Analisis makna verba deru dalam kalimat Bahasa jepang

(1)

ANALISIS POLISEMI VERBA DERU DALAM KALIMAT

BAHASA JEPANG

NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (DERU) NO

TAGIGO NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang ilmu Budaya Jepang

Oleh Wilda Khairannur

080708033

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ANALISIS MAKNA VERBA DERU DALAM KALIMAT

BAHASA JEPANG

NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (DERU) NO

TAGIGO NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang ilmu Budaya Jepang

Oleh Wilda Khairannur

080708033

Pembimbing I Pembimbing II

Hj. Siti Muharami Malayu, S.S. M.Hum Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi M.A NIP : 19610628 2006 03 2 001 NIP : 19600827 1991 03 1 004

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Disetujui Oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, Oktober 2012 Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum

NIP : 19600919 1988 03 1 001


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan pertolongannya yang telah menyertai penulis selama menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Polisemi Verba DERU Dalam Kalimat Bahasa Jepang”. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada khataman nabiyyun wasyaiyidun anam Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan program Sajarna Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan. Selama proses penulisan ini, penulis banyak mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Hj. Siti Muharami Malayu, S.S. M.Hum sebagai dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang senantiasa menyediakan waktu, memberi masukan-masukan yang berharga, dorongan semangat dan kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini.

Terima kasih kepada Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi, M.A., selaku dosen pembimbing II dan


(5)

seluruh staf pengajar serta staf administrasi Departemen Sastra Jepang USU yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.

Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Darpis Anwar Sikumbang S.PdI dan Ibunda Zannuraini Chaniago yang telah membesarkan, mendidik dengan kasih sayang dan selalu mendoakan ananda agar selalu sehat, memberikan dukungan moral dan material yang tak terhingga hingga saat ini, yang tidak akan mampu penulis balas sampai kapanpun juga. Serta kepada kakanda tersayang Winda Darpianur S.Kep, Ns., dan Abang Dede Indra Triyanta yang selalu mendukung, menemani, dan menjaga selama ini, Juga Adinda tersayang Mifdah Hasanah dan adek Hazril Fikri Anwar terima kasih untuk senyum manis kalian selama ini yang selalu menjadi penghangat dan penyemangat.

Kepada teman seperjuangan di stambuk 08, khususnya teman-teman SuJe yang selalu Jajo Jajo Sajo: Nikmagna Rusanty Pulungan (nickhun), Inggrid Hestia (undit), Dea Almira Giovani (deot), Rini Pratiwi (nenk), Winda Mutia Sari (windul), Vivin Vistya Elfina (pipin), Dodi Dermawan, Happy Mart A Oloan, Daher F Pasaribu, Januar Rizky (pak jen), Ardiansyah Chaniago, Surya Dharma, Ika Damayanti Nst, yang telah teman-teman 08 lainnya yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, terima kasih karena sudah senang maupun susah dibawah atap kampus yang sama selama 4 tahun terakhir ini. Terkhusus untuk Dikki Pratama terima kasih atas support dan doanya hingga saat ini.

Semoga Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Penulis tidak menutup diri dari saran dan kritik yang bersifat membangun


(6)

demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan bagi kita semua yang ingin lebih memahami bahasa Jepang khususnya tentang polisemi dalam bahasa Jepang.

Medan, Oktober 2012 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2

Perumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 8

1.4.1 Tinjauan Pustaka ... 8

1.4.2 Kerangka Teori ... 8

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.5.1 Tujuan Penelitian ... 11

1.5.2 Manfaat Penelitian ... 11

1.6 Metode Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI

DAN TEORI TENTANG MAKNA VERBA DERU

2.1

Semantik Dalam Linguistik ... 15

2.2

Tinjauan Terhadap Makna ... 16

2.2.1 Pengertian Makna ... 16


(8)

2.2.3 Relasi Makna ... 22

2.2.4 Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang ... 28

2.3

Pengertian Polisemi ... 30

2.4

Verba Deru... 31

2.4.1 Pengertian Verba ... 31

2.4.2 Jenis-Jenis Verba ... 33

2.5

Teori Tentang Makna verba Deru ... 37

2.5.1 Koizumi dkk ... 37

2.5.2 Sakata Yukiko ... 44

BAB III ANALISIS POLISEMI VERBA DERU DALAM

BAHASA JEPANG ... 48

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1

Kesimpulan ... 65

4.2

Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA... 67


(9)

ABSTRAK

Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Jepang, sering kali kita temui relasi makna antara sebuah kata dengan kata lainnya. Salah satu hubungan kemaknaan tersebut adalah polisemi (tagigo). Banyak pembelajar bahasa Jepang yang merasa kesulitan untuk mengartikan kata yang termasuk tagigo. Hal tersebut terjadi karena tagigo merupakan sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu atau makna ganda tapi saling berhubungan.

Kata yang memiliki makna lebih dari satu dapat disebut dengan polisemi dan homonim. Perbedaan antara polisemi dan homonim dapat dilihat dari pernyataan Kunihiro dalam Sutedi (2003:135).

Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya.

Salah satu kata yang berpolisemi didalam bahasa Jepang adalah verba deru. Verba deru merupakan verba dalam kelompok 2 yang disebut ichidan doushi. Makna dasar dari verba deru adalah ‘perpindahan dari dalam keluar’. Seorang pembelajar bahasa Jepang tidak akan heran ketika menemukan kalimat berikut : 部 屋 出 ‘heya o deru yang dapat diterjemahkan <keluar kamar>. Namun terkadang makna kata akan berbeda sesuai dengan kondisi serta situasi. Seperti contoh dibawah ini :


(10)

(1). 会 議 出

Ka igi ni deru (2). キ 出

‘Gokiburi ga deru

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna-makna apa saja yang tekandung dalam verba deru dan bagaimana makna verba deru berdasarkan konstektualnya. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai makna verba deru, perlu dilakukan penelitian yang menggunakan teknik deskriptif. Data yang dikumpulkan adalah contoh kalimat, wacana, percakapan dan contoh lainnya yang berhubungan dengan makna verba deru yang diambil dari berbagai sumber seperti buku, majalah, dan lain-lain yang sesuai dengan masing-masing makna verba deru. Ada banyak buku yang menjabarkan polisemi verba deru. Namun penulis hanya akan menuliskan teori makna verba deru yang diambil dari Nihongo kihon doushi youhou jiten tahun 1989 oleh Koizumi dkk dan buku Nihongo O Manabu Hito No Jiten Tahun 2000 oleh Sakata Yukiko. Kemudian data tersebut dikumpulkan, kemudian dianalisis dan dilaporkan.

Contoh :

1. 休 時 間 生 教 室 外 出 ア

Ya sumi jika n, seito ta chi wa kyoushitsu no soto ni dena kutewa na ra zu, doa ni wa ka gi ga ka kera reru.


(11)

Waktu istirahat, para murid harus keluar kelas, kunci digantungkan di pintu.

2. 養殖 海 出 ,体長1cm ほ 稚魚 捕獲

Ha ma chi no youshoku wa , ma zu umi ni dete, ta ichou 1cm hodo no chigyo o hoka ku suru tokoro ka ra ha jima reru.

<Budidaya ikan hamachi, pertama-tama pergi ke laut, dimulai dari tempat menangkap anak ikan yang memiliki panjang badan 1cm>.

3. 次 角 左 行 公 園 出

Tsugi no ka do o hida ri ni ikeba kouen ni deru.

<Kalau pergi ke sebelah kiri simpang selanjutnya, akan tiba di taman>.

Dalam skripsi ini menganalisis 9 contoh kalimat. Dari contok kaimat tersebutdapat disimpulkan bahwa makna yang dimiliki verba deru ada banyak. Makna dasar dari verba deru adalah ‘keluar’, sedangkan makna perluasannya

adalah ‘lulus/tamat sekolah’, ‘sesuatu yang ada dibagian dalam muncul keluar’, ‘berangkat atau melakukan keberangkatan’, ‘memperbaharui suatu perkara atau menghasilkan akhir’, ‘menghasilkan’, ‘pergi dan tiba disuatu tempat’, ‘Ikut serta dalam pertemuan / kegiatan’ , ‘mengambil sikap’.


