cina jepang

SOLUSI PENYELESAIAN KONFLIK
LAUT CINA SELATAN
Posted by Neeta Takky
Konflik Laut Cina Selatan memang rumit. Selain Cina yang mengklaim seluruh Kepulauan
Spratly dan Paracel, terdapat pula Taiwan dan empat negara ASEAN, Vietnam, Malaysia,
Filipina dan Brunei Darussalam. Situasi di kawasan itu sendiri sering menimbulkan ketegangan
setelah terjadi perang kata-kata antara Filipina dengan Cina atau Vietnam dengan Cina.
Sedikitnya ada tiga kecenderungan dalam penyelesaian klaim tumpang tindih di Laut Cina
Selatan (LCS). Pertama, perundingan bilateral antara yang berkepentingan seperti dilakukan
Cina dan Filipina. Kedua, jalur perundingan multilateral di mana semua pengklaim berkumpul
bersama baik melalui forum internasional maupun regional untuk menyelesaikan kasus mereka.
Ketiga, tidak tertutup kemungkinan laras meriam berbicara lebih keras dibanding adu pendapat
di meja perundingan.
a. Jalur bilateral
Benarkah jalur bilateral bisa menyelesaikan konflik kedaulatan di LCS? Perkembangan akhirakhir ini memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Filipina meningkatkan kehadiran militer ketika
ketegangan dengan Cina meningkat. Cina mengecam Vietnam yang sudah menjalin kerja sama
penyelidikan kelautan dengan Rusia. Beijing juga mengkritik Hanoi karena mengizinkan
perusahaan minyak AS melakukan eksplorasi di perairan yang diklaimnya. Sejumlah bukti itu
memperlihatkan kelemahan kesepakatan bilateral. Memang kontak dua negara bisa dengan cepat
menyelesaikan pentingnya pemanfaatan kekayaan alam di LCS. Namun tidak tersentuhnya isu
kedaulatan yang menjadi inti konflik menyebabkan kesepakatan itu limbung. Terkena sedikit

angin, bubarlah kesepakatan itu digantikan kekuatan militer yang berbicara lebih vokal.
b. Forum multilateral
Satu-satunya forum mulilateral yang ditempuh negara yang terlibat konflik adalah Lokakarya
Pengelolaan Konflik di Laut Cina Selatan yang sudah berlangsung lima kali di Indonesia.
Meskipun pertemuan itu bersifat informal namun tidak menghilangkan bobotnya sebagai forum
tukar pikiran dan kerja sama.
Secara teoritis, jika sudah timbul saling pengertian diharapkan isu inti yakni klaim tumpang
tindih di lautan ini bisa ditempuh secara bertahap. Berbagai makalah tentang solusi multilateral
sudah diajukan. Misalnya pakar dari Kanada mengambil contoh forum kerja sama di Teluk
Maine antara AS dan Kanada. Karena dua negara bersahabat, kerja sama berjalan baik. Namun
bila suasana tidak mendukung, seperti terjadi misalnya dalam kerja sama di Laut Baltik,
Mediterania dan Laut Hitam, maka hasilnya tak maksimal. Juga hubungan dua negara antara
Argentina dan Cile mempersulit kerja sama di Terusan Beagle.
c. Langkah militer
Pembangunan landas pacu dan pengiriman kapal militer oleh Cina bukan rahasia lagi. Klaim
yurisdiksi ini bahkan diperkuat landasan hukum di Cina sendiri sehingga bagi militer adalah sah

saja menganggap LCS milik Beijing seluruhnya. Mereka yang mengklaim secara sebagian
seperti Filipina, Malaysia atau Brunei dianggapnya merongrong kedaulatan.
Bagi negara tetangga Cina, berhadapan dengan naga raksasa ini sangatlah menakutkan. Namun

mereka tidak sendiri. Bagi Filipina, keberanian itu dimungkinkan karena keyakinan bahwa
Amerika Serikat bahkan mungkin Jepang, takkan membiarkan Cina menjadi kekuatan hegemoni
di LCS.
Faktor AS dan Jepang serta Indonesia pada tingkat tertentu menjadikan Cina hanya berani main
gertak saja. Persoalannya, main gertak ini kalau justru merunyamkan masalah bisa-bisa terlibat
bentrokan terbatas, sesuatu yang bakal mempersulit kerja sama mengelola potensi sumber daya
alam di LCS. Lebih-lebih penyelesaian masalah kedaulatan.
Ini Alasan Mengapa Jepang Lebih Berhak atas Pulau Senkaku

