentuk hubungan yang penting disini. Dinding lateral
berhubungan dengan orbita. Lamina dari tulang yang tipis seperti kertas
(lamina papirasea) memisahkan sel udara dari orbita, yang dapat dengan
mudah hancur yang dapat menyebabkan penyebaran infeksi pada etmoid
ke orbita. Nervus optikus berhubungan dekat dengan sel etmoid posterior
dan beresiko selama pembedahan etmoid (Dhingra, 2014).
2.2.4 Sinus sfenoid
Kedua sinus sfenoid kanan dan kiri jarang simetris dan dipisahkan
oleh septum tulang yang tipis, posisinya sering miring dan bahkan dapat
tidak sempurna. Derajat pneumatisasi sinus sfenoid bervariasi dan juga

Universitas Sumatera Utara

perluasan dari sinus dan struktur yang berhubungan dengannya. Kavum
sinus dapat besar dan meluas sampai ke sayap sfenoid dan bahkan
pterigoideus (Dhingra, 2014). Sinus sfenoid memiliki banyak hubungan
penting dengan neurovaskular. Arteri karotis interna berada di sebelah
lateral dari sinus sfenoid yang berjalan melalui sinus kavernosus
membentuk penonjolan pada bagian lateral dinding sinus sfenoid pada
65% individu. Kira-kira 25% tulang pembungkus yang memisahkan arteri
karotis interna dari sinus sfenoid sebagian menghilang. Penonjolan nervus
optikus terjadi pada 40% individu dan menghilang pada 6% (Leung, Walsh
dan Kern, 2014). Sel sfenoetmoid (sel Onodi) adalah sel etmoid yang
paling posterosuperior yang berpneumatisasi ke atas, lateral dan posterior
dari bagian depan sfenoid. Secara radiologis, sel ini terlihat seperti sinus
sfenoid yang bersepta dengan ruangan pada bagian superior yang
menggambarkan sel sfenoetmoid. Sel ini berhubungan dekat dengan
nervus optikus yang membentuk tonjolan lateral, pembedahan yang tidak
bijaksana di dalam sel ini dapat menyebabkan trauma nervus optikus dan
kebutaan (Lee, 2008).
Ostium sinus sfenoid terbuka ke resesus sfenoetmoid. Pada suatu
penelitian dari ostium sinus sfenoid mengidentifikasikan bahwa ujung dari
bagian posteroinferior dari konka superior sebagai petunjuk untuk
mengidentifikasi ostium alami sinus sfenoid. Pada kebanyakan kasus
ujung dari bagian posteroinferior dari konka superior terletak pada bidang
horizontal yang sama seperti dasar dari sinus sfenoid. Ostium terletak di
sebelah medial dari konka superior pada 83% kasus dan di sebelah lateral
pada 17% kasus (Leung, Walsh dan Kern, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Gambar sinus paranasal:

Gambar 2.7. sinus paranasal (National Cancer Institute, 2015)

2.2.5 Membran mukosa sinus paranasal
Sinus paranasal dilapisi oleh membran mukosa yang bersambung
dengan kavum nasi melalui ostium sinus. Membran mukosa sinus
paranasal lebih tipis dan lebih sedikit pembuluh darah dibandingkan
dengan kavum nasi. Secara histologi tampak epitel silindris bersilia
dengan sel goblet yang mensekresi mukus. Silia lebih terlihat jelas di
dekat ostium sinus dan membantu drainase mukus ke kavum nasi
(Dhingra, 2014).

Universitas Sumatera Utara

2.2.6 Kompleks ostiomeatal
Kompleks ostio-meatal menggambarkan jalur utama yang umum
dari mucociliary clearance untuk etmoid anterior, sinus maksila dan sinus
frontal. Kompleks ostio-meatal bukan merupakan sebutan anatomi yang
benar melainkan suatu area fungsional. Kompleks ostio-meatal meliputi
beberapa struktur yang berdrainase ke meatus media: ostium sinus
maksila, infundibulum etmoid, sel etmoid anterior dan resesus frontalis.
Inflamasi fokal atau obstruksi massa pada unit ostio-meatal dapat
mengganggu aliran mukosiliar pada beberapa tempat, berpotensi
menyebabkan rinosinusitis (gambar 2.8) (Hwang dan Abdalkhani, 2009).

Gambar 2.8. Kompleks ostiomeatal (Hwang dan Abdalkhani, 2009)

2.3 Rinosinusitis Kronis
2.3.1 Definisi
Rinosinusitis kronis merupakan gangguan klinis yang meliputi
infeksi heterogen dan kondisi inflamasi yang mempengaruhi sinus
paranasal. Menurut sejarah, sinusitis merupakan terminologi yang umum