(12)

要旨

各 言語 例え 日本 語 私 あ 単語 ほ

単 語 間 語 意味 関係 見 あ 一 語 意味関 係 多義 語

あ 日本語 学習 者 多 義語 含 い 言 葉 翻 訳

困 感 い 多 義語 一 意味や 意 味

持 意 味 互 い 関 係 あ い うわ あ

多 義語 ほ 音意義 語 一 意 味 持 言 葉 多 義

語 音意義 語 違 い イ 書い 本 中

5 表明 見

多義 語 い う 複数 意味 持 言葉 あ 意 味

関係 あ 音異 義語 いう 音 い

言 葉 意味 違 別 意味 間 関係 い

日 本語 中 一 意味 持 言葉 出 動詞 あ

出 動 詞 一 段動 詞 含 基 本的 意味 中

外 移 動 あ 日 本語 学習 者 部屋 出 いう 文

読 驚 い う 時 々言葉 意 味 あ 分 あ

意味 状態 状況 変わ

例 え


(13)

(2). キ 出

研究 目的 出 い い 意 味 状 態 状 況

出 意味 知 あ 出 意味 い

明確 う 記述 技法 研究 行う 必要 あ

収集 資料 例文や 文章 や 会 話や 例 出 い

い 意味 い, 書籍 雑誌 様々 情報源

出 意味 約 本 あ 論文 中 出 意

味 論 イ 日本 語基本 動詞用 法辞典 ユキ

日 本語 学 人 辞典 意見 書 次

資料 収集 分析 最 後 報 告

例 え

1. 休 時 間 生 教 室 外 出 ア

2. 養殖 海 出 ,体 長 1CM ほ 稚 魚 捕獲

3. 2001 大 学校 1 期生 私 大 学校 出 20 いう

当 時 大 学 校 教 鞭 い 日 本 人 教 師 材 中 央公

論4月号 [大 学校] 思い起 いう 掲載

例 文 基 い 出 動 詞 Keluar’ い う 意 味 持


(14)

出 意味 一番 例 文 [ 中 音 移動 ] 番 例 文 [あ

場所 行 着 ] 番 例文 [卒業 ]

論 文 中 例分 分析 例分 出 意 味

あ 結 論 出 基 本 的 意 味

中 外 移 動 出 拡 大 意 味 卒 業 内

部 あ 隠 い 外 部 現 出 発 や 発 射

あ 物 新 あ い 結 生 生


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia didunia dianugrahi kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Dengan bahasa, manusia dapat menyampaikan ide, pikiran, perasaan kepada orang lain.“ Bahasa berfungsi sebagai lem perekat dalam menyatukan keluarga, masyarakat dan bangsa dalam

kegiatan bersosialisasi. Tanpa bahasa, suatu masyarakat tak dapat terbayangkan”

(Alwasilah, 1993:89). Namun, mempelajari bahasa bukan hanya sekedar untuk berbicara dengan menggunakan suatu bahasa dengan lancar, tapi kita juga harus mengetahui aspek-aspek bahasa didalamnya. Oleh karena itu, agar komunikasi dapat berfungsi dengan baik, maka bahasa yang digunakan harus dapat dimengerti maksud dan tujuan dari informasi yang ingin disampaikan kepada orang lain.

Komunikasi melalui bahasa memungkinkan setiap orang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk mempelajari kebiasaan, adat istiadat, kebudayaan serta latar belakang masing-masing. Dalam berkomunikasi bisa saja terjadi kesalahpahaman pada pihak lawan bicara, yang disebabkan oleh kekeliruan si pembicara dalam mengungkapkan sesuatu hal yang ingin disampaikan. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman ketika berbicara, maka dalam berbahasa kita harus memperhatikan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Kaidah-kaidah penggunaan bahasa ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan tata bahasa, sedangkan dalam bahasa Jepang disebut dengan bunpoo 文 法 .


(16)

Bahasa Jepang memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahasa Indonesia maupun bahasa asing lainnya, baik itu huruf, kosakata, partikel, maupun struktur kalimat. Hal ini tentunya menjadi kesulitan tersendiri bagi para pembelajar dan berdampak pada kesalahan berbahasa. Salah satu jenis kesalahan berbahasa Jepang yang sering muncul pada pembelajar adalah tentang penggunaan kosakata. Kosa kata merupakan unsur mendasar yang terdapat dalam suatu bahasa. Tanpa mengetahui kosakata, seseorang tidak akan dapat berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan menggunakan bahasa tersebut. Oleh karena itu, memahami kosakata merupakan hal yang sangat penting dan mendasar dalam mempelajari suatu bahasa. Kunihiro (1994 : 166) yang dikutip dari makalah Sutedi menegaskan bahwa penelitian tentang kosakata tidak ada habisnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penelitian mengenai kosakata, seperti Miyajima (1972), Tokugawa (1972), Shibata dkk (1976), dan yang lainnya yang merupakan tokoh peneliti kosakata baik dari sudut semantik maupun sintaksis.

Menurut Alwasilah (1993:160), “makna itu ada dibalik kata”. Namun, terkadang dalam suatu kata, tidak hanya memiliki satu makna saja tetapi memiliki

beberapa makna, inilah yang disebut dengan polisemi. “ Satu kata mempunyai

makna lebih dari satu, atau lebih tepat kita katakan satu leksem mempunyai beberapa makna (arti). Relasi ini disebut polisemi yang bermakna banyak.” (Alwasilah, 1993:164).

Dalam bahasa Jepang, terdapat banyak verba yang beragam, tetapi tidak sedikit pula diantara verba tersebut ada verba yang berpolisemi dan verba yang


(17)

yaitu dalam satu kata memiliki banyak makna. Begitu pula dengan homonim (dou-on-igigo).

Untuk membedakan antara polisemi dengan homonim, menurut Kunihiro dalam Sutedi (2003:135), memberikan batasan yang jelas antara kedua istilah tersebut.

Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya.

Tidak seperti homonim, walaupun bunyinya sama, maknanya dapat diketahui berbeda karena hurufnya berbeda. Pada polisemi, huruf dan bunyinya sama, sehingga sulit untuk mengetahui makna yang terkandung pada verba tersebut dalam suatu kalimat.

Pada penggunaan bahasa seringkali terjadi kesalahpahaman dalam hal pemahaman suatu makna. Salah satu penyebab kesalahpahaman tersebut terletak pada pengguna bahasa yang kurang memahami dengan baik makna dari salah satu unsur bahasa yaitu kata.

Dalam bahasa Jepang terdapat banyak kata yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata yang sama dan juga satu kata namun memiliki banyak makna, namun bila kata-kata tersebut diteliti lebih lanjut ternyata memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal penggunaannya dalam sebuah kalimat.


(18)

Salah satu verba dalam bahasa Jepang yang memiliki makna lebih dari satu yang menarik perhatian penulis adalah verba deru (出 ). Seorang pembelajar bahasa Jepang tidak akan heran ketika menemukan suatu kalimat :

部 屋 出 ‘heya o deru yang dapat diterjemahkan <keluar kamar>. Namun terkadang makna kata berbeda sesuai dengan kondisi serta situasi. Seperti contoh dibawah ini :

(1). 会 議 出 (Nihongo So-Matome, 2010:100)

Ka igi ni deru

(2). キ 出 (Nihongo So-Matome, 2010:100)

‘Gokiburi ga deru

Pada kalimat pertama, jika diartikan secara leksikal maka berarti ‘keluar

ke rapat’ padahal maknanya dalam bahasa Indonesia adalah ‘mengahadiri rapat’.

Kata ‘hadir’ dalam bahasa Jepang dapat diartikan shussekisuru. Maka, bila kita substitusikan, verba deru dapat menjadi sinonim dengan shussekisuru. Sedangkan pada kalimat kedua, verba deru menyatakan makna ‘keluar’. Namun jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi ‘muncul’. Verba deru tersebut dapat disubstitusikan dengan verba ara wareru. Dari kedua contoh yang disebutkan diatas didapati perbedaan makna kata deru. Dimana pada kalimat (1) berarti hadir dan kalimat (2) berarti muncul. Namun masih terdapat beberapa makna deru selain pada dua kalimat diatas. Contoh lainnya sebagai berikut :


(19)

‘Ka re wa chuuga ku o deta da ke da

(4). 試 合 出 (Matsuura kenji, 1994:144)

shia i ni deru

Dari dua kalimat diatas terdapat perbedaan makna deru dari kalimat (1) dan (2). Pada kalimat (3), verba deru diartikan sebagai ‘tamat sekolah’ dan dapat dipadankan dengan kata pengganti sotsugyousuru yang memiliki arti sama. Begitu juga dengan kalimat ke (4) bermakna ‘ikut serta’. Sehingga dapat dipadankan dengan kata sankasuru.

Dilihat dari beberapa contoh kalimat diatas dapat kita temukan beberapa arti dari verba deru. Dan dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa verba deru apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki banyak makna dan apabila di telaah makna tersebut terdapat sinonim yang dapat ditempatkan sebagai pengganti verba deru tersebut dalam kalimat.

Kata yang mengandung arti yang sama disebut dengan sinonim. Menurut Abdul Chaer (2007:297), Sinonim adalah dua buah kata atau lebih yang maknanya kurang lebih sama. Abdul Chaer mengatakan ‘kurang lebih’ dikarenakan tidak ada dua buah kata berlainan yang maknanya sama persis. Yang sama hanyalah informasinya saja, sedangkan maknanya tidak sama persis. Meskipun verba deru dapat disubstitusikan dengan verba lain tentunya akan menghasilkan suasana/nuansa yang berbeda jika dipergunakan dalam kalimat.