Senkaku Island
Foto: IST

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo, Jepang
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda, Selasa (20/11/2012) sore
dalam pertemuan dengan Presiden Obama di KTT ASEAN jelas-jelas dan resmi untuk ke sekian
kali mengajak China ke mahkamah internasional guna memecahkan permasalahan sengketa
pulau Senkaku milik Jepang yang oleh China dianggap miliknya. Obama pun menyambut
dengan baik usulan tersebut. Meskipun demikian untuk kesekian kalinya China terus menerus
menolak ajakan tersebut dan menganggap tidak perlu ke mahkamah internasional karena pulau
itu jelas-jelas milik China dan direbut oleh Jepang.

Itulah sebabnya Pertengahan September lalu muncul unjuk rasa anti-Jepang di China, terus
menerus lebih dari 10 hari. Sedikitnya 125.000 partisipan unjuk rasa bahkan menjadi kerusuhan
anti Jepang terbesar, turun ke jalan umum di lebih 100 kota di China. Mereka merusak berbagai
tempat serta barang yang berbau Jepang. Saking takutnya Uniqlo, peritel fashion terbesar Jepang,
menuliskan pada kaca depannya, “pulau Senkaku milik China”, agar toko Jepang itu tidak
dirusak para pengunjuk rasa.
Kerusuhan terbesar anti Jepang di China itu, mengakibatkan beberapa orang Jepang cedera

bahkan diperkirakan ada yang meninggal setelah dipukuli para perusuh tersebut. Sebuah
Konsulat Jepang diserbu masuk para perusuh dan dirusak. PM Jepang Yoshihiko Noda pun saat
itu membentuk tim khusus darurat untuk memonitor keamanan warga Jepang di Cina.
Di Shibuya Tokyo, Duta Besar Jepang untuk China, Shinichi Nishimiya, yang baru dilantik 11
September lalu, dua hari kemudian, 13 September langsung jatuh sakit dan 16 September
meninggal dunia. Komentar pemerintah Jepang, “Tidak ada hubungannya dengan kerusuhan anti
Jepang di China.” Tetapi rumor yang beredar di Jepang, dubes tersebut dibunuh, entah
bagaimana caranya, oleh orang China yang ada di Jepang, karena dubes baru itu diketahui tidak
pro-China. Sedangkan Dubes Jepang sebelumnya sangatlah pro-China.
Begitu parah dan ribut sekali hubungan kedua negara ini sejak minggu kedua September. Bahkan
18 September (Insiden Mukden 1931), pada peringatan penjajahan Jepang atas China (masuk
lewat Machuria), unjuk rasa menjadi hampir 200.000 orang di China. Bahkan sekitar 100 kapal

China mendekati kepulauan Senkaku, dicegat ketat oleh puluhan kapal patroli Jepang, “Kita
perlu meningkatkan kekuatan pasukan bela diri Jepang kalau sudah melihat ketegangan ini,”
ungkap mantan Seretaris Kabinet Machimura saat kampanye di Tokyo 18 September lalu.
Survei TBS TV (Tokyo) yang dilakukan di China belum lama ini menghasilan jawaban bahwa
sekitar 55 persen masyarakat China yakin siap dan akan berperang dengan Jepang karena marah
sekali. Sedangkan masyarakat Jepang hanya sekitar 5 persen yang menyatakan adanya
kemungkinan perang dengan China. Jadi orang Jepang justru melihat China sebagai rasa
“kasihan” dan “cool” tidak ada rasa marah apalagi ingin perang terhadap China. Perasaan Heiwa,
artinya damai.
Mengapa kerusuhan anti Jepang meledak di China? Selasa 11 September pemerintah Jepang
menandatangani kesepakatan dengan pemilik 3 pulau Senkaku, keluarga Kurihara, membeli
pulau itu dengan harga 2,05 miliar yen.
“Pembelian pulau itu untuk memastikan keamanan navigasi perairan di sekitarnya dan akan
mengelola dengan stabil serta aman bagi sekelilingnya,” komentar Menlu Jepang Koichiro
Gemba
Kepulauan Senkaku terdiri dari lima pulau. Dua pulau telah dimiliki pemerintah Jepang yaitu
pulau Diaoyu dan pulau Tiaoyutai. Sedangkan 3 pulau lain dimiliki perorangan Jepang, Mr.
Kurihara, yaitu pulau Uotsuri Usland, pulau Kitakojima dan pulau Minamikojima, yang
disewanya bertahun-tahun.
Sejak beberapa tahun belakangan ini kepulauan Senkaku memanas kembali, diperebutkan oleh