Universitas Sumatera Utara

digunakan untuk inflamasi pada sinus paranasal. Terminologi ini perlahanlahan ditinggalkan dan lebih disukai istilah rinosinusitis karena inflamasi
hidung hampir selalu bersamaan dengan inflamasi sinus paranasal.
Namun tetap masih ada kontroversi mengenai definisi dan diagnosis dari
semua bentuk rinosinusitis. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya
bahwa rinosinusitis kronis mencakup spektrum penyakit yang memiliki
penyebab yang banyak dan berbagai pengobatan yang tepat (Schlosser
dan Woodworth, 2009).
Definisi

rinosinusitis

menurut

American

Academy

of

Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) pada tahun 1996
berdasarkan durasi tanda dan gejala klinis dibagi menjadi akut (lebih dari
4 minggu), subakut (4 sampai 12 minggu), kronis (lebih dari 12 minggu),
akut rekuren (≥4 episode per tahun dan setiap episodenya berlangsung
hingga ≥7 sampai 10 hari dan tanpa intervensi terhadap tanda rinosinusitis
kronis), dan kronis eksaserbasi akut (rinosinusitis kronis memburuk tibatiba, kembali pada keadaan awal setelah terapi). Untuk praktisnya,
sebagian besar praktisi lebih suka membagi menjadi 2 kategori,
rinosinusitis

akut

dan

kronis.

Penting

untuk

diperhatikan

bahwa

rinosinusitis akut dapat berkembang menjadi rinosinusitis kronis pada
beberapa kasus. Bagaimanapun juga, rinosinusitis akut biasanya
merupakan infeksi dari alam, sedangkan yang kronis mungkin disebabkan
oleh berbagai proses inflamasi. Rinosinusitis kronis paling sering dibagi
menjadi kategori pasien dengan perubahan mukosa hiperplastik dengan
polip dan tanpa polip (Schlosser dan Woodworth, 2009).
2.3.2 Kekerapan
Penelitian Munir (2006) terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik
yang menjalani operasi tahun 2002-2003 di RSUP H. Adam Malik, Medan
mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak

Universitas Sumatera Utara

34,3%, sedangkan jumlah penderita perempuan sebanyak 20 penderita
(57%) dan laki-laki sebanyak 15 penderita (43%).
Penelitian Multazar (2011) mengenai penderita rinosinusitis kronik di
poliklinik THT-KL RS. H. Adam Malik Medan periode Januari 2008 sampai
dengan Desember 2008, menjumpai 296 penderita rinosinusitis kronis
dengan tindakan operasi terbanyak adalah bedah sinus endoskopi
fungsional sebanyak 54 penderita (80,6%), diikuti antrostomi (11,94%),
CWL (5,97%) dan trepanasi sinus frontal sebesar 1,49%.
Dewi (2013) dalam penelitiannya mengenai penderita rinosinusitis
kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional di
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011 menjumpai 111 penderita
yang terdiri dari 59 penderita rinosinusitis kronik tanpa polip dan 52
penderita rinosinusitis kronik dengan polip.
2.3.3 Etiologi dan patofisiologi
Rinosinusitis kronis memiliki banyak penyebab yang terdiri dari
infeksi (virus, bakteri dan jamur), anatomi, alergi, disfungsi mukosilier
kongenital (misalnya fibrosis kistik, diskinesia siliari primer atau didapat)
dan gangguan sistemik. Adanya bakteri di dalam hidung dan sinus
paranasal pada populasi rinosinusitis kronis telah dapat dibuktikan, dan
kebanyakan praktisi percaya bahwa bakteri memiliki peranan pada
sebagian besar kasus. Apakah bakteri memiliki peranan secara langsung
atau tidak langsung dalam perkembangan rinosinusitis kronis belum dapat
ditentukan secara pasti (Schlosser dan Woodworth, 2009).
a. Progresi dari rinosinusitis akut
Kondisi yang mempengaruhi rinosinusitis kronis sama dengan
infeksi akut dalam hal faktor ekstrinsik, intrinsik, sistemik dan faktor lokal
penjamu. Selanjutnya, episode berulang dari rinosinusitis akut pada
akhirnya dapat menyebabkan disfungsi mukosa dan infeksi kronis. Gejala
pada