Kata-kata yang memiliki banyak makna tersebut dapat menimbulkan ambiguitas dan kesulitan pemahaman akan ujaran yang disampaikan. Terlebih


(20)

pada pembelajar bahasa Jepang. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membuat penelitian berjudul Analisis Polisemi Verba Deru Dalam Kalimat Bahasa Jepang”.

1.2. Perumusan masalah

Di dalam bahasa Jepang terdapat banyak verba yang memiliki makna banyak atau lebih dari satu. Makna tersebut memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan kontekstualnya. Seorang pembelajar bahasa asing tidak akan kesulitan ketika menemukan kalimat seperti berikut:

5時 会 社 出

‘Go ji ni ka isha o deru’

Namun pembelajar bahasa Jepang akan kesulitan ketika menemukan kalimat seperti berikut:

試 合 出

‘Shia i ni deru’

Kata yang memiliki arti lebih dari satu disebut dengan polisemi (tagigo). Seseorang harus mengerti makna dari kosa kata yang digunakan. Karena jika tidak, maka akan menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin mengajukan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa saja makna-makna yang terkandung dalam verba deru ?


(21)

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penulis menganggap perlu adanya ruang lingkup pembahasan agar masalah dalam penelitian ini tidak terlalu luas dan berkembang jauh sehingga masalah yang akan dikemukakan lebih terarah dan mendapatkan tujuan yang diinginkan dalam penulisan ini.

Kata yang memiliki makna lebih dari satu dapat disebut dengan polisemi dan homonim. Perbedaan antara polisemi dan homonim dapat dilihat dari pernyataan Kunihiro dalam Sutedi (2003:135).

Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya.

Dalam penelitian ini akan memaparkan dengan jelas polisemi dari verba deru dengan teori dasar yang diambil dari Nihongo Kihon Doshi Yohou Jiten oleh Koizumi, dkk tahun 1989 dan Nihongo O Manabu Hito No Jiten oleh Sakata Yukiko tahun 2000. Kalimat yang diambil dari wochi kochi yang diterbitkan oleh Japan Foundation, The Monthly Nihongo oleh Space Alc dan majalah Nipponia . Peneliti mencoba menganalisis contoh kalimat yang memiliki makna verba deru yang berbeda.Berkaitan dengan makna verba deru, penulis akan menganalisis makna verba deru berdasarkan konteks kalimatnya.


(22)

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Ada yang berpendapat bahwa polisemi adalah dalam satu bunyi (kata) terdapat makna lebih dari satu. Tetapi batasan seperti ini masih belum cukup, sebab dalam bahasa Jepang, kata yang merupakan satuan bunyi dan memiliki makna lebih dari satu banyak sekali, serta didalamnya ada yang termasuk polisemi (ta gigo) dan ada juga yang termasuk homonim (dou-on-igigo). Oleh karena itu, kedua hal tersebut perlu dibuat batasan yang jelas. Kunihiro (1996:97) memberikan batasan tentang kedua istilah tersebut, bahwa : Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya.( Dedi Sutedi 2003:135).

Pengertian polisemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kata yang memiliki makna lebih dari satu (KBBI 1993:1200).

Keraf (2006:36) mendefinisikan bahwa polisemi ialah satu bentuk yang memiliki beberapa makna.

Alwasilah (1993:164) mengatakan polisemi merupakan satu kata mempunyai lebih dari satu arti, atau lebih tepat kita katakan, satu leksem (lexeme) mempunyai beberapa makna (arti). Relasi ini disebut polisemi yang bermakna banyak.


(23)

Parera (2004:81) mendefinisikan bahwa polisemi ialah suatu ujaran dalam bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda tetapi masih ada hubungan dan kaitan antar makna yang berlainan tersebut. Misalnya kata ‘kepala’ dapat

bermakna ‘kepala manusia, kepala jawatan, dan kepala sarung’.

1.4.2. Kerangka Teori

Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret. Suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang harus diperhatikan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan kerangka teori berdasarkan pendapat dari pakar-pakar bahasa yang diperoleh dari sumber pustaka sebagai berikut.

Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian dan pemahaman arti secara keseluruhan ( KBBI 1993:59 ).

Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik yaitu teori semantik tentang makna. Semantik diterima secara luas sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang seluk beluk makna. Kata semantik berasal dari bahasa Inggris sema ntics yang memungutnya dari bahasa Yunani Semainein. Dalam bahasa Yunani, kata ini berarti makna. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau ilmu tentang arti. (Chaer, 2005:2).


(24)

Semantik adalah studi tentang makna tentang anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa. Dengan demikian, semantik merupakan bagian dari linguistik (Aminuddin, 1988:15)

Hubungan semantik dan linguistik sangat erat karena semantik dengan fenomena sosial dan kultur pada dasarnya memang sudah selayaknya terjadi. Disebut demikian karena aspek sosial dan kultur sangat berperan dalam menentukan bentuk-bentuk, perkembangan maupun perubahan makna kebahasaan (Aminuddin, 1988:24).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep semantik konteksual. Yaitu makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam suatu konteks. Menurur Parera (2004:47), teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme. Makna sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu. Makna konteks juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut.

Dalam teori semantik digunakan jenis-jenis makna. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif (Chaer, 2002:65).

Makna adalah pengertian suatu konsep yang dimiliki atau terdapat pada tanda linguistik. Tanda linguistik bisa berupa kata atau leksem maupun morfem.

Sutedi (2008:123) berpendapat bahwa dalam bahasa Jepang ada dua istilah tentang makna, yaitu kata imi (意 味) dan igi(意 義). Kata imi digunakan untuk menyatakan makna hatsuwa (tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole,


(25)

sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai wujud satuan dari langue.

Penelitian ini bertujuan menguraikan suatu makna yang terkandung dalam suatu verba. Verba adalah kata yag dipakai untuk menyatakan sesuatu tentang seseorang atau sesuatu. Nesfield (Chaedar, 1993:48). Sedangkan dalam bahasa Jepang verba adalah jenis kata yang termasuk dalam yougen dan menyatakan kegiatan/aktivitas. Biasanya pada akhir kata selalu diakhiri dengan vokal /u/. Dalam penelitian ini, verba yang dimaksud adalah verba deru.

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1. Tujuan Penelitian

Setelah melihat perumusan masalah diatas, maka Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apa saja makna yang terkandung dalam verba deru.

2. Untuk mengetahui bagaimana makna verba deru berdasarkan konteks kalimatnya.

1.5.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam memahami makna verba deru.


(26)

2. Dapat dijadikan masukan bagi pengajar saat mengajarkan makna dan penggunaan verba deru, terutama dalam mata kuliah sakubun (mengarang), honyaku (terjemahan), dan imiron (semantik).

3. Dapat memperkaya wawasan dalam berkomunikasi, sehingga dapat menimbulkan rasa percaya diri dalam berkomunikasi baik lisan maupu n tulisan.

4. Dapat dijadikan sebagai tambahan bagi penelitian yang berkaitan dengan linguistik, terutama mengenai kata yang mempunyai makna polisemi dalam bahasa Jepang.

1.6. Metode penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan penelitiannya. Metode penelitian sangat mempengaruhi keberhasilan dari penelitian tersebut. Seorang peneliti harus menentukan metode yang sesuai demi tercapainya keberhasilan.

Sudjana dan Ibrahim (2001:172) mengemukakan bahwa metodologi penelitian menjelaskan bagaimana prosedur penelitian itu dilaksanakan, artinya cara bagaimana memperoleh data empiris untuk menjawab pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis.

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Karena bahasa yang dikaji merupakan bahasa Jepang yang digunakan oleh masyarakat pada masa sekarang ini. Yang dimaksud dengan penelitian deskriptif menurut Sukmadinata (Nurzanah, 2009:52) adalah suatu bentuk


(27)

penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan lainnya.

Mengingat karena adanya data-data yang diperoleh dari buku yang ditulis dalam bahasa Jepang maka penulis harus menerjemahkannya ke dalam Indonesia agar memudahkan penulisan nantinya. Dalam menerjemahkan, penulis berusaha dengan cermat dan teliti serta menggunakan teori terjemahan untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Menurut Euge A Nida dan Charles R.Taber dalam Widyamarta (2000:11), menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang yang sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut gaya bahasanya.

Penulis mengumpulkan bebarapa contoh kalimat, wacana, percakapan dan contoh lainnya yang berhubungan dengan makna verba deru yang diambil dari berbagai sumber seperti buku, majalah, dan lain-lain yang sesuai dengan masing-masing makna verba deru. Setelah menganalisis data-data, kemudian dilanjutkan mencari kalimat, mengumpulkan dan mengklasifikasikan makna verba deru. Tahap berikutnya adalah proses merangkum dan menyusun data-data dalam satuan-satuan untuk dikelompokkan dalam setiap bab dan anak bab. Dan yang terakhir berupa penarikan kesimpulan berdasarkan data-data yang telah diteliti, lalu dari kesimpulan yang ada dapat diberikan saran-saran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan bahasa Jepang.