China, mengaku milik mereka, terutama setelah terungkap ada sumber daya alam yang sangat
berharga.
"Kegiatan unjuk rasa anti Jepang di China yang tidak masuk akal sekarang ini dipastikan akan
meningkatkan ketegangan dan krisis kedua negara seperti yang diharapkan mungkin oleh
kelompok kanan Jepang,” ungkap Liu Jiangyong, Wakil Dekan Institute of Modern International
Relations di Universitas Tsinghua Beijing.

Sejarah Pulau Senkaku
Coba kita lihat sejarah sejenak. Pulau Senkaku semula adalah pulau tak bertuan sampai dengan
akhir tahun 1894, tak ada penghuninya dan semua orang tak ada yang melirik, tak ada yang
tertarik kepada pulau tersebut. Lalu Jepang menganggap sebagai pulau miliknya.
Pada jaman restorasi Meiji tepatnya tahun 1885, pemerintah Jepang melakukan survei yang
hasilnya, pulau tersebut tidak ada pemiliknya. Saat itu, Menteri Dalam Negeri Jepang, Aritomo
Yamagata, mengajukan permintaan resmi agar pulau dimasukkan ke Jepang.
Tanggal 14 Januari 1895, Jepang mengumumkan secara resmi memiliki pulau tersebut pada saat
perang Cina-Jepang dan kemenangan pada tentara Jepang atas China. Hal itu terjadi tiga bulan
sebelum penandatanganan Pakta Shimonoseki, pakta perdamaian penghentian perang dan
pengakuan Cina kalah terhadap Jepang. Lalu Jepang membuat tanda di Kubajima (pulau Kuba)
dan Uotsurijima (pulau Uotsuri) sebagai tanda pulau tersebut milik Jepang. Keputusan politik itu
baru terungkap tahun 1950.

Kepulauan Senkaku yang terdiri dari lima pulau dengan luas keseluruhan tujuh kilometer persegi
terdiri dari pulau Uotsuri (Diaoyu Dao), pulau Taisho (Chiwei Yu), Kubajima (Huangwei Yu),
pulau Kita Kojima (Bei Xiaodao) dan pulai Minami Kojima (Nan Xiaodao).
Pemerintah Jepang sejak tahun 1930 memperkenankan swasta, keluarga Jepang bernama
Tatsuhiro Koga, membeli dan mengelola pulau tersebut dan membayar pajak kepada pemerintah
Jepang setiap tahun. Saat ini uang pajak dari pulau itu sekitar 24 juta yen setahun.
Koga membuat usaha (perikanan) Katsuobushi di pulau tersebut sehingga jumlah penduduk
menjadi sekitar 200 orang. Setelah perang dunia kedua berakhir, pulau itu yang menjadi bagian
dari Okinawa, diambil pihak Amerika Serikat. Lalu tahun 1971 Okinawa termasuk pula pulau
Senkaku dikembalikan kepada Jepang. Kepemilikan berganti dari keluarga Koga tahun 1970-an
dibeli keluarga Kurihara hingga kini.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1969 mengumumkan bahwa di kepulauan Senkaku
banyak sumber alam mineral dengan nilai sekitar satu triliun dolar AS kalau dikelola dengan
baik. Gara-gara pengumuman PBB tersebutlah, pulau yang tak tertarik bagi siapa pun, kecuali
Jepang, akhirnya jadi perhatian dunia terutama China yang langsung ingin merebut balik sampai
detik ini kepulauan Senkaku. Ternyata inti persoalan adalah kekayaan alam tersebut
Sidang Keamanan PBB tanggal 20 Mei 1972 memutuskan Amerika Serikat mengembalikan
Okinawa termasuk pulau Senkaku (China menyebut pulau Diaoyu) kepada Jepang. Sejak lepas
dari Amerika, hingga kini banyak kasus terjadi persengketaan antara China dan Jepang. China
tak mengakui kepulauan Senkaku milik Jepang. Persengketaan internasional tak terhindari,

muncul penembakan kapal laut antar kedua negara berulang kali.
Senin, 16 April 2012, Gubernur Tokyo, Shintaro Ishihara, 79, mengumumkan pada konferensi
persnya di Washington bahwa pemda Tokyo akan membeli pulau Senkaku milik keluarga
Kurihara. Hal ini membuat China meledak marah. Ishihara berhasil mengumpulkan uang