rinosinusitis

kronis

lebih

bervariasi

dibanadingkan

dengan

Universitas Sumatera Utara

rinosinusitis akut. Rinosinusitis kronis secara khas mengalami disregulasi
mukosa yang luas dan proses inflamasi kronis yang sangat sulit untuk
diterapi. Penyakit ini sering tahan terhadap terapi obat-obatan dan
pembedahan yang tersedia saat ini. Kortikosteroid sistemik lebih sering
digunakan pada rinosinusitis kronis, oleh karena penyakit ini mempunyai
komponen inflamasi kronis yang mendasari secara signifikan. Selanjutnya
rinosinusitis akut secara histologi menunjukkan proses eksudatif yang
ditandai dengan inflamasi neutrofilik dan nekrosis, sedangkan rinosinusitis
kronis merupakan proses proliferatif yang paling sering ditandai dengan
menebalnya membran mukosa dan lamina propria. Karena rinosinusitis
akut hampir selalu merupakan infeksi, ini ditandai dengan normal inflamasi
tipe T helper 1 (Th1) yang berhubungan dengan dikeluarkannya neutrofil
sebagai tipe sel predominan untuk melawan infeksi. Sementara itu tipe
inflamasi infeksius ini predominan pada rinosinusitis kronis sekunder
terhadap fibrosis kistik, diskinesia siliari dan rinosinusitis yang berasal dari
infeksi gigi, kebanyakan rinosinusitis kronis memiliki respon inflamasi tipe
atopi (Th2) dimana eosinofil merupakan sel inflamasi yang predominan
pada rinosinusitis kronis atopi maupun non atopi (Schlosser dan
Woodworth, 2009).
b. Faktor anatomi
Pada beberapa kasus, rinosinusitis kronis berkembang dari infeksi
bakteri kronis pada rongga sinus dengan adanya obstruksi ostium
anatomis. Abnormalitas anatomis menyebabkan penyempitan saluran
yang mengakibatkan seseorang dapat mengalami rinosinusitis kronis,
terutama dengan adanya beberapa macam inflamasi yang dapat berulang
kembali. Beberapa variasi anatomi yang juga dapat menyebabkan
seseorang menderita rinosinusitis kronis termasuk diantaranya sel Haller
(infundibular), jalur pengaliran sinus frontal yang sempit karena sel ager
nasi ataupun sel frontal yang besar. Sekali ostium tersumbat, terjadi
hipoksia lokal pada rongga sinus dan sekresi sinus menumpuk. Hal ini

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan terbentuknya lingkungan yang cocok untuk perkembangan
bakteri yang cepat. Toksin bakteri dan mediator endogen selanjutnya
merusak terutama epitel respiratori bersilia dan akibatnya terjadi
penurunan mucociliary clearance. Terjadi lingkaran setan dengan
tertahannya hasil sekresi dan infeksi lebih lanjut (Schlosser dan
Woodworth, 2009).
c. Disfungsi mukosilier
Mucociliary clearance merupakan hal yang penting khususnya
dalam menjaga homeostasis sinus paranasal. Gerakan silia epitel
mengeluarkan alergen, bakteri dan polutan yang terperangkap pada
mukus atau lapisan jeli dari lapisan mukosilier melalui jalur drainase alami.
Sisa mukus pada cairan perisilier atau lapisan sol yang memungkinkan
eliminasi yang cepat dari sekresi yang kental. Mucociliary clearance dapat
diganggu oleh rusaknya fungsi siliari yang disebabkan oleh faktor intrinsik
dan ekstrinsik atau perubahan kekentalan dan produksi mukus. Faktor
intrinsik yang dapat menyebabkan disfungsi silia diantaranya diskinesia
siliari primer atau sindrom Kartagener. Faktor ekstrinsik yang dapat
mengganggu mucociliary clearance diantaranya trauma oleh iritan
lingkungan, mediator endogen dari inflamasi, atau trauma operasi. Pasien
dengan fibrosis kistik memiliki kekentalan mukus yang tinggi sebagai
proses sekunder dari perubahan transpor air dan elektrolit. Lapisan jeli
dan sol dari lapisan mukus juga dipengaruhi, dengan demikian
menghalangi pengeluaran bakteri. Iritan yang berasal dari udara, alergen,
paparan udara dingin, ataupun infeksi virus pada saluran pernafasan atas
dapat

meningkatkan

produksi

mukus

dan

melampaui

kecepatan

mucociliary clearance. Semua faktor-faktor ini dapat menyebabkan
penumpukan mukus di dalam sinus, menurunkan pengeluaran bakteri dan
menciptakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri
(Schlosser dan Woodworth, 2009).

Universitas Sumatera Utara

d. Inflamasi tulang
Penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa tulang mungkin dapat
berperan aktif dalam proses penyakit ini; inflamasi yang berhubungan
dengan RSK dapat menyebar melalui sistem Haversian di dalam tulang.
Angka perubahan tulang pada RSK sama seperti pada osteomyelitis.
Selanjutnya,

operasi

yang

menginduksi

infeksi

baik

dengan

Staphylococcus aureus atau pun Pseudomonas aeruginosa dapat
menginduksi semua perubahan klasik dari osteomyelitis dan menginduksi
perubahan inflamasi kronik di sepanjang mukosa pada jarak yang
signifikan dari daerah infeksi. Oleh karena itu, inflamasi tulang mungkin
merupakan faktor penting dalam penyebaran perubahan inflamasi kronis
dan dapat menjelaskan kekebalan terhadap terapi medis. Masih belum
jelas, apakah tulang menjadi terinfeksi dengan bakteri atau terapi medis.
Namun masih belum jelas apakah tulang benar-benar menjadi terinfeksi
dengan bakteri atau perubahan yang diamati benar-benar reaktif
(Schlosser dan Woodworth, 2009).
e. Sinusitis dentogen
Patologi pada gigi dapat menyebabkan sinusitis pada sinus maksila
dengan penyebaran selanjutnya ke sinus yang berdekatan. Patologi ini
dapat berupa infeksi gigi, abses akar gigi, fistel oro-antral dan prosedur
operasi pada mulut yang menimbulkan sinusitis. Pasien-pasien ini
khususnya membutuhkan terapi, baik terapi pada mulut maupun sinus
untuk mengeradikasi infeksi (Schlosser dan Woodworth, 2009).
f. Biofilm
Penelitian yang terbaru membuktikan bahwa P. aeruginosa
membentuk biofilm pada sinus, yang mungkin menyebabkan penyakit
pada

sinus

yang

membandel.