(28)

Penelitian Kepustakaan dilakukan pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Konsulat Jepang di Medan, beberapa informasi dari situs internet serta koleksi pribadi penulis.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI DAN TEORI TENTANG MAKNA VERBA DERU

2.1 Semantik Dalam Linguistik

Dalam mempelajari sebuah bahasa, kita mengetahui linguistik sebagai bidang ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Semantik merupakan salah satu kajian dalam bidang studi linguistik yang membahas tentang makna.

Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semiano yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: signe linguistique). (Chaer, 2002:2).

Michael Breal dalam Ullman (2007:6) menyatakan:

“Suatu studi yang mengundang pembaca untuk mengikuti kami

adalah barang baru yang belum pernah diberi nama. Memang, ilmu itu mengenai batang tubuh dan bentuk kata-kata sebagaimana yang banyak dikerjakan oleh para linguis; hukum yang menguasai perubahan makna, pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan baru, lahir dan matinya bentuk ungkapan (idiom), telah ditinggalkan dalam gelap atau hanya secara kasual saja ditunjukkan, karena studi yang tidak kurang pentingnya dari fonetik dan morfologi ini perlu mempunyai nama, maka kami akan menyebutnya


(30)

Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2002:2) mengatakan bahwa tanda linguitik terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambangi adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.

Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda lingistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata sema ntik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik ( Chaer, 2002:2).

2.2 Tinjauan Terhadap Makna 2.2.1 Pengertian Makna

Setiap jenis penelitian yang berkaitan dengan kebahasaan atau linguitik seperti struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyian bahasa, pada hakikatnya tidak terlepas dari konsep tentang makna. Dalam komunikasi, kata yang diucapkan harus mengandung makna agar maksud yang ingin disampaikan tercapai.

Ullman (2007:65) mengatakan makna merupakan istilah yang paling ambigu dan paling kontroversial dalam teori tentang bahasa. Dalam buku The


(31)

defenisi yang berbeda-bahkan menjadi 23 batasan makna jika tiap bagian dipisahkan. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk memahami makna kata tertentu dapat melihat artinya didalam kamus sebab didalam kamus terdapat makna yang disebut dengan makna leksikal atau makna sebenarnya. Namun, bagi orang awam sulit menerapkan makna yang terdapat dalam kamus karena terkadang makna sebuah kata sering bergeser dari makna aslinya jika berada dalam satuan kalimat. Dengan kata lain sebuah kata terkadang memiliki makna yang luas atau lebih dari satu seperti ketika berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, ungkapan, peribahasa dan lainnya.

Karena begitu banyaknya pendapat mengenai arti kata makna, perlu dibuat batasan tentang pengertian makna tersebut.

Kata makna di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1993:619), diartikan (1) ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (2) maksud pembicara atau penulis, (3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.

Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut; yakni suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu pula. Dengan mengetahui makna kata, baik pembicara, pendengar, penulis, maupun pembaca yang menggunakan, mendengar atau membaca lambang-lambang berdasarkan sistem bahasa tertentu, percaya tentang apa yang dibicarakan, didengar, atau dibaca. (Stevenson dalam Chaer, 2003:52)


(32)

Sutedi (2008:123) berpendapat bahwa dalam bahasa Jepang ada dua istilah tentang makna, yaitu kata imi (意 味) dan igi(意 義). Kata imi digunakan untuk menyatakan makna hatsuwa (tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole, sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai wujud satuan dari langue. Dalam tata bahasa Jepang, makna sebagai objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei), antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ka no imi) dan makna kalimat (bun no imi).

2.2.2 Jenis-Jenis Makna

Menurut Chaer (2002:289) karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat maka makna bahasa itupun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi dan pandangan yang berbeda. Awalnya makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, dan makna konseptual. Namun dalam penggunaannya makna kata akan menjadi bermacam-macam dan baru jelas kalau sudah berada dalam kalimatnya atau konteks situasinya.

Chaer (2002:289) mengungkapkan, pembagian tipe makna berdasarkan beberapa kriteria, antara lain:

a. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna non referensial.

b. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.


(33)

c. Berdasarkan ketepatan maknanya, makna dapat dibedakan menjadi makna kata dan makna istilah.

d. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dibedakan menjadi makna asosiatif, idiomatik, kolokatif dan sebagainya.

2.2.2.1 Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual

Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya leksem air bermakna leksikal ‘sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari’. Dengan contoh tersebut dapat dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan hasil observasi indera kita, atau makna apa adanya.

Makna gramatikal muncul ketika terjadi proses gramatikal, sepeti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Contohnya, dalam proses afiksasi, prefiks ber- dengan kata dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai

kuda’.

Sedangkan makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam suatu konteks. Misalnya makna jatuh pada kalimat, ‘adik

jatuh dari sepeda’ dengan ‘dia jatuh cinta kepada adikku’, terdapat perbedaan

konteks jatuh dalam kedua kalimat tersebut. Menurut Parera (2004:47), teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme. Makna sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu Makna konteks juga dapat berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan pengguna bahasa tersebut.


(34)

2.2.2.2 Makna Referensial dan Non-referensial

Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial apabila terdapat acuannya. Kata-kata seperti meja, bangku, hitam dan gambar adalah kata-kata bermakna referensial karena terdapat acuannya dalam dunia nyata.

Kata bermakna non-referensial apabila tidak bermakna referensial atau tidak mempunyai acuan. Kata-kata seperti dan, atau, karena termasuk kedalam kelompok tersebut.

2.2.2.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Sebenarnya, makna denotatif sama dengan makna leksikal.

Sedangkan makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada

makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok yang menggunakan kata tersebut. Misalnya, kata gerombolan bersinonim dengan kelompok. Tetapi kata gerombolan memiliki konotasi yang lebih negatif atau rasa yang tidak mengenakkan.

2.2.2.4 Makna Kata Konseptual dan Makna asosiatif

Yang dimaksud dengan konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Makna konseptual sama dengan makna leksikal, makna denotatif dan makna referensial.


(35)

Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata tersebut dengan sesuatu yang berada diluar bahasa. Misalnya, kata merah berasosiasi dengan ‘berani’ atau juga ‘paham

komunis’. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang

yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada pada konsep

asal kata tersebut. Jadi, kata merah yang bermakna konseptual ‘sejenis warna terang menyolok’ digunakan untuk perlambang ‘keberanian’ atau di dunia politik untuk melambangkan ‘paham atau golongan komunis’.

2.2.2.5 Makna Kata dan Makna Istilah

Setiap leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun dalam penggunaannya, makna kata itu baru menjadi jelas apabila kata itu sudah berada didalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas.

Berbeda dengan makna kata, makna istilah mempunyai makna yang pasti, jelas dan tidak meragukan meski tanpa konteks kalimat sekalipun. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa makna istilah itu bebas konteks, sedangkan makna kata tidak bebas konteks. Sebuah istilah hanya dipergunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.


(36)

Idiom adalah suatu makna yang ujarannya tidak dapat “diramalkan” dari

makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Misalnya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya’. Tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk menjua l gigi tidaklah berarti seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa keras

-keras’. Jadi makna seperti itulah yang disebut makna idiomatikal.

Idiom biasanya dibedakan menjadi dua macam, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan. Sehingga makna yang dimiliki berasal dari satu kesatuan tersebut. Contohnya, adalah membanting tulang. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam.

Peribahasa memiliki makna yang masih bisa di telusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Misalnya, tong kosong nyaring bunyinya yang

bermakna ‘orang yang banyak bicara biasanya tidak berilmu’. Makna ini dapat

ditarik dari asosiasi; tong yang berisi jika dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras dan nyaring.

2.2.3 Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya (Chaer, 2007:297). Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya


(37)

dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.

2.2.3.1 Sinonim

Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. (Chaer, 2007:297)

Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ’nama’ dan syn yang berarti ’dengan’. Maka arti harfiah dari sinonim berarti ’nama lain untuk benda atau hal yang sama’.

Pada definisi di atas ada dikatakan ”maknanya kurang lebih sama” Ini

berarti, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak (Ullman dalam Chaer, 2003:297). Ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda maka maknanya pun tidak persis sama.

2.2.3.2 Antonim

Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan atau kontras antara satu dengan yang lainnya (Chaer, 2007:299).

Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya


(38)

’nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik didefinisikan sebagai:

ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.

Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bagus berantonim dengan kata buruk, maka kata buruk juga berantonim dengan kata bagus. Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Verhaar menyatakan ”...yang maknanya dianggap kebalikan dari

makna ungkapan lain”. Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak

berlawanan.

2.2.3.3. Homonim, Homofon dan Homografi

Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama, maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan (Chaer, 2007:302).

Kata homonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya

’nama’ dan homo yang artinya sama. Secara harfiah homonim dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik, homonim didefinisikan sebagai ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Misalnya antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang

berarti ’sanggup, dapat’.

Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonim ini. Pertama , bentuk-bentuk yang berhomonim itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya kata asal yang berarti ’pangkal, permulaan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti ’kalau’ berasal dari dialek Jakarta. Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.


(39)

Misalnya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di da pur adalah berhomonim dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur lua snya kebun ka mi. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me+kukur=mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur=mengukur). Sama halnya dengan sinonim dan antonim, homonim ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

Disamping homonim ada pula istilah homofon dan homograf. Ketiga istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena adanya kesamaan objek pembicaraan. Kalau istilah homonim yang dijelaskan diatas dilihat dari segi bentuk satuan bahasanya itu, maka homofon dilihat dari segi bunyi (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homograf dilihat dari segi penulisan dan ejaannya (homo=sama, grafi=tulisan).

2.2.3.4 Hiponimi

Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer, 2007:305). Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma bararti ’nama’ dan hypo

berarti ’di bawah’. Jadi, secara harfiah berarti ’nama yang termasuk di bawah nama lain’.

Secara semantik Verhaar (1981:137) menyatakan hiponim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.


(40)

Misalnya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri, muja ir, ca ka la ng, dan sebagainya.

Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan; tetapi kata ika n tidak berhiponim terhadap kata tongkol, sebab makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal ini relasi antara ikan dengan tongkol (atau jenis ikan lainnya) disebut hipernim. Jadi, kalau tongkol berhiponim terhadap ikan, maka ika n berhipernim terhadap tongkol.

2.2.3.5 Polisemi

Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 2007:301).

Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti pada kepala meja dan kepala kereta api; (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah dan kepala kantor; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat, setiap kepala menerima bantuan Rp 50.000; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, badannya besar tetapi kepalanya kosong.

Misalnya makna leksikal kata kepala di atas adalah ’bagian tubuh manusia


(41)

(lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak unsur atau komponen makna. Kata kepala di atas, antara lain memiliki komponen makna: (1)Terletak di sebelah atas atau depan, (2)Merupakan bagian yang penting (tanpa kepala manusia tidak bisa hidup, tetapi tanpa kaki atau lengan masih bisa hidup), (3) Berbentuk bulat.

2.2.3.6 Ambiguitas

Ambiguitas atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti (Chaer, 2007:308).

Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar dari kata, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang yang berbeda. Misalnya, frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat saja, tidak dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.

2.2.3.7 Redundansi

Redundansi diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur

segmental dalam suatu bentuk ujaran’ (Chaer, 2007:310).

Misalnya kalimat Bola ditendang Si Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan, dan yang sebenarnya tidak perlu.

Secara semantik masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Jadi, kalimat Bola ditendang Si Udin berbeda maknanya dengan kalimat Bola


(42)

ditenda ng Oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tanpa kata oleh.

Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian kata oleh pada kalimat kedua adalah sesuatu yang redundans, karena makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang pertama, adalah pernyataan yang mengelirukan atau mengacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance-internal) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterence-external). Jadi yang sama antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasinya.

2.2.4 Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang

Bahasa sebagai alat komunikasi manusia selalu dan akan terus berkembang mengikuti zaman sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan penuturnya. Tentunya, pemakaian bahasa diwujudkan dalam bentuk kata. Kata juga akan mengalami perubahan terus, seiring dengan perubahan kata tersebut makna pun akan turut berubah.

Seperti bahasa pada umumnya, dalam bahasa Jepang juga mengalami perubahan makna. Dibawah ini merupakan jenis perubahan yang terjadi dalam bahasa Jepang seperti yang dikatakan oleh Sutedi (2008:116) :

1. Dari yang Konkrit ke abstrak

Misalnya kata atama <kepala>, ude <lengan>, dan michi <jalan> yang merupakan benda konkrit berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut ini:


(43)

腕 ude ga aga ru <kemampuan>

日 本語教 師 道 nihongo kyoushi e no michi <cara/petunjuk> 2. Dari ruang ke waktu

Misalnya kata mae <depan> dan nagai <panjang> yang menyatakan arti <ruang>, berubah menjadi <waktu> seperti contoh berikut:

前 sa nnen ma e <yang lalu>

長 い時間 na ga i jika n <lama> 3. Perubahan bentuk indera

Misalnya kata ookii <besar> semula diamati dengan indera pendengaran (telinga), seperti pada ookii koe <suara keras>, kata amai <manis> dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam amai ko <anak manja>.

4. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

Misalnya kata kimono yang semula berarti <pakaian tradisional Jepang> digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum, fuku dan sebagainya.

5. Dari yang umum ke khusus

Misalnya kata hana <bunga secara umum> dan tamago <telur secara umum> digunakan untuk menunjukkan hasil yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut:

花 見 ha na mi <sakura>

卵 食 ta ma go o ta beru <telur ayam> 6. Perubahan nilai negatif


(44)

Misalnya kata kisama <kamu> dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata anata <anda>, tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dari yang baik menjadi kurang baik.

7. Perubahan nilai positif

Misalnya kata boku <saya> digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai dari yang kurang baik menjadi baik.

2.3 Pengertian Polisemi

Pengertian polisemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kata yang memiliki makna lebih dari satu (KBBI 2008:1200)

Parera (2004:81) mendefinisikan bahwa polisemi ialah suatu ujaran dalam bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda tetapi masih ada hubungan dan kaitan antar makna-makna yang berlainan tersebut.

Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer,2007:301)

Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti pada kepala meja dan kepala kereta api; (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah dan kepala kantor; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat, setiap kepala menerima bantuan Rp 50.000; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, badannya besar tetapi kepalanya kosong.


(45)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata kepa la setidaknya mengacu kepada enam buah konsep/makna. Padahal menurut pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya.

Kunihiro dalam Sutedi (2003:135) mengungkapkan Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya.

Satu persoalan lagi yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana perbedaannya dengan bentuk-bentuk yang disebut dengan homonim. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonim bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonim bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda. Oleh karena itu, didalam kamus, bentuk-bentuk yang berhomonim, didaftarkan dalam entri yang berbeda-beda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata memiliki makna lebih dari satu. Lalu, karena polisemi ini hanyalah satu kata, didalam kamus didaftarkan dalam satu entri.

2.4 Verba Deru 2.4.1 Pengertian Verba

Dalam penelitian ini, yang diangkat menjadi objek penelitian adalah tentang makna sebuah verba. Oleh karena itu diperlukan sebuah landasan teori


(46)

mengenai verba itu sendiri. Dibawah ini akan dikemukakan definisi verba beserta klasifikasinya yang diambil dari beberapa sumber.

Terdapat banyak pengertian verba tentang ahli bahasa, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang disebut juga kata kerja.

2. Dalam buku Linguistik Suatu Pengantar karya Chaedar (1993:48) verba menurut Nesfield adalah kata yang dipakai untuk menyatakan sesuatu tentang seseorang atau sesuatu.

Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu :

動 : ugoku, dou : bergerak

詞 : kotoba, shi : kata

動 詞 : doushi : kata yang bermakna bergerak

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2003:42).

Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini


(47)

dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata dan termasuk salah satu yougen yang menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat dan biasanya selalu diakhiri dengan suara /u/.

Demikian pula halnya dengan verba deru. Verba ini menyatakan suatu kegiatan atau aktifitas dari manusia. Seperti halnya verba lain, verba deru pun berakhiran dengan suara /u/.

2.4.2 Jenis-Jenis Verba

Menurut Sutedi (2003:47), verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan bentuk konjugasinya.

1. Kelompok I

Kelompok ini disebut dengan 五 段 動詞 (godan-doushi), karena kelompok ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu ( あ, い, う, え, , ‘a-i-u-e-o’). Ciri-cirinya yaitu verba yang berakhiran (

う, , , , , , , , , ‘u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-gu-su’).

Contoh :

a. 会 う a-u (bertemu)


(48)

c. kae-ru (pulang)

d. 飛 to-bu (terbang)

e. 死 shi-nu (mati)

f. 飲 no-mu (minum)

g. 書 ka-ku (menulis)

h. 急 iso-gu (bergegas)

i. 話 hana-su (berbicara)

2. Kelompok II

Kelompok ini disebut dengan 一 段動 詞 (ichidan-doushi), karena perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah verba yang berakhiran (え- ‘e-ru’) yang disebut ka mi ichida n-doushi, dan verba yang berakhiran (い- ‘i-ru’) yang disebut shimo ichida n-doushi.

Contoh :

a. 出 d-eru (keluar)

食 tab-eru (makan)

b. 見 m-iru (melihat)


(49)

3. Kelompok III

Verba kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan, sehingga disebut 変 格 動 詞 (henkaku-doushi) dan hanya terdiri dari dua verba berikut.

a. 変動 詞 (kahendoushi)

Contoh : 来 kuru (datang)

b. 変 動 詞 (sahendoushi)

Contoh : suru (melakukan)

Verba kelompok ini juga merupakan verba yang terbentuk dari kata benda + verba suru, 詞 ‘meishi’ + ‘suru’ , namun meishi yang dapat ditambahkan dengan verba suru disini hanyalah terbatas pada kata-kata yang bermakna gerak atau terdapat gerakan di dalamnya.