sumbangan rela dari masyarakat Jepang dalam empat bulan terakhir ini sebanyak 1,45 miliar
yen. Tapi akhirnya persoalan diambil alih pemerintah pusat Jepang dan 11 September
menandatangani jual beli kontrak dengan Kurihara.
Bukti Kuat Jepang
Jepang memiliki bukti-bukti kuat kepemilikan kepulauan Senkaku. Setelah kasus tenggelamnya
sebuah kapal milik China tahun 1920, sebuah surat resmi tertanggal 20 Mei 1921, dikirimkan
oleh Konsul Cina di Nagasaki, Feng Mien, kepada pemerintah Jepang bahwa atas nama
Pemerintah China, dia mengakui kepulauan Senkaku sebagai bagian dari Jepang dengan merujuk
penulisan kata-kata “Senkaku Islands, Yaeyama District, Okinawa Prefecture, the Empire of
Japan". Surat resmi itu bisa dilihat di Museum Yaeyama, di Okinawa, Jepang.
Bukti kedua, koran harian China, The People's Daily, yang jelas merupakan organ Komite Pusat
Partai Komunis China (CPC), pada tahun 1953, beberapa kali pernah menuliskan bahwa
kepulauan Senkaku merupakan bagian dari kekuasaan Jepang.
Bukti ketiga, sejak tahun 1895 hingga tahun 1940, sudah ada pabrik Katsuobushi
(pengelupasan/penyerutan ikan) milik orang Jepang. Tahun 1978 kelompok nasional Jepang,

Nihonseinensha membangun Mercusuar di pulau Uotsuri Jima. Kemudian Japan Coast Guard
(Pasukan Perairan Jepang) mulai mengambil alih penjagaan atas pulau tersebut.
Bukti lain, sebuah buku geografi yang diterbitkan pemerintah Taiwan tahun 1970 dengan sangat
jelas memperlihatkan bahwa kepulauan Senkaku adalah milik kekuasaan Jepang.
Mantan Presiden Republic of China, Lee Teng-hui, seperti dikutip koran Taipei Times tanggal 6
September 2009, mengatakan bahwa kepulauan Senkaku dianggap sebagai bagian dari Okinawa.
Informasi kepemilikan kepulauan Senkaku itulah yang sangat kurang dipublikasikan Jepang ke
berbagai negara, sehingga banyak negara tidak tahu permasalahan utamanya. Kelemahan
diplomatik Jepang, khususnya mengenai informasi kepulauan Senkaku kepada masyarakat
internasional, dimanfaatkan pemerintah China dengan baik dan sangat meyakinkan terutama
kepada masyarakatnya bahwa kepulauan itu milik China.
Hal baru yang muncul, mungkin kurang diperhitungkan pemerintah China, adalah kepemilikan
internet oleh lebih dari 500 juta masyarakat China, membuat satu info ajakan unjuk rasa, pada
saat yang sama menyebar ke berbagai pelosok China, sehingga sedikitnya 57 kota di China,
terpicu ajakan unjuk rasa. Hal ini membuat mereka serentak turun ke jalanan umum, membuat
kegiatan anti-Jepang semakin merebak luas dan cepat di China. Apalagi setelah kedua pimpinan
utamanya berkomentar.
Presiden, Hu Jintao, mengomentari, “Pembelian Diaoyu adalah ilegal dan cacat hukum dan
China menentang tegas hal tersebut.” Ditambah lagi komentar PM Cina, Wen Jiabao, “Tidak ada
konsesi apa pun soal kepulauan Diaoyu karena menyangkut kedaulatan negara China.”

Langsung saja masyarakat China tersulut api semakin panas, serentak turun ke jalan setelah