Bakteri yang

menghasilkan

bifilm

merupakan organisasi kompleks dari bakteri yang melekat pada
permukaan. Biofilm sangat kompleks, merupakan struktur tiga dimensi dari

Universitas Sumatera Utara

bakteri hidup, yang secara in vivo membentuk menara dan lapisan
organisme hidup yang dibungkus oleh polisakarida. Mereka dapat
menyerang pertahanan tubuh penjamu dan menunjukkan penurunan
kepekaan terapi antibiotik baik secara lokal maupun secara sistemik.
Bertahannya biofilm disebabkan oleh metode pertumbuhannya. P.
aeruginosa berkembang dalam mikrokoloni yang dikelilingi oleh matriks
ekstraseluler dari alginat eksopolisakarida. Biofilm yang terbentuk pada
permukaan mukosa disebut dengan biofilm mukosa, sebagai bakteri
penghasil biofilm yang terbentuk pada lingkungan khusus dari mukosa
bersilia, daerah yang diharapkan memiliki proteksi terhadap formasi
biofilm (Lee, 2008; Schlosser dan Woodworth, 2009).
2.3.4 Diagnosa
Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps 2012 rinosinusitis kronis dengan atau tanpa polip nasi pada
dewasa didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasal
yang ditandai dengan dua atau lebih gejala dengan satu diantaranya
berupa hidung tersumbat atau adanya sekret pada hidung (anterior /
posterior nasal drip) yang disertai dengan nyeri wajah atau berkurang /
hilang penciuman selama ≥ 12 minggu. Gejala tersebut harus didukung
oleh gambaran pada endoskopi berupa polip nasi dan / atau sekret
mukopurulen terutama berasal dari meatus media dan / atau edema atau
obstruksi mukosa terutama pada meatus media, dan / atau perubahan
pada gambaran CT scan berupa perubahan mukosa dalam kompleks
ostiomeatal dan / atau sinus (Fokkens, et al., 2012).

2.4 Biofilm Secara Umum
Biofilm didefinisikan sebagai komunitas mikroba dalam bentuk sesil
yang ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada
substratum atau satu sama lainnya. Mereka tertanam dalam matriks

Universitas Sumatera Utara

substansi polimer ekstraseluler (EPS) yang mereka hasilkan, dan
menunjukkan

perubahan

fenotip

berhubungan

dengan

tingkat

pertumbuhan dan transkripsi gen (Donlan dan Costerton, 2002; Foreman,
at al., 2009; Hassan, et al., 2011).
Secara alami 99% bakteri dalam bentuk sesil, hanya 1% yang
dalam bentuk planktonik, dalam keadaan bebas mengambang (Keir,
Pedelty dan Swift, 2011). Meskipun sebagian besar bakteri di alam ada
sebagai biofilm, namun sebagian besar infeksi bakteri akut dalam bentuk
planktonik, bakteri yang bebas bergerak (Ferguson dan Donna, 2005).
Biofilm dan bentuk planktonik dari spesies bakteri yang sama dijumpai
berbeda dalam hal transkripsi gen dan ekspresi fenotip. Biofilm tidak
hanya terbatas pada bakteri, patogen jamur juga mampu memproduksi
biofilm (Costerton, et al., 2003; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sanglard,
2002).
Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, lebih dari
80% dari semua infeksi melibatkan biofilm. Biofilm berhubungan dengan
banyak kondisi medis termasuk diantaranya alat-alat medis yang
terpasang lama, plak gigi, infeksi saluran pernapasan atas, peritonitis, dan
infeksi urogenital. Baik bakteri gram-positif maupun gram-negatif memiliki
kemampuan untuk membentuk biofilm. Bakteri yang sering terlibat
termasuk diantaranya Enterococcus faecalis, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus viridans, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa
(Donlan, 2001; Hassan, et al., 2011; Reid, 1999)
Proses pembentukan biofilm terdiri dari perlekatan (attachment),
pertumbuhan (growth) dan pelepasan (detachment) (gambar 2.9).
Perlekatan awalnya reversibel dan berdasarkan pada daya tarik
elektrostatik.

Namun,

permukaan

bakteri

mediasi

protein

dan

pembentukan struktur penahan oleh beberapa sel menyebabkan adesi

Universitas Sumatera Utara

ireversibel (Costerton, Montanaro dan Arciola, 2004; Keir, Pedelty dan
Swift, 2011). Pada bakteri pseudomonas, tahap ini difasilitasi oleh pili tipe
IV. Hal ini diperlukan untuk aktivitas berkerut dan juga untuk membantu
akses ke mukosa saluran napas hidung (Keir, Pedelty dan Swift, 2011;
Sun, et al., 2013).