Contoh :

a. 勉 強 benkyou suru (belajar)

b. 食 shokuji suru (makan)

c. 買 い 物 kaimono suru (belanja)

Selanjutnya, dalam bahasa Jepang terdapat 10 jenis kata dan salah satunya adalah verba atau doushi. Banyak istilah yang menunjukkan jenis-jenis doushi tergantung pada dasar pemikiran yang dipakainya. Di antaranya ada yang


(50)

menunjukkan jenis doushi seperti yang diterangkan oleh Shimizu dalam Sudjianto (2007:150), yaitu:

1. Tadoushi

Ta doushi atau verba transitif adalah verba yang memerlukan objek dalam

kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerlukan partikel “o( )”. Contoh:

郎 窓 開

Tarou ga mado o aketa <Tarou membuka jendela>

2. Jidoushi

Jidoushi adalah verba intransitif yang tidak memerlukan objek dalam

kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerlukan partikel “wa”, “ga”, “ni”. Contoh:

窓 開い

Mado ga aita <Jendela terbuka>

3. Shodoushi

Shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukkan pertimbangan pertimbangan pembicara, dan tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan


(51)

Contoh:

見 え mieru ‘terlihat’

聞 え kikoeru ‘terdengar’

似 合う nia u ‘sesuai’

行 ikeru ‘dapat pergi’

Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa verba deru 出 termasuk ke dalam kelompok verba intransitif (jidoushi). Sedangkan verba transitif dari verba deru adalah verba dasu 出 yang berarti mengeluarkan. Hal ini disebabkan karena verba deru bisa berdiri sendiri dan tidak memerlukan pelengkap ataupun objek dalam kalimatnya. Selain itu verba deru juga dapat berfungsi sebagai fukugou doushi (kata kerja majemuk) maupun hojo doushi (kata kerja pelengkap).

2.5 Teori Tentang Makna Verba Deru

Pada dasarnya ada banyak buku yang menjabarkan polisemi verba deru.

Namun penulis hanya akan menuliskan teori makna verba deru yang diambil dari Nihongo kihon doushi youhou jiten tahun 1989 oleh Koizumi dkk dan buku Nihongo O Ma na bu Hito No Jiten Tahun 2000 oleh Sakata Yukiko. Dibawah ini akan dijabarkan beberapa penelitian dan teori mengenai pemakaian verba deru dalam bahasa Jepang. Hal ini diupayakan untuk memberikan kejelasan dan arahan bagi penelitian. Diantaranya sebagai berikut:


(52)

Dalam kamus yang berjudul Nihongo No Kihon Doushi Youhou Jiten

tahun 1989 (hal.345-347), Koizumi dkk menjabarkan makna verba deru sebagai berikut:

1. 中 外 移動 (Koizumi, 1989:345)

Na ka ka ra soto ni idousuru <Berpindah dari dalam keluar>

(1) 私 部屋 廊

Watashi wa heya kara rouka ni deta <Saya keluar dari kamar ke koridor>

(2) 風呂

Ofuro kara deta <Keluar dari ofuro> (3)

Kotatsu kara deru <Keluar dari kotatsu>

(4) 私 午 前8 裏口 家 出

Watashi wa gozen 8 ni uraguchi kara ie o deta

<Saya keluar dari rumah pada jam 8 pagi lewat pintu belakang> (5) 部 屋 出

Heya o deru <Keluar kamar>

(6) 舟 港 出

Fune ga minato o deru

<Kapal meninggalkan pelabuhan>


(53)

( Aru mokuteki o motte ) a ru ba sho o ha na reru

<(Memiliki maksud tertentu) meninggalkan suatu tempat>

(7) 大 学 出 =卒 業

Daigaku o deru = sotsugyousuru <Tamat sekolah>

(8) 宿 出 =引 越

Geshuku o deru = Hikkoshi suru <Pindah kos>

3. あ 場所 行 着 (Koizumi, 1989:345) Aru ba sho ni ikitsuku

<Pergi dan tiba disuatu tempat>

(9) 私 海岸 出

Watashi tachi wa kaigan ni deta <Kami tiba di pantai>

(10) シ 裏通 表通 出

Takushi wa uradoori kara omotedoori e deta

<Taksi keluar dari jalan gang(kecil) ke jalan utama>

(11) 道 駅前 出

Kono toori wa ekimae ni deru <Jalan ini sampai ke depan stasiun>

(12) 川 日本海 出

Kono kawa wa nihonkai ni deru <Sungai ini sampai kelaut Jepang>

4. 止 い 乗 物 発進 (Koizumi, 1989:345)


(54)

<Kendaraan yang sedang berhenti akan berangkat>

(13) 次 列車 20分 後 5番線 出

Tsugi no ressha wa 20 bun ato ni 5 bansen kara demasu

<Kereta api selanjutnya akan berangkat setelah 20 menit dari garis ke 5>

(14) 舟 出 Fune ga deru

<Kapal akan berangkat>

5. 内 部 あ 隠 い 外部 現 (Koizumi,

1989:345)

Na ibu ni a tta mono. Ka kureteita mono ga ga ibu ni a ra wa reru

<Sesuatu yang ada dibagian dalam. Barang yang tersembunyi muncul keluar>

(15) 月 東 方

Tsuki wa higashi no hou ni deru <Bulan muncul dari arah timur>

(16) 思 財布 出

Nakushita to omotta saifu ga dete kita

<Dompet yang saya kira menghilang datang lagi>

(17) 木 出

Ki no eda ga deta

<Cabang pohon telah keluar>

(18) 布 団 足 出

Futon kara ashi ga deru <Kaki keluar dari futon>

(19) 優 子 汗 出 い


(55)

<Keringat Yuuko keluar dari dahi>

(20) あ 先生 感情 [喜び 悲 満] 顔 出

Ano sensei wa kanjyou [ yorokobi/kanashimi/fuman ] ga sugu kao ni deru

<Perasaan sensei itu [senang/sedih/tidak puas] langsung terpancar dari wajahnya>

(21) 非 言 葉 口 出

Hinan no kotoba ga kuchi ni deru <Kata-kata kritikan keluar dari mulut>

6 会 合 活 動 参加 (Koizumi, 1989:345)

Ka igou / ka tsudou na do ni sa nka suru <Ikut serta dalam pertemuan / kegiatan > (22) 係 員 窓 口 出

Kakari’in ga mado guchi ni deta <Petugas keluar ke loket>

(23) [試 合 会 議 選 挙 社 会] 出 Shiai / kaigi / senkyo / kaisha ni deru

<Ikut serta/hadir dalam perlombaan/rapat/pemilihan/kantor>

7. 人 目 触 公 (Koizumi, 1989:345)

Hito no me ni fureta ri, kou ni sa reru

<Telihat oleh mata seseorang dan meluas ke publik>

(24) 件 新聞 大 出

Kono jiken wa shinbun ni ookiku deta <Kejadian ini tersebar luas dikoran>

(25) 新 雑 誌 出

Atarashiku zasshi ga deru <Majalah baru akan terbit>


(56)

8. あ 物 新 , あ い 結 生 (Koizumi, 1989:345) Aru monogoto ga a ta ra ta ni, a rui wa kekka to shite shoujiru

<Memperbaharui suatu perkara, atau menemukan akhir>

(26) 200キ 出

200 kiro no supiido ga deru

<Menghasilkan kecepatan 200 kilometer>

(27) 地方 石 油[温 泉] 出

Kono chihou ni seiyuu ga deru

<Di daerah ini menghasilkan minyak> (28) 会 議 結 論 出

Kaigi no ketsuron ga deru

<Menghasilkan kesimpulan rapat>

(29) 故 人 出

Jiko de kega hito ga deru

<Kecelakaan mengakibatkan orang luka>

9. 食 金 銭 命 え (Koizumi, 1989:346)

Shokuji / kinsen / meirei na do ga a ta era reru <Diberikan makanan/uang/perintah>

(30) 全 員 出

Zen’in ni kohi ga deta

<Menyuguhkan kopi pada semua anggota> (31) 数 学 宿

Suugaku no shukudai ga deru <Mendapatkan PR matematika>

(32) 全社 員 出


(57)

<Memberikan bonus untuk seluruh karyawan>

10. 店 営業 始 (Koizumi, 1989:346)

Mise na do ga eigyou o ha jimeru <Memulai toko atau usaha>

(33) 新 聞 広 告 載 い 店 駅前 出

Shinbun no koukoku ni otteita mise ga ekimae ni deta

<Toko yang tertulis di iklan koran telah dibuka di depan stasiun>

(34) 今 度表通 喫 茶店 出

Kondo omotedoori ni kissaten ga deta

<Di jalan utama setelah ini telah dibuka kissaten >

(35) 神 社 境 内 屋 台 店 出 い

Jinja no keidai ni yatai no mise ga takusan deteiru <Dipekarangan kuil banyak dibuka warung> 11. あ 種 態度 (Koizumi, 1989:346)