membaca dari internet. Pemerintah China kaget, terbukti tidak siap menerjunkan polisi dan pihak
keamanannya pada waktunya untuk mencegah gerakan anti Jepang yang meluas cepat, bahkan
menjadi huru-hara, perusakan, dan kemungkinan juga terjadi korban pembunuhan oleh perusuh,
seperti kejadian di Jakarta Mei 1998 lalu.
Kerusuhan ini tidak bisa dianggap ringan. Bukan tidak mungkin emosi anti-Jepang menyebar ke
berbagai negara termasuk Indonesia. Apalagi belum lama, bulan Agustus lalu terjadi unjuk rasa
di depan kedutaan Jepang di Jakarta, akibat masalah PHK dan Serikat Buruh di sebuah
perusahaan Jepang yang ada di Semarang. Kita berdoa saja agar perasaan anti Jepang tidak
masuk ke Indonesia seperti kejadian Malari 1972.
Guna memecahkan persoalan perasaan anti-Jepang ini sebenarnya perlu sensitivitas kedua pihak.
Keduanya perlu melakukan diplomasi yang lebih baik lagi. Pihak China pun perlu bersabar,
menahan diri berkomentar. Bukan malah memanaskan rakyatnya.
Sedangkan pihak Jepang harus lebih agresif lagi mendekati China, mencari solusi bersama
masalah ini, karena berbagai “pipa” kedua negara selama ini cukup banyak, pasti bisa di
solusikan berama.
Upaya terakhir tentu kerelaan kedua negara mau membawa masalah kepulauan Senkaku ke
Mahkamah Internasional (MI). Pihak Jepang bersedia membawa ke MI, tetapi pihak China
berkeberatan karena yakin penuh kepulauan Senkaku milik China.

Tanpa upaya jalan tengah MI rasanya masalah ini sampai kapan pun tak akan selesai. Kerawanan
dan ketidaknyamanan akan berdampak ke negara sekitar. Mungkin perlu masa cooling down
bersama agar semua pihak menjauhkan diri dari kegiatan yang dapat memancing kemarahan
kedua pihak. Bukan malah emosi balas dendam seperti dilakukan dua laki-laki Jepang yang
sengaja mendarat di pulau Senkaku dan segera ditangkap pihak kepolisian laut Jepang.
Bisa dibayangkan, apabila hubungan kedua negara semakin kacau, 22.000 perusahaan Jepang di
China akan kabur, 9,2 miliar pekerja China di perusahaan Jepang tak bekerja lagi, dan sedikitnya
5,9 miliar USD pajak perusahaan Jepang di China tak dapat masuk kas negara China lagi. Tidak
ada yang untung dari ketegangan ini. Sentimen anti Jepang atau anti China berkembang di
banyak negara.
Sementara itu Pemimpin Redaksi suratkabar Keizai Shinpo, Masatomo Takahashi di Tokyo
khusus kepada Tribunnews.com mengatakan bahwa pulau itu jelas milik Jepang.
“Dulu pulau ini tidak diketahui dan tidak ada yang melirik sama sekali. Warga Jepang sudah ada
di sana mengelola berbagai kegiatan usaha. Lalu saat diketahui ada sumber alam yang menarik
belakangan ini, China mulai mengklaim hak kepemilikan,” kata Takahashi.
China sebenarnya harus berterima kasih kepada Jepang dengan bantuan ekonomi di masa lalu
sehingga ekonomi Cina jadi hidup seperti sekarang, “Mudah-mudahan saja China bersedia
menyelesaikan di mahkamah internasional sehingga cepat berakhir masalah ini.”

Pengusaha Jepang lain, CEO Trend Japan Co.Ltd, Ryuji Kitagawa juga berpendapat sama bahwa

Senkaku adalah sepenuhnya milik Jepang, “Saya bingung masalah Senkaku ini ini malah jadi
meluas ke mana-mana, padahal jelas milik Jepang,” katanya.
Menurutnya, China harus menghormati hukum internasional seperti perdagangan bebas yang
telah diatur internasional, permasalahan dua negara baiknya diselesaikan di mahkamah
internasional, bukan dengan ngotot maunya sendiri menyatakan miliknya. Biar lembaga
internasional yang memutuskan.
”China meremehkan kekuatan teknologi Jepang. Embargo yang dilakukan terhadap Jepang
menghentikan pengiriman bahan baku tertentu, tidak berpengaruh besar. Bahkan kini dengan
kemajuan teknologi Jepang menemukan sendiri bahan dasar pengganti yang lain. Lalu kapankapal Cina menabrakkan dirinya ke kapal petugas penjaga laut Jepang di sekitar Senkaku. Semua
itu jelas memalukan sekali di mata internasional,” tekannya lagi.
Memang permasalahan dua negara ini sebenarnya mudah diselesaikan, tapi upaya China selalu
menolak maju ke mahkamah internasional membuat masalah ini tak pernah selesai.
Mudah-mudahan Indonesia dapat berperan menjadi penengah kedua negara yang sedang bertikai
tajam ini.
← Japan forum to discuss nuclear-free energy future
PM Nears Zero-Nuclear Decision →