Gambar 2.9. Formasi biofilm. sel individu melekat di permukaan (1),
substansi polimer ekstraseluler diproduksi perlekatan menjadi ireversibel
(2), biofilm matang dan berkembang (3 dan 4), sel tunggal keluar dari
biofilm (5) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011)

Proses perlekatan bakteri pada substratum dan pertumbuhan
bakteri hingga beban yang cukup diakibatkan oleh sinyal kimia yang
terkoordinasi di antara sel, yang dikenal sebagai quorum sensing (Keir,
Pedelty dan Swift, 2011; Singh, et al., 2000; Sun, et al., 2013). Bakteri
gram-positif menghasilkan γ-butyrolactones dan 'auto-inducing peptida';

Universitas Sumatera Utara

bakteri gram negatif menghasilkan N-acylated homoserine lactones,
kuinolon dan dipeptida siklik. Senyawa ini berjalan melalui difusi dan
berinteraksi dengan permukaan bakteri tetangga dan / atau reseptor
intraseluler (gambar 2.10) (Dunn dan Handelsman, 2002; Keir, Pedelty
dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013).

Gambar 2.10. Quorum sensing: sel sesil dalam biofilm berkomunikasi satu
sama lain via quorum sensing untuk membangun mikrokoloni dan
menjaga saluran air tetap terbuka (Levchenko, at al., 2015)

Komunikasi ini mengakibatkan induksi gen, peningkatan regulasi
protom, dan akhirnya produksi dari ekstraseluler, substansi polimer yang
terdiri dari polisakarida, asam nukleat dan protein (Keir, Pedelty dan Swift,
2011; Sun, et al., 2013 Sutherland, 2001). Substansi ini membentuk
matriks, menyediakan ekosistem yang cocok dengan kebutuhan kolini
biofilm, yaitu mengurangi kebutuhan nutrisi dan oksigen; memediasi untuk
adesi ke permukaan; perlindungan dari kondisi eksternal yang tidak
menguntungkan;

lingkungan

anaerobik

yang

menguntungkan;

dan

pembentukan saluran air yang memungkinkan pengeluaran produk limbah

Universitas Sumatera Utara

dan transportasi nutrisi (Chole dan Faddis, 2003; Keir, Pedelty dan Swift,
2011; Sun, et al., 2013).
Pelepasan (detachment) bakteri dari biofilm terjadi karena kekuatan
eksternal, atau dengan proses yang aktif segera setelah tingkat
kematangan kritis tercapai. Pelepasan biofilm dapat difasilitasi oleh
konduksi gerakan fisik seperti gelombang, oleh degradasi enzimatik dari
matriks ekstraseluler dan oleh modulasi adesi permukaan (Keir, Pedelty
dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013). Produk dari proses pelepasan
merangsang pelepasan lebih lanjut dari bakteri planktonik. Embolisasi
bakteri ke daerah lain kemudian dapat terjadi, memungkinkan seluruh
proses untuk mulai lagi. (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sanclement, et al.,
2005; Sun, et al., 2013).
Mikroorganisme yang tumbuh di dalam biofilm secara intrinsik lebih
tahan terhadap agen antimikroba dibandingkan sel planktonik. Resistensi
terhadap antibiotik ini dapat meningkat hingga 1000 kali lipat (Hassan, et
al., 2011; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013). Hal ini terjadi
melalui beberapa mekanisme. Dalam biofilm, kontak antar sel diantara
mikroorganisme tetangga memfasilitasi pertukaran plasmid yang mudah,
memungkinkan evolusi dari resistensi antibiotik (Donlan, 2002; Keir,
Pedelty dan Swift, 2011). Selain itu, biofilm dapat menghasilkan βlaktamase yang menonaktifkan antibiotik β-laktam, matriks bermuatan
negatif

juga menolak aminoglikosida

bermuatan positif. Akhirnya,

pertumbuhan bakteri yang relatif lambat dalam biofilm mengganggu
efektivitas antimikroba, yang mana obat-obatan tersebut lebih efektif
dalam membunuh sel yang berkembang secara cepat (Keir, Pedelty dan
Swift, 2011; Walters, et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.5 Biofilm pada Rinosinusitis Kronis
Rinosinusitis kronis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada
bagian telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Patogenesisnya belum
sepenuhnya ditemukan. Teori multifaktor yang secara luas diterima
diantaranya adalah infeksi (bakteri, jamur, virus), abnormalitas anatomi
dari kompleks ostiomeatal, hipersensitivitas, disfungsi sistem mukosiliar.
Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian tentang bakteri pada
rinosinusitis kronis melaporkan nilai positif sebanyak 32,5% sampai 96%,
mengindikasikan adanya hubungan antara rinosinusitis kronis dengan
bakteri (Yildirun, et al., 2004; You, et al., 2011). Beberapa peneliti
mengemukakan bahwa biofilm adalah penyebab yang umum dari infeksi
persisten kronis (Bendouah, et al., 2006; You, et al., 2011).
Bakteri biofilm terdiri dari polimer ekstraseluler yang disekresi oleh
bakteri dan mozaik bakteri di dalamnya, bakteri biofilm ini memiliki
karakteristik angka pertumbuhan yang lambat, resisten terhadap antibiotik
yang kuat, kemampuan mentransfer gen secara bersamaan. Sekali biofilm
terbentuk resistensi terhadap antibiotik meningkat 500 sampai 1000 kali
dibandingkan dengan daerah yang bebas bakteri (Tewart dan Costerton,
2001; You, et al., 2011).
Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis
kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit. Pada
rinosinusitis kronis perubahan mukosa mengakibatkan kondisi yang baik
untuk pertumbuhan biofilm. Sekali biofilm terbentuk, dapat menyebabkan
resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi eksternal dikarenakan
antigen yang terus-menerus ada dan perkembangan proses inflamasi
kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Ramadan dkk mengambil spesimen
mukosa dari sinus etmoid dan maksila dari 5 kasus yang didiagnosa
dengan rinosinusitis kronis semuanya menunjukkan biofilm (+), yang