Aru shu no ta ido o toru <Mengambil suatu sikap>

(36) 日 本 相 手国 強い態 度 出

Nihon wa aite koku ni tsuyoi taido ni deta

<Jepang mengambil sikap yang tegas kepada negara lawannya>

(37) 相 手 う出 見 う

Aite ga dou deru mimarou

<Ayo kita perhatikan bagaimana sikap lawan> 12. 商 品 売 (Koizumi, 1989:346)

Shouhin ga ureru


(58)

(38) 本 出

Kono hon wa yoku demasu <Buku ini terjual dengan baik>

(39) 夏 場 製 品 飛 う 出

Natsuba ni wa kono seihin ga tobu youni deru

<Pada musim panas, produk ini terjual seperti terbang>

13. 柄 由 来 あ 起源 生 い (Koizumi, 1989:346)

Kotoga ra no yuura i ga a ru kigen ka ra shoujiteiru <Suatu perkara ada karena ada asal usulnya>

(40) 言葉 ン 語

Kono kotoba wa oranda go kara deta

<Kosa kata ini berasal dari bahasa Belanda>

(41) 行 昔 遊郭 習わ 出

Kono gyouji wa mukashi no yuukaku no narawashi kara deta monoda

<Upacara ini diajarkan dari distrik lampu merah di zaman dulu>

2.5.2 Sakata Yukiko (2000)

Pengertian verba deru dalam buku berjudul Nihongo O Manabu Hito No Jiten Tahun 2000 (638-639) memiliki banyak makna dan dijabarkan sebagai berikut:

1. 中 外 移 ( Sakata Yukiko, 2000:638)

Na ka ka ra soto o utsuru < Berpindah dari dalam keluar > (42) 五 時 会 社 出


(59)

<Keluar dari kantor pada pukul 5> (43) 庭 出

Niwa ni deru

<Keluar ke halaman>

2. 出 発や発 射 ( Sakata Yukiko, 2000:638)

Shuppa tsu ya ha ssha o suru <Berangkat, atau melakukan keberangkatan>

(44) 汽 車 駅 出

Kisha wa Ueno eki o deta

<Kereta api sudah berangkat dari stasiun Ueno> (45) 旅 出

Tabi ni deru

<Berangkat jalan-jalan> 3. 卒 業 ( Yukiko, 2000:639) Sotsugyou suru < Tamat dari > (46) 大 学 出 10

Daigaku o dete 10 nen ni naru

<Sudah 10 tahun sejak lulus universitas> 4. 行 着 ( Yukiko, 2000:639)

Ikitsuku < Pergi dan tiba>

(47) 次 角 左 行 公 園 出

Tsugi no kado o hidari ni ikeba kouen ni deru

<Kalau pergi ke sebelah kiri simpang selanjutnya, akan tiba di taman>

5. 外 現 ( Yukiko, 2000:639) Soto ni a ra wa reru < Muncul keluar>


(60)

(48) 喜 び 顔 出

Yorokobi ga kao ni deru

<Rasa senang terlihat dari wajahnya>

6. や活 動 あ 場所 現 ( Yukiko, 2000:639)

Shigoto ya ka tsudou wo suru ta me ni, a ru ba sho ni a ra wa reru <Muncul disuatu tempat demi pekerjaan atau kegiatan>

(49) 会 社 出 Kaisha ni deru

<Menghadiri rapat>

(50) 会 出

Kurasu kai ni deru

<Menghadiri pertemuan kelas>

7. 出 版 出 版物 載 ( Yukiko, 2000:639)

Shuppa nsa reta ri shuppa nbutsu ni notta ri suru < Terbit, dimuat, muncul dipenerbitan/surat kabar>

(51) 雑 誌 月号 出

Zasshi no ichi gatsu gou ga deru

<Majalah terbitan bulan 1 akan keluar>

(52) 新 聞 出 公告

Shinbun ni deta koukoku

<Iklan yang dimuat di surat kabar> 8. 産 出 ( Yukiko, 2000:639)

Sa nshutsu suru < Memproduksi , dihasilkan >

(53) 地 石油 出

Kono chitai wa seki yu ga deru <Daerah ini menghasilkan minyak>


(61)

9. 生 ( Yukiko, 2000:639) Shoujiru < Menghasilkan>

(54) 風

Kaze ga deru

<Menghasilkan angin (demam)> 10. 売 ( Yukiko, 2000:639)

Ureru < Terjual >

(55) 出 品物 入

Yoku deru shina mono o takusan shiireru


(62)

BAB III

ANALISIS POLISEMI VERBA DERU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

Pada bab ini data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis. Adapun hal-hal yang akan dianalisis adalah kajian makna verba deru yang memiliki makna berbeda. Hal tersebut sebagai jawaban atas rumusan-rumusan masalah yang telah dipaparkan pada bab pendahuluan sebelumnya. Analisis data yang akan disajikan dalam penelitian ini terfokus pada analisis nuansa kandungan makna verba deru berdasarkan kontekstualnya atau keadaan pengguna bahasa.

Seperti yang kita ketahui bahwa verba deru memiliki beberapa makna yang berbeda satu dengan lainnya. Makna tersebut akan berubah dari makna aslinya jika diletakkan dalam suatu kalimat. Dengan mengetahui makna-makna verba deru akan mempermudah pembelajar dan pengajar bahasa Jepang untuk memahaminya. Sebelum memasuki pembahasan tentang analisis nuansa makna verba deru, terlebih dahulu akan disajikan pengklasifikasian data mengenai makna verba deru berdasarkan teori yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.

Tabel 3.1 Klasifikasi Makna Deru

No Makna

Koizumi, dkk

Sakata Yukiko

1 中 外 移動

Keluar; berpindah dari dalam keluar


(63)

2 あ 目 的 持 あ 場 所

<(Memiliki maksud tertentu) meninggalkan suatu tempat>

 

3 あ 場所 行 着

<Pergi dan tiba disuatu tempat>

 

4

止 い 乗 物 発進

<Kendaraan yang sedang berhenti akan berangkat>

 

5

内 部 あ 隠 い 外

部 現

<Sesuatu yang ada dibagian dalam. Barang yang tersembunyi muncul keluar>

 

6

会 合 活 動 参加

<Ikut serta dalam pertemuan / kegiatan >

 

7

人 目 触 公

<Telihat oleh mata seseorang dan meluas ke publik>

 

8

あ 物 新 あ い 結

<Memperbaharui suatu perkara, atau menemukan akhir>


(64)

9

食 金 銭 命 え

<Diberikan makanan/uang/perintah>

10

店 営業 始

<Memulai toko atau usaha>

11

あ 種 態度

<Mengambil suatu sikap>

12

商 品 売

<Barang dagangan laku terjual>

 

13 生

< Menghasilkan>

 

14

柄 由 来 あ 起源 生 い

<Suatu perkara ada karena ada asal usulnya>

15

慣 用句

Ungkapan / hal yang digunakan secara umum

 

Berikut ini adalah analisis data yang dilakukan peneliti mengenai makna verba deru berdasarkan kedua sumber yaitu Nihongo Kihon Doushi Youhou Jiten dan Nihongo O Manabu Hito No Jiten. Contoh Kalimat yang akan dianalisis diambil dari beberapa sumber dari beberapa majalah dan jurnal bahasa Jepang, Khususnya majalah wochi kochi yang diterbitkan oleh Japan Foundation, The Monthly Nihongo oleh Space Alc dan majalah Nipponia . Peneliti mencoba menganalisis contoh kalimat yang memiliki makna verba deru yang berbeda.


(65)

Cuplikan 1 :

うい う日本 学 校 状況 教 え い 派遣先 い

C う 驚 人 少 い 教室 教師 机 あ 日本

職 員室 教 師 机 い 普通 休 時 間 生

教室 外 出 ア

( The Monthly Nihongo No.2, 1999:12 ).

Souiu nihon no gakkou to ona ji jyoukyuu wo oshieteite, ha kensen ni itteka ra C sa n no youni odoroku hito wa shukuna i. Kyoushitsu ni kyoushi no tsukue ga a ru no wa nihon to ona ji da ga , shokuin shitsu ni wa kyoushi no tsukue wa na i no ga futsuu da . Ya sumi jika n, seito ta chi wa kyoushitsu no soto ni denakutewa na ra zu, doa ni wa ka gi ga ka kera reru.

<Memberitahukan keadaan yang sama seperti sekolah di Jepang, menurut klien, orang yang terkejut seperti tuan C hanya sedikit. Meja pengajar ada di kelas sama seperti di Jepang, tetapi meja guru tidak ada di ruang pegawai itu adalah hal yang biasa. Waktu istirahat, para murid harus keluar kelas, kunci digantungkan di pintu>.