Keputusan Jepang Menanggapi Konflik Perebutan
Pulau Senkaku
Posted on October 8, 2012 by Politik dan Pemerintahan Jepang

Beberapa hari yang lalu, hubungan Jepang-Cina sempat memanas akibat konflik perebutan
pulau Senkaku di laut Cina Timur. Kedua negara ingin mengklaim pulau tersebut menjadi
miliknya sehingga kedua negara menggelar pengamanan laut dengan meletakkan pasukan
angkatan laut masing-masing negara di sekitar lokasi tersebut. Walau kedua negara telah
meratifikasi konvensi hukum laut PBB 1982 tetapi konflik tidak terhindarkan karena kedua
negara nyatanya memiliki pandangan berbeda tentang masalah ini sebab Jepang mengusulkan
pembagian wilayah berdasar garis tengah di zona ekonomi eksklusifnya (berjarak 200 mil dari
garis dasar/baseline), sedangkan China mengacu pada kelanjutan alamiah dari landas
kontinennya (berjarak di luar 200 mil)[1]. Jika diamati akan terasa wajar jika pulau ini
diperebutkan oleh dua negara besar Asia, Jepang dan Cina, sebab pulau Senkaku sendiri
memiliki potensi energi dari keberadaan minyak dan gas alamnya yang begitu banyak. Apalagi
kedua negara merupakan salah satu aktor kekuatan industri dunia sehingga keberadaan sumber
energi sangat mereka butuhkan terlebih lagi pulau Senkaku ini terletak tidak jauh dari negara
Jepang dan Cina itu sendiri.
Tapi permasalahan yang muncul kemudian adalah konflik perebutan pulau Senkaku
mengakibatkan hubungan ekonomi antara Jepang-Cina menjadi tersendat. Kedua negara

sebenarnya merupakan partner kerjasama ekonomi yang cukup solid dan menjadikan kedua
negara sebagai motor penggerak ekonomi di kawasan Asia sehingga keadaan ini juga memiliki
dampak tersendiri terhadap ekonomi Asia maupun dunia secara luas. Penyebab tersendatnya
kerjasama ekonomi Jepang-Cina diakibatkan oleh adanya gelombang protes yang dilakukan
masyarakat Cina yang sangat nasionalis. Protes masyarakat Cina yang menyatakan diri sebagai
anti-Jepang ini diharapkan mampu untuk membuat Jepang untuk meninggalkan pulau Senkaku
yang memiliki sejarah panjang dengan Cina. Hal tersebut membuat keberadaan perusahaanperusahaan Jepang yang lebih didominasi oleh industri otomotif seperti Daihatsu dan Nissan,
menjadi terancam. Ancaman itu membuat banyak perusahaan Jepang ini memiliki ketakutan
akan serangan yang akan dilancarkan masyarakat Cina ke arah mereka karena mereka sadar
bahwa konflik perebutan pulau Senkaku ini semakin hari kian memanas. Dengan meningkatnya
kemarahan rakyat China dengan membakar bendera Jepang bahkan menyerang kantor
perwakilan Jepang[2], keputusan Jepang untuk menutup banyak perusahaan besar Jepang di
China rasanya menjadi hal yang sangat tepat untuk menghindari adanya kerugian materi dan
jatuhnya korban sipil masyarakat Jepang.
Keputusan Jepang dengan menghentikan operasi perusahaan mereka untuk mencegah konflik
berlanjut ini sebenarnya memperlihatkan bahwa Jepang lebih mempergunakan perspektif liberal
(ekonomi) daripada perspektif realis (perang) dalam menentukan solusi dan jalan keluar konflik.
Dengan keadaan yang semakin memanas bisa saja Jepang memilih untuk mengirim pasukan
militernya dan kemudian mencoba menyerang pasukan Cina untuk memperebutkan pulau
Senkaku, namun hal tersebut belum dilakukan karena Jepang mungkin telah mempertimbangkan
konsekuensi yang akan dialami ketika perang menjadi pilihan terakhir mereka. Jepang kemudian
mempertimbangkan cara-cara untuk menurunkan ketegangan dan memilih untuk menghindari
terjadinya konflik militer terbuka dalam proses penyelesaian konflik yakni dengan menghentikan
operasi dan kegiatan industri mereka disana untuk sementara waktu[3]. Hal ini menjadi sangat
rasional ketika melihat Jepang memiliki latar belakang dan concern yang besar terhadap
dinamika ekonomi baik di dalam maupun di luar negeri sehingga keputusan perang justru pada
akhirnya akan menimbulkan kerugian besar akibat banyaknya biaya yang akan mereka
keluarkan dalam operasi militer dan resiko menurunnya kerjasama ekonomi dengan negaranegara lain, dalam kasus ini adalah kerjasama ekonomi antara Jepang dan Cina itu sendiri yang
notabene saling membutuhkan peran satu sama lain sebagai cara untuk meningkatkan ekonomi
masing-masing negara.