Universitas Sumatera Utara

terlihat di bawah mikroskop elektron dan kebanyakan seperti biofilm
Staphylococcus aureus. Semua kasus menunjukkan derajat abnormalitas
permukaan mukosa yang berbeda, susunan silia yang tidak teratur atau
bahkan tidak ada silia dan sel goblet (Ramadan, Sanclement dan Thomas,
2005; You, et al., 2011). Sanclement dkk meneliti 30 kasus rinosinusitis
kronis yang menjalani bedah sinus endoskopik fungsional dan 4 kasus
kontrol (3 kasus septoplasty dan 1 kasus rinore cairan serebrospinal).
Bakteri biofilm dijumpai pada 24 kasus dari kelompok rinosinusitis (80%),
sedangkan pada kelompok kontrol tidak dijumpai biofilm (Sanclement, et
al., 2005; You, et al., 2011). Zhang dkk meneliti 12 spesimen mukosa
pasien rinosinusitis kronis, yang menunjukkan angka biofilm (+) sebanyak
83,3% dan biofilm tersebut dijumpai pada semua fase yaitu perlekatan,
perkembangan dan pelepasan (You, et al., 2011; Zhang, et al., 2008).
Hasil-hasil

penelitian

tersebut

mengindikasikan

bahwa

biofilm

kemungkinan terlibat dalam patogenesis rinosinusitis kronis (You, et al.,
2011).
Boase dkk pada tahun 2013 menemukan Staphylococcus aureus
sebagai organisme yang paling banyak dijumpai pada pasien rinosinusitis
kronis (61%), diikuti oleh Staphylococcus epidermidis (55%), dan
Propionibacterium acnes (37%). Nocardia asteroides (24%), Haemophilus
influenzae (13%) dan Pseudomonas aeruginosa (8%) lebih sedikit
terdeteksi

(Boase,

et

al.,

2013).

Stephenson

dkk

menemukan

Haemophilus influenzae sebanyak 17% pada pasien rinosinusitis kronis,
berbeda dengan penelitian belakangan ini yang menggunakan FISH
(fluorescent in situ hybridisation) mengemukakan Haemophilus influenzae
sebagai organisme dominan pada rinosinusitis kronis (Sanderson, Leid
dan Hunsaker, 2006). Studi molekular terbaru menemukan Pseudomonas
aeruginosa sebagai organisme dominan pada pasien rinosinusitis kronis.
Perbedaan profil organisme antar studi menggambarkan variasi daerah,

Universitas Sumatera Utara

pola penggunaan antimikroba, perbedaan metodologi, atau gambaran
keparahan penyakit (Boase, et al., 2013).
Dengan menggunakan berbagai macam teknik pencitraan, biofilm
telah dijumpai pada mukosa sinonasal dari pasien rinosinusitis kronis
(Cryer, et al., 2004; Ferguson dan Stolz, 2005; Sanderson, Leid dan
Hunsaker, 2006). Lebih lanjut lagi, adanya biofilm telah dihubungkan
dengan sinusitis yang gejala klinisnya lebih buruk (Bendouah, et al., 2006;
Foreman, et al., 2009). Temuan ini direplikasikan pada studi baru-baru ini
dimana dijumpai pasien rinosinusitis kronis dengan biofilm (+) memiliki
skor gejala klinis yang lebih buruk secara signifikan dibandingkan dengan
yang nonbiofilm. Tetapi tidak ada perbedaan antara skor CT LundMackay, yang menguatkan kurangnya korelasi antara skor gejala dan
pemeriksaan radiologis terhadap keparahan penyakit (Foreman, et al.,
2009).