Analisis :

Kalimat pada cuplikan 1 diatas diambil dari wacana yang berjudul “

違う 学校 生活 (Konna Ni Chigau, Gakkou Seikatsu )” yang berarti ‘Kehidupan Sekolah Berbeda Seperti Ini’. Makna verba deru pada

cuplikan kalimat tersebut adalah ‘keluar’. Pada kalimat tersebut dijelaskan


(66)

Amerika ketika waktu istirahat tiba, murid diharuskan untuk keluar dari kelas, dan kelas dikunci agar murid tidak bisa masuk. Saat istirahat tersebut dimanfaantkan siswa untuk makan siang.

Makna verba deru yang berarti ‘keluar’ merupakan makna dasar atau makna asli dari verba deru. Makna dasar dapat diketahui dengan melihat makna yang muncul pertama kali pada kamus. Dapat dilihat dari berbagai kamus bahasa Jepang, makna yang muncul pertama kali dari verba deru

adalah ‘keluar’. ‘Keluar’ dapat diartikan中 外 移 動 (Naka kara soto ni idousuru) yaitu ‘perpindahan dari dalam ke luar’. Jika kalimat diatas ditelaah, bahwa murid yang seharusnya berada didalam kelas, diharuskan untuk berpindah keluar dari kelas dan tidak berada dalam kelas lagi pada jam istirahat.

Cuplikan 2 :

2001 大 学校 1 期 生 私 大 学校 出 20 い

う 当時大 学 校 教 鞭 い 日 本人 教師 材 中

央 公論4月 号 [ 大 学 校] 思い起 いう 掲載

( Wochi Kochi No.6, 2005:15 ).

2001 nen, Ta ihei Ga kkou no 1 kisei toshite, wa ta shi wa Ta ihei Ga kkou o dete 20 nen toiu toshi ni touji Ta ihei Ga kkou de kyouben o totte ita nihon jin kyoushira o shuza ishi, chuuoukouron 4 ga tsu gou ni [ Ta ihei Ga kkou ] o omoi okose toiu repooto o keisa i shita .


(1)

Ketika sudah sampai dilaut, mulai dengan menangkap anak ikan dan memelihara di tambak, ketika ukuran tubuhnya semakin besar, ikan harus dipindahkan ke tambak yang ukurannya lebih besar.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa makna verba deru dalam kalimat tersebut adalah あ 場 所 行 着 (Aru basho ni ikitsuku) yang artinya ‘pergi dan tiba disuatu tempat’ hal ini dikarenakan, ketika seseorang ingin pergi kesuatu tempat, berarti harus keluar dari tempat sebelumnya, misalnya rumah. Hal ini sesuai dengan pendapat Koizumi dan Sakata Yukiko bahawa verba deru dapat digunakan untuk menyatakan ‘pergi dan tiba disuatu tempat’.

Cuplikan 9 :

就 職 内 定 出勤 う会 社側 要 求

授業 出 残 い 学生 精 神 え

教 室 雰 囲 気 悪 一 方 あ ( The Monthly Nihongo No. 3, 2000:58 )

Ma ta shuusyoku ga na itei suru to sugu shukkin suru you ka isha ga wa ka ra youkyuusa reru no de, jugyou ni wa dena kuna ri, sono koto ga nokotteiru ga kusei ni mo a ta e, kyoushitsu no funiki wa wa ruku na ru ippou dea ru. <Keputusan sementara mendapatkan pekerjaan lagi dan karena diminta oleh bagian kantor untuk segera bekerja jadi tidak mengikuti mata pelajaran, hal tersebut memberikan sisa semangat bagi murid dan atmosfer dikelas menjadi semakin memburuk>


(2)

Analisis :

Kalimat pada cuplikan 1 diatas diambil dari wacana yang berjudul “会 社 教 育 日 本語教 育 (Kaisha Kyouiku to Nihongo Kyouiku)” yang berarti ‘Pendidikan Kantor Dan Pendidikan Bahasa Jepang’. Makna verba deru pada cuplikan kalimat tersebut adalah 会 合 活 動 参 加 (Kaigou / katsudou nado ni sanka suru) yang artinya ‘Ikut serta dalam pertemuan / kegiatan’. Pada wacana tersebut dijelaskan bahwa, ketika penulis cerita telah mendapatkan pekerjaan baru. Pada awalnya dia adalah seorang guru sekolah, namun menjadi tidak bisa hadir dalam pelajaran karena disuruh bagian kantor untuk segera bekerja. Keadaan tersebut membuat keadaan kelas menjadi buruk.

Seperti telah disebutkan diatas bahwa makna verba deru pada kalimat diatas adalah ‘ikut serta dalam pertemuan/kegiatan’. Makna tersebut sesuai dengan pendapat yang telah dikatakan oleh Koizumi dkk dan Sakata Yukiko.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian dari bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Verba dalam bahasa Jepang adalah salah satu kelas kata yang menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou), bisa berdiri sendiri, dan menduduki jabatan predikat dalam suatu kalimat. 2. Verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok

berdasarkan pada bentuk konjugasinya, yaitu kelompok I (五 段 動 詞 ‘godan-doushi), kelompok II (一 段動 詞 ‘ichida n-doushi’), dan kelompok III (変 格動詞 ‘henka ku-doushi’), yang dalam hal ini verba deru termasuk dalam verba kelompok III.

3. Verba deru merupakan verba yang berpolisemi atau memiliki makna lebih dari satu. Polisemi ialah suatu ujaran dalam bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda tetapi masih ada hubungan dan kaitan antar makna-makna yang berlainan tersebut. Begitu pula dengan verba deru memiliki makna lebih dari satu. Menurut Koizumi dkk verba deru, memiliki 13 makna, sedangkan menurut Sakata Yukiko, verba deru memiliki 10 makna. Makna tersebut memiliki arti yang berbeda sesuai dengan kontekstualnya.


(4)

4. Verba deru pada dasarnya memiliki makna perpindahan dari dalam keluar. Namun makna dasar tersebut dapat berubah ketika sudah berada dalam kalimat.

5. Dari 9 kalimat yang dianalisis pada bab sebelumnya, ada 9 makna yang berbeda dari verba deru yaitu, ‘keluar’, ‘lulus/tamat sekolah’, ‘sesuatu yang ada dibagian dalam, hal yang tersembunyi muncul keluar’, ‘berangkat atau melakukan keberangkatan’, ‘memperbaharui suatu perkara atau menghasilkan akhir’, ‘menghasilkan’, ‘pergi dan tiba disuatu tempat’, ‘Ikut serta dalam pertemuan / kegiatan’, ‘mengambil sikap’.

4.2 Saran

Bahasa bersifat dinamis dan mengalami perubahan, dalam hal verba deru pun tidak tertutup kemungkinan mengalami pergeseran atau perubahan makna dalam penggunaannya.

Penulis beranggapan, bahwa penelitian ini masih harus ditindak lanjuti. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai makna verba deru. Dalam penulisan skripsi ini diharapkan pembelajar bahasa Jepang dapat lebih memahami masing-masing makna verba deru sehingga ketika bertemu dengan kalimat yang didalamnya ada verba deru, tidak terjadi kesalahan dalam penginterpretasian maknanya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar A. 1993. Linguistik Suatu Pengantar , Bandung : Angkasa Aminuddin. 1988. Semantik (Pengantar Studi Tentang Makna). Bandung : Sinar

Baru

Asih, Kurnia. 2010. Analisis Makna Verba Tatsu Sebagai Polisemi Dalam Bahasa Jepa ng, skripsi pada UPI Bandung Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Edisi Revisi).

Jakarta:Rineka Cipta

____________. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

____________. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta

Dahidi, Ahmad dan Sudjianto. 2007. Pengantar Linguistik bahasa Jepang. Jakarta : Kesaint Blank

Depdikbud.1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Jakarta Hitoko Sasaki dkk. Nihongo So-matome N3. 2010. Tokyo : Ask Publishing. Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Koizumi dkk. 1989. Nihongo Kihon Doushi Youhou Jiten. Tokyo : Daishuukan

Shoten.

Matsuura, Kenji. 1994. Nihongo-Indoneshiago Jiten (Kamus Bahasa Jepang-Indonesia ). Jakarta: Gramedia

Nipponia No.21 (Majalah). 2002. Tokyo : Nihon Hakken

Nurzanah, Siti. 2009. Teknik Pener jemahan Klausa Relatif Bahasa Jepang ke da la m Ba ha sa Indonesia. skripsi pada UPI Bandung Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang.


(6)

Parera J.D. 2004 . Teori Semantik (Edisi kedua). Jakarta : Erlangga

Sudjana, N dan Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo

Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama Press

Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang Edisi Revisi. Bandung : Humaniora Utama Press

The Monthly Nihongo No.1 (Jurna l).1999. Tokyo : Space ALC The Monthly Nihongo No.2 (Jurna l).1999. Tokyo : Space ALC The Monthly Nihongo No.3 (Jurna l).2000. Tokyo : Space ALC

Ulmann, Stephen. 2007. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wochi Kochi No. 5 (Jurna l). 2005. Tokyo : Japan Foundation