elombang protes anti-Jepang tengah membara di China. Banyak perusahaan besar Jepang
berhenti beroperasi. Tak hanya itu, kedua negara tengah menggelar pengamanan laut di sekitar
Kepulauan Senkaku yang diributkan. Apa yang sedang terjadi di kepulauan ini?
Tiga Faktor Pemicu
Pertama, perbedaan paham garis perbatasan laut di Laut China Timur (the East China Sea) antara
Jepang dan China hingga kini belum dicapai kesepakatan bersama. Walau keduanya sama-sama
meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, tetapi mereka membangun
pemahaman sendiri yang belum tuntas dibicarakan. Jepang mengusulkan pembagian wilayah
berdasar garis tengah di zona ekonomi eksklusifnya (berjarak 200 mil dari garis dasar/baseline),

sedangkan China mengacu pada kelanjutan alamiah dari landas kontinennya (berjarak di luar 200
mil).
Mengenai paham garis tengah ala Jepang memang tidak sesuai dengan isi konvensi. Sebab, jika
sudah berkait dengan hal kedaulatan (sovereignty), keputusan yang bersifat sepihak tak punya
basis legal. Pakar hukum laut dari China, Ji Guoxing, menegaskan bahwa pengambilan garis
tengah untuk pengukuran ZEE dan landasan kontinental seharusnya didasarkan pada sebuah
perjanjian antarkedua pihak agar tercapai solusi adil. Selanjutnya, pengukuran wilayah
berdasarkan garis tengah hanya sebuah cara pengukuran, bukan sebuah prinsip dari hukum
internasional kebiasaan dalam delimitasi.
Sementara pakar dari Jepang melihat, garis tengah yang dipahami Jepang hanya bersifat
sementara (
Seoung-Yong Hong, 2009, Maritime Boundary Disputes, Settlement Processes, and the Law of
the Sea
). Di bawah kondisi sementara ini,Â
joint development bisa dibangun hingga kedua negara mencapai kesepakatan membuat garis
perbatasan bersama (
a common line). Karena itu, Jepang mengusulkan joint development
 berkelanjutan di garis tengah yang dipahaminya.
Kedua, perbedaan persepsi sejarah kepemilikan Senkaku (Diaoyu dalam bahasa China) di
setiap pihak bermuara pada klaim berbeda. China yakin kepemilikan atas Senkaku sejak Dinasti
Ming (1368-1644), di mana namanya sudah tercantum di sebuah buku berjudulÂ
Departure Along the Wind
 (terbit 1403). Selain itu, kepulauan ini beserta pulau-pulau kecil yang mengitari kerap kali
disebutkan dalam lingkup pertahanan maritim China saat itu.
Lagi pula, Kepulauan Diaoyu yang saat itu menjadi bagian dari Taiwan biasa digunakan para
nelayan China sebagai basis operasional. Pada saat kekalahan China dalam perang Sino-Jepang
(1894-1895), Taiwan (termasukÂ
Diaoyu Islands) diserahkan ke Jepang. Namun, akhir PD II, kepulauan ini dikembalikan oleh AS
ke China berdasarkan perjanjian ”Tiga Besar” (AS, Inggris, China) di Kairo tahun
1943.
Jepang setelah kemenangannya dalam perang Sino-Jepang menerima penyerahan Senkaku dari
China. Ini dianggap sebagai bagian teritorial Jepang secara resmi. Sejak itu, survei atas
kepulauan ini dilakukan Jepang dan diyakini bahwa kepulauan ini tidak berpenghuni. Survei saat