2.6 Pemeriksaan Biofilm
Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, teknik yang telah
distandarisasi sangat penting sekali dikembangkan. Berbagai metode
telah

distandarisasi

pada

beberapa

laboratorium,

masing-masing

mempunyai kelebihannya masing-masing. Metode-metode ini diantaranya
metode lempeng kultur jaringan, metode tabung, metode agar merah
kongo, liquid-interface coverslip assay, scanning mikroskop elektron, dan
pemeriksaan dengan mikroskop cahaya atau fluoresens (Mathur, et al.,
2006; Taj, et al., 2012). Saat ini baku emas untuk mengidentifikasi adanya
biofilm adalah confocal scanning laser microscopy yang digunakan
bersamaan dengan fluorescent in-situ hybridisation (FISH) (Keir, Pedelty
dan Swift, 2011).
Hong dkk

dalam penelitiannya terhadap 55 orang pasien

rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional

Universitas Sumatera Utara

mendeteksi biofilm menggunakan pewarnaan hematoxylin eosin dengan 3
observer independent, menyimpulkan bahwa pewarnaan hematoxylin
eosin dalam mendeteksi biofilm dapat menjadi metode yang praktis dan
murah (Hong, et al., 2013).
Toth dkk dalam penelitiannya terhadap 50 pasien rinosinusitis
kronis dan 12 orang yang menjalani septoplasti tanpa rinosinusitis kronis
sebagai kontol negatif mendeteksi adanya biofilm bakteri dengan
pewarnaan hematoxylin eosin dan menyimpulkan bahwa pewarnaan
hematoxylin eosin merupakan metode yang kuat dan terpercaya dalam
mendeteksi biofilm bakteri pada rinosinusitis kronis (Toth, et al., 2011).
Hochstim dkk dalam penelitiannya yang membandingkan antara
pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dengan fluorescent insitu hybridisation menyatakan bahwa semua biofilm yang terdeteksi
dengan hematoxylin eosin juga terdeteksi dengan FISH. Selanjutnya,
semua sampel yang biofilm negatif dengan hematoxylin eosin juga
diklasifikasikan sebagai biofilm negatif dengan FISH, dimana dikatakan
biofilm positif bila terdapat kuantitas yang bermakna dari pewarnaan baik
dengan melapisi permukaan epitel atau berkelompok di sepanjang
permukaan. Oleh karena itu pada penelitian ini hematoxylin eosin dengan
tepat dapat mengidentifikasi keberadaan dan ketidak adaan dari biofilm
pada semua kasus, dengan FISH sebagai standar kontrolnya, dimana
sensitivitasnya 78% dan spesifisitasnya 93% (Boase, et al., 2013;
Hochstim, et al., 2010).
Pada pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin mukosa
yang diambil dari sinus etmoid difiksasi dalam formalin 4% selama 48 jam.
Kemudian diwarnai dengan hematoxylin eosin dengan menggunakan
prosedur

patologi

standar.

Secara

singkatnya,

potongan

mukosa

dideparafinisasi dalam xylene (2x5 menit) dan direhidrasi secara berturutturut selama 1 menit dicuci dengan ethanol 100%, 96%, 80%, dan 70%.

Universitas Sumatera Utara

Kemudian diwarnai dengan hematoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air
suling, dicuci dengan asam hidroklorida 0,1% dalam 50% ethanol, dicuci
dengan air keran selama 15 menit, diwarnai dengan eosin selama 1 menit,
dan dicuci lagi dengan air suling. Slide-nya kemudian didehidrasi dengan
ethanol 95% dan 100% secara berurutan diikuti dengan xylene (2x5
menit) dan ditutup dengan coverslip. Kemudian slide dianalisa dengan
menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 20x dan 40x.
Secara histologis biofilm tampak sebagai bentuk yang ireguler dari
kelompok bakteri basofilik kecil, substansi ekstrapolimer, dan sisa eritrosit
dan leukosit yang terperangkap pada permukaan epitel (gambar 2.11).
Sampel diklasifikasikan menjadi, memiliki biofilm yang luas bila terdapat
keterlibatan 50% atau lebih dari permukaan mukosa yang dianalisa,
sedangkan bila kurang dari 50% diklasifikasikan sebagai biofilm (+), atau
bila tidak ada dikatakan sebagai biofilm (-) (Hochstim, et al., 2010).

Gambar 2.11. Biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin
(Hochstim, et al., 2010)

Universitas Sumatera Utara

Sangat

disayangkan

confocal

scanning

laser

microscopy

merupakan peralatan yang tidak murah dan tidak tersedia luas. Namun
dikarenakan terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm berperan penting
dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk mengidentifikasi
metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk meneliti biofilm pada
sampel klinis. Ketersediaan pewarnaan hematoxylin eosin yang luas
dalam laboratorium patologi klinik membuatnya menjadi metode yang
sangat praktis untuk mendeteksi biofilm dalam praktek klinis (Hochstim, et
al., 2010; Natili dan Leipzig, 2014).

2.7 Penatalaksanaan Biofilm
Penatalaksanaan standar rinosinusitis kronis pada orang dewasa
saat ini yang direkomendasikan oleh kelompok studi Rinologi PERHATIKL meliputi pemberian antibiotik, dekongestan oral, kortikosteroid dan
mukolitik disertai terapi tambahan irigasi hidung. Penatalaksanaan
terhadap rinosinusitis kronis yang disebabkan oleh biofilm juga sama
(Mangunkusumo, 2011).
Meskipun komunitas medis telah mengetahui bahwa banyak
penyakit dan infeksi yang disebabkan oleh biofilm, namun kebanyakan
peneliti meyakini bahwa biofilm sulit atau tidak mungkin dimusnahkan,
terutama sel yang membentuk lapisan bagian dalam dari biofilm yang
tebal. Kebanyakan tulisan tentang biofilm menyatakan bahwa biofilm
resisten terhadap antibiotik yang diberikan secara standar. Beberapa
peneliti telah berulang kali mencoba memusnahkan biofilm dengan
memberikan kepada pasien antibiotik dengan dosis tinggi dan secara
konstan. Namun sayangnya ketika diberikan dengan dosis tinggi, antibiotik
tersebut dapat melemahkan biofilm sementara, tetapi tidak dapat
menghancurkannya (Deb, et al., 2014). Kemampuan biofilm dalam
mentoleransi antibiotik dalam dosis tinggi ini dikarenakan oleh beberapa

Universitas Sumatera Utara

faktor, yaitu kurangnya penetrasi antibiotik ke dalam matriks dari biofilm; di
dalam biofilm bakteri secara fisiologis berubah dari bentuk planktonis yang
aktif menjadi immobile dan tidak berkembang di dalam biofilm, sementara
antibiotik

lebih

efektif

dalam

menghancurkan

sel

yang

sedang

berkembang aktif; adanya perubahan lingkungan kecil di dalam biofilm
sepert pH dan kadar oksigen yang dapat menurunkan aktivitas agen
antimikroba; adanya perubahan ekspresi gen organisme di dalam biofilm;
dan berkurangnya fenotip spesifik dari biofilm (Aziz dan Aeron, 2014).
Antibiotik hanya efektif melawan biofilm bila diberikan dengan cara
yang sangat spesifik. Selanjutnya, hanya antibiotik tertentu yang efektif
terhadap biofilm. Contohnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penetrasi dari oxacillin, cefotaxime (β-laktamase) dan vancomycin
(glikopeptida)
Staphylococcus
amikacin

berkurang
aureus

seccara

signifikan

terhadap

dan Streptococcus epidermidis

(aminoglikosida)

dan

ciprofloxacin

biofilm

sedangkan

(fluorokuinolon)

tidak

terpengaruh. Setelah beberapa dekade penelitian, yang kebanyakan
berasal dari molecular modeling data, Marshall adalah orang pertama
yang menciptakan regimen antibiotik yang secara efektif mentarget dan
menghancurkan biofilm, yang disebut dengan Marshall Protocol. Yang
utama dari Marshall Protocol ini adalah fakta bahwa biofilm dapat
dimusnahkan sampai tuntas dengan pemberian antibiotik bakteriostatik
spesifik yang diberikan dalam dosis rendah dan berpulsasi. Pemberian
antibiotik dengan dosis standar hanya dapat memusnahkan bakteri dalam
bentuk planktonis saja tetapi menyisakan persister (Deb, et al., 2014).
Persister adalah subpopulasi kecil dari bakteri di dalam biofilm yang
berdiferensiasi menjadi sel dorman (Aziz dan Aeron, 2014). Antibiotik
dalam dosis rendah dan berpulsasi ini diberikan dengan cara pertamatama antibiotik diberikan lalu kemudian dihentikan sementara setelah itu
diberikan

lagi.

Pemberian

antibiotik

yang

pertama

kali

dapat

memusnahkan sebagian besar sel biofilm dan menyisakan persister.

Universitas Sumatera Utara

Penghentian antibiotik memungkinkan populasi persister untuk mulai
berkembang. Karena pemberian antibiotik dihentikan sementara, persister
yang tersisa tidak dapat berkembang lebih lanjut lagi dikarenakan sel
persister

tersebut

kehilangan

fenotipnya

(bentuk

dan

properti

biokimianya), artinya sel persister tersebut tidak dapat berubah kembali
menjadi bentuk biofilm. pemberian antibiotik yang kedua selanjutnya dapat
memusnahkan sel persister yang tetap dalam bentuk planktonis (Deb, et
al., 2014).
Antibiotik yang digunakan dalam Marshall Protocol umumnya
antibiotik yang bersifat bakteriostatik, seperti eritromisin, azitromisin
ataupun golongan makrolida lainnya. Dosis yang diberikan adalah di
bawah dari dosis minimal terapi yang lazim digunakan dengan pemberian
selama tidak kurang dari 2 bulan, misalkan azitromisin diberikan di bawah
dosis 250mg. Selain itu pasien juga mengkonsumsi olmesartan (Benicar)
yang dapat mengikat dan mengaktifkan vitamin D receptor (VDR),
sehingga memperbaharui kemampuan tubuh untuk, mengaktifkan sistem
imun. Olmesartan diberikan dengan dosis 40mg 4x sahari, terkadang
dapat ditingkatkan hingga tiap 4 jam sekali (Proal, 2008; Trister, 2013).
Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa larutan cuci hidung
(larutan saline) yang dicampur dengan 1% sampo bayi pada rinosinusitis
kronis memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan yang hanya
diberi larutan