itu menunjukkan tiadanya tanda- tanda bahwa kepulauan Senkaku berada di bawah kontrol
China.
Berdasarkan keputusan Kabinet 14 Januari 1895, kepulauan ini dimasukkan ke teritorial Jepang.
Sejak itu, Senkaku menjadi bagian integral dari KepulauanÂ
Nansei Shoto, di mana ini diyakini tidak menjadi bagian dari Taiwan ataupun lainnya, yang
diserahkan ke China setelah PD II. Lagi pula, sebuah Map 1969 buatan PemerintahÂ
the People’s Republic of China
 berlabel confidential memasukkan Kepulauan Senkaku ke wilayah Jepang. Berarti ada
pengakuan resmi sejak itu bahwa Senkaku masuk dalam wilayah otoritas Jepang.
Ketiga, munculnya sengketa ini dipicu setelah kedua pihak menyadari adanya sumber cadangan
minyak dan gas di sekitar Kepulauan Senkaku pada pertengahan 1990-an, yang berlanjut hingga
kini. Ketika kepentingan nasional dipicu kepentingan bisnis prospektif berupa temuan cadangan
minyak dan gas, segala daya penguat dan bukti pembenaran akan dihimpun demi basis legal
untuk penguasaan sumber energi itu.Â
Apalagi Jepang dan China adalah dua negara yang sangat bergantung pada suplai minyak dan
gas dari luar. Dan, ketika keduanya menyadari adanya cadangan energi yang tidak jauh dari
wilayah mereka, keduanya akan ”mati-matian” memperjuangkannya.
Dengan latar tiga faktor di atas, kemarahan rakyat China dengan membakar bendera Jepang,
menyerang kantor perwakilan Jepang, dan yang menyebabkan banyak perusahaan besar Jepang
di China ditutup, sesungguhnya hanya ”puncak es” saja. Jika faktor pertama
terutama dan kedua tidak segera dicari jalan keluarnya, hubungan ekonomi keduanya menjadi
terganggu. Apalagi bila ditambah dengan luapan kemarahan yang semakin kencang, bertepatan
dengan peringatan hari ”
Manchuria Incident” 18 September 1931 (invasi militer Jepang ke wilayah utara China,
yaitu Manchuria) di China dipakai sebagai ”momen” yang mengantar emosional
rakyat China semakin garang.
Di luar itu, menyimak peta konflik mulai dari Laut China Selatan, di mana China berurusan atas
dua Kepulauan Spratly dan Paracel dengan lima negara (Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei,
termasuk Taiwan) hingga Laut China Timur, masalah yang dihadapi China tidaklah tunggal.
Mulai Laut China Selatan hingga Laut China Timur, eksistensi kepentingan ekonomi, politik, dan
kedaulatan China sedang dipertaruhkan di hadapan banyak negara. Tak pelak, ketika
kepentingannya ”terusik” oleh Jepang di Laut China Timur, luapan protes kemarahan
berlipat ganda.
Pelajaran bagi Indonesia?
”Sengketa” dengan China ini membuat Jepang harus berhitung pula dengan

negara tetangganya. Klaim kepemilikan Kepulauan Senkaku di satu sisi menjadi semacam
”uji kasus” bagi Jepang atas penyelesaian sengketa lainnya. Sebutlah seperti Pulau
Dokdo/Takeshima dengan Korea Selatan dan Kepulauan Kurile dengan Rusia.
Guna memperjuangkan hak kedaulatan di wilayah teritorial pulau-pulau ini, Jepang tampak
bersikapÂ
wait and see pada hasil akhir dari solusi Kepulauan Senkaku. Artinya, semaksimal mungkin
Jepang tidak akan ’memancing’ munculnya perkara lain dengan Korea Selatan maupun
Rusia.
Pola penyelesaian sengketa antara Jepang dengan China bisa menjadi pembanding bagi
Indonesia, yang juga tidak menghadapi masalah tunggal perbatasan terkait kedaulatan dan
kepentingan ekonomi. Sebaliknya, kedua pihak bersengketa bisa mengambil pelajaran dari
pengalaman Indonesia dan Malaysia dalam menyelesaikan dua pulau, Sipadan dan Ligitan, yang
diajukan keÂ
International Court of Justice
 (ICJ).
Jalan akhir sengketa belum di tangan Jepang dan China. Karena itu, solusi terbaik ialah
membangunÂ
joint development di wilayah yang disepakati bersama terlebih dulu. Sementara itu, duduk di
meja perundingan harus segera diwujudkan. Sebab jikaÂ
joint development
 dilakukan setelah menunggu sengketa berakhir, tak terbayang berapa keuntungan ekonomi
yang ”menguap”, yang seharusnya bisa direngkuh oleh kedua negara.
Diposkan oleh INDRAWAN di Senin, April 01, 